35
Penelitian tentang pengaruh SDO terhadap dukungan atas aksi kekerasan telah dilakukan oleh Levin dkk. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa SDO memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap dukungan atas aksi kekerasan Levin, Henry, Prato, Sidanius, 2009.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Sidanius dkk juga menemukan bahwa atribusi permusuhan kaum muda Arab terhadap Amerika dan simbol-simbolnya tidak disebabkan
oleh benturan peradaban sebagaimana yang menjadi tesis Huttington, tetapi lebih disebabkan oleh sikap perlawanan yang didorong oleh perasaan sebagai kelompok subordinat yang
diperlakukan semena-mena oleh negara adi daya seperti Amerika Serikat Victoroff Kruglanski, 2009.
Dengan kata lain, SDO merupakan penjelasan penting yang bisa menjelaskan secara tuntas kenapa kaum muda Arab sangat benci terhadap intervensi Amerika di negara mereka.
Di dalam penelitian ini disebutkan sikap perlawanan sebagai kelompok tertindas terhadap kelompok penindas merupakan atribusi penting perilaku heroik dan perlawanan mereka. Oleh
karenanya, dukungan mereka terhadap kekerasan sebagai perlawanan simbolik terhadap orientasi dominasi sosial yang dipersepsikan melekat pada Amerika dan sekutu-sekutunya
Sidanius, Henry, Pratto, Levin, 2009.
D. Persepsi Keterancaman
Persepsi keterancaman merupakan salah satu variabel yang digunakan oleh sejumlah peneliti seperti Sidanius dkk 2004 dan Levin dkk 2003 dalam menjelaskan dukungan
terhadap kekerasan dan atribusi tentang kekerasan.
D1. Pengertian Persepsi Keterancaman
36
Persepsi keterancaman adalah perasaan terancam yang dirasakan seseorang karena adanya ancaman dari pihak lain, baik dalam bentuk ancaman riil maupun ancaman
simbolik. Persepsi keterancaman ini kemudian membentuk sikap permusuhan dan bahkan tindakan kekerasan terhadap anggota kelompok yang dipersepsi menjadi sumber ancaman.
Ancaman yang lebih banyak dirasakan secara individual menimbulkan rasa takut dan ancaman yang lebih banyak dirasakan secara kelompok akan melahirkan perilaku balas
dendam atau kekerasan balasan yang ditujukan kepada pihak tertentu yang dipandang
mengancam Putra Pitaloka, 2012; Nelson, 2002.
Menurut Stephan dkk, ada empat jenis ancaman atau persepsi keterancaman, yaitu ancaman simbolik, ancaman riil, kecemasan antarkelompok, dan stereonegatif. Ancaman
simbolik adalah ancaman yang berupa perbedaan moral, nilai, standar, keyakinan dan sikap; ancaman riil adalah ancaman yang jelas dan nyata; kecemasan antarkelompok adalah
perasaan terancam yang terjadi karena interaksi kelompok di mana dalam proses itu muncul perasaan terhina atau diremehkan; dan terakhir stereonegatif yaitu ancaman yang disebabkan
oleh label atau pandangan negatif dari kelompok lain Putra Pitaloka, 2012. Teori kategorisasi diri dan teori atraksi-kesamaan dapat digunakan untuk menjelaskan
bagaimana perbedaan menimbulkan perilaku negatif. Teori kategorisasi diri menyebutkan bahwa konsep diri kita didasarkan atas kategori sosial yang menjadi dasar dalam melihat diri
kita, misalnya usia, jender, ras, kepribadian dan lain-lain. Teori ini juga menyebutkan bahwa kita ingin meraih identitas diri yang positif. Kebutuhan terhadap identitas diri yang positif
mendorong kita untuk melakukan preferensi dan mengevaluasi mengevaluasi secara lebih positif orang-orang yang sama dengan diri kita dalam kategori sosial tertentu yang menjadi
basis identitas kita Strauss, Connerley, Ammermann, 2003. Teori daya tarik kesamaan dari Byrne 1971 di sisi lain menggunakan kerangka kerja
penguatan untuk menjelaskan kenapa kesamaan mempengaruhi evaluasi kita terhadap orang
37
lain. Stimulus yang menguatkan seperti kesamaan ras menimbulkan respon afektif seperti daya tarik interpersonal yang pada gilirannya menimbulkan suatu respon evaluatif. Untuk
mendukung teori-teori terkait, Strauss dkk 2001 menemukan bahwa para pengawas yang mempersepsi kepribadian subordinat sama dengan kepribadian mereka, cenderung lebih
menyukai kaum subordinat dan memperingkat kinerja lebih tinggi dibanding subordinat yang kepribadian mereka dilihat tidak sama Strauss, Connerley, Ammermann, 2003.
Jika kesamaan dipandang sebagai ganjaran atau dukungan terhadap identitas diri yang positif maka ketidaksamaan atau keragaman dipandang sebagai ancaman terhadap identitas
diri individu sebagaimana kata Jackson dkk 1991: “The entry of a new member into a new team and the ensuing process of socialization
may be perceived as potentially threatening for particular identities andor as opportunities for identity enhancement . whether this time of transition will be
percei ved as a threat to one’s identities is likely to be partially determined by
demographic similarity .” p. 78
Intinya, sesuatu yang baru dan berbeda bisa menjadi ancaman identitas di satu sisi tetapi bisa menjadi peluang untuk pengayaan identitas. Oleh karenanya, persepsi
keterancaman terhadap identitas berkaitan dengan banyak hal terutama perasaan berbeda atau persepsi bahwa kita berbeda. Jadi, persepsi keterancaman muncul dari persepsi perbedaan
dan ketidaksiapan menerima keragamaan atau perbedaan yang dibawa oleh orang lain atau kelompok lain.
Lalonde, Doan dan Patterson di tahun 2000 melakukan suatu penelitian. Mereka mengukur sikap terhadap perbaikan politik. Mereka menemukan bahwa sikap individu
berhubungan dengan ideologi mereka, dan bahwa sikap yang tidak mendukung ideologi individu pasti dianggap sebagai ancamana potensial terhadap identitis. Contoh, kaum gay dan
38
lesbian dalam studi tersebut lebih besar kemungkinan untuk setuju dengan stereotipe bahwa para pendukung anti perbaikan politik merupakan pengikut kelompok ekstrim sayap kanan
yang tidak toleran Strauss, Connerley, Ammermann, 2003. Salah satu temuan paling menarik dalam penelitian Strauss dkk adalah hubungan yang
kuat antara agreeableness dengan sikap terhadap keragaman. Sebenarnya hubungan seperti ini tidak mengherankan karena agreebleness adalah trait seperti sifat tidak mengutamakan
diri sendiri, toleransi, sifat menolong, sopan dan kemampuan melakukan kerjasama, dan bahwa tingkat agreebleness yang rendah ditemukan berhubungan dengan sikap antisosial dan
perilaku yang disfungsional. Temuan Strauss dkk mendukung hasil penelitian terdahulu seperti Maunt dkk 1998; dan Witt dkk 2002 yang menekankan pentingnya agreebleness
dalam tugas di mana suasana saling ketergantungan dan kerjasama merupakan persyaratan penting untuk meraih kinerja kontekstual. Trend peningkatan keragaman terkait dan
perubahan lingkungan kerja melahirkan kebutuhan yang lebih banyak terhadap orang-orang yang mampu berinteraksi secara positif dengan keragaman orang lain dalam seting kerja
Strauss, Connerley, Ammermann, 2003. Ancaman atau persepsi keterancaman dalam hal ini berkaitan pula dengan trait atau
karakter atau kepribadian seseorang. Orang yang memiliki kecenderungan dan kemampuan bekerjasama dengan orang lain yang berbeda adalah orang yang bebas dari perasaan terancam
atau persepsi keterancaman. Sebab, baginya tidak ada ancaman yang patut dikhawatirkan karena semua orang adalah kawan dan mitra yang bisa diajak bekerjasama dalam
menciptakan suatu perubahan atau proyek kemajuan bersama.
D.2. Pengukuran Persepsi Keterancaman
Dalam penelitian ini, hanya persepsi keterancaman simbolik yang akan digunakan karena lebih relevan dengan konteks hubungan antarkelompok yang terjadi pada sampel
39
penelitian yang dipilih. Persepsi keterancaman simbolik untuk penelitian ini akan dikonstruksi sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang digunakan dan disesuaikan dengan
kondisi dan karakteristik partisipan penelitian. Konstruksi alat ukur persepsi keterancaman didasarkan atas teori persepsi
keterancaman yang dikembangkan oleh Stephen. Teori ini dipandang mampu mendasari pembuatan alat ukur yang mengukur persepsi atau perasaan terancam seseorang atas ideologi
atau keyakinan yang ia anut. Salah satu contoh item yang digunakan dalam alat ukur ini adalah “Ajaran
Ahmadiyah mengusik keimanan umat Islam di Indonesia karena meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad”. Untuk merespon pernyataan ini, responden disediakan 4 pilihan alternatif
jawaban mulai dari sangat terancam sampai sangat tidak terancam. Kenapa keterancaman riil tidak digunakan? Hal itu didasarkan atas pendapat para ahli
psikologis sosial seperti Prato dan Sidanius yang mengatakan bahwa keterancaman riil umumnya bersifat ekonomi dan politik, sedangkan keterancaman simbolik hanya mencakup
hal-hal yang bersifat psikologis dan persepsi semata Sidanius Pratto, 1999. Hemat saya, sebagai bagian dari penelitian ilmu psikologi, bentuk persepsi keterancaman ini lebih relevan
dengan konteks penelitian ini.
D.3. Pengaruh Persepsi Keterancaman Terhadap Dukungan Kekerasan
Ketidakpastian, diri maupun kolektif, dapat melahirkan persepsi keterancaman pribadi maupun kelompok. Kondisi ini memotifikasi seseorang untuk melakukan identifikasi diri
yang kuat terhadap kelompoknya serta perilaku yang dapat mempromosikan entitavitas kelompok. Pada kondisi ketidakpastian yang lebih ekstrim, identifikasi terkesan lebih tegas
dan entitavitas jiwa moksa berkaitan dengan ortodoksi, hirarki dan ekstrimisme serta berhubungan pula dengan sistem keyakinan yang bersifat ideologis Hogg, 2005.
40
Pernyataan Hogg ini memperjelas asumsi yang berkembang selama ini di kalangan para peneliti radikalisme, kekerasan ekstrim dan terorisme yang menyebutkan bahwa
dukungan terhadap kekerasan lebih banyak datang dari anggota kelompok yang memiliki pemahaman keagamaan ortodoks, keyakinan yang berbasis kelas dan strata sosial, dan
ideologi-ideologi tertentu seperti ideologi kekerasan dan kebencian Solahuddin, Gazi, Mukhtadirin, 2011; Al-Makassary, 2004; Hogg, 2005.
Maka, para pendukung kekerasan terhadap kelompok minoritas adalah mereka yang memiliki pemahaman keagamaan yang sempit, menganggap ada kelas dan strata yang
memisahkan antara mereka dengan orang lain atau diinspirasi oleh ideologi dan mitos tertentu sebagai dasar pembenaran atas pembelaan dan dukungan mereka terhadap kekerasan
yang ditujukan kepada minoritas atau kelompok sempalan yang dianggap menyimpang. Penelitian yang dilakukan oleh tim dari CSRC memperlihatkan bahwa ada
kecenderungan anggota kelompok ekstrim untuk memainkan situasi chaos dan konflik di masyarakat serta memanfaatkannya untuk menyebarkan ideologi-ideologi permusuhan dan
kebencian terhadap anggota kelompok lain Bakar Bamualim, 2006. Hal yang sama diungkapkan oleh Baidhowi bahwa kelompok Islam ekstrim di Indonesia sering
memanfaatkan berbagai konflik di tengah masyarakat untuk menyebarkan propaganda dan pemikiran garis keras, sehingga dapat dikatakan bahwa peran individu-individu dari
kelompok garis keras terasa sangat kuat dalam berbagai kasus kekerasan antarkelompok yang terjadi di Indonesia Baidlowi, 2011.
Keterlibatan dalam konflik dan kekerasan dalam kasus tertentu berkaitan dengan perasaan empati atas korban konflik dari kalangan anak-anak dan wanita. Hal ini misalnya
tergambar dari keputusan seorang narapidana teroris untuk bergabung dalam kelompok jihad setelah mengalami perasaan sedih yang mendalam karena melihat umat Islam terzolimi dan
terancam. Perasaan terancam atau persepsi keterancaman simbolik yang menyangkut masa
41
depan agama dan umat inilah yang mendorongnya untuk terlibat dalam berbagai aksi kekerasan sebagai ekspresi pembelaan terhadap nasib umat Islam di berbagai belahan dunia
seperti Afganistan dan Chechniya Ismail, 2010. Motif pembelaan kelompok adalah akibat dari persepsi keterancaman yang ada pada
seseorang menyangkut kelompoknya. Sejumlah penelitian, misalnya penelitian Milla 2010 menyimpulkan bahwa salah satu alasan kenapa seseorang bergabung dalam kelompok jihad
atau terlibat dalam aksi kekerasan adalah karena keterancaman identitas terutama identitas sosial. Wawancara Milla dengan para pelaku utama Bom Bali menunjukkan bahwa dorongan
untuk membela kelompok atau umat adalah salah satu alasan yang mengemuka ketika para responden ditanyakan tentang motif bergabungnya mereka ke dalam kelompok teror atau
keterlibatan mereka dalam aksi teror Milla, 2010.
E. Kerangka Berpikir