masih sangat terbatas, di sisi lain belanja konsumen dan aktivitas komersial tumbuh pesat, sehingga memberikan lebih banyak peluang bagi bank dalam
menyalurkan kredit. Hal ini mendorong perbaikan kondisi perbankan secara umum, sekalipun kelemahan struktural masih tetap ada.Suku bunga SBI menurun
signifikan dari 12,93 menjadi 8,31 pada akhir tahun.Jumlah kredit bermasalah menurun secara berarti, sedangkan penghimpunan dana dan penyaluran kredit
terlihat meningkat. Tahun 2005 adalah tahun yang penuh dengan tantangan bagi Indonesia.
Kita semua mengawali tahun tersebut dengan penuh rasa optimis seiring dengan berhasil diselesaikannya proses pemilihan presiden secara aman dan demokratis
di akhir tahun 2004 yang menjanjikan kestabilan bagi Indonesia. Persepsi positif ini
tercermin dari
indikator-indikator makro
ekonomi yang
sangat menggembirakan di akhir semester pertama. Memasuki semester ke dua tahun
2005, ekonomi dunia dihadapkan pada ketidakpastian harga minyak yang telah memaksa pemerintah untuk mengambilkeputusan yang sulit untuk menaikkan
harga BBM. Kenaikan harga BBM ini segera diikuti dengan kenaikan harga barang-barang konsumsi yang selanjutnya telah mendorong laju tingkat infl asi
hingga mencapai 17,11 di tahun 2005. Akibatnya, diakhir tahun Bank Indonesia harus mengambil kebijakan pengetatan moneter dengan meningkatkan suku
bunga SBI-1 bulan ke angka 12,75.
2. Perkembangan Kebijakan Perbankan di Indonesia
Program restrukturisasi dan rekapitalisasi terhadap sejumtah bank bermasalah oleh pemerintah periode 1999-2001 telah membuahkan hasil ditandai
dengan kinerja sektor perbankan yang mulai berjalan normal. Rasio kecukupan modal CAR yang sebelumnya negatif 50 lebih pada 1999, mengalami
perbaikan menjadi 12 pada 2000, mencapai 20,5 pada tahun 2001. Pada tahun 2002 rasio kecukupan modal bank telah mencapai 22,44 serta pada
tahun 2003 sebesar 19,43. Pada tahun 2004 ini sampai triwulan kedua bulan Juni
2004 telah
mencapai 21,08.
Sementara kualitas aktiva, setelah proses restrukturisasi kredit dan program penanganan yang dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasionat BPPN
membuat semakin kecilnya rasio kredit bermasalah NPL terhadap total kredit.
Bank Indonesia Bl mencatat posisi NPL di akhir tahun 2000 sebesar 18 dan angka tersebut telah berkurang secara signifikan menjadi 12,23 di
akhir 2001, 7,5 di akhir tahun 2002, 6,78 pada akhir 2003 dan 6,19 pada triwutan I bulan Juni 2004. Namun, perkembangan positif ini tidak berarti dunia
perbankan Indonesia pasca rekapitalisasi dan restrukturisasi sudah benar-benar bebas dari masalah yang membelenggu. Pada kenyataannya masih ada sejumlah
masalah yang perlu mendapat perhatian serius dan membutuhkan penanganan yang mendesak dilakukan. Menurut Ketua Umum Perbanas, Agus DW
Martowardojo sejumlah masalah yang harus menjadi agenda penting para pelaku sektor perbankan dan otoritas yang terkait yaitu pengoptimalan peran dan fungsi
perbankan sebagai lembaga intermediasi, angka rasio pinjaman deposit LOR masih berada pada tingkat yang rendah sebesar 46,39 sampai bulan Juni 2004,
normalnya harus pada kisaran 80-90. Kapital bank-bank nasional yang masih kecil, rasio kecukupan modal CAR lebih dipengaruhi oleh tingginya porsi
obligasi rekapitalisasi dalam aktiva produktif perbankan. Restrukturisasi sektor riil yang perlu lebih dipercepat, kelambanan akan mengakibatkan tingginya
tingkat unused loan pada sektor perbankan sehingga akhirnya menghalangi penurunan tingkat bunga pinjaman. Budaya risiko kredit atau credit risk culture di
sektor perbankan yang masih rendah terutama dalam implementasi risk management
yang menyangkut risiko operasional yang masih jauh dari kondisi ideal. Legal infrastructure dan law enforcement masih belum memadai khususnya
menyangkut hak, kewajiban, dan tanggung jawab nasabah dan bank itu sendiri.
3. Perkembangan Kinerja Bank Merger