15
hanya bahwa mereka yang tampaknya dalam kebenaran dapat saja merupakan oportunis yang mengambil keutungan dari hak istimewa mereka untuk dapat memerintah.
Konsep akan Tuhan lebih terbuka semacam itu merupakan suatu kekuasaan yang mendukung demokrasi, dan dapat juga menjadi alasan terkuat menolak teokrasi, karena
teokrasi telah menentukan siapa orang yang dapat dipakaioleh Tuhan dan siapa yang tidak dapat di pakai oleh Tuhan.
6
1.2. Model Erastianisme
Menurut Wogaman, untuk mengindentifikasi teokrasi secara tepat sangatlah sukar, ini dikarenakan apa yang dianggap bahwa pemimpin agama mengontrol negara
bagi kepentingan agama, pada kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya, pemimpin politik mengontrol agama bagi kepentingan negara. Agama sangat dieksploitasi bagi
kepentingan-kepentingan politik, yakni digunakan untuk mengusahakan persatuan dalam suatu komunitas masyarakat, memberi kekuasaan bagi negara, memberi suatu
sanksi atas kebijakan politik lainnya. Sebagian besar kaisar Romawi yang memerintahkan adanya penyembahan atas diri mereka ini tidak sebanding dengan apa
yang mereka dapatkan dari jabatan mereka. Penolakan orang Kristen untuk menyembah Kaisar telah dilihat sebagai suatu ketidak-taatan terhadap kekuasaan, dan bukan sebagai
suatu ketegasan atas kekuatan-kekuatan keagaman. Perlu di pahami bahwa Erastianisme adalah agama yang digunakan bagi
kepentingan negara setelah abad enam belas Erastus Thomas asal Swiss. Pendekatan Erastian terhadap negara berusaha untukm mengotrol gereja telah diikuti oleh para
politikus dalam tujuan agama. Hal ini terbukti dalam negara yang dikontrol baik legal maupun institusional Penyembahan Shinto di Jepang adalah lebih bersifat Erastian
6
Ibid., 253-254.
16
dibanding Teokrasi, dan dapat dianggap benar oleh sebagian besar masyarakat Budha di Asia Tenggara.
7
Menurut Wogaman, tujuan politik zaman itu diabsolutkan penguasaan lembaga- lembaga agama oleh negara semuanya demi kepentingan politik, sampai penolakan
formal akan Tuhan yang transenden. Menurutnya, agama sipil dapat konsisten dalam pemahaman akan Tuhan yang transenden-sebagaimana yang dikatakan oleh Abraham
Lincoln, dimana negara dipahami berada di bawah pengadilan Tuhan. Juga Robert Bellah mengatakan, mengusahakan suatu agama sipil yang lebih baik bukanlah suatu
erastian. Walaupun kita menaruh perhatian bahwa terdapat suatu sumber dari legitimasi transenden agama bagi negara demokrasi.
8
Menurutnya juga, bahwa memahami negara berada di bawah pengawasan Tuhan dan bukanlah manipulator dari lembaga keagamaan guna suatu tujuan temporere yang
murni: simbolisasi semacam itu dapat lebih dari penyembahan atas negara sebagai kebaikan tertinggi, atau dapat saja menjadi, seperti Amerika, penyembahan kepada
realitas yang lebih tinggi yang mengatasi standar-standar yang berusaha dibangun oleh republik. Ketika negara itu sendiri diperlakukan sebagai kebaikan tertinggi maka
integritas dan lembaga keagamaan itu secara fatal ditanyakan. Mereka tidak lagi dianggap serius, di atas landasan iman yang mereka bangun. Mereka hanya menjadi
penting bagi kepentingan politis mereka. Beberapa tingkatan Erastianisme pada kenyataan dapat dihindari, bagi gereja-
gereja yang ada dalam masyarakat dan pada tingkatan tertentu diperintah oleh negara. Kenyataan tersebut berarti bahwa integritas gereja harus selalu menjadi usaha dalam
7
Ibid., 250.
8
Ibid., 255.
17
perjuangan-perjuangan teologis. Tetapi erastianisme yang sempurna, dimana negara mengontrol gereja secara penuh, pada prinsipnya merupakan suatu pengidolaan.
9
1.3. Pemisahan secara Damai