18
keberadaan  agama  atau  melarang  bebebasan  beragama”,  karenanya  hal  itu membangun suatu dinding pemisahan antara gereja dan negara.
12
Beberapa  pemimpin  agama  dan  teolog  tidak  senang  disebut  “religius”.  Teolog Karl  Barth  dan  Hendrik  Kraemer,  membedakan  antara  “iman  Kristen”  dan  “agama”,
bagi mereka agama merupakan usaha manusia untuk mengenal Tuhan, sedangkan iman merupakan  respon  manusia  akan  pemberian  iman  yang  dihasilkan  dari  usaha  Tuhan
menjangkau  manusia  lewat  Yesus  Kristus.  Bagaimanapun  bagi  Barth  dan  Kraemer menginginkan mereka mengatakan iman mereka sebagai orang Kristen berada di bawah
perlindungan  Amandemen  pertama.  Tetapi  negara  harus  berhati-hati  untuk mendefenisikan  agama  dalam  cara  untuk  menciptakan  peluang  bagi  mereka  yang
menyebut  diri  mereka  religius  akan  mendapatkan  keuntungan  dari  hak  istimewa  dari agama.
13
1.4. Pemisahan Yang Tidak Bersahabat
Dalam  dua  abad  terakhir  ini,  sering  dikembangkannya  pemisahan  yang  tidak bersahabat  antara  gereja  dan  negara.  Sebagian  besar  negara-negara  Marxisme
contohnya Perancis melembagakan suatu kebencian atau prasangka terhadap lembaga- lembaga agama.
Pada  kenyataan  di  sebagian  besar  negara-negara  seperti  itu,  lembaga-lembaga agama, penginjil-penginjil dan lainnya disediakan beberapa pendanaan publik yang juga
disertai  pula  dengan  kontrol  publik.  Tetapi  sikap  yang  jelas  dalam  negara-negara semacam  ini  adalah  agama  di  toleransi  hingga  masyarakat  menjadi  dewasa  menuju
suatu  pandangan  yang  ilmiah.  Pada  akhir  abad,  19  kelompok-kelompok  agama  masih menemui kesulitan untuk menembus negara-negara Marxis.
12
Ibid.
13
Ibid., 258.
19
Mengenai  beberapa  tradisi  nasional  adalah  penting  untuk  mengingat  bahwa praktek  yang  sebenarnya  dapat  sangat  berbeda  dengan  teori  konstitusional.  Lebih  jauh
lagi, apa yang berlaku dalam suatu masyarakat dengan sejarah tradisinya yang unik-unik bisa  saja  tidak  berlaku  di  negara  lainnya  dan  bahkan  di  situasi  yang  sangat  berbeda,
orang  kristen  dapat  terus  mengingat  bahwa  martir  itu  telah  menjadi  benih  bagi  gereja. Akhirnya  pemisahan  yang  tidak  bersahabat  adalah  berlawanan  dengan  apa  yang
diharapkan oleh orang Kristen atas Civil society. Tingkat yang bagaimana negara harus mendukung  lembaga  dan  praktek-praktek  agama  dapat  diperdebatkan.  Tetapi  secara
teologis dan berdasarkan prinsip demokrasi sebaiknya tidak harus ditentang.
14
Mengenai hubungan gereja dan negara, Robert N. Bellah dan Phillip E, Hammond mengemukakan bahwa hampir seluruh rentang sejarah Barat, terjadi ketegangan antara
gereja  dan  negara  yang  sangat  dalam.  Dalam  banyak  peristiwa  sejarah,  negara mendominasi  gereja  dan  mengekploitasinya,  dan  suatu  waktu,  negara  dapat  dikuasai
oleh  gereja,  bahkan  menggunakannya  bagi  kepentingan  dirinya  dan  menduniawikan loyalitas  spiritualitasnya  ke  dalam  suatu  bentuk  nasionalisme  keagamaan.
15
Menurut mereka “hingga saat ini belum ada pemecahan yang pernah menghilangkan ketegangan-
ketegangan  mendasar.  Kecenderungan  yang  telah  terjadi  bagi  setiap  pemecahan persoalan  ketegangan  itu  adalah  memposisikan  agama  sebagai  pelayan  negara  atau
neg ara sebagai pelayan agama”
16
. Sebagai reaksi atas permasalahan tersebut, kemudian muncullah  gagasan  tentang  pemisahan  gereja  dan  negara  disertai  dengan  Undang-
14
Ibid., 251-252.
15
Robert  N.  Bellah  dan  Philip  E,  Hammond,  Varieties  of    Civil  Religion,  penerjemah,  Imam Khoiri, dkk, Jogja: IRGiSoD, 26-28.
16
Ibid.
20
undang  yang  melarang  suatu  pembentukan  agama  melindungi  kebebasan  menjalankan ajaran agama. Hal tersebut dilanjutkan dengan ide tentang kebebasan beragama.
Kekebasan agama akhirnya hanya menjadi sebuah hak untuk menyembah Tuhan apapun yang  disukai  atau  tidak  sama  sekali.  Dengan  implikasi  bahwa  agama  adalah  semata-
mata  urusan  pribadi  yang  tidak  berkaitan  atau  tidak  ada  hubungannya  dengan masyarakat politik political society
17
. Di  Perancis  awal  hingga  sekarang,  liberalisme  mencapai  salah  satu  tujuannya,
yaitu pemisahan total  gereja dan negara,  yang berarti  gereja sangat  bebas dari tekanan politik.  Sebenarnya  hubungan  seperti  ini  mau  menggambarkan  adanya  kecenderungan
orang untuk memisahkan gereja sama sekali dari negara dan memisahkan negara sama sekali  dari  agamagereja  sehingga  tidak  ada  lagi  saling  mempengaruhi  dan  kerjasama
antara  gereja  dan  negara.  Meskipun  demikian,  kebebasan  mereka  untuk  melakukan kegiatan  sangat  terbatas  karena  keuangan  mereka  sangat  tergantung  pada  dukungan
perorangan. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Jerman, hubungan gereja dan negara di Jerman sangat dekat sehingga gereja-gereja diperbolehkan menarik pajak
gereja yang dibayar oleh semua anggota. Pajak itu mulai dikumpulkan melalui struktur administrasi  negara,  meskipun  gereja-gereja  harus  membayar  biaya  andministrasi.
Bahkan  gereja-gereja  diberi  dukungan  keaungan  oleh  negara  untuk  menunjang pelayanan gereja di bidang sosial, kesehatan dan pendidikan.
18
17
Ibid., 29-30.
18
Wolfgang  Schmidt,  Agama  Negara  dan  Bangsa:  Suatu  Perdebatan  Baru  Beberapa Permasalahan dalam Perdebatan Eropa, dalam Soegeng Hardiyanto et al dewan Redaksi, Agama dalam
Dialog  Pencerahan,  Pendamaian  dan  Masa  Depan.    Punjung  tulis  60  Tahun  Prof  Dr  Olaf  Schumann Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, 330-331.
21
2.
Teologia Politik Dan Faktor-Faktor Pendukung
19
Istilah  “teologi  politik”  digunakan  secara  luas  sejak  1960-an  dan  merupakan salah satu usaha yang dilakukan oleh para teolog Katolik dan Protestan untuk mengatasi
krisis  kebudayaan  dengan  dasar-dasar  Kekristenan  dalam  terang  abad  XX.  Setelah Perang Dunia  I, teologi  mencapai  semacam  ekuilibrium, dimana ada tiga tokoh  teolog
Protestan seperti K.Barth 1968; R.Bultmann 1976 dan P.Tillich 1965 mengembang sayap-sayap  refleksi  teologis  hingga  mencapai  ketinggian  sekaligus  kedalaman  yang
menakjubkan.  Sementara  itu  orang-orang  Katolik  masih  mengembangkan  rona skolastisisme  yang  digaungkan  kembali  oleh  Leo  XIII  1879,  yang  menyeru  agar
diadakan pembaruan teologi-filosofis Thomisme.
20
Dapat jadi, orang yang mendengar untuk pertama kalinya istilah “teologi politik” merasa  bingung  dengan  arti  dan  maknanya.  Kebingungan  ini  bukan  karena  istilah
“teologi politik” memberikan sebuah fenomena yang tidak familier, melainkan karena terminologi  itu  mengesankan  berupaya    menggabungkan  2  dua  hal  yang  tidak
kompatibel, bagaikan air dan minyak. Dikalangan  para  teolog,  teologi  politik  yang  dicetuskan  oleh  Johann  Babtist
Metz
21
sering  dikualifikasikan  dengan  ungkapan  Teologi  Politik  Baru.  Kualifikasi  ini dibutuhkan,  sebab  memang  sudah  ada  teologi  politik  lama  sejak  zaman  Yunani  Kuno.
Pada  Stoa  kita  telah  menemukan  pembagian  teologi  ke  dalam  tiga  kelompok:  teologi mitis,  teologi  naturalis,  dan  teologi  politik.  Di  dalam  era  Romawi  kuno  teologi  politik
dipakai sebagai legitimasi kekuasaan negara. Teologi politik adalah teologi publik yang mendasarkan  kekuasaan  absolut  dan  infalibel  negara.  Pandangan  tentang  legitimasi
19
John  B.  Cobb,Jr,  Process  Theology  as  Political  Theology,  Philadelphia:  Manchester University, 1982, 8-25.
20
A.Eddy Kristiyanto, Teologi Politik, Jakarta: Yayasan Bumi Karsa 2003, 1-2.
21
Dikutip oleh Paulus Budi Kleden, dalam buku yang berjudul Teologi Terlibat, 67.
22
teologis  atas  politik    negara  masih  diwakili  oleh  filsuf  seperti  Thomas  Hobbes,  yang berangkat  dari  anggapan  bahwa  manusia  dari  alamnya  memiliki  kecenderungan  untuk
menghancurkan  orang  lain,  sebab  itu  dibutuhkan  dominasi  negara  yang  mesti dilegitimasikan  secara  teologis  demi  terciptanya  sebuah  kondisi  yang  baik  di  dalam
kehidupan bersama. Kleden  mengutip  pendapat  Metz  dengan  menyebut  teologia  politik  adalah
keseluruhan  konstruksi  pengetahuan,  sistem  nilai  dan  tatanan  masyarakat  yang menentukan  kehidupan  bersama  manusia.
22
Teologi  politik  tidak  mempunyai  maksud lain  selain  mengungkapkan  relefansi  politis  dari  iman.  Yang  dimaksudkan  ialah,
bukanlah iman itu mempunyai satu dimensi politis, yang mesti dibedakan dari dimensi personal. Seluruh iman itu bersifat politis, juga aspek personal dari iman adalah sebuah
ungkapan  dari  ciri  politis  iman.  Yang  personal,  yang  bersifat  individual  senantiasa mengungkapkan  dirinya  dalam  kebersamaan  dan  membutuhkan  perlindungan  dan
pengakuan dari dunia politik. Karena itu teologi sebagai pembicaraan tentang iman mesti menyadari tendensi-
tendensi dan
mengungkapkan kekuatan-kekuatan
masyarakat, untuk
dapat mempertahankan  aspek  personal  dari  iman.  Teologi  seperti  ini  hendak  menjawab
tantangan  yang  dilemparkan  oleh  kritik  agama  sebegai  kritik  idiologi  dari  sudut marxisme.  Untuk  itu  teologi  politik  harus  menyadari  implikasi-implikasi  sosial  politis
dari pengertian- pengertiannya. Metz mengingatkan setiap teologi untuk bertanya “siapa
berbicara, kapan dan dimana, untuk siapa dan dengan maksud apa Allah?” berbicara.
23
Teologi  perlu  membongkar  kesadaran  akan  kepentingan  yang  melatarinya  dan mempertanggungjawabannya.  Bagi  Metz  semua  yang  mungkin  secara  teknis  dapat
22
Ibid., 69.
23
Paulus Budi Kleden, mengutip artikel JB.Metz yang berjudul Politische Theologie, 394
23
diperbolehkan  secara  etis.  Dengan  demikian  tidak  ada  lagi  ruang  untuk  segala kemungkinan  lain,  untuk  semua  ideal  dan  alternatif  lainnya.  Karena  itu  tugas  pertama
dari  teologi  politik  yang  hendak  memantau  dan  mendampingi  secara  kritis  sebuah masyarakat  adalah menunjukan keterbukaan manusia kepada masa depan dan serentak
menyingkapkan ketakmestian dan keterbatasan dunia nyata. Teologi mesti menjadi teologi yang berorientasi ke masa depan, namun oreintasi
ini sekaligus bersifat kritis terhadap diktator pada masa sekarang. Di sini teologi mesti menjadi  sebuah  eskatologi,  menjadi  sebuah  teologi  harapan.  Dimensi  eskatologi  dari
teologi  bukannya  hendak  mengembalikan  teologi  kepada  pembicaraan  tentang  dunia akhirat, melainkan menanamkan kesaradan bahwa yang ada ini belum yang semestinya.
Pada latar kesadaran akan status “belum” dari yang ada, yang ada sekarang akan tampil sebagai yang mesti di ubah. Di bawah cahaya dari “yang masih akan datang”, yang ada
sekarang  akan  kehilangan  kemutlakannya.  Kritik  atas  yang  ada  dan  penghadiran  diri “yang  akan  datang”  itu  dilakukan  dalam  praktek  perubahan  itu  sendiri.  Dengan
demikian  maka  tidak  ada  sesuatu  yang  mutlak  tetapi  semuanya  berada  dalam  proses untuk mencapai kesempurnaan.
24
Tiga  tokoh  dalam  teologi  politik  Jerman  yakni  Johann  Baptist  Metz,  Jurgen Moltmann dan Dorothe Solle menyampaikan pemikirannya tentang teologi politik yang
di  kutip  oleh  John  B.Cobb,Jr  mengungkapkan  bahwa  pada  pertengahan  tahun enampuluhan  Metz  berkonsentrasi  pada  bagaimana  hubungan  manusia  dalam  dunia,
karena    manusia  menyatu  dengan  dunia  maka  ia  tidak  bisa  dipisahkan  dari keberadaannya  di  tengah  lingkungan  dan  masyarakat.  Setiap  pengalaman  dunia
24
Ibid.,71.
24
berlangsung dalam cakrawala eksistensi manusia bersama, bukan hanya dalam masalah “pribadi” tetapi dalam “politik” menyangkut eksistensi sosial di masyarakat.
Jadi  setiap  pengalaman  tentang  sejarah  manusia  terjadi  dalam  konteks  dunia dimana  manusia  itu  berada.  Sehingga  berbicara  tentang  teologi,  harus  dimuali  dari
dunia.  Teologia  dunia  harus  dimualai  dari  kreatifitas,  harapan,  militan,  yang  berbasis kepada dunia dan masyarakat untuk mengalami perubahan. Metz pada tahun 1961-1967
menulis  sekumpulan  esei  yang  berjudul  “Teologia  Dunia”  dan  artikel  yang  berjudul “Gereja dan Dunia dalam terang teologi politik”. Tulisannya itu menimbulkan banyak
diskusi dan perdebatan. Sesuadah  tahun  1969  ia  menerbitkan  sebuah  buku  untuk  menjawab  perdebatan.
Dalam  pikirannya  itu  ia  mengidentisikasikan  tiga  hal  yang  berkaitan  dengan  teologi
politik.  Yang  pertama,
adalah  tugas  seorang  „hermeneutik‟  teologis  dalam  konteks
sosial  kontemporer.  Ini  disebut  juga  hermeneutika  politik.  Kedua,  teologi  politik  baru
harus menjadi „kritis korektif terhadap kecenderungan prifatisasi tertentu dalam teologi
terkini, ketiga, karena teologi dan gereja benar-benar memiliki kepentingan politik yang
sangat  besar  maka  teologi  politik  harus  memiliki  fungsi  penti ng dalam gereja‟. Jurgen
Moltmann  pada  tahun  1971  menerbitkan  sebuah  esei  tentang  „teologi  politik‟  dimana dia mengungkapkan pikirannya bahwa orang kristen dewasa ini harus mengungkapkan
kebebasannya  berdasarkan  tradisi  mereka  sendiri,  tetapi  itu  belum  tercapai  dalam hubungannya dengan dunia politik.
Disamping itu ia melihat teologia politik sebagai teologia untuk mengkritik diri sendiri  hermeneutis,  kritik  itu  akan  membuat  kita  sadar  akan  lingkungan  sosial  dan
konteks  dimana  kita  berada.  Ketika  kita  menyadari  akan  setting  sosial  dimana  kita berada maka kita akan mengembangkan suatu hermeneutik politik. Kita akan berpindah
25
dari  eksistensialisme  dan  interpretasi  teks  tradisionil  ke  hermeneutik  politik  tradisi yakni  pemahaman  kepada  sebuah  eksegesis  representasi  keagamaan  tradisional  dalam
arti praktis. Solle tidak memberikan kepada kita suatu penjelasan yang penting tentang telogi
politik  tetapi  dia  menawarkan  sesuatu  yang  sangat  eksplesit  yang  berfokus  kepada hermeneutik.  Dia  menyatakan  bahwa  teologi  politik  paling  baik  dipahami  sebagai
„interpretasi politik injil‟.  Solle, seperti Metz dan Bultmann, menyatakan bahwa dasar dari teologi politik adalah kritis baik dalam gereja maupun struktur dalam masyarakat.
Akhirnya  akan  melibatkan  otokritik,  dan  pengakuan  tentang  bagaimana  seseorang terikat  dalam  dosa  masyarakat  dan  memiliki  kecenderungan  yang  mengarah  pada
tindakan yang jahat. Dari  ketiga  tokoh  teologi  politik  di  atas  menurut  John  B.Cobb.Jr  mereka  juga
mempunyai  kesamaan.    Ketiganya  melihat  teologi  politik  sebagai  suatu  hermeneutik, yaitu kritik terhadap gereja dan teologi serta realitas sosial dalam masyarakat. Beberapa
pertanyaan  yang  perlu  dilontarkan  adalah  apakah  semua  teologi  harus  menjadi  teologi politik? dan apakah politik menjadi satu-satunya sumber bagi pekerjaan teologis? serta
apakah hanya ada keselamatan pribadi tanpa keselamatan sosial. Menurut Solle bahwa sudah waktunya sekarang seluruh teologi harus menjadi teologi politik. Sebab tidak ada
keselamatan pribadi. Melalui  prinsip  hermeneutis  dapat  membimbing kita  memahami  arti  kehidupan
bagi  semua  orang.  Ini  bukan  berarti  bahwa  persoalan  individu  di  abaikan  atau dikesampingkan,  tetapi  pertanyaannya  bagaimana  persoalan  individu  berkaitan  dengan
kondisi  sosial  dalam  konteks  dimana  kita  berada.  Sebab  pada  prinsipnya    manusia sebagai  makhluk  sosial  selalu  berhubungan  dan  berkaitan  dengan  manusia  yang  lain.
26
Jadi  tidak  ada  keselamatan  sendiri-sendiri.  Subjektivitas  dimasukkan  ke  dalam  proses sosial  dengan  tujuan  bukan  untuk  mencari  pemahaman  diri  sendiri  saja,  melainkan
percaya  dan  memahami  bahwa  keselamatan  itu  berada  dalam  dunia.  Pandangan keutuhan  keselamatan  bagi  semua  secara  konsisten  berakar  pada  keyakinan  bahwa
semua realitas dunia yang ada adalah kenyataan sosial.
2.1. Teologia Politik dan Kritik Atas Ketidakadilan