Analisis Pengujian Penerapan Purchasing Power Parity Pada Mata Uang Rupiah Terhadap Dollar Amerika

(1)

ANALISIS PENGUJIAN PENERAPAN PURCHASING

POWER PARITY PADA MATA UANG RUPIAH

TERHADAP DOLLAR AMERIKA

T E S I S

OLEH :

M. ROZA AULIA LUBIS

047018031 / EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

ANALISIS PENGUJIAN PENERAPAN PURCHASING

POWER PARITY PADA MATA UANG RUPIAH

TERHADAP DOLLAR AMERIKA

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh :

M. ROZA AULIA LUBIS

047018031 / EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Judul Penelitian : Analisis Pengujian Penerapan Purchasing Power Parity (PPP) Pada Mata Uang Rupiah Terhadap Dollar Amerika

Nama : M. Roza Aulia Lubis

Nomor Pokok : 047018031

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing :

Dr. Murni Daulay, SE., MSi Ketua

Drs. Iskandar Syarief, MA Anggota

Ketua Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan

Direktur

Sekolah Pascasarjana USU


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 16 November 2007

PANITIA PENGUJI TESIS

Pembimbing : 1. Dr. Murni Daulay, M.Si 2. Drs. Iskandar Syarief, M.A Penguji : 1. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec

2.Dr. Ramli, M.S


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : M. Roza Aulia Lubis

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 10 Juli 1977

3. Jenis Kelamin : Laki-Laki

4. Status : Kawin

5. Agama : Islam

6. Pekerjaan : Staff Bank BTPN Cabang Medan

7. Alamat : Jln. Prof. H.M. Yamin SH No. 255 Medan

8. PENDIDIKAN

a. SD : SD Swasta Harapan Medan (1997 – 1999)

b. SMP : SMP Negeri 1 Medan (1987 – 1992)

c. SMA : SMA Swasta Harapan Medan (1994 – 1996)

d. Diploma : Diploma English, Stamford College Malaysia

(1979 – 1999)

e. Strata 1 : National University of Malaysia (2000 – 2002)

f. Strata 2 : Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (2005 – 2008)

SKRIPSI / TESIS

1. Pajak dalam Pembangunan Indonesia

2. Analisis Pengujian Penerapan Purchasing Power Parity (PPP) Pada Mata Uang Rupiah Terhadap Dollar Amerika

Medan, Januari 2008


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERSEMBAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT... iv

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Paritas Daya Beli (PPP) ... 8

2.1.1. Definisi PPP ... 8

2.1.2. Pengukuran PPP ... 10

2.2. Inflasi ... 16

2.2.1. Pengertian Inflasi ... 16

2.2.2. Hubungan Nilai Kurs, Tingkat Harga Relatif (Inflasi), dan Paritas Daya Beli (PPP) ... 21

2.3. Penawaran Uang ... 25


(7)

2.3.2. Pengaruh Pengenaan Pajak di Dalam Negeri

terhadap Jumlah Penawaran Uang ... 28

2.4. Tingkat Suku Bunga... 30

2.4.1. Definisi Tingkat Suku Bunga ... 30

2.4.2. Teori Suku Bunga ... 31

2.4.3. Hubungan Tingkat Suku Bunga dan PPP ... 33

2.5. Hipotesis Penelitian ... 36

2.6. Kerangka Konseptual ... 37

2.7. Penelitian Sebelumnya ... 37

BAB III. METODE PENELITIAN ... 44

3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 44

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 44

3.3. Model Analisis ... 44

3.4. Metode Analisis ... 46

3.4.1. Uji Engle-Cranger Error Correction Model ... 46

3.4.2. Uji Kointegrasi ... 49

3.4.3. Uji Akar Unit ... 50

3.5. Uji Kesesuaian (Goodness of Fit) ... 52

3.6. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 52

3.6.1. Uji Multikolinieritas ... 53

3.7. Definisi Operasional ... 54

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1. Perkembangan Moneter di Indonesia ... 55

4.2. Implikasi Jumlah Penawaran Uang, Inflasi, Tingkat SBI dan Purchasing Power Parity di Indonesia (Periode 1970-2002) ... 59

4.3. Hasil Uji Akar-Akar Unit (Unit Roots Test) ... 65

4.3.1. Uji Dickey-Fuller dan Augmented Dickey-Fuller ... 65


(8)

4.4. Analisa Estimasi... 69

4.4.1. Uji Kesesuaian (Goodnes Of Fit)... 69

4.4.2. Uji Asumsi Klasik Pada Persamaan 11 ... 75

4.5. Pembahasan ... 76

4.5.1. Inflasi ... 76

4.5.2. Tingkat Suku Bunga ... 78

4.5.3. Jumlah Penawaran Uang ... 79

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

5.1. Kesimpulan ... 81

5.2. Saran dan Implikasi Kebijakan ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 85


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

2.1. Uji PPP : Survei Literatur 41

4.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Uang

Beredar, Inflasi dan PPP di Indonesia ... 61 4.2. Perkembangan Tingkat SBI dan PPP (1967 – 2002) ... 63 4.3. Estimasi Statistik ADF Untuk Uji Akar-Akar Unit Atas Data

Kurs, MS, TSB, dan INF Indonesia Tahun 1967 – 2002 ... 66 4.4. Hasil Uji Kointegrasi ... 68


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.1. Peningkatan Penawaran Rupiah ... 29

2.2. Kerangka Pemikiran Analisa Pengujian Pemberlakuan

Purchasing Power Parity pada Mata Uang Rupiah terhadap

Dollar Amerika ... 37 4.1. Perkembangan Tingkat SBI dan PPP (1967 – 2002) ... 65


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang melaksanakan sistem independently floating

exchange rate, yakni nilai mata uang ditentukan secara bebas oleh pasar (perhatikan

Lampiran 4). Independently Floating: The exchange rate is market determined, with

any foreign exchange intervention aimed at moderating the rate of change and

preventing undue fluctuations in the exchange rate, rather than at establishing a level

for it (IMF, August, 2001). Dalam sistem mengambang bebas, nilai mata uang

ditentukan pasar, dimana intervensi kurs untuk menyederhanakan tingkat perubahan dan menjaga atau mencegah fluktuasi-fluktuasi kurs yang tidak harus terjadi, hal ini tidak dapat diartikan sebagai penetapan atau pembentukan satu tingkat mata uang.

Dalam sejarah perekonomian, negara kita juga mengalami fluktuasi nilai mata uang yang disebabkan faktor alamiah pasar dan tidak jarang disebabkan oleh spekulasi. Apapun faktor tersebut, pada akhirnya menurut data tahunan International

Financial Statistics (IFS), Rupiah sering mengalami depresiasi (IFS,1992:2003

Lampiran 2). Depresiasi dapat diartikan sebagai jatuhnya nilai satu mata uang (Mishkin, 2003); jatuhnya nilai mata uang suatu negara dibandingkan dengan nilai mata uang negara lain (Cecchetti, 2006: 230);


(12)

Kebijakan nilai mata uang merupakan satu kebijakan dan strategi ekonomi komprehensif (menyeluruh). Kebijakan nilai mata uang setidak-tidaknya dapat mendorong atau menghambat tingkat kesejahteraan negara dengan mempertimbangkan sejauh mana ia mampu mendatangkan prospek kepada perekonomian negara. Kita mengakui bahwa ekspor yang kompetitif dan aliran masuk modal asing adalah sangat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi. Bagaimanapun, reaksi yang disebabkan oleh nilai mata uang yang tidak stabil, rentan, dan selalu terdepresiasi adalah sangat mungkin mengakibatkan hal yang tidak menguntungkan misalnya defisit perdagangan (trade deficits) yang berkelanjutan,

pertumbuhan hutang luar negeri yang semakin membengkak, dan akselerasi pelarian modal (capital flight), dan penerimaan devisa yang semakin berkurangan (diminished

foreign-exchange earnings), hal ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan

memperburuk masalah kemiskinan dan masalah pengangguran.

Kebijakan nilai mata uang berinteraksi dengan kebijakan-kebijakan ekonomi lain, misalnya kebijakan nilai mata uang dan kebijakan moneter adalah berhubungan satu dengan lain. Misalnya, seperti dinyatakan oleh Einzig (1972) bahwa “ukuran-ukuran yang mempengaruhi volume, daya beli, kecepatan peredaran uang atau kualitas uang adalah dipengaruhi oleh reaksi tingkat nilai mata uang; sebaliknya, kenaikan atau jatuhnya nilai mata uang dipengaruhi oleh keadaan internal moneter negara”.

Daya beli atau paritas daya beli adalah satu isu yang terjadi disebabkan oleh reaksi tingkat nilai mata uang. Sejalan dengan kurs mata uang yang kurang


(13)

menguntungan (depresiasi yang berterusa dianggap sebagai satu nilai yang kurang menguntungkan), ekonomi negara dapat tertekan dan memunculkan pengaruh lebihan (spillover effects) negatif yang membebani ekonomi dalam negeri. Dalam konteks

saat ini, sebagai contoh tentang kenaikan harga minyak dunia, jika harga Bahan Bakar Minyak (BBM) didalam negeri tinggi yang disebabkan lemahnya nilai Rupiah maka nilai dollar AS yang tinggi tersebut menjadikan harga BBM dalam negeri semakin tinggi dimana harus disesuaikan dengan situasi internasional yang terjadi.

Untuk mencegah pengaruh-pengaruh negatif kenaikan harga tersebut, pemulihan stabilitas mata uang merupakan suatu hal yang penting. Kerugian yang disebabkan jatuhnya nilai mata uang hampir tidak dapat dihindarkan dalam keadaan mata uang yang tidak stabil. Disamping itu ketidak stabilan mata uang dianggap sebagai salah satu determinan yang secara serius dapat melemahkan mekanisme produktif ekonomi suatu negara.

Banyak alasan mengapa pemerintah menjaga kestabilan nilai mata uangnya dan tidak membiarkan mata uangnya mengambang secara bebas pada perdagangan mata uang internasional. Tujuannya jika terjadi gangguan-gangguan yang diakibatkan depresiasi, maka ketidak seimbangan dalam negeri dapat diminimumkan dan keadaan ini tidak akan berlangsung lama.

Goldstein (1980) menyatakan bahwa : kurs fleksibel (mengambanng) akan mengakibatkan terjadinya diferensial inflasi antar negara (intercountry inflation differentials) yang menyebabkan banyak negara berkembang terkena dampak inflasi


(14)

dan depresiasi tersebut sehingga masuk kedalam lingkaran kemiskinan sementara bagi negara maju semakin makmur.

Berdasarkan pengalaman akselerasi inflasi dan depresiasi kurs membawa pakar-pakar ekonomi untuk meneliti dan membuka kembali pengalaman tersebut ke dalam penelitian lingkaran kemiskinan. Bond (1980) misalnya memasukkan pengalaman itu dalam hipotesis kemiskinannya, dimana menurut beliau, dalam bentuk paling sederhana, menyatakan bahwa dalam satu dunia dengan kurs pertukaran mengambang, satu gangguan awal (apakah datang dari dalam negeri ataupun luar negeri) dapat menyebabkan satu proses kumulatif bergerak inflasi dan depresiasi kurs mata uang, dimana melalui proses ini pengaruh-pengaruh kurs itu secara cepat digerakkan ke dalam bentuk biaya upah dan harga relatif barang dalam negeri dan seterusnya digerakkan kembali kepada nilai mata uang. Begitu sebaliknya, apakah apresiasi kurs dan stabilitas harga menjadi satu justifikasi bagi lingkaran

kemakmuran (virtous circle).

Disebabkan terjadinya depresiasi mata uang, Edwards and Santaella (1993) mengklasifikasikan episode devaluasi yang sukses dan tidak sukses bagi 48 negara membangun diantara 1954-1971, dimana Indonesia dikelompokkan sebagai satu negara yang tidak berhasil dalam mendevaluasi mata uangnya. Jika pengelompokan tersebut masih berlaku sampai sekarang, maka Indonesia perlu memikirkan cara-cara “lebih baik” untuk membuat Rupiah pada tingkat kurs yang kompetitif (dapat berdaya saing).


(15)

Dalam hal ini penulis ingin menganalisis tentang nilai tukar. Isu-isu khusus yang ingin penulis ajukan adalah bagaimana kita dapat mengetahui tentang nilai tukar riil sebagai bagian dari makroekonomi, Model konvensional dari nilai tukar riil adalah nilai tukar yang diikuti dengan menerapkan Paritas daya beli dalam jangka panjang. Purchasing Power Parity (PPP) menyatakan bahwa harga pada satu jenis

barang harus sama diseluruh negara jika dievaluasi dengan kurs secara umum dan rasio harga-harga diluar negeri terhadap harga-harga didalam negeri (nilai tukar riil) harus stabil dari waktu ke waktu. Nilai kurs mata uang Rupiah yang terdepresiasi secara terus menerus, pada akhirnya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini mempertimbangkan beberapa indikator dasar berdasarkan pada laporan IFS di negara–negara lain yaitu AS, dimana Amerika sendiri dijadikan perbandingan karena mata uang dollar AS adalah benchmark bagi mata uang dunia.

Selanjutnya dalam penelitian ini adalah difokuskan pada penyimpangan (deviation) dari Paritas daya beli (PPP) yang disebabkan oleh harga yang berlaku

pada mata uang luar negeri (buyer’s currency).

Berdasarkan uraian diatas, maka judul tesis ini adalah Analisis Pemberlakuan Purchasing Power Parity pada Mata Uang Rupiah (Indonesia) terhadap Dollar Amerika.

1.2. Perumusan Masalah


(16)

a) Berapa besar pengaruh tingkat inflasi terhadap penerapan Purchasing power

parity?

b) Berapa besar pengaruh tingkat suku bunga terhadap penerapan Purchasing

power parity?

c) Berapa besar pengaruh jumlah penawaran uang terhadap penerapan

Purchasing power parity?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah:

a) Untuk menganalisa pengaruh tingkat inflasi terhadap penerapan Purchasing

Power Parity.

b) Untuk menganalisa pengaruh tingkat suku bunga terhadap penerapan

Purchasing Power Parity.

c) Untuk menganalisa pengaruh jumlah penawaran uang terhadap penerapan

Purchasing Power Parity.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang antara lain adalah:

a) Sebagai bahan pertimbangan bagi otoritas moneter cq Departemen Keuangan dalam menetapkan kebijakan fiskal, yakni tingkat suku bunga untuk mendukung berjalannya mekanisme perekonomian.


(17)

b) Menjadi sumbangan pemikiran dan menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui pengujian penerapan Purchasing

Power Parity dari mata uang Rupiah terhadap dollar Amerika.

c) Diharapkan bermanfaat bagi penelitian selanjutnya untuk melihat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penerapan PPP di Inonesia.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Paritas Daya Beli (PPP)

2.1.1. Definisi PPP

Paritas Daya beli adalah satu teori determinasi kurs. Hal ini memperlihatkan (dalam bentuk paling umum) bahwa kurs berubah diantara dua mata uang selama periode waktu tertentu ditentukan oleh perubahan pada harga relatif dua negara (inflation theory of exchange rate). Karena teori ini memfokuskan pada

perubahan-perubahan tingkat harga yang disebabkan determinan yang ada (overriding

determinant) pada pergerakan mata uang, keadaa in juga dikenal dengan ”Inflation

theory of exchange rates”

Penerapan teori PPP mempunyai keadaan yang sama pada sejarah pemikiran ekonomi dan dalam kebijakan ekonomi, hal ini mungkin digolongkan sebagai teori kuantitas uang: oleh penulis yang berbeda dan pada waktu yang berbeda, teori ini mengutamakan satu persamaan, satu kebenaran (trusm), satu peraturan empirikal,

atau mungkin mempunyai simplifikasi yang membingungkan. Teori ini masih kontroversial, namun masih terdapat kesempatan untuk mengetahui dan manfaat pada PPP namun tidak dapat dianggap sebagai deksripsi yang tepat dalam menggambarkan satu nilai mata uang (exchange rate behaviour).


(19)

Pada satu sisi analogi dari Tenaga kerja (TKI) khususnya membantu menerangkan pengaruh-pengaruh gangguan moneter (monetary disturbances).

Namun pada sisi lain, TKI tidak dapat menerangkan secara tepat kapan gangguan-gangguan tersebut bersifat moneter misalnya, dalam hal menerangkan hyperinflation,

perubahan-perubahan pada tingkat yang diperkirakan (expected rate) inflasi mampu

menciptakan pergeseran-pergeseran yang sistematik pada kecepatan yang akan mempengaruhi hubungan uang dan harga. Dalam situasi yang sama, gangguan moneter mengakibatkan pergeseran nilai mata uang yang setidak-tidaknya ini dapat melihat perubahan-perubahan pada tingkat harga relatif terselaras nilai pertukaran (exchange rate-adjusted relative price level) atau “nilai tukar riil”. Hal ini adalah

benar bahwa ketika ekonomi, yang disebabkan satu gangguan moneter besar, telah kembali normal, perubahan-perubahan kumulatif pada uang, harga, dan nilai mata uang akan cenderung sama atau setidak-tidaknya mendekati keadaan normal. Dalam hal ini, PPP diterima. Namun keadaan yang sama mungkin tidak berlaku sama sekali yang disebabkan gangguan tersebut.

Pada jangka panjang, sama seperti perubahan pada pendapatan riil atau innovasi finansial yang mampu menyebabkan perubahan pada kecepatan yang mampu menunjukkan hubungan antara penawaran uang dan harga, disamping itu menyebabkan tren-tren deviasi PPP: diferensial pertumbuhan produktivitas diantara negara-negara, misalnya, membawa perubahan pada nilai tukar riil (real exchange


(20)

Secara umum, perdagangan internasional dalam bentuk pertukaran barang dan jasa dan juga perdagangan internasional yang melibatkan keluar (outflow) dan masuk

(inflow) permintaan dan penawaran mata uang asing. Permintaan dan penawaran mata

uang asing diukur dengan Paritas daya beli (Purchasing Power Parity (PPP). “The

absolute version of PPP relates the exchange rate of the foreign currency in term of

domestic currency to overall price levels in the domestic and foreign country”. Nilai

PPP absolut menghubungkan kurs mata uang asing dalam bentuk mata uang dalam negeri dibanding dengan tingkat harga keseluruhan di dalam negeri dan di luar negeri.

2.1.2. Pengukuran PPP

Paritas Daya Beli (PPP) adalah satu konsep penting dan sering dibicarakan dalam pembahasan keuangan internasional. PPP merupakan isu utama pada teori nilai mata uang. Menurut teori PPP, the dollar price of a basket of goods and services in

the United States should be the same as the dollar price of a basket of goods and

services in any country, in Mexico, Japan, or the United Kingdom (Cecchetti, 2006:

237). Jelas sekali, pernyataan ini menunjukkan bahwa harga dolar pada barang dan jasa di Amerika Serikat seharusnya sama seperti harga dolar pada barang dan jasa di negara manapun. Jika kita ambil kedalam kasus Indonesia, maka pernyataan ini berarti bahwa harga dollar barang di AS = harga dollar barang di Indonesia.

Dollar price of basket of goods in US

= 1………. (1)


(21)

Bagian sebelah kiri persamaan (1) menunjukkan kurs niali riil. Jadi, PPP

menunjukkan bahwa kurs adalah selalu sama dengan satu. Implikasi persamaan ini adalah bahwa daya beli satu dolar adalah selalu sama, tanpa memperhatikan dimanapun berada .

Hal tersebut tentu sangat tidak masuk akal. Satu dolar bahkan tidak dapat

membeli jumlah yang sama espresso, bagaimana mungkin dollar dapat memiliki daya beli yang sama selama-lamanya, disetiap negara di seluruh dunia?. Sudah tentu tidak dalam kasus jangka pendek, tetapi dalam jangka panjnag, selagi kurs cenderung bergerak, konsep ini dapat membantu kita untuk memahami perubahan-perubahan daya beli yang berlaku dalam beberapa tahun.

Sebagaimana disebutkan bahwa teori paritas daya beli menyatakan bahwa barang atau kuantitas barang di dalam negeri (di Amerika Serikat) harus dijual dengan harga yang sama di negara lain (di Indonesia) bila diukur dalam satu mata uang umum (dollar). Sebagai contoh, di AS (dalam negeri) harga 1 kg mangga adalah

P dan di Indonesia (luar negeri) harga 1 kg mangga adalah Pf. Maka dengan

menggunakan tanda harga (indeks harga) ini dan menunjukkan nilai kurs (ditandakan dengan S) di antara kedua negara tersebut, maka PPP dituliskan sebagai berikut:

P = SPf…………...………...(2)

Persamaan ini menerangkan bahwa harga dollar barang di dalam negeri (di AS) sama dengan harga barang di luar negeri (di Indonesia) dalam bentuk mata uang asing (Rupiah) dikalikan jumlah dolar per mata uang asing (nilai kurs).


(22)

Dalam perkembangannya, Hallwood dan MacDonald (2000) menyatakan bahwa paritas daya beli telah digunakan sebagai satu teori tingkat harga relatif mata uang; artinya PPP mencirikan bahwa jika harga berubah di dalam negeri tetapi ini

tidak di luar negeri, maka nilai kurs seharusnya juga berubah. Misalnya, satu versi “pendekatan moneter ke atas nilai kurs ” telah menggunakan PPP secara meluas sebagai satu teori kurs pertukaran mata uang dengan menyusun kembali persamaan (2) sebagai berikut.

S = P/Pf …...………..……….(3)

Sebagai gambarannya, ketika harga dalam negeri naik, dimana istilah umumnya kita kenal dengan inflasi. Dengan segala pengaruhnya, inflasi dalam negeri yang terjadi (diandaikan inflasi adalah tidak berlaku di negara lain), maka seperti dikutip dari Cecchetti (2006) bahwa perubahan harga tersebut akan menciptakan apa yang disebut dengan satu diferensial inflasi internasional (international inflation

differential). Jadi, PPP menunjukkan kepada kita secara langsung bahwa perubahan

nilai kurs (exchange rates) berhubungan dengan perbedaan-perbedaan inflasi yang

berlaku dari satu negara ke satu negara lain. Khususnya, Cecchetti (2006) menyatakan bahwa satu mata uang dalam negeri yang menghadapi inflasi tinggi mungkin akan mengalami depresiasi.

Menurut pandangan Cassel deviasi-deviasi dari PPP yang kecil akan menyebabkan perubahan-perubahan pada neraca perdagangan dan kebijakan yang cepat untuk menggerakkan harga awal ke dalam landasan internasionalnya. Tetapi reversi (pengembalian) ke arah PPP ini sering tidak dapat dilakukan dengan cepat dan


(23)

deviasi PPP lebih cenderung mengarah ke bentuk pola yang berulang (the pattern of

swing) yang didasarkan pada daya saing (competitiveness) eksternal negara.

Perubahan-perubahan pada daya persaingan selanjutnya telah mencirikan pola-pola yang luas (large swings) neraca perdagangan ekternalnya, pada output dan pekerjaan

(employment) di dalam sektor industri (traded-goods sector). Perubahan-perubahan

pada kurs pertukaran yang menyimpang dari PPP pada waktu yang bersamaan mempengaruhi garis inflasi (the path of inflation) suatu negara: depresiasi menaikkan

inflasi, dan apresiasi memperkecil inflasi. Pengaruh-pengaruh disparitas daya beli tersebut menjadi nilai mata uang adalah satu hal penting pada kebijakan makroekonomi.

Freedman (1991) menyebutkan bahwa istilah kebijakan kurs mata uang agak susah untuk didefinisikan, Karena terfokus pada variabel-variabel yang akan dipengaruhi oleh berbagai macam kebijakan, dan bukan hanya dipengaruhi oleh kebijakan kurs mata uang itu sendiri. Terdapat unsur-unsur kebijakan−misalnya sistem kurs, kebijakan moneter, dan kebijakan intervensi yang dilaksanakan otoritas keuangan yang secara langsung dapat mempengaruhi kurs pertukaran mata uang.

Intervensi-intervensi yang dilakukan mungkin tidak berhasil mencapai tujuannya disebabkan sistem yang dilaksanakan dan karakter mata uang itu sendiri. Terdapat tiga sistem dasar dimana mata uang di seluruh dunia dapat diperdagangkan dan nilai mata uang dapat ditentukan, diantaranya:


(24)

1. Otoritas keuangan mensyaratkan bahwa pertukaran setiap mata uang lokal (local currency) untuk satu mata uang asing hanya dapat dibuat melalui dan/atau pada satu agen resmi atau bank-bank yang berwenang pada satu tingkat kurs yang ditetapkan dan ditentukan oleh otoritas-otoritas keuangan negara.

2. Otoritas keuangan kemungkinan besar membuat mata uang lokal untuk mendapatkan mata uang-mata uang asing berlaku dan dilaksanakan di pasar keuangan dimana kurs pertukaran itu sendiri ditentukan oleh permintaan dan penawaran tanpa melibatkan intervensi resmi untuk mempengaruhi kurs pasar tersebut.

3. Otoritas keuangan membuat mata uang berlaku di pasar dimana tingkat kurs ditentukan oleh permintaan dan penawaran, tetapi bank-bank pusat atau otoritas keuangan yang lain di negara-negara yang mata uang mereka diperdagangkan dengan kesediaan dan kerelaan mereka sendiri bersedia untuk membeli dan menjual (dalam arti lain ikut memberikan intervensi) mata uang-mata uang yang diperdagangkan untuk maksud secara sengaja mempengaruhi tingkat kurs dalam pasar.

Berdasarkan keterangan butir (3) diatas bahwa tingkat kurs ditentukan oleh interaksi kekuatan pasar dan intervensi pemerintah. Penggunaan sistem pertukaran mata uang merupakan satu keputusan yang sangat fundamental−memilih satu sistem mata uang secara tepat dan benar dapat menjadikan kebijakan moneter lebih


(25)

kredibel−dimana secara ringkas dapat ditegaskan bahwa sistem kurs pertukaran dan kestabilan tingkat kurs mata uang lokal merupakan the central theme of the monetary

policy.

Kebanyakan pakar ekonomi yang melibatkan diri dengan kebijakan moneter menyadari dan mempertimbangkan bahwa kebijakan nilai mata uang asing sebagai satu bagian tak terpisahkan. Interaksi antara kebijakan moneter dan kebijakan nilai mata uang adalah sangat berhubungan dan dekat antara satu dengan lain. Kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan akan mempengaruhi keadaan moneter dalam negeri dan untuk mempengaruhi keadaan nilai mata uang. Einzig (1972) melihat bahwa “ukuran-ukuran yang mempengaruhi volume, daya beli, kecepatan peredaran uang atau kualitas uang dipengaruhi oleh reaksi tingkat kurs mata uang; sementara sebaliknya, kenaikan atau kejatuhan yang berarti dalam kurs mata uang adalah besar kemungkinan dipengaruhi oleh keadaan internal moneter negara”.

Jadi, aspek-aspek internal dan external yang mempengaruhi keadaan moneter negara adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai contoh tingkat harga dan nilai mungkin saling mempengaruhi satu dengan yang lain secara timbal balik. Jika tingkat harga di dalam negeri tinggi (katalah harga bahan bakar minyak (BBM) di

Indonesia adalah tinggi). Harga BBM yang tinggi ini mungkin disebabkan oleh Rupiah yang semakin lemah. Nilai dollar AS yang semakin tinggi menjadikan harga BBM dalam negeri mesti disesuaikan dengan situasi internasional yang berlaku (misalnya harga BBM di pasaran dunia dan tingkat kurs Rupiah terhadap dollar AS).


(26)

Kondisis ini menunjukkan bahwa aspek external juga memainkan peranan penting dalam mempengaruhi ekonomi dalam negeri. Untuk mengatasi ini sudah pasti tidak hanya instrumen moneter yang dilaksanakan tetapi instrumen-instrumen kebijakan lain juga dilibatkan untuk mengurangkan atau memelihara agar kenaikan harga BBM tidak semakin tinggi (semakin tinggi harga BBM, kemungkinan semakin tinggi tingkat inflasi).

Kebijakan moneter dan kebijakan kurs mata uang secara bersamaan dapat digunakan untuk memperbaiki situasi ekonomi internal (inflasi) yang disebabkan kenaikan harga tersebut dan memperbaiki posisi kurs pertukaran Rupiah terhadap Dollar AS. Sebagai tambahan, kebijakan moneter juga mungkin menggunakan berbagai macam instrumen non-moneter untuk mempengaruhi keadaan kurs, misalnya pidato kepresidenan atau penjaminan untuk menyakinkan pasar.

2.2. Inflasi

2.2.1. Pengertian Inflasi

Salah satu fenomena moneter yang sangat penting dan yang sering dijumpai di hampir semua negara di dunia adalah inflasi, secara ringkas definisi inflasi adalah “kecendrungan dari meningkatnya harga-harga yang terus menerus (Budiono, 1985). Adapun pengertian inflasi adalah suatu proses ketidak-seimbangan yang dinamis yaitu, tingkat harga yang terus menerus mengalami kenaikan selama periode tertentu (Nasution, 1997)


(27)

Pakar ekonomi Milton Friedman menyatakan bahwa inflasi merupakan bagian dari ekonomi moneter, seperti dijelaskannya dalam tulisan bahwa “inflasi selalu dan dimanapun merupakan fenomena moneter (Mankiw,2000).

Inflasi merupakan suatu kecendrungan meningkatnya tingkat harga umum secara terus-menerus sepanjang waktu (Venieris dan Sebold; 1978 dalam Nanga. 2001). Berhubungan dengan pengertian inflasi ini, mereka membedakan tingkat inflasi dan indeks harga. Tingkat inflasi adalah persentase perubahan didalam tingkat harga, sedangkan indeks harga itu sendiri adalah mengukur biaya dari sekelompok barang tertentu sebagai persentasi dari kelompok yang sama pada periode awal. Secara umum, dikenal ada tiga indeks harga (Nanga, 2001), yaitu:

- Indeks Harga konsumen (Consumer Price Index atau CPI)

Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah suatu indeks harga yang mengukur biaya sekelompok barang-barang dan jasa di pasar

- Indeks Harga Produsen (Producer Price Index atau PPI)

Indeks Harga produsen (IHP) adalah suatu indeks dari harga bahan-bahan baku (raw

material), produk antara (intermediate products), dan peralatan modal dan mesin

yang dibeli oleh sektor bisnis atau perusahaan. - GNP Deflator

GNP deflator adalah suatu indeks yang merupakan perbandingan antara antara GNP

nominal dan GNP riil dikaitkan dengan 100. GNP riil adalah niali barang-barang dan jasa yang dihasilkan didalam perekonomian, yang diperoleh ketika output dinilai dengan menggunakan harga tahun dasar. Oleh karena itu, GNP riil juga sering disebut


(28)

GNP berdasarkan tahun dasar, sedangkan GNP nominal adalah GNP yang dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku.

Analisis ekonomi dan kebijakan ekonomi terhadap inflasi sejak tahun 1970-an dapat dibedakan menjadi dua kelompok aliran, yakni Keynesian dan Moneterais, Prawirohardjo, 1988). Meskipun demikian dalam beberapa literatur juga disebutkan versi yang berbeda, dimana aliran inflasi dibagi menjadi; Klasik, Keynesian, Monetaris, dan Ekspektasi.

Teori Inflasi Klasik berpendapat bahwa tingkat harga ditentukan oleh jumlah uang beredar, yang dapat dijelaskan melalui hubungan antara nilai mata uang dengan jumlah uang, serta nilai uang dan harga. Bila jumlah uang bertambah lebih cepat dari pertambahan barang maka nilai uang akan merosot dan ini sama dengan kenaikan harga. Jadi menurut Klasik, Inflasi berarti terlalu banyak uang beredar atau terlalu banyak kredit dibandingkan dengan volume transaksi (Gilarso, 1986). Pendapat Klasik tersebut lebih jauh dapat dirumuskan sebagai berikut:

Inflasi = f (Jumlah uang beredar, Kredit)

Teori Klasik mengenai inflasi dapat dianalisis dalam kerangka teoritis kuantitas uang dengan menggunakan persamaan pertukaran (aquation of exchange),

MV = PY. Kaum Klasik mengasumsikan bahwa perekonomian berada dalam tingkat kesempatan kerja penuh (full employment), yang berarti variabel Y dalam persamaan

pertukaran adalah tetap. Selain itu, kaum klasik juga mengasumsikan variabel V adalah konstan. Dengan asumsi V dan Y yang tetap, maka kaum Klasik lebih jauh mengatakan bahwa kenaikan didalam jumlah uang beredar (Ms) akan menyebabkan


(29)

perubahan yang proposional dalam variabel tingkat harga (P). Dengan demikian penyebab timbulnya inflasi atau kenaikan harga menurut kaum Klasik adalah karena kenaikan atau pertumbuhan jumlah uang beredar. Dengan kata lain, inflasi menurut mereka gejala atau fenomena moneter.

Hal yang serupa juga dikemukakan oleh kaum Monetaris yang mengklaim inflasi itu sebagai fenomena moneter dan bahkan variabel kecepatan perputaran uang (V) itu adalah stabil dan konstant. Tetapi kaum monetaris berbeda dengan kaum Klasik dimana mereka mengatakan bahwa pertumbuhan jumlah uang beredar (Ms)

tersebut juga berpengaruh terhadap output dan kesempatan kerja. Jadi tidak berpengaruh terhadap tingkat harga (P) sebagaimana dikemukakan oleh kaum Klasik (Nanga, 2001)

Teori inflasi Keynes menyatakan bahwa kecepatan perputaran uang (V), merupakan sesuatu yang bersifat dapat berubah-ubah. Hal ini berbeda dengan kaum Klasik dan Monetaris yang menyatakan konstan. Karena V dapat berubah-ubah, maka apabila terjadi kenaikan jumlah uang yang beredar (Ms) tidak akan menyebabkan

perubahan didalam tingkat harga (P). Penekanan Keynes variabilitas output dan jangka pendek juga memberi kontribusi terhadap pandangan bahwa inflasi bukanlah murni sebagai fenomena moneter

Berbeda dengan kaum Klasik yang mengasumsikan perekonomian selalu

dalam kondisi full employment. Keynes sebaliknya mengatakan bahwa

pengangguraan dapat saja terjadi pada jangka panjang. Dengan adanya pengangguran, maka kenaikan dalam jumlah uang yang beredar (Ms) kecuali dalam kasus ekstrim


(30)

akan menyebabkan tingkat harga maupun tingkat output mengalami kenaikan. Dengan kenaikan output tersebut, kenaikan tingkat harga akan menjadi lebih kecil dari kenaikan di dalam jumlah uang beredar, meskipun kecepatan perputaran uang beredar itu konstan.

Didalam model Keynesian, jumlah uang yang beredar (Ms) hanyalah salah

satu faktor penentu tingkat harga. Namun didalam jangka pendek, terdapat banyak faktor lain menurut Keynesian yang mempengaruhui tingkat harga seperti pengeluaran konsumsi rumah tangga (c), pengeluaran pemerintah (G), pengeluaran investasi (I), dan pajak (T), menurut Edgman (987).

Seperti halnya dengan kaum Klasik dan Monetaris, para ahli ekonomi Keynesian kontemporer percaya bahwa inflasi merupakan fenomena moneter sehingga mereka menempatkan pengurangan laju pertumbuhan jumlah uang beredar sebagai salah satu cara untuk mengurangi tingkat Inflasi.

Teori ekspektasi, menurut Dornbusch (1994) bahwa pelaku ekonomi membentuk ekspektasi laju inflasi berdasarkan ekspektasi adaptif dan ekspektasi rasional. Aliran Ekspektasi Rasional (Rational Expectation atau Ratex) adalah

ramalan optimal mengenai masa depan dengan menggunakan semua informasi yang ada. Pengertian rasional adalah satu tindakan yang logik untuk mencapai tujuan berdasarkan informasi yang ada, artinya secara sederhana teori ekspektasi dapat dinotasikan menjadi:


(31)

Inflasi sendiri didefinisikan sebagai kondisi apabila tingkat harga-harga dan biaya-biaya umum naik, harga bahan bakar minyak, dan sebagainya. Kebalikannya, adalah deflasi dimana harga-harga dan biaya-biaya secara umum menurun (Samuelson, 1989).

Sedangkan Lerner (Guanwan, 1991) mendefinisikan inflasi sebagai suatu keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan (excess demand) terhadap

barang-barang dalam perekonomian, secara keseluruhan dan terus menerus. Kelebihan permintaan tersebut dapat diartikan ganda yaitu, pengeluaran yang diharapkan terlalu banyak dibandingkan dengan barang yang tersedia, atau barang-barang yang tersedia terlalu sedikit bila dibandingkan dengan tingkat pengeluaran yang diharapkan.

Aliran Ekspektasi Rasional (Rational Expectation atau Ratex) juga

memandang inflasi sebagai fenomena moneter. Namun mereka juga percaya bahwa perubahan yang bersifat antisipasi didalam jumlah uang beredar hanya akan membawa dampak terhadap tingkat harga (P), dan tidak mempunyai pengaruh terhadap output (Y) dan kesempatan kerja. Pandangan kaum Ratex tentang inflasi, nampaknya lebih dekat dengan pandangan kaum Klasik daripada kaum Monetaris dan Keynesian. Karena teori Ratex percaya bahwa inflasi merupakan fenomena moneter, maka mereka juga mengatakan bahwa jumlah uang beredar merupakan kunci untuk mencapai stabilitas harga (Nanga,2001).


(32)

2.2.2. Hubungan Nilai Kurs, Tingkat Harga Relatif (Inflasi), dan Paritas Daya Beli (PPP)

Negara-negara dengan inflasi tinggi tidak dapat mentapkan nilai mata uang karena kerugian pada persaingan eksternal (external competitiveness) yang akan

membawa kepada satu defisit-defisit eksternal eksesif (excessive external deficits)

dan pengangguran besar (large unemployment). Jika kurs berfluktuasi dibiarkan

secara bebas, ini juga dapat dianggap tidak stabil, jawaban kebijakan yang selalu digunakan dalam memperbaiki pengaruh disperitas daya beli seperti disebutkan diatas adalah satu crawling peg (sandaran tetap). Pada satu sistem crawling peg, depresiasi

nilai kurs mengikut satu garis edar PPP hingga nilai kurs pertukaran konstan selamanya (lihat Williamson, 1965, 1982). Kebijakan tersebut adalah instrument yang dapat bersaing jika dibandingkan dengan menggunakan instrument lain yang ditujukan untuk satu devaluasi bertahap, namun bukan merupakan kebijakan yang tanpa mempunyai resiko, yakni karena dua alasan. Pertama, penetapan nilai mata

uang mungkin menjadi satu kebijakan yang buruk ketika gangguan-gangguan menyebabkan depresiasi. Kedua, terdapat satu tradeoff/tukar-ganti diantara stabilitas

nilai kurs pertukaran dengan kestabilan harga. Satu kebijakan yang diakomodasikan untuk memperbaiki gangguan biaya (cost disturbance) dan gangguan harga (price

disturbance) dengan satu instrumen untuk mengimbangi depresiasi mungkin dapat

mengeser kestabilan harga (Dornbusch, 1982).

Isu-isu paritas daya beli juga termasuk pada pembahasan kebijakan nilai mat uang ketika satu negara berusaha memperoleh manfaat dan keuntungan-keuntungan


(33)

makroekonomi dengan melaksanakan satu kebijakan yang ditujukan untuk mengeluarkan nilai mata uang dari PPP. Perhatikan uraian berikut. Satu depresiasi menggambarkan tanggapan untuk mendapatan keuntungan persaingan internasional dan mengalihkan atau mengerakkan tingkat pekerjaan ke negara yang mengalami depresiasi itu. Pada dekade 1930an, ia dikenal dengan satu istilah kebijakan “

beggar-thy-neighbour”, dan pasca PD II, ia menjadi “export-led growth”. Sebaliknya, satu

kebijakan apresiasi, memperlihatkan cara-cara untuk mengurangkan tekanan-tekanan inflasi ketika tingkat kenaikan harga barang-dagangan (industri) sengaja didorong di bawah tingkat inflasi yang berlaku.

Pengaruh disparitas daya beli tersebut dapat dilihat melalui dana segar (easy money), pada jangka pendek dan menengah. Digunakan untuk mendepresiasikan nilai

kurs mata uang dan oleh karena itu, dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Kebijaksanaan ini lebih efektif dan lebih tahan lama; semakin kaku (sticky) terhadap

upah dan semakin kecil hubungan antara upah, harga, dan kurs pertukaran. Sebaliknya, dalam satu ekonomi yang kuat—dan khususnya, dengan mengandaikan ujudnya pengaruh nilai kurs pertukaran pada indeksasi—satu cobaan untuk memberi peluang pekerjaan melalui dana segar akan gagal karena depresiasi pertukaran mempercepat neraca upah dan inflasi harga.

Deviasi PPP juga telah digunakan sebagai satu disinflation policy (Fisher,

1984). Penetapan nilai mata uang atau kurs pra-umum depresiasi (preannounced rates


(34)

negara untuk menghentikan inflasi. Pengalaman yang ada hampir secara keseluruhan sangat mengecewakan dan buruk.

Depresiasi nilai tukar akan menyebabkan harga relatif meningkat. Nilai Kurs mata uang mengukur harga satu mata uang dalam bentuk mata uang lain. Dan sebagai satu bagian dari proses ekonomi, kurs mata uang mengintegrasikan diri ke dalam ekonomi perdagangan internasional. Artinya kurs mata uang mempunyai peranan dan/atau menjadi jembatan antara satu negara dengan negara lain dalam perdagangan dunia. Hallwood dan MacDonald (2000) menyatakan bahwa “the foreign exchange

rate acts as a bridge between a convertible currency and another convertible

currency at a rate of exchange”. Tambahan lagi, sering disebutkan bahwa fungsi dan

aktivitas perdagangan internasional yang tepat dan efektif memerlukan kurs yang stabil. Bahkan, otoritas keuangan di berbagai negara sering kali mencoba untuk mempengaruhi nilai relatif mata uang-mata uang mereka melalui intervensi nilai tukar dalam pasar uang.

Posisi competitiveness ekspor sesuatu negara mempengaruhi kebijakan mata

uangnya. Jika otoritas keuangan suatu negara merasa perlu untuk menaikkan penerimaan mata uang asing, maka satu pertanyaan bagaimana untuk dapat meningkatkan volume ekspor harus diteliti untuk menjawabnya. Jika suatu negara berkeinginan untuk menjadikan barang dan jasa buatan dalam negeri lebih kompetitif dalam pasar dunia, maka otoritas negara itu harus (misalnya permintaan mata uang asing adalah bersifat elastik terhadap harga) mengambil tindakan-tindakan untuk menetapkan satu kurs mata uangnya lebih rendah dibandingkan dengan mata uang


(35)

lain atau setidak-tidaknya membuat nilai mata uangnya terdepresiasi dalam pasar valuta asing.

Untuk memperbaiki pengaruh-pengaruh buruk inflasi dan untuk menaikkan daya saing (competitiveness) produk lokal, maka sesuatu negara dapat mencoba cara yakni dengan menurunkan harga barang di pasar luar negeri dan pada waktu yang sama menurunkan pada tingkat tertentu nilai mata uangnya sendiri. Cara tersebut mungkin dapat dilaksanakan melalui kebijakan kurs mata uang yang efektif dan kebijakan-kebijakan lain misalnya melalui kebijakan perdagangan, pajak, subsidi dan insentif-insentif lain yang ditujukan untuk menciptakan industri dalam negeri yang mampu berdaya saing dan lebih mapan.

Pada pembahasan sebelumnya kita melihat kebijakan moneter dan kebijakan nilai kurs adalah bersifat komprehensif dan saling menyatu dalam menggerakkan roda perekonomian secara makro didalam negeri. Dari aspek perdagangan internasional, interaksi kebijakan moneter dan kebijakan nilai kurs akan menyebabkan satu hubungan diantara permintaan dan penawaran uang yang menyebabkan satu perubahan pada kurs mata uang dalam negeri dan mata uang negara lain. Satu kewajiban pada otoritas keuangan dalam negeri melalui bank sentral akan berusaha mempengaruhi dan memperbaiki nilai mata uang dalam negeri, yang pada akhirnya akan mempengaruhi secara keseluruhan masalah ketidak-seimbangan


(36)

2.3. Penawaran Uang

2.3.1. Pengertian Penawaran Uang

Dalam perkembangan sejarah peradaban manusia, peranan uang dirasakan sangat penting. Hampir tidak ada satupun kehidupan ekonomi manusia yang tidak berhubungan dengan uang. Pengalaman menunjukkan bahwa jumlah uang beredar diluar kendali dapat menimbulkan konsekwensi atau pengaruh buruk terhadap perkembangan variabel-variabel ekonomi utama, yaitu tingkat produksi dan tingkat harga.

Pada awalnya, yang digolongkan dalam definisi uang hanyalah uang kartal (yang terdiri dari uang koin dan kertas) yang beredar di masyarakat. Kemudian dengan berkembangnya peranan bank, yang termasuk sebagai uang adalah uang kartal dan uang giral (demand deposit). Pekembangan jenis-jenis uang ini mengikuti perkembangan kebutuhan sarana pembayaran dan transaksi dalam perekonomian. Pada dasarnya, penggolongan berbagai jenis uang ini berdasarkan pada sifat likuid tidaknyua jenis uang tersebut. Uang tergolong dalam aktiva yang memiliki sifat likuid yang sangat tinggi. Jenis uang yang tidak dapat dipakai sebagai alat tukar/transaksi secara seketika disebut sebagai dana terbatas.

Sehubungan dengan hal diatas, ada beberapa definisi uang yang terdapat dalam buku teks bidang moneter. Beberapa cara penggolongan atau pendefinisian uang antara lain terdapat pada buku Money and Banking (Dudley Lucket). Didalam buku tersebut terdapat lima definisi uang, yaitu:


(37)

- M1 = uang menurut definisi tradisional, yaitu semua koin, uang kertas yang beredar, dan uang giral yang disesuaikan, yaitu deposit inter bank, deposit pemerintah, dan uang tunai dalam proses pengumpulan dalam kategori transit

- M2 = M1 ditambah time deposit pada bank komersil

- M3 = M2 ditambah deposit dari bank tabungan mutual, tabungan, dan bagian dari utang dan kredit

- M4 = M2 ditambah sejumlah serifikat deposito yang dapat dinegosiasikan - M5 + M3 ditambah sejumlah sertifikat deposit yang dapat dinegosiasikan Dalam melaksanakan kewajibannya, otoritas moneter memiliki kewajiban sistem moneter yang terdiri atas mengeluarkan uang kartal (Currency), yakni uang

kertas dan uang logam yang diedarkan oleh Bank Indonesia, ditambah dengan uang giral (demand deposit) yaitu sipanan giro masyarakat, pengertian tersebut disebut

juga dengan uang beredar dalam arti sempit (M1). Kewajiban yang meliputi M1 plus

uang kuasi (quasy money) yang terdiri dari deposito berjangka dan tabungan yang

dimiliki oleh sektor swasta domestik pada bank-bank umum disebut uang beredar dalam arti luas (M2 ) atau likuiditas perekonomian (Pratomo, 2003)

Peningkatan uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi tingkat yang diharapkan sehingga dalam jangka penjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, apabila peningkatan uang beredar sangat rendah, maka kelesuan ekonomi akan terjadi. Menurut Suseno (2002) apabila hal ini terus menerus terjadi, kemakmuran masyarakat secara keseluruhan pada


(38)

gilirannya akan mengalami penurunan. Kondisi tersebut antara lain melatar belakangi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas moneter suatu negara dalam mengendalikan jumlah uang beredar.

Dalam literatur dikenal dua jenis kebijakan moneter, yaitu kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan moneter ekspansif adalah kebijakan moneter yang ditujukan untuk mendorong kegiatan ekonomi, yang antara lain dilakukan melalui peningkatan uang beredar. Sebaliknya, kebijakan moneter kontraktif adalah kebijakan moneter yang ditujukan untuk memperlambat kegiatan ekonomi, yang antara lain dilakukan melalui penurunan uang beredar.

Untuk menjaga kestabilan nilai mata uang, Bank sentral sebagai pemegang otoritas moneter diberikan beberapa wewenang dalam melakukan tugasnya. Pertama adalah tugas dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk mengendalikan uang beredar dan suku bunga dalam perekonomian agar dapat mendukung pencapaian tujuan kestabilan nilai uang tidak boleh dilakukan secara ketat dan berlebihan karena akan mempersulit dan menyebabkan aktivitas ekonomi menjadi terkendala dan lesu. Sebaliknya, pengendalian uang beredar dan suku bunga tidak boleh terlalu longgar karena akan menyebabkan tidak terpeliharanya kestabilan nilai uang yang akan mendorong merosotnya kepercayaan masyarakat dan mempersulit perencanaan bisnis para pengusaha. Hasil analisa dan pemantauan yang dilakukan oleh bank sentral kemudian akan digunakan dalam melaksanakan kebijakan moneternya baik melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga


(39)

2.3.2. Pengaruh Pengenaan Pajak di Dalam Negeri terhadap Jumlah Penawaran Uang

Setelah pengenaan pajak, terdapat kecenderungan bahwa suku bunga naik di Amerika Serikat dibanding dengan apa yang berlaku di Indonesia. Beberapa warga Amerika yang telah membeli aset-aset Indonesia sebelumnya, sekarang akan berharap dan mengkehendaki untuk menjual aset tersebut dan menukarkan kepada aset-aset AS yang sama (dengan hasil lebih tinggi). Warga AS ini akan menjual aset-aset-aset-aset Indonesia mereka untuk mendapatkan Rupiah dan menggunakan Rupiah itu untuk membeli dollar diperlukan bagi pembelian aset-aset AS berdenominasi dollar. Keadaan ini akan meningkatkan penawaran Rupiah. Juga, kita memperkirakan bahwa banyak investor Indonesia akan berharap dan mengkehendaki untuk menukar investasi AS bagi investasi Indonesia. Para investor ini mesti menukarkan Rupiah ke dalam dollar; penawaran Rupiah (dari Indonesia) naik. Gambar 1 menunjukkan bahwa satu peningkatan dalam penawaran Rupiah, oleh AS dan Indonesia berlaku pada setiap kurs; penawaran Rupiah naik dari S ke S1.


(40)

Harga Rupiah (Dollar/ Rupiah)

S

0.010 S1

0.008

D

D 0 Q Q1 uantitas Rupiah Yang ditawarkan

Gambar 2.1. Peningkatan Penawaran Rupiah.

Jika setelah pajak, suku bunga di Amerika Serikat naik dibandingkan dengan di Indonesia, maka penawaran Rupiah akan meningkat dari S ke S1. Pada kurs

sebelumnya satu kelebihan Rupiah wujud. Para pemasok Rupiah (di Indonesia dan AS) yang ingin membeli aset-aset berdenominasi dollar AS akan bersaing satu sama lain dan menerima satu harga dollar bagi setiap Rupiah yang lebih rendah. Dengan demikian, Rupiah akan mengalami depresiasi berbanding dengan dollar.

Pada keseimbangan nilai mata uang sebelumnya, satu kelebihan Rupiah terjadi; AS dan Indonesia bersaing untuk menukarkan Rupiah ke dalam dollar harus


(41)

menerima jumlah kuantitas lebih kecil dollar bagi setiap Rupiah. Keseimbangan kurs jatuh; Rupiah mengalami depresiasi terhadap dollar. Kita mesti menyadari bahwa analisis ini menggambarkan bagaimana kurs ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Bagaimanapun, sering berlaku dalam kasus-kasus dimana bank sentral menentukan kurs bagi mengkontrol kurva permintaan dan penawaran mata uangnya.

2.4. Tingkat Suku Bunga

2.4.1. Definisi Tingkat Suku Bunga

Tingkat suku bunga didefinisikan sebagai suku bunga yang dikenakan oleh perbankan pada pinjaman dikurang suku bunga yang dibayarkan perbankan pada deposito. Hal ini merupakan margin (selisih) antara biaya dalam memobilisasi liabiliti (deposito-deposito pada perbankan) dan hasil penerimaan pada aset (pinjaman-pinjaman yang diberikan perbankan). Sudah tentu perbankan melaksanakan pendekatan MR > MC untuk menjaga kesolvenan bank; berlaku satu perhubungan positif suku bunga, semakin positif suku bunga, semakin besar pembiayaan yang diberikan perbankan domestik (Hanson dan Rocha, 1986); (Miller dan Hoose, 1993) dan (Siregar, 2004). Tingkat suku bunga berhubungan dengan inflasi; ini kerana tingkat suku bunga merupakan tujuan hasil pengurangan antara tingkat suku bunga deposito dan tingkat inflasi. Tingkat suku bunga (disesuaikan dengan perkiraan inflasi) mempengaruhi kemudahan masyarakat kepada institusi-institusi keuangan (penyedia jasa keuangan) dan selanjutnya membawa pengaruh signifikan pada tingkat


(42)

deposito. Oleh sebab itu, tingkat suku bunga yang semakin tinggi akan meningkatkan mobilisasi dana dalam masyarakat (Fry, 1988); (Kidwell et al, 1997) dan (Mishkin, 2004).

2.4.2. Teori Suku Bunga

Menrurut pandangan Keynesian, salah satu kunci terpenting yang menentukan efektifitas kebijaksanaan moneter adalah tingkat bunga. Kebijakan moneter tidak berjalan apabila kenaikan likuiditas (yang diakibatkan oleh ekspansi money supply)

tidak menurunkan tingkat bunga atau penurunan likuiditas tidak menaikkan tingkat bunga. Wealth effect dari kebijakan moneter yang dikemukakan oleh Keynesian

Modern juga bekerja melalui tingkat bunga (secara tidak langsung) dimana semakin tinggi tingkat bunga maka semakin rendah harga-harga surat berharga dan sebaliknya. Perubahan-perubahan kesejahteraan atau wealth sendiri belum tentu mempunyai

pengaruh berarti terhadap pengeluaran. Tetapi jika suatu ekspansi kebijakan moneter (peningkatan jumlah uang beredar) disertai oleh wealth effect maka tingkat bunga

dipastikan turun.

Tetapi kaum Monetaris tidak memandang bahwa tingkat suku bunga surat-surat berharga ini sebagai jalur utama proses transmisi antara perubahan money

supply dan spending. Kaum monetaris mengatakan jika tingkat bunga tidak

mengalami perubahan sama sekali, dan menujukkan suatu kebijiakan moneter yang sangat kuat sebab dianggap seluruh perubahan likuiditas itu dibelanjakan secara langsung kepada barang-barang dan jasa.


(43)

Sementara itu Milton Friedman berpendapat bahwa suatu kebijakan moneter yang ekspansif (menaikkan jumlah uang beredar) akan menaikkan tingkat bunga, dan sebaliknya kebijakan moneter yang kontraktif (mengurangi jumlah uang beredar) akan menurunkan tingkat bunga. Dalam hal ini Friedman menjelaskan bahwa apabila terjadi peningkatan money suply maka pertama-tama akan menurunkan tingkat bunga, jika kenaikan likuiditas itu dibelanjakan untuk assets keuanganl. Tetapi penurunan tingkat suku bunga itu hanya pada awalnya saja dan selanjutnya apabila GNP merespon money supply (yang seharusnya terjadi menurut kaum monetaris),

maka permintaan akan uang (money demand) untuk keperluan transaksi juga akan

meningkat dan kemudian akan menaikkan tingkat bunga (Iswara dan Nopirin, 1986) Namun demikian sebagian kaum monetaris dan keynesian sepakat bahwa, kebijakan moneter yang ekspansif (menambah jumlah uang beredar) akan menurunkan tingkat bunga. Masalahnya adalah berapa lama jangka waktu awal tersebut. Tingkat bunga akan naik melampui tingkat ekuilibriumnya (keseimbangan) semula, apabila real spending itu sangat sensitif terhadap penurunan tingkat bunga dan inlationary expectation itu sangat luas berdasarkan atas kenaikan money sipply. Dengan demikian, tingkat bunga itu bisa naik atau bisa juga turun pada beberapa waktu setelah adanya suatu kebijakn moneter yang ekspansif.

Sementara dalam teori kuantitas uang, kaum klasik berpendapat bahwa tingkat bunga merupakan hasil interaksi antar tabungan (S) dan Investasi (I). Namuin menurut pandangan Keynes bahwa tingkat bunga merupakan suatu fenomena


(44)

moneter. Artinya, tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan akan uang (ditentukan dalam pasar uang).

2.4.3.

Hubungan Tingkat Suku Bunga dan PPP

Terdapat satu hubungan diantara kurs bunga nominal dan kurs depresiasi diantisipasi (anticipated rate of depreciation), dimana diberikan oleh persamaan

ekonomi terbuka Irving Fisher:

i = i* + x ... (4)

dimana i dan i* adalah tingkat suku bunga di dalam negeri dan di luar negeri dan x adalah kurs depresiasi mata uang sendiri (home country) yang telah diantisipasi.

Tambah dan kurang tingkat inflasi diantisipasi (anticipated inflation rate) pada

kedua-dua bagian kiri dan kanan persamaan ini, dimana ia menghasilkan satu persamaan dalam bentuk tingkat suku bungar atau kadar bunga penyesuaian infasi (inflation-adjusted interest rate):

r* = r + R/R ... (4a)

Paritas tingkat suku bunga (real interest parity), menurut (1a) berlaku dan

merupakan suatu hal lazim jika diferensial tingkat suku bunga adalah sama dengan nilai kurs yang diprediksi apresiasi R/R. Dari kondisi paritas bunga ini, nampak jelas bahwa dibawah PPP absolut, kurs nilai pertukaran adalah konstan. Dalam ketidak ada hambatan aliran modal (restriction on capital flows), tingkat suku bunga haruslah secara tegas disamakan antar negara.


(45)

Persamaan paritas tingkat suku bunga mempunyai dua implikasi menarik. Pertama, hubungan diantara tingkat nialai mata uang kebijakan moneter. Misalnya bahwa dalam satu konteks makroekonomi jangka menegah, disebabkan satu gangguan, nilai tukar aktual hanya menyesuaikan secara bertahap kepada tren tingkat R berdasarkan pada proses: R/R = (1/a)(R -R). Disini 1/a adalah kecepatan penyesuaian (speed of adjustment), dimana diantaranya bergantung pada tingkat atau

seberapa jauh kekakuan (rigidity atau stickeness) harga dan upah. Dengan

mencantumkan proses ini dengan (4a), maka akan menghasilkan suatu persamaan keseimbangan pertukaran kurs (the equilibrium real exchange rate):

R=R +a(r–r*) ... (5)

Hasil keputusan ini bahwa ketika tingkat suku bunga di dalam negeri lebih besar dari yang di luar negeri, maka nilai mata uang akan terapresiasi dibandingkan dengan nilai trennya. Satu kebijakan moneter ketat (a tightening of monetary polisi),

dengan menaikkan tingkat suku bunga, selanjutnya berpengaruh kepada satu apresiasi (transitori). Persamaan (2) dari model dinamik Mundell-Fleming menerangkan

pergerakan-pergerakan nilai mata uang pada jangka panjang secara bertahap akan kembali kepada keadaan normal ( keadaan awal ).

Implikasi kedua persamaan (4a) digambarkan oleh perbedaan (distinction)

traded goods (barang industri)-nontraded goods (barang jasa) mempunyai implikasi

bagi kurs tukaran benar. Jika hukum satu harga dilaksanakan bagi barang-barang traded dan indeks harga di kedua negara adalah sama. Maka, sebagaimana pada


(46)

pertanyaan sebelumnya, kurs pertukaran adalah sama dengan harga relatif nontraded

goods (dalam satu mata uang umum) di kedua negara. Penyimpangan-penyimpangan

struktural seperti diferensial pertumbuhan produktivitas atau perubahan-perubahan

pada permintaan agregat akan mempunyai satu dampak sistematik pada harga relatif barang-barang nontraded dan oleh sebab itu diferensial tingkat suku bunga (real

interest rate differentials). Khusunya, negara dengan tingkat pertumbuhan

produktivitas lebih tinggi mempunyai satu harga relatif barang dalam negeri yang semakin meningkat, dan mempunyai satu tingkat suku bunga lebih rendah.Contoh lain, satu negara dimana permintaan agregatnya tinggi (transitori) mempunyai satu

harga dalam negeri yang tinggi tetapi kemudiannya jatuh. Dalam keadaan tersebut, tingkat suku bunga adalah tinggi jika dibandingkan di luar negeri. Oleh sebab itu, penyimpangan-penyimpangan dari PPP yang berlaku, jangka pendek atau kecendrungan, menunjukkan satu keseimbangan diferensial tingkat suku bunga internasional.

Deviasi-deviasi PPP mempengaruhi diferensial bunga (interest differential)

dalam satu cara lain. Pada persamaan (4) kita mengandaikan risk-neutrality. Tetapi

sekali spekulator bersikap risk-averse diterima, kemungkinan bahwa pergerakan mata

uang dapat menyimpang dari PPP tegas (absolut), berpengaruh terhadap resiko portfolio dihubungkan dengan komposisi mata uang portfolio itu. Deviasi-deviasi PPP seterusnya adalah satu motif dasar bagi diversifikasi portfolio internasional. Satu premium risiko akan muncul, dan diantara determinan premium ini adalah


(47)

tambahan ketidakpastian kurs mata uang (perhatikan survei Branson dan Henderson, 1984).

2.5. Hipotesis Penelitian

Sehubungan dengan tujuan ini yang dinyatakan sebelumnya, penulis akan mengangkat dan berusaha sebaik mungkin untuk menggambarkan empat hipotesis berhubungan dengan depresiasi Rupiah. Empat hipotesis ini bersandarkan pada tinjauan literatur. Berdasarkan data yang tersedia, keputusan hipotesis-hipotesis tersebut akan dianalisis dalam bentuk regresi pada bab 4

1. Tingkat Inflasi berpengaruh positif dalam penerapan Purchasing Power

Parity, Ceteris paribus

2. Tingkat Suku Bunga berpengaruh positif dalam penerapan Purchasing Power

Parity, Ceteris paribus

3. Penawaran uang berpengaruh positif dalam penerapan Purchasing Power


(48)

2.6. Kerangka Konseptual

Nilai Tukar Mata Uang

Tingkat Suku

Bunga

Inflasi

Penawaran Uang (MS)

PPP (Purchasing Power Parity / Paritas Kekuatan Membeli

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Analisa Pengujian Pemberlakuan Purchasing Power Parity pada Mata Uang Rupiah terhadap dollar Amerika.

Dari gambar bagan kerangka konseptual diatas dapat dilihat bahwa Tingkat suku bunga dan Money supply, dan inflasi merupakan faktor yang dominan dalam mempengaruhi nilai tukar, dan perubahan nilai tukar akan berpengaruh terhadap PPP.

2.7. Penelitian Sebelumnya

Adapun penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat dijadikan bahan rujukan yang relevan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan referensi antara lain:


(49)

1. Morris Goldstein (June 1980) meneliti dampak Fleksibilitas nilai pertukaran kurs mata uang pada pelaksanaan kebijakan di negara-negara industri. Tujuannya adalah untuk meneliti pengalaman 1973-1979 dengan sistem keuangan mengambang (managed floating) dan tinjauan pustaka tersebut

berhubungan dengan kurs pertukaran fleksibel supaya dapat menentukan jika dan bagaimana tingkat fleksibel telah membuat kebijakan makroekonomi menjadi lebih sulit dilaksanakan.

2. Hariyanti (2001) dalam Hafer and Jasen (1991), Miller (1991), Hofman and Rsche (1992), dan Mc Nown and Wallace (1992) dengan menggunakan uji kointegrasi dari Engle-Granger dan Metode Johansen menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar baik M1 maupun M2

dalam jangka panjang saling memiliki hubungan, akan tetapi secara umum M1

tidak berkointegrasi dengan tingkat suku bunga, sedangkan M2 berkointegrasi.

Didukung dengan argumen yang dilakukan oleh Miller M2 merupakan salah

satu faktor yang menentukan kebijaksanaan moneter, sehingga hubungan antara tingkat suku bunga terhadap jumlah uang beredar menunjukkan kestabilan permintaan uang dalam jangka panjang.

3. Hiroki Tsurumi, Chyong L.Chen, JEI, 13(2) pengujian: Suatu kasus nilai tukar mata uang Dollar Taiwan.Dari Juli 1978 hingga April 1989, Taiwan mengadopsi satu sistem nilai mata uang yang membolehkan fluktuasi dengan satu band yang terbatas (narrow band) kursnya. Dengan menggunakan data bulanan kurs dollar Taiwan/dollar AS, menunjukkan bahwa inference


(50)

(kesimpulan) pada hipotesis PPP adalah sensitif dipertimbangkan dari apakah menggunakan double truncation dan autoregresif ataupun menggerakkan

average error terms ke dalam model regression. PPP mempunyai satu akar

unit (unit root). Dengan menggunakan augmented Dickey-Fuller test (ADFT)

termasuk augemnted point optimal test (APOT). APOT test disarankan oleh Nakatsuma, Uemura, dan Tsurumi (1997), dan cenderung menghasilkan kekuatan lebih baik dari ADFT. Pada tingkat kesignifikanan 5%, menurut ADFT, semua variabel kecuali satu yaitu ln(CPI-AS), gagal menolak hipotesis nul satu unit root, tetapi menurut APOT, hanya ln(WPI-TWN) menolak hipotesis nul.

Adapun pengujian yang dilakukan olehnya adalah test Konvensional Teori PPP terhadap nilai kurs dollar Taiwan/dollar AS. Teori PPP telah diuji secara meluas pada tahun-tahun kebelakang ini. PPP relatif diekspresikan sebagai

Pt

Et = ——………..………(6)

Pt*

Dimana Et = kurs tukar nominal mata uang domestik, Pt = indeks harga

domestik, dan Pt*= indeks harga luar negeri. Melalui survey literatur, kita dapat

mempertimbangkan salah satu dari tiga model berikut dalam meng-test PPP.

Model 1 rt = m + rt-1 + ut …...………(7)

Dimana rt = Et Pt*/Pt. Penegasan bahwa PPP adalah satu realisasi


(51)

tidak, dimana jika =1, maka rt adalah satu random walk tanpa tendensi apapun untuk

berfluktuasi

m/(1 ).

Dengan mempertimbangkan logaritma persamaan (1) dan menambah error term, maka dibentuk model berikut:

Model 2 lnEt =m + (lnPt – Pt*)+ ut ……...…………..…………(8)

dimana kita mungkin mengatakan bahwa PPP dipegang (diterima) jika = 1. Uji hipotesis PPP adalah satu test koefisien regresi. Model 3 berikt adalah modifikasi model 2 ditulis sebagai berikut:

Model 3 lnEt =m + 1lnPt 2 ln Pt*)+ ut…………...…………..…(9)

Model ini digunakan untuk menguji hambatan bersama (simultaneous

restriction) pada koefisiennya: ( 1, 2) = (1, –1). Pada model 2 dan 3, juga menguji

apakah satu hubungan ko-integrasi (cointegrating relationship) diterima diantara


(52)

Tabel 2.1. Uji PPP : Survei Literatur

Penulis Data Tahun Negara

Indeks

harga Model

Metode

Test Kesimpulan

Corbae dan Ouliaris

(1988) Bulanan 07.73-09.86 AS CPI 2 ADF, PP

PPP tidak diterima, tidak wujud kointegrasi Enders (1988) Bulanan 04.60-05.71

01.73-11.86 AS WPI 1 ARMA,DF

PPP tidak diterima selama rejim tukaran fleksibel

Abuaf dan Jorion (1960)

Bulanan 01.73-12.87 AS CPI 1

ARCH,

GLS, DF PPP diterima

Corbae dan Ouliaris

(1990) Tahunan 1890-1984 AUS

WPI CPI 1

ADF

str.break PPP tidak diterima

Kim (1990) Triwulan

1900-87

1914-87 AS PPI 2

PP,ADF, Johansen

SW

PPP dan kointegrasi diterima secara umum

Patel (1990) Triwulan 1974-86 AS PPI 3 ADF, SW

PPP diterima pada 4 dari 5 pasang negara.

Taylor (1990)

Bulanan 03.73-12.85 AS

WPI CPI 2

Wald, ARCH

Ex-ante PPP diterima pada rangka kerja VAR

Perron dan Vogelsang

(1992) Tahunan

1892-1988 1869-1987

AS/UK AS/Fin

CPI

GNP 1 Str.break

PPP diterima jika perubahan struktural dipertimbangkan

Tronzano

(1992) Triwulan 01.55-02.90 AS

DM CPI 1 3

ADF,LR, CRDW,

VAR

PPP tidak diterima bagi DM/AS dan Yen/AS tetapi diterima bagi Yen/DM

Cheung dan

Lai (1993) Bulanan 01.74-12.89 AS

WPI CPI 3

ADF, PZ,

Johansen PPP diterima

Flynn dan

Boucher Bulanan

01.63-05.70 01.57-12.72

01.74-12.87 AS CPI 1

PP,DF,

CRDW PPP tidak diterima

Pippenger


(53)

Catatan:

DF=Dickey-Fuller test; ADF=Augmented DF test, LR=Lagrange multiplier test; CRDW=co-integrating test by Durbin-Watson test; VAR=Variance ratio test; PP=Phillips and Perron test; PZ=Phillips Z test; WPI=wholesale index; CPI=consumer price index; PPI=producer price index; GNP=GNP price index; Johansen=Johansen’s cointegration test; SW=Stock-Watson test; Wald=Wald test; P=Perron’s test.

Tidak terdapat satu kata yang berhubungan dengan indeks, yang manakah satu indeks yang seharusnya digunakan dalam analisis PPP, indeks harga (price index),

indeks harga (wholesale index), atau indeks konsumen (consumer index), dan juga

pemilihan mata uang (atau mata uang negara mana yang dapat dijadikan dasar) berbeda-beda dari satu penelitian dengan penelitian lain. Tabel 3 menunujukkan satu ringkasan literatur PPP sejak 1988. Semua penelitian itu menganggap bahwa data time-series nilai tukar mata uang adalah free of truncation.

Mereka menguji teori PPP terhadap mata uang dollar BT dengan menggunakan ketiga-tiga model. Pertama, mereka telah menguji apakah data runtun waktu nya yang relevan kepada hipotesis PPP mempunyai satu akar unit (unit root). Mereka menggunakan augmented Dickey-Fuller test (ADFT) termasuk augemnted point optimal test (APOT). APOT test disarankan oleh Nakatsuma, Uemura, dan Tsurumi (1997), dan ia cenderung menghasilkan kekuatan lebih baik dari ADFT. Pada tingkat signifikan 5%, menurut ADFT, semua variabel kecuali ln(CPI-AS),


(54)

gagal menolak hipotesis nul akar unit root, tetapi menurut APOT, hanya ln(WPI-TWN) menolak hipotesis nul.

Uji PPP berdasarkan pada model 1 jelas menolak hipotesis PPP karena mempunyai akar unit apakah digunakan CPI atau WPI. Karena variabel-variabel pada Model 2 dan 3 mempunyai unit root (atau lebih tepatnya mereka adalah proses seimbang yang berbeda (difference stationary processes), maka mereka membedakan

variabel-variabel tersebut dan dan menjalankan regresi pada masing-masing pada Model 2 dan 3,

Model 2 : lnEt =m + ln(Pt – Pt*)+ it…….………(10)


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian tentang analisis pengujian penerapan Purchasing Power Parity pada mata uang Rupiah terhadap dollar Amerika. Ruang

lingkup penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan antara Infalsi, Tingkat suku bunga dan Quasy money terhadap Penerapan Purchasing Power Parity pada Mata Uang Rupiah dan dollar Amerika baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

3.2. Jenis dan Sumber data

Data dalam penelitian ini adalah data skunder bersifat kuantitatif runtun waktu dikutip dari international Financial Statistics dari tahun 1967-2002.

3.3. Model Analisis

Model yang digunakan dalam pengujian Purchasing Power Parity pada mata

uang Rupiah adalah dengan menggunakan uji Engle Granger Error Correction Model. Pendekatan ini dapat digunakan untuk menguji apakah spesifikasi model empirik yang digunakan valid atau tidak berdasarkan nilai koefisien error corrections term,

dan dapat juga meliput lebih banyak variabel dalam menganalisa fenomena ekonomi jangka pendek dan jangka panjang serta mengkaji konsisten tidaknya model empirik


(56)

dengan teori ekonomi, dan dalam usaha mencari pemecahan terhadap persoalan variabel time serries yang tidak stasioner dan regresi lancung dalam analisis ekonometrik (Insukindro,199:2)

Langkah-langkah yang diperlukan dalam pengujian Purchasing Power Parity

pada mata uang Rupiah terhadap dollar Amerika dari model yang dikemukakan diatas adalah sebagai berikut:

Fungsi Persamaan : PPP= 0 + 1 INF+ 2 MS + TSB .………..… (12)

DPPPt = 0+ 1 DINFt + 2 DMSt+ 3DTSBt+ 4DINFt-1+ 5MSt 1+ 6TSBt-1 ..(13)

PPPt -PPPt-1 = 0 + 1 (INFt - INFt-1) + 2 (MSt - MSt-1) +

3(TSBt - TSBt-1) + 4 INFt-1 + 5 MSt-1 + 6TSBt-1 +………..(14)

PPPt = 0 + 1 INFt + 2MSt + 3TSBt+ ( 4 - 1 )INFt-1 +

( 5 – 2)MSt-1 + ( 6 – 3 )TSBt-1 + 7 PPPt-1 ... (15)

Jangka Pendek = 0 + 1INFt + 2MSt + 3TSBt+ 4INFt-1 - 1INFt-1 + 5MSt-1 –

2MSt-1 + 6TSBt-1 – 3TSBt-1+ 7 PPPt-1 ………...……….(16)

Dengan mengasumsikan bahwa dalam jangka panjang PPPt = PPPt-1 ;INFt =

INFt-1 ; MSt = MSt-1 ;TSBt = TSBt-1 ; maka dalam jangka panjang persamaan (17)

dapat ditulis :

PPPt = 0 + 1 INFt + 2MSt + 3TSBt+ ( 4 - 1 )INFt +

( 5 – 2)MSt + ( 6 – 3 )TSBt + 7 PPPt………...……….(17) 0 + 1 INFt + 2MSt + 3TSBt+ ( 4 - 1 )INFt +

( 5 – 2)MSt + ( 6 – 3 )TSBt + 7PPPt-PPPt=0………..(18)


(57)

DPPPt = 1 DINFt + 2 DGDPt + 2DMSt + 3DTSBt+

4(INFt-1 + MSt-1 + TSBt-1 - 0 - PPPt-1 )………..…(20) Jadi berdasarkan pembuktian diatas, maksud kita mengestimasi fungsi pemberlakuan penerapan Purchasing Power Parity (PPP), tetapi hasil estimasi yang

diperoleh bukan fungsi penerapan Purchasing Power Parity

3.4. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis penerapan penerapan Purchasing Power Parity (PPP) adalah dengan menggunakan metode ordinary Least

Square (OLS) dan alat bantu penelitian dengan software E-Views version 4.1. Untuk

menguji model diatas digunakan dengan uji sebgaia berikut:

3.4.1. Uji Engle-Granger Error Correction Model.

Dalam penelitian ini, model koreksi kesalahan dapat diturunkan dari fungsi biaya kuadrat tunggal (single periode quadratic cost function). Selanjutnya mengikuti

pendekatan yang dikembangkan oleh Domowitz dan Elbadawi (1987) dengan terlebih dahulu melakukan minimasi terhadap fungsi biaya kuadrat tunggal akan diperoleh bentuk baku model koreksi kesalahan sebagai berikut:

DPPPt= 0+ 1 DINFt+ 2 DMSt+ 3DTSBt+ 4INFt-1+ 5MSt-1+ 6TSBt-1+ 7ECT+...(21)

Dimana : INF = Inflasi

MS = Money Supply


(58)

KURS = Nilai Kurs

1 - 7 = Nilai estimasi dari residual kointegrasi t-1

ECT = Error Corection Term

Selanjutnya melalui persamaan diatas dapat diketahui konsistensi hasil estimasi model koreksi kesalahan dengan teori ekonomi. Disamping itu, dapat pula diestimasi koefisien regresi jangka panjang model dan bentuk fungsi model empirik yang digunakan. Berkaitan dengan yang disebut terakhir, beberapa acuan berikut perlu diperhatikan:

a. Estimasi Koefisien error correction model term persamaan diatas harus

signifikan dan hasil estimasi lolos dari berbagai uji diagnosis atau uji asumsi linier klasik (autokorelasi,heterokendastisitas, normalitas dan linearitas) b. Konsistensi antara nilai estimasi koefisien regresi jangka panjang dan estimasi

kointegrasi dapat dipakai sebagai acuan untuk menentukan bentuk fungsi dari model koreksi kesalahan yang layak

Berdasarkan persamaan diatas lebih lanjut dapat dikemukakan ciri khas dari model koreksi kesalahan, dimana error correction term (ECT) = 7 harus signifikan

secara statistik dan positif. Hal ini karena hasil estimasi ECM akan berarti (berbunyi apabila 11 ≠ 0 dan signifikan.

Dengan menggunakan model koreksi kesalahan dariEngle-Granger (1987)

Atau yang sering dikenal dengn Engle-Granger two step, maka kita dapat menjelaskan mengapa 7 harus signifikan. Model koreksi kesalah Engle-Granger adalah sebagimana yang terjadi pada persamaan (13) diatas.


(59)

Bila 7 sama dengan nol, maka persamaan (21) bukanlah model koreksi

kesalahan. Dari hasil estimasi persamaan (21) memang diketahui besarnya koefisien jangka pendek dari INF, MS , dan TSB, namun koefisien jangka panjang dari ketiga variabel tersebut tidak diketahui, karena dalam jangka panjang DINFt , DMSt , dan

DTSBt, akan sama dengan nol, padahal tujuan ekonometri adalah kembali ke teori

ekonomi yang terkait (jangka panjang). Atau dengan kata lain, bila 6 sama dengan

nol maka tujuan studi empiris gagal, karena studi empiris tersebut tidak menghasilkan apa-apa bagi teori.

Sebaliknya, bila 7 tidak sama dengan nol ( 6 ≠ 0), dalam jangka panjang hasil

estimasi model yang digunakan adalah valid atau sahih. Dengan asumsi bahwa dalam jangka panjang variabel D (delta) = 0, dan PPPt =PPPt-1 , INFt = INFt-1 + MSt = MS

t-1), dan TSBt = TSBt-1) , maka persamaan (22) dapat ditulis:

DPPPt= 1 DINFt + 2DMSt + 3DTSBt+ 4(INFt+MSt+TSBt- 0-PPPt )...(22)

0 = 10+ 20+ 3(INFt+MSt+TSBt - 0 - PPPt)

Jangka panjang : PPPt = 0 + 1 INFt+ 2MSt+ 3TSBt ………...…(23) Lebih lanjut berdasarkan hasil estimasi persamaan (13) dapat dikemukakan pula bahwa seperti halnya nilai koefisien 7 pada model penyesuaian parsial, nilai

koefisien 11 pun terletak 0< 11<1 tidak boleh negatif dan tidak boleh > 1, karena

bila 11 >1, katakanla 1,2 maka speed of adjustmentnya (1- 11) akan sama dengan

(1-1,2 = -0,2). Ini tidak rasional karena malah mundur (kecepatan berlawanan arah). Jadi, dalam kasus ini, model empiris yang cocok untuk mengestimasi penerapan Purchasing Power Parity antar pada 2 negara bukan backward looking model, tetapi


(60)

yang cocok adalah forward looking model. Selain itu pula dengan signifikannya

koefisien 7, maka berarti model empiris yang digunakan dalam satu studi empiris

mempunyai atau memiliki spesifikasi model yang benar (valid), sehingga hasil estimasi model koreksi kesalahan dapat digunakan untuk melihat pengaruh jangka panjang dari variabel ekonomi yang sedang diteliti.

3.4.2. Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi merupakan kelajutan dari pengujian diatas. Uji kointegrasi bertujuan untuk mengetahui apakah seluruh variabel mempunyai hubungan keseimbangan jangka panjang (berkointegrasi) atau tidak. Jika berkointegrasi maka residu kointegrasi atau kesalahan ketidak seimbangannya adalah stasioner

Untuk melakukan pengujian kointegrasi harus diyakini terlebih dahulu bahwa variabel terkait dalam pendekatan ini mempunyai derajat integrasi yang sama atau tidak. Secara umum sebagian besar pengujian mengenai isu terkait lebih memusatkan perhastiannya pada variabel yang berintegrasi nol I (o) atau satu I (1)

Berikut persamaan yang akan diuji :

PPP= 0 + 1 INF+ 2 MS + 3 TSB ………... (24) Setelah diketahui bahwa variabel –variabel pada persamaan 22 merupakan variabel yang stasionary, maka model 12 yang disebut sebagai model regresi kointegrasi akan ditaksir dengan prosedur regresi biasa dan kemudian menguji apakah elemen residualnya yaitu ( µt ) bersifat setasionary. Elemen residual ini ( µt ) tidak akan bersifat stasionary apabila variabel-variabel tersebut tidak saling


(1)

Null Hypothesis: INF has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)

t-Statistic

Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic

1.153065

0.9972

Test critical values:

1% level

-3.6329

5% level

-2.948404

10% level

-2.612874

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: MS has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 9 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)

t-Statistic

Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic

-1.220453

0.6498

Test critical values:

1% level

-3.711457

5% level

-2.981038

10% level

-2.629906

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: R has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)

t-Statistic

Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test

statistic

-3.726506

0.0079

Test critical values:

1% level

-3.6329

5% level

-2.948404

10% level

-2.612874


(2)

Null Hypothesis: D(INF) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)

t-Statistic

Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic

-4.73862

0.0005

Test critical values:

1% level

-3.63941

5%

level

-2.95113

10%

level

-2.6143

MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: MS has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 9 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)

t-Statistic

Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic

-2.92291

0.00198

Test critical values:

1% level

-2.65692

5% level

-1.95441

10% level

-1.60933

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: D(R) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)

t-Statistic

Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic

-3.726506

0.0079

Test critical values:

1% level

-3.6329

5%

level

-2.96397

10%

level

-2.62101


(3)

Lampiran-3

Hasil Uji Kointegrasi

Date: 02/13/07 Time: 20:51

Sample(adjusted): 1969 2002

Included observations: 34 after adjusting endpoints

Trend assumption: No deterministic trend

Series: MR INF MS R

Lags interval (in first differences): 1 to 1

Unrestricted Cointegration Rank Test

Hypothesized

Trace

5 Percent

1 Percent

No. of CE(s)

Eigenvalue

Statistic

Critical Value

Critical Value

None

**

0.705307 76.5166 39.89

45.58

At most 1 **

0.478755

34.97466

24.31

29.75

At most 2 *

0.302982

12.82249

12.53

16.31

At most 3

0.016057

0.550382

3.84

6.51

*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level

Trace test indicates 3 cointegrating equation(s) at the 5% level

Trace test indicates 2 cointegrating equation(s) at the 1% level

Hypothesized

Max-Eigen

5 Percent

1 Percent

No. of CE(s)

Eigenvalue

Statistic

Critical Value

Critical Value

None **

0.705307

41.54194

23.8

28.82

At most 1 *

0.478755

22.15217

17.89

22.99

At most 2 *

0.302982

12.27211

11.44

15.69

At most 3

0.016057

0.550382

3.84

6.51

*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level

Max-eigenvalue test indicates 3 cointegrating equation(s) at the 5% level

Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating equation(s) at the 1% level

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):

MR INF

MS

R

-0.003803 0.029021

6.19E-05

0.102469

0.000514 -0.017968

-1.27E-05

0.077323

0.000897 -0.022009

-5.82E-07

0.105442

-0.000477 -0.013499

1.63E-05

0.020167

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(MR) 833.4842

-80.7451

212.7334

4.031087

D(INF) 2.088243

-0.592175

7.158367

1.498651

D(MS) 18154.18

-8036.691

9963.566

-544.4551


(4)

LAMPIRAN-4

HASIL ESTIMASI ERROR CORRECTION TERM

Dependent Variable: DMR

Method: Least Squares

Date: 04/15/07 Time: 16:09

Sample: 1967 2002

Included observations: 36

Variable

Coefficient Std. Error t-Statistic

Prob.

C

-861.266 239.4867

-3.5963

0.00120

DINF

3.754289 6.537325 0.574285

0.57040

DQM

0.012364 0.007354 1.681187

0.10380

DR

79.95879 13.12943

6.09004

0.00000

LAGINF

2.057941 3.075031 0.669242

0.50880

LAGQM

-0.83529 0.180324 -4.63215

0.00010

LAGR

109.8795 18.99685

5.78409

0.00000

ECT

0.84964

0.183223 4.637192

0.00010

R-squared

0.792755 Mean dependent va 331.0861

Adjusted R-squared

0.740944 S.D. dependent var 1096.914

S.E. of regression

558.3022 Akaike info criterion 15.68081

Sum squared resid

8727637 Schwarz criterion

16.0327

Log likelihood

-274.255 F-statistic

15.30084


(5)

Lampiran-5

Hasil Uji Multikolinieritas

Dependent Variable: INF

Method: Least Squares

Date: 02/25/07 Time:14:34

Sample: 1967 2002

Included observations: 36

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 57.16162 7.046904 8.111593 0.0000

QM 0.000302 2.99E-05 10.07773 0.0000

R-squared 0.74919 Mean dependent var 92.81667

Adjusted R-squared 0.741813 S.D. dependent var 71.9636 S.E. of regression 36.56623 Akaike info criterion 10.09008 Sum squared resid 45461.04 Schwarz criterion 10.17805 Log likelihood -179.6214 F-statistic 101.5606 Durbin-Watson stat 0.207142 Prob(F-statistic) 0.0000

Dependent Variable: QM

Method: Least Squares

Date: 02/25/07 Time:14:35

Sample: 1967 2002

Included observations: 36

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -14742.54 61014.45 -0.241624 0.8105

R 9037.173 3534.541 2.556817 0.0152

R-squared 0.161267 Mean dependent var 118141.6 Adjusted R-squared 0.136598 S.D. dependent var 206390.8 S.E. of regression 191777.2 Akaike info criterion 27.22001 Sum squared resid 1.25E+12 Schwarz criterion 27.30798 Log likelihood -487.9602 F-statistic 6.537311 Durbin-Watson stat 0.194895 Prob(F-statistic) 0.015198

Dependent Variable: R

Method: Least Squares

Date: 02/25/07 Time:14:37

Sample: 1967 2002

Included observations: 36

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 12.59595 1.642308 7.669666 0.0000

QM 1.78E-05 6.98E-06 2.556817 0.0152

R-squared 0.161267 Mean dependent var 14.70417

Adjusted R-squared 0.136598 S.D. dependent var 9.17128 S.E. of regression 8.521901 Akaike info criterion 7.177109 Sum squared resid 2469.175 Schwarz criterion 7.265082

Log likelihood -127.188 F-statistic 6.537311


(6)

Lampiran-6

Hasil Engle-Granger Error Correction Model

Dependent Variable: MR

Method: Least Squares

Date: 02/12/07 Time: 21:16

Sample: 1967 2002

Included observations: 36

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

MS 0.015602

0.000792

19.68826

0.0000

R 36.26282

9.545038

3.799128

0.0006

INF 7.084292

2.224508

3.184656

0.0032

C -127.3474

196.5516

-0.64791

0.5217

R-squared

0.986074

Mean dependent var

2906.708

Adjusted R-squared

0.984769

S.D. dependent var

3842.871

S.E. of regression

474.2703

Akaike info criterion

15.26587

Sum squared resid

7197834

Schwarz criterion

15.44182

Log likelihood

-270.7857

F-statistic

755.2939