Pengaruh Pemberian Madu terhadap Gambaran Histologi Testis Mencit (Mus musculus) yang Diberi Plumbum Asetat

(1)

PENGARUH PEMBERIAN MADU

TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGI TESTIS MENCIT

(Mus musculus) YANG DIBERI PLUMBUM ASETAT

oleh:

HERMAN TUAH SITOHANG

080100106

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

ABSTRAK

Latar Belakang : Logam Pb merupakan salah satu bahan pencemar utama di lingkungan. Hal ini terjadi karena sumber utama pencemaran Pb adalah emisi gas buang kendaraan bermotor. Pajanan Pb dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan yang serius seperti gangguan pada sistem saraf, sistem kardiovaskular, sistem hematopoietik, hepar, ginjal, sistem reproduksi termasuk testis. Indonesia sebagai negara tropis memiliki banyak bahan herbal yang dapat menangkal radikal bebas dan bersifat antioksidan, salah satunya adalah madu.

Tujuan : Melihat pengaruh pemberian madu 0,04 ml/20 grBB mencit/hari terhadap gambaran histologi testis mencit yang diberi paparan Pb Asetat 100 mg/kgBB mencit/oral/hari.

Metode : Penelitian ini adalah penelitian eksperimental pada 27 ekor hewan percobaan mencit jantan (Mus musculus). Hewan percobaan dibagi dalam tiga kelompok sama rata. Kelompok pertama adalah kelompok kontrol yang diberi aquadest, kelompok kedua adalah kelompok P1 yang diberi Pb asetat 100 mg/kbBB/oral/hari dan kelompok ketiga adalah kelompok P2 yang diberi Pb asetat 100 mg/kbBB/oral/hari dan madu 0,04 ml/20 grBB/hari. Penelitian ini berlangsung selama dua belas minggu. Hasil yang akan diamati adalah gambaran histologi testis mencit berupa diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus testis mencit. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Anova.

Hasil : Terdapat perbedaan rata-rata diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus mencit pada ketiga kelompok. Uji statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada hasil pengukuran tebal epitel tubulus seminiferus testis mencit (p=0,000) dan perbedaan yang tidak bermakna pada hasil pengukuran diameter tubulus seminiferus testis mencit (p=0,135).

Kesimpulan : Madu memberikan efek proteksi terhadap testis mencit yang dipaparkan Pb asetat.


(3)

ABSTRACT

Background: Metal Pb is one of the main pollutants in the environment. This happens because the main source of Pb pollution is motor vehicle exhaust emissions. Pb exposure can cause serious health problems such as disorders of the nervous system, cardiovascular system, hematopoietic system, liver, kidneys, reproductive system including testes. Indonesia as a tropical country has a lot of herbal ingredients that may counteract the free radicals and are antioxidants, one of which is the honey.

Objective: Looking at the effect of giving honey 0.04 ml/20 grBB mice/day against testicular histologic exposure of mice were given Pb acetate 100 mg/kg mice/oral/day.

Methods: This study is the experimental studies in experimental animals 27 male mice (Mus musculus). Experimental animals were divided into three groups equally. The first group was the control group who were given water, the second group is the group P1 are given Pb acetate 100 mg/kbBB/oral/day and the third group is the group P2 given Pb acetate 100 mg/kbBB/oral/day and honey 0.04 ml/20 grBB/day. The study lasted twelve weeks. The results will be observed is in the form of murine testicular histologic diameter and thick epithelium of the seminiferous tubules of mice testes. The data obtained were analyzed by ANOVA test.

Results: There were differences in the average diameter of seminiferous tubules and the thick epithelium of mice in all three groups. Statistical tests showed significant differences in epithelial thickness measurements of testicular seminiferous tubules of mice (p=0,000) and non-significant difference in the results of measuring the diameter of seminiferous tubules of the testes of mice (p=0,135).

Conclusion: Honey provides protection against the effects of the testes of mice exposed to Pb acetate.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “Pengaruh Pemberian Madu terhadap Gambaran Histologi Testis Mencit (Mus musculus) yang Diberi Plumbum Asetat”.

Karya tulis ini merupakan syarat dalam menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran di Universitas Sumatera Utara. Dengan selesainya karya tulis ilmiah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Alya Amila Fitrie, M. Kes selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya dalam membantu penulis selama pengerjaan karya tulis ilmiah ini.

3. dr. Yunita Sari Pane, M.Si selaku dosen penguji 1 dan dr. Rodiah Rahmawati Lubis, Sp.M selaku dosen penguji 2 yang telah banyak memberikan kritikan, saran dan masukan dalam pengerjaan karya tulis ilmiah ini.

4. Para staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5. Ayahanda dan ibunda tercinta yang memberikan dukungan material dan spiritual. Berkat doa dan dukungan yang tak terbatas dari beliau penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan baik. Semoga Tuhan senantiasa memberkati dan memberi kesehatan kepada keduanya.


(5)

6. Anton Hamonangan Sitohang selaku abang dan Yenni Afriani Maria Sitohang, Juli Friska Sitohang selaku kakak yang telah banyak memberi nasehat dan semangat dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

7. Teman-teman satu bimbingan karya tulis ilmiah ini yakni Harry Andrean, Winson Citra, Sweet Caroline Marpaung yang telah banyak memberi dukungan, semangat, solidaritas dan nasihat dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

8. Teman-teman mahasiswa Departemen Biologi FMIPA USU yang telah banyak membantu dan berbagi ilmu dalam pelaksanaan penelitian ini.

9. Teman-teman angkatan 2008 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberi dukungan dan semangat selama ini.

10.Tema-teman satu kos yang telah mengingatkan, mendukung, mendoakan kelancaran pengerjaan karya tulis ilmiah ini

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melindungi dan memberkati kita semua. Penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat diterima dan memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi banyak pihak.

Medan, Desember 2011


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan………... i

Abstrak………. ii

Abstract………. ……... iii

Kata Pengantar ………... iv

Daftar Isi ……….. vi

Daftar Tabel ………... viii

Daftar Gambar …..………. ix

Daftar Lampiran ………. ……... x

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang ……… 1

1.2. Rumusan Masalah ………... 3

1.3. Tujuan Penelitian ……….4

1.3.1. Tujuan Umum ………... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ………...4

1.4. Manfaat Penelitian ………... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 5

2.1. Plumbum (Timbal)……… 5

2.1.1. Definisi ………... 5

2.1.2. Asal dan Jenis Plumbum ………... 5

2.1.3. Karakteristik …………..……… 6

2.1.4. Manfaat ………. 7

2.1.5. Cara Masuk Plumbum kedalam Tubuh …………...8

2.1.6. Keracunan Plumbum ……….9

2.1.7. Kadar Normal dalam Tubuh ………. 13

2.2. Madu ….……….. 15

2.2.1. Gambaran Umum ……….. 15

2.2.2. Madu Murni ……….. 16

2.2.3. Penggolongan Madu ………..16

2.2.4. Warna Madu ………..17

2.2.5. Komposisi ………..17

2.2.6. Manfaat ………. 20


(7)

2.3.1. Testis …………..………... 20

2.3.2. Fisiologi Reproduksi ………. 21

2.3.3. Spermatogenesis ………..………. 22

2.3.4. Spermiogenesis ………. 25

2.3.5. Spermatozoa ……….. 26

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL… 28 3.1. Kerangka Konsep ……….. 28

3.2. Kerangka Teori ………. 29

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ………... 30

3.3.1. Variabel Penelitian ..……… 30

3.3.2. Definisi Operasional ………... 30

3.4. Hipotesis ………... 31

BAB IV METODE PENELITIAN ………... 32

4.1. Jenis Penelitian ………. 32

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ……… 32

4.3. Populasi dan Sampel ……….…….... 33

4.3.1. Kriteria Inklusi ……… 33

4.3.2. Kriteria Eksklusi ………. 33

4.4. Besar Sampel ……….……... 33

4.5. Pelaksanaan Penelitian ……….. 34

4.5.1. Penentuan Dosis Plumbum dan Dosis Madu ……….. 34

4.5.2. Pemeliharaan Hewan Coba ………..……... 35

4.5.3. Persiapan Hewan Coba ……….…….. 35

4.5.4. Perlakuan Hewan Coba ……….…….. 35

4.5.5. Pembuatan Sediaan Histologi ….…………..……... 36

4.6. Analisis Data ………..……... 38

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN………. 39

5.1. Hasil……… 39

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ……… 39

5.1.2. Karakteristik Sampel ………... 39

5.1.3. Gambaran Makroskopis Testis Mencit ………...40

5.1.4. Gambaran Histologi Testis Mencit ………. 41

5.1.5. Analisis Data ………... 46

5.2. Pembahasan ………... 47

5.2.1. Diameter Tubulus Seminiferus Testis Mencit………. 47

5.2.2. Tebal Epitel Tubulus Seminiferus Testis Mencit……. 48

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………. 51


(8)

6.2. Saran ……….. 51

DAFTAR PUSTAKA ………...……... 53

LAMPIRAN DAFTAR TABEL Nomor Judul Tabel 2.1. Persenyawaan Pb dan Manfaatnya ……… 8

Halaman Tabel 2.2. Batas Kadar Normal Pb dalam Jaringan Tubuh………... 13

Tabel 2.3. Kategori Pb dalam Darah Orang Dewasa ………. 14

Tabel 2.4. Komposisi Rata-Rata Madu ………... 17

Tabel 2.5. Kandungan Vitamin dan Mineral dalam Madu ……… 19


(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul

Gambar 2.1. Proses Spermatogenesis dan Spermiogenesis …………...……...…. 24

Halaman Gambar 2.2. Histologi Tubulus Seminiferus.……… 25

Gambar 2.3. Perubahan Utama pada Spermatid selama Spermiogenesis ..……... 26

Gambar 3.1. Kerangka Konsep ………. 28

Gambar 3.2. Kerangka Teori……….. 29

Gambar 4.1. Gambaran Makroskopis Testis Mencit……….. 40

Gambar 4.2. Gambaran Histologi Testis Mencit……… 42

Gambar 4.3. Gambar Tubulus Seminiferus Testis Mencit………. 43

Gambar 4.4. Gambar Pengukuran Diameter dan Tebal Epitel Tubulus…………. 44


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 : Ethical Clearance Lampiran 3 : Sertifikat Hewan Coba

Lampiran 4 : Data Induk

Lampiran 5 : Data Gambar


(11)

ABSTRAK

Latar Belakang : Logam Pb merupakan salah satu bahan pencemar utama di lingkungan. Hal ini terjadi karena sumber utama pencemaran Pb adalah emisi gas buang kendaraan bermotor. Pajanan Pb dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan yang serius seperti gangguan pada sistem saraf, sistem kardiovaskular, sistem hematopoietik, hepar, ginjal, sistem reproduksi termasuk testis. Indonesia sebagai negara tropis memiliki banyak bahan herbal yang dapat menangkal radikal bebas dan bersifat antioksidan, salah satunya adalah madu.

Tujuan : Melihat pengaruh pemberian madu 0,04 ml/20 grBB mencit/hari terhadap gambaran histologi testis mencit yang diberi paparan Pb Asetat 100 mg/kgBB mencit/oral/hari.

Metode : Penelitian ini adalah penelitian eksperimental pada 27 ekor hewan percobaan mencit jantan (Mus musculus). Hewan percobaan dibagi dalam tiga kelompok sama rata. Kelompok pertama adalah kelompok kontrol yang diberi aquadest, kelompok kedua adalah kelompok P1 yang diberi Pb asetat 100 mg/kbBB/oral/hari dan kelompok ketiga adalah kelompok P2 yang diberi Pb asetat 100 mg/kbBB/oral/hari dan madu 0,04 ml/20 grBB/hari. Penelitian ini berlangsung selama dua belas minggu. Hasil yang akan diamati adalah gambaran histologi testis mencit berupa diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus testis mencit. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Anova.

Hasil : Terdapat perbedaan rata-rata diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus mencit pada ketiga kelompok. Uji statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada hasil pengukuran tebal epitel tubulus seminiferus testis mencit (p=0,000) dan perbedaan yang tidak bermakna pada hasil pengukuran diameter tubulus seminiferus testis mencit (p=0,135).

Kesimpulan : Madu memberikan efek proteksi terhadap testis mencit yang dipaparkan Pb asetat.


(12)

ABSTRACT

Background: Metal Pb is one of the main pollutants in the environment. This happens because the main source of Pb pollution is motor vehicle exhaust emissions. Pb exposure can cause serious health problems such as disorders of the nervous system, cardiovascular system, hematopoietic system, liver, kidneys, reproductive system including testes. Indonesia as a tropical country has a lot of herbal ingredients that may counteract the free radicals and are antioxidants, one of which is the honey.

Objective: Looking at the effect of giving honey 0.04 ml/20 grBB mice/day against testicular histologic exposure of mice were given Pb acetate 100 mg/kg mice/oral/day.

Methods: This study is the experimental studies in experimental animals 27 male mice (Mus musculus). Experimental animals were divided into three groups equally. The first group was the control group who were given water, the second group is the group P1 are given Pb acetate 100 mg/kbBB/oral/day and the third group is the group P2 given Pb acetate 100 mg/kbBB/oral/day and honey 0.04 ml/20 grBB/day. The study lasted twelve weeks. The results will be observed is in the form of murine testicular histologic diameter and thick epithelium of the seminiferous tubules of mice testes. The data obtained were analyzed by ANOVA test.

Results: There were differences in the average diameter of seminiferous tubules and the thick epithelium of mice in all three groups. Statistical tests showed significant differences in epithelial thickness measurements of testicular seminiferous tubules of mice (p=0,000) and non-significant difference in the results of measuring the diameter of seminiferous tubules of the testes of mice (p=0,135).

Conclusion: Honey provides protection against the effects of the testes of mice exposed to Pb acetate.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemajuan teknologi dan industri menghasilkan banyak manfaat dalam kehidupan manusia. Namun, selain menghasilkan dampak positif, kemajuan teknologi juga membawa dampak negatif dalam kehidupan manusia. Salah satu dampak negatif tersebut adalah pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya (Undang-Undang Republik Indonesia No. 23/1997 Pasal 1 Ayat 12).

Menurut tempatnya, pencemaran lingkungan terdiri dari pencemaran air, tanah, udara dan suara. Salah satu jenis pencemaran yang banyak mendapat perhatian seiring dengan pesatnya perkembangan industri dan trasnportasi adalah pencemaran udara. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari industri, transportasi, perkantoran dan perumahan. Selain itu, sumber pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam, seperti kebakaran hutan, gunung meletus, gas alam beracun, dll. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah penurunan kualitas udara yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia.

Logam Pb (plumbum) adalah salah satu bahan pencemar utama di lingkungan. Hal ini dapat terjadi karena sumber utama pencemaran plumbum adalah emisi gas buang kendaraan bermotor. Logam Pb juga terdapat dalam limbah cair industri yang pada proses produksinya menggunakan Pb, seperti industri pembuatan baterai, industri cat, dan industri keramik. Pb dapat memperbaiki mutu bahan bakar ketika digunakan sebagai aditif pada bahan bakar, khususnya bensin. Pb juga


(14)

berperan sebagai anti knocking (anti letup), pencegah korosi, diaktivator logam, antipengembunan dan zat pewarna (Naria, 2005). Selain itu, logam Pb juga bersumber dari penguapan batu bara dan dapat dijumpai pada tangki air yang menggunakan pipa yang mengandung plumbum (Berg, 2002 dalam Napitupulu, 2008).

Adanya plumbum dalam komponen lingkungan seperti air, tanah dan udara memungkinkan berkembangnya transmisi pencemaran terhadap makhluk hidup, termasuk manusia. Proses masuknya plumbum ke dalam tubuh dapat melalui beberapa jalur, yaitu melalui makanan dan minuman, udara (pernafasan/inhalasi) serta perembesan atau penetrasi pada selaput atau lapisan kulit. Tetapi hanya sekitar 5-10% dari jumlah plumbum yang masuk melalui makanan dan atau sebesar 30% dari jumlah plumbum yang terhirup yang akan diserap oleh tubuh. Dari jumlah yang terserap itu hanya 15% yang akan mengendap pada jaringan tubuh dan sisanya akan turut terbuang bersama bahan sisa metabolisme seperti urin dan feses (Palar, 2008).

Logam plumbum dapat mengganggu sintesis haeme dan mempunyai efek merusak pada ginjal, saluran pencernaan dan sistem saraf (Hammond, 1977 dalam Camin, 1993). Pemaparan Pb telah lama dikaitkan dengan penurunan fertilitas pada pekerja yang terpapar Pb dan peningkatan aborsi spontan pada istri pekerja tersebut. Landsdown (1983) dalam Camin (1993) melaporkan bahwa pekerja pria di industri baterai diketahui mempunyai jumlah spermatozoa dibawah normal dan didapati adanya gangguan berupa spermatozoa abnormal.

Gangguan spermatogenesis dilaporkan terjadi pada tikus yang diberi Pb asetat dosis 0,3 mg/kgBB selama 30 hari (Hildebrant et al., 1973 dalam Camin, 1993). Namun, pemaparan dengan dosis tiga kali lipat selama satu tahun dilaporkan tidak mengganggu histologi testis meskipun kadar plumbum darah mencapai 70 μg/dL (Der et al., 1976; Fahim dan Khare, 1980 dalam Camin, 1993). Demikian pula hasil penelitian pengaruh Pb terhadap jumlah, motilitas dan persentase spermatozoa abnormal (Stowe & Goyer, 1971; Wyrobeck & Bruce, 1978; Krasoviski et al., 1979


(15)

dalam Camin, 1993). Adanya hasil yang berbeda dapat terjadi karena faktor jenis hewan percobaan, umur dan makanan (Rose & Quarteman, 1987 dalam Camin, 1993), jenis senyawa Pb (Hammond, 1982 dalam Camin, 1993), cara pemberian dan dosis (Sokol, 1990 dalam Camin, 1993). Dalam hal jenis hewan percobaan misalnya, diketahui adanya perbedaan kepekaan sistem saraf tikus dan mencit terhadap pemaparan Pb. Tikus ternyata kurang lebih empat kali lebih peka dibanding mencit (Reiter, 1982 dalam Camin, 1993).

Tubuh manusia menghasilkan senyawa antioksidan endogen, tetapi tidak cukup kuat untuk berkompetisi dengan radikal bebas akibat terpapar plumbum secara terus-menerus. Kekurangan antioksidan dapat dibantu dengan mengonsumsi makanan yang berasal dari produk seperti rempah, herbal, sayuran dan buah (Hernani dan Raharjo, 2006).

Madu adalah cairan manis yang berasal dari nektar tanaman yang diproses oleh lebah menjadi madu dan tersimpan dalam sel-sel sarang lebah. Sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang ini, madu telah dikenal sebagai salah satu bahan makanan atau minuman alami yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan (Hariyati, 2010). Madu kaya akan vitamin A, betakaroten, vitamin B kompleks (lengkap), vitamin C, D, E, dan K (Suranto, 2007). Menurut Erguder et al., (2008), madu banyak mengandung komponen flavonoid, seperti luteolin, quercetin, apigenin, fisetin, kaempferol, ishoramnetin, acacetin, tamarixetin, chrystin, dan galangin sehingga sangat berperan sebagai antioksidan.

Penelitian tentang madu di Indonesia belum begitu banyak dilakukan. Konsumsi madu di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 15 gram/orang/tahun (Suranto, 2007). Karena potensi antioksidan yang terkandung dalam madu dan pengaruh madu terhadap organ reproduksi yang belum banyak diteliti, peneliti ingin mengetahui apakah ada pengaruh pemberian madu terhadap testis mencit yang diberi plumbum asetat.


(16)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah:

Apakah ada pengaruh madu terhadap gambaran histologi testis mencit yang diberi Pb asetat?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

1. Melihat gambaran histologi testis mencit yang diberi Pb asetat.

2. Melihat gambaran histologi testis mencit yang diberi Pb asetat dan madu. 3. Melihat perbedaan gambaran histologi testis mencit kelompok kontrol,

kelompok yang diberi Pb asetat dan kelompok yang diberi Pb asetat dan madu.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah menentukan diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus testis mencit jantan yang diberi Pb asetat dan madusecara bersamaan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Menambah pengetahuan pembaca terhadap efek negatif yang ditimbulkan logam plumbum terhadap tubuh.

2. Mengetahui gambaran histologi testis mencit jantan setelah pemberian Pb asetat.

3. Mengetahui ada tidaknya perbedaan gambaran histologi antara testis mencit jantan yang diberi Pb asetat dengan testis mencit jantan yang diberi Pb asetat dan madu secara bersamaan.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Plumbum (Plumbum) 2.1.1. Definisi

Plumbum adalah nama ilmiah dari logam plumbum (atau dalam kehidupan sehari-hari lebih dikenal dengan nama timah hitam). Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IV-A pada tabel periodik unsur kimia dan disimbolkan dengan Pb. Plumbum mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan berat atom (BA) 207,2 (Palar, 2008).

Plumbum merupakan bahan kimia yang termasuk kelompok logam berat. Menurut Palar (2008) logam berat merupakan bahan kimia golongan logam yang sama sekali tidak dibutuhkan oleh tubuh dan jika masuk ke dalam tubuh organisme hidup dalam jumlah yang berlebihan akan menimbulkan efek negatif terhadap fungsi fisiologis tubuh.


(18)

Penyebaran logam plumbum di bumi sangat sedikit. Jumlah plumbum yang terdapat di seluruh lapisan bumi hanya 0,0002% dari seluruh jumlah kerak bumi. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah logam berat lainnya yang ada di bumi. Di alam, terdapat 4 macam isotop plumbum, yaitu:

1. Plumbum-204 atau Pb204, diperkirakan berjumlah 1,48% dari seluruh isotop plumbum yang terdapat di alam.

2. Plumbum-206 atau Pb206, diperkirakan berjumlah 23,6% dari seluruh isotop plumbum yang terdapat di alam.

3. Plumbum-207 atau Pb207, diperkirakan berjumlah 22,6% dari seluruh isotop plumbum yang terdapat di alam.

4. Plumbum-208 atau Pb208, diperkirakan berjumlah 52,32% dari seluruh isotop plumbum yang terdapat di alam.

Melalui proses-proses geologi, plumbum terkonsentrasi dalam deposit seperti bijih logam. Persenyawaan bijih logam plumbum ditemukan dalam bentuk galena (PbS), angelesit (PbSO4) dan dalam bentuk minim (Pb3O4). Hampir tidak pernah ditemukan plumbum dalam bentuk logam murninya. Bijih logam plumbum ini bergabung dengan logam-logam lain seperti perak (argentums-Ag), seng (zincum-Zn), arsen (arsenicum-Ar), logam stibi (stibium-Sb), dan dengan logam bismuth (bismuth-Bi) (Palar, 2008).

Bijih-bijih logam plumbum yang diperoleh dari hasil penambangan hanya mengandung sekitar 3-10% plumbum. Hasil ini akan dipekatkan lagi hingga mencapai 40% sehingga didapatkan logam plumbum murni. Produksi logam plumbum dunia sampai 1974 telah mencapai 3.844.687 ton logam plumbum murni. Semua itu sebagian besar diperoleh dari penambangan logam plumbum di Amerika Serikat, Uni Soviet, Australia, Kanada, Peru, Meksiko, Yugoslavia, Korea, Cina dan Moroko (Palar, 2008).


(19)

Logam plumbum adalah logam berat berwarna kelabu kebiruan yang mempunyai sifat-sifat khusus, antara lain:

1. Merupakan logam lunak sehingga dapat dipotong dengan menggunakan pisau atau dengan tangan dan dapat dibentuk dengan mudah.

2. Merupakan logam yang memiliki densitas yang tinggi dan tahan terhadap peristiwa korosi atau pengkaratan sehingga bahan plumbum sering digunakan sebagai bahan pelapis atau coating.

3. Mempunyai titik didih 17400C dan titik lebur 327,40C.

4. Mempunyai kerapatan yang lebih besar dibandingkan dengan logam-logam biasa, kecuali emas dan merkuri.

5. Merupakan penghantar listrik yang tidak baik.

2.1.4. Manfaat Logam Plumbum

Plumbum dan persenyawaannya banyak digunakan dalam berbagai bidang. Dalam industri baterai, plumbum digunakan sebagai grid yang merupakan alloy ( suatu persenyawaan) dengan logam bismuth (Pb-Bi) dengan perbandingan 93:7.

Plumbum oksida (PbO4) dan logam plumbum dalam industri baterai digunakan sebagai bahan aktif dalam pengaliran arus elektron. Kemampuan plumbum dalam membentuk alloy dengan banyak logam lain telah dimanfaatkan untuk meningkatkan sifat metalurgi dari logam ini dalam penerapan yang sangat luas. Alloy Pb yang mengandung 1% stibium (Sb) banyak digunakan sebagai kabel telepon. Alloy Pb dengan 0,15% As, 0,1% Sn, dan 0,1% Bi banyak digunakan sebagai kabel listrik. Selain itu, bentuk-bentuk lain dari alloy Pb juga banyak digunakan dalam konstruksi pabrik-pabrik kimia, kontainer dan alat-alat lainnya. Penggunaan alloy Pb ini lebih disebabkan oleh kemampuannya yang sangat tinggi untuk tidak mengalami korosi (pengkaratan).


(20)

Pb juga mampu berikatan dengan atom N (nitrogen) membentuk senyawa azida. Senyawa ini merupakan suatu jenis senyawa yang mempunyai kemampuan ledakan dengan pancaran energi yang besar. Oleh sebab itu, senyawa azida banyak digunakan sebagai detonator (bahan peledak).

Persenyawaan Pb dengan Cr (chromium), Mo (molibdenum) dan Cl (chlor) digunakan secara luas sebagai pigmen “chrom”. Senyawa PbCrO4 digunakan dalam industri cat untuk mendapatkan warna kuning “chrom”, Pb(OH)2.2PbCO3 untuk mendapatkan warna “timah putih”, sedangkan senyawa yang dibentuk dari Pb3O4 digunakan untuk mendapatkan warna “timah merah”.

Senyawa plumbum silikat (Silikat) yang dibentuk dari intermediet Pb-asetat (CH3-COO-Pb-OOCH3) digunakan secara luas sebagai salah satu bahan pengkilap keramik dan sekaligus berperan sebagai bahan tahan api. Persenyawaan yang terbentuk antara Pb dengan arsenat dapat digunakan sebagai insektisida. Penggunaan yang relatif baru dari plumbum adalah dalam peningkatan sifat magnetik dari keramik barium-ferrit. Kombinasi Pb dengan Te (telerium) digunakan sebagai komponen aktif pada pembangkit listrik tenaga panas.

Dalam perkembangan industri kimia, dikenal pula additive yang dapat ditambahkan ke dalam bahan bakar kendaraan bermotor. Persenyawaan yang dibentuk dari logam Pb sebagai additive ini ada dua jenis, yaitu (CH3)4-Pb (tetrametil-Pb) dan (C2H5)4-Pb (tetraetil-Pb).

Bentuk-bentuk dari persenyawaan yang dibentuk oleh Pb dengan unsur kimia lainnya serta fungsi bentuk persenyawaan tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah (Palar, 2008).

Tabel 2.1. Bentuk Persenyawaan Pb dan Manfaatnya

Bentuk Persenyawaan Manfaat

Pb + Sb Kabel Telepon

Pb + As + Sn + Bi Kabel Listrik


(21)

Pb + Cr + Mo + Cl Untuk pewarnaan pada cat

Pb-asetat Pengkilap keramik dan bahan anti api

Pb + Te Pembangkit listrik tenaga panas

Tetrametil-Pb dan Tetraetil-Pb Additive untuk bahan bakar kendaraan bermotor

(Sumber: Palar, 2008)

2.1.5. Cara Masuk Plumbum ke Dalam Tubuh

Plumbum dapat masuk ke dalam tubuh menusia dengan berbagai cara. Plumbum dapat diserap oleh kulit, terhirup ketika bernafas, terkontaminasi melalui makanan dan minuman.

Senyawa tetrametil-Pb dan tetraetil-Pb dapat diserap oleh kulit. Hal ini disebabkan karena kedua senyawa tersebut dapat larut dalam minyak dan lemak. Dalam lapisan udara, tetraetil-Pb terurai dengan cepat karena adanya sinar matahari. Tetraetil-Pb akan terurai membentuk trietil-Pb, dietil-Pb dan monoetil-Pb. Semua senyawa uraian dari tetraetil-Pb tersebut memiliki bau yang khas seperti bau bawang putih, sulit larut dalam minyak, tetapi semua turunan ini dapat larut dengan baik dalam air. Senyawa-senyawa Pb dalam keadaan kering dapat terdispersi dalam udara sehingga dapat terhirup ketika bernafas dan sebagian akan menumpuk di kulit.

Dalam air minum juga dapat ditemukan senyawa Pb bila air tersebut disimpan dan dialirkan melalui pipa yang merupakan alloy dari logam Pb. Minuman keras juga ditemukan mengandung logam Pb jika tutup dari minuman tersebut terbuat dari alloy logam Pb yang menjadi kontaminasi minuman.

Selain kontaminasi minuman, juga dapat ditemukan kontaminasi Pb pada makanan olahan atau makanan kaleng. Makanan yang telah diasamkan dapat melarutkan Pb dari wadah atau alat-alat pengolahannya (Palar, 2008).


(22)

Keracunan yang ditimbulkan oleh persenyawaan logam plumbum dapat terjadi karena masuknya persenyawaan logam tersebut ke dalam tubuh. Proses masuknya Pb ke dalam tubuh dapat melalui beberapa jalur, yaitu melalui makanan dan minuman, udara dan perembesan atau penetrasi melalui kulit.

Senyawa Pb organik relatif lebih mudah diserap tubuh melalui selaput lendir atau lapisan kulit bila dibandingkan dengan senyawa Pb anorganik. Hanya 5-10% dari jumlah Pb yang masuk melalui makanan dan atau sebesar 30% dari jumlah Pb yang terhirup yang akan diserap oleh tubuh. Dari jumlah tersebut, hanya 15% yang akan mengendap pada jaringan tubuh dan sisanya akan terbuang bersama bahan sisa metabolisme seperti urine dan feces.

Sebagian besar dari Pb yang terhirup pada saat bernafas akan masuk ke dalam pembuluh darah paru-paru. Tingkat penyerapan itu sangat dipengaruhi oleh ukuran partikel dari senyawa Pb yang ada dan volume udara yang mampu dihirup pada saat bernafas. Konsentrasi Pb yang diserap oleh tubuh akan semakin besar jika ukuran partikel debu semakin kecil dan volume udara yang mampu dihirup semakin besar. Logam Pb yang masuk ke dalam paru-paru akan berdifusi dan berikatan dalam darah untuk kemudian diedarkan ke seluruh jaringan dan organ tubuh. Lebih dari 90% logam Pb yang terserap oleh darah berikatan dengan sel darah merah (eritrosit).

Senyawa Pb yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman akan ikut dalam proses metabolisme tubuh. Logam Pb yang masuk bersama makanan dan atau minuman masih mungkin ditolerir oleh lambung karena asam lambung (HCl) mempunyai kemampuan untuk menyerap logam Pb. Namun, pada kenyataannya Pb lebih banyak dikeluarkan melalui tinja.

Pada jaringan atau organ tubuh, logam Pb akan terakumulasi pada tulang karena bentuk ion logam ini (Pb2+) mampu menggantikan keberadaan ion Ca2+ (kalsium) yang terdapat dalam jaringan tulang. Pada wanita hamil, logam Pb dapat melewati plasenta dan kemudian ikut masuk ke sistem peredaran darah janin dan selanjutnya setelah bayi lahir, Pb akan dikeluarkan melalui air susu.


(23)

Senyawa Pb umumnya masuk ke dalam tubuh melalui jalur pernafasan dan atau penetrasi melalui kulit. Penyerapan lewat kulit ini dapat terjadi karena senyawa ini dapat larut dalam minyak dan lemak. Senyawa seperti tetraetil-Pb dapat menyebabkan keracunan akut pada sistem saraf pusat meskipun prosesnya terjadi dalam waktu cukup panjang dengan kecepatan penyerapan yang kecil.

Pada pengamatan yang dilakukan terhadap para pekerja yang bekerja menangani senyawa Pb, tidak ditemukan keracunan kronis yang berat. Pada keracunan plumbum kronis yang ringan dapat ditemukan gejala berupa insomnia dan beberapa macam gangguan tidur lainnya, sedangkan gejala pada kasus keracunan akut ringan adalah menurunnya tekanan darah dan berat badan. Keracunan akut yang cukup berat dapat mengakibatkan koma bahkan kematian.

Meskipun jumlah Pb yang diserap tubuh hanya sedikit, logam ini ternyata mampu menjadi sangat berbahaya. Hal ini disebabkan senyawa-senyawa Pb dapat memberikan efek racun terhadap banyak fungsi organ tubuh (Palar, 2008).

2.1.6.1. Efek Pb pada Darah

Sel-sel darah merah merupakan suatu bentuk kompleks khelat yang dibentuk oleh logam Fe (besi) dengan gugus haeme dan globin. Sintesis dari kompleks tersebut melibatkan dua macam enzim, yaitu enzim ALAD (Amino Levulinic Acid Dehidrase) atau asam levulinat dehidrase dan enzim ferrokhelatase. Enzim ALAD adalah golongan enzim sitoplasma. Enzim ini akan bereaksi secara aktif pada tahap awal sintesis dan selama sirkulasi sel darah merah berlangsung. Adapun enzim ferrokhelatase termasuk pada golongan enzim mitokondria. Enzim ferrokhelatase ini akan bereaksi aktif pada akhir proses sintesa, yaitu mengkatalis pembentukan kompleks khelat haemoglobin (Palar, 2008).

Sintesis haemoglobin dapat diawali dari peristiwa bereaksinya succinyl co-A dengan glycin yang akan membentuk senyawa ALA (d-Amino Levulinic Acid) atau asam amino levulinat yang dikatalis oleh ALA-sintese. Selanjutnya ALA mengalami


(24)

dehidrasi menjadi porphobilinogen oleh enzim ALAD (ALAD dehidratase). Setelah melewati beberapa tahapan reaksi, senyawa porphobilinogen tersebut mengalami perubahan bentuk lagi menjadi protophorpirin-IX yang selanjutnya diubah menjadi haeme. Haeme akan bereaksi dengan globin dan ion logam Fe2+ dan dengan bantuan enzim ferrokhelatase akan membentuk khelat haemoglobin (Palar, 2008).

Senyawa Pb yang terdapat dalam tubuh akan mengikat gugus aktif dari enzim ALAD. Ikatan yang terbentuk antara logam Pb dengan ALAD akan mengakibatkan pembentukan intermediet porphobilinogen dan kelanjutan dari proses ini tidak dapat berlangsung (terputus).

Keracunan yang terjadi sebagai akibat kontaminasi dari logam Pb dapat menimbulkan hal-hal berikut:

1. Meningkatkan kadar ALA dalam darah dan urine.

2. Meningkatkan kadar protophorpirin dalam sel darah merah. 3. Memperpendek umur sel darah merah.

4. Menurunkan jumlah sel darah merah.

5. Menurunkan kadar retikulosit (sel-sel darah merah yang masih muda) 6. Meningkatkan kandungan logam Fe dalam plasma darah

(Palar, 2008).

2.1.6.2. Efek Pb pada Sistem Saraf

Dari semua sistem pada organ tubuh, sistem saraf merupakan sistem yang paling sensitif terhadap daya racun logam Pb. Pengamatan yang dilakukan pada pekerja tambang dan pengolahan logam Pb menunjukkan bahwa pengaruh dari keracunan Pb dapat menimbulkan kerusakan pada otak. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan otak sebagai akibat dari keracunan Pb adalah epilepsi, halusinasi, kerusakan pada otak besar, dan delirium (Palar, 2008).


(25)

2.1.6.3. Efek Pb pada Sistem Urinaria

Senyawa –senyawa Pb yang terlarut dalam darah akan dibawa oleh darah ke seluruh sistem tubuh. Pada peredarannya, darah akan mencapai glomerulus yang merupakan bagian dari ginjal yang berfungsi sebagai filtrasi. Ikut sertanya senyawa Pb yang terlarut dalam darah ke sistem urinaria (ginjal) dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan saluran ginjal. Kerusakan yang terjadi tersebut disebabkan terbentuknya intranuclear inclusion bodies yang disertai pembentukan aminociduria, yaitu terjadinya kelebihan asam amino dalam urin. Aminociduria dapat kembali normal setelah beberapa minggu, tetapi intranuclear inclusion bodies membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk kembali normal (Palar, 2008).

2.1.6.4.Efek Pb pada Sistem Endokrin

Efek yang ditimbulkan oleh keracunan Pb terhadap fungsi sistem endokrin mungkin merupakan yang paling sedikit yang pernah diteliti dibandingkan dengan sistem tubuh yang lain. Hal ini disebabkan karena parameter pengujian yang akan dilakukan terhadap sistem endokrin lebih sulit ditentukan dan kurang variatif bila dibandingkan dengan sistem-sistem lainnya.

Pengukuran terhadap steroid dalam urine pada kondisi paparan Pb yang berbeda dapat digunakan untuk melihat hubungan penyerapan Pb oleh sistem endokrin. Dari pengamatan yang dilakukan dengan paparan Pb yang berbeda terjadi pengurangan pengeluaran steroid dan terus mengalami pengurangan. Kecepatan pengeluaran aldosteron juga mengalami penurunan selama pengurangan konsumsi garam pada orang yang keracunan Pb dari penyulingan alkohol. Endokrin lain yang diuji pada manusia adalah endokrin tiroid. Fungsi dari hormon tiroid akan mengalami tekanan bila manusia kekurangan Iodine isotop 131 (Palar, 2008).

2.1.6.5. Efek Pb pada Jantung

Sejauh ini, perubahan otot jantung akibat keracunan logam Pb hanya ditemukan pada anak-anak. Perubahan tersebut dapat dilihat dari ketidak-normalan


(26)

EKG (elektrokardiografi). Tetapi, setelah diberikan bahan khelat, EKG akan kembali normal (Palar, 2008).

2.1.6.6. Efek Pb pada Organ Reproduksi

Percobaan yang dilakukan pada tikus putih jantan dan betina yang diberi makanan yang mengandung 1% Pb-asetat menunjukkan berkurangnya kemampuan sistem reproduksi dari hewan tersebut. Embrio yang dihasilkan dari perkawinan yang terjadi antara tikus jantan yang diberi perlakuan Pb-asetat dengan betina normal (tidak diberi perlakuan) mengalami hambatan dalam pertumbuhannya, sedangkan janin yang terdapat pada betina yang diberi perlakuan dengan Pb-asetat mengalami penurunan dalam ukuran, hambatan pada pertumbuhan dalam rahim induk dan setelah dilahirkan.

Percobaan pada tikus yang dipaparkan dengan logam Pb menunjukkan penurunan spermatogenesis dan testosteron tanpa disertai peningkatan gonadotropin. Logam plumbum juga dapat menyebabkan gangguan sistem reproduksi pada tingkat hipothalamus (Klaassen, 2007).

2.1.7. Kadar Normal Logam Pb dalam Tubuh

Untuk dapat melakukan evaluasi keterpaparan terhadap logam Pb, perlu diketahui batas normal dari konsentrasi kandungan Pb dalam jaringan-jaringan dan cairan tubuh.

Tabel 2.2. Batas Kadar Normal Pb dalam Sembilan Jaringan Tubuh Jaringan mg Pb/100 gr Jaringan

Tulang 0,67-3,59

Hati 0,04-0,28

Paru-Paru 0,03-0,09

Ginjal 0,05-0,16


(27)

Jantung 0,04

Otak 0,01-0,09

Gigi 0,28-31,4

Rambut 0,007-1,17

(Sumber: Palar, 2008)

Kadar maksimum Pb yang masih dianggap aman dalam darah anak-anak sesuai dengan yang diperkenankan WHO dalam Depkes (2001) adalah 10 μg/dl darah, sedangkan untuk orang dewasa adalah 10-25 μg/dl darah (Naria, 2005). Tingkat keparahan akibat plumbum pada orang dewasa digolongkan menjadi 4 kategori (Tabel 2.3.).

Tabel 2.3. Kategori Pb dalam Darah Orang Dewasa Kategori Kadar Pb dalam Darah

(μg/100ml)

Deskripsi

A (Normal) <40 Tidak terkena paparan

atau paparan normal

B (Dapat Ditoleransi) 40-80 Penambahan penyerapan

dari keadaan terpapar tetapi masih bisa ditoleransi

C (Berlebih) 80-120 Kenaikan penyerapan dari

keterpaparan yang banyak

dan mulai memperlihatkan

tanda-tanda keracunan

D (Tingkat Bahaya) >120 Penyerapan mencapai

tingkat bahaya dengan tanda-tanda keracunan ringan sampai berat


(28)

2.2. Madu

2.2.1. Gambaran Umum

Madu merupakan sumber energi dan bahan yang diubah menjadi lemak dan glikogen. Lebah madu memperoleh sebagian energi dari karbohidrat dalam bentuk gula.

Pada dasarnya, madu adalah zat manis alami yang dihasilkan lebah dengan bahan baku nektar bunga. Nektar adalah senyawa kompleks yang dihasilkan kelenjar tanaman dalam bentuk larutan gula.

Nektar dikumpulkan lebah pekerja dari bunga dengan cara mengisapnya menggunakan mulut dan esophagus lalu masuk ke abdomen. Sebagian air nektar diserap sel-sel dinding perut lebah dan dibuang ke luar melalui saluran malphigi dan poros usus. Bersama air dibuang juga asam oksalat dan turunannya, beberapa garam mineral, dan sebagian zat aromatik yang terdapat di nektar. Zat aromatik yang tertinggal memberikan aroma khusus pada madu (Sarwono, 2001).

Perubahan nektar menjadi madu dimulai ketika lebah pekerja membawa nektar ke sarangnya. Nektar yang berhasil dibawa pulang diberi ke lebah pekerja lainnya untuk dicampur dengan air liur dan dihilangkan airnya (Sarwono, 2001).

Sesampainya di sarang, bahan tersebut diserahkan kepada lebah pekerja yang bertugas di dalam sarang. Setelah dikunyah-kunyah selama dua puluh menit, sambil menambahkan amilase dan invertase, bahan tadi diproses menjadi madu. Madu yang sudah jadi disimpan dalam sel-sel sarang setetes demi setetes dan sebagian kadar airnya diuapkan lagi dengan kipasan sayap sebelum pintu sel sarang ditutup. Kadar airnya diturunkan sampai dibawah 18% untuk mencegah terjadinya peragian. Selanjutnya, madu disimpan di dalam bilik penyimpanan. Simpanan madu itu sebenarnya merupakan pakan cadangan bagi anak-anak lebah.

Untuk menghasilkan 1 kg madu, lebah madu harus mengumpulkan 120.000-150.000 tetes nektar atau 3-4 kg nektar dengan menempuh jarak 360.000-450.000 (Sarwono, 2001).


(29)

2.2.2. Madu Murni

Madu murni menurut Farmakope Indonesia adalah madu yang diperoleh dari sarang lebah madu Apis mellifera dan spesies lainnya yang telah dimurnikan dengan pemanasan sampai 70oC. Setelah dingin, kotoran yang mengapung disaring. Selanjutnya, madu dapat ditambah dengan air secukupnya untuk pengenceran sehingga bobot madu per ml memenuhi persyaratan yang telah dibakukan.

Bentuk madu berupa cairan kental seperti sirup. Warnanya bening atau kuning pucat sampai coklat kekuningan. Rasanya khas, yaitu manis dengan aroma yang enak dan segar. Jika dipanaskan, aromanya menjadi lebih kuat tetapi bentuknya tidak berubah. Bobotnya per ml berkisar antara 1,352 gram sampai 1,358 gram (Sarwono, 2001).

2.2.3. Penggolongan Madu

Berdasarkan asal nektar, madu dapat digolongkan atas tiga golongan, yaitu madu flora, madu ekstraflora dan madu embun.

Madu flora adalah madu yang dihasilkan dari nektar bunga. Madu yang berasal dari satu jenis bunga disebut madu monoflora, sedangkan madu yang berasal dari aneka ragam bunga disebut madu poliflora. Madu flora sangat baik sebagai pakan tambahan atau penambah tenaga, sedangkan madu poliflora baik untuk mengobati orang yang kelelahan, kepanasan, kedinginan, terkena luka bakar, mengalami luka sayat, dan terkena luka tusuk. Madu poliflora mengandung asam amino bebas yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan madu monoflora.

Madu ekstraflora adalah madu yang dihasilkan dari nektar diluar bunga, seperti daun, cabang atau batang tanaman.


(30)

Madu embun adalah madu yang dihasilkan dari cairan hasil suksesi serangga yang kemudian eksudatnya diletakkan di bagian tanaman. Selanjutnya cairan itu diserap dan dikumpulkan oleh lebah madu. Madu ini berwarna gelap dengan aroma merangsang (Sarwono, 2001).

2.2.4. Warna Madu

Karena berasal dari bunga tanaman yang berbeda-beda, warna, aroma, dan rasa madu hasil pengentalan nektar juga berbeda-beda. Warna madu bervariasi, mulai dari putih, kuning, kecoklatan dan ada pula yang kehitaman. Variasi warna itu tergantung pada komposisi zat warna yang terkandung didalamnya. Komponen zat warna tergantung dari nektar bunganya. Zat warna yang membentuk warna madu antara lain xanthophyl, carotin, dan chlorophyl.

Berdasarkan warnanya, madu dapat dibedakan atas madu putih atau madu terang dan madu gelap. Madu putih banyak diperoleh dari tanaman jeruk, kapuk, dan durian, sebaliknya madu gelap diperoleh dari bunga aster dan cairan serangga (Sarwono, 2001).

2.2.5. Komposisi Madu

Madu merupakan salah satu nutrisi alami sumber energi. Satu kilogram madu mengandung 3.280 kalori atau setara dengan 50 butir telur ayam, 5,7 liter susu, 25 buah pisang, 40 buah jeruk, 4 kg kentang dan 1,68 kg daging (Suranto, 2007 dalam Dewi, 2010).

Tabel 2.4. Komposisi Rata-Rata Madu

Kandungan Rata-rata Kisaran Deviasi Standar

Fruktosa/Glukosa 1,23 0,76-1,86 0,126

Fruktosa % 38,38 30,91-44,26 1,77

Glukosa % 30,31 22,89-44,26 3,04


(31)

Sukrosa % 1,31 0,25-7,57 0,87

Gula % 83,27 %

Mineral % 0,169 0,020-1,028 0,15

Asam bebas 0,43 0,13-0,92 0,16

Nitrogen 0,041 0,000-0,133 0,026

Air % 17,2 13,4-22,9 1,5

Ph 3,91 3,42-6,01 -

Total keasaman meq/kg

29,12 8,68-59,49 10,33

Protein mg/100g 168,6 57,7-56,7 70,9

(Suranto, 2007, dalam Dewi, 2010)

Komposisi madu bervariasi tergantung pada jenis tanaman asal madu tersebut, tetapi komposisi utama dari semua madu hampir sama. Komposisi rata-rata madu terdapat dalam tabel 2.4. dan komposisi vitamin dan mineral madu dapat dilihat pada tabel 2.5.

National Honey Board 2005 mengungkapkan salah satu kelebihan madu yaitu sebagai sumber antioksidan. Penelitian menunjukkan bahwa madu kaya akan antioksidan. Jumlah dan kandungan antioksidan sangat tergantung pada sumber nektarnya. Madu yang berwarna gelap (seperti madu manuka) terbukti memiliki kadar antioksidan yang lebih tinggi daripada madu yang berwarna terang (seperti madu akasia) (Suranto, 2007 dalam Dewi, 2010). Ahli dari Universitas Illinois yang meneliti 19 sampel madu yang berasal dari 14 sumber tumbuhan yang berbeda semakin mengukuhkan bahwa tiap madu memiliki efek antioksidan yang berbeda. Sebuah penelitian yang dilakukan di University of Zagreb Croatia menemukan bahwa konsumsi madu bisa menghentikan perkembangan tumor dan penyebarannya (Suranto, 2007 dalam Dewi, 2010).

Penelitian Kilicoglu (2008) dalam Dewi (2010) membuktikan efek anti mikrobial dari madu. Hal ini berkaitan dengan osmolaritas madu, keasaman, kandungan flavonoid maupun hidrogen peroksida. Madu memberikan efek proteksi terhadap mekanisme toksisitas pada sirkulasi dan hati yang disebabkan oleh ikterus obstruktivus (Erguder, 2008 dalam Dewi, 2010).


(32)

Kandungan vitamin E telah banyak diteliti yang berfungsi sebagai penghambat tumor hati dan uterus, mempertahankan berat badan tikus yang disakiti, jumlah eritrosit dan leukosit, kadar Hb, menghambat patofisiologi tumor indung telur dan endometriosis (Hanim et al., 1998, dalam Dewi, 2010).

Beberapa penelitian mengungkapkan efek antioksidan yang bermacam-macam yang terkandung pada madu. Antioksidan merupakan senyawa penetral radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang tidak stabil yang terus-menerus menyerang tubuh dari luar seperti sinar matahari, polusi dan asap rokok maupun yang menyerang tubuh dari dalam seperti metabolisme dan kehidupan normal. Molekul ini mengalami suatu reaksi berantai yang menimbulkan jutaan radikal bebas baru yang merusak protein, sel, jaringan dan organ tubuh. Radikal bebas ini menyebabkan penuaan, perubahan degeneratif, radang, dan penyakit yang membuat lama hidup menjadi singkat. Radikal bebas bisa merusak sel melalui proses oksidasi, apabila berlangsung lama dapat menyebabkan berbagai penyakit kronis seperti penyakit jantung dan kanker (IPTEKnet, 2005 dalam Dewi, 2010).

Tabel 2.5. Kandungan Vitamin dan Mineral dalam Madu

Nutrisi Unit Jumlah

Rata-rata dalam 100 gr Madu

Rekomendasi Kebutuhan Sehari

Kalori Kkal 304 2.800

Vitamin :

A IU - 5.000

B1 (thiamin) mg 0,004-0,006 1,5

B2 (riboflavin) mg 0,002-0,06 1,7

Asam nikotinat (niasin)

mg 0,11-0,36 20

B6 (piridoksin) mg 0,008-0,32 2,0

Asam pantotenat mg 0,02-0,11 10

Asam folat mg - 0,4


(33)

(sianokobalamin)

C IU 2,2-2,4 60

D IU - 400

E (tokoferol) - 30

Biotin - 0,3

Mineral :

Kalsium mg 4-30 1.000

Klorin mg 2-20 -

Tembaga mg 0,01-0,12

Yodium mg - 0,15

Besi mg 1-3,4 18

Magnesium mg 0,7-13 400

Fosfor mg 2-60 1,00

Kalium mg 10-470 -

Natrium mg 0,6-40 -

Seng mg 0,2-0,5 15

(Suranto, 2007 dalam Dewi, 2010) 2.2.6. Manfaat Madu

Pengobatan dengan madu telah dikenal orang Mesir kuno sejak 2.600 SM. Madu digunakan sebagai salep antiseptik untuk mengobati luka oleh bangsa Yunani, Romawi, Assyria, dan Cina kuno. Madu dipakai karena memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut:

1. Madu merupakan suplemen makanan yang baik.

2. Madu mencegah terjadinya peragian dalam saluran pencernaan dan kandungan gizi madu cepat diserap tubuh.

3. Madu mengandung elemen-elemen penting untuk pembentukan sel darah baru.

4. Madu memiliki efek laksatif sehingga mencegah rasa mual.

5. Madu bertindak sebagai sedatif sehingga dapat menyebabkan tidur nyenyak. 6. Madu meningkatkan kadar serotonin dalam otak sehingga menimbulkan efek


(34)

7. Madu tidak dicerna terlebih dahulu dalam tubuh manusia karena telah mengalami pencernaan dalam tubuh lebah ketika masih berupa nektar.

8. Madu mencegah pertumbuhan mikroba seperti Salmonella, Shigella, E. coli dan V. cholera yang menyebabkan diare. Dalam percobaan madu sebagai antibiotika, kadar gulanya dihilangkan. Ternyata, madu tanpa gula sama efektifnya dengan streptomycin sehingga dapat membunuh bakteri.

2.3. Sistem Reproduksi 2.3.1. Testis

Sistem reproduksi mencit jantan terdiri dari sepasang kelenjar kelamin (testis), saluran reproduksi, kelenjar aksesori dan organ kopulasi. Masing-masing organ tersebut berjumlah sepasang, kecuali uretra dan penis. Testis memiliki fungsi ganda, yaitu menghasilkan hormon dan spermatozoa (Junqueira, 2004). Menurut Behre (2003) dalam Hasaaanah (2009), testis merupakan kelenjar endokrin karena memproduksi testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig yang berpengaruh terhadap sifat-sifat jantan dan berperan dalam spermatogenesis.

Testis mamalia terletak dalam kantong skrotum diluar rongga tubuh dengan dua lobus. Masing-masing lobus berbentuk oval dibungkus oleh jaringan ikat fibrosa yang disebut tunika albugenia. Tunika albugenia menebal pada bagian posterior testis membentuk mediastinum testis yang membagi lobus testis secara radier menjadi lobulus testis. Tubulus seminiferus sebagai tempat spermatogenesis berlangsung berada dalam lobulus testis tersebut. Pada manusia tubulus seminiferus memiliki diameter kurang lebih 150-250 μm dan panjang 30-70 cm (Junqueira, 2004).


(35)

Sistem reproduksi jantan dikendalikan oleh poros hipotalamus-hipofisis-testis. Hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus yang memengaruhi reproduksi jantan adalah GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone). GnRH terdiri dari FSH-RF (Follicle Stimulating Hormone-Releasing Factor) dan LH-RF (Luteinizing Hormone-Releasing Factor). Hipofisis menghasilkan hormon FSH dan LH atau ICSH (Interstitial Cell Stimulating Hormone) (Susetyarini, 2003 dalam Rukmana, 2010).

Sekresi testosteron dibawah pengawasan LH dengan mekanisme hormon LH merangsang sel leydig melalui peningkatan siklik AMP. Siklik AMP meningkatkan pembentukan kolesterol dari ester kolesterol dan perubahan kolesterol menjadi pregnenolon melalui pengaktifan protein kinase (Ganong, 1983 dalam Rukmana, 2010).

Proses spermatogenesis, selain dipengaruhi oleh testosteron dan LH, juga dipengaruhi oleh hormon FSH. FSH berfungsi untuk merangsang testis dan memacu proses spermatogenesis. Selain itu, FSH juga merangsang sel sertoli dalam pembentukan protein pengikat androgen (Androgen Protein Binding/ABP) yang berperan dalam pengangkutan testosteron ke dalam tubulus seminiferus dan epididimis. Mekanisme ini penting untuk mencapai kadar testosteron yang dibutuhkan untuk terjadinya spermatogenesis. Selain membentuk protein pengikat androgen, sel sertoli juga membentuk inhibin. Inhibin adalah suatu hormon nonsteroid yang mempunyai mekanisme umpan balik untuk menghambat produksi FSH yang berlebihan (Susetyarini, 2003 dalam Rukmana, 2010).

Hasil penelitian dari Satriyasa (2008) dalam Rukmana (2010) menyatakan bahwa FSH sangat dibutuhkan pada saat aktivitas proliferasi spermatogonium berlangsung. Sehingga, jika FSH terhambat, suplai glukosa dan sintesis protein juga terhambat. Penurunan FSH akan menyebabkan perubahan sitoskeletal sel sertoli sehingga menyebabkan suplai laktat dan piruvat pada spermatosit primer dan spermatid juga akan menurun.


(36)

2.3.3. Spermatogenesis

Spermatogenesis adalah proses perkembangan spermatogonia menjadi spermatozoa. Spermatogonium terletak berdekatan dengan membran basalis tubulus seminiferus yang berpoliferasi menjadi spermatosit primer. Setelah itu, terjadi pembelahan miosis untuk membentuk spermatosit sekunder. Tahap akhir spermatogenesis adalah maturasi spermatid menjadi spermatozoa/sperma (Junqueira, 2004).

Spermatogenesis pada mencit memerlukan waktu 35,5 hari atau spermatogenesis akan selesai setelah menempuh empat kali daur epitel seminiferus. Lama satu kali daur epitel tubulus seminiferus pada mencit adalah 207 jam ± 6,2. Secara umum, spermatogenesis dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap proliferasi, tahap pertumbuhan, tahap pematangan dan tahap transformasi/spermiogenesis. Pada spermatogenesis, FSH memiliki peranan yang penting, yaitu berperan dalam menstimulasi kejadian awal spermatogenesis diantaranya proliferasi spermatogonium (Handayani, 2001 dalam Hasaaanah, 2009).

Pada tikus dikenal tiga macam spermatogenis yaitu spermatogonia A, spermatogonia intermedier dan spermatogonia B (Clermont, 1972 dalam Rubin,1993). Dalam sediaan yang diwarnai, ketiga macam sel ini dapat dibedakan berdasarkan kondensasi kromatin pada membran inti. Membran inti spermatogonia A memperlihatkan kondensasi kromatin yang tipis dan halus, sedangkan membran inti spermatogonia B memperlihatkan kondensasi yang kasar dan tidak merata. Spermatogonia intermedier memperlihatkan bentuk peralihan antara spermatogonia A dan B.

Pada tahap proliferasi, spermatogonium mengalami pembelahan mitosis menjadi spermatogonia tipe A. Spermatogonium mulanya membelah dua kali menghasilkan empat sel spermatogonia A. Satu diantara empat sel ini tetap sebagai spermatogonia A, sedangkan tiga yang lainnya membelah satu kali membentuk enam


(37)

spermatogonia intermedier yang akan membelah satu kali lagi membentuk dua belas spermatogonia. Spermatogonia tipe B selanjutnya membelah satu kali membentuk spermatosit I (primer). Pada tahap pematangan, spermatosit primer akan mengalami pembelahan reduksional (meiosis).

Selama pembelahan meiosis, FSH sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pembelahan meiosis. Menurut Fitriyah (2001) dalam Hasaaanah (2009), pembelahan meiosis yang dialami oleh spermatosit primer dimulai dari meiosis I dilanjutkan ke meiosis II. Masing-masing fase pembelahan ini masih dibagi lagi kedalam beberapa tahap, yaitu profase, metafase, anafase dan telofase. Tahap profase I meiosis I merupakan tahap yang sangat panjang sehingga dikelompokkan lagi kedalam lima stadium, yaitu leptotene, zigotene, pakhitene, diplotene dan diakinesis.

Ciri-ciri dari masing-masing stadium tersebut adalah sebagai berikut:

1. Leptotene memperlihatkan kromosom sebagai benang panjang sehingga masing-masing kromosom belum dapat dikenal.

2. Zigotene memperlihatkan keadaan kromosom-kromosom homolog berpasangan.

3. Pakhitene merupakan stadium yang paling lama dari profase I meiosis, benang-benang kromosom tampak semakin jelas karena adanya kontraksi dari kromosom sehingga kromosom tampak semakin menebal. Pada stadium ini berlangsung proses biologis yang sangat penting yaitu pindah silang (Crossing Over). Pada stadium ini spermatosit primer mudah mengalami kerusakan dan degenerasi yang sangat luas.

4. Diplotene ditandai dengan terjadinya pemisahan kromatid-kromatid yang semula berpasangan membentuk bivalen.

5. Diakenesis yang merupakan stadium terakhir memperlihatkan kromosom-kromosom semakin memendek dan kiasmata semakin jelas.


(38)

Gambar 2.1. Proses Spermatogenesis dan Spermiogenesis (Dikutip dari Junqueira, 2004)


(39)

Spermiogenesis merupakan tahap akhir produksi spermatozoa. Spermiogenesis adalah transformasi spermatid menjadi spermatozoa. Spermiogenesis adalah suatu proses perkembangan yang rumit yang mencakup pembentukan akrosom (Yun. akron, ekstremitas, + soma, tubuh), pemadatan, pemanjangan inti, pembentukan flagellum, dan hilangnya sebagian besar sitoplasma. Proses perkembangn tersebut tercakup dalam fase golgi dan fase akrosom. Hasil akhirnya adalah spermatozoa matang, yang kemudian dilepas ke dalam lumen tubulus seminiferus (Gambar 2.2.).

Gambar 2.2. Gambaran histologi tubulus seminiferus (Dikutip dari www.lab.anhb.uwa.edu.au/mb140/)


(40)

Gambar 2.3. Perubahan Utama pada Spermatid selama Spermiogenesis (Dikutip dari Junqueira, 2004)

2.3.5. Spermatozoa

Spermatozoa yang terbentuk dalam tubulus seminiferus kemudian masuk kedalam epididimis dan mengalami proses pematangan lebih lanjut. Di dalam epididimis, spermatozoa mengalami pematangan fisiologis, termasuk perolehan dan modifikasi protein atau enzim membran plasma yang berperan penting dalam transport ion (Kaur et al., 1991 dalam Rubin, 1993). Fungsi epididimis ini bergantung pada keberadaan androgen. Tanpa androgen, berat epididimis akan menyusut sekitar 25% (Brooks, 1981 dalam Rubin, 1993).

Perubahan morfologi dan biokimia selama tranport melewati epididimis meningkatkan kemampuan spermatozoa untuk membuahi ovum. Perubahan pada membran plasma antara lain meliputi muatan permukaan, peningkatan lektin dan antigen permukaan (Brooks, 1981 dalam Rubin, 1993). Selain itu epididimis sendiri merupakan organ yang aktif dalam transport elektrolit, sekresi bahan-bahan seperti


(41)

karnitin dan gliserofosforil-kholin (Wong & Yeung, 1978; Brooks et al., 1974 dalam Rubin 1993).

Kualitas spermatozoa antara lain dapat dilihat dari bentuknya. Kesalahan dalam proses spermiogenesis dapat menyebabkan kelainan bentuk spermatozoa, baik pada kepala maupun ekor. Kelainan bentuk kepala spermatozoa tikus dapat dikelompokkan menjadi bentuk kepala seperti pisang, bentuk kepala amorf dan bentuk kepala yang terlalu membengkok (Washington et al., 1983 dalam Rubin 1993).


(42)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Gambar 3.1. Kerangka Konsep tentang Perlakuan terhadap Kelompok Kontrol dan Perlakuan

Gambaran Histologi (Diameter dan

Tebal Epitel Tubulus Seminiferus) Testis Mencit Kelompok

Kontrol

Kelompok Perlakuan 1

Kelompok Perlakuan 2

Pemberian aquadest

Pemberian Pb Asetat dengan dosis

100 mg/kgBB/hari

Pemberian Pb Asetat dengan dosis 100 mg/kgBB dan Madu

dengan dosis 0,04 ml /20 gram BB/hari


(43)

3.2. Kerangka Teori

Kemajuan Industri dan Transportasi

Peningkatan Penggunaan Pb pada Bahan Bakar Kendaraan

Peningkatan Penggunaan Pb dalam kehidupan sehari-hari

Peningkatan Emisi Gas Buang Kendaraan yang Mengandung Pb

Jumlah Pb dalam Lingkungan Meningkat

Kerusakan pada Organ Reproduksi Salah Satunya Penurunan Diameter dan Tebal

Epitel Tubulus Seminiferus


(44)

Gambar 3.2. Kerangka Teori tentang Pengaruh Pemberian Madu terhadap Kerusakan Organ Reproduksi akibat Pb (garis putus-putus berarti menghambat)

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.3.1. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel Bebas : Pemberian Pb asetat 100mg/kgBB/hari dan pemberian Pb asetat 100mg/kgBB/hari + Madu 0,04 mL/20 gram BB/hari.

2. Variabel Bergantung : Gambaran histologi testis mencit.

3.3.2. Definisi Operasional

a. Plumbum adalah nama ilmiah logam timbal yang termasuk dalam kelompok logam golongan IV-A tabel periodik unsur kimia dan disimbolkan dengan Pb (Palar, 2008).

b. Pb Asetat adalah persenyawaan antara logam plumbum dengan asam asetat (CH3-COO-Pb-OOCH3) yang merupakan salah satu bahan pengkilap dan tahan api (Palar, 2008).

c. Madu adalah zat manis alami yang dihasilkan lebah dengan bahan baku nektar bunga (Sarwono, 2001).


(45)

d. Pemberian Pb asetat : Pb asetat yang akan diberikan pada mencit dengan dosis 100mg/kgBB/hari, dengan menggunakan jarum gavage peroral.

e. Pemberian Pb asetat dan madu : Pb asetat 100mg/kgBB/hari diberikan terlebih dahulu dan diikuti pemberian madu 0,04 ml/ 20 grBB/hari, dengan menggunakan jarum gavage peroral. Penggunaan madu untuk pencegahan penyakit pada manusia adalah 1-2 kali/hari 1 sendok makan (Suranto, 2007). Dosis dikonversikan dengan table konversi Ngatidjan sehingga ditemukan dosis yang sesuai untuk mencit (Mus musculus).

f. Gambaran histologi testis : gambaran mikroskopis yang diamati meliputi diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus. Dengan menggunakan mikroskop sitogenetik pembesaran 10x merk Carl Zeiss, pengukuran diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus dilakukan dengan mengukur jarak terdekat antara dua titik bersebrangan pada garis tengahnya. Kedua titik tersebut berada pada batas antara membran basalis dengan sel spermatogenik. Pengukuran tebal epitel tubulus seminiferus juga dimulai dari titik tersebut sampai ke permukaan lumen. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan mikrometer (μm) (Suntoro, 1983 dalam Pangestuti, 2011). Rata-rata diameter tubulus seminiferus pada manusia adalah kira-kira 150-250 μm dengan panjang 30-70 cm.

3.4. Hipotesis

Ada perbedaan gambaran histologi testis antara kelompok pemberian Pb Asetat dengan kelompok pemberian Pb Asetat dan madu.


(46)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Desain yang digunakan pada penelitian hewan percobaan ini adalah penelitian eksperimental murni dengan pendekatan “Rancangan Eksperimen Sederhana (Post Test Only Control Group Design)”. Pada desain rancangan eksperimen sederhana, subjek penelitian dibagi secara acak ke dalam kelompok perlakuan, yaitu yang diberi perlakuan dan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. Kemudian, variabel hasilnya diobservasi setelah periode yang telah ditentukan. Perbedaan hasil observasi kedua kelompok menunjukkan pengaruh perlakuan (Kasjono dan Yasril, 2009).


(47)

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan tiga kelompok hewan percobaan mencit putih (Mus musculus), yang terdiri atas satu kelompok kontrol dan dua kelompok yang diberi intervensi. Setelah delapan minggu, hasil yang diperoleh akan dianalisis untuk melihat ada tidaknya perbedaan pada ketiga kelompok perlakuan tersebut. Perbedaan pada ketiga kelompok perlakuan menunjukkan adanya pengaruh perlakuan. Tidak dilakukan pretest pada seluruh kelompok eksperimen. Kelompok perlakuan I langsung diberi paparan Pb (plumbum) asetat dan kelompok perlakuan II diberi Pb asetat bersamaan dengan madu.

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini memerlukan waktu selama 12 minggu. Perawatan dan pemberian perlakuan pada hewan percobaan dilaksanakan di Laboratorium Biologi FMIPA USU, dilanjutkan dengan pembuatan preparat histologi di Laboratorium Patologi Anatomi FK USU kemudian pengukuran diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus testis mencit dilakukan di Laboratorium Sitogenetik FK USU dan pengambilan gambar histologi dari preparat yang dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran USU.

4.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah mencit jantan umur 8-11 minggu dengan berat badan 25-35 gram dan sehat yang ditandai dengan gerakan yang aktif dan diperoleh dari Laboratorium Biologi FMIPA USU.

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia Famili : Muridae Upafamili : Murinae Genus : Mus


(48)

4.3.1. Kriteria Inklusi 1. Mencit jantan 2. Umur 8-11 minggu 3. Berat badan 25-35 gram

4.3.2. Kriteria Eksklusi

1. Terdapat abnormalitas anatomi yang tampak 2. Mencit tampak sakit, tidak bergerak aktif

4.4. Besar Sampel

Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus besar sampel penelitian hewan coba Federer dalam Wahyuni (2008) :

Dengan ; t = kelompok perlakuan (3 kelompok)

n = jumlah sampel tiap kelompok

Banyak sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :

(t-1) (n-1) ≥ 15 (3-1) (n-1) ≥ 15 2n-2 ≥ 15 n ≥ 9


(49)

Dari hasil perhitungan di atas, dibutuhkan jumlah sampel sebanyak sembilan ekor mencit pada tiap kelompok sehingga total jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak 27 ekor mencit dengan perincian sebagai berikut :

1. K = kelompok kontrol yang diberikan aquadest sebanyak sembilan ekor mencit selama delapan minggu.

2. P1 = kelompok perlakuan Pb asetat 100mg/kgBB/hari sebanyak sembilan ekor mencit selama delapan minggu

3. P2 = kelompok perlakuan Pb asetat 100mg/kgBB/hari dan madu 0,04 ml/20 grBB/hari sebanyak sembilan ekor selama delapan minggu.

4.5. Pelaksanaan Penelitian

4.5.1. Penentuan Dosis Plumbum dan Dosis Madu

Pada penelitian ini, dosis Pb asetat yang diberikan adalah 100 mg/ kg BB / hari (Pangestuti, 2011). Pb asetat yang digunakan dalam bentuk serbuk yang dilarutkan dengan aquades kemudian dimasukkan langsung ke lambung mencit dengan menggunakan jarum gavage per oral.

Madu yang digunakan dalam penelitian ini adalah madu murni yang terstandar sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan nama dagang madu ‘Clover Honey’. Dosis madu yang diberikan adalah 0,04 ml/20 grBB/hari yang kemudian diencerkan dengan aquadest menjadi volume 0,2 ml merujuk pada penelitian sebelumnya oleh Dewi (2010).

4.5.2. Pemeliharaan Hewan Coba

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan (Mus musculus) berumur 8-11 minggu dengan berat badan 25-35 gr. Kebersihan


(50)

kandang selalu dijaga setiap hari agar mencit terhindar dari infeksi akibat kotorannya sendiri. Suhu kandang dijaga agar tetap dalam suhu ruangan dan pencahayaan ruangan menggunakan cahaya lampu dan sinar matahari secara tidak langsung. Makanan yang diberikan berupa pelet dan jagung halus. Makanan dan minuman diberikan secukupnya dalam wadah terpisah dan diganti setiap hari. Plumbum asetat dan madu diberikan pada mencit dengan menggunakan jarum gavage per oral.

4.5.3. Persiapan Hewan Coba

Masing–masing kelompok percobaan disiapkan dalam kandang yang terpisah. Mencit dipilih dan dipisahkan secara random dalam keadaan baik, dan disiapkan untuk beradaptasi selama dua minggu sebelum dilakukan penelitian. Sebelum perlakuan, berat badan setiap mencit diukur dan diamati kesehatannya secara fisik (gerakan, berat badan, makan, dan minum). Jika ada mencit yang sakit pada saat adaptasi ini, maka diganti dengan mencit yang baru dengan kriteria sama dan diambil secara acak (Anggraini, 2008).

4.5.4. Perlakuan Hewan Percobaan

Setelah semua perlakuan selesai pada akhir minggu ke-8 , hewan percobaan pada tiap kelompok (K, P1, dan P2) dikorbankan dengan cara dislokasi leher. Selanjutnya, dilakukan pembedahan dengan cara mencit diletakkan pada bak bedah dengan keempat anggota gerak terfiksasi. Skrotum dibuka dengan gunting hingga tampak testis. Testis diangkat dengan memotong duktus epididimis. Setelah dikeluarkan, testis dibersihkan dari jaringan ikat dan lemak (Pangestuti, 2011).


(51)

Sediaan histologis testis dibuat dengan metode parafin dan menggunakan pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin) sebelum melakukan pengamatan diameter, tebal dan jumlah tubulus seminiferus abnormal. Sesuai dengan cara yang lazim, pembuatan sediaan histologis dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Fiksasi

Jaringan testis diambil kemudian difiksasi dalam larutan formalin selama 2-10 jam.

2. Pencucian

Setelah proses fiksasi, dilakukan pencucian dengan alkohol 70%. 3. Dehidrasi

Dilakukan secara bertahap dengan menggunakan alkohol 70% selama 10 menit, alkohol 80%, 90%, 96%, masing-masing selama 60 menit, lalu dengan alkohol absolut 30 menit.

4. Penjernihan

Dilakukan segera setelah proses dehidrasi dengan menggunakan toluol murni. 5. Infiltrasi

Proses infiltrasi parafin dilakukan di dalam oven dengan suhu 56oC. Organ testis dimasukkan kedalam campuran toluol-parafin dengan perbandingan 1:1 selama 30 menit. Kemudian secara berturut dimasukkan kedalam:

parafin murni I selama 1 jam parafin murni II selama 1 jam parafin murni III selama 1 jam. 6. Penanaman

Sediaan dari parafin murni III dimasukkan kedalam kotak kertas kecil sebagai cetakan yang telah berisi parafin cair dan dibiarkan sampai parafin mengeras.


(52)

7. Pengirisan

Blok parafin testis yang telah mengeras ditempelkan pada holder dengan menggunakan spatula, lalu letakkan holder beserta blok parafin pada tempatnya di mikrotom. Pengirisan dilakukan dengan ketebalan ± enam μm. 8. Penempelan

Gelas benda diolesi dengan albumin dan ditetesi dengan aquadest. Kemudian, beberapa pipa parafin diletakkan di permukaan aquadest pada gelas benda dan dibiarkan beberapa saat. Kemudian, gelas benda dipindahkan ke meja pemanas hingga kering.

9. Pewarnaan

Pewarnaan dengan hematoxylin eosin melalui tahapan:

• Deparafinisasi preparat dengan xylol sampai bebas parafin

• Hidrasi dengan alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 50%, 30%, aquadest • Inkubasi dalam larutan haematoxylin erlich selama 30 menit

• Cuci dengan air mengalir ± 10 menit • Dicelupkan kedalam aquadest

• Dimasukkan kedalam alkohol 30%, 50%, 70%

• Dimasukkan kedalam larutan Eosin 0,5% selama tiga menit

• Dehidrasi dengan alkohol mulai dari 70%, 80%, 90% dan alkohol absolut • Dikeringkan dengan kertas penghisap

• Inkubasi dengan xylol selama satu malam

• Preparat ditutup dengan gelap penutup setelah ditetesi dengan kanada balsam terlebih dahulu, lalu diberi label.

Pewarnaan dengan hematoksilin eosin akan menyebabkan inti sel berwarna hitam kebiru-biruan dan sitoplasma berwarna merah. Selanjutnya dilakukan pengamatan histopatologis dengan menggunakan mikroskop sitogenetik (Pangestuti, 2011).


(53)

4.6. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan mikroskopis testis akan dianalisis dengan SPSS 17. Terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas data. Jika data berdistribusi normal dan homogen, akan dilakukan uji ANOVA. Bila terdapat perbedaan, akan dilakukan uji Post Hoc untuk melihat perbedaan antarkelompok kontrol dan masing-masing perlakuan.

Jika data tidak berdistribusi normal dan atau tidak homogen, akan dilakukan uji Kruskal Wallis. Untuk melihat perbedaan antar kelompok kontrol dan perlakuan menggunakan uji Mann Whitney.


(54)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Universitas Sumatera Utara (USU), yaitu Laboratorium Departemen Biologi FMIPA USU, Laboratorium Patologi Anatomi FK USU, Laboratorium Histologi FK USU, Laboratorium Sitogenetik FK USU.

Perawatan dan pemberian perlakuan pada hewan percobaan dilakukan di Laboratorim Biologi FMIPA USU selama delapan minggu dan dilanjutkan dengan pembuatan preparat jaringan testis mencit di Laboratorium Patologi Anatomi FK USU selama dua minggu. Kemudian, pengukuran diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus mencit dengan menggunakan mikroskop sitogenetik dilakukan di Laboratorium Sitogenetik FK USU selama tiga hari. Pengambilan data gambaran histologi testis mencit dilakukan di Laboratorium Histologi FK USU.


(55)

Populasi penelitian ini adalah mencit (Mus musculus) jantan umur 8-11 minggu dengan berat badan 25-35 gram yang diperoleh dari Laboratorium Biologi FMIPA USU. Sampel yang dipilih dari populasi adalah mencit yang sehat yang ditandai dengan gerakan yang aktif. Berdasarkan rumus besar sampel pada penelitian hewan coba Federer dalam Wahyuni (2008), besar sampel pada penelitian ini adalah 27 ekor mencit dengan jumlah sampel pada masing-masing kelompok sebanyak sembilan ekor.

5.1.3. Gambaran Makroskopis Testis Mencit

Gambaran makroskopis yang diamati meliputi perubahan warna, struktur permukaan dan konsistensi. Hasil gambaran makroskopis testis mencit terdapat pada lampiran 5. Pada kelompok kontrol (K), terlihat morfologi dari semua testis mencit dalam keadaan normal. Terlihat testis berwarna kuning jingga (krem), permukaan licin dan konsistensi kenyal. Berbeda dengan kelompok kontrol (K), pada kelompok perlakuan 1 (Pb asetat) terdapat perubahan morfologi dari semua mencit. Namun hanya perubahan warna yang terjadi, sedangkan struktur permukaan dan konsistensi tidak mengalami perubahan. Warna semua testis dari kelompok perlakuan 1 adalah kuning pucat. Pada kelompok perlakuan 2 (Pb asetat + Madu), sama hal nya dengan kelompok kontrol, morfologi dari semua testis masih dalam keadaan normal.


(56)

(a)

(b)

(c)

Gambar 4.1. Gambaran Makroskopis Testis Mencit. Gambar (a) adalah testis kelompok kontrol, (b) adalah testis kelompok perlakuan 1 dan (c) adalah testis kelompok perlakuan 2. Terlihat bahwa warna testis pada kelompok kontrol dan perlakuan 2 sama yaitu kuning jingga, sementara warna testis pada kelompok perlakuan 1 berwarna kuning pucat.

5.1.4 Gambaran Histologi Testis Mencit

Setelah dilakukan pembedahan, dilakukan pembuatan preparat histologi testis mencit di Laboratorium Patologi Anatomi FK USU. Preparat histologi testis mencit kemudian digunakan untuk melakukan pengukuran diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus mencit. Pengukuran ini dilakukan di Laboratorium Sitogenetik FK USU dengan menggunakan mikroskop sitogenetik merk Carl Zeiss dengan pembesaran 10x.

Masing-masing gambaran histologi preparat dari seluruh kelompok dibagi menjadi empat kuadran yaitu kuadran 1 (kiri atas), kuadran 2 (kanan atas), kuadran 3 (kanan bawah) dan kuadran 4 (kiri bawah) (gambar 4.2). Dari masing-masing kuadran dipilih tubulus seminiferus yang berbentuk oval untuk dilakukan pengukuran diameter dan tebal epitelnya sehingga diperoleh empat data diameter dan empat data tebal epitel tubulus seminiferus dari setiap preparat jaringan kelompok kontrol, perlakuan 1 dan perlakuan 2. Pengukuran diameter tubulus seminiferus dilakukan dengan mengukur jarak terdekat antara dua titik yang berseberangan pada garis tengahnya. Kedua titik itu berada pada batas antara membran basalis dengan sel


(57)

spermatogenik. Pengukuran tebal epitel tubulus seminiferus juga dimulai dari titik tersebut sampai ke permukaan lumen (gambar 4.3 dan gambar 4.4). Hasil pengukuran diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus testis mencit tercantum pada lampiran . Perbedaan gambaran histologi testis ketiga kelompok perlakuan dapat diamati pada gambar 4.5.


(58)

Gambar 4.2. Gambaran Histologi Testis Mencit Pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Pembesaran 40x10. (Gambaran histologi dibagi menjadi 4 kuadran, 1=kuadran kiri atas, 2=kuadran kanan atas, 3=kuadran kanan bawah, 4=kuadran kiri bawah)


(59)

Gambar 4.3. Gambar Tubulus Seminiferus Testis Mencit (Gambar diambil dari kelompok kontrol 4) Pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Pembesaran 40x10. Garis dengan dua mata panah menunjukkan tebal epitel tubulus seminiferus. Garis tanpa mata panah menunjukkan diameter epitel tubulus seminiferus.


(60)

(a) (b)

(c)

Gambar 4.4. Gambar Hasil Pengukuran Diameter dan Tebal Epitel Tubulus Seminiferus dengan menggunakan Mikroskop Sitogenetik pembesaran 10x10. Gambar (a) adalah kelompok kontrol (diameter = 216,67 μm, tebal = 56,53 μm), (b) kelompok perlakuan 1 (diameter = 182,16 μm, tebal = 40,74 μm) dan (c) kelompok perlakuan 2 (diameter = 182,05 μm, tebal = 54,69 μm).


(61)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4.5. Gambar Histopatologi Tubulus Seminiferus Mencit Pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Pembesaran 40x10.(a) Kelompok Kontrol, terlihat diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus mencit dalam keadaan normal.(b) Kelompok Perlakuan 1, terlihat terjadi penurunan tebal epitel tubulus seminiferus (lihat tanda


(62)

panah) karena penurunan jumlah sel spermatogenik. (c) Kelompok Perlakuan 1, terlihat adanya ruang kosong antara membran basalis dengan sel spermatogonia (lihat tanda panah). (d) Kelompok Perlakuan 2, terlihat gambaran yang hampir sama dengan kelompok kontrol.

Berdasarkan tabel data induk (lampiran 4), dapat dihitung diameter dan tebal rata-rata epitel rata-rata tubulus seminiferus mencit pada kelompok kontrol, kelompok perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2.

Tabel 5.1. Rata-Rata Diameter dan Tebal Epitel Tubulus Seminiferus pada Ketiga Kelompok Perlakuan

Kelompok Diameter (μm) Tebal Epitel (μm)

Kontrol 224 69.68

Perlakuan 1 209.98 40.78

Perlakuan 2 220.66 54.48

Tabel di atas menunjukkan bahwa kelompok kontrol memiliki diameter dan tebal epitel rata-rata yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan 1 dan 2. Rata-rata diameter dan tebal epitel kelompok perlakuan 1 (diberi Pb) merupakan yang terendah.

5.1.5. Analisis Data

Data seluruh diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus testis mencit diolah dengan menggunakan SPSS 17. Uji pertama yang dilakukan adalah uji normalitas untuk melihat distribusi yang dimiliki oleh sampel pada penelitian ini. Uji


(63)

yang dilakukan adalah Uji Kolmogorov Smirnov. Dari uji normalitas terhadap data diameter tubulus seminiferus mencit didapat p=0,2. Maka data diameter tubulus seminiferus mencit berdistribusi normal karena nilai p yang diperoleh lebih besar dari p=0,05. Selanjutnya, dilakukan Uji Anova untuk melihat beda rata-rata dan kemaknaan dari ketiga kelompok perlakuan. Dari uji Anova terhadap data diameter tubulus seminiferus mencit didapat p = 0,135. Hal ini mengartikan bahwa tidak didapat perbedaan diameter tubulus seminiferus yang bermakna antara ketiga kelompok perlakuan.

Sementara itu, dari uji normalitas terhadap data tebal epitel tubulus seminiferus mencit juga didapat nilai p=0,2. Maka data tebal tubulus seminiferus mencit juga berdidtribusi normal karena nilai p yang diperoleh lebih besar dari p=0,05. Selanjutnya, dilakukan Uji Anova untuk melihat beda rata-rata dan kemaknaan dari ketiga kelompok perlakuan. Dari uji Anova terhadap data tebal epitel tubulus seminiferus mencit didapat p = 0,000. Hal ini mengartikan bahwa terdapat perbedaan tebal epitel tubulus seminiferus mencit yang bermakna antara ketiga kelompok perlakuan. Karena terdapat perbedaan yang bermakna, dilakukan Uji Post Hoc untuk melihat perbedaan nilai tebal epitel rata-rata ketiga kelompok perlakuan.

Tabel Post Hoc Test menunjukkan bahwa tedapat perbedaan rata-rata tebal epitel tubulus seminiferus mencit antara kelompok kontrol dengan Pb, kelompok kontrol dengan madu dan juga kelompok Pb dengan Pb + Madu (perhatikan tanda asterisk). Nilai signifikansi (Sig) antara kelompok kontrol dengan Pb, kelompok kontrol dengan madu dan kelompok Pb dengan Pb + Madu masing-masing menunjukkan Sig = 0,000. Nilai Sig (0,000) < nilai α (nilai α yang digunakan 0,05) sehingga Ho gagal ditolak. Hal ini berarti bahwa ketiga kelompok perlakuan memiliki rata-rata tebal epitel tubulus seminiferus yang berbeda.


(64)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Diameter Tubulus Seminiferus Testis Mencit

Meskipun berdasarkan uji Anova tidak terdapat perbedaan diameter tubulus rata-rata seminiferus mencit yang bermakna, tabel 5.1 di atas menunjukkan diameter rata-rata tubulus seminiferus mencit yang berbeda. Rata-rata diameter tubulus seminiferus mencit yang tertinggi terdapat pada kelompok kontrol yaitu sebesar 224 μm karena tidak diberi perlakuan. Berbeda dengan kelompok kontrol, rerata diameter tubulus seminiferus mencit yang terdapat pada kelompok perlakuan 1 merupakan yang terendah yaitu 209,98 μm. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh aktivitas radikal bebas yang ditimbulkan oleh Pb asetat. Menurut Gautam et al.,(2006) dalam Pangestuti (2011), pemaparan langsung radikal bebas (oksidan) dapat menginduksi terjadinya apoptosis/kematian beberapa populasi sel seperti sel spermatogenik termasuk sel leydig. Kematian sel dalam tubulus seminiferus mencit secara langsung menyebabkan penurunan diameter tubulus seminiferus mencit. Sesuai dengan penelitian Hariono (2005) dalam Pangestuti (2011), mencit yang diberi Pb memperlihatkan perubahan stuktur tubulus seminiferus dengan pengecilan diameternya, pelepasan hiposeluler lapisan germinal dari membrana basalis, penurunan produksi spermatosit dan cedera spermatosit.

Diameter rara-rata tubulus pada kelompok perlakuan 2 (diberi Pb Asetat + Madu) lebih tinggi daripada kelompok perlakuan 1 (diberi Pb Asetat), meskipun berdasarkan uji Anova hal ini tidak signifikan. Hal ini mungkin disebabkan oleh aktivitas antioksidan dari madu yang mencegah terjadinya oksidasi asam lemak sel-sel interstisial dan parenkim oleh radikal plumbum sehingga menghambat penurunan diameter tubulus seminiferus testis mencit pada kelompok perlakuan 2. Menurut Gheldof et al., (2002) dalam Prawata et al., (2010), kandungan madu yang memiliki aktivitas antiaksidan yaitu, vitamin C, asam organik, enzim, asam fenolik, flavonoid, dan beta karoten.


(65)

5.2.2. Tebal Epitel Tubulus Seminiferus Mencit

Berdasarkan uji Anova, rata-rata tebal epitel tubulus seminiferus ketiga kelompok berbeda signifikan. Rata-rata epitel tubulus seminiferus testis mencit terbesar diantara ketiga kelompok hewan coba tersebut, dijumpai pada kelompok kontrol yaitu sebesar 69,68 μm. Hal ini karena sel spermatogenik tubulus seminiferus pada kelompok kontrol masih utuh. Rata-rata tebal epitel tubulus terendah terdapat pada kelompok perlakuan 1 yaitu 40,78 μm. Pada gambaran histopatologi juga dapat dijumpai ruang kosong antara membran basal dengan sel spermatogonium. Penurunan tebal epitel dan adanya ruang kosong kemungkinan disebabkan oleh kematian sel-sel spermatogenik pada tubulus seminiferus. Pada penelitian Ochoa I. H et al., (2005) dalam Pangestuti (2011), Pb berpengaruh terhadap penurunan kualitas spermatozoa, jumlah spermatozoa, motilitas, viabilitas dan morfologi karena terbentuknya ikatan Pb-spermatozoa. Daniel (2005) dalam Pangestuti (2011) menemukan adanya pengurangan ketebalan epitel tubulus seminiferus pada mencit dengan dosis 25-100 mg/kg BB. Ditemukan juga adanya gangguan proses pembentukan spermatozoa atau spermatogenesis.

Berdasarkan hasil penelitian Camin (1993), penurunan tebal epitel tubulus seminiferus terutama disebabkan oleh kematian spermatogonia A dan spermatosit primer. Hal ini terjadi karena efek plumbum pada mekanisme praterstikular dan testiskular. Pada tingkat pratestiskular, plumbum dapat melewati sawar darah otak dan mengganggu metabolisme sel-sel saraf sehingga mengganggu poros hipotalamus-hipofisis-testis. Menurut Sokol (1990) dalam Camin (1993), pemaparan plumbum dapat menekan sekresi gonadotropin. FSH dan LH adalah hormon hipofisis anterior yang penting dalam proses spermatogenesis. LH merangsang sintesis dan sekresi androgen oleh sel-sel Leydig, sedangkan FSH diperlukan untuk sintesis ABP oleh sel Sertoli, kepekaan sel Leydig terhadap LH, awal


(1)

Gambar pengukuran diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus testis mencit

kelompok perlakuan 2 dengan menggunakan mikroskop sitogenetik


(2)

Gambar pengukuran diameter dan tebal epitel tubulus seminiferus testis mencit

kelompok perlakuan 1 dengan menggunakan mikroskop sitogenetik

pembesaran 10x10. Terlihat adanya ruang kosong dan penurunan tebal epitel


(3)

Lampiran 6

DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

diameter tubulus seminiferus 108 100.0% 0 .0% 108 100.0%

Descriptives

Statistic Std. Error

diameter tubulus seminiferus Mean 217.7730 2.91445

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 211.9954

Upper Bound 223.5505

5% Trimmed Mean 218.5043

Median 216.6350

Variance 917.353

Std. Deviation 30.28783

Minimum 127.12

Maximum 283.82

Range 156.70

Interquartile Range 35.75

Skewness -.369 .233


(4)

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

diameter tubulus seminiferus .065 108 .200* .982 108 .140

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

ANOVA diameter tubulus seminiferus

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 3667.695 2 1833.847 2.038 .135

Within Groups 94489.032 105 899.896


(5)

TEBAL EPITEL TUBULUS SEMINIFERUS

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

tebal epitel tubulus seminiferus

108 100.0% 0 .0% 108 100.0%

Descriptives

Statistic Std. Error

tebal epitel tubulus seminiferus

Mean 54.9868 1.53194

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 51.9499

Upper Bound 58.0237

5% Trimmed Mean 55.0751

Median 55.2800

Variance 253.459

Std. Deviation 15.92040

Minimum 15.32

Maximum 102.75

Range 87.43

Interquartile Range 22.38

Skewness -.006 .233

Kurtosis .121 .461

Tests of Normality


(6)

tebal epitel tubulus seminiferus

.053 108 .200* .994 108 .899

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

ANOVA tebal epitel tubulus seminiferus

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 15047.639 2 7523.819 65.438 .000

Within Groups 12072.477 105 114.976

Total 27120.116 107

POST HOC TEST

Multiple Comparisons tebal epitel tubulus seminiferus

LSD (I) kelompok perlakuan (J) kelompok perlakuan Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

kontrol Pb 28.90056* 2.52736 .000 23.8893 33.9118

Pb + Madu 15.19417* 2.52736 .000 10.1829 20.2055

Pb Kontrol -28.90056* 2.52736 .000 -33.9118 -23.8893

Pb + Madu -13.70639* 2.52736 .000 -18.7177 -8.6951

Pb + Madu Kontrol -15.19417* 2.52736 .000 -20.2055 -10.1829

Pb 13.70639* 2.52736 .000 8.6951 18.7177