Hubungan Infeksi Dengan Pencemaran Tanah Oleh Telur Cacing Yang Ditularkan Melalui Tanah Dan Perilaku Anak Sekolah Dasar Di Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung

(1)

HUBUNGAN INFEKSI DENGAN PENCEMARAN TANAH OLEH

TELUR CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH DAN

PERILAKU ANAK SEKOLAH DASAR DI KELURAHAN

TEMBUNG KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

TESIS

Oleh

HELMA SAMAD

0470271002/IKT

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

HUBUNGAN INFEKSI DENGAN PENCEMARAN TANAH OLEH

TELUR CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH DAN

PERILAKU ANAK SEKOLAH DASAR DI KELURAHAN

TEMBUNG KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HELMA SAMAD

0470271002/IKT

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN INFEKSI DENGAN PENCEMARAN TANAH OLEH TELUR CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH DAN PERILAKU ANAK SEKOLAH DASAR DI KELURAHAN TEMBUNG KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

Nama Mahasiswa : Helma Samad

Nomor Pokok : 047027002

Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(dr. Endang Haryanti Gani, DTM&H, Sp.ParK) Ketua

(dr. Makmur Husaini, DTM&H, Sp.ParK) Anggota

(Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K))

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B.,MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 3 Maret 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Endang Haryanti Gani, DTM&H, Sp.ParK

Anggota : 1. dr. Makmur Hisaini, DTM&H, Sp.ParK

2. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes 3. Prof. dr. A.A. Depari,DTM&H, Sp.ParK 4. Prof. dr. Iskandar Z. Lubis, SpA(K)


(5)

ABSTRAK

Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (Soil-Transmitted Helminths) masih merupakan problem kesehatan masyarakat terutama di daerah tropik dan sub tropik, termasuk di Indonesia. Cacing yang cukup tinggi prevalensinya di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, cacing tambang dan Trichuris trichiura.

Telah dilakukan penelitian secara cross sectional terhadap anak usia SD di Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan pada bulan Juni 2007.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan pencemaran tanah oleh telur cacing dan perilaku anak usia SD dengan infeksi STH di Kelurahan Tembung Pengambilan sampel secara acak sebanyak 80 sampel tinja anak yang terinfeksi dan 80 sampel tanah di pekarangan rumah anak tersebut. Pemeriksaan tinja dilakukan dengan metode Kato-Katz sedangkan pemeriksaan sampel tanah dengan cara Modifikasi Metode Suzuki. Untuk mengetahui perilaku anak dipakai kuesioner yang isinya mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku anak terhadap infeksi cacing STH.

Analisa statistik dengan uji Chi square untuk hubungan perilaku anak dengan infeksi STH sedangkan untuk pencemaran tanah dan intensitas infeksi STH diuji dengan Korellasi Pearson.

Dari hasil penelitian ini didapat prevalensi cacingan di SD Kecamatan Tembung adalah 73% dan tingkat intensitas ringan dan sedang. Proporsi tanah yang tercemar dan tidak tercemar telur adalah 52,5% dan 47,5%. Ada perbedaan yang bermakna antara tindakan siswa yang baik dan kurang baik pada pencemaran tanah oleh telur cacing. Ada korelasi yang bermakna antara pencemaran telur dan tingkat intensitas infeksi A. lumbricoides.Tetapi tidak ada hubungan yang bermakna antara perilaku anak dengan tingkat intensitas STH.


(6)

ABSTRACT

Intestinal worm infection which transmitted by soil (Soil-Transmitted Helminths) is still the healthy problem of society especially in the tropic and sub tropic area, including in Indonesia. The high prevalence of worms in Indonesia are Ascaris lumbricoides, hookworm and Trichuris trichiura.

It has been research in sectional cross to primary school children in Kelurahan Tembung Kecamatan Tembung Medan City at June 2007.

The research purpose is to know the connection of soil contamination by the egg worm and primary school children behavior with STH infection in Tembung district. The samples are taken randomly amounting to 80 samples of children faeces which infected and 80 samples of soil in their house yard. The examination of faeces is used by Kato-Katz method meanwhile the modification of Suzuki method is for examining of soil. To know the children behavior are used questionnaire which content of knowledge, attitude and behavior of the children to STH worm infection.

Statistic analysis with Chi square test is to connect the children behavior with STH infection meanwhile to soil contamination and the intensity of STH infection is tested by Pearson Correlation.

From the result of this research is obtained the wormy prevalence in primary school of Tembung sub district is 73% and the level of light and medium intensity. Soil proportion which polluted egg and not are 52,5% and 47,5%. There are significant distinguish between student practice/behavior which good and rather not good to soil contamination of egg worm. There are correlation between egg contamination and intensity level of A.lumbricoides infection. But there no significant relationship between children behavior and intensity of STH infection.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat, karunia dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Sumatera Utara.

Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. dr. Endang Haryanti Gani, DTM&H, SpParK, dr. Makmur Husaini, DTM&H, SpParK, dan Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan dan dorongan mulai dari perencanaan pembuatan tesis sampai penyelesaiannya.

2. Prof. dr. A.A. Depari, DTM&H, Sp.ParK dan Prof. dr. Iskandar Z. Lubis, Sp.A(K) sebagai Dosen Pembanding yang telah memberikan bimbingan dan berbagai masukan dalam penyelesaian tesis ini.

3. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K), selaku Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis, dr. R. Lia Kusumawati, MS, SpMK selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis atas kesempatan, bimbingan dan arahan sejak penulis dalam masa pendidikan sampai penyelesaian tesis.


(8)

4. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh staf akademik dan staf non akademik Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis yang telah memberikan ilmu dan berbagai bantuan selama penulis dalam masa pendidikan.

5. Rektor Universitas Islam Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti pendidikan Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Sumatera Utara.

6. Pimpinan Harian Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara atas pemberian beasiswa kepada penulis dalam mengikuti pendidikan Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Sumatera Utara.

7. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Sumatera Utara.

8. Kepala dan Staf Bagian Parasitologi FK-UISU yang telah memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam melaksanakan penelitian dan penulisan tesis ini.

9. Dr. Erwin Hakim Lubis, selaku Kepala Puskesmas Kecamatan Medan Tembung serta staf yang telah memberi bantuan dan saran untuk penelitian ini.

10.Drs. H. Jalaluddin Harahap, selaku Kepala Sekolah, seluruh guru dan siswa SD Negeri No. 067230 Kelurahan Tembung Kecamatan Tembung yang telah memberi bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.


(9)

11.Rekan-rekan peserta Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis atas persahabatan dan kerjasama yang terjalin selama masa pendidikan.

12.Kedua orang tua tercinta, Ayahanda A. Samad Djaafar dan Ibunda Halimah serta ibu mertua Hindun dan saudara-saudaraku yang tak henti-hentinya memberikan dorongan dan do’a kepada penulis.

13.Kepada yang tercinta suamiku Dr. Djamalus dan yang tersayang ananda Muhammad Ihsan atas pengertian, kesabaran, dukungan dan do’a kepada penulis. 14.Akhirnya kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang

memberikan bantuan baik moril maupun materil kepada penulis selama menyelesaikan pendidikan, penelitian dan penulisan tesis ini.

Semoga bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah Subhanu Wata’ala selalu melimpahkan Rahmat dan HidayahNya kepada kita semua.

Medan, Maret 2009


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Dr. Helma Samad Tanggal lahir : 19 Desember 1950 Tempat lahir : Medan

N I P : 131 292 591

Alamat : Jl. Puri 290 C / 132 medan Nama Suami : Dr. Djamalus

Nama Anak : Muhammad Ihsan

PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar di Perguruan Kesatria Medan, tamat tahun 1963.

2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Medan, tamat tahun1966. 3. Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 6 Medan, tamat tahun 1969. 4. Fakultas Kedokteran UISU Medan, tamat 1980.

RIWAYAT PEKERJAAN


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Hipotesis ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

1.6.Kerangka Konsep ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Soil Transmitted Helminths ... 6

2.1.1. Morfologi dan Daur Hidup ... 6

2.1.2. Aspek Klinis ... 11

2.1.3. Diagnosis... 12

2.1.4. Epidemiologi ... 12

2.2. Perilaku Kesehatan... 14


(12)

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

3.2. Disain Penelitian ... 18

3.3. Populasi dan Sampel ... 18

3.4. Kriteria Inklusi ... 19

3.5. Kriteria Eksklusi ... 19

3.6. Perkiraan Besar Sampel ... 19

3.7. Cara Kerja ... 20

3.8. Definisi Operasional ... 23

3.9. Variabel ... 24

3.10. Analisa Statistik ... 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. Hasil ... 25

4.2. Pembahasan ... 31

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 37

5.1. Kesimpulan ... 37

5.2. Saran ... 37


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1. Prevalensi Cacing Usus di SD Negeri No. 067240 Kecamatan

Medan Tembung (n = 273)... 25 4.2. Distribusi Jenis Cacing pada Anak Usia SD yang Tinggal

di Kelurahan Tembung (n = 80)... 26 4.3. Karakteristik Sampel (n = 80)... 26 4.4. Intensitas Infeksi STH pada Anak Usia SD di Kelurahan

Tembung (n = 80)... 27 4.5. Hubungan Perilaku Anak dengan Intensitas Infeksi A.

lumbricoides... 28 4.6. Hubungan Perilaku Anak dengan Intensitas Infeksi Trichuris

trichiura... 28 4.7. Hubungan Perilaku Anak dengan Pencemaran Tanah oleh

Telur Cacing... 29 4.8. Korelasi antara Jumlah Telur di Tanah dan Intensitas

A. lumbricoides dan T. Trichiura... 30


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1. Kerangka Konsep... 5

2.1. Daur Hidup Ascaris lumbricoides……… 7

2.2. Daur Hidup Trichuris trichiura………. 9

2.3. Daur Hidup Cacing Tambang... 11

4.1. Curva Garis Regressi Linier antara Intensitas Infeksi A. Lumbricoides dengan Jumlah Telur di Tanah... 31


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian... 42 2. Data Penelitian... 45


(16)

DAFTAR SINGKATAN

cm : centimeter

kg : kilogram

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

FK-UISU : Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara STH : Soil- transmitted helminths

SD : Sekolah Dasar

WHO : World Health Organization


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (Soil - Transmitted Helminths) masih merupakan problem kesehatan masyarakat terutama di daerah tropik dan subtropik, termasuk di Indonesia. Parasit ini banyak terdapat di daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan.

Dari laporan WHO diketahui bahwa lebih dari 1 milyar orang menderita infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, lebih dari 250 juta oleh Ascaris lumbricoides, 46 juta oleh Trichuris trichiura dan 151 juta oleh cacing tambang (Montresor et al, 1998).

Cacing yang ditularkan melalui tanah yang prevalensinya cukup tinggi di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang sedangkan Strongyloides stercoralis prevalensinya sangat rendah. Hasil survey Subdit Diarhe pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 Sekolah Dasar (SD) di 10 provinsi menunjukkan prevalensi kecacingan berkisar antara 2,2% - 90,3% (Depkes R.I, 2004).

Infeksi dapat terjadi pada semua umur, baik pada balita, anak-anak ataupun orang dewasa. Infeksi paling banyak terjadi pada anak usia SD disebabkan anak pada usia tersebut yang paling banyak kontak dengan tanah.


(18)

Infeksi cacing ini dapat mengakibatkan terjadinya anemi, gangguan gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan kecerdasan. Dalam jangka panjang apabila terjadi infeksi terus menerus akan menurunkan kualitas sumberdaya manusia (Montressor et al, 1998; Haju, 1998).

Menurut Subakti (1980) adanya infeksi cacing usus dapat menyebabkan gangguan absorpsi zat gizi. Infeksi Asacaris lumbricoides pada tingkat ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien kira-kira 3% dari kalori yang dicerna, sedangkan pada infeksi berat mengakibatkan 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh (Maharani, 2005).

Anak yang terinfeksi terutama dengan derajat infeksi yang tinggi seringkali diiringi dengan infeksi bakteri serta penyakit yang lain (Albright et al, 2005).

Pencemaran lingkungan, keadaan sanitasi, ada atau tidak ada jamban dan perilaku manusia sangat berperan pada penularan infeksi cacing. Pencemaran tanah dengan tinja merupakan media penularan yang baik bagi penularan Soil Transmitted Helminths (STH). Telur yang dibuahi akan berkembang dengan cepat pada keadaan lingkungan yang menguntungkannya dan menjadi telur yang infektif dalam waktu beberapa minggu. Infeksi pada manusia terjadi melalui tangan yang tercemar telur cacing yang infektif, lalu masuk kemulut bersama makanan atau larva menembus kulit pada infeksi cacing tambang (Ulukanligil et al, 2001). Tinggi rendahnya frekwensi penularan penyakit ini berhubungan erat dengan tercemarnya tanah dengan tinja yang mengandung telur cacing, yang dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui adanya pencemaran di suatu tempat (Mardiana et al, 2000).


(19)

Penelitian tentang epidemiologi sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Kebanyakan penelitian berdasarkan pemeriksaan tinja. Masih sedikit penelitian telur cacing yang mencemari tanah (Nurdiana, 2004). Beberapa penelitian yang pernah dilaporkan adalah penelitian oleh Hadijaya (1992) di Kelurahan Pisangan Baru Jakarta Timur menemukan 18,0% telur Ascaris lumbricoides di halaman rumah penduduk. Sedangkan Mardiana (2000) menemukan telur Ascaris lumbricoides 5,6% yang terpapar di tanah halaman sekitar rumah penduduk di 4 Desa Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dari hasil penelitian Hawin (2005) ditemukan 46,15% telur STH di tanah sekitar rumah di 3 RT di Desa Patemon, Kecamatan Gunung Pati, Kodya Semarang. Di Sumatera Utara, Arrasyd (1999) menemukan pencemaran tanah oleh telur Ascaris lumbricoides di P. Samosir 30,24%.

Penelitian Pasaribu (2003) di Desa Suka Kabupaten Tanah Karo menemukan 45,8% telur Ascaris lumbricoides yang terpapar di tanah sebelum diberi pengobatan dan setelah 1 tahun pengobatan turun menjadi 10,4%. Di Kota Medan penulis belum mendapatkan data tentang pencemaran tanah melalui STH.

Faktor kebersihan pribadi merupakan salah satu hal penting, karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi/pencemaran tanah oleh telur ataupun larva cacing atau sebaliknya akan menambah polusi lingkungan sekitarnya. Perilaku yang dapat membantu pencegahan cacingan adalah kebiasaan memelihara kebersihan kuku tangan dan kaki serta kebersihan sesudah buang air besar (Maharani, 2005).


(20)

1.2. Perumusan Masalah

1. Pemberantasan cacing dengan cara pengobatan belum memadai.

2. Keadaan infeksi cacing yang tetap tinggi dari tahun ketahun disebabkan oleh adanya infeksi yang berulang-ulang. Reinfeksi STH dapat terjadi bila pencemaran tanah oleh telur terus-menerus berlangsung. Tanah di sekitar rumah merupakan salah satu sumber infeksi cacingan bagi anak-anak karena tanah sering dimanfaatkan sebagai tempat bermain.

3. Kebersihan pribadi dan lingkungan, adalah merupakan faktor yang penting untuk pencegahan cacingan.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pencemaran tanah oleh telur cacing dan perilaku anak usia SD dengan infeksi STH di Kelurahan Tembung.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui intensitas infeksi STH pada anak usia SD di Kelurahan Tembung.

2. Untuk mengetahui proporsi pencemaran tanah oleh telur STH di Kelurahan Tembung.

3. Untuk mengetahui perilaku anak usia SD yang dapat mempengaruhi


(21)

1.4. Hipotesis

1. Ada hubungan antara pencemaran tanah oleh telur cacing dengan infeksi STH di Kelurahan Tembung.

2. Ada hubungan antara perilaku anak usia SD dengan infeksi STH di Kelurahan Tembung.

1.5. Manfaat Penelitian

Diperolehnya gambaran yang jelas tentang pola hubungan antara pencemaran tanah oleh telur cacing dengan perilaku anak pada infeksi STH untuk penataan program pemberantasan cacingan.

1.6. Kerangka Konsep

Pencemaran tanah oleh telur STH

Infeksi STH pada Anak usia SD

Status gizi Sosial ekonomi Higiene/sanitasi Perilaku Anak

Usia SD

Keterangan : ___________ diamati pada penelitian --- sebagai data pendukung


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Soil Transmitted Helminths

Soil – Transmitted Helmints (STH) adalah cacing yang untuk menyelesaikan siklus hidupnya perlu hidup di tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk yang infektif bagi manusia.

Prevalensi Soil Transmitted Helminths yang paling banyak di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (Gandahusada et al, 1998; Margono, 2003).

2.1.1. Morfologi dan Daur Hidup

2.1.1.1. Ascaris lumbricoides

Cacing jantan berukuran 10 – 30 cm, sedangkan yang betina 22 – 35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat berelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.

Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron dan yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke


(23)

jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju laring, sehingga menimbulkan rangsangan pada laring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan. Ascaris lumbricoides dapat hidup 12 – 18 bulan (Brown, 1979; Ganda Husada, 1998).


(24)

2.1.1.2. Trichuris trichiura

Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian anterior halus seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa ini hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur berukuran 50 – 54 x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning- kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 minggu di tanah. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung yaitu bila secara kebetulan hospes menelan telur matang, larva keluar melalui dinding telur dan masuk kedalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Jadi cacing ini tidak melalui siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30 – 90 hari (Gandahusda, et al, 1998). Trichuris trichiura dapat hidup bertahun-tahun, kira-kira 5 – 14 tahun (Brown, 1979; Markell, et al, 1999).


(25)

Gambar 2.2. Daur Hidup Trichuris trichiura

2.1.1.3.Cacing Tambang

Cacing dewasa hidup dirongga usus halus, dengan mulut yang melekat pada mukosa dinding usus. Cacing betina N. americanus tiap hari mengeluarkan telur kira-kira 9000 butir, sedangkan A. duodenale kira-kira-kira-kira 10.000 butir.

Cacing betina berukuran panjang kurang lebih dari 1 cm, cacing jantan kurang lebih 0,8 cm. Bentuk badan N. americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan


(26)

A. duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. Pada mulut N. americanus terdapat kitin, sedangkan pada mulut A. duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks.

Telur yang besarnya kira-kira 60 x 40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis, di dalamnya terdapat beberapa sel. Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1 – 1,5 hari keluarlah larva rhabditiform yang berukuran kira-kira 250 mikron. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform yang berukuran kira-kira 600 mikron dan dapat hidup selama 7 – 8 minggu di tanah. Larva filariform akan menembus kulit dan ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Larva menembus alveoli dan masuk ke bronkus lalu ke trakea dan laring dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa.

Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi A. duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform. Cacing tambang dapat hidup 1 – 14 tahun (Zaman, 1988).


(27)

Gambar 2.3. Daur Hidup Cacing Tambang

2.1.2. Aspek Klinis

Larva Ascaris lumbricoides di paru-paru dapat menyebabkan gejala-gejala: batuk, sesak, demam, pada roentgen foto terlihat bayangan infiltrat yang setiap hari berubah dan akan bersih setelah 1 – 2 minggu. Sedangkan cacing dewasanya menyebabkan gangguan usus yang ringan. Pada infeksi berat terutama pada anak dapat menyebabkan malabsorbsi, dan juga dapat terjadi penggumpalan cacing dalam


(28)

usus sehingga terjadi ileus. Dapat juga terjadi ectopic infection, cacing dewasa mengembara ke organ lain misalnya appendiks dan saluran empedu.

Pada trikuriasis ringan gejala-gejala yang muncul seperti mual atau diare. Pada infeksi berat dapat menimbulkan sindrom disentri bahkan dapat menyebabkan prolapsus recti/ani. Infeksi oleh cacing tambang pada saat larva filariform menembus kulit menyebabkan terjadinya perubahan pada kulit yang disebut “ground itch” sedangkan cacing dewasa menyebabkan terjadinya anemi defisiensi besi.

2.1.3. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur, larva atau cacing dewasa dalam tinja.

2.1.4. Epidemiologi

Infeksi STH tersebar di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis. Masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang padat dan kumuh merupakan sasaran yang sangat mudah terkena infeksi. Pada umumnya frekwensi tertinggi infeksi Ascaris dan Trichuris pada anak umur 5 – 15 tahun. Cacing tambang frekwensi dan intensitas tinggi pada orang dewasa.

Epidemiologi Soil Transmitted Helminths dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor parasit manusia dan lingkungan. Yang termasuk dalam faktor lingkungan faktor iklim, tanah, kelembaban dan faktor sosio ekonomi.

Faktor Iklim

Iklim tropis sangat sesuai untuk pertumbuhan telur dan larva cacing untuk mencapai tahap infektif. Suhu optimal untuk perkembangan telur-telur Ascaris


(29)

lumbricoides sekitar 25 °C - 30 °C. Telur Trichuris trichiura kira-kira 30 °C, telur Necator americanus 28 °C – 32 °C, sedangkan A.duodenale 23 °C – 25 °C. Sesuai dengan iklim, cacing tambang yang paling banyak di Indonesia adalah Necator americanus. Panas yang langsung, akan mematikan telur dan larva pada suhu 45 °C – 50 °C

Faktor Tanah

Tanah yang sesuai untuk pertumbuhan telur A. lumbricoides dan Trichuris trichiura adalah tanah liat. Untuk pertumbuhan larva cacing tambang diperlukan tanah berpasir. Diantara butir-butir tanah pasir ini larva dapat dengan leluasa mengambil O2.

Faktor Kelembaban

Kelembaban yang tinggi akan menunjang pertumbuhan telur dan larva. Telur Ascaris dan Trichuris dapat bertahan ditanah lembab bertahun-tahun (Depary, 1994).

Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura mempunyai sifat-sifat epidemiologi yang sama sehingga infeksi keduanya selalu bersamaan pada orang yang sama.

Faktor Manusia

Masih kurangnya perhatian tentang kebersihan lingkungan dan perorangan mempertinggi prevalensi infeksi cacing usus. Pembuangan tinja di halaman sekitar rumah akan memungkinkan telur dan larva berkembang terus menjadi bentuk infektif. Kebiasaan memakan sayuran yang tidak dimasak dan terkontaminasi/tercemar telur cacing yang matang, karena dipupuk dengan tinja juga menambah reinfeksi.


(30)

Pada anak-anak perilaku atau kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan memperbesar faktor penularan cacing usus terutama yang ditularkan melalui tanah. Selain itu kebiasaan tidak memakai alas kaki mempermudah terjadinya infeksi oleh cacing tambang.

2.2. Perilaku Kesehatan

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia. Perilaku merupakan bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.

Menurut Notoatmojo, Perilaku Kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan.

Menurut Becker (1979), perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya (Notoatmojo, 2003).

2.2.1. Domain Perilaku

Secara teori perubahan perilaku atau seseorang mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 tahap yaitu Pengetahuan (Knowledge), Sikap (Attitude) dan Praktek (Practice) atau K A P.

a. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui


(31)

pancaindera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: Awereness (kesadaran), Ineterest, Evalution, Trial dan Adoption.

Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas (Notoatmojo, 2003).

Apabila penerimaan perilaku baru melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmojo, 2003).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian.

b. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.

Dalam bagian lain Allport menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai komponen pokok, yaitu:


(32)

b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Sebagai contoh, seorang anak mendengar mengenai penyakit cacingan (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa anak untuk berfikir dan berusaha supaya tidak terkena cacingan. Dalam berfikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga anak tersebut berniat akan berusaha mencegahnya.

Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju).

c. Praktek atau Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior), atau dalam bidang kesehatan disebut juga dengan perilaku kesehatan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Sikap anak yang positif terhadap pencegahan cacingan harus didukung dengan fasilitas misalnya tersedianya tempat buang air besar (jamban), tempat cuci tangan berikut sabun, alas kaki dan lain sebagainya.


(33)

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan, Sumatera Utara pada bulan Juni 2007.

3.2. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan sekat lintang (cross sectional study) karena semua kondisi diamati pada waktu yang sama.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Anak usia SD yang cacingan dan tanah pekarangan rumah tempat tinggal anak tersebut di Kelurahan Tembung.

3.3.2. Sampel

Sebagian dari anak usia SD yang cacingan dan tanah pekarangan rumah yang jumlahnya berdasarkan perkiraan sampel dan kriteria inklusi dan eksklusi di Kelurahan Tembung.


(35)

3.4. Kriteria Inklusi

1. Rumah yang mempunyai anak usia 6-13 tahun, usia SD yang menderita cacingan.

2. Bersedia mengikuti penelitian.

3.5. Kriteria Eksklusi

1. Rumah yang mempunyai halaman semen/bukan tanah.

3.6. Perkiraan Besar Sampel

Ditentukan dengan rumus Z x 2 n ≥ ————— d

Keterangan:

Z = nilai batas normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada yang diterima, = 0,05 1,96

= simpang baku 18344 telur dalam tinja, Pasaribu (2003) d = presisi (tingkat ketepatan) yang diingini: 4000

Dari perhitungan yang didapat besar sampel minimal 80. Sampel diambil secara acak sederhana.


(36)

3.7. Cara Kerja

3.7.1. Pemeriksaan Tinja

Dilakukan pemeriksaan tinja anak usia SD dengan metode Kato-Katz. Tempat pemeriksaan di Laboratorium FK-UISU Medan. Dari pemeriksaan tinja didapat prevalensi dan intensitas STH.

Bahan yang diperlukan:

1. Cellophan selebar ± 2,5 x 3 cm. 2. Larutan Kato.

3. Kawat kasa selebar 3 x 4 cm untuk menyaring tinja.

4. Karton ukuran 3 x 4 cm, tebal 1,5 mm, ditengah berlubang dengan diameter 6 mm.

5. Isi lubang karton telah diketahui sebelumnya ± 41,7 mg. 6. Kaca benda.

7. Tutup botol dari karet.

8. Kertas saring ukuran 10 x 10 cm.

9. Kertas minyak tidak tembus air ukuran 10 x 10 cm. 10.Potongan lidi/bambu.

11.Tinja yang akan diperiksa. Cara Kerja:

1. Letakkan kertas saring di atas kertas berminyak di meja laboratorium.

2. Ambil tinja yang banyak dengan lidi dan letakkan di atas kertas saring di meja laboratorium.


(37)

3. Letakkan kawat kasa di atas tinja.

4. Ambil kaca benda dan letakkan kertas karton di atas kaca benda, lubang kertas karton harus di tengah kaca benda.

5. Dengan lidi tekan kawat kasa di atas tinja, kemudian dengan lidi tinja di atas kawat kasa dimasukkan ke dalam lubang kertas karton.

6. Isilah lubang karton sampai rata dengan permukaan kertas karton.

7. Angkatlah kertas karton, dan tinja dalam lubang akan tertinggal di atas kaca benda.

8. Tutuplah kaca benda dengan cellophane.

9. Tekan cellophane dengan kaca benda lain atau tutup botol dari karet untuk meratakan tinja di bawah cellophane.

10.Letakkan sediaan secara terbalik di atas kertas saring. 11.Biarkan sediaan selama 20 – 30 menit.

12.Hitunglah telur cacing, jumlah telur cacing di kali 24 sama dengan jumlah telur cacing dalam 1 gram tinja.

3.7.2. Pemeriksaan Tanah Pekarangan

Cara Modifikasi Metode Suzuki (Arrasyid, 1999) Prosedur pengambilan sampel:

1. Sampel tanah dikikis dari permukaan tanah pekarangan kiri, kanan, depan dan belakang rumah dan dimasukkan pada pot plastik yang berbeda sesuai dengan lokasi pengambilan dan diberi label.


(38)

2. Sampel dimasukkan kedalam “Ice box” dan dibawa ke laboratorium.

Di laboratorium, sampel disimpan di lemari es sampai saat pemeriksaan bila tidak sempat diperiksa langsung.

Tekhnik pemeriksaan:

1. Sampel 2 gram dilarutkan dengan 10 ml air kran.

Masukkan kedalam tabung sentrifuse melalui saringan teh yang dilapisi kain kasa basah.

2. Sentrifuse selama 2 menit dengan kecepatan 2000 RPM.

3. Supernatan dibuang dengan hati-hati, pada sedimen tambahkan 10 ml. Larutan Magnesium Sulfat BJ 1.260 (282 gram/liter Aquadest; Phillipson, 1962). Kocok dengan baik sampai larut betul.

4. Sentrifuse 2500 RPM selama 5 menit.

5. Tambahkan larutan Magnesium Sulfat dengan hati-hati sampai penuh/ concave tanpa melimpah.

6. Tutup secara vertikal dengan cover glass. 7. Tunggu 15 – 20 menit.

8. Cover glass diangkat secara vertikal dan diletakkan pada object glass dan

segera periksa.

3.7.3. Kuesioner untuk Mengetahui Perilaku Anak yang Berpengaruh terhadap


(39)

3.8. Definisi Operasional

1. Infeksi STH adalah infeksi oleh Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura atau cacing tambang yang di diagnosa dengan dijumpainya telur cacing, larva atau cacing dewasa di dalam tinja.

2. Intensitas adalah standar yang dipakai untuk menentukan derajat berat penyakit secara tidak langsung berdasarkan jumlah telur STH yang keluar pergram tinja.

Intensitas A.lumbricoides T.trichiura Ccg tambang

Ringan 1 – 4.999 1 – 999 1 – 1.999

Sedang 5.000 – 49.000 1.000 – 9.999 2.000 – 3.999 Berat >50.000 >10.000 >4.000

3. Pencemaran tanah oleh telur STH adalah ditemukan telur STH di halaman rumah yang diambil dari 4 lokasi yaitu depan, belakang kanan dan kiri rumah dan dijadikan satu hasil untuk setiap rumah.

4. Perilaku anak

a. Pengetahuan: yaitu pengetahuan tentang jenis cacing, tanda-tanda cacingan, penularan, akibat yang ditimbulkannya dan cara pencegahan.

Kategori 1. Kurang baik : bila dapat menjawab benar sebanyak <80% 2. Baik : bila dapat menjawab benar sebanyak > 80% b. Sikap: yaitu setuju, kurang setuju atau tidak setuju anak dalam hal

memberantas cacingan dengan memakan obat secara teratur, menghindari penularan penyakit cacingan dengan mencuci tangan dengan sabun


(40)

sebelum makan dan memakai alas kaki, bab di jamban, memotong kuku secara teratur, tidak jajan dan mencuci tangan dan kaki setelah bermain-main di luar rumah.

Kategori: 1. Kuramg Baik : bila menjawab setuju < 80%

2. Baik : bila menjawab setuju > 80% c. Tindakan/perilaku: yaitu kebiasaan buang air besar di jamban, mencuci

tangan sebelum makan, mencuci tangan dengan sabun, makan dengan memakai sendok, memakai alas kaki di luar rumah, memotong kuku setiap minggu dan kebiasaan jajan.

Kategori: 1. Kurang Baik : bila menjawab ya sebanyak < 80% 2. Baik : bila menjawab ya sebanyak > 80%

3.9. Variabel

Variabel bebas : pencemaran tanah oleh telur, perilaku anak Variabel tergantung : infeksi STH

3.10. Analisa Statistik

Untuk melihat hubungan jumlah telur cacing ditanah dengan intensitas infeksi STH diuji dengan Korellasi Pearson bila data berdistribusi normal, kalau tidak normal dipakai uji Sperman.

Untuk melihat hubungan antara perilaku anak dengan infeksi STH digunakan uji Chi Square.


(41)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Sampel diambil dari murid kelas 1 sampai dengan kelas 6 SD Negeri No. 067240 Jl. Benteng Hulu No. 40 B Kecamatan Medan Tembung sebanyak 374 orang. Setelah dilakukan pemeriksaan tinja terdapat 273 (73%) siswa menderita cacingan yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang dan Hymenolepis nana.

Tabel 4.1. Prevalensi Cacing Usus di SD Negeri No. 067240, Kecamatan Medan Tembung (n= 273)

Species Jumlah Sampel N (%)

Ascaris lumbricoides Trichuris trichiura Cacing tambang Hymenolepis nana

Trichuris trichiura + A.lumbricoides T.trichiura + A.lumbricoides + C.tambang T.trichiura + H.nana

174 (46,52 %) 237 (63,37 %) 2 (0,53 %) 2 (0,53 %)

136 (36.33 %) 2 (0,53 %) 2 (0,53 %)

Dari Tabel 4.1 tampak prevalensi yang paling tinggi adalah Trichuris trichiura (63,37%). Ascaris lumbricoides (46,52%) sedangkan cacing tambang hanya 0,53%, Hymenolepis nana 0,53%.


(42)

Dijumpai infeksi ganda Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichuira sebanyak 36,33%. Triple infeksi Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides dan cacing tambang sebanyak 0,53%.

Tabel 4.2. Distribusi Jenis Cacing pada Anak Usia SD yang Tinggal di Kelurahan Tembung (n = 80)

Species Jumlah N (%)

Ascaris lumbricoides Trichuris trichiura

A. lumbricoides + T. trichiura

56 (70 %) 68 (85 %) 46 (57,5 %)

Dari Tabel 4.2, tampak distribusi cacing di Kelurahan Tembung dengan sampel 80 didapat Ascaris lumbricoides 70% Trichuris trichiura 85% dan infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura 57,5%.

Tabel 4.3. Karakteristik Sampel (n= 80)

Karakteristik Jumlah

n (%) n; x ± SD

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur 6 – 8 tahun 9 - 11 tahun 12 – 13 tahun Kelas I II III IV V VI Umur (tahun) Tinggi Badan (cm)

Berat Badan (kg)

37 (46,3%) 43 (53,8%) 33 (41,3%) 34 (42,6%) 13 (16,1 %) 28 (32,5%) 14 (17,5%) 4 (5.0%) 13 (16,3%) 15 (18,8%) 8 (10,0%)

80; 9,34 ± 2,00 80; 128,56 ± 10,52 80; 22,96 ± 6,83


(43)

Dari Tabel 4.3, tampak frekwensi laki-laki sebanyak 37 orang (46,3%) dan perempuan sebanyak 43 orang (43,8%). Kalau ditinjau dari umur, tampak umur 6 – 8 tahun sebanyak 33 orang (41,3%) sedangkan kelompok umur 9 – 11 tahun sebanyak 34 orang (42,6%) dan kelompok umur 12 -13 tahun sebanyak 13 orang (16,1%).

Ditinjau dari kelas, kelas I sebanyak 28 orang (32,5%), kelas II 14 orang (17,5%), kelas III 4 orang (5,0%), kelas IV 13 orang (16,3%), kelas V 15 orang (18,8%) dan kelas VI 8 orang (10,0%).

Umur rata-rata dari siswa adalah 9,34 ± 2,00 (tahun), Tinggi Badan rata-rata adalah 128,56 ± 10,52 (cm) dan Berat Badan rata-rata 22,96 ± 6,83 (kg).

Tabel 4.4. Intensitas Infeksi STH pada Anak Usia SD di Kelurahan Tembung (n = 80)

Tingkat Intensitas Infeksi STH

Spesies Ringan

n %

Sedang n %

Berat n %

Jumlah N %

Ascaris lumbricoides Trichuris trichiura

39 66 64 91

17 34 5 9

- 56 100 69 100

Dari Tabel 4.4, intensitas infeksi STH pada anak usia SD di Kelurahan Tembung, Ascaris lumbricoides tingkat Intensitas ringan sebanyak 66%, intensitas sedang 34% sedangkan intensitas berat 0%. T. trichiura intensitas ringan 91%, intensitas sedang 9% sedangkan intensitas berat 0%.


(44)

Tabel 4.5. Hubungan Perilaku Anak dengan Intensitas Infeksi A. lumbricoides

Tingkat Intensitas A.lumbricoides

Tidak infeksi Ringan Sedang Jumlah Ranah Perilaku

n % n % n % n %

P

Pengetahuan

Baik 0 0,0 2 50,0 2 50,0 4 100 0,234 Kurang baik 24 31,6 37 48,7 15 19,7 76 100

Sikap

Baik 1 20,0 3 60,0 1 20,0 5 100 0,852 Kurang baik 23 30,7 36 48,0 16 21,3 75 100

Tindakan

Baik 10 41,7 10 41,7 4 16,7 24 100 0,325 Kurang baik 14 25,0 29 51,8 13 23,2 66 100

Dari Tabel 4.5, tampak pengetahuan anak tentang cacingan tidak ada hubungan dengan intensitas infeksi A. lumbricoides (p>0.05). Demikian pula sikap dan tindakan anak tidak ada hubungan dengan intensitas infeksi A. lumbricoides (p>0,05).

Tabel 4.6. Hubungan Perilaku Anak dengan Intensitas Trichuris trichiura

Tingkat Intensitas Trichuris trichiura

Tidak Infeksi Ringan Sedang Jumlah Ranah Perilaku

n % n % n % n %

p

Pengetahuan

Baik 0 0,00 4 100 0 0,00 4 100 0,591 Kurang baik 11 14,5 60 78,9 5 6,6 76 100

Sikap


(45)

Lanjutan Tabel 4.6.

Kurang baik 10 13,3 60 80,0 5 6,7 75 100 Tindakan

Baik 5 20.8 19 79,2 0 0,00 24 100 0,183 Kurang baik 6 10,7 45 80,0 5 8,9 56 100

Dari Tabel 4.6, tampak pengetahuan anak tentang cacingan tidak ada hubungan dengan intensitas infeksi T. trichiura (p>0,05). Demikian pula Sikap dan tindakan terhadap cacingan tidak ada hubungan dengan intensitas infeksi T. trichiura (p>0,05).

Tabel 4.7. Hubungan Perilaku Anak dengan Pencemaran Tanah oleh Telur Cacing

Pencemaran Tanah oleh Telur

Tidak Tercemar Tercemar Jumlah Ranah Perilaku

n % n % n %

P Pengetahuan

Baik 3 75.0 1 25,0 4 100,0 0,258 Kurang baik 35 46,1 41 53,9 76 100,0

Sikap

Baik 3 60,0 2 40,0 5 100,0 0,563 Kurang baik 35 46,7 40 53,3 75 100,0

Tindakan

Baik 7 29,2 17 70,8 24 100,0 0,032* Kurang baik 31 65,4 25 44,6 56 100,0

Pada Tabel 4.7, tidak ada perbedaan bermakna prevalensi infeksi cacing untuk siswa pengetahuan baik dengan siswa pengetahuan kurang baik pada lingkungan yang tidak tercemar telur cacing maupun pada lingkungan yang tercemar (p > 0,05). Begitu pula tidak ada perbedaan bermakna prevalensi infeksi cacing untuk siswa yang mempunyai sikap yang baik dengan siswa yang kurang baik pada lingkungan tidak tercemar maupun pada lingkungan yang tercemar telur cacing (p> 0,05). Tetapi ada perbedaan bermakna prevalensi infeksi cacing untuk siswa yang mempunyai


(46)

tindakan yang baik dengan siswa yang mempunyai tindakan kurang baik pada lingkungan rumah yang tercemar maupun pada lingkungan yang tercemar telur cacing (p <0,05).

Proporsi tanah yang tidak tercemar 38 (47,5%) dan yang tercemar oleh telur 42 (52,5%).

Tabel 4.8. Korelasi Antara Jumlah Telur di Tanah dan Intensitas Infeksi A.lumbricoides dan T. trichiura

Korelasi n r p

Jumlah telur ditanah dengan

Intensitas Ascaris lumbricoides 80 0,237 0,035* Jumlah telur ditanah dengan

IntensitasTrichuris trichiura 80 0,142 0,209

Dari Tabel 4.8, tampak ada korelasi yang bermakna antara jumlah telur di tanah dan intensitas infeksi A. lumbricoides (p < 0,05). Tetapi tidak ada kolerasi yang bermakna antara jumlah telur di tanah dengan intensitas infeksi T. trichiura.


(47)

Jumlah 7 6 5 4 3 2 1 0 -1

Intensitas cacing Ascaris Lumbricoides

40000 30000 20000 10000 0 -10000 ) .( 067 , 1323 201 , 2976 Jumlah

yi = +

Keterangan: Jumlah telur ascaris lumbricoides di tanah

Gambar 4.1. Curva Garis Regressi Linier antara Intensitas Infeksi A. Lumbricoides dengan Jumlah Telur di Tanah

Dari Gambar 4.1 tampak garis yang menunjukkan sifat hubungan yang positif. Bila jumlah telur ditanah banyak maka intensitas infeksi A. lumbricoides akan meningkat.

4.2. Pembahasan

Prevalensi infeksi cacing usus pada anak SD Negeri No. 067240 Jl. Benteng Hulu Kecamatan Medan Tembung adalah 73%. Angka ini hampir sama dengan prevalensi cacing usus pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen yaitu 70,6% (Wachidanijah, 2002). Dan angka ini juga tidak jauh beda dengan prevalensi cacing usus anak Sekolah Dasar di Kecamatan Sidomulyo, Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang yaitu 67,7% (Tigor, 2006). Prevalensi infeksi A.


(48)

lumbricoides 46,52% sedangkan T. trichiura 63,37%. Prevalensi T. trichiura lebih tinggi dari A. Lumbricoides. Hal ini mungkin disebabkan siswa memakan obat cacing yang kurang efektif terhadap infeksi T. trichiura.

Dijumpai infeksi ganda A. lumbricoides dan T. trichiura sebanyak 36,33%. Infeksi kedua jenis cacing ini selalu dijumpai bersamaan, karena epidemiologi kedua jenis cacing ini hampir sama, baik mengenai jenis tanah maupun temperatur optimum untuk dapat menjadi telur yang infektif. Dijumpai juga tripel infeksi sebanyak 0,53% yaitu A. lumbricoides, T. trichiura dan cacing tambang (Tabel 4.1).

Pada penelitian ini diambil sampel dari siswa SD Negeri 067240 yang tinggal di Kelurahan Tembung sebanyak 80 sampel yang positif infeksi Soil-Transmitted Helminths (STH). Sampel diambil secara acak dengan cara lotere dan didapat infeksi A. lumbricoides 70%, T. trichiura 85% dan infeksi campuran 57,5% (Tabel 4.2).

Intensitas ringan dari infeksi A. lumbricoides sebanyak 66%, sedang 24% sedangkan intensitas berat 0%. Tidak adanya intensitas berat dan cukup tingginya intensitas ringan kemungkinan selama ini siswa memakan obat cacing namun tidak teratur. Begitu pula dengan intensitas infeksi Trichuris trihiura intensitas ringan 91% dan sedang 9% sedangkan intensitas berat tidak ada (Tabel 4.4).

Pada anak yang tidak terinfeksi A. lumbricoides, pengetahuan tentang cacingan baik 0% sedangkan kurang baik 24 orang (31,6%). Demikian pula dengan sikap anak terhadap cacingan, sikap yang baik hanya 1 orang (20%) sedangkan kurang baik 23 orang (30,7%). Sedangkan tindakan anak yang baik pada anak yang tidak terinfeksi sebanyak 10 orang sedang yang kurang baik 14 orang. Seharusnya


(49)

anak yang berperilaku kurang baik berisiko tinggi untuk mendapat infeksi A. lumbricoides. Tetapi pada penelitian ini dari 80 sampel ditemukan 24 (31,6%) anak tidak terinfeksi oleh Ascaris tapi berperilaku relatif kurang baik (Tabel 4.5). Ini dimungkinkan karena anak baru memakan obat cacing atau resisten terhadap infeksi. Albright dkk (2005) pada penelitian dibeberapa Sekolah Dasar di Jawa Tengah juga mendapatkan anak yang berperilaku buruk dan berisiko tinggi tapi tidak terinfeksi dengan A. lumbricoides.

Pada intensitas ringan didapati anak dengan pengetahuan yang kurang baik sebanyak 37 orang (48,7%), anak dengan sikap yang kurang baik sebanyak 36 orang (48,0%) sedangkan anak dengan tindakan yang kurang baik 29 orang (51,8%). Pada intensitas sedang, pengetahuan yang kurang baik sebanyak 15 orang (19,7%), sikap yang kurang baik 16 orang (21,3%) dan tindakan anak yang kurang baik sebanyak 13 orang (23,2%).

Dengan uji statistik Chi Square didapat bahwa tidak ada hubungan antara tingkat intensitas infeksi Ascaris dengan perilaku anak baik pengetahuan, sikap anak terhadap cacingan dan tindakan anak (P > 0,05).

Demikian pula dengan infeksi T. trichiura, anak yang tidak terinfeksi Trichuris sebanyak 11 orang. Anak yang berpengetahuan kurang sebanyak 11 orang (14,5%) dan juga anak yang bersikap kurang baik sebanyak 10 orang (13,3%) dan tindakan yang kurang baik sebanyak 6 orang (10,7%). Dengan uji statistik chi square didapat bahwa tidak ada hubungan antara tingkat intensitas infeksi Trichuris trichiura dengan perilaku anak SD (p > 0,05).


(50)

Proporsi tanah pekarangan rumah yang tidak tercemar oleh telur cacing adalah 38 (47,5%) sedangkan yang tercemar 42 (52,5%). Dan pekarangan depan merupakan bagian yang paling banyak dijumpai telur. Jumlah telur yang dijumpai berkisar 1 – 9 butir. Pasaribu (2003) pada penelitiannya di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah Tanah Karo menemukan telur berkisar 1 – 5 butir dan yang paling banyak di pekarangan belakang. Telur yang paling banyak dijumpai adalah telur Ascaris. Hal ini sesuai dengan jumlah telur yang keluar bersama tinja 1 (satu) hari yaitu kira-kira 200.000 butir dibandingkan dengan telur Trichuris hanya 5.000 butir sehari.

Dari 80 siswa yang terinfeksi cacing di mana 4 siswa dengan pengetahuan baik, 3 siswa berada di lingkungan rumah yang tidak tercemar telur cacing. 1 (25%) siswa berada pada lingkungan rumah yang tercemar telur cacing. Sedangkan 76 siswa dengan pengetahuan kurang baik 35 (46,1%) siswa berada pada lingkungan rumah yang tidak tercemar telur cacing, 41 (53,9%) siswa berada pada lingkungan rumah yang tercemar telur cacing. Dengan uji statistik Chi Square,tidak ada perbedaan yang bermakna prevalensi infeksi cacing untuk siswa pengetahuan baik dengan siswa yang pengetahuan kurang baik pada lingkungan yang tidak tercemar telur maupun lingkungan yang tercemar telur cacing (p > 0,05%).

Dari 80 siswa terinfeksi cacing di mana 5 siswa dengan sikap yang baik, 3 (60%) siswa berada pada lingkungan rumah yang tidak tercemar telur cacing, 2 (40%) siswa berada pada lingkungan rumah yang tercemar telur cacing. Sedangkan 75 siswa dengan sikap yang kurang baik, 35 (46,7%) siswa berada pada lingkungan rumah yang tidak tercemar telur cacing, 40 (53,3%) siswa berada pada lingkungan


(51)

rumah yang tercemar telur cacing. Dengan uji statistik Chi Square tidak ada perbedaan yang bermakna prevalensi infeksi cacing siswa yang mempunyai sikap baik dengan siswa yang mempunyai sikap kurang baik pada lingkungan tidak tercemar maupun pada lingkungan yang tercemar telur cacing (p > 0,05%).

Dari 80 siswa terinfeksi cacing di mana 24 siswa dengan tindakan yang baik, 7 (29,2%) siswa berada pada lingkungan rumah yang tidak tercemar telur cacing, 17 (70,8%) siswa berada pada lingkungan yang tercemar telur cacing. Sedangkan 56 siswa dengan tindakan yang kurang baik 31 (65,4%) siswa berada pada lingkungan rumah yang tidak tercemar telur cacing, 25 (44,6%) siswa berada pada lingkungan rumah yang tercemar telur cacing. Ada perbedaan bermakna prevalensi infeksi cacing untuk siswa yang mempunyai tindakan baik dengan siswa yang mempunyai tindakan kurang baik pada lingkungan tidak tercemar telur cacing maupun pada lingkungan tercemar telur cacing (p < 0,05).

Siswa yang menderita infeksi STH pada lingkungan tidak tercemar kemungkinan mendapat infeksi dari tempat bermain yang lain atau siswa tidak mencemari lingkungan rumahnya dengan tinja yang mengandung telur.

Ada korelasi yang bermakna antara jumlah telur ditanah dan intensitas infeksi A. lumbricoides. Semakin banyak telur ditanah semakin bertambah tingkat intensitas infeksi cacing. Seperti yang dinyatakan oleh Gandahusada dkk, (1998) semakin banyak telur ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu, sayuran dan lain-lain) semakin tinggi derajat endemi di suatu daerah dengan infeksi yang semakin berat.


(52)

Namun berbeda dengan dengan Ascaris, jumlah telur Trichuris ditanah tidak mempunyai korelasi yang bermakna dengan intensitas infeksi Trichuris trichiura. Ini dimungkinkan karena jumlah telur yang dikeluarkan oleh satu ekor cacing betina Trichuris hanya kira-kira 5000 butir telur/hari.


(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Prevalensi cacingan di Sekolah Dasar Kecamatan Tembung adalah 73%. Intensitas infeksi hanya ringan dan sedang sedangkan intensitas berat tidak dijumpai.

2. Proporsi tanah yang tercemar dan tidak tercemar telur adalah 52,5% dan 47,5%.

3. Ada perbedaan yang bermakna antara tindakan yang baik dan yang kurang baik pada pencemaran tanah oleh telur.

4. Ada korelasi yang bermakna antara pencemaran tanah oleh telur dan intensitas infeksi Asacaris lumbricoides.

5. Tidak ada hubungan bermakna antara perilaku anak dengan tingkat Intensitas STH.

5.2. Saran

1. Dianjurkan untuk dilakukan penyuluhan kesehatan baik kepada orang tua ataupun siswa mengenai STH ataupun infeksi cacing usus lainnya.


(54)

2. Pada pengobatan massal untuk anak SD disarankan memakai obat yang efektif untuk STH dan bersifat ovisidal sehingga pencemaran tanah oleh telur yang dapat menjadi infektif akan menurun.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Albright J.W, Nur Rokhmah Hidayati, Jasna Basaric-Keys. 2005. Behavioral and Hygiene Characteristic of Primary School of Geohelminth Infections: A Study in Central Java, Indonesia Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 36 (3): 629-41.

Arrasyd N.K. 1999. Kontaminasi Tanah oleh Soil Transmitted Helminth di Ambarita-Pagururan pulau Samosir. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran USU. Brown H.W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Edisi Ketiga Jakarta. Gramedia.

177-216.

Depary, A.A. 1994. Epidemiologi Soil Transmitted Helminthiasis di Indonesia. Makalah Simposium Peran Serta Masyarakat dalam Usaha Penanggulangan Penyakit Kecacingan. FK-USU.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Cacingan. Gandahusada S, Ilahudde HD, Pribadi, W. 1998. Parasitologi Kedokteran. Edisi

Ketiga. BPFKUI. Jakarta. 8-29.

Hadijaya P, Sri S. Margono, Adi Sasongko dan Rumsah Rasad. 1992. Dampak Pengobatan, Perbaikan lingkungan dan Sanitasi serta Penyuluhan Kesehatan terhadap Prevalensi Infeksi Ascaris lumbricoides, Maj. Parasitol, Ind. 5 (1): 115-20.

Haju V, L. S. Stephenson, HO. Muhammad, DD Bowman and RS Parker. 1998. Improvement of Growth, apetite and Phisical Activity in: Helminth Infected Schoolboys 6 Months After Single Dose of Albendazole. Asia Pacific 7 ((2) J Clin Nutr): 170-76.

Hawin N. 2005. Pengaruh Tingkat Pengetahuan Pengasuh dari Anak usia 1-12 Tahun yang Kecacingan terhadap Polusi Tanah di Sekitar Rumah oleh Soil transmitted Helminths. Saintica Medika, 2 (1): 9-24.

Mardiana L, Agustina, N. Riris, Djarismawati dan Sukijo. 2000. Telur Ascaris lumbricoides pada Tinja dan Kuku Anak Balita serta Tanah di Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Maj. Parasitol Ind. 13 (1-2): 28-32.


(56)

Maharani A. 2005. Infeksi Nematoda Usus pada Siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Karang Mulya 02, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal. Jurnal Kedokteran Yarsi 13 (1): 24-34.

Margono S.S. 1996. Pemeriksaan Tanah, Debu, Usap Jari dan Kotoran Kuku terhadap Telur Ascaris lumbricoides. Maj. Kedok.Indon; 46 (11): 621-626.

Margono S.S, 2003. Impotan Human Helminthiasis in Indonesia. In: Crompton DWT, Montresor A, Nesheim MC, Savioli L, eds. Controlling Disease Due to Helminth Infections. World Health Organisation. Geneva.

Markell, E.K. 1999. Markell & Voge’s Medical Parasitology. 8 th Ed., W.B Saunders Co.

Montressor A., CROMPTON, DWT., Hall, Bundy, D A P, Savioli, L, Guidelines for the evaluation of soil transmitted helminthiasis and schistomiasis at community level,WHO/ctd/SIP/98.

Notoatmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Edisi Kesatu. Rineka Cipta. Jakarta. hal. 114-34.

Nurdiana Y. 2004. Soil Contamination By Intestinal Parasite Eggs In Two Urban Villages of Jember. Jurnal ILMU DASAR 5 (1): 50-54.

Pasaribu S. 2003. Penentuan optimal Pengobatan Massal Askariasis dengan Albendazole Pada Anak Usia Sekolah Dasar di Desa Suka. Ringkasan Desertasi. Program Pasca Sarjana USU. Medan.

Sastroasmoro S, Sofyan Ismael. 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Kedua. Jakarta. Sagung Seto.

Tigor C. 2006. Efek Pemberian Obat Albendazole terhadap Intensitas Infeksi, Status Nutrisi dan Fungsi Kognitif pada Anak Sekolah Dasar yang Terinfeksi Ascaris lumbricoides, Tesis. Program Pascasarjana Tropical Medicine. USU. Medan.

Ulukanligil M, Adnan Seyrek, Gonul Aslan, Hatice Ozbilge, Suleiman Atay. 2001. Environmental Pollution with Soil Transmitted Helminths in Salinurfa. Turkey Mem Inst.Ozwaaldo Cruz, Rio de Janeiro. 96 (7) : 903-907.

Wachidanijah. 2002. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Anak serta Lingkungan Rumah dan Sekolah dengan Kejadian Infeksi Kecacingan Anak Sekolah Dasar: Studi di Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen. Availablefrom


(57)

URL :http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id-jkpkbppk-gdl-res-2002-wachidanijah.

Zaman V and LOH, A.K. 1988. Handbook of Medical Parasitology. ADIS Health Science Press, New York, Tokyo, Mexico, Sydney, Auckland, Hongkong. Zulkarnain M. 1999. Worm Infections among Primary School Children in

Palembang, South Sumatera, Indonesia. Majalah Kedokteran Sriwijaya 31


(1)

Namun berbeda dengan dengan Ascaris, jumlah telur Trichuris ditanah tidak mempunyai korelasi yang bermakna dengan intensitas infeksi Trichuris trichiura. Ini dimungkinkan karena jumlah telur yang dikeluarkan oleh satu ekor cacing betina Trichuris hanya kira-kira 5000 butir telur/hari.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Prevalensi cacingan di Sekolah Dasar Kecamatan Tembung adalah 73%. Intensitas infeksi hanya ringan dan sedang sedangkan intensitas berat tidak dijumpai.

2. Proporsi tanah yang tercemar dan tidak tercemar telur adalah 52,5% dan 47,5%.

3. Ada perbedaan yang bermakna antara tindakan yang baik dan yang kurang baik pada pencemaran tanah oleh telur.

4. Ada korelasi yang bermakna antara pencemaran tanah oleh telur dan intensitas infeksi Asacaris lumbricoides.

5. Tidak ada hubungan bermakna antara perilaku anak dengan tingkat Intensitas STH.

5.2. Saran

1. Dianjurkan untuk dilakukan penyuluhan kesehatan baik kepada orang tua ataupun siswa mengenai STH ataupun infeksi cacing usus lainnya.


(3)

2. Pada pengobatan massal untuk anak SD disarankan memakai obat yang efektif untuk STH dan bersifat ovisidal sehingga pencemaran tanah oleh telur yang dapat menjadi infektif akan menurun.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Albright J.W, Nur Rokhmah Hidayati, Jasna Basaric-Keys. 2005. Behavioral and Hygiene Characteristic of Primary School of Geohelminth Infections: A Study in Central Java, Indonesia Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 36 (3): 629-41.

Arrasyd N.K. 1999. Kontaminasi Tanah oleh Soil Transmitted Helminth di Ambarita-Pagururan pulau Samosir. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran USU. Brown H.W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Edisi Ketiga Jakarta. Gramedia.

177-216.

Depary, A.A. 1994. Epidemiologi Soil Transmitted Helminthiasis di Indonesia. Makalah Simposium Peran Serta Masyarakat dalam Usaha Penanggulangan Penyakit Kecacingan. FK-USU.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Cacingan. Gandahusada S, Ilahudde HD, Pribadi, W. 1998. Parasitologi Kedokteran. Edisi

Ketiga. BPFKUI. Jakarta. 8-29.

Hadijaya P, Sri S. Margono, Adi Sasongko dan Rumsah Rasad. 1992. Dampak Pengobatan, Perbaikan lingkungan dan Sanitasi serta Penyuluhan Kesehatan terhadap Prevalensi Infeksi Ascaris lumbricoides, Maj. Parasitol, Ind. 5 (1): 115-20.

Haju V, L. S. Stephenson, HO. Muhammad, DD Bowman and RS Parker. 1998. Improvement of Growth, apetite and Phisical Activity in: Helminth Infected Schoolboys 6 Months After Single Dose of Albendazole. Asia Pacific 7 ((2) J Clin Nutr): 170-76.

Hawin N. 2005. Pengaruh Tingkat Pengetahuan Pengasuh dari Anak usia 1-12 Tahun yang Kecacingan terhadap Polusi Tanah di Sekitar Rumah oleh Soil transmitted Helminths. Saintica Medika, 2 (1): 9-24.

Mardiana L, Agustina, N. Riris, Djarismawati dan Sukijo. 2000. Telur Ascaris lumbricoides pada Tinja dan Kuku Anak Balita serta Tanah di Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Maj. Parasitol Ind. 13 (1-2): 28-32.


(5)

Maharani A. 2005. Infeksi Nematoda Usus pada Siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Karang Mulya 02, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal. Jurnal Kedokteran Yarsi 13 (1): 24-34.

Margono S.S. 1996. Pemeriksaan Tanah, Debu, Usap Jari dan Kotoran Kuku terhadap Telur Ascaris lumbricoides. Maj. Kedok.Indon; 46 (11): 621-626.

Margono S.S, 2003. Impotan Human Helminthiasis in Indonesia. In: Crompton DWT, Montresor A, Nesheim MC, Savioli L, eds. Controlling Disease Due to Helminth Infections. World Health Organisation. Geneva.

Markell, E.K. 1999. Markell & Voge’s Medical Parasitology. 8 th Ed., W.B Saunders Co.

Montressor A., CROMPTON, DWT., Hall, Bundy, D A P, Savioli, L, Guidelines for the evaluation of soil transmitted helminthiasis and schistomiasis at community level,WHO/ctd/SIP/98.

Notoatmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Edisi Kesatu. Rineka Cipta. Jakarta. hal. 114-34.

Nurdiana Y. 2004. Soil Contamination By Intestinal Parasite Eggs In Two Urban Villages of Jember. Jurnal ILMU DASAR 5 (1): 50-54.

Pasaribu S. 2003. Penentuan optimal Pengobatan Massal Askariasis dengan Albendazole Pada Anak Usia Sekolah Dasar di Desa Suka. Ringkasan Desertasi. Program Pasca Sarjana USU. Medan.

Sastroasmoro S, Sofyan Ismael. 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Kedua. Jakarta. Sagung Seto.

Tigor C. 2006. Efek Pemberian Obat Albendazole terhadap Intensitas Infeksi, Status Nutrisi dan Fungsi Kognitif pada Anak Sekolah Dasar yang Terinfeksi Ascaris lumbricoides, Tesis. Program Pascasarjana Tropical Medicine. USU. Medan.

Ulukanligil M, Adnan Seyrek, Gonul Aslan, Hatice Ozbilge, Suleiman Atay. 2001. Environmental Pollution with Soil Transmitted Helminths in Salinurfa. Turkey Mem Inst.Ozwaaldo Cruz, Rio de Janeiro. 96 (7) : 903-907.

Wachidanijah. 2002. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Anak serta Lingkungan Rumah dan Sekolah dengan Kejadian Infeksi Kecacingan Anak Sekolah Dasar: Studi di Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen. Availablefrom


(6)

URL :http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id-jkpkbppk-gdl-res-2002-wachidanijah.

Zaman V and LOH, A.K. 1988. Handbook of Medical Parasitology. ADIS Health Science Press, New York, Tokyo, Mexico, Sydney, Auckland, Hongkong. Zulkarnain M. 1999. Worm Infections among Primary School Children in

Palembang, South Sumatera, Indonesia. Majalah Kedokteran Sriwijaya 31