BAB IV Pembahasan dan Hasil Penelitian

(1)

BAB IV

PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN A. Profil Khilafah Abbasiyyah

Masa Abbasiyyah merupakan era terpanjang, yakni sekitar 8 abad (132-923 H/750-1517 M). Fase Abbasiyyah adalah kelanjutan estafet kekuasaan setelah jatuhnya dominasi Umayyah melalui revolusi fisik aliansi Abbasiyyah yang merupakan koalisi para Ahl al-Quwwah (para pemilik kekuatan riil), yakni kalangan Abbasiyyah, faksi Abu Muslim al-Khurasani dari Persia, ‘Alawiyyin, Khawarij dan para Mawali. Revolusi ini didahului oleh penggalangan opini publik menentang kezaliman Umayyah, yang dilakukan secara massif.1 Fase ini dimulai dari pembai’atan as-Saffah dari

keturunan Abbas ibn Abdul Muthallib r.a., yang merupakan salah satu paman Nabi saw..2

Dari sisi penerapan Islam maka pilar kekuasaan umat dan struktur Majlis Umat tetaplah tanpa upaya reformasi pasca kesalahan Umayyah (bai’at yang disertai penunjukan yang mirip “putra mahkota” dan upaya pemaksaan), bahkan kesatuan wilayah dan umat benar-benar dalam kondisi memprihatinkan, pasca wafatnya khalifah Harun ar-Rasyid. Negara berada dalam 3 indikator kelemahan, yaitu terlepasnya Andalusia secara administratif, pemberontakan Fatimiyyah dan para pendukungnya (semisal Bathiniyyah, Qaramiththah, Ikhwan ash-Shafa), dan dominasi Ahl al-Quwwah yang seringkali menyempitkan wewenang khalifah, semisal tentara Turki, Buwaihiyyah, Salajiqah, Thuluniyyah, dan sebagainya. Bahkan dalam era Perang Salib dan serangan Mongol, maka para Ahl al-Quwwah seringkali berinisiatif dan independen tanpa peran para khalifah, semisal aktivitas Zankiyyah, Ayyubiyyah, Murabithah dan Utsmaniyyah (yang dikenal melalui penaklukan Konstantinopel).3 Adapun aktivitas politik umat, bukan saja

terlihat dalam capaian partai-partai tadi, namun juga melalui aktivitas personal para ulama, yang istiqamah dalam

1 K.H. Muhammmad Maghfur, M.A., Koreksi atas Pemikiran Kalam dan

Filsafat Islam (Bangil: al-Izzah, 2002); hlm. 165-166 dan 211-213.

2 Imam as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ`, hlm. 104 (al-Maktabah asy-Syâmilah

Ishdâr ats-Tsânî).

3 K.H. Muhammmad Maghfur, M.A., Koreksi atas Pemikiran Kalam dan

Filsafat Islam (Bangil: al-Izzah, 2002); hlm. 168-176; ‘Allâmah asy-Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, ad-Daulah al-Islâmiyyah (Mu’tamadah) (Beirut: Dâr al-Ummah, 2002); hlm. 136-137.


(2)

Muhâsabah lil Hukkâm, semisal Imam Ahmad, Imam Ibn Abdis Salam, dan Imam Ibn Taimiyyah.4

Sedangkan perkembangan tsaqafah mengalami peningkatan luar biasa dan berakhir dengan kemunduran yang dahsyat. Pada masa Abbasiyyah, kajian tentang hadits diwarnai oleh penulisan kitab-kitab matan, baik Jâmi’, al-Musnad, as-Sunan, al-Juz`iyyah, dan sebagainya; Musthalah al-Hadîts atau ‘Ulûm al-Hadîts; al-Jarh wa Ta’dîl dan yang semisalnya, bahkan penyusunan syarah, ikhtisar, dan kamus. Adapun fiqih dan ushul-nya, tentu saja lebih pesat sebagaimana terlihat dalam perkembangan madzhab fiqih, semisal Madzâhib al-Arba’ah, Zhahiriyyah, Zaidiyyah, Ja’fariyyah, dan sebagainya; kajian-kajian Ushûl al-Fiqh; dan penulisan kitab-kitab fiqih baik matan, syarah, hasyiyah ataupun sekedar fatwa. Namun perkembangan tersebut berakhir dengan seruan taklid, pengekangan ijtihad, dan fanatisme madzhab.5 Tak berbeda jauh dengan fiqih, adalah

kajian bahasa Arab, yang sempat berkembang dalam kajian nahwu, sharaf, dan balaghah bahkan penulisan kamus, namun berakhir dengan dominasi bahasa ‘Ajam (non-Arab) dalam kehidupan para Ahl al-Quwwah dan umat secara umum.6

Era ini justru dipenuhi oleh kontroversi dan kompromi terhadap filsafat Yunani, India dan Persia, melalui aktivitas mutakalimin dan sufi, bahkan para filosof dan Ahl al-Hulûl wa al-Ittihâd wa Wihdah al-Wujûd. Juga terjadi awal-mula penyebaran tarekat-tarekat sufi, perdebatan-perdebatan tentang sifat Allah swt., Qadha dan Qadar, serta populernya teori-teori terkait ma’rifah, maqâmât dan ahwâl dari para sufi. Sekalipun demikian, upaya-upaya netralisasi senantiasa dilakukan, baik melalui penulisan kitab-kitab, penyampaian fatwa maupun upaya politik dari penguasa, dalam isu-isu zindiq, bid’ah, dan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Peristiwa-peristiwa yang menggambarkan kondisi tersebut semisal eksekusi Hallaj, fitnah Khalq Qur`ân, Ghullâh al-Hanâbilah, dan minhah Imam ibn Taimiyyah.

Adapun dari sisi sains dan tenologi, maka para Khalifah Abbasiyyah dan para penguasa daerah benar-benar berkomitmen dalam pengembangannya. Berbagai disiplin ilmu semisal kedokteran, astronomi, kimia, matematika, dan

4 Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Al-Badri, al-Islâm baina al-‘Ulamâ` wa al-Hukkâm

(Madinah al-Munawwarah: Mansyurât al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1965); hlm. 159-182 dan 190-208.

5 K.H. Muhammmad Maghfur, M.A., Koreksi atas Pemikiran Kalam dan

Filsafat Islam (Bangil: al-Izzah, 2002); hlm. 187-188.


(3)

sebagainya, mengalami kemajuan dan inovasi yang cemerlang. Hal tersebut terutama dalam rangka optimalisasi pengaturan publik terkait pelaksanaan ibadah, pelayanan negara, perekonomian, tata-kota dan sanitasi, serta pengokohan aktivitas jihad. Berbagai penemuan dan inovasi ilmiah berhasil terwujud melalui kajian-kajian dan penelitian yang dilakukan warga negara Khilafah, baik Arab maupun ‘Ajam, Muslim maupun non-Muslim.7 Kota-kota di negara

Khilafah dikenal sebagai mercusuar ilmu pengetahuan semisal Cordova, Baghdad, Damaskus, dan Kairo.8

Tabel 1

Kondisi Khilafah Abbasiyyah

Politik pada Masa

Abbasiyyah

Pilar dan Struktur Pemerintahan tidak ideal Kesatuan umat dan kurang terpelihara

Terdapat aktivitas politik individual dan kolektif

Pemikiran pada Masa

Abbasiyyah

Studi hadits mengalami puncak

perkembangan

Kematangan dan stagnasi studi fiqih Kemunduran studi bahasa Arab

Kontroversi dan kompromi terhadap kajian-kajian filsafat

Kajian sains dan teknologi berkembang lalu melemah

B. Tingkat Pendidikan pada Masa Khilafah Abbasiyyah

Tingkat atau jenjang pendidikan adalah periodisasi yang ditempuh oleh peserta didik dalam menjalankan aktivitas pendidikan. Di Indonesia, tingkat pendidikan yang pada umumnya digunakan dibagi menjadi jenjang dasar (7-12 tahun)9, menengah pertama (13-15 tahun)10, menengah atas

(16-18 tahun)11, dan perguruan tinggi (19 tahun dan

seterusnya)12. Hal tersebut diadopsi pula oleh

lembaga-7

www.globalmuslim.web.id/2011/03/bukti-bukti-historis-kemajuan-peradaban.html; K.H. Muhammmad Maghfur, M.A., Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam (Bangil: al-Izzah, 2002); hlm. 189.

8 ‘Allâmah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Islâm

(Mu’tamadah) (Min Mansyurât Hizb at-Tahrîr, 2001); hlm. 47.

9 www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/peserta-didik-sekolah-dasar, diakses

pada 9 September 2014.

10

www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/peserta-didik-sekolah-menengah-pertama,diakses pada 9 September 2014.

11 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (Sisdiknas) pasal 18 ayat 1.

12 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


(4)

lembaga yang bercorak Islam, berupa madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), dan madrasah aliyah (MA), serta universitas Islam atau sekolah tinggi/institut agama Islam13.

Berdasarkan dalil-dalil syar’i, maka tingkat pendidikan menurut Islam tidak diserahkan kepada pertimbangan akal dan kemashlahatan, namun sesuai dengan hukum syara’ terkait jenjang usia peserta didik.14

Mengenai pembagian tingkat atau jenjang pendidikan pada masa Khilafah Abbasiyyah, maka secara umum berdasarkan literatur yang ada, terdiri atas 2 (dua) tingkatan, yakni pra balig dan balig.

1. Tingkat Pendidikan Pra Balig

Pendidikan pra balig merupakan upaya pembentukan kepribadian dan pembekalan ketrampilan yang dilaksanakan pada usia dini, sebelum dimulainya status mukalaf. Untuk meneliti gambaran periodisasi ini pada masa Khilafah Abbasiyyah dapat ditelaah dalam kehidupan ilmiah Nâshir as-Sunnah al-Imâm Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i. Disebutkan dalam berbagai kitab biografi:

لاققق

دققمحأ

نققب

مققيهاربإ

يئاققطلا

عققطقلا

:

انثدققح

،ينزملا

عمس

يعفاققشلا

لوقققي

:

تققظفح

نآرقققلا

انأو

نبا

عبس

،نينس

تظفحو

"

أطوملا

"

انأو

نبا

رشع

Berkata Ahmad ibn Ibrahim ath-Tha’i al-Aqtha’, telah mengabarkan kepada kami al-Muzanni, bahwa dia mendengar asy-Syafi’i berkata: Saya telah hafal al-Qur`an pada umur 7 tahun dan hafal al-Muwaththa` pada umur 10 tahun.15

ثدح

،يربللا

وهو

وبأ

نسحلا

دمحم

نب

نيسحلا

نققب

مققيهاربإ

نققب

مققصاع

يرققبللا

يزجققسلا

لاققق

:

تعمس

ابأ

قاحسإ

ميهاربإ

نب

دققمحم

نققب

دققلوملا

يقرلا

يكحي

نع

ايركز

نب

ىيحي

،يرصبلا

ىيحيو

13 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (Sisdiknas) pasal 17 ayat 2, pasal 18 ayat 3, dan pasal 20 ayat 1.

14 Syaikh Abu Yasin, Usus at-Ta’lîm al-Manhajî fi Daulah al-Khilâfah (Beirut:

Dâr al-Ummah, 2004); hlm. 24-27.

15 Imam adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ`, juz X hlm. 11 (al-Maktabah


(5)

نب

ايركز

نب

ةيربج

يروباسينلا

امهلك

نع

عققيبرلا

نققب

،ناميلققس

مهققضعبو

دققيزي

ىققلع

ضققعب

يققف

ةققياكحلا

.

لاققق

عققيبرلا

:

تعمققس

يعفاققشلا

لوقققي

:

تنك

انأ

يف

باتكلا

عمققسأ

مققلعملا

نقققلي

يبققصلا

ةيلا

اهظفحأف

،انأ

دقققلو

تققنك

-

نوققبتكيو

مققهتمئأ

ىلإققف

نأ

غرققفي

مققلعملا

نققم

اءلملا

مققهيلع

-

دققق

تظفح

عيمج

ام

يلمأ

Telah mengabarkan al-Abari, dia adalah Abu al-Hasan Muhammad ibn al-Husain ibn Ibrahim ibn ‘Ashim al-Abari as-Sajzi, dia berkata, Aku mendengar Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad ibn al-Maulid ar-Raqqi telah menghikayatkan dari Zakariyya ibn Yahya al-Bashri dan Yahya ibn Zakariyya ibn Jabriyyah an-Naisaburi keduanya dari ar-Rabi’ ibn Sulaiman (sebagian ulama menambahkan sanad lain pada hikayah ini), telah berkata ar-Rabi’, Saya mendengar asy-Syafi’i berkata: Saya berada di Kuttab mendengarkan guru sedang men-talqin-kan ayat kepada anak-anak, maka sayapun menghapalnya, Sungguh, saat anak-anak lain menulis, maka setelah guru selesai mendiktekan kepada mereka, saya telah telah menghafal semua yang didiktekan.16

مث

لحر

يعفاشلا

نم

ةكم

ىلإ

ةنيدملا

ادصاق

ذاخلا

نع

يبا

دبع

هللا

كلام

نب

سنا

همحر

هللا

...

ناكو

يعفاشلل

همحر

هللا

نيح

ىتا

اكلام

ثلث

ةرشع

ةنس

Kemudian asy-Syafi’i ber-rihlah dari Makkah ke Madinah dengan maksud mengambil ilmu dari Abu Abdillah Malik ibn Anas rahimahullah ... Umur asy-Syafi’i saat mendatangi Malik adalah 13 tahun.17

Secara normatif, asal pembahasan tingkat pendidikan pra balig ialah hadits tentang perintah shalat terhadap anak-anak umur 7 dan 10 tahun.18 Diantara para ulama yang

membahas tingkat ini ialah:

16 Imam Yaqut ar-Rumi, Mu’jam al-Udabâ`, juz II hlm. 339 (al-Maktabah

asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

17 Imam an-Nawawi, al-Majmû’, juz I hlm. 8 (al-Maktabah asy-Syâmilah

Ishdâr ats-Tsânî).

18 Imam Abu Daud, Sunan Abi Daud, juz II hlm. 88 (al-Maktabah


(6)

a. Al-Imâm Auhad Hâfizh Faqîh Ibn Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri (wafat 456 H/1056 M)

b. Syaikh al-Islâm Muhyiddîn al-Imâm Yahya ibn Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i (wafat 676 H/1278 M)

c. Syaikh al-Islâm Syihâbuddîn al-Imâm Ibn Hajar al-‘Asqalani asy-Syafi’i (wafat 852 H/1458 M)

Imam Ibn Hazm merupakan rujukan utama madzhab Zhahiriyyah, sekaligus pakar dalam banyak disipilin ilmu, selain fiqih, juga pemikiran akidah dan hadits. Terkait tingkat pendidikan, beliau menyebutkan dalam kitabnya:

دقو

ملع

لوسر

هللا

ىلص

هللا

هققيلع

ملققسو

نققبا

سابع

لبق

هغولب

ضعب

مكح

ةلققصلا

هققمأو

،اققهيف

بحتسيو

اذإ

غلب

عبس

نينس

نأ

بردي

اققهيلع

اذإققف

غلب

رشع

نينس

بدأ

اهيلع

Sungguh, Rasulullah saw. telah mengajarkan Ibn Abbas sebelum berusia baligh sebagian hukum shalat dan memimpinnya dalam shalat. Disukai jika anak-anak telah berusia 7 tahun agar mengajarinya tentang shalat, jika telah berusia 10 tahun maka hendaknya men-ta`dib-nya.19

Sedangkan Imam an-Nawawi merupakan rujukan utama kalangan madzhab Syafi’iyyah bersama Imam ar-Rafi’i. Bahkan derajat keilmuan beliau yang mencapai kedudukan mujtahid madzhab telah menempatkan tarjih-nya sebagai pilihan utama. Dalam al-Majmû’ beliau menjelaskan:

لاق

يعفاشلا

باحصلاو

مهمحر

هللا

ىققلع

اءاققبلا

تاهملاو

ميلعت

مهدلوأ

راغصلا

ام

نيعتيس

مهيلع

دققعب

غوققلبلا

هققملعيف

ىلوققلا

ةراققهطلا

ةلققصلاو

موققصلاو

اققهوحنو

هققفرعيو

مققيرحت

اققنزلا

طاوققللاو

ةقرقققسلاو

برقققشو

ركقققسملا

بذقققكلاو

ةقققبيغلاو

اههبشو

:

هفرعيو

نأ

غولبلاققب

لاخدققي

يققف

فققيلكتلا

هفرعيو

ام

غلبي

هب

Asy-Syafi’i dan Ashhâb rahimahumullah berkata, wajib bagi para ayah dan ibu mengajari anak-anaknya yang masih kecil apa-apa yang termasuk fardhu ‘ain bagi mereka saat balig. Wali mengajari mereka bersuci, shalat, shaum, dan sebagainya; mengenalkan tentang

19 Imam Ibn Hazm, al-Muhallâ, juz II hlm. 232-233 (al-Maktabah


(7)

keharaman zina, liwath, mencuri, meminum yang memabukkan, berdusta, ghibah, dan semisalnya; mengenalkan bahwa dengan status balig maka dia terkena taklif, dan mengenalkan ciri-cirinya.20

Sebagaimana dalam kitab ar-Raudhah, yang merupakan ringkasan dan penyempurnaan terhadap Fath al-‘Azîz li ar-Râfi’î Syarh ‘ala al-Wajîz li al-Ghazâlî, beliau menjelaskan:

امأو

يبصلا

لف

بجت

هيلع

ةلصلا

ل

اءادأ

لو

اءاضق

لو

رمؤي

دحأ

نمم

بجتل

هيلع

ةلققصلا

اققهلعفب

لإ

يبصلا

ةيبصلاو

هنإف

رمؤي

اهب

اذإ

غلب

عبققس

نينققس

برققضيو

ىققلع

اققهكرت

اذإ

غققلب

ارققشع

لاققق

ةققمئلا

بجيف

ىلع

اءابلا

تاهملاو

ميلعت

دلولا

ةراققهطلا

ةلصلاو

عئارشلاو

دعب

عبسلا

برضلاو

ىلع

اهكرت

دعب

رشعلا

رمؤققيو

موققصلاب

نإ

هقاققطأ

اققمك

رمؤققي

ةلصلاب

Adapun anak-anak maka tidak wajib baginya shalat, baik secara Adâ`, maupun Qadhâ`. Tidak perlu memerintahkan seseorang yang tidak wajib baginya untuk melaksanakan shalat, kecuali anak laki-laki dan anak perempuan. Sungguh, mereka wajib diperintahkan untuk shalat jika telah berusia 7 tahun dan memukul mereka atas tindakan meninggalkan shalat jika telah berusia 10 tahun. Para Imam berkata, Wajib bagi para ayah dan ibu memberikan pengajaran bagi anak-anak tentang bersuci, shalat, dan berbagai syariah setelah berusia 7 tahun dan pukulan atas tindakan meninggalkannya setelah usia 10 tahun, serta diperintah shaum jika memang mampu sebagaimana diperintah shalat.21

Adapun Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani adalah penulis syarah terbaik kitab Shahîh al-Bukhârî dan pakar dalam ilmu rijal dan takhrij hadits. Beliau termasuk murid dari Imam Zainuddin al-‘Iraqi. Beliau pernah menyebutkan:

20 Imam an-Nawawi, al-Majmû’, juz I hlm. 26 (al-Maktabah asy-Syâmilah

Ishdâr ats-Tsânî).

21 Imam an-Nawawi, Raudhah ath-Thâlibîn, juz I hlm. 70 (al-Maktabah


(8)

اوررمر

م

م ققك

ر دللومأل

ةةللققص

ص لابة

ععبمققس

ل لة

ن

ص إةققفل

دللوملم

ل ا

اوققس

ر يملل

ن

ل يفةلصك

ل مربة

للفل

هرجةتصيل

م

م هةيمللعل

،بوققجرورلما

اققملنصإةول

بققللط

ص لا

هججولتلمر

ىللع

ل

م

م هةئةايللةومأ

ل

ن

م أل

م

م هرومرلجعلير

ك

ل لةذل

Perintahkan anak-anak kalian shalat berusia 7 tahun. Sesungguhnya, anak-anak itu bukanlah mukalaf, maka tidak ada kewajiban bagi mereka. Namun, yang mendapatkan kewajiban adalah para wali mereka agar mengajari mereka tentang shalat.22

رلكلذل

يض

ة اقللما

نيمس

ل حر

هرنصأل

لل

زوج

ر يل

ن

م أل

نتلتلخمير

ي

ي بةققص

ص لا

ىتصحل

ريص

ة يل

نبماة

رش

م ع

ل

ن

ل ينةس

ة

هرنصلة

ل

ذعئةنليحة

مومققيل

هبرمققض

ل

ىللع

ل

ْكرمتل

ةللص

ص لا

،

مللألول

ناتلخةلما

قومفل

مللأل

برمققض

ص لا

نوك

ر يلفل

ىللومأل

رةياخةأ

م تصلابة

،

هرفليصزلول

ي

ي وةولنصلا

يفة

"

ْحرمققشل

بذجققهلمرلما

"

ل

ل اقققلول

ماققملإة

ن

ة ققيمملرلح

ل لما

:

لل

بققج

ة يل

لققبمقل

غولربرلما

ن

ص لة

ل

ي

ي بةص

ص لا

س

ل

يملل

ن

م مة

لهمأل

ةدلابلعةلما

ةقققللجعلتلمرلما

ن

ة دلبللمابة

فيمك

ل فل

علمل

ملللم

ل ا

Al-Qadhi Husain menyebutkan bahwa tidak diperbolehkan mengkhitan anak-anak kecuali telah mencapai usia 10 tahun, yang saat tersebut merupakan saat bolehnya pukulan atas tindakan meninggalkan shalat, sakitnya khitan itu lebih sakit dari pukulan, maka lebih utama diakhirkan. An-Nawawi menyebutkan dalam Syarh al-Muhadzdzab, berkata Imam al-Haramain, tidak wajib (khitan) sebelum balig, karena anak-anak bukan termasuk ahli ibadah yang berkaitan dengan badan, maka apalagi yang disertai rasa sakit.23

Hal senada juga disampaikan oleh Syams A`immah al-Imâm as-Sarkhasi al-Hanafi, Syaikh al-Islâm al-al-Imâm Ibn Qudamah Hanbali, dan Hâfizh Mufassir Imâm al-Qurthubi al-Maliki.24

Secara ringkas dapat dipahami bahwa tingkat pra balig terdiri atas 2 kategori, yakni 7-9 tahun dan 10 tahun ke atas hingga balig. Konsepsi intinya sama, bahwa anak-anak

(ash-22 Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bârî, juz XV hlm. 76 (al-Maktabah

asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

23 Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bârî, juz XVI hlm. 479 (al-Maktabah

asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

24 Imam as-Sarkhasi, Mabsûth, juz VII hlm. 261; Imam Ibn Qudamah,

al-Mughnî, juz III hlm. 82; Imam al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, juz XVIII hlm. 195 (al-Maktabah asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).


(9)

Shabiyy, ash-Shaghîr) belum diperlakukan sebagai mukalaf yang telah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap diri dan perbuatannya. Hanya saja, dalam penanganannya ada perbedaan, bagi pendidikan anak-anak yang belum mencapai usia 10 tahun, tidak diperkenankan adanya sanksi berupa pukulan dan yang semisalnya, sedangkan jika telah berumur 10 tahun diperbolehkan. Artinya, di masa awal, pendekatan persuasif dan sanksi non-fisik yang diterapkan, sedangkan pada masa berikutnya, diperkenankan sikap yang lebih keras. Tentu saja, pukulan yang diberikan tidak boleh menimbulkan bahaya bagi peserta didik. Namun, Imam asy-Syafi’i lebih menyukai pendidikan pra balig agar tidak disertai pukulan.25

2. Tingkat Pendidikan Balig

Pendidikan tingkat balig merupakan pendidikan bagi peserta didik yang telah dianggap dewasa, karena telah berstatus mukalaf. Perjalanan intelektual Imam asy-Syafi’i dapat kembali dijadikan gambaran tingkat pendidikan balig pada masa Khilafah Abbasiyyah. Imam Yaqut ar-Rumi meriwayatkan penuturan Imam asy-Syafi’i:

مث

ينإ

تجراخ

نع

ةكم

تمزلف

ل

ل يذه

يف

ةيدابلا

ملعتأ

اهملك

ذققاخآو

اققهعبط

تناققكو

حققصفأ

برققعلا

لاققق

:

تققيقبف

مققهيف

عبققس

ةرققشع

،ةنققس

لققحرأ

مهليحرب

لزنأو

،مقهلوزنب

اقملف

تقعجر

ىقلإ

ةقكم

تلعج

دشنأ

راعشلا

ركذأو

بادلا

راققباخلاو

ماقيأو

برعلا

Kemudian saya keluar dari Makkah, lalu tinggal bersama Bani Hudzail di pedesaan, mempelajari perbincangan mereka dan mengambil kebiasaan mereka. Bani Hudzail (saat itu) merupakan bangsa Arab yang paling fasih. Asy-Syafi’i berkata, Maka saya tinggal di tengah-tengah mereka selama 17 tahun, berjalan dengan perjalanan mereka dan tinggal dengan tempat tinggal mereka. Ketika saya kembali ke Mekkah, saya mampu menyenandungkan syair, menyebutkan adab/sastra, berita, dan hari-hari penting bangsa Arab.26

25 Imam Ibn Qudamah, al-Mughnî, juz XII hlm. 57 (al-Maktabah

asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

26 Imam Yaqut ar-Rumi, Mu’jam al-Udabâ`, juz II hlm. 342 (al-Maktabah


(10)

Aktivitas ini dilakukan setelah beliau menyelesaikan studi di Kuttab. Kemudian setelah mencapai kepakaran dalam bahasa dan sastra Arab, beliau disarankan untuk mempelajari secara mendalam fiqih dan hadits, sebagaimana dituturkan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmû’:

نعو

ىديمحلا

لاق

لاق

يعفاشلا

تجراخ

بققلطأ

وققحنلا

بدلاو

ىنيقلف

ملسم

نب

دلااخ

يجنزلا

لاقف

ىتفاي

نققم

نيأ

تنا

تلق

نم

لهأ

ةكم

لاق

نيأ

كلزنم

تلق

بعش

فيخلاب

لاق

نم

يأ

ةليبق

تنأ

تلق

نم

دبع

فانم

لاققق

خب

خب

دقققل

كفرققش

هققللا

يققف

ايندققلا

ةرققاخلاو

لا

تققلعج

كمهف

يف

اذه

هقفلا

ناكف

نسحا

كب

Dari al-Humaidi berkata, Telah berkata asy-Syafi’i: Saya keluar untuk mempelajari nahwu dan sastra, lalu Muslim ibn Khalid az-Zanji menemuiku dan berkata, Wahai pemuda, dari mana asalmu? Saya jawab, dari penduduk Makkah. Dia berkata, di mana tempat tinggalmu? Saya jawab, lembah di al-Khaif. Dia berkata, dari kabilah mana engkau? Saya jawab, dari Bani Abdi Manaf. Dia berkata, Bakh, Bakh, sungguh Allah telah memuliakanmu di dunia dan akhirat. Ketahuilah, engkau jadikan pemahamanmu dalam fiqih, maka tentu hal tersebut lebih baik bagimu.27

Dan Imam Yaqut ar-Rumi dalam Mu’jam al-Udabâ`:

امأو

هبلط

ملعلل

ثدحف

ريبزلا

نب

راكب

نققع

هققمع

بعصم

نب

دققبع

هققللا

نققب

رققيبزلا

:

هققنأ

جرققاخ

ىققلإ

نققميلا

يقققلف

دققمحم

نققب

سققيردإ

يعفاققشلا

وققهو

ضحتسم

يف

بلط

رعشلا

وحنلاو

بققيرغلاو

لاققق

تلقف

هل

:

ىلإ

مك

؟اذه

ول

تبلط

ثيدحلا

ه قفلاو

ناك

لثمأ

كب

Dan adapun aktivitas pencarian ilmunya, maka telah memberitakan az-Zubair ibn Bikar dari pamannya, Mush’ab ibn Abdillah ibn az-Zubair bahwa dia pergi menuju Yaman maka dia bertemu Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i dan asy-Syafi’i sedang bersungguh-sungguh dalam mempelajari syair, sastra, dan lafad-lafad asing. Dia berkata, saya berkata padanya, sampai kapan

27 Imam an-Nawawi, al-Majmû’, juz I hlm. 8 (al-Maktabah asy-Syâmilah


(11)

pembelajaran ini? Andai engkau mempelajari hadits dan fiqih, tentu lebih baik bagimu.28

Pencapaian beliau sangat luar biasa, yakni pada umur 15 tahun telah mencapai kemampuan berfatwa, dan selanjutnya dikenal sebagai muhaddits, pakar fiqih, dan ahli ushul. Demikianlah penuturan oleh para ahli tarikh dan biografi, semisal dalam as-Siyar:

ةعامج

:

انثدح

،عيبرلا

تعمققس

،يدققيمحلا

تعمققس

ملسم

نب

دلااخ

يجنزلا

لوقي

يعفاققشلل

:

تققفأ

اققي

ابأ

،هللادبع

دقف

هللاو

نآ

كققل

نأ

يتققفت

وققهو

نققبا

سماخ

ةرشع

ةنس

Berkata Jama’ah, telah memberitakan kepada kami ar-Rabi’, Saya mendengar al-Humaidi berkata, Saya mendengar Muslim ibn Khalid az-Zanji berkata kepada asy-Syafi’i: Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah, sekarang sudah saatnya bagimu untuk berfatwa, dan dia berusia 15 tahun.29

Begitupun sebagaimana yang diungkapkan Imam an-Nawawi dalam pendahuluan kitabnya, Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab:

ذاخأو

يف

لاغتققشلا

مولعلاققب

لققحرو

ىققلإ

قارققعلا

رظاققنو

دققمحم

نققب

نققسحلا

هرققيغو

رققشنو

مققلع

ثيدحلا

بهذمو

هلهأ

رققصنو

ةنققسلا

عاققشو

هرققكذ

هلضفو

بلطو

هنم

دبع

نمحرلا

نققب

ىدققهم

ماققمإ

لققهأ

ثيدققحلا

يققف

هرققصع

نأ

فنققصي

اققباتك

يققف

لوصأ

هقفلا

فنصف

باتك

ةلاسرلا

وهو

لوأ

باتك

فنص

يف

لوصأ

هقفلا

Dan asy-Syafi’i menyibukan diri dalam mengambil ilmu dan ber-rihlah menuju Irak, berdiskusi dengan Muhammad ibn al-Hasan dan ulama lainnya, menyebarkan ilmu hadits dan madzhab ahlinya, serta menolong as-Sunnah. Meluaslah perbincangan tentang pribadi dan keutamaanya. Abdurrahman ibn Mahdi, Imam Ahli Hadist pada masanya, memintanya untuk menulis sebuah kitab tentang Ushul Fiqih, maka dia menulis Kitab

28 Imam Yaqut ar-Rumi, Mu’jam al-Udabâ`, juz II hlm. 339 (al-Maktabah

asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

29 Imam adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ`, juz X hlm. 15 (al-Maktabah


(12)

ar-Risâlah, dan itu merupakan kitab yang pertama ditulis tentang Ushul Fiqih.30

Secara normatif para ulama pada masa Khilafah Abbasiyyah telah menjelaskan karakteristik balig dan mengkaitkannya dengan status kedewasaan, yakni mukalaf. Kategorisasi balig (al-Bâligh, al-Kabîr, al-Kibâr) dapat ditemukan dalam literatur yang membahas tentang ilmu dan fatwa, serta dalam kajian fiqih dan ushul fiqih, terkait syarat taklif. Diantaranya ialah:

a. Imam Ibn Abdil Barr al-Andalusi

باب

ىوتف

ريغصلا

نيب

يدي

ريبكلا

هنذإب

Bab (pendemonstrasian) fatwa anak-anak di hadapan orang dewasa berdasarkan izinnya.31

b. Imam al-Khathib al-Baghdadi

لوأ

فاققصوأ

يتققفملا

يذققلا

مزققلي

لوققبق

هاوققتف

:

نأ

نوكي

،اغلاب

نل

يبصلا

ل

مكح

هلوقل

Sifat pertama bagi seorang mufti yang fatwanya lazim untuk diterima ialah hendaknya berusia balig, karena anak-anak tidak diakui (secara hukum) pendapatnya.32 c. Imam al-Mawardi

ن

م مةول

ب

ة ابلس

م أ

ل

رةيص

ة قمتصلا

اض

ل يمأل

ن

م أل

ل

ل ققفرغميل

ن

م ققع

ل

م

ة ققللعلتصلا

يفة

،رةغلص

ج لا

م

ص ثر

ل

ل غةتلش

م يل

هةبة

يفة

رةققبلكةلما

يح

ة تلققس

م يلفل

ن

م أل

ئ

ل دةتلبميل

املبة

ئ

ر دةتلبميل

رريغةص

ص لا

Dan yang termasuk sebab-sebab penyepelean juga ialah meninggalkan pembelajaran saat anak-anak, kemudian saat dewasa tersibukkan, maka dia malu untuk memulai dengan pembelajaran yang dimulai oleh anak-anak.33

Demikianlah, dapat dipahami bahwa pendidikan tingkat balig merupakan jenjang pendidikan bagi peserta didik yang bukan hanya diharapkan telah terbentuk kepribadiannya, namun juga diupayakan agar mencapai derajat kepakaran

30 Imam an-Nawawi, al-Majmû’, juz I hlm. 8 (al-Maktabah asy-Syâmilah

Ishdâr ats-Tsânî).

31 Imam Ibn ‘Abdil Barr, Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadhlih, juz II, hlm. 93

(al-Maktabah asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

32 Imam al-Khathib al-Baghdadi, al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, juz III, hlm. 163

(al-Maktabah asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

33 Imam al-Mawardi, Adab ad-Dunyâ wa ad-Dîn, hlm. 50 (al-Maktabah


(13)

pada satu atau beberapa disiplin ilmu. Bahkan terbukti melahirkan para mujtahid yang multidisipliner, semisal Imam asy-Syafi’i yang telah banyak melahirkan karya semisal al-Umm di bidang fiqih; ar-Risâlah, Ibthâl al-Istihsân, dan Jumâ’ al-‘Ilm di bidang Ushul Fiqih; Fiqh al-Akbar dan Tashhîh an-Nubuwwah di bidang Ushuluddin; Ikhtilâf Hadiîs (dan al-Musnad) di bidang hadits; Diwân asy-Syâfi’î di bidang sastra; serta karya di bidang tafsir (Ahkâm al-Qur`an); dan al-‘Allâmah al-Khawarizmi yang telah berkhidmat kepada umat melalui kajian ilmiah tentang astronomi, matematika (al-Jabr wa al-Muqabbalah), dan geografi (Shûrah al-Ardh).

Adapun ciri-ciri balig, pada umumnya disepakati para ulama, namun beberapa masih ada perbedaan pendapat, semisal masalah batas umur maksimal, yang menurut madzhab Syafi’iyyah adalah 15 tahun. Ciri-ciri yang dapat menjadi ukuran balig ialah mimpi basah, munculnya rambut halus pada kemaluan, haid, dan hamil.34 Oleh karenanya,

penggolongan remaja dan pemuda (usia SMP dan SMA) sebagai kelompok non-dewasa merupakan kesalahan fatal yang tidak sesuai Syariah Islam, sebagaimana dijelaskan para ulama sejak masa Khilafah Abbasiyyah. Dengan demikian, penyimpangan pada usia tersebut seharusnya dikategorikan sebagai kriminalitas (jarîmah), bukan ditoleransi dengan istilah “kenakalan remaja” atau “kejahatan di bawah umur”.

Tabel 2

Tingkat Pendidikan

Pra Balig Pembentukan kepribadian dan pembinaan dasar-dasar pemikiran dan ketrampilan

Pada usia 7 tahun bersifat persuasif murni, sedangkan pada 10 tahun boleh disertai pukulan

Balig Merupakan batas awal kedewasaan dan taklif syar’i Pembentukan derajat kepakaran pada satu atau lebih bidang pengetahuan

C. Materi Pengajaran pada Masa Khilafah Abbasiyyah

34 Syaikh Abu Yasin, Usus at-Ta’lîm al-Manhajî fi Daulah al-Khilâfah, (Beirut:


(14)

Materi pengajaran terdiri atas 2 jenis, yakni pengetahuan ilmiah (ma’ârif ‘ilmiyyah) yang berkaitan fakta dan karakteristik alam semesta, manusia, dan kehidupan; dan pengetahuan syar’i (ma’ârif syar’iyyah) yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian. Dapat pula dikelompokkan menjadi pengetahuan yang dipengaruhi sudut pandang tertentu, yang dinamai dengan “tsaqafah”; dan pengetahuan yang netral dan universal, yakni tidak dipengaruhi sudut pandang tertentu, yang dinamai dengan “ilmu.”35

Melalui penelurusan literatur pada masa Khilafah Abbasiyyah, maka klasifikasi pengetahuan dilandasi dengan pandangan-pandangan syar’i, yakni berupa pembahasan hukum syara’ dalam mempelajarinya. Aliran pemikiran yang diadopsi oleh seorang ulama sangat menentukan klasifikasi pengetahuan yang ditetapkan. Pada umumnya, para muhaddits tidak terlalu membahas tentang ilmu, sehingga klasifikasi yang disajikan berupa kategorisasi pengetahuan tsaqafah saja. Berbeda dengan ulama mutakalimin yang secara khusus membahas status pengkajian ilmiah.

1. Tsaqafah

Manajemen materi pengajaran yang terkait tsaqafah, merupakan upaya pengaturan terhadap pemikiran-pemikiran yang menjadi landasan dan karakteristik bagi kepribadian dan peradaban yang khas. Diantara para ulama yang membahas klasifikasi tsaqafah ialah Imam Ibn Abdil Barr, Imam al-Khathib al-Baghdadi, Imam al-Ghazzali, dan Imam an-Nawawi.

Imam Ibn Abdil Barr menyebutkan dalam Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadhlih:

دق

عمجأ

اءاملعلا

ىلع

نأ

نم

ملعلا

ام

وققه

ضرققف

نيعتم

ىلع

لك

ئرما

يف

ةصااخ

هققسفن

هققنمو

اققم

وه

ضرف

ىققلع

ةققيافكلا

اذإ

ماققق

هققب

مئاققق

طقققس

هققضرف

نققع

لققهأ

كققلذ

عققضوملا

اوققفلتاخاو

يققف

صيخلت

كلذ

يذلاو

مزلي

عيمجلا

هضرف

نققم

كققلذ

اققم

ل

عققسي

ناققسنلا

هققلهج

نققم

ةققلمج

ضققئارفلا

ةضرتفملا

هيلع

وققحن

ةداهققشلا

ناققسللاب

رارقققلاو

بلقلاققب

نأققب

هققللا

هدققحو

ل

كيرققش

هققل

...

نأو

35 Syaikh Abu Yasin, Usus at-Ta’lîm al-Manhajî fi Daulah al-Khilâfah, (Beirut:

Dâr al-Ummah, 2004); hlm. 32-33; al-‘Allâmah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Beirut: Dâr al-Ummah, 2003); juz I hlm. 262-263.


(15)

تاولصلا

سمخلا

ةضيرف

همزليو

نم

اهملع

مققلع

ام

ل

متت

لإ

هب

نم

اققهتراهط

رئاققسو

اققهماكحأ

نأو

موققص

ناققضمر

ضرققف

،

هققمزليو

مققلع

اققم

دققسفي

هموص

،

امو

ل

متي

لإ

هب

،

نإو

ناك

اذ

لام

ةردقو

ىلع

جحلا

هققمزل

اققضرف

نأ

فرققعي

اققم

بققجت

هققيف

ةاكزلا

ىتمو

بجت

يفو

مك

بجت

همزلو

نأ

مققلعي

نأب

جحلا

هيلع

ضرف

ةرققم

ةدققحاو

يققف

هرققهد

نإ

عاطتسا

ليبققسلا

هققيلإ

ىققلإ

اءايققشأ

هققمزلي

ةققفرعم

اهلمج

همزلي

ةفرعم

اقهلمج

لو

رذقعي

ا هلهجب

وقحن

ميرحت

انزلا

ميرحتو

رققمخلا

لققكأو

رققيزنخلا

لققكأو

ةتيملا

ساجنلاو

اهلك

ةقرسلاو

ابرلاو

...

امو

ناك

لثم

اذه

هلك

امم

دق

قققطن

هققب

باققتكلا

تققعمجأو

ةملا

هيلع

،

مث

رئاس

ملعلا

،

هبلطو

هقققفتلاو

هققيف

ميلعتو

سانلا

هايإ

مهاوتفو

هب

يف

حلاققصم

مققهنيد

مهايندو

مكحلاو

هب

مهنيب

ضرف

ىلع

ةيافكلا

مزلي

عيمجلا

هضرف

اذإف

ماق

هب

مئاق

طقس

هضرف

نققع

نيقابلا

هعضومب

ل

فلاخ

نيب

اءاملعلا

يف

كلذ

Sungguh para ulama telah berijma’ bahwa sebagian ilmu berstatus fardhu ‘ain bagi tiap orang yang ditujukan khusus untuk dirinya dan sebagian ilmu yang lain berstatus fardhu kifayah, jika sebagian orang telah

menegakkannya maka gugurlah kewajiban

(pembelajaran) pada topik tersebut. Namun, para ulama berbeda pendapat dalam perinciannya. Yang lazim menjadi kewajiban bagi semua orang, dari hal tersebut ialah perkara yang seseorang tidak diperkenankan ketidaktahuannya terhadap kewajiban yang diwajibkan padanya semisal bersyahadat dengan lisan dan hati bahwa Allah Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, mengetahui bahwa shalat yang lima waktu adalah wajib dan mengharuskan pembelajaran ilmu tentangnya serta ilmu yang menyempurnakannya seperti bersuci dan hukum-hukum lainnya, mengetahui bahwa shaum ramadhan itu fardhu dan meniscyakan untuk mengetahui perkara yang merusaknya dan apa-apa yang menyempurnakannya, jika memiliki harta dan kemampuan untuk berhaji maka wajib baginya


(16)

mengetahui apa yang wajib dikenai zakat, kapan dan berapa yang dikeluarkan, mengetahui bahwa wajib baginya berhaji sekali dalam seumur hidup jika memiliki kemampuan di dalamnya, lalu mengetahui apa-apa yang global mesti diketahui yang tidak diperkenankan ketidaktahuannya semisal keharaman zina, khamar, memakan babi, mengkonsumsi bangkai dan najis, mencuri, riba ... dan seluruh perkara yang semisal, yang telah ditetapkan al-Kitab dan disepakati umat, kemudian ilmu-ilmu lainnya, mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu tersebut, serta mengajarkannya kepada masyarakat, berfatwa dengannya dalam kemashlahatan din dan dunia mereka dan memutuskan hukum diantara mereka dengannya, merupakan fardhu kifayah bagi semuanya, jika sebagian orang telah menegakkannya maka gugurlah kewajiban (pembelajaran) pada topik tersebut, tidak ada perbedaan pendapat para ulama tentang hal tersebut.36

Sedangkan Imam al-Khathib al-Baghdadi

mengemukakan klasifikasi dalam kitabnya, Faqîh wa al-Mutafaqqih sebagai berikut:

بجاوف

ىلع

لك

دحأ

بققلط

اققم

هققمزلي

هققتفرعم

،

امم

ضرف

هللا

هيلع

،

ىلع

بسح

ام

ردقققي

هققيلع

نم

داهتجلا

هسفنل

،

لكو

ملسم

غلاققب

لقققاع

نققم

ركذ

وأ

ىثنأ

،

رح

دبعو

،

همزلت

ةراققهطلا

ةلققصلاو

مايصلاو

اضرف

،

بققجيف

ىققلع

لققك

ملققسم

فرققعت

مققلع

كققلذ

،

اذققكهو

بققجي

ىققلع

لققك

ملققسم

،

نأ

فرعي

ام

لحي

هل

اققمو

مرققحي

هققيلع

،

نققم

لققكآملا

براشملاو

سبلملاو

جورفلاو

اءامدلاو

لاوملاو

،

عيمجف

اذه

ل

عسي

ادحأ

هلهج

Maka wajib bagi tiap orang untuk mencari ilmu tentang perkara yang meniscayakan dia untuk mengetahuinya dari apa-apa yang Allah telah wajibkan sesuai kemampuannya dalam berijtihadd untuk dirinya. Setiap muslim yang balig dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak, wajib baginya (mempelajari) bersuci, shalat, dan shaum. Maka, setiap muslim wajib mengetahui ilmu tentangnya. Demikian pula wajib bagi setiap muslim mengetahui apa yang halal

36 Imam Ibn ‘Abdil Barr, Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadhlih, juz I hlm. 30


(17)

dan apa yang haram baginya, dalam masalah makanan, minuman, farji, darah, dan harta, Semuanya tidak diperkenankan ketidaktahuannya.37

Beliau pun menyampaikan sebuah riwayat:

نع

يبأ

اءادردلا

،

لاق

:

ل

هقفت

لك

هقفلا

،

ىتققح

ىرت

نآرقلل

اهوجو

ةريثك

جاتحيف

رظانلا

يف

مققلع

نآرقققلا

،

ىققلإ

ظققفح

راققثلا

سردو

وققحنلا

مققلعو

ةيبرعلا

ةغللاو

Dari Abu Darda` berkata, Tidak perlu memahami seluruh pemahaman, hingga engkau berpendapat tentang al-Qur`an dengan makna-maknanya yang banyak, maka hal itu membutuhkan kedalaman pemahaman dalam ilmu al-Qur`an, menghafal Atsar, mempelajari nahwu, ilmu ‘arobiyyah, dan lughah.38

Adapun Imam al-Ghazzali menjelaskan dalam al-Ihyâ`:

فلتاخاو

سانلا

يف

ملعلا

يذلا

وه

ضرف

ىلع

لك

،ملسم

اوقرفتف

هيف

رثكأ

نم

نيرققشع

،ةقققرف

لو

ليطن

لقنب

،ليصفتلا

نكلو

هلصاح

نأ

لققك

قققيرف

لزن

بوجولا

ىلع

ملعلا

يذلا

وه

هددصب

Manusia berbeda pendapat tentang ilmu yang wajib bagi setiap muslim. Mereka terbagi hingga 20-an kelompok, kami tidak akan memperincinya, namun pada kesimpulannya, setiap kelompok menetapkan kewajiban tersebut terhadap ilmu yang dibelanya.39

Beliau kemudian menyebutkan berbagai pendapat, yakni yang berasal dari ulama kalam, pakar fiqih, muhadditsin, ahli tafsir, dan mutashawwifah dengan berbagai alirannya.40 Imam al-Ghazzali membagi tsaqafah menjadi

terpuji (mahmûd) dan tercela (madzmûm). Tsaqafah yang terpuji terbagi atas fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, dengan

37 Imam al-Khathib al-Baghdadi, al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, juz I hlm. 185

(al-Maktabah asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

38 Imam al-Khathib al-Baghdadi, al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, juz I hlm. 220

(al-Maktabah asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

39 Imam Abu Hamid al-Ghazzali, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn, juz I hlm. 13

(al-Maktabah asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

40 Imam Abu Hamid al-Ghazzali, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn, juz I hlm. 13


(18)

perincian bahwa tsaqafah fardhu ‘ain terdiri atas keyakinan, amal yang dilakukan, dan amal yang ditinggalkan, semisal rukun Islam yang lima; sedangkan tsaqafah fardhu kifayah terdiri atas 4 kategori, yakni al-Ushûl, berupa kitab Allah, sunnah Rasulullah, ijma, dan atsar; al-Furû’, berupa fiqih dan kajian tentang hati; al-Muqaddimât, semisal lughah dan nahwu; dan al-Mutammimût, semisal ulumul qur`an, ushul fiqih, dan mushthalah hadits. Adapun yang tercela, semisal sihir, astrologi, dan filsafat.41

Sedangkan Imam an-Nawawi menyampaikan klasifikasi terhadap tsaqafah dengan landasan hukum-hukum syariah sebagai berikut:

a. Fardhu ‘ain, semisal akidah, tata-cara wudhu dan shalat

b. Fardhu kifayah, semisal menghafal al-Qur`an dan hadits, ushul fiqih, nahwu dan tashrif

c. Nafilah, semisal kajian ibadah nafilah bagi orang awam dan pendalaman terhadap dalil dan makna nash syar’i

d. Haram, semisal sihir dan filsafat

e. Makruh, semisal kajian syair tentang kepahlawanan (mendekati fanatisme)

f. Mubah, semisal kajian syair yang mubah (tidak bernilai pahala).42

2. Ilmu

Kehidupan bukan hanya ditunjang oleh sudut pandang dan sistem saja, namun juga memerlukan pemanfaatan potensi alam sekitar. Pada aspek tersebut peranan sains dan teknologi jelas dibutuhkan. Mengenai kategorisasinya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazzali dalam kitabnya yang masyhur, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn:

مولعلاف

يتلا

تسيل

ةيعرشب

مسقنت

ىققلإ

اققم

وققه

دومحم

ىلإو

ام

وققه

مومذققم

ىققلإو

اققم

وققه

،ْحاققبم

دومحملاف

ام

طبتري

هب

حلاصم

رومأ

ايندلا

بطلاقك

باسحلاو

كلذو

مسقني

ىلإ

اققم

وققه

ضرققف

ةققيافك

ىلإو

ام

وه

ةليضف

سيلو

ةضيرفب

Ilmu-ilmu yang termasuk non-syar’i dapat dibagi menjadi terpuji, tercela, dan mubah. Yang terpuji ialah ilmu yang terkait dengan kemashlahatan duniawi seperti kedokteran

41 Imam Abu Hamid al-Ghazzali, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn, juz I hlm. 12-33

(al-Maktabah asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

42 Imam an-Nawawi, al-Majmû’, juz I hlm. 24-27 (al-Maktabah asy-Syâmilah


(19)

dan perhitungan, dan perkara ini dapat dibagi menjadi status fardhu kifayah dan sunnah (tidak fardhu).43

Beliau mencontohkan yang termasuk fardhu kifayah semisal kedokteran dan perhitungan, sedangkan yang termasuk sunnah semisal pendalaman terhadap keduanya. 44

Adapun Imam an-Nawawi dalam al-Majmû’ menjelaskan secara ringkas dan membandingkan beberapa pendapat para ulama sebelumnya:

امأو

ام

سيل

املع

ايعرش

جاتحيو

هققيلإ

يققف

ماوققق

رمأ

ايندلا

بطلاك

باسحلاو

ضرققفف

ةققيافك

اققضيأ

صن

هققيلع

يققلازغلا

:

اوققفلتاخاو

يققف

مققلعت

عئانققصلا

ىتققلا

يققه

ببققس

ماققيق

حلاققصم

ايندققلا

ةققطايخلاك

ةحلفلاو

امهوحنو

اوفلتاخاو

اضيأ

يف

لققصأ

اققهلعف

لاقققف

ماققمإ

نققيمرحلا

يققلازغلاو

تققسيل

ضرققف

ةيافك

:

لاقو

ماملا

وبأ

نسحلا

ىلع

نب

دمحم

نب

ىلع

يربطلا

فورعملا

اققيكلاب

يققسارهلا

بحاققص

مامإ

نيمرحلا

يه

ضرف

ةيافك

اذهو

رهظأ

Dan adapun pengetahuan non syar’i dan dibutuhkan untuk tegaknya dunia seperti kedokteran dan perhitungan maka statusnya adalah fardhu kifayah sebagaimana ditetapkan al-Ghazzali. Para ulama berbeda pendapat dalam ilmu pertukangan yang dia menjadi sebab kemashlahatan dunia seperti menjahit, bertani, dan semisalnya, dan berbeda pendapat terkait hukum asal dalam melakukannya. Imam Haramain dan al-Ghazzali berpendapat bahwa statusnya bukanlah fardhu kifayah, sedangkan Imam Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ali ath-Thabari yang dikenal sebagai al-Kayya al-Harasi, sahabat Imam al-Haramain, menetapkan bahwa statusnya fardhu kifayah, memang dalam perkara ini terdapat perbedaan pendapat.45

Dalam kehidupan ilmiah Imam asy-Syafi’i terdapat riwayat yang menggambarkan pengkajian dan pembinaan dalam perkara non-tsaqafah, berupa ketrampilan memanah

43 Imam Abu Hamid al-Ghazzali, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn, juz I hlm. 15

(al-Maktabah asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

44 Imam Abu Hamid al-Ghazzali, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn, juz I hlm. 15

(al-Maktabah asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

45 Imam an-Nawawi, al-Majmû’, juz I hlm. 26 (al-Maktabah asy-Syâmilah


(20)

yang merupakan bagian dari ketrampilan kemiliteran (al-Mahârât al-‘Askariyyah) dan kedokteran. Imam adz-Dzahabi menuturkan:

لاق

عيبرلا

نذؤملا

:

تعمس

يعفاشلا

لوقي

:

تنك

مزلأ

يمرلا

ىتح

ناك

بيبطلا

لوقققي

يققل

:

فاققاخأ

نأ

كبيصي

لسلا

نم

ةرثك

كفوقو

يف

رحلا

Ar-Rabi’ al-Muadzdzin berkata, Saya mendengar asy-Syafi’i berkata, Saya berlatih memanah hingga dokter berkata kepadaku, Saya takut kerontokan akan menimpamu karena terlalu banyak berdiri saat cuaca panas.46

Tabel 3

Materi Pengajaran

Tsaqafa

h Pengetahuan yang khas, dipengaruhi pandanganhidup tertentu Klasifikasi: fardhu ‘ain, fardhu kifayah, sunnah, makruh, haram, mubah

Ilmu Pengetahuan yang netral, tidak dipengaruhi pandangan hidup tertentu

Klasifikasi: mahmud (fardhu kifayah, sunnah), madzmum, mubah

D. Metode Pembelajaran pada Masa Khilafah Abbasiyyah

Metode pembelajaran adalah tata-cara pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar yang ditujukan untuk penyampaian materi-materi pengajaran agar dapat dipahami peserta didik. Metode pembelajaran bersifat baku, yakni bersandar pada kaidah syara’ dan metode rasional.47 Pada umumnya,

pembahasan metode dianggap sama dengan teknik, padahal keduanya berbeda. Metode bersifat tetap, sedangkan teknik dapat berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi.48

Adapun gambaran metode pembelajaran pada masa Khilafah Abbasiyyah, dapat ditinjau dalam beberapa bahasan,

46 Imam adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ`, juz X hlm. 11 (al-Maktabah

asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

47 Syaikh Abu Yasin, Usus at-Ta’lîm al-Manhajî fi Daulah al-Khilâfah (Beirut:

Dâr al-Ummah, 2004); hlm. 13-18.

48 Syaikh Abu Yasin, Usus at-Ta’lîm al-Manhajî fi Daulah al-Khilâfah (Beirut:


(21)

yakni metode dan teknik pembelajaran, format pendidikan, serta sarana penunjang.

1. Metode dan Teknik Pembelajaran

Imam Ibn Abdil Barr telah menggambarkan proses pembelajaran melalui sebuah riwayat:

انرباخأ

دبع

ثراولا

نب

نايفس

،

ان

مساق

نب

غبصأ

،

ان

دمحأ

نب

ريهز

لاق

:

تعمققس

ديعققس

نققب

دققيزي

لوقققي

:

تعمققس

يققلع

نققب

نققسحلا

نققب

قيقققش

لوقي

:

تعمققس

نققبا

ْكراققبملا

لوقققي

:

لوأ

مققلعلا

ةينلا

مث

عامتسلا

مث

مهفلا

مث

ظفحلا

مققث

لققمعلا

مث

رشنلا

Abdul Warits ibn Sufyan telah mengabarkan kepada kami, Qasim ibn Ashbagh telah memberi berita kepada kami, Ahmad ibn Zahir telah memberi berita kepada kami, saya mendengar Sa’id ibn Yazid berkata, Saya mendengar Ali ibn Hasan ibn Syaqiq berkata, saya mendengar Ibn al-Mubarak berkata: Awalnya ilmu adalah niat, kemudian mendengar, kemudian paham, kemudian hafal, kemudian berkarya/beramal, kemudian penyebaran.49

Adapun secara terperinci beliau menyampaikan riwayat-riwayat lain yang berkaitan dengan metode dan teknik pembelajaran. Diantara hal-hal yang disebutkan beliau ialah mengajukan pertanyaan kepada peserta didik, mengajar disertai prinsip memudahkan dan kasih sayang, melaksanakan pembelajaran dalam rangka pembentukan kepribadian sehingga meniscayakan keteladanan, menyampaikan sesuai kadar pemahaman peserta didiknya, menekankan pentingnya pengamalan/pembelajaran yang bersifat praktis, tidak segan untuk pengulangan materi, dan menghindari sikap ujub dan mengedepankan sikap tawadhu, memfasilitasi peserta didik yang lebih muda untuk mendemontrasikan kegiatan berfatwa dihadapan yang lebih tua, membiasakan peserta didik agar memiliki adab yang baik terhadap orang-orang berilmu (semisal penghormatan dan tidak berdebat untuk sekedar menentang). Beliau membahasnya dalam beberapa bab, yaitu Manâzil al-‘Ulamâ`, Tharh al-‘Âlim al-Mas`alah ‘ala al-Muta’allim,

49 Imam Ibn ‘Abdil Barr, Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadhlih, juz II hlm. 82


(22)

Fatwa ash-Shaghîr baina yadai al-Kabîr bi Idznih, Jâmi’ li Nasyr al-‘Ilm, dan Jâmi’ fi Âdâb al-‘Âlim wa al-Muta’allim.50

Sedangkan Imam al-Khathib al-Baghdadi

menyampaikan beberapa panduan, yakni memperhatikan kondisi fisik dan psikologis, menentukan skala prioritas dalam melayani peserta didik (yang lebih dulu hadir-lebih tua-lebih cerdas), menghidupkan suasana ruhiyyah (semisal memulai proses belajar-mengajar dengan basmalah, hamdalah dan doa), menyampaikan penjelasan dengan sederhana-tidak bertele-tele, menggunakan teknik perbandingan dan perincian contoh jika dibutuhkan, mengulang-ulang materi, menyertai pembahasan ilmu/fiqih dengan tilawah al-Qur`an, mendorong agar peserta didik melakukan murâja’ah diantara sesamanya, termasuk disertai menghapal dan menulisnya, memotivasi peserta didik agar melakukan mudzâkarah (mengingat kembali) terutama saat malam “waktu tahajud”.51

Imam an-Nawawi telah menghimpun metodologi pembelajaran secara ringkas dalam pendahuluan al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab.52 Setidaknya deskripsi beliau dapat

dibagi menjadi 3 kategori: 1) Pola pelayanan guru, yaitu:

a) Menanamkan kepada para pelajar tentang adab dan akhlak yang berlandaskan kepada as-Sunnah

b) Menaruh perhatian dalam mengajari peserta didik, sehingga membentuk kedekatan secara personal c) Bersungguh-sungguh dalam memahamkan dan

menunjukan hidayah kepada para peserta didik sesuai kadar kemampuan dan potensi mereka

d) Bersikap jujur dalam keilmuan, sehingga jika saat ditanya peserta didik dan kebetulan tidak tahu jawabannya, maka hendaknya menjawab “tidak tahu”

e) Proporsional dalam menilai, sehingga selayaknya untuk memuji yang bagus dan bersikap keras jika memang diperlukan bagi yang layak dikenai sanksi f) Tidak segan untuk menguji peserta didik, termasuk

dalam bentuk ujian hafalan

2) Pola kemandirian dan inisiatif peserta didik, yaitu:

a) Peserta didik diuji dengan pertanyaan berbentuk studi kasus sebuah permasalahan tertentu

50 Imam Ibn ‘Abdil Barr, Jâmi’ Bayân ‘Ilm wa Fadhlih, juz II hlm. 81-193

al-Maktabah asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

51 Imam al-Khathib al-Baghdadi, al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, juz III hlm. 31-63

(al-Maktabah asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

52 Imam an-Nawawi, al-Majmû’, juz I hlm. 30-35 (al-Maktabah asy-Syâmilah


(23)

b) Jika peserta didik telah selesai melaksanakan KBM, maka diminta untuk mengulang-ulangnya “murâja’ah”

c) Jika ada materi pembelajaran yang sulit dimengerti, peserta didik didorong agar kembali kepada syaikh untuk meminta penjelasan di luar waktu pembelajaran rutin

d) Hendaknya para peserta didik didorong agar senantiasa menyibukkan diri dengan pembelajaran pada setiap waktu yang memungkinkan

e) Peserta didik diminta mereka untuk senantiasa mengulang hafalan mereka

3) Mekanisme proses KBM yang bersifat teknis, yaitu:

a) Dalam hal prioritas, maka didahulukan pembelajaran bagi pesereta didik yang lebih dulu datang, kecuali peserta didik yang lain merelakan kesempatannya b) Pendidik hendaknya memilih tempat duduk ditempat

yang tepat, yang dapat memberikan kemudahan semua peserta didik yang hadir agar dapat berinteraksi dengannya secara nyaman

c) Tempat penyelenggaraan pembelajaran termasuk majlis yang luas

d) Pendidik diharapkan agar menjaga tangan dan matanya dari perbuatan yang tidak perlu

e) Pendidik memperhatikan suasana fisik dan psikologis peserta didik saat menyampaikan pembelajaran f) Penyampaian pembelajaran agar tidak bertele-tele

sehingga terjaga dari hal yang membosankan

g) Pendidik agar menyampaikan materi pengajaran dengan suara yang pas

h) Proses kegiatan belajar-mengajar harus diatur agar diliputi suasana ruhiyyah

i) Hendaknya memulai pembelajaran dari yang penting dan sederhana (semisal urutannya: dimulai dari tafsir, hadits, ushul, madzhab, khilaf, kemudian terakhir perdebatan)

j) Pendidik menjaga agar tidak ada perilaku yang muncul dari akhlak yang tercela selama pelaksanaan belajar-mengajar

Untuk kesekian kalinya, kehidupan ilmiah Imam asy-Syafi’i dapat menjadi rujukan deskriptif-historis, termasuk terkait metodologi pembelajaran, diantaranya:

لاق

عيبرلا

:

تعمس

يعفاشلا

لوقي

:

تنك

اققنأ

يققف

باتكلا

عمسأ

ملعملا

نقلي

يبصلا

ةققيلا


(1)

memahami hal tersebut. Imam al-Khathib al-Baghdadi secara jelas menegaskan dalam kitabnya, al-Faqîh wa al-Mutafaqqih:

ربجيو

ماملا

جاوزأ

اءاقسنلا

تاداقسو

اءاققملا

ىققلع

نهميلعت

ام

اققنركذ

ضرققفو

ىققلع

ماققملا

اققضيأ

نأ

ذاخأي

سانلا

كلذققب

بققتريو

اققماوقأ

مققيلعتل

لاققهجلا

ضرفيو

مهل

قزرلا

يف

تيب

لاملا

Dan Imam memaksa para suami dan majikan agar mengajari hal-hal yang kami sebutkan sebelumnya, wajib pula bagi Imam mengambil dana dari masyarakat untuk hal tersebut, menetapkan sebagian orang agar mengajari orang-orang yang tidak berpengetahuan dan menggajinya dari Baitul Mal.100

Imam al-Mawardi, penulis Adab ad-Dunyâ wa ad-Dîn, seorang pakar fiqih dan politik telah menjelaskan secara terperinci peranan negara dalam pendidikan, dalam kitabnya al-Ahkâm as-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât ad-Dîniyyah pada bahasan Julûs ‘Ulamâ` wa Fuqahâ` fi Jawâmi’ wa al-Masâjid li at-Tadrîs wa al-Futyâ:

امصألول

س

ر

ولرجر

اءةاملللعرلما

اءةاهلقلفرلماول

يفة

عةمةاولجللما

دةجةاس

ل مللماول

يدجص

ل تصلاول

س

ة

يرةدمتصللة

ايلتمفرلماول

ىللعلفل

ل

ج ك

ر

دعحةاول

م

م هرنممة

ردجةازل

ن

م مة

هةس

ة فمنل

ومأل

لل

ىدصص

ل تليل

امللة

س

ل

يملل

هرلل

ل

ع همأ

ل بة

ل

ل ض

ة يلفل

هةبة

يدةهمتلس

م مرلما

ل

ل زةيلول

هةبة

درش

ة رمتلس

م مرلما

،

دمقلول

اءلاجل

ررثللم

ل ا

ن

ص أ

ل بة

م

م ك

ر ؤررلجمأل

ىللع

ل

ايلتمفرلما

م

م ك

ر ؤررلجمأل

ىللع

ل

م

ة يثةارلجل

م

ل نصهلجل

Dan adapun duduknya para ulama dan fuqaha di mesjid-mesjid jami’ dan mesjid-mesjid-mesjid-mesjid serta pengajuan pembelajaran dan pemberian fatwa, maka bagi tiap mereka menjadi penjaga dirinya atau hendaknya tidak mengajukan kepada yang bukan ahlinya, yang dia menyesatkan orang yang mencari hidayah dan menggelincirkan pencari petunjuk. Telah datang atsar. “Kalian terlalu mempermudah fatwa maka akan mempermudah kalian layak ditempatkan dalam kesengsaraan Jahannam”.

100 Imam al-Khathib al-Baghdadi, al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, juz I hlm. 185


(2)

ن

ة اط

ل لمس

ل للةول

م

م هةيفة

ن

م مة

رةظ

ل نصلا

امل

هربرجةوير

ررايلتةاخملةا

ن

م مة

هةرةارلقمإ

ومأل

هةرةاكلنمإ

،

اذلإةفل

دلارلأل

ن

م مل

ولهر

ك

ل لةذللة

ل

د همأل

ن

م أل

ب

ل تصرلتليل

يفة

دةحلأل

دةجةاس

ل مللما

س

ع

يرةدمتللة

ومأل

ايلتمفر

رلظ

ة نر

ل

ر احل

دةجةس

م مللما

،

ن

م إةفل

ن

ل اك

ل

درجةاس

ل مل

ل

ة اح

ل مرلما

يتةلصا

لل

ب

ر تصرلتليل

ةرمصئةلم

ل ا

اهليفة

ن

م مة

ةةهلجة

ن

ة اط

ل لمس

ل لا

م

م لل

ممزللميل

ن

م مة

ب

ع تلرلتل

هةيفة

س

ة

يرةدمتصللة

ايلتمفرلماول

ن

ر اذلئمتةس

م ا

ن

ة اط

ل لمس

ل لا

يفة

هةس

ة ولرجر

املكل

لل

مرزللميل

ن

م أل

هرنلذةأمتلس

م يل

ن

م مة

ب

ع يتةرمتل

ةةملامللم

ة لة

،

ن

م إةول

ن

ل اك

ل

ن

م مة

عةمةاولجللما

رةابلكةول

دةجةاس

ل مللما

يتةلصا

ب

ل تصرلتل

ةرمصئةلم

ل ا

اهليفة

دةيلةقمتلبة

ن

ة اط

ل لمس

ل لا

ي

ل عةورر

يفة

ك

ل لةذل

ف

ر رمعر

دةللبللما

هرتردلاعلول

يفة

س

ة

ولرجر

هةلةاثلممأل

،

ن

م إةفل

ن

ل اك

ل

ن

ة اط

ل لمس

ل للة

يفة

س

ة

ولرجر

هةلةثممة

ردظ

ل نل

م

م لل

ن

م ك

ر يل

هرلل

ن

م أل

ب

ل تصرلتليل

س

ة

ولرج

ر لملة

هةيفة

لصإ

ن

م ع

ل

هةنةذمإ

املكل

لل

ب

ر تصرلتليل

ةةملامللم

ة لة

هةيفة

لصإ

ن

م ع

ل

هةنةذمإ

لصئللة

ت

ل اتلفمير

هةيمللعل

يفة

هةتةيلللوة

Bagi penguasa wajib meneliti kondisi mereka untuk menentukan sikap dalam pengakuan atau pengingkaran. Maka jika penguasa hendak mengatur penempatan para pakar, baik dalam hal pembelajaran maupun berfatwa, maka mesti memperhatikan status masjidnya, jika masjidnya tidak diatur imamah shalatnya oleh penguasa maka tidak berlaku pengaturannya dalam pembelajaran maupun berfatwa, berupa mekanisme perizinan penguasa dalam aktifitasnya, sebagaimana tidak berlakunya perizinannya dalam hal imamah. Dan jika di mesjid jami’ atau mesjid besar yang pengaturan imamahnya berdasarkan penunjukan penguasa maka hal tersebut diurus berdasarkan kebiasaan dan adat negeri tersebut dalam hal duduknya para pakar, jika bagi penguasa ditetapkan berhak meneliti, maka tidak boleh ada pengaturan kecuali sesuai perizinannya sebagaimana tidak ada pengaturan imamah kecuali berdasarkan izinya supaya tidak ada yang terlepas dari pengurusannya.

عرنلمميرول

س

ر

انصلا

يفة

عةمةاولجللما

دةجةاس

ل مللماول

ن

م مة

ق

ة ارلط

م تةس

م ا

ق

ة للحل

اءةاهلقلفرلما

اءةارصقرلماول

ةلنلايلص

ة

اهلتةملرمحر

Penguasa wajib mencegah siapapun di mesjid-mesjid jami’ dan mesjid-mesjid berjalan-jalan dalam


(3)

halqah-halqah para faqih dan qari sebagai bentuk penjagaan kehormatannya.

اذلإةول

ع

ل زلانلتل

ل

ر همأل

ب

ة هةاذلمللما

ةةفللةتلخممرلما

امليفة

غ

ر وس

ر يل

هةيفة

دراهلتةجملةا

م

م لل

ض

م

رلتلعمير

م

م هةيمللعل

هةيفة

لصإ

ن

م أل

ث

ل درحميل

م

م هرنليمبل

ردفرانلتل

اوفلك

ل يرفل

هرنمعل

،

ن

م إةول

ث

ل دلحل

ع

د زةانلمر

ب

ل ك

ل تلرما

امل

لل

غ

ر وس

ر يل

هةيفة

دراهلتةجملةا

ف

ص ك

ر

هرنمعل

علنةمرول

هرنممة

،

ن

م إةفل

ملاقلأل

هةيمللعل

،

رلهلاظ

ل تلول

اءةاولغمتةس

م ابة

ن

م مل

وع

ر دميل

هةيمللإ

ملزةلل

ن

ل اط

ل لمس

ل لا

ن

م أل

م

ل س

ة ح

م يل

رةجةاولزلبة

ةةنلط

ل لمس

ص لا

رلوهرظ

ر

هةتةع

ل دمبة

حلض

ج وليرول

ل

ة ئةللدلبة

عةرمش

ص لا

دلاس

ل فل

هةتةللاقلمل

Jika terjadi perdebatan diantara para ahli madzhab yang berbeda-beda dalam perkara yang didalamnya terdapat ijtihad, maka tidak perlu intervensi terhadap perdebatan mereka kecuali jika terjadi perselisihan, maka hendaknya penguasa melerainya. Jika salah seorang yang berdebat memasuki perkara yang tidak layak adanya ijtihad, maka dia ditahan dan dicegah dalam menyampaikan pendapatnya. Jika ternyata dia masih menyampaikannya dan muncul upaya penghimpunan pengikut terhadap yang menyerukannya, maka wajib bagi penguasa memberikan sanksi dengan kekuasaannya terhadap kemunculan kebid’ahannya dan menjelaskan kerusakan pendapatnya berdasarkan dalil-dalil syara’. 101

Dalam deskripsi historis, dapat ditemukan peran negara dalam pendidikan pada biografi Amirul Mukminin Harun ar-Rasyid, Khalifah al-Makmun, al-Wazir Nizham al-Mulk, dan Imam al-A’zham al-Mustanshir, sebagaimana diriwayatkan para ulama:

لاق

هيوطفن

:

ناك

ديشرلا

يفتقي

راثآ

هدج

يبأ

رفعج

لإ

يف

صرحلا

هنإف

مل

ري

ةفيلاخ

هلبق

ىطعأ

هنم

ىطعأ

ةرم

نايفس

نب

ةنييع

ةئام

فلأ

زاجأو

قاحسإ

يلصوملا

ةرم

يتئامب

فلأ

زاجأو

ناورم

نب

يبأ

ةصفح

ةرم

ىلع

ةديصق

101 Imam al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, juz I hlm. 379-380


(4)

ةسماخ

فلآ

رانيد

ةعلاخو

السرفو

نم

هبكارم

ةرشعو

نم

قيقر

مورلا

Nafthawih berkata: ar-Rasyid mengikuti jejak kakeknya Abu Ja’far kecuali dalam sifat perhatian. Belum pernah ada khalifah sebelum dia yang memberikan –dalam satu kesempatan- sebesar pemberiannya kepada Sufyan ibn ‘Uyainah 100.000, Ishaq al-Maushili 200.000, Marwan ibn Abu Hafshah terhadap qashidahnya 500.000 dinar, pakaian, pelana kendaraan, dan 10 permata romawi.102

لاقو

مهضعب

جرختسا

نومأملا

بتك

ةفسلفلا

نانويلاو

نم

ةريزج

سربق

اذكه

هركذ

يبهذلا

الرصتخم

Berkata sebagian ulama: al-Ma`mun mengambil kitab-kitab filsafat dan yunani dari kepulauan Cyprus, demikianlah sebagaimana adz-Dzahabi menyebutkannya secara ringkas.103

ىنبو

سرادملا

طبرلاو

دجاسملاو

يف

دلبلا

،

وهو

لوأ

نم

أشنأ

سرادملا

ىدتقأف

هب

سانلا

Nizhamul Mulk membangun madrasah-madrasah, asrama sufi, dan mesjid-mesjid di berbagai negeri. Dia yang pertama kali membuat madrasah-madrasah, lalu orang-orang mengkutinya .104

املو

رقتسا

ماملا

رصتنملا

رشن

لدعلا

ثبو

فورعملا

دازو

باوبا

تاريخلا

برقو

لها

ملعلا

داهزلاو

نيحلاصلاو

ىنبو

سرادملا

دجاسملاو

طبرلاو

دهاشملاو

رودو

ةفايضلا

تاناتسراميبلاو

Dan saat Imam al-Muntashir memerintah, dia menyebarkan keadilan, menebar kemakrufan, menambah

102 Imam as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ`, hlm. 117 (al-Maktabah asy-Syâmilah

Ishdâr ats-Tsânî).

103 Imam as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ`, hlm. 135 (al-Maktabah asy-Syâmilah

Ishdâr ats-Tsânî).

104 Imam Ibn Khalikan, Wâfiyât al-A’yân , juz II hlm. 129 (al-Maktabah


(5)

pintu-pintu kebaikan, dekat dengan ahli ilmu, para zahid, orang-orang shalih, dan membangun madrasah-madrasah, asrama sufi, al-Masyâhid, persinggahan para tamu, dan al-Bîmâristânât (rumah sakit). 105

Mengenai pengaturan negara terhadap pendidikan, U. Maman menjelaskan bahwa pemerintahan pada masa Khilafah Abbasiyyah mendorong pengembangan ilmu kedokteran dengan berbagai ilmu penunjangnya, seperti kimia dan biologi. Pemerintah membangun rumah sakit, mengoperasikan, dan memeliharanya tanpa memungut biaya, yang juga dipergunakan sebagai lembaga pendidikan. Beberapa rumah sakit, dilengkapi ruang khusus mengajar dan perpustakaan. Pada masa tersebut didirikan Bait al-Hikmah sebagai akademi yang mengkaji berbagai disiplin ilmu, meliputi astronomi, geometri, kedokteran, dan sebagainya. Bahkan, para penulis buku diberi penghargaan dinar seberat karyanya.106

Hal tersebut senada dengan paparan Fahmi Amhar. Beliau menyebutkan bahwa peran negara sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, sikap para penguasa muslim terhadap peradaban dan ilmu pengetahuan sangat baik. Sekolah-sekolah yang disediakan negara ada dimana-mana dan bisa diakses secara gratis. Sekolah-sekolah ini mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa dikotomi antara ilmu agama dan teknologi bebas nilai.107 Kedua penjelasan tersebut diantaranya dapat

dibuktikan dalam biografi ‘Allâmah Khawarizmi dalam al-Fihrist dan Banu Musa bersaudara dalam Siyar A’lâm an-Nubalâ`. Khalifah al-Makmun ibn Harun ar-Rasyid al-Abbasi sangat berperan dalam memfasilitasi pengkajian dan penelitian yang dilakukan oleh al-Khawarizmi dan Banu Musa ibn Syakir.

Berdasarkan berbagai deksripsi tersebut dapat dipahami bahwa sekalipun keluarga dan lembaga pendidikan merupakan pihak yang secara langsung berkaitan dengan para peserta didik dan proses belajar-mengajar, namun melupakan, menyepelekan, atau bahkan menghilangkan peranan negara dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan

105 Imam Ibn Syakir, Fawât al-Wâfiyât, juz IV hlm. 170 (al-Maktabah asy-Syâmilah Ishdâr ats-Tsânî).

106 Dr. U. Maman. Kh., Pola Berpkir Sains-Membangkitkan Kembali Tradisi Keilmuan Islam (Bogor: QMM Publishing, 2012); hlm. 264-266.

107


(6)

merupakan ketidakpahaman terhadap struktur sebuah masyarakat. Inilah pilar pendidikan yang ketiga.

Tabel 6

Penanggungjawab Kurikulum

Orang Tua Salah satu pilar pendidikan yang utama dan menentukan sebagai bagian tanggung jawab selain memberikan nafkah yang bersifat materi saja

Lembaga

Pendidikan Tanggung jawab dan peranan lembagapendidikan erat kaitannya dengan kedudukan dan posisi orang-orang berilmu

berkenaan dengan larangan

menyembunyikan ilmu dan amanah keilmuan, serta akad syara’ berupa ijarah Negara Peranan negara dalam pelaksanaan

kurikulum pendidikan merupakan pengaturan sistemik dalam lingkup kemasyarakatan, terdiri atas pengurusan, pengawasan, dan pembiayaan yang dilaksanakan terutama dalam menjamin asas, tujuan, dan kurikulum pendidikan, agar senantiasa sesuai dengan apa yang ditetapkan syara’.