Perjalanan Singkat Kesenian Tanto Suheng dalam Berkarya Seni Batik
1. Perjalanan Singkat Kesenian Tanto Suheng dalam Berkarya Seni Batik
Penampilan dari Tanto Suheng sangat berbeda dari kebanyakan seniman batik pada umumnya. Pakaian yang sering digunakan Beliau saat membatik adalah kaos, celana yang digunakan cukup sederna yaitu jeans, dan yang menjadi ciri khas utama dari penampilannya selalu menggunakan topi kabaret bewarna hitam untuk menutupi rambut panjangnya, serta selalu membawa ransel berwarna biru hitam di belakang pundaknya ketika bepergian. Pria berusia 67 tahun dengan postur badan kurus, dan tinggi 180 cm ini masih semangat menekuni keasikannya dalam menggoreskan malam dan pemberian warna dengan bebas di atas kain mori yang direntangkan pada spanram. Raut wajah yang sudah keriput, warna rambut yang sudah beruban tidak membatasi kegiatannya dalam berekspresi, menumpahkan idenya ke atas kain mori.
Tidak ada yang menyangka dari penampilannya yang sederhana, terdapat pengalaman pribadi yang patut dibanggakan. Tanto Suheng merupakan salah satu tokoh yang berhasil mencetuskan seni batik kontemporer di Solo. Jerih payahnya mempertahankan kesenian batik kontemporer memang tidak mudah, pendiriannya yang kuat mampu menunjukan batik gaya bebasnya ke ranah pasar Manca Negara. Keaktifan beliau dalam bersosialisasi di masyarakat menjadikan masyarakat yakin dengan kepedulian Tanto Suheng terhadap seni batik kontemporer.
Sutanto nama lengkap asli dari pria tua ini, dilahirkan dari keluarga pembatik, tepatnya pada tanggal 28 Agustus tahun 1945. Beliau lebih dikenal akrab dengan sebutan Tanto Suheng oleh rekan-rekannya. Tambahan kata Suheng adalah sebuah nama panggilan yang memiliki arti kakak seperguruan, nama ini diambil dari cerita komik jaman dahulu tutur Tanto Suheng. Pengetahuan dalam hal membatik sudah diperoleh dan dipelajari dari keluraganya pada waktu kecil.
sering lihat orang buat batik”(Sumber: Tanto, 15 Mei 2012).
Gambar 4. 4. Tanto Suheng (Dokumentasi: Album Canting Kakung, 2012)
Kebiasaan melihat aktivitas ayahnya yang merupakan salah satu pengusaha batik tulis pada waktu itu sudah menjadi hal biasa. Penguasaan teknik dan pemahaman setiap motif batik telah dipahami betul oleh Tanto Suheng ketika masih kecil, dari mulai proses membuat disain motif sampai tahap finishing. Inilah yang mendasari pengetahuan dasarnya dalam berkarya seni batik kontemporer sampai saat ini.
Ketertarikan Tanto Suheng terjun menekuni seni batik sebenarnya tidak dimulai dari masa remajanya, memang beliau mengetahui dengan benar seluk beluk cara membatik dari kecil. Akan tetapi dirinya tidak melibatkan secara Ketertarikan Tanto Suheng terjun menekuni seni batik sebenarnya tidak dimulai dari masa remajanya, memang beliau mengetahui dengan benar seluk beluk cara membatik dari kecil. Akan tetapi dirinya tidak melibatkan secara
a. Membentuk Kelompok Candik Ayu (Dekorasi Janur)
Keaktifan berkesenian Tanto Suheng dimulai ketika beranjak dari usia remaja, keinginan dan keuletannya mencari hal yang baru memang sudah ditanamkan dalam dirinya. Kegigihannya berkesenian sudah dimulai sejak bersekolah di SMA 4 Surakarta pada tahun 1965, tapi tidak sempat lulus dikarenakan pada masa itu terjadi kerusuhan G30S PKI di Solo. Sehingga menimbulkan kekerasan di tempat-tempat umum, ini yang menjadikannya tidak bisa nyaman keluar rumah, sehingga berdampak tidak meneruskan sekolahnya. Meski dalam keadaan yang tidak nyaman dirinya berusaha mencari penghasilan sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidup, dengan sering bekerja pada bidang yang mencakup kesenian. Pekerjaan tersebut yang pernah dijalaninya antara lain: tukang dekorasi, tukang janur, dan seniman.
Semangat Tanto Suheng diwujudkan dengan membentuk kelompok kesenian, yang pertama adalah membentuk kelompok dekorasi janur di desanya. Dekorasi janur merupakan kegiatan membuat hiasan dari daun kelapa yang dirangkai secara khusus, sehingga menjadi bentuk yang indah. Hiasan ini dibuat untuk acara-acara warga yang punya hajatan, seperti: pesta perkawinan, khitanan, maupun hari-hari besar lainnya. Awalnya kegiatan ini hanya dilakukan oleh orang tua yang sudah dirasa mampu spiritualnya, karena masih mengikuti tradisi orang jawa. Hal ini sama dengan pendapat Tanto Suheng yang mengatakan,
“…dulu yang mengerjakan anak muda nggak boleh, berarti itu sakral. Membuat janur itu sakral betul. Kembar mayang itu dibuat untuk temanten itu loh, tapi untuk anak muda nggak boleh karena masih belum kuat untuk menerima spiritualnya. Harus orang tua yang sudah kuat spiritualnya. Jadi dulu yang mengerjakan itu mudin yaitu orang
Mei 2012).
Bermula dari sini Tanto Suheng yang masih berusia muda secara diam-diam mencoba membuat dekorasi janur tanpa diketahui oleh orang dewasa di desanya, apalagi kedua orang tuanya. Akan tetapi kegiatannya diketahui dan ditergur oleh orang tuanya agar berhenti membuat dekorasi janur. Meskipun demikian kegiatannya masih dilakukan oleh Tanto Suheng, dan seiring berjalannya waktu kegiatan tersebut sudah boleh ditekuni oleh para pemuda.
Gambar 4. 5. Dekorasi janur sebelah kanan dan kiri
(Dokumentasi: Album Giyono, 1969)
Akhirnya pada tahun 1969 Tanto Suheng membentuk kelompok Candik Ayu yang kegiatan utamanya adalah membuat dekorasi janur, anggotanya sendiri kebanyakan terdiri dari para remaja putra maupun purti yang berjumlah kurang lebih 100 orang. Kegiatannya lebih cenderung lebih mengarah pada sudut pandang sosial. Karena pada saat itu banyak dari para remaja tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tanto Suheng berusaha untuk Akhirnya pada tahun 1969 Tanto Suheng membentuk kelompok Candik Ayu yang kegiatan utamanya adalah membuat dekorasi janur, anggotanya sendiri kebanyakan terdiri dari para remaja putra maupun purti yang berjumlah kurang lebih 100 orang. Kegiatannya lebih cenderung lebih mengarah pada sudut pandang sosial. Karena pada saat itu banyak dari para remaja tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tanto Suheng berusaha untuk
Akhirnya Tanto muda menekuni kegiatan membuat janur ini dengan beberapa teman, dikarenakan pesanan produksi kembar mayang meningkat cukup pesat kala itu. Sehingga Tanto Suheng lebih memfokuskan pada produksi dekorasi janurnya di Candik Ayu. Produksi janur selalu mengalami perubahan pada bentuk-bentuknya, sampai pada saat itu Tanto Suheng berfikir perubahan ini tidak bisa dilakukan terus menerus. Sehingga Beliau berinisiatif untuk membuat sesuatu yang lain, yaitu perubahan pada batik klasik menjadi batik kontemporer. Seperti yang diungkapkan Tanto Suheng,
“Sampai pada suatu ketika Saya berfikir, kalau seandainya ini terus berkembang ya ndak bisa terus berkembang. Lalu Saya tahun tujuh
puluh membuat batik ini, batik gaya bebas ya. Jadi dalam kliping Saya itukan merubah batik yang tradisionil atau klasik tulis ke batik modern, lalu Saya jadi pelopor batik modern Sondakan sini”(Sumber: Wawancara, Mei 2012).
Percobaan membuat seni batik dengan gaya bebas dilakukan Tanto Suheng di rumahnya (sebelum direnovasi). Teknik membuat seni batik dengan tambahan kuas mulai dikombinasikan dalam pembuatannya. Batang lidipun pernah menjadi salah satu pencarian teknik eksplorasinya. batik ini tidak mengarah pada aturan pakem yang sudah ada seperti batik tulis pada umumnya, aturan yang mengikat pada proses batik tulis tidak di hiraukan oleh Tanto Suheng. Terjadi pertentangan dari pihak keluarganya terhadapap keberanian Tanto Suheng mengubah nilai-nilai pakem yang sudah ada. Teguran dari pihak keluarga sangat keras, terutama dari bapaknya sebagai pengusaha batik di Sondakan kala itu. Hal ini menjadi kemantapan bagi dirinya untuk terus berkarya seni batik kontemporer.
b. Membentuk Kelompok Canting Kakung (Pembatik Laki-Laki)
Kemudian pada tahun 1970 Tanto Suheng membentuk kelompok Sanggar dengan nama Canting Kakung. Dulu bertempat di rumah Tanto Suheng, tapi untuk sekarang mempunyai skretariat di Jalan Parang Kusumo No. 10 Tegalrejo Sondakan, Laweyan, Surakarta. Kelompok ini beranggotakan 20 orang yang terdiri dari laki-laki. Disebabkan kelompok tersebut beranggotakan khusus laki-laki, karena wanita dalam membatik kontemporer dianggap tidak berani tegas menggoreskan lilin malam di atas kain secara spontanitas. Jika untuk membuat batik tulis dengan menggunakan pakem yang benar, bagi para wanita belum bisa mampu membuat dengan cara yang maksimal, karena masih terpengaruh adat tradisi Jawa kental.
“…kalau yang membatik wanita itu tidak bisa bebas, biasanya masih menggunakan cara pakem yang ada. Jadi tidak berani menggambar
ekspresi bebas seutuhnya. Sedangkan laki-laki kan tidak, membut gambar dan cara menggorespun lain, tidak kaya kaum wanita. Itu yang menjadikan sampai saat ini ang gotanya para lelaki semua” (Sumber: Wawancara dengan Tanto, 15 Mei 2012).
Rutinitas dalam berkarya batik selalu mewarnai hari-hari Tanto Suheng dan rekan-rekan anggota Canting Kakung. Setiap orang memiliki ciri khas keunikan tersendiri dalam membuat motif-motif batik kontemporer, yang memang dituntut untuk berekspresi sebebas mungkin. Namun masih dibatasi dengan bahan utama malam atau lilin, serta zat pewarna digunakan untuk warnanya.
Gambar 4. 6. Kebersamaan anggota Canting Kakung. (Dokumentasi: Album Canting Kakung, 1970)
Seiring berjalannya waktu kemajuan ilmu teknologi mulai meningkat secara pesat, salah satunya di dunia perindustrian. Pembuatan batik secara mudah mulai ditemukan pada tahun 1977, yaitu penggunaan alat percetakan dalam dunia pertekstilan yang disebut sablon atau printing. Seperti pendapat dari Tanto Suheng , “Batik lukis gaya bebas ini pernah kalah saing dengan batik sablon atau printing. Karena pembutan batik printing lebih cepat,
banyak, dan murah”(Sumber: Wawancara dengan Tanto, 15 Mei 2012).
Produktivitas Tanto Suheng dan rekan-rekan untuk membuat batik kontemporer sempat mengalami kemunduran sejenak, ketertarikan masyarakat terhadap batik sablon lebih banyak. Keunggulan dari batik sablon lebih menghemat waktu produksi, apalagi dengan harga pasar yang sangat terjangkau oleh masyarakat menengah kebawah. Keterpurukan ini sangat mempengaruhi semangat Tanto Suheng dan rekan-rekannya untuk menggoreskan bentuk-bentuk motif batik kontemporer pada kain mori kala itu. Beberapa orang sempat berhenti menekuni batik kontemporer, terhalang oleh tingginya biaya bahan yang cukup mahal. Meskipun demikian Tanto Suheng dan rekan-rekan Canting Kakung masih mempertahankan Produktivitas Tanto Suheng dan rekan-rekan untuk membuat batik kontemporer sempat mengalami kemunduran sejenak, ketertarikan masyarakat terhadap batik sablon lebih banyak. Keunggulan dari batik sablon lebih menghemat waktu produksi, apalagi dengan harga pasar yang sangat terjangkau oleh masyarakat menengah kebawah. Keterpurukan ini sangat mempengaruhi semangat Tanto Suheng dan rekan-rekannya untuk menggoreskan bentuk-bentuk motif batik kontemporer pada kain mori kala itu. Beberapa orang sempat berhenti menekuni batik kontemporer, terhalang oleh tingginya biaya bahan yang cukup mahal. Meskipun demikian Tanto Suheng dan rekan-rekan Canting Kakung masih mempertahankan
c. Membentuk Warung Seni Pujasari
Selain membentuk kelompok Candik Ayu dan Canting Kakung, Tanto Suheng juga pernah sesekali mengikuti kegiatan lain yaitu diantaranya : 1). Koordinator pariwisata pada tahun 1975, 2). Tahun 1978-1990 mengikuti kegiatan di Sri Mulat, 3). Kemudian membentuk Warung Seni Pujasari tahun 1993.
Pengaruh pendirian Warung Pujasari juga menjadi salah satu sejarah hidup yang pernah dilakukan oleh Tanto Suheng, dan juga rekan-rekan lain seniman. Sebutan dari pendiri Warung Seni Pujasari terkenal dengan sebutan
“orang tujuh”, disebut demikian karena ada tujuh orang pendiri yang memberikan pengaruh besar, yaitu diantaranya adalah: 1). Sarjiwo Wowok
berlatar belakang dari bidang teater, 2). Luluk Sumitro berlatar belakang pelukis, 3). Gunawan Hanjaya berlatar belakang pelukis, 4). Yongki berlatar belakang pelukis, 5). Tanto Suheng berlatar belakang pelukis (batik), 6). Basu berlatar belakang entertaimen, 7). Nur Ali berlatar belakang pelukis, salah satu murid Dullah pelukis maestro di Solo.
Warung Pujasari dulu rencana awalnya didirikan sebenarnya bertujuan untuk menampung pasar seni, segala macam bentuk karya seni bisa diperoleh di sana. Seperti : patung cindera mata, ukir-ukiran dari kayu, lukisan, wayang, Warung Pujasari dulu rencana awalnya didirikan sebenarnya bertujuan untuk menampung pasar seni, segala macam bentuk karya seni bisa diperoleh di sana. Seperti : patung cindera mata, ukir-ukiran dari kayu, lukisan, wayang,
Bersamaan dengan keaktifannya membentuk beberapa kelompok tersebut, Tanto Suheng juga pernah mengikuti kegiatan berkesenian di HBS pada tahun 1958 (Himpunan Budayawan Surakarta) yang letaknya di sebelah alun-alun utara kraton Surakarta. Kegiatan kebersamaan antar seniman dilakukan seperti melukis bersama, dan bertukar pendapat antar seniman. Tambahan wawasan kesenian juga diperoleh secara cepat, hal ini disebababkan pribadinya yang mudah bersosialisasi dengan orang lain.
Jadi pengalaman yang telah dilalui seorang Tanto Suheng di atas merupakan sebuah kunci pembelajaran yang sangat berpengaruh pada seni batik kontemporernya sampai sekarang, jerih payah dan kerja kerasnya dalam mempertahankan seni batik kontemporer menyadarkan sebagian golongan masyarakat, dimana sebuah pakem tidak selau harus membatasi dalam sebuah perilaku untuk menuju perubahan. Perubahan berkesenian yang disertai dengan kerterbukaan akan menghasilkan sesuatu hal pemahaman kreativitas yang baru bagi seniman dan penikmatnya.