2 Liquidity Coverage Ratio (LCR)

Boks 4.2 Liquidity Coverage Ratio (LCR)

Salah satu perbaikan signifikan yang dilakukan akan meningkatkan kemampuan bank untuk pada standar peraturan perbankan adalah tetap beroperasi pada kondisi tekanan likuiditas penanggulangan pada permasalahan risiko likuiditas

setidak-tidaknya selama tiga puluh hari ke depan. bank. Basel Committee for Bank Supervision (BCBS)

LCR juga akan mengurangi ketergantungan bank merumuskan fondasi pengaturan likuiditas dalam pada sumber-sumber likuiditas yang otomatis Principles for Sound Liquidity Risk Management

menjadi mahal jika terjadi guncangan finansial atau and Supervision (BCBS, 2008), atau disebut ekonomi sehingga menurunkan risiko penyebaran “Sound Principles” (SP) pada tahun 2008. BCBS (contagion risk) yang berpotensi meningkatkan memperkuat kerangka likuiditas perbankan salah risiko sistemik. satunya melalui penetapan minimum standar

High Quality Liquid Assets Liquidity Coverage Ratio (LCR). Implementasi LCR LCR =

oleh otoritas keuangan merupakan salah satu cara Net Cash Outflow 30 hari kalender ke depan)

agar bank mengelola likuiditasnya dengan berhati- hati. LCR yang ditetapkan oleh BCBS bertujuan

Penggunaan HQLA dalam LCR memastikan bank untuk meningkatkan ketahanan likuiditas bank memiliki cukup aset yang dapat dikonversikan

dalam jangka pendek. Hal ini dapat dicapai dengan dengan mudah, yaitu dengan tanpa atau sedikit memperhitungkan rasio high quality liquid asset penurunan nilai dalam pasar dalam waktu cepat. (HQLA) terhadap net cash outflow bank selama Selain pengukuran dari sisi pendanaan, LCR juga tiga puluh hari ke depan yang dihitung dengan

menghitung sisi pengeluaran melalui perhitungan asumsi kondisi stress, dengan nilai rasio minimum estimasi net aliran dana bank yaitu selisih antara

100%. HQLA adalah aset-aset likuid yang dapat outflow dengan inflow. Nilai inflow yang diberi dicairkan dengan cepat tanpa kerugian harga. batas sebesar 75% dari nilai outflow mengakibatkan Kondisi stress dalam pengukuran LCR ini dilakukan LCR selalu bernilai positif sehingga memastikan dengan penyesuaian Hal ini dicapai melalui selalu adanya kebutuhkan likuiditas pada bank. penyesuaian pada haircut, outflow, dan infow

Pada kenyataannya, penetapan standar HQLA, dan rate . Semakin suatu asset tidak likuid suatu asset

perhitungan net arus dana bank bergantung pada yang diperhitungkan dalam HQLA, maka semakin diskresi otoritas keuangan masing-masing negara

tinggi haircut yang diterapkan. Semakin tidak stabil karena sistem pencatatan dan klasifikasi aset yang simpanan, maka semakin tinggi outflow rate, atau berbeda. Otoritas keuangan dapat menaikkan

semakin tinggi porsi yang dianggap akan ditarik. standar minimum rasio LCR, jika dirasa perlu. Akan Semakin tidak stabil aliran dana masuk, semakin

tetapi, bank yang memiliki aktivitas dengan skala besar kecil inflow rate yang diberikan, atau porsi internasional diwajibkan memenuhi minimum

yang diakui sebagai inflow semakin kecil. LCR standar international.

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 27, September 2016

Implementasi LCR di Indonesia dilakukan depan yang lebih tinggi daripada yang ditunjukkan dengan diterbitkannya Peraturan OJK No. 11/ oleh e-LCR-nya. POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas ( Liquidity Coverage

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Bank Ratio) yang terbit pada tanggal 23 Desember 2015.

Indonesia di tahun 2015, dibentuk juga indikator OJK mengimplementasikan pengukuran LCR sangat

h-LCR (historical LCR), yaitu indikator LCR yang dekat dengan standar yang ditetapkan oleh BCBS. sifatnya ex-post yang merupakan rasio HQLA Namun demikian perlu disadari dalam prakteknya, terhadap net arus dana yang telah terjadi selama sulit diperoleh interpretasi yang konsisten dari

30 hari sebelumnya. Tujuan dari pembentukan pengukuran LCR oleh masing-masing bank, karena h-LCR ini adalah untuk kebutuhan penelitian adanya informasi yang hanya diketahui oleh bank dan observasi kemampuan perhitungan e-LCR sendiri, misalnya mengenai porsi simpanan yang merepresentasikan kemampuan bank untuk dianggap stabil sehingga terkena outflow rate menutupi kebutuhan likuiditas jangka pendeknya. yang lebih rendah yang berakibat ekspektasi Observasi yang diperoleh adalah e-LCR lebih

outflow yang lebih rendah pada tiga puluh sering berada di atas h-LCR. Hal ini berarti kondisi hari ke depan. Oleh karena itu, Bank Indonesia likuiditas bank selalu dapat memenuhi kebutuhan mengembangkan indikator e-LCR atau estimasi

selama 30 hari ke depan dalam kondisi tidak stress. LCR bank menggunakan data yang diperoleh dari Namun, dalam kasus taper tantrum pada Juli 2013,

Laporan Bank Umum yang frekuensi-nya bulanan. terdapat kondisi dimana h-LCR jatuh di bawah Pengukuran ini lebih konservatif dari pengukuran

e-LCR. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kondisi yang dilakukan oleh bank sendiri. Dengan kata lain,

stress memanglah perlu dipertimbangkan untuk hampir dapat dipastikan bahwa e-LCR suatu bank

menurunkan persyaratan minimum LCR bagi bank, pasti lebih kecil dari pada LCR yang dilaporkan

agar bank dapat menyerap risiko likuiditasnya. oleh bank yang bersangkutan kepada OJK. Tujuan dari pengukuran ini adalah untuk mendapatkan 600% gambaran mengenai pergerakan likuiditas bank 500% secara individual dalam rangka pemantauan kinerja

perbankan oleh Bank Indonesia untuk keperluan 300% internal asesmen makroprudensial. Selain itu, 200%

jika diketahui bahwa e-LCR suatu bank sudah 100% memenuhi persyaratan minimumnya, sudah pasti 0%

-14 -15

bank yang bersangkutan memiliki kemampuan Jun-14 Agu-14 Okt-14 Des-14 Feb-15 Apr

menyerap likuiditas selama tiga puluh hari ke

Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan

Pasar Keuangan

Rumah Tangga

Penguatan Infrastruktur

Respons Kebijakan Bank

dan Korporasi

Perbankan dan IKNB

Sistem Keuangan

Indonesia Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan

LCR cenderung merupakan instrumen likuiditas yang bersifat mikroprudensial. Namun demikian, terdapat kalangan yang berpendapat reformasi pengaturan likuiditas dalam Basel III pada dasarnya dapat dikategorikan pada instrumen mikroprudensial dan makroprudensial sekaligus. Selain persyaratan minimum LCR, Basel III juga mengamanatkan persyaratan minimum Net Stable Funding Ratio yang lebih ditujukan untuk mengatasi permasalahan risiko likuiditas dalam pendanaan, atau likuiditas jangka panjang.

Secara rentang waktu, perilaku ambil untung bank juga dapat tercermin pada rasio likuiditasnya.

Dalam penelitian Bank Indonesia telah diobservasi bahwa dalam kondisi boom likuiditas dan

perekonomian, bank cenderung menipiskan likuiditasnya serta memilih portofolio yang lebih menguntungkan sekaligus lebih berisiko. Hal ini menunjukkan perilaku prosiklikalitas bank pun dapat mempengaruhi risiko likuiditasnya. Dalam hal ini, kebijakan makroprudensial pun memiliki

peluang untuk memastikan bank dapat menyerap risikonya pada saat likuiditas dan perekonomian

mengalami bust.

Pada semester I 2016, penyelenggaran sistem pembayaran sebagai salah satu infrastruktur sistem keuangan berjalan dengan aman, lancar dan efisien sehingga mampu mendukung terjaganya stabilitas moneter dan sistem keuangan, serta memperlancar kegiatan perekonomian. Hal tersebut merupakan dampak dari kebijakan Bank Indonesia untuk senantiasa meningkatkan kinerja sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia maupun industri. Kinerja yang baik dari sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia tercermin dari rendahnya risiko setelmen dan likuiditas, terpenuhinya tingkat keandalan dan ketersediaan sistem sesuai dengan tingkat layanan yang telah ditetapkan dan pelaksanaan implementasi infrastruktur pembayaran baik untuk layanan ritel maupun transaksi bernilai besar. Sementara itu, untuk sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh industri tercermin dari meningkatnya penggunaan instrumen pembayaran nontunai.

Akses dan penggunaan layanan keuangan oleh masyarakat Indonesia menunjukkan peningkatan, tercermin dari meningkatnya Indeks Keuangan Inklusif Indonesia dan layanan keuangan digital. Peningkatan layanan keuangan digital antara lain ditunjukkan oleh kenaikan jumlah agen dan jumlah transaksi uang elektronik pada agen layanan keuangan digital.

Ke depan, Bank Indonesia terus konsisten menetapkan kebijakan dan melakukan pengawasan untuk memitigasi risiko sistem pembayaran serta meningkatkan upaya pengembangan dan sosialisasi mengenai layanan keuangan digital untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan.

PENGUATAN INFRASTRUKTUR SISTEM KEUANGAN

FINANCIAL STABILITY REVIEW No. 27, September 2016

Sistem Pembayaran Yang Diselenggarakan Oleh Bank Indonesia Dan Industri Berjalan Dengan Baik Sehingga Mampu Mendukung Terjadinya Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan

Rp

Rp

Sistem Pembayaran

SP yang diselenggarakan

Indikator oleh Bank Indonesia

SP yang diselenggarakan

oleh Industri

Rp

Sistem Pembayaran

Nilai menjadi

Saldo Giro menjadi Rp56.166,98 triliun

Nilai menjadi

Rp308,94 triliun Volume Transaksi

Rp2.879,93 triliun

Volume Transaksi

Turn Over Ratio 64,60 juta

Queue Transaction Nilai menjadi

Nilai menjadi

Nilai menjadi Rp53.857,29 triliun

Rp2876,75 triliun

Volume Transaksi

Volume Transaksi

Volume Transaksi menjadi

menjadi

menjadi 2,96 juta

2533,02 juta

BI-SSSS Nilai menjadi

Rp24.722,03 triliun

Risiko SP

Volume Transaksi menjadi

Risiko settlement tergolong rendah

Risiko Operasional

• SP terselenggara aman, lancar dan SKN BI

0,15 juta

• Unsettled transaction 0,00028% total

nilai transaksi atau 0,00004% dari

efisien

total volume

Nilai menjadi

Risiko Sistemik

Rp2309,69 triliun

• Terjadi peningkatan potensi risiko Volume Transaksi

Risiko likuiditas

• Tidak terdapat penggunaan FLI

sistemik.

menjadi • Counterparty 10 Bank dengan 61,64 juta counterparty terbanyak meningkat

menjadi 2710

Rp

Keuangan Inklusif dan Layanan Keuangan Digital (LKD)

Akses dan penggunaan layanan keuangan oleh masyarakat Indonesia menunjukkan peningkatan Rp

Nilai transaksi menjadi Rp6,39 milliar

Indeks Komposit Keuangan Inklusif

Rp

Indonesia menjadi 0,38

Rp

Jenis transaksi terbanyak nasabah pada

Penyelenggara LKD menjadi

agen LKD

5 Bank • setor tunai (top up)

• transaksi penarikan tunai • Transfer ke rekening tabungan

Agen LKD menjadi

101.689 agen

Kondisi Stabilitas Respons Kebijakan Bank Sistem Keuangan

Pasar Keuangan

Rumah Tangga

Penguatan Infrastruktur

dan Korporasi

Perbankan dan IKNB

Sistem Keuangan

Indonesia Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan

Bank Money (CeBM) untuk setelmen dana transaksi

5.1.Kinerja Sistem Pembayaran

surat berharga di pasar modal, penyediaan layanan pengelolaan rekening giro termasuk penyediaan

Selama semester I 2016, sistem pembayaran sarana elektronik dan online kepada mitra strategis terselenggara dengan baik sehingga mampu (pemerintah, bank, lembaga internasional, dan mendukung kelancaran kegiatan ekonomi dan lembaga lainnya) yang dikenal dengan Sistem Bank stabilitas sistem keuangan nasional. Kinerja yang baik Indonesia Government Electronic Banking (BIG-eB), tersebut ditunjukkan dengan penyelenggaraan sistem dan pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank pembayaran yang aman, lancar dan efisien, baik

Indonesia (SKNBI) Generasi II Tahap II untuk fitur bulk pada sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh payment. Kebijakan-kebijakan tersebut memberikan Bank Indonesia maupun industri meskipun terjadi dampak positif yang dapat diukur dari semakin aman, peningkatan volume dan nilai transaksi.

lancar dan efisiennya penggunaan infrastruktur sistem pembayaran Bank Indonesia.

Kinerja sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia secara aman, tercermin dari rendahnya

Sementara itu, kinerja yang baik pada sistem risiko setelmen dan kondisi likuiditas yang memadai pembayaran yang diselenggarakan oleh industri untuk penyelesaian transaksi pada periode laporan. ditunjukkan dengan tidak terdapatnya gangguan yang Sementara itu, penyelenggaraan sistem pembayaran signifikan dalam penyelenggarannya. Hal tersebut yang lancar terindikasi dari tingkat keandalan dan

tidak terlepas dari berbagai upaya Bank Indonesia ketersediaan sistem yang sesuai dengan tingkat

yang senantiasa mendorong penggunaan nontunai layanan yang telah ditetapkan. Sedangkan kinerja dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional sistem pembayaran yang efisien terwujud melalui

dan aspek perlindungan konsumen. Untuk memitigasi implementasi infrastruktur pembayaran, baik untuk risiko pada penyelenggaraan sistem pembayaran layanan ritel (Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia- oleh industri, Bank Indonesia juga telah menetapkan SKNBI) maupun layanan bernilai besar (Sistem Bank kebijakan dan ketentuan sistem pembayaran, Indonesia Real Time Gross Settlement-BI RTGS dan

melakukan koordinasi dengan lembaga dan industri, Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement

serta secara aktif melakukan pengawasan sistem System-BI SSSS).

pembayaran. Untuk mendorong penyelenggaraan sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh

Kinerja yang baik tersebut diatas tidak terlepas dari industri, Bank Indonesia secara berkesinambungan berbagai upaya Bank Indonesia untuk memitigasi

mengenalkan instrumen pembayaran nontunai dan risiko dan meningkatkan kinerja operasional sistem fungsi perlindungan konsumen sistem pembayaran pembayaran. Upaya dimaksud dilakukan dengan Bank Indonesia kepada masyarakat. Diharapkan menetapkan berbagai kebijakan dan ketentuan, literasi dan kepercayaan masyarakat atas instrumen pengembangan infrastruktur dan pengawasan

pembayaran nontunai dapat meningkat dan pada sistem pembayaran. Kebijakan yang dikeluarkan gilirannya dapat meningkatkan penggunaan instrumen selama semester I 2016 adalah penggunaan Central pembayaran nontunai.

FINANCIAL STABILITY REVIEW No. 27, September 2016

Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan keamanan volume transaksi dari SKNBI sedangkan penurunan transaksi sistem pembayaran khususnya penggunaan nilai transaksi disebabkan oleh penurunan nilai kartu ATM/debet, pada semester I 2016 ini, Bank transaksi dari BI-RTGS, yang mana volume transaksi Indonesia menerbitkan SEBI No.18/15/DKSP Tanggal SKNBI dan nilai transaksi BI-RTGS memiliki pangsa

20 Juni 2016 perihal Pengelolaan Standar Nasional terbesar, masing-masing sebesar 95,42% dan 95,89% Teknologi Chip untuk Kartu ATM dan/atau Kartu pada sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh

Debet. SEBI dimaksud merupakan tindak lanjut dari Bank Indonesia. Sementara itu dari sisi kemampuan

setelmen, sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dapat beroperasi 2015 perihal Implementasi Standar Nasional Teknologi

penerbitan SEBI No. 17/52/DKSP 2 tanggal 30 Desember

secara optimal. Hal ini tercermin dari tingkat keandalan Chip dan Penggunaan Personal Identification Number

dan kemampuan setelmen yang mencapai 99,99%

Online 6 (Enam) Digit untuk Kartu ATM dan/atau pada periode laporan atau lebih tinggi dibandingkan Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia yang kemampuan setelmen pada periode yang sama tahun mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai 2015 yang hanya sebesar 99,96%. kepemilikan dan penetapan standar nasional serta

pengaturan mengenai tugas, tanggung jawab, dan 5.1.2 Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan kewajiban pengelola standar nasional.

oleh Selain Bank Indonesia Kinerja sistem pembayaran yang diselenggarakan

Dengan berbagai upaya dari Bank Indonesia tersebut, oleh industri mencatat pertumbuhan positif pada semester I 2016 sistem pembayaran yang baik dari segi instrumen yang beredar ataupun diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan industri penggunaan instrumen pembayaran nontunai. Hal mampu melayani transaksi dengan volume sebanyak tersebut tercermin dari meningkatnya penggunaan 3.054,93 juta transaksi dan nilai sebesar Rp59.046,91 Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) triliun.

dan uang elektronik yang merupakan hasil dari kebijakan Bank Indonesia mendorong penggunaan

5.1.1. Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan instrumen pembayaran nontunai. Bank Indonesia Bank Indonesia

juga melakukan koordinasi dengan penyelenggara

Selama semester I 2016, sistem pembayaran yang sistem pembayaran untuk semakin memeratakan diselenggarakan oleh Bank Indonesia memiliki infrastruktur dan memperluas cakupan layanan kemampuan melayani volume transaksi sebanyak instrumen sistem pembayaran. Selama semester 64,60 juta transaksi atau meningkat 6,39%

I 2016, sistem pembayaran yang diselenggarakan

dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, oleh industri memiliki kemampuan melayani volume sedangkan nilai transaksi adalah sebesar Rp56.166,99 transaksi sebanyak 2.990,33 juta dengan nilai sebesar

triliun atau menurun tipis 3,90% dibandingkan dengan Rp2.879,33 triliun atau masing-masing meningkat periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan 16,51% dan 18,93% dibandingkan dengan periode

volume transaksi disebabkan oleh peningkatan yang sama tahun sebelumnya.

2 SEBI No. 17/52/DKSP tanggal 30 Desember 2015 perihal Implementasi Standar Nasional Teknologi Chip dan penggunaan Personal Identification Number Online 6 (Enam) Digit untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia sebagai kelanjutan dari SEBI No. 17/51/DKSP tanggal 30 Desember 2015 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank

Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.

Kondisi Stabilitas Respons Kebijakan Bank Sistem Keuangan

Pasar Keuangan

Rumah Tangga

Perbankan dan IKNB

Penguatan Infrastruktur

dan Korporasi

Sistem Keuangan

Indonesia Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan

Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan pemeriksaan tidak langsung (offsite) berdasarkan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank laporan yang disampaikan oleh penyelenggara dan/

Indonesia juga berwenang antara lain untuk melakukan atau pemeriksaan langsung ( onsite). Secara umum, pengawasan terhadap seluruh penyelenggara jasa ruang lingkup pemeriksaan mencakup kepatuhan

sistem pembayaran yang telah memperoleh izin penyelenggara terhadap ketentuan, penerapan dari Bank Indonesia penyelenggara APMK dan uang prosedur Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan elektronik. Pengawasan dapat dilakukan melalui Pendanaan Terorisme (PPT), serta pengendalian

internal.