1 Penyaluran Dana Bantuan Sosial Secara Nontunai

Boks 5.1 Penyaluran Dana Bantuan Sosial Secara Nontunai

Bantuan sosial (bansos) merupakan salah satu program pemerintah untuk membantu perekonomian masyarakat miskin dan kurang mampu. Penyaluran bantuan sosial yang efektif, efisien, dan tepat sasaran akan memberikan manfaat besar kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyaluran tersebut dari hulu sampai ke hilir. Mekanisme penyaluran bantuan sosial secara konvensional atau tunai terbukti memiliki banyak kelemahan, antara lain lamanya waktu proses penyaluran, susahnya melakukan kontrol sehingga tidak tepat sasaran, minimnya pencatatan penyaluran sehingga sulit diketahui statistik perkembangan penyaluran bantuan, rentan akan fraud, dsb.

Mempertimbangkan berbagai kelemahan dari penyaluran tunai bansos tersebut dan sejalan dengan upaya perluasan gerakan nontunai,

Bank Indonesia berinisiatif mengajukan solusi melalui transformasi penyaluran dana bansos dari tunai menjadi nontunai. Upaya ini diyakini akan dapat mendukung penyaluran dana bansos

menjadi lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran. Untuk mendukung keberhasilan upaya tersebut diperlukan sinergi antara Bank Indonesia dengan pemerintah, kementerian, perbankan, dan otoritas terkait untuk memfasilitas penyaluran bansos secara nontunai melalui rekening uang elektronik. Dengan demikian, dana bansos dapat diambil pada agen-agen LKD Bank yang ditunjuk dan kedepannya akan diperluas pada kantor cabang bank serta ATM.

Selain itu, Bank Indonesia juga berinisiatif mengembangkan penyaluran dana bansos dengan

melakukan sistem pembayaran HIMBARA serta memberdayakan masyarakat melalui e-Warong yang juga merupakan Agen Layanan Keuangan Digital (LKD). Pengembangan tersebut untuk

mewujudkan interoperabilitas dan interkoneksi di antara bank penyalur dana bansos pemerintah sehingga memberikan kemudahan, kenyamanan, dan perluasan akses bagi masyarakat.

Kerja nyata dan sinergi antara Bank Indonesia dengan pemerintah, kementerian, perbankan, dan otoritas tersebut bertujuan untuk mewujudkan penyaluran bantuan sosial dengan prinsip 6T, yaitu Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, Tepat Harga, Tepat Waktu, Tepat Kualitas, dan Tepat Administrasi. Ini juga sejalan dengan model bisnis penyaluran bantuan sosial secara non tunai yang disusun Bank Indonesia dan disampaikan dalam Rapat Kabinet Terbatas April 2016 yang terdiri dari 4 (empat) aspek utama, yaitu (i) Registrasi dan pembukaan rekening secara sekaligus ( bulk); (ii) Edukasi dan sosialisasi; (iii) Penyaluran bantuan; dan (iv) Penarikan bantuan oleh masyarakat penerima. Dengan konsistensi terhadap 4 (empat) aspek tersebut, penyaluran bantuan sosial yang berkesinambungan akan dapat terwujud, dimana masyarakat dapat menerima bantuan dengan nyaman, perbankan dapat menjaga sustainabilitas bisnis, agen dapat merasakan peningkatan pendapatan, dan Pemerintah dapat memenuhi Prinsip 6T dalam penyaluran.

FINANCIAL STABILITY REVIEW No. 27, September 2016

Pilot project penyaluran bantuan sosial dengan yaitu (1) Memiliki kemampuan, reputasi, dan dukungan interoperabilitas dan interkoneksi sistem

integritas; (2) Merupakan penduduk/unit usaha pembayaran perbankan HIMBARA yang dilakukan

setempat; (3) Memiliki usaha yang telah berjalan pada menggambarkan potensi yang begitu besar minimum 2 tahun; (4) Lulus due diligence oleh dari sinergi perbankan HIMBARA, dimana s.d.

bank; dan (5) Menempatkan sejumlah deposit di Juni 2016 tercatat Bank HIMBARA telah memiliki

bank. Persyaratan ini penting untuk dipenuhi agar 114.000 Agen LKD dan Laku Pandai di seluruh kegiatan penyaluran tidak hanya terselenggara

Indonesia. Dengan terciptanya interoperabilitas dengan efektif dan efisien, namun juga senantiasa dan interkoneksi diantara Bank penyalur, maka aman dan tidak memberikan beban tambahan masyarakat akan langsung mendapatkan manfaat kepada masyarakat dan perekonomian. berupa kemudahan, kenyamanan serta perluasan akses dalam bertransaksi karena masyarakat akan dapat bertransaksi di seluruh ATM, EDC,

dan agen LKD/Laku Pandai dari Bank HIMBARA. Bank Indonesia senantiasa akan mendorong dan

memperluas upaya ini supaya dapat menjangkau perbankan lain diluar HIMBARA. Dengan perluasan

tersebut, maka titik penarikan/pengambilan bantuan sosial akan menjadi semakin banyak dan

semakin mempermudah masyarakat.

Bank Indonesia juga menyambut baik pemberdayaan masyarakat didalam penyaluran bansos melalui pemanfaatan e-Warong KUBE

PKH. Sebagai perpanjangan tangan dari bank, e-Warong berperan penting dalam mendorong

perluasan penyaluran, karena secara langsung berada dan menjadi bagian dari lingkungan masyarakat penerima. Namun demikian, prinsip

kehati-hatian dan perlindungan konsumen tetap harus dikedepankan oleh Perbankan dalam

memperluas jaringan agen. Bank Indonesia menekankan terdapat 5 (lima) hal yang perlu

diperhatikan untuk dapat menjadi agen LKD,

Kondisi Stabilitas Respons Kebijakan Bank Sistem Keuangan

Pasar Keuangan

Rumah Tangga

Penguatan Infrastruktur

dan Korporasi

Perbankan dan IKNB

Sistem Keuangan

Indonesia Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan

Kebijakan makroprudensial Bank Indonesia pada semester I 2016 masih bersifat akomodatif dan countercyclical yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kredit perbankan dengan tetap mempertahankan stabilitas sistem keuangan. Hal ini mengingat meskipun stabilitas sistem keuangan masih terjaga namun risiko yang berasal dari global dan domestik masih cukup besar, terutama terkait dengan peningkatan risiko kredit dan perlambatan intermediasi perbankan.

Dalam periode ini, Bank Indonesia melakukan evaluasi dan persiapan penyempurnaan ketentuan Loan (Financing) to Value Ratio dan ketentuan Loan to Funding Ratio yang dikaitkan dengan GWM. Selain itu, Bank Indonesia menetapkan besaran Countercyclical Buffer tetap sebesar 0%. Kebijakan makroprudensial ini merupakan bagian dari bauran kebijakan Bank Indonesia secara keseluruhan, antara lain di bidang moneter dengan penurunan BI Rate, penurunan GWM primer dan reformulasi suku bunga kebijakan Bank Indonesia yang ditransmisikan menjadi suku bunga perbankan serta kebijakan di bidang sistem pembayaran dan pengedaran uang yang bertujuan menciptakan momentum pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut, upaya penguatan koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait semakin diperkuat dengan telah ditetapkannya Undang-Undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.

RESPONS KEBIJAKAN BANK INDONESIA DALAM MENDUKUNG STABILITAS SISTEM KEUANGAN

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 27, September 2016

Kebijakan Makroprudensial Ditujukan Untuk Menjaga SSK Dan Mendorong Intermediasi Perbankan Sebagai Bauran Kebijakan Bank Indonesia Secara Keseluruhan

Evaluasi Kebijakan Giro Wajib Minimum – Loan to Funding Ratio (GWM-LFR)

Rp

dan Penyesuaian Jasa Giro dalam Pemenuhan Kredit UMKM

Ketentuan LFR – GWM UMKM

Rp

Ketentuan LTV Untuk KPR Dan DP Untuk KKB

Evaluasi Kebijakan LTV/FTV (Loan to Value / Financing to Value Ratio) untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit Kendaraan Bermotor

Penetapan Besaran CCB Sebesar 0%

Penetapan Kembali Kebijakan CounterCyclical Buffer (CCB) sebesar 0% sebagai langkah preventif terhadap risiko sistemik dari pertumbuhan kredit yang berlebih

Penguatan Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah dan Otoritas Terkait

RESPONS KEBIJAKAN

Kondisi Stabilitas Respons Kebijakan Bank Sistem Keuangan

Pasar Keuangan

Rumah Tangga

Sektor Keuangan

dan Korporasi

Perbankan dan IKNB

Syariah

Indonesia Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan

Bank Indonesia melanjutkan kebijakan uang muka kredit kendaraan bermotor (Loan to makroprudensial yang bersifat akomodatif dan Value Ratio/Financing to Value Ratio (LTV/FTV)), countercyclical pada semester I 2016. Kebijakan penyempurnaan kebijakan loan to funding ratio makroprudensial ini bertujuan untuk mendorong yang dikaitkan dengan giro wajib minimum (GWM) pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan dan penyesuaian jasa giro dalam pemenuhan kredit kredit perbankan dengan tetap mempertahankan UMKM (GWM Loan to Financing Ratio/LFR) serta stabilitas sistem keuangan. Selain itu, bauran penerbitan ketentuan kewajiban pembentukan kebijakan makroprudensial dengan kebijakan Countercyclical Buffer (CCB) mampu menahan moneter dan kebijakan sistem pembayaran dan penurunan kredit properti lebih lanjut pada pengedaran uang terus dilakukan sebagai bagian semester I 2016. dari upaya Bank Indonesia untuk turut menciptakan momentum pertumbuhan ekonomi.

Untuk memperkuat kebijakan tersebut di atas, Bank Indonesia selama semester I 2016 melakukan

Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih rendah, evaluasi dan penyempurnaan terhadap kebijakan namun mulai membaik pada triwulan II 2016. makroprudensial yang telah dikeluarkan pada Risiko yang dihadapi juga masih cukup besar, baik periode sebelumnya. Penyempurnaan yang telah yang berasal dari dampak rambatan perekonomian berjalan antara lain penyesuaian ketentuan LTV/ global maupun risiko domestik. Pertumbuhan FTV dan penyesuaian batas bawah rasio GWM LFR. ekonomi global yang masih belum menguat, antara

Bank Indonesia juga melakukan melakukan lain akibat harga komoditas dunia yang masih pengaturan dan pengawasan yang bersifat rendah dan peningkatan risiko di pasar keuangan makro terhadap lembaga jasa keuangan serta global sebagai dampak dari Brexit. Sementara itu memfokuskan diri terhadap asesmen potensi risiko perekonomian domestik terjadi sebagai risiko sistemik industri keuangan maupun stress akibat dari siklus keuangan yang berada pada testing ketahanan institusi keuangan dalam rangka fase kontraksi, kredit perbankan yang cenderung menciptakan stabilitas sistem keuangan. bersifat prosiklikal, defisit neraca pembayaran, pinjaman luar negeri korporasi yang masih tinggi, Sejalan dengan kebijakan makroprudensial porsi kepemilikan asing pada surat berharga dan tersebut, Bank Indonesia juga berupaya untuk ruang fiskal yang terbatas.

memperkuat koordinasi dengan otoritas lain, termasuk secara bersama-sama menyelesaikan

Kebijakan makroprudensial memiliki transmisi Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan yang kompleks dan memerlukan waktu (time lag) Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) pada 15 April sebelum mencapai tujuannya. Berbagai kebijakan 2016. Dengan diberlakukannya Undang-undang makroprudensial yang telah dikeluarkan Bank tersebut, koordinasi antar otoritas akan semakin Indonesia pada paruh kedua 2015, yang meliputi kuat sehingga akan berpengaruh positif terhadap pelonggaran pemberian kredit properti dan terwujudnya stabilitas sistem keuangan.

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 27, September 2016

Apartemen (KPA) yang telah terjadi semenjak tahun

6.1 Evaluasi Kebijakan Loan to

2013 mendorong Bank Indonesia untuk melakukan

Value/Financing to Value untuk

penyesuaian kebijakan terkait dengan kredit

Kredit atau Pembiayaan Properti

properti melalui Peratuan Bank Indonesia (PBI) No.

dan Uang Muka untuk Kredit

17/10/PBI/2015 tanggal 18 Juni 2015 tentang Rasio

Kendaraan Bermotor

Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk

Perlambatan penjualan dan harga properti yang Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka juga diikuti dengan penurunan aplikasi Kredit untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan sebagai berikut:

Tabel 6.1 Besaran Rasio LTV/FTV untuk Bank yang Memenuhi Persyaratan Rasio NPL/NPF Total Kredit atau Pembiayaan dan Rasio NP/NPFL KP/KP Syariah

KREDIT PROPERTI (KP) & PEMBIAYAAN PROPERTI (PP) BERDASARKAN MUHARABAH & AKAD ISTISHNA

FASILITAS KP & PP TIPE PROPERTI

I II III dst Rumah Tapak

(m 2 )

Tipe > 70

60% Tipe 22 - 70

- Rumah Susun Tipe > 70

60% Tipe 22 - 70

70% Ruko/Rukan

70% Sumber : Bank Indonesia

PEMBIAYAAN PROPERTI (PP) BERDASARKAN AKAD MMQ & AKAD IMBT

FASILITAS KP & PP TIPE PROPERTI

I II III dst Rumah Tapak

(m 2 )

Tipe > 70

65% Tipe 22 - 70

- Rumah Susun Tipe > 70

65% Tipe 22 - 70

70% Ruko/Rukan

Sumber : Bank Indonesia

Kondisi Stabilitas Respons Kebijakan Bank Sistem Keuangan

Pasar Keuangan

Rumah Tangga

Sektor Keuangan

dan Korporasi

Perbankan dan IKNB

Syariah

Indonesia Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan

Secara umum, pelonggaran kebijakan LTV di Secara keseluruhan kebijakan tersebut mampu atas direspon secara positif oleh pelaku bisnis di menahan penurunan KPR dan mampu tumbuh sektor properti serta masyarakat yang melakukan sebesar 7,62% (yoy) dibandingkan dengan semester pembelian rumah secara kredit. Hal tersebut

I 2015 sebesar 6,46%. Berdasarkan tipe, pada tercermin dari membaiknya pertumbuhan kredit semester I 2016 pertumbuhan KPR tertinggi adalah properti terutama pada sektor real estate pada untuk rumah tipe 22-70m2 dan flat/apartemen periode semester I 2016 yang tumbuh sebesar s.d. tipe 21 dengan pertumbuhan masing-masing 28,29% (yoy) dibandingkan dengan pertumbuhan mencapai 14,47% dan 16,14% (yoy) dibandingkan pada semester I 2015 sebesar 18,32%.

dengan 9,87% dan 0,77% di akhir Juni 2015.

Grafik 6.1 Perkembangan Kredit Properti Grafik 6.2 Pertumbuhan Kredit KPR Rumah dan Apartemen/Flat

RT s.d 21m 2 RT > 70m 2 RT 22-70m 2

Nop-11 Nop-12 Jul-12 Nop-12 Mar

Nov-14 Apr Sep-15 Feb-16 Jun-16 Real Estate

Total Kredit Indsutri

Flat/Apt s.d 21m 2 Flat/Apt >70m 2 Sumber : Bank Indonesia

Ruko/Rukan

Flat/Apt 22-70m 2

Sumber : Bank Indonesia

Tabel 6.2 Perkembangan Kredit Properti, KPR Rumah dan Apartemen/Flat

Pertumbuhan, % (Yoy) Kredit

Pertumbuhan, % (Yoy)

Pertumbuhan, % (Yoy)

Tipe KPR

Tipe KPR

Jun‘ 15 Jun’ 16 Konstruksi

0,77 16,14 Real Estate

KPR sd Tipe 21

Flat/ Apt sd TIpe 21

KPR Tipe 22 sd 70

Flat/ Apt TIpe 22

-4,42 -2,81 Total Kredit

KPR Tipe > 70

Flat/ Apt TIpe > 70

4,01 1,71 Sumber : Bank Indonesia

Ruko/ Rukan

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 27, September 2016

Namun demikian, membaiknya pertumbuhan kredit Tingkat NPL tertinggi pada kredit properti properti tersebut diikuti dengan peningkatan risiko.

disumbang oleh kredit pemilikan ruko/rukan Risiko kredit properti pada periode semester I 2016

sebesar 3,81%, diikuti NPL pada KPR rumah tapak

cenderung meningkat sebesar 2,67% dibandingkan dan kredit pemilikan flat/apartemen. Secara umum, dengan semester I 2015 sebesar 2,59% dan 2,34% NPL untuk KPA relatif lebih rendah dibandingkan pada semester II 2015. Hal ini sejalan dengan NPL KPR terutama untuk flat/apartemen tipe di kenaikan NPL total perbankan yang mencapai 3,05%.

atas 21m2. NPL tertinggi pada KPR tipe ≥70m2, sebaliknya KPA tipe ≥70m2 memiliki NPL terendah.

Grafik 6.3 Perkembangan NPL KPR Rumah Grafik 6.4 Perkembangan NPL KPR Flat/Apartemen

Apr Jul-12 Okt-12 Jan-13 Apr

Apr Jun-16

Des-14 Mei-15 Okt-15 Mar Jun-16

RT 22-70m 2 Total KPR

Ruko/Rukan

Flat/Apt s.d

RT s.d 21m 2 RT > 70m 2 Flat/22 - 70m 2 Flat/Apt > 70m 2

Sumber : Bank Indonesia

Sumber : Bank Indonesia

Tabel 6.3 Perkembangan NPL KPR Rumah dan Apartemen/Flat

NPL, % (Yoy) NPL KPR

NPL, % (Yoy)

Jun’ 16 KPR sd Tipe 21

Jun‘ 15

Jun’ 16

NPL Flat/ Apt

Jun‘ 15

1,10 KPR Tipe 22 sd 70

Flat/ Apt sd Tipe 21

1,92 KPR Tipe > 70

Flat/ Apt Tipe 22 sd 70

Flat/ Apt Tipe > 70

Sumber : Bank Indonesia

Berdasarkan lokasinya, lebih dari 60% KPR Hal ini dipengaruhi faktor kesiapan infrastruktur terkonsentrasi pada pulau Jawa, dengan di Pulau Jawa yang relatif lebih baik pangsa tertinggi di propinsi Jawa Barat sebesar dibandingkan pulau lainnya yang mendorong 24,51% dan diikuti DKI Jakarta sebesar 16,69%. tingginya pembangunan sektor properti.

Kondisi Stabilitas Respons Kebijakan Bank Sistem Keuangan

Pasar Keuangan

Rumah Tangga

Perbankan dan IKNB

Sektor Keuangan

dan Korporasi

Syariah

Indonesia Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan

Dari sisi pemanfaatan kebijakan pelonggaran LTV harga komoditas global yang mempengaruhi tahun 2015, semua propinsi memanfaatkan dengan

sektor pertambangan dan industri pendukungnya baik kecuali Bali dan DKI Jakarta yang masing- yang berada di kedua propinsi tersebut. masing mengalami pertumbuhan KPR negatif 3,21% dan 1,08% pada periode Juni 2015 - Juni 2016. Penguatan kebijakan LTV/FTV oleh Bank Indonesia

tersebut bertujuan untuk meningkatkan permintaan Di sisi lain, NPL yang berada di atas threshold domestik guna menciptakan momentum 5% hanya terjadi pada 2 propinsi yaitu pertumbuhan ekonomi. Fokus kebijakan Bank Sumatera Utara dan Kalimantan Timur Indonesia pada sektor properti mengingat masing-masing sebesar 5,47% dan 5,38%. sektor properti memiliki efek multiplier yang Hal ini merupakan dampak rambatan dari penurunan

besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Tabel 6.4 Perkembangan NPL KPR Flat/Apartemen

Juni 2016

Jun’16 - Jun 15

Kredit yoy

Kredit, yoy

NPL (%) NPL + 2

Terhadap KPR

NPL (%)

Total (%)

Total Kredit

0,12 (0,69) Provinsi Lainnya

Sumber : Bank Indonesia

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 27, September 2016

bank ke dalam perhitungan Loan to Deposit Ratio

6.2 Evaluasi Penyempurnaan Kebijakan (LDR) sehingga rasio LDR diperluas menjadi LFR. Loan to Funding Ratio (LFR) yang dikaitkan dengan Giro Wajib

Dalam implementasinya, kebijakan tersebut belum

Minimum (GWM) dan Penyesuaian

dapat menahan perlambatan pertumbuhan kredit

Jasa Giro dalam Pemenuhan Kredit UMKM perbankan secara signifikan. Pertumbuhan kredit

masih mengalami perlambatan dari 10,38% (yoy)

Di tengah perlambatan intermediasi perbankan, di semester I 2015 dan 10,45% (yoy) di akhir 2015 Bank Indonesia pada tanggal 1 Agustus 2015 lalu menjadi 8,89% (yoy) di akhir semester I 2016. Di telah mengeluarkan penyempurnaan kebijakan sisi lain, pertumbuhan DPK juga terus mengalami LFR yang dikaitkan dengan GWM. Kebijakan perlambatan dari 12,65% (yoy) di semester I 2015 Makroprudensial ini diharapkan dapat mendorong dan 7,26% (yoy) di akhir 2015 menjadi 5,90% proses intermediasi perbankan, mendorong bank (yoy) di akhir semester I 2016 atau lebih dalam memanfaatkan sumber pendanaan di luar dana dibandingkan perlambatan kredit. Disisi lain, pihak ketiga (DPK) serta memperdalam pasar komponen funding di luar DPK seperti SSB juga keuangan. Penyempurnaan kebijakan ini dilakukan belum mengalami peningkatan signifikan sehingga dengan menambahkan komponen surat-surat secara keseluruhan LDR dan LFR perbankan di akhir berharga (SSB) tertentu yang diterbitkan oleh semester 1 2016 menjadi lebih tinggi dibandingkan

periode awal pemberlakuan GWM LFR.

Grafik 6.5. Intermediasi Perbankan

Jul-15 Agu-15 Jan-15 Okt-15

Mar-16 Apr-16

Agu-15 Jan-15

Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mar-16 Jun-16

SSB yang diterbitkan (rhs)

Sumber : Bank Indonesia

Sumber : Bank Indonesia

Kondisi Stabilitas Respons Kebijakan Bank Sistem Keuangan

Pasar Keuangan

Rumah Tangga

Sektor Keuangan

dan Korporasi

Perbankan dan IKNB

Syariah

Indonesia Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan

Kebijakan GWM LFR tersebut selanjutnya juga Pertumbuhan kredit UMKM secara total mengalami dipergunakan untuk mendorong penyaluran peningkatan dari 6,78% (yoy) di semester I 2015 kredit usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM). dan 8,01% (yoy) di akhir 2015 menjadi 8,28% (yoy) Berlaku sejak 1 Agustus 2015, Bank Indonesia di akhir semester I 2016. Dilihat dari jenisnya, memperlonggar batas atas LFR dari 92% menjadi pertumbuhan kredit UMKM non Kredit Usaha 94% bagi bank yang memenuhi pencapaian Rakyat justru mengalami penurunan sementara persentase tertentu kredit UMKM lebih cepat KUR tumbuh signifikan sehingga mampu menahan

dari batas waktu yang diberikan dan dengan penurunan lebih dalam pada kredit UMKM. Ekspansi kualitas kredit yang baik. Sebaliknya, bagi bank kredit non KUR pada Semester I 2006 mengalami yang belum memenuhi target rasio kredit UMKM penurunan sebesar Rp18 triliun sementara KUR sesuai tahapan yang ditetapkan akan dikenakan mengalami ekspansi Rp 54,8 triliun. Sementara pengurangan jasa giro yang mulai berlaku sejak itu risiko kredit UMKM masih relatif tinggi

1 Februari 2016. Bagi KCBA dan Bank Campuran meskipun telah mengalami sedikit penurunan pemenuhan kredit UMKM tersebut dapat diganti dari 4,65% di semester I 2015 dan 4,20% di akhir dengan pemenuhan kredit ekspor non migas. 2015 menjadi 4,58% di akhir semester I 2016.

Grafik 6.6. Kredit dan NPL UMKM Grafik 6.7. Pencapaian Kredit UMKM

Pertumbuhan Kredit

NPL

Kredit UMKM ≥ 5%

Kredit UMKM ≥ 5%

10 11 7 4 4 Des-13 Mar Jun-14 Sep-14

Des-14 Mar Jun-15 Sep-15 Des-15

Mar Jun-16

Des-13

Mar Jun-14 Sep-14 Des-14

Mar Jun-15 Sep-15

Des-15

Mar Jun-16

NPL Total & Kredit UMKM < 5% Sumber : Bank Indonesia

UMKM

Non UMKM

Non UMKM

NPL Total & Kredit UMKM ≥ 5%

Sumber : Bank Indonesia

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 27, September 2016

Kebijakan penyempurnaan GWM LFR tersebut LFR dikaitkan dengan GWM dari 78% menjadi 80% merupakan bagian dari bauran kebijakan Bank yang mulai diberlakukan pada 24 Agustus 2016 Indonesia. Di bidang moneter, Bank Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan kredit. Bauran pada semester I 2016 telah melakukan berbagai kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut pelonggaran kebijakan baik melalui penurunan suku

diharapkan dapat semakin memperkuat upaya untuk bunga kebijakan dan penurunan GWM Primer yang

meningkatkan permintaan domestik guna terus juga bertujuan untuk menambah likuiditas perbankan

mendorong momentum pertumbuhan ekonomi

untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi,

di tengah masih lemahnya perekonomian global. Dalam rangka mengoptimalkan pelonggaran kebijakan moneter tersebut, Bank Indonesia melanjutkan penyempurnaan kebijakan makroprudensial melalui peningkatan batas bawah

Grafik 6.8. Pelonggaran Kebijakan Moneter, Likuiditas dan Pertumbuhan Kredit Perbankan

GWM Primer

BI Rate

AI/DPK

Pertumbuhan Kredit

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 6.9. Perkembangan Batas Atas dan Bawah Ketentuan GWM LDR/LFRF

Sumber : Bank Indonesia

Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan

Respons Kebijakan Bank

Pasar Keuangan

Rumah Tangga

Sektor Keuangan Syariah

dan Korporasi

Perbankan dan IKNB

Indonesia Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan

dikonfirmasi oleh indikator pelengkap yang