Eksplorasi Jamur Beracun yang Berpotensi Sebagai Bahan Biopestisida di Hutan Pendidikan Gunung Barus Kabupaten Karo, Sumatera Utara

(1)

Lampiran 1. Kuisioner Eksplorasi Jamur Beracun yang Berpotensi Sebagai Bahan Biopestisida di Hutan Pendidikan Gunung Barus

Identitas Responden

1. Berapakah usia anda saat ini ? a) 0 – 10 tahun

b) 11 – 20 tahun c) > 20 tahun

2. Apa mata pencarian yang anda lakukan untuk memenuhi kebutuhan anda sehari-hari ?

3. Berapakah penghasilan anda sebulan ?

4. Apakah anda berumah tangga ? Jika sudah, berapakah anggota keluarga anda ?

a. sudah b. belum

Jawaban :

5. Berasal dari manakah anda?

a. Asli penduduk sekitar b. Pendatang Dari mana... 6. Sudah berapa lama anda tinggal di desa ini?

Pengetahuan tentang jamur beracun

1. Apakah anda mengetahui tentang jamur yang beracun (toksik) !

a. Ya b. Tidak

2. Apa yang anda ketahui tentang ciri - ciri jamur beracun ? Jawaban :


(2)

4. Dari manakah anda mengetahui bahwa jamur tersebut beracun ? a. Orang tua

b. Masyarakat

5. Apakah anda memanfaatkan jamur tersebut bagi kehidupan anda sehari-hari ?

bila ya ! jenis apa saja ? Jawaban :

6. Dimana mendapatkan jamur tersebut ?

7. Apakah jamur tersebut dipasarkan/dijual ? Jika ya, Jenis apa saja !

Jawaban : Jenis………Harga……./Satuan

8. Bagaimanakah potensi jamur beracun di Hutan gunung Barus ini ?

a. Tinggi b. Sedang c. Rendah

9. Seberapa sering anda menggunakan jamur tersebut ? digunakan untuk apa ?

a. Sering ( > 3x dalam sebulan ) c. Pernah ( Hanya sekali saja ) b. Kadang-kadang ( < 3x dalam sebulan ) d. Tidak Pernah

10.Apakah ada usaha untuk membudidayakan jamur tersebut ? khususnya yang telah dimanfaatkan !

a. Ya b. Tidak

11.Bagaimana Pembudidayaan jamur tersebut ? a. Sulit b. Mudah

12.Diantara Jenis jamur tersebut apakah ada yang dijadikan sebagai biopestisida ?


(3)

a. Ya b. Tidak

Bila ya, jenis apa saja dan ciri-cirinya seperti apa ?


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abednegro. 2008. Analisis Pengaruh Saluran Pemasaran dan Harga Terhadap Pendapatan Petani Jeruk manis Di daerah Sukanalu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo. USU e-Repository 2008

Alexopoulus, C. J., dan Mims, C.W. 1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons. New York

Amadej. 2008. Lenzites betulina. http:/www.flickr.com/photos/atrnkoczy/. diakses tanggal 6 Februari 2013

Arbiastutie, Yunieta dan Muflihati. 2008. Isolasi dan Uji Aktivitas Kandungan Kimia Bioaktif dari Biji Duku (Lansium domesticum Corr). Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume X No. 2 April 2008

Arif, Astuti, Musrizal M., Tutik K., dan Vitri H. 2007. Isolasi dan Identifikasi Jamur Kayu dari Hutan Pendidikan dan Latihan Tabo-tabo Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep. Jurnal Perennial, 3(2) : 49-54

Asrianny, Marian dan Ngakan Putu Oka. 2008. Keanekaragaman dan Kelimpahan Jenis Liana (tumbuhan memanjat) pada Hutan Alam di hutan pendidikan universitas hasanuddin. Jurnal Perennial, 5(1) : 23-30

Ayodele, S.M., Ohwojero, D., Dan Odii, I.K. 2010. Screening for abiotic stress resistance in three tropical edible mushrooms. Agriculture and Biology Journal of North America 1(4): 711-714

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2011. Mengenal jamur beracun.www.ik.pom.go.id. Diunduh Juni 2012

Brundreet, Bark, Neale, B., Bernie, D., Tim, G., dan Nick, M. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Australian Centre for International Agriculturel Reasearch. ISBN 1 85320 181 5. Page : 233-247

Budianto, Faris dan Tukiran. 2012. Bioinsektisida dari tumbuhan Bakau Merah (rhizhopora stylosa. Griff) (rhizophoraceae). UNESA Journal of Chemistry Vol. 1

Cahyadi, Robby. 2009. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Buah Pare terhadap Larva dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST). Laporan Akhir Penelitian Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran, Universitas Diponogoro, Semarang

Chang, Shu-Ting dan Philip G.M. 2004. Mushrooms (Cultivation, Nutritional Value, Medicinal Effect, and Environmental Impact). CRC Press Second Edition, hal : 68-69


(5)

Claus, E.P. 1961. Pharmacognosy. Copyright © Fourth Edition. Lea & Febiger. Philadelphia

Das, Kanad. 2010. Diversity and conservation of wild mushrooms in Sikkim with special reference to Barsey Rhododendron Sanctuary. NeBIO vol. 1(2). Halaman : 1-7

Departemen Kehutanan. 2006. Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan. P.67/Menhut-II/2006

Dinas Pertanian TPH Kabupaten Grobogan. 2012. Pengendalian Hama dan Penyakit dengan Pestisida Nabati. http://dinpertan.grobogan.go.id/- laboratorium/144-pengendalian-hama-dan-penyakit-dengan-pestisida-nabati.html. diakses pada tanggal 12 Maret 2013

Djunaedi, A. 2008. Aplikasi Fungisida Sistemik dan Pemanfaatan Mikoriza dalam Rangka Pengendalian Patogen Tular Tanah pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.). Embryo Vol.5 No.2 ISSN 02160188

. 2009. Biopestisida sebagai pengendali organisme pengganggu tanaman (OPT) yang ramah lingkungan. Embryo Vol. 6 No. 1 ISSN 0216-0188

El Shirazi, D.S. 2010. Mengenal dan Mengidentifikasi Jamur Liar (Wild-Mushroom) di TWA Sorong (Edisi 8 2010)

Fauzia, Lilis Masaroh. 2010. Isolasi Senyawa Aktif dan Uji Toksisitas Ekstrak Heksana Daun Pecut Kuda (Stachytharpheta jamaicensis L. Vahl)

Fontenelle nature association. 2008. Orange pinwheel marasmius.http://www.fn- anaturesearch.org/

Gandjar, Indrawati, Wellyzar Sjamsuridzal, dan Ariyanti Oetari. 2006. Mikologi (Dasar dan Terapan). Djakarta. Yayasan Obor Indonesia

Gartz, Jochen. 1927. Magic Mushrooms Around the World. Lis Publications. Los Angeles, CA

[GBIF] Global Biodiversity Information Facility. 2012. Scleroderma cepa. http://biocache.ala.org.au/. diakses pada tanggal 20 Februari 2013

Hall, Ian R., Steven L. S., Peter K.B., Wang Yun, Anthony L.J.C. 2003. Edible and Poisonous Mushrooms of The World. Timber Press. Portland and Cambridge Heri, Apri Iswanto. 2009. Identifikasi Jamur Perusak Kayu. Karya tulis Departemen


(6)

Holowko, Paul. 2010. Gardening Rhythms. http://home.comcast.net/~pholowko/ OnLineShows/Soil/MicroBio/BioCertianFungiDescription.html. diakses tanggal 20 Februari 2013

Huffman, D.M., L.H. Tiffany, G. Knaphus, dan R.A. Healy. 2008. Mushrooms and Other Fungi of the Midcontinental. University of lowa Press- Second Edition Kangas, Annika dan Matti Maltamo. 2006. Forest Inventory (Methodology and

Applications. Springer. Netherlands. Halaman : 149

Karimah, L.N., 2006. Uji aktivitas larvasida ekstrak etanol 96% biji mahoni (swietenia mahagoni jacq) terhadap larva nyamuk Anopheles aconitus instar III serta profil kromotografi lapis tipisnya. F. Farmasi UMS. http://etd.library.ums.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptums-gdl-sl-2007-ninyomansa-6683. Diakses pada tanggal 2 April 2013

Kuo, Michael. 2008. Coprinellus disseminatus. http://www.mushroomexpert.com/ -coprinellus_disseminatus.html. diakses tanggal 2 februari 2013

Kuo, Michael. 2008. Coprinellus disseminatus.http://www.mushroomexpert.com/-marasmius_siccus.html. diakses tanggal 7 Februari 2013

Kuo, M. (2011, January). Psathyrella bipellis. http://www.mushroomexpert.com/-psathyrella_bipellis.html. diakses pada tanggal 3 Maret 2013

Kusumo, Surachmat, Maharani H., Sugiono M., Machmud T., Subandriyo, Atmadja H., Agus N., dan Husni K. 2002. Pedoman Pembentukan Komisi Daerah dan Pengelolaan Plasma Nutfah. Departemen Pertanian Balitbang Pertanian Komnas Plasma Nutfah

Lakhanpal, T. N. 2011. Biodiversity and Biotechnology- Explore Experience and Enjoy. Proceedings of the Ninety eighth session of the Indian science congress

Lestari, Fajar. 2012. Pestisida nabati sebagai alternatif pengganti pestisida kimia sintetik. http://foreibanjarbaru.or.id/. diakses pada tanggal 27 Februari 2013 Mahardika, B. P. 2008. Klasifikasi jamur ke dalam kelas dapat dikonsumsi atau beracun menggunakan algoritma vfi 5 (studi kasus : famili agaricus dan lepiota). Laporan akhir Departemen ilmu komputer, Fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam Institut pertanian bogor

Nurhayati. 2011. Penggunaan Jamur dan bakteri dalam Pengendalian Penyakit Tanaman secara Hayati yang ramah lingkungan. Prosiding Semirata Bidang Ilmu-ilmu PertanianBKS-PTN Wilayah barat


(7)

Perala, D.A. 2003. Quaking Aspen. Plant Guide-populus tremuloides Michx. http://www.na.fs.fed.us/pubs/silvics_manual/volume_2/populus/tremuloides .htm. diakses pada tanggal 15 April 2013

Program Studi Kehutanan USU. 2012. Panduan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan Tahun 2012. Program Studi Kehutanan USU. Medan.

Santoro, Thomas dan L.E. Casida Jr. 1959. Improved Method for Obtaining Vegetative Growth of Mycorrhizal and other Slow Growing Fungi. Journal of Bacteriology vol.78. Page : 449

Saputro, G. 2011. Metode observasi. http://www.shvoong.com/metode_ -observasi.html. Diakses pada tanggal 8 Februari 2013

Setiawan, A. 2012. Pemetaan Batas dan Potensi Alam Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara Taman Hutan Raya Bukit Barisan Desa Tongkoh Kabupaten Karo. Skripsi Program Studi Kehutanan USU. Medan.

Smit, Linda. 2012. Amanita rubescens Pers. http://observado.org/waarneming/-view/69908881. diakses tanggal 8 Februari 2013

Soehardjan, M. 1993. Penggunaan, Permasalahan serta Prospek Pestisida Nabati dalam PHT. Dalam prosising Seminar Hasil Penelitian dalam rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 1-2 Desember 1993. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman dan Obat, Jakarta. P.6-7, 8-9

Suharna, Nandang. 1993. Keberadaan Basidiomycetes di Cagar Alam Bantimurung, Kareanta dan Sekitarny, Maros, Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Hasil Litbang SDH. Hal. 104-105

Tambunan, Bedyaman dan Dodi Nandika, 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Perusak Biologis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tampubolon, Jasmin. 2010. Inventarisasi Jamur Makroskopis di kawasan Ekowisata bukit lawang kabupaten langkat Sumatera utara. Thesis Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara

Tampubolon, Santa. 2013. Eksplorasi Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan Gunung Barus, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Non-press USU repository Taofik, M. Yulianti E., dan Barizi A. 2010. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif

Ekstrak Air Daun Paitan (Thitonia diversifolia) Sebagai Bahan Insektisida Botani untuk Pengendali Hama Tungau Eriophyidae. Alchemy, Vol.2 No.1 Oktober 2010, hal 104-157


(8)

Tarmedi, Edi. 2006. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskular di Hutan Sub Pegunungan Kamojang Jawa Barat. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, hal : 25-26

Tredway, Lane dan Lee Miller. 2013. Fairy Ring Prevention and Management in Golf Course Putting Greens. Departement of Plant Pathology, North Carolina State University

Ulfa, Meliyana dan Efendi A.W. 2008. Potensi Aplikasi Mikoriza untuk Pembangunan Hutan Tanaman di Lahan Rawa Gambut. Seminar hasil-hasil penelitian hutan tanaman balai penelitian dan pengembangan hutan tanaman (BP2HT) Palembang


(9)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2012. Pengambilan contoh uji jamur dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Barus, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Pengidentifikasian dan Pengujian fitokimia jamur dilaksanakan di Laboraturium Kimia Bahan Alam, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kamera digital, buku identifikasi jamur, kantong plastik, meteran, parang, tali rafia, GPS, Arcview GIS 3.3, alat tulis, lesung/penggilingan, Beaker Glass, oven, penangas air, timbangan elektrik, cawan petri, spatula, labu erlenMayer, gelas ukur, Autoklaf, filtrat, dan pipet tetes.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain jamur yang bersifat toksik, alkohol, Kuisioner, tally sheet, peta administrasi dan kontur, pereaksi Salkowsky, pereaksi Lieberman-Bouchardart, pereaksi 1 % cerium sulfat dalam asam sulfat 10 %, pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, metanol, aqudest, larutan HCL 2 N, larutan MeOH 90 %, larutan HCL 1 N, larutan CHCL3,


(10)

Prosedur Penelitian

A.Aspek Ethnobotani

Pengumpulan Data

Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan-tahapan pengumpulan data masyarakat pada penelitian ini yaitu mencakup :

a. Observasi lapangan, merupakan kegiatan pengamatan langsung di lapangan terhadap masayrakat yang akan dijadikan sebagai responden. Jenis observasi yang dilakukan adalah observasi non-partisipan, dimana dalam hal ini peneliti berada di luar subyek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan (Saputro, 2011).

b. Penentuan informan kunci dan sampel responden. Informan kunci dan responden dalam penelitian ini adalah kepala desa, serta masyarakat yang mengetahui informasi tentang jamur beracun. Informasi yang diperoleh melalui wawancara. Metode penarikan sampel masyarakat berupa Purposive Sampling yang didasarkan pada data kualitatif, yaitu sebanyak 5 orang untuk masing-masing desa.

Analisis Data

Data yang diperoleh dari wawancara tersebut, diklasifikasikan berdasarkan umur, pekerjaan, pengetahuan tentang jamur yang beracun, pemanfaatannya, serta analisis kelayakannya.

B. Aspek Keanekaragaman Jenis

Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode Purposive Plot Sampling dengan petak contoh berbentuk bujur sangkar, serta


(11)

ukuran petak ukur sebesar 10 m x 10 m. Menurut Kangas dan Matti (2006) bahwa ukuran plot berkisar antara 8-1500 m2 pada kasus berbagai jenis jamur, ukuran luas

optimal yang digunakan adalah 100 m2. Intensitas sampling yang digunakan adalah

0,05 %. Jumlah dan jenis jamur yang ada pada setiap plotnya dicatat di dalam thallysheet. Identifikasi jenis dilakukan dengan mengamati ciri makroskopis yaitu dengan cara mengenali jenis jamur melalui warna jamur, koloni jamur dan bentuk tubuh buah jamur. Sampel yang didapatkan di lapangan didokumentasikan dengan menggunakan kamera digital. Identifikasi yang dilakukan, mengacu pada buku identifikasi jamur, yaitu Hall, et al (2003), Duffy (2008), dan Garzt (1927). Kemudian dianalisis indeks nilai penting (INP) dan keragaman Shannon-Wienner nya (H’) untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan jenisnya.

10 m

10 m Analisis Data


(12)

Intensitas sampling menunjukkan banyak dan luasnya petak contoh yang dapat mewakili luas keseluruhan lokasi. Untuk menghitung Intensitas sampling digunakan rumus sebagai berikut:

Luas Plot Contoh x ∑ Petak Contoh

IS (%) = x 100% Luas area keseluruhan

Intensitas sampling yang digunakan adalah 0,05 %, karena objek yang diamati adalah jamur. Hal ini sesuai dengan lampiran Departemen Kehutanan (2006) yang menyatakan bahwa cara sampling untuk inventarisasi tumbuhan non kayu yang dilakukan secara khusus menggunakan intensitas sampling minimal 0,05%. Indeks nilai penting dan Keanekaragaman Shannon-Wienner dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah Individu Kerapatan Jenis (K) =

Luas Plot Contoh

Kerapatan suatu jenis Kerapatan Relatif (KR) =

Kerapatan seluruh jenis

Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Frekuensi Jenis (F) =

Jumlah seluruh plot

Frekuensi suatu jenis Frekuensi Relatif (FR) =

Frekuensi seluruh jenis

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR

Indek Keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) = H = - Σ{(ni/n)ln (ni/n)} Keterangan : ni = jumlah individu


(13)

C. Aspek Fitokimia

Persiapan Simplisia

Sampel yang telah diambil di lapangan, dimasukkan ke dalam kantong plastik berukuran 1 kg sebanyak spesies yang ditemukan. Pada penelitian ini sampel yang diambil dibagi menjadi dua bagian untuk setiap jenisnya yaitu sampel basah yang dicampurkan dengan larutan alkohol 70 % untuk diidentifikasi lebih lanjut dan sampel kering untuk diujikan kandungannya di laboraturium. Tujuan pemberian alkohol agar sampel tidak layu dan mudah untuk diidentifikasi. Pengujian Simplisia di Laboraturium

Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri maupun lingkungannya (Lenny, 2006). Untuk mengetahui kandungan bahan metabolit

sekunder dilakukan dengan pengujian skrining fitokimia sebagai berikut (Tarigan et al., 2008):

a. Uji Alkaloid (Pereaksi Dragendorff, Meyer, Bouchardat, dan Wagner)

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 gram kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk test alkaloida sebagai berikut:

1) Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan dengan 2 tetes pereaksi Bouchardat, reaksi positif ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna coklat sampai hitam. 2) Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Dragendorff, reaksi


(14)

3) Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan dengan 2 tetes larutan pereaksi Mayer, reaksi positif ditandai dengan terbentuknya endapan menggumpal berwarna putih atau kuning.

4) Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan dengan 2 tetes pereaksi Wagner, reaksi positif ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna coklat.

Gambar 7. Skema Pengujian Alkaloid

b. Uji Terpenoid dan Steroid/Uji Liebermann-Burchard Serbuk sampel (0.5

gr) Asam klorida 2

N (1 ml) Aquadest (9 ml) Dipanaskan 2 menit Pendinginan Penyaringan

Filtrat (3 tetes)

Pereaksi Mayer

Filtrat (3 tetes)

Pereaksi Dragendorf Filtrat (3 tetes) Pereaksi Bouchardat Filtrat Endapan cokelat sampai hitam Pengendapa n Pengendapa n Pengendapa n

Filtrat (3 tetes)

Pereaksi Wagner (2 tetes) Pengendapa n Endapan cokelat Endapan warna merah/jingga Endapan warna putih/kuning


(15)

Sebanyak 1 gram serbuk simplisia disari dengan 20 ml eter selama 2 jam, disaring kemudian dilakukan pemeriksaan pada masing-masing pereaksi

dengan prosedur sebagai berikut:

1) Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Salkowsky (H2SO4

pekat). Apabila terbentuk warna merah menunjukkan adanya terpenoida/steroida.

2) Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan dengan 2 tetes pereaksi Liebermann – Bouchard. Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukkan adanya terpenoida/steroida.

3) Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan dengan 2 tetes pereaksi cerium sulfat 1%. Apabila terbentuk warna coklat menunjukkan adanya terpenoida/ steroida.

Gambar 8. Skema Pengujian Steroida-Terpenoida c. Uji Flavonoid

Filtrat

Salkowsky (2 tetes) Pereaksi

Liebermann-Burchard (2 tetes)

Penyaringan

CeSO4 1% dalam

H2SO4 10% (2

tetes) Filtrat (3 tetes) Filtrat (3 tetes) Filtrat (3 tetes)

Larutan cokelat Larutan

merah Larutan hijau

kebiru-biruan

Serbuk sampel (1gr) Ekstraksi Eter (20 ml)


(16)

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 gram lalu ditambahkan 10 ml metanol, direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling, setelah dingin ditambahkan 5 ml eter, dikocok hati-hati, lalu didiamkan sebentar. Lapisan metanolnya diambil, diuapkan pada temperatur 400C, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring. Filtratnya

digunakan untuk uji flavonoida dengan cara berikut:

1) Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering, sisanya dilarutkan dalam 2 ml etanol 95%, lalu ditambahkan 0,5 gram serbuk seng dan 2 ml asam klorida 2 N, didiamkan selama 1 menit, kemudian ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat. Jika dalam waktu 2 – 5 menitterjadi warna merah intensif menunjukkan adanya flavonoida.

2) Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering, sisanya dilarutkan dalam 2 ml etanol 95%, lalu ditambahkan 0,1 gram serbuk magnesium dan 10 tetes asam klorida pekat. Jika terjadi warna merah jingga sampai warna merah ungu menunjukkan adanya flavonoida.

3) Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering, sisanya dilarutkan dalam 2 ml etanol 95%, lalu ditambahkan pereaksi NaOH 10%. Jika terjadi warna biru violet menunjukkan adanya flavonoida.

4) Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering, sisanya dilarutkan dengan 2 ml etanol 95%, lalu ditambahkan pereaksi FeCl3 1%. Jika terjadi warna hitam menunjukkan adanya flavonoida.

5) Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering, sisanya dilarutkan dengan 2 ml etanol 95% lalu ditambahkan pereaksi H2SO4 pekat. Jika terjadi


(17)

Gambar 9. Skema Pengujian Flavonoid

d. Uji Saponin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1 – 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin.

Larutan ekstrak (1 ml)

FeCl3 1%

(3 tetes) NaOH 10% (3 tetes) Mg-HCl (3

H2SO4 (p)

(3tetes) Warna merah kekuningan Warna ungu kemerahan Warna jingga sampai merah ungu Warna merah intensif Refluksi

Serbuk sampel (0,5 gr)

Metanol 10 ml

Pengenceran filtrat

Diuapkan pada suhu 400C

Air suling 10ml

Ekstraksi

Eter (5 ml) Setelah filtrat


(18)

Gambar 10. Skema Pengujian Saponin

Analisis Data

Penentuan kandungan senyawa fitokimia dibuatkan ke dalam tabel pereaksi pengujian fitokimia, dan dicatat berdasarkan jenis-jenis jamur yang akan diujikan. Untuk mengetahui kandungan senyawa yang terdapat di dalam jamur beracun tersebut, digunakan beberapa pereaksi yang menunjukkan perubahan warna yang berbeda-beda. Bila terbentuk endapan pada reaksi (minimal setengah dari jumlah pereaksi yang digunakan untuk masing-masing pengujian), maka terdapat senyawa yang diujikan. Endapan yang terbentuk dibagi menjadi 3 bagian, yaitu sedikit endapan (+), agak banyak endapan (++), dan banyak endapan (+++). Ketiga endapan tersebut menunjukkan ada atau tidaknya senyawa yang terkandung di dalam contoh uji tersebut. Pekat dan banyaknya endapan menunjukkan banyaknya senyawa dalam pereaksi tersebut. Data yang diperoleh pada setiap jenisnya dibandingkan. Berdasarkan data tersebut dilihat jamur-jamur yang paling berpotensi untuk dikembangkan dan dibudidayakan

Air panas (10 ml) Tabung reaksi

Serbuk sampel (0,5 gr)

Pendinginan

Pengocokan 10 detik

HCl 2N (1 tetes)

Buih 10 menit;


(19)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan pengambilan sampel dan pengamatan di lapangan, diketahui bahwa Hutan pendidikan Gunung Barus memiliki luasan sekitar 1000 ha dan secara umum Hutan Pendidikan Gunung Barus memiliki batas-batas wilayah yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Tongkoh (Desa Dolat Rakyat), sebelah Barat berbatasan dengan Desa Basam, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bukum dan Desa Tanjung Barus, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Barus Julu dan Tanjung Barus. Hutan Pendidikan Gunung Barus juga berada pada ketinggian 1400-1900 meter di atas permukaan laut. Batas-batas wilayah tersebut dapat dilihat dari Gambar 11.

Gambar 11. Peta Hutan Pendidikan USU sebagai tempat penelitian (Setiawan, 2012)

Hutan Pendidikan Gunung Barus merupakan bagian dari Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Berbagai flora


(20)

yang terdapat di Hutan Pendidikan Gunung Barus tersebut meliputi tumbuhan-tumbuhan obat, pohon-pohon beserta anakannya yang sebagian besar berasal dari famili dipterocarpaceae, serta jamur-jamur hutan yang makroskopis dan mikroskopis. Jamur makroskopis yang ditemukan di lokasi penelitian, dapat tumbuh pada berbagai letak, bentuk dan warna. Beberapa jamur beracun yang ditemukan, memiliki fisik yang mencolok dan karakteristik khusus, seperti tojolan di bagian pangkal, bintik-bintik halus, warna putih polos, dan biasanya tumbuh di serasah.

Data yang didapatkan berupa data primer yaitu berupa kuisioner dari informan kunci atau responden serta tally sheet inventarisasi jamur dan data sekunder yaitu berupa peta administrasi serta studi literatur yang didapatkan melalui internet, buku, maupun jurnal ilmiah.

Aspek Ethnobotani

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis, penyebaran, pemanfaatan, dan nama lokal yang terkait dengan jamur beracun yang dieksplorasi, yaitu dengan melakukan wawancara kepada beberapa responden atau informan kunci atau melalui instansi yang terkait, botanis, serta media elektronik berupa internet. Informan kunci yang diwawancarai adalah orang tua, peramu obat, ataupun masyarakat yang mempunyai keterkaitan terhadap hutan. Data-data tentang jamur ini akan dibuktikan dengan pengujian di laboraturium, berdasarkan pada kenampakan fisik, ciri khas, dan senyawa metabolit yang terkandung di dalamnya.

Pengumpulan data-data tentang informasi desa diperoleh melalui kepala desa yang berada di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Barus. Berdasarkan


(21)

keterangan yang diperoleh, terdapat tiga suku secara umum di antaranya suku Jawa, Karo, dan Batak Toba. Ketiga masyarakat etnis tersebut masih memiliki kearifan lokal tentang pemanfaatan jamur makroskopis tersebut tetapi hanya sedikit. Biasanya masyarakat yang berada di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Barus hanya memanfaatkan jamur sebagai pangan terutama lalapan. Sebagian besar masyarakat di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Barus bermata pencarian sebagai petani (90%), selain itu ada pula bermata pencarian sebagai peternak, PNS, dan pengrajin (10%). Pada penelitian ini, hanya dua desa yang dijadikan sebagai sampel desa, yaitu Desa Basam dan Desa Barusjulu. Penelitian diawali dengan observasi lapangan dan dilanjutkan dengan wawancara kepada masyarakat desa. Wawancara dilakukan dengan memberikan kuisoner kepada 5 responden ataupun informan kunci yang masih memiliki keterkaitan dengan Hutan Pendidikan Gunung Barus. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, diketahui bahwa hanya 1 orang penduduk dari Desa Basam dan 2 orang penduduk dari Desa Barusjulu yang mengetahui keberadaan jamur makroskopis dan nama lokalnya. Menurut penduduk desa tersebut jamur beracun dapat menimbulkan bau yang agak menyengat dan membuat pusing, warnanya terang dan biasanya putih. Apabila jamur tersebut dikonsumsi, maka akan menimbulkan diare atau kehilangan cairan tubuh. Masyarakat yang berada di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Barus, lebih mengenal jamur dengan sebutan Dawan.

Setelah dilakukan wawancara, penelitian dilanjutkan dengan pengambilan sampel jamur di Hutan Pendidikan Gunung Barus. Terdapat 18 jenis jamur yang diidentifikasi. Beberapa di antaranya dapat dikonsumsi dan sebagiannya beracun. Jenis-jenis jamur tersebut antara lain :


(22)

1. Coprinus disseminatus (non-inky coprinus)

a. Karakteristik

Jamur ini memiliki caps atau kepala berwarna cokelat dan bawah tudung berwarna putih, dan bentuk kepala menyerupai setengah bola. Kepalanya memiliki diameter dengan ukuran 0,5 - 1,5 cm, sedangkan tangkainya memiliki tinggi 15-40 mm dan tebal 1-3 mm. C. disseminatus ini merupakan salah satu jamur yang dapat dikonsumsi, tetapi jarang diambil karena ukurannya yang kecil.

Gambar 12. Jamur Coprinus disseminatus

b. Habitat dan Distribusi Penyebarannya

Pada umumnya jenis jamur ini tumbuh pada ketinggian 1446 m di atas permukaan laut. Jamur ini merupakan salah satu jenis jamur yang tumbuh menempel di batang kayu yang sudah busuk. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Kuo (2008) yang mengatakan bahwa pertumbuhan jamur ini berkelompok, biasanya ratusan, dan tumbuh pada kayu yang lapuk, terutama dekat dengan dasar tunggul; musim semi, panas, dan gugur; tersebar merata di Amerika Utara. Pada


(23)

penyebarannya, jenis jamur ini berkelompok atau berkoloni dan membentuk susunan yang rapi atau bertingkat. Biasanya jamur ini tumbuh pada kondisi yang tidak mendapatkan cahaya sepenuhnya. Suhu yang sesuai dengan jamur ini yaitu 25oC dan waktu untuk tumbuh sekitar 1,3 jam. Berdasarkan data-data yang

didapatkan oleh Plant Database (2013) bahwa kondisi pH tanah yang diperlukan oleh C. disseminatus untuk tumbuh yaitu sekitar 4-7.

2. Lenzites betulina (Gilled Polypore)

a. Karakteristik

Masyarakat yang berada di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Barus mengenal jamur ini dengan sebutan Dawan Cuping, karena bentuknya yang seperti kuping. Lenzites betulina terlihat sama seperti kelompok genus Trametes atau Ganoderma. Perbedaannya terletak pada warnanya yang berwarna cokelat terang. Jamur ini memiliki tudung atau kepala atas berwarna, putih-cokelat muda dengan ukuran diameter antara 4-12 cm. Bentuknya seperti kuping dan setengah lingkaran, dengan warna yang selang-seling. Sedangkan ukuran tebalnya antara 1-4 cm. Tidak mengeluarkan bau. Namun, jika dibiarkan selama beberapa hari, akan menimbulkan bau yang menyengat. Menurut Hall et al.(2003) yang menyatakan bahwa sacara individu, tudungnya tanpa tangkai, lebarnya sekitar 3 -10 cm, berbentuk setengah lingkaran dan menyerupai ginjal, dari dekat terlihat datar. L. betulina tidak diketahui apakah dapat dikonsumsi atau tidak (dihindarkan).


(24)

Gambar 12. Jamur Lenzites betulina

b. Habitat dan Penyebaran

Pada umumnya jenis jamur ini tumbuh menempel di batang kayu yang baru tumbang dan bentuknya seperti kuping. Jamur ini terdapat pada ketinggian 1450 m di atas permukaan laut. Penyebaran jamur ini menyendiri atau berkelompok pada batang kayu yang sudah tumbang tersebut.

Kelompok Betula ini biasanya dianggap sebagai jenis pionir pada padang rumput yang ditinggalkan. Tumbuh pada tanah yang cukup asam pada batuan klastik crestaceus. Kondisi curah hujan yang cukup tinggi yaitu 3000 mm/tahun, dengan temperatur 8-10oC. Pada kondisi yang tidak ternaungi oleh tajuk pohon.

Jenis jamur ini dapat tumbuh pada ketinggian rata-rata 550 m di atas permukaan laut (1600 kaki) (Amadej, 2008).

3. Marasmius siccus (orange pinwheel)

a. Karakteristik Jamur

Jamur ini memiliki bentuk seperti payung yang pinggirannya bergerigi atau kepala bagian atas terdapat lembaran-lembaran tipis atau sekat (gills). Kepala tudung atas dan bawahnya berwarna putih kecokelatan. Jamur ini memiliki kepala atau tudung yang tipis dengan ukuran diameter sebesar 0,5-3 cm, sedangkan panjang tangkai mencapai 1-3 cm. Jamur ini tidak memiliki bau yang khas. Tekstur


(25)

tubuh buahnya sederhana dan polos. Selain itu, tangkainya tipis. Hall et al.(2003) bahwa tebal tangkainya berkisar antara 0,2-1 mm. M. siccus ini merupakan salah satu jamur yang belum diketahui apakah dapat dikonsumsi atau tidak (dihindari).

13(a) 13 (b) Gambar 13 (a) dan 13 (b) adalah jenis jamur Marasmius siccus

b. Habitat dan Penyebaran

Jenis jamur ini ditemukan pada ketinggian 1446-1850 meter di atas permukaan laut. Pada penyebarannya jamur ini menyebar dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Jamur ini merupakan salah satu jamur yang tumbuh di serasah pohon hutan atau di atas dedaunan pohon. M.siccus dapat tumbuh dengan naungan atau sedikit cahaya. Menurut Hall et al. (2003) bahwa banyak anggota dari genus ini, berasosiasi dengan daun-daun yang lapuk, serasah pinus, ranting-ranting, dan berbagai sedikit sampah tumbuhan yang lebih kecil di atas lantai hutan. Pada fase pertumbuhan, jamur ini banyak ditemukan pada curah hujan yang cukup tinggi,


(26)

yaitu dari bulan Juli hingga Oktober. Hampir semua jamur yang pertama muncul pada waktu hujan (Fontenelle nature association, 2008).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Tredway dan Lee (2013) bahwa kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan M. siccus adalah tanah berpasir dengan struktur hijau, kelebihan jerami dan akumulasi bahan organik, kadar air tanah yang berlebihan, atau kondisi yang terdefisiensi unsuh hara, terutama nitrogen.

Menurut Kuo (2012) bahwa M. siccus merupakan jamur saprofit pada serasah daun dan serpihan kayu-kayu pada hutan berdaun lebar (kadang-kadang pada daun jarum, terutama pinus putih). Biasanya tumbuh secara berkelompok, yaitu pada musim semi dan kemarau atau gugur. Penyebarannya sampai ke bagian timur Pegunungan Rocky.

4. Amanita vaginata (grisette)

a. Karakteristik

Jenis jamur ini merupakan salah satu jamur yang dapat dimakan, tetapi tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Bentuk jamur ini menyerupai payung, dengan tangkai tanpa cincin (gills). Umumnya kepala atau tudung jamur ini berwarna abu-abu, dengan tangkai berwarna putih. Bagian kepala memiliki diameter 3 -8 cm, sedangkan tinggi tangkainya mencapai 7-12 cm. Pada bagian atasnya juga terdapat bilah-bilah (gills). Tebal tangkai berkisar antara 10-15 mm.


(27)

14 (a) 14 (b)

Gambar 14. (a) Jamur Amanita vaginata tampak dari bagian samping, (b) Jamur A. vaginata tampak dari bagian atas

b. Habitat dan Penyebaran

Biasanya tumbuh dengan penyebaran yang tidak merata atau menyendiri dan dapat tumbuh serta berkembang pada serasah hutan. A. vaginata dapat tumbuh pada ketinggian 1520-1700 meter di atas permukaan laut. Kondisi cahaya yang diperlukan jamur ini untuk tumbuh adalah tidak terlalu banyak atau dengan sedikit naungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lakhanpal (2011) yang menyebutkan bahwa di dalam lembah kecil hutan, jenis-jenis jamur seperti Amanita gemmata, A. emilli, A. rubescens, A.vaginata; Cantharellus cibarius, C. minor; Craterellus cornucopoides; Lactarius hygrophoroides, L. indicus sp. nov. , L. piperatus, L. volemus; Russula brevipes, R. crustosa, R. densifolia, R. foetens and R. Subflavescens sp. nov. telah ditemukan kembali. Penampakan dari jamur-jamur yang muncul, dikendalikan oleh temperatur dan kelembaban. Di lembah kecil hutan (pada ketinggian yang lebih rendah, 5000-6000 kaki). Jenis-jenis yang muncul selama periode angin munson, muncul setelah munson di Narkanda, hutan Khadrala (pada ketinggian yang lebih tinggi, 7000-9000 kaki).


(28)

5. Amanita rubescens

a. Karakteristik

Umumnya masyarakat di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Barus mengenal jamur ini dengan sebutan Dawan Mdate atau cendawan yang tubuhnya lunak. Jenis jamur ini merupakan salah satu jenis jamur yang dapat dikonsumsi ketika dimasak. Bentuk jamur ini menyerupai payung, dengan tangkai yang berserat atau berserabut dengan warna putih. A. rubescens memiliki tudung atau kepala berwarna cokelat sampai cokelat gelap, sedangkan tangkainya berwarna cokelat terang dengan serabut berwarna putih. A. rubescens memiliki ukuran diameter tudung atau kepala 4-12 cm, yang berbentuk cembung hingga cembung melebar atau rata pada saat dewasa. Menurut Hall et al.(2003) bahwa permukaannya pucat menjadi kecokletan ketika muda, menjadi memerah dengan nuansa merah, dan bahkan cokelat kemerahan menjadi sawo matang hingga cokelat; pinggirannya secara khas tidak bergaris.


(29)

b. Habitat dan Penyebaran

Amanita rubescens dapat ditemukan di serasah hutan yang basah, dengan suhu yang rendah dan kelembaban yang cukup tinggi. Jamur ini dapat tumbuh secara individual atau menyendiri. Meskipun tidak mendapatkan cahaya yang sepenuhnya, tetapi jenis jamur ini dapat tumbuh dan berkembang.

Kondisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan A. rubescens, yaitu suhu di atas 18oC. Daerah penyebarannya di pantai eropa, yaitu

Fagus Sylvatica (Smit, 2012). A. Rubescens merupakan mikoriza pada pohon daun jarum dan pohon daun lebar, tetapi umumnya menyukai batang oaks; tumbuh pada musim semi dan gugur, kemungkinan terdapat di sebelah timur Amerika Utara (Kuo, 2008).

6. Amanita virosa

a. Karakteristik

Jenis jamur ini merupakan salah satu jamur yang beracun atau tidak dapat dikonsumsi, karena mengandung senyawa yang dapat mematikan organisme. Umumnya jamur ini berbentuk payung dengan tudung berbentuk setengah bola yang berwarna putih dan tangkai lurus berwarna putih serta dilengkapi dengan serabut halus di sekeliling tangkai. Jamur ini memiliki ukuran diameter tudung atau kepala sebesar 5-12 cm dan tinggi tangkai yaitu 8-12 cm, sedangkan tebal kepala atau tudung sebesar 0,5-1 cm. Menurut Saadatmand dan Fariba (2011) bahwa A. virosa memiliki kandungan racun yang cukup tinggi bernama Amatoxin. Amatoxin adalah racun yang sering mematikan, dan memiliki 90% kontribusi terhadap jamur-jamur beracun di dunia yang fatal bagi manusia.


(30)

Gambar 16. Jamur Amanita virosa b.Habitat dan Penyebarannya

Biasanya jamur ini tumbuh di serasah atau di bawah batang bambu. Amanita virosa tumbuh secara individual atau menyendiri. A. virosa dapat ditemukan pada ketinggian 1590-1700 meter di atas permukaan laut. Menurut Ostry et al. (2010) bahwa A. virosa ini merupakan mikoriza dengan pohon daun lebar dan pohon daun jarum. Umumnya, tumbuh dan berkembang pada musim semi dan gugur. Pada pertumbuhannya, jamur ini memerlukan cukup banyak cahaya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saadatmand dan Fariba (2011) diketahui bahwa di provinsi Gilan, pantai utara dari Iran terdapat 9 jenis jamur Amanita yang telah terdeskripsi, antara lain A. fulva, A. muscaria, A. pantherina, A. rubescens, A. spissa, A. strobiliformis A. verna and A. virosa. Kondisi umum lokasi penelitian memiliki kelembaban udara rata-rata antara 40-100% dan suhu udara 17,5 oC.

7. Scleroderma cepa


(31)

Jenis jamur ini merupakan salah satu jamur menyerupai menyerupai bola yang tidak beraturan dan berwarna abu-abu gelap atau cokelat gelap. Jamur ini tidak keras dan tidak berlendir. S. cepa memiliki akar pada bagian bawahnya, tetapi tidak memiliki tangkai (Stipe). Jamur ini tidak dapat dimakan atau beracun. Jamur ini berukuran tinggi 3-7 cm. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Wood dan Fred (2010) bahwa tubuh buah S. cepa berada sampai epigeal, ukuran diameter dari 1,5-5 cm, sedikit bulu, agak pipih dengan bentuk seperti bantal. Jamur ini merupakan salah satu jenis jamur yang tidak dapat dikonsumsi atau dicegah.

Gambar 17. Jamur Scleroderma cepa

b. Habitat dan Penyebarannya

Jamur ini ditemukan pada serasah atau lantai hutan (tanah hutan). Biasanya tumbuh pada ketinggian 1500-1800 meter di atas permukaan laut. S. cepa tumbuh secara tidak merata atau jarang-jarang. Perkembangannya terjadi pada saat awal musim penghujan. Menurut Holowko (2010) bahwa jamur bola genus


(32)

Scleroderma biasanya disebut dengan jamur bola berkulit tebal atau jamur bulat bumi. Di dalam pertumbuhannya, jamur ini berasosiasi dengan akar-akar dari berbagai jenis pohon, berhubungan dengan boletes, dan tidak berhubungan secara lengkap dengan jamur bola lainnya seperti Calvatia atau Lycoperdon. S. cepa terdapat pada area rumput, sekeliling tanaman, lapisan-lapisan yang tebal dan di bawah tegakan. Jamur ini muncul selama musim semi di dalam bulan basah dan setelah cukup air hujan. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh GBIF ( 2012) bahwa S. cepa dapat tumbuh optimal pada suhu sekitar 25, 6 oC.

8. Russula aeruginea (green russula)

a. Karakteristik

Russula aeruginea memiliki tudung dan tangkai dengan warna putih cerah. Pada fase awal, jamur ini berbentuk bulat bola. Setelah dewasa bentuknya mengembang seperti payung dimana pada bagian tudung atau kepala melengkung ke bagian atas. Jamur ini tidak berbau dan berlendir. Kepala atau tudungnya memiliki diameter sebesar 4-10 cm, sedangkan tingginya dapat mencapai 7 cm. Menurut Hall et al. (2003) bahwa R. aeruginea merupakan spesies jamur yang sangat mudah untuk diidentifikasi karena mempunyai tekstur yang terpecah disusun oleh bilah-bilah yang rapuh secara rapuh, dan biasanya tudungnya berwarna terang. Ketika masih muda, tudungnya berbentuk kubah, biasanya dengan sedikit tekukan pada bagian atasnya. Jenis jamur ini merupakan salah satu jamur yang dapat dikonsumsi, tetapi dihindarkan.


(33)

Gambar 18. Jamur Russula aeruginea

b. Habitat dan Penyebaran

Jenis jamur ini dapat ditemukan di serasah yang basah dan kaya akan bahan organik. Biasanya jamur ini tumbuh secara individu atau sendiri-sendiri. Kondisi cahaya yang diperlukan oleh R. aeruginea adalah tidak dengan naungan penuh, yaitu dengan sedikit cahaya. Hal ini didukung oleh pernyataan Hall et al.(2003) yang menyatakan bahwa semua jenis Russula membentuk assosiasi mikorizha dengan kayu dan lebar dan konifer.

9. Omphalotus nidiformis

a. Karakteristik

Jenis jamur ini merupakan salah satu jamur yang tidak dapat dikonsumsi atau beracun. Umumnya jamur ini berbentuk corong (cone) dan berwarna cokelat kekuningan. Jamur ini berwarna cokelat atau cokelat kemerahan dengan


(34)

bercak-bercak. Jamur ini tidak memiliki tangkai dan lembaran lamela (gills) seperti jamur lainnya. Sesuai dengan data-data yang didapatkan oleh Dept. of Environment and Conservation Western Australia Herbarium (2011) bahwa O. nidivormis dapat dimakan dan rasanya menarik seperti jamur tiram, tetapi sayangnya dapat menyebabkan muntah jika dimakan. Meskipun tidak baik untuk kesehatan, jamur ini sangat penting untuk kesehatan lahan semak belukar, perakaran kayu, dan daur ulang nutrisi yang diperlukan tanah untuk digunakan oleh tanaman dan lainnya.

Gambar19. jamur Omphalotus nidiformis

b. Habitat dan Penyebarannya

Jamur ini tersebar secara kelompok. Biasanya dijumpai di batang kayu tumbang. Tumbuh secara berkelompok pada satu batang dan rapat-rapat. O. nidiformis dapat ditemukan pada ketinggian 1600-1850 meter di atas permukaan laut. Biasanya jamur ini memerlukan sedikit cahaya untuk dapat tumbuh dan


(35)

berkembang. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Australia Observation (2012) diketahui bahwa O. nidiformis dapat ditemukan di Australia-Viktoria yakni pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut, dengan suhu di atas 18 oC pada

kondisi cerah. O. nidivormis biasanya ditemukan pada pohon Eucalyptus dan pohon alam lainnya seperti halnya batang dari pinus (Hall et al., 2003).

10.Psathyrella bipellis

a. Karakteristik

Jenis jamur ini merupakan salah satu jamur yang tidak dapat dikonsumsi atau beracun. Jamur ini berbentuk payung dengan tangkai yang lebih panjang. Jamur ini memiliki kepala atau tudung berwarna merah kecokelatan dan tangkai yang berwarna putih kemerahan. Menurut Kuo (2011) bahwa P.bipellis memiliki tudung dengan diameter sebesar 1-5 cm dan bentuknya cembung.

Gambar 20. Jamur Psathyrella bipellis b. Habitat dan Penyebarannya

Umumnya jenis jamur ini dapat ditemukan di serasah dan penyebarannya tidak merata. P.bipellis dapat tumbuh pada ketinggian 1650-1800 meter di atas permukaan laut. Biasanya jamur ini ditemukan pada kondisi cahaya yang agak


(36)

banyak atau sedikit terbuka. Menurut Polemis et al. (2011) bahwa P. bipellis terdapat diantara serasah daun dan sisa-sisa kayu dari pohon Olea europaea dan dibawah Quercus coccifera. Penelitian yang dilakukan memiliki kondisi curah hujan diantara 300-400 mm dan pada periode basah yang dimulai dari bulan November hingga akhir bulan Maret. Suhu rata-rata bulanan berkisar antara 12oC

hingga 25 oC.

11. Russula xerampelina

a. Karakteristik

Jenis jamur ini merupakan salah satu jamur yang tidak dapat dikonsumsi atau beracun. Umumnya jamur ini berbentuk payung dengan tangkai yang agak tebal. Jamur ini memiliki kepala atau tudung berwarna merah muda dan tangkai berwarna putih susu. Kepala atau tudungnya berukuran diameter sebesar 5-6 cm dengan bentuk seperti payung. Tangkainya agak tebal dengan tinggi sekitar 4 -5 cm. Pada pemanfaatannya dalam medis, jamur ini dapat berperan sebagai obat anti tumor atau anti parasit.


(37)

b. Habitat dan Penyebarannya

Jamur ini dapat ditemukan di serasah hutan. Menurut data yang diperoleh oleh Das (2010) bahwa jamur ini dapat tumbuh pada tanah di bawah vegetasi berdaun lebat dan pohon-pohon berdaun jarum pada bulan Juni hingga September. R. xerampelina yang ditemukan di hutan pendidikan gunung barus dapat tumbuh pada ketinggian 1650-1800 meter di atas permukaan laut. Biasanya tumbuh secara menyebar atau acak. Kondisi cahaya yang diperlukan untuk perkembangan jamur ini adalah cahaya yang tidak penuh atau sedikit naungan.

12. Auricularia auricula-judae

a. Karakteristik

Jenis jamur ini merupakan salah satu jamur yang dapat dikonsumsi, karena kandungan fitokimianya tidak memiliki pengaruh. Umumnya berbentuk kuping tanpa tangkai. Tudung bagian bawah terdapat pori-pori. Biasanya jenis jamur ini berwarna orange atau cokelat dan menempel pada batang kayu tumbang. Ukuran diameter tudung atau kepalanya sebesar 2-4 cm. Jamur ini berlendir atau mengeluarkan sedikit cairan. Menurut Das (2010) bahwa di dalam keperluan medis jamur ini dapat dimanfaatkan sebagai obat rendah kolesterol (Hypocholesterolemic).


(38)

22 a) 22 (b)

Gambar 22. (a) dan (b) adalah gambar jamur Auricularia auricula-judae b. Habitat dan Penyebarannya

Jamur ini hidup menempel di batang pohon yang telah tumbang. Jamur ini dapat tumbuh pada ketinggian 1520-1700 meter di atas permukaan laut. Biasanya jamur ini dapat tumbuh dengan naungan yang penuh, karena menempel pada batang pohon. A.auricula-judae tumbuh secara berkelompok atau clusters.

13. Amanita sp1.

a. Karakteristik

Umumnya masyarakat Hutan Pendidikan Gunung Barus mengenal jamur ini sebagai Dawan Ermbuluh, karena jamur ini memiliki buluh di tubuh buahnya. Jenis jamur ini berbentuk payung. Kepala atau tudung berwarna abu-abu gelap dan tangkai berwarna putih dengan serabut atau serat. Tinggi batangnya dapat mencapai 14 cm, dengan diameter tudung sekitar 3-5 cm. jika dilihat dari jauh warnanya mencolok. Amanita sp1. tidak mengeluarkan lendir. Pada bagian volva terbentuk tonjolan, tetapi tidak terdapat cincin di batang. Pada bagian tudung bawah terdapat lamela atau sekat-sekat (gills) berwarna putih.


(39)

Gambar 23. Jamur Amanita sp. b. Habitat dan Penyebarannya

Biasanya jamur ini tumbuh pada lantai hutan atau serasah. Penyebarannya tidak merata atau acak (random). Amanita sp1. dapat tumbuh dengan kondisi yang mendapat naungan, tetapi tidak penuh. Biasanya dapat ditemukan pada ketinggian 1540-1700 m di atas permukaan laut. Jamur ini tumbuh dekat dengan tegakan Dipterocarpaceae.

14. Amauroderma sp.

a. Karakteristik

Masyarakat Karo sekitar Hutan Pendidikan Gunung Barus menyebut jamur ini dengan dawan Mbiring, karena jamur ini berwarna hitam dan bertuknya tidak beraturan. Jamur ini tidak dimanfaatkan secara khusus oleh masyarakat. Amauroderma sp. memiliki tubuh buah yang cukup keras. Jenis jamur ini berbentuk payung dengan kepala dan tangkai yang berwarna hitam gelap. Hanya saja kepalanya tidak beraturan dan agak keras, sedangkan tangkainya lebih tipis. Jenis jamur ini merupakan salah satu jamur yang dapat berpotensi sebagai anti hama, karena mengandung alkaloida. Tinggi tubuh buahnya dapat mencapai 14 cm. Kepala atau tudungnya memiliki diameter dengan ukuran antara 5-8 cm.


(40)

Gambar 24. Jamur Amauroderma sp. b. Habitat dan Penyebarannya

Amauroderma sp. dapat tumbuh di tanah hutan yang mesih terdapat serasah daun. Jamur ini biasanya tumbuh menyendiri atau individual (soliter). Kondisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan jamur ini adalah cahaya yang cukup banyak. Biasanya jamur ini dapat ditemukan pada ketinggian 1542-1600 m di atas permukaan laut.

15. Marasmius sp.

a. Karakteristik

Kepala bagian atasnya berwarna kuning dan agak kenyal, sedangkan tangkainya berwarna putih. Kepalanya berukuran diameter antara 3-6 cm dan tebal 1-2 mm. tangkainya kecil dengan tinggi sekitar 1-3 cm. pada bagian tudung / kepala bagian atas memiliki sekat-sekat halus atau gills dengan lekukan ke bagian dalam pada tengahnya.

25 (a) 25 (b)

Gambar 25 (a) dan (b) merupakan jamur Marasmius sp.


(41)

Jamur ini dapat ditemukan di serasah maupun batang pohon yang telah tumbang. Umumnya tumbuh secara berkoloni. Biasanya tumbuh pada tahun dengan jumlah bulan basah yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Warren (1992) bahwa tergantung pada jenis, pembuahan Marasmius sp.dapat terjadi dari periode pertengahan Juni hingga Oktober di dalam kondisi basah. Marasmius sp. muncul secara tiba-tiba setelah atau selama hujan turun. Pada kenyataannya jamur tersebut telah hadir, layu dan kering, menunggu kondisi air yang membasahi, segar kembali, dan melepaskan spora.

16.Marasmiellus candidus

a. Karakteristik

Jamur ini berbentuk payung dengan kepala dan tangkai berwarna putih susu. terdapat lendir pada bagian tubuh buahnya. M. candidus memiliki sedikit cairan. Tingginya dapat mencapai 2 cm, sedangkan kepala atau tudungnya memiliki diameter dengan ukuran 1-4 cm.

26 (a) 26 (b)

Gambar 26 (a) dan (b) merupakan jenis jamur Marasmiellus candidus


(42)

Umumnya terdapat pada batang pohon yang tumbang yang basah. Jamur ini tumbuh secara berkelompok atau membentuk koloni. Biasanya ditemukan pada ketinggian 1588-1600 m di atas permukaan laut. Kondisi yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur ini adalah sedikit cahaya dengan tutupan naungan. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Ceska (2011) bahwa M. candidus dapat tumbuh pada hutan Thuja atau pohon daun jarum.

17.Amanita sp2.

a. Karakteristik

Jamur ini berbentuk payung. Kepala atau tudungnya berwarna abu-abu kecokelatan. Pada bagian tangkainya terdapat cincin. Kepalanya memiliki ukuran diameter sebesar 5-9 cm, sedangkan tingginya mencapai 14 cm.

27 (a) 27 (b)


(43)

b. Habitat dan Penyebarannya

Umumnya jenis jamur ini dijumpai pada serasah hutan. Biasanya ditemukan pada ketinggian 1650-1700 m di atas permukaan laut. Kondisi cahaya yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur ini adalah cahaya yang sedikit atau dengan naungan yang tidak terlalu rapat.

18. Peniophora rufa

a. Karakteristik

Jamur ini mirip seperti jenis Coprinus disseminatus, tetapi berwarna kuning tua (orange) dan lebih kecil dan halus, serta populasinya yang lebih sedikit. Ukuran tubuh buahnya kecil dengan diameter antara 0,5-1,5 cm. P. rufa dan tidak memiliki tangkai.

Gambar 28. Peniophora rufa b. Habitat dan Penyebarannya


(44)

Biasanya ditemukan pada batang pohon. Tumbuh secara bergerombol atau berkelompok dengan membentuk koloni. Kondisi cahaya yang diperlukan adalah sedikit atau tidak penuh. Biasanya ditemukan pada ketinggian 1800-1900 m di atas permukaan laut. Hal ini didukung oleh pernyataan Perala (2003) bahwa beberapa jenis jamur pada batang kayu di Pegunungan Aspen seperti Radulodon caesearius, Peniophora polygonia, P. rufa, and Pholiota adipos. Pegunungan Aspen memiliki suhu sebesar 16 oC pada bulan Juli, presipitasi sebesar 180 mm. Ketinggian daerah

Quaking Aspen adalah 910 m di atas permukaan laut.

Tabel 1. Jenis-jenis Jamur Makroskopis yang Ditemukan di Hutan Pendidikan Gunung

Barus

No. Kelas Ordo Family Spesies Nama Lokal Keterangan

1 Basidiomycetes Polyporales Polyporaceae Lenzites betulina Dawan Cuping di batang kayu tumbang 2 Basidiomycetes Popyporales Ganodermataceae Amauroderma sp. Dawan Mbiring di serasah atau tanah hutan 3 Basidiomycetes Agaricales Coprinaceae Coprinus disseminatus - di batang kayu hidup

4 Agaricomycetes Agaricales Amanitaceae Amanita vaginata - di serasah

5 Agaricomycetes Agaricales Amanitaceae Amanita rubescens Dawan Mdate di serasah

6 Agaricomycetes Agaricales Amanitaceae Amanita virosa - di serasah

7 Agaricomycetes Agaricales Amanitaceae Amanita sp1. Dawan Ermbuluh di serasah atau tanah hutan

8 Agaricomycetes Agaricales Marasmiaceae Marasmius siccus - di serasah pohon

9 Agaricomycetes Agaricales Marasmiaceae Marasmius sp. - di serasah atau batang kayu 10 Agaricomycetes Agaricales Marasmiaceae Marasmiellus candidus - di batang kayu tumbang

11 Agaricomycetes Agaricales Amanitaceae Amanita sp2. - di serasah

12 Agaricomycetes Agaricales Marasmiaceae Omphalotus nidivormis - di batang kayu tumbang 13 Agaricomycetes Agaricales Psathyrellaceae Psathyrella bipellis - di serasah

14 Agaricomycetes Russulales Russulaceae Russula aeruginea - di serasah

15 Agaricomycetes Russulales Russulaceae Russula xerampelina - di serasah

16 Agaricomycetes Russulales Peniophoraceae Peniophora rufa - di batang kayu hidup

17 Agaricomycetes Auriculariales Auriculariaceae Auricularia auricula-judae

- di batang kayu tumbang 18 Agaricomycetes Boletales Sclerodermataceae Scleroderma cepa - di serasah atau tanah hutan

Berdasarkan hasil pengambilan sampel di Hutan Pendidikan Gunung Barus diperoleh 5 famili Amanitaceae, 4 famili Marasmiaceae, 2 famili Russulaceae, 1 famili Polyporaceae, 1 famili Ganodermataceae, 1 famili Coprinaceae, 1 famili Psathyrellaceae, 1 famili Peniophoraceae, 1 famili Auriculariaceae, dan 1 famili Sclerodermataceae. Menurut Tampubolon (2010) bahwa ordo Agaricales adalah kelompok jamur yang paling familiar dengan bentuk seperti payung. Bagian bawah


(45)

payung terdiri atas bilah-bilah atau gills yang tersusun radial. Ditambahkan oleh Alexopoulus & Mimms (1979), anggota ordo Agaricales sangat banyak dan kompleks, kelompok ini umum disebut Mushroom atau cendawan. Cendawan adalah kelompok jamur yang berdaging, terkadang sedikit kenyal. Bagian yang membentuk spora disebut sporofor tempat terdapatnya basidia pada bilah-bilah atau gill dan bisa juga berupa lubang-lubang kecil (pores) seperti pada famili Boletaceae.

Polyporaceae merupakan salah satu kelompok terbesar yang memiliki banyak warna, bentuk dan ukuran. Polypores kebanyakan tumbuh pada kayu. Tubuh buahnya berkayu, tebal dan kasar. Basidiomycetes memiliki spora yang disebut basidiospora. Sebagian besar makrofungi yang kita kenal adalah Basidiomycota (Gandjar et al., 2006). Kebanyakan anggota Basidiomycetes adalah cendawan, jamur payung, dan cendawan berbentuk bola yang disebut juga jamur berdaging.

Analisis Keanekaragaman Jenis Jamur Beracun di Hutan Pendidikan Gunung Barus

Karakteristik jamur yang tumbuh di hutan pegunungan memiliki ciri khas yang berbeda-beda di setiap ketinggian. Semakin tinggi kondisi lokasi, maka semakin banyak jenis dan jumlah individu jamur yang ditemukan. Di samping itu, pengamatan dilakukan pada musim hujan, sehingga jumlah individu setiap jenis jamur yang diperoleh cukup sedikit. Curah hujan yang cukup tinggi akan membawa tubuh jamur bersamaan dengan aliran permukaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arif et al. (2008) yang menyatakan bahwa kondisi iklim dan letak geografis yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pada pertumbuhan


(46)

mikroorganisme. Ditinjau dari kerusakan akibat pelapukan jamur, temperatur dan curah hujan merupakan faktor iklim yang penting. Pada pelaksanaan analisis vegetasi yang dilakukan, metode yang digunakan adalah Purposive Sampling, dengan bentuk petak ukur persegi yang berukuran 10 m x 10 m. Sampel yang diambil didokumentasikan dengan kamera digital dan dihitung jumlahnya sesuai dengan masing-masing patak ukur yang digunakan, setelah itu dianalisis keanekaragamannya berdasarkan indeks shannon-wiener. Berdasarkan pengambilan sampel dilapangan diperoleh analisis data pada Tabel 2.

Tabel 2. Data analisis vegetasi jamur di Hutan Gunung Barus seluas 1000 ha, dengan

ukuran plot sebesar 10m x 10m Nama Jenis

Jumlah individu

K

Jenis KR F FR INP

Marasmius siccus 349 698 43,68 0,62 24,8 68,48 Scleroderma cepa 18 36 2,25 0,12 4,8 7,05 Lenzites betulina 47 94 5,88 0,2 8 13,88 Auricularia auricula-judae 25 50 3,13 0,06 2,4 5,53

Amanita vaginata 37 74 4,63 0,2 8 12,63

Amanita sp1. 36 72 4,51 0,16 6,4 10,91 Amanita rubescens 14 28 1,75 0,08 3,2 4,95 Amauroderma sp. 10 20 1,25 0,08 3,2 4,45

Marasmius sp 47 94 5,88 0,18 7,2 13,08

Russula aeruginea 35 70 4,38 0,16 6,4 10,78 Marasmiellus candidus 11 22 1,38 0,06 2,4 3,78

Amanita virosa 15 30 1,88 0,1 4 5,88

Omphalotus nidiformis 66 132 8,26 0,06 2,4 10,66 Coprinus disseminatus 15 30 1,88 0,04 1,6 3,48 Russula xerampelina 32 64 4,01 0,18 7,2 11,21 Psathyrella bipellis 27 54 3,38 0,1 4 7,38

Amanita sp2. 4 8 0,5 0,04 1,6 2,1

Peniophora rufa 11 22 1,38 0,06 2,4 3,78

799 1598 100 2,5 100 200,01


(47)

Berdasarkan data analisis vegetasi yang terdapat pada Tabel 2, diperoleh bahwa nilai H’ yang didapatkan adalah sebesar 2,18. Menurut Asrianny et al.(2009) bahwa H’ < 1 menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang rendah,1 < H’ < 3 menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang sedang, sedangkan untuk H’ > 3 menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis jamur di Hutan Pendidikan Gunung Barus tergolong sedang produktivitasnya, karena beberapa faktor yang kurang mendukung pertumbuhannya, baik itu suhu, kelembaban, pH tanah, vegetasi penutup, intensitas cahaya, maupun ketersediaan oksigen. Menurut Tarmedi (2006) bahwa suhu dan kelembaban merupakan unsur iklim yang sangat mempengaruhi proses infeksi Cendawan Miokoriza Arbuskular. Suhu tanah 250C - 300C

merupakan suhu optimum untuk perkembangan dan keefektifan CMA. Suhu pada Hutan Sub Pegunungan sekitar 190C, sehingga dengan kondisi suhu yang berada di

bawah suhu optimum menyebabkan nilai infeksinya rendah. Di samping itu, pertumbuhan vegetasi yang kurang normal dan rendahnya jumlah vegetasi juga mempengaruhi pertumbuhan jamur makroskopis, karena sebagian besar jamur tumbuh menempel pada batang pohon atau sekitar perakaran pohon.

Indeks nilai penting merupakan total penjumlahan antara parameter kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif. Akan tetapi pada penelitian ini, objek yang diamati adalah jamur, dimana jamur tergolong ke dalam hasil hutan non kayu. Sehingga nilai dominansi relatif tidak dihitung. Indeks nilai penting menunjukkan kelimpahan jenis jamur yang mendominasi hutan Pendidikan Gunung Barus. Sesuai dengan pengamatan yang dilakukan di lapangan, maka jumlah jenis individu jamur yang memiliki INP tertinggi pada areal tersebut adalah


(48)

jenis Marasmius siccus yaitu sebesar 68.48, karena hampir di setiap petak ukur terdapat jenis ini. Sedangkan jenis jamur yang memiliki INP yang paling rendah adalah jenis Amanita sp2. yaitu sebesar 2.1. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi tempat tumbuh yang kurang mendukung pertumbuhan jenis jamur makro ini. Jenis Marasmius siccus dan Lenzites betulina mampu tumbuh dan berkembang dengan cepat, sehingga lebih mendominasi pertumbuhan jamur lainnya.

Berikut ini adalah Gambar 29. yang menunjukkan sebaran potensi jamur di Hutan Pendidikan Gunung Barus.


(49)

Gambar 29. Peta Sebaran Potensi Jamur Beracun di Hutan Pendidikan Gunung Barus


(50)

Dari peta di atas dapat dilihat bahwa banyaknya plot menunjukkan jumlah jenis dan individu jamur makroskopis yang tumbuh. Jamur dapat tumbuh pada kondisi optimum yang mendukung pertumbuhan jamur, seperti curah hujan yang cukup tinggi, suhu udara, kelembaban, vegetasi, cahaya, serta faktor lainnya. Adanya pengaruh antara tinggi tempat dengan kondisi lingkungan, juga menyebabkan banyaknya jamur yang tumbuh dan berkembang. Pada ketinggian di antara 1600-1900 meter di atas permukaan laut lebih banyak ditemukan jamur makroskopis. Semakin tinggi lokasi, maka akan semakin rendah suhu udara dan semakin tinggi kelembaban udara. Menurut Gartz (1927) bahwa selama musim panas, iklim hangat di dalam area yang basah menyediakan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan miselia yang optimal. Di Jerman, habitat jamur yaitu dari area pantai hingga daerah pegunungan, dimana jenis-jenis jamur dapat ditemukan pada ketinggian di atas 1720 m di atas permukaan laut. Di Czechoslovakia, sampel telah dikoleksi pada ketinggian yang berkisar antara 330 m hingga 1000 m di atas permukaan laut.

Hutan Pendidikan Gunung Barus terdiri dari beberapa jenis vegetasi dari tingkat dari semai hingga pohon, sehingga dapat ditemukan beberapa jenis jamur dapat bersimbiosis dengan vegetasi tersebut, baik simbiosis mutualisme maupun parasitisme. Sebagian besar jamur beracun tergolong ke dalam ektomikoriza, dan terdapat di sekitar perakaran pohon. Menurut Suharna (1993) bahwa beberapa jamur anggota kelompok jamur beracun bisa bersimbiosis dengan akar-akar tanaman tinggi (khususnya pepohonan). Kerapatan vegetasi juga mempengaruhi cahaya yang masuk ke dalam lantai hutan. Pertumbuhan jamur juga memerlukan cahaya yang tidak terlalu banyak maupun terlalu sedikit, karena cahaya yang terlalu


(51)

banyak dapat merusak jaringan, sedangkan cahaya yang terlalu sedikit dapat memperlambat pertumbuhan jamur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chang dan Philip (2004) yang menyatakan bahwa pertumbuhan banyak jamur tidak sensitif terhadap cahaya, meskipun cahaya yang kuat dapat menghambat atau bahkan membunuh jamur. Cahaya juga menjadi syarat untuk perkembangan beberapa jamur dari perkembangan tubuh buah. Sedangkan menurut Tarmedi (2006) bahwa pada hutan sub pegunungan, intensitas cahaya yang sampai ke lantai hutan rendah, hal ini dipengaruhi oleh adanya kerapatan tajuk. Kondisi seperti ini menyebabkan kelembabannya cukup tinggi dan suplai oksigen di dalam tanah rendah. Sehingga menyebabkan infeksi mikorizanya rendah.

Penelitian dilakukan pada saat kondisi hujan yang cukup panjang, yaitu pada bulan Agustus – Oktober. Hujan yang terlalu tinggi akan meningkatkan aliran permukaan tanah dan dapat merusak bagian tubuh jamur. Oleh sebab itu, perlu kondisi optimum untuk pertumbuhan jamur, dimana jumlah bulan basah yang tidak terlalu banyak. Menurut Heri (2009) menyebutkan bahwa jamur perusak kayu dapat berkembang pada interval suhu yang cukup lebar, tetapi pada kondisi-kondisi alami perkembangan yang paling cepat terjadi selama periode-periode yang lebih panas dan lebih lembab dalam setiap tahun. suhu optimum berbeda-beda untuk setiap jenis, tetapi umumnya berkisar antara 220C sampai 350C. Menurut Gartz

(1927) bahwa jamur makro khususnya, dapat tumbuh dengan baik pada bulan May hingga Juni.


(52)

Analisis Fitokimia Jamur Beracun yang terdapat di Hutan Pendidikan Gunung Barus

Pengujian fitokimia dilakukan pada 14 jenis jamur yang telah dipilih dari Hutan Pendidikan Gunung Barus, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Ke 14 jenis jamur makroskopis tersebut dipilih berdasarkan jumlahnya yang dapat mencukupi sebagai bahan fitokimia. Pada masing-masing contoh uji memiliki berat yang sesuai dengan kriteria pengujian agar dapat dilakukan pengujian tersebut. Menurut Kusumo et al.(2002) bahwa eksplorasi dan koleksi plasma nutfah disertai dengan menggali keterangan dari petani yang berkaitan dengan kriteria preferensi petani terhadap varietas tanaman yang bersangkutan. Di samping itu, benihnya harus sehat dan jumlahnya mencukupi.

Sebelum dilakukan skrining fitokimia, jamur-jamur telah diidentifikasi dan dikering udarakan hingga kadar airnya menjadi rendah. Pengeringan dilakukan untuk mempermudah penghalusan sampel jamur tersebut. Sampel yang telah dihaluskan, dapat dicampurkan dengan pereaksi-pereaksi kimia untuk mendapatkan kandungan fitokimianya. Skrining fitokimia bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam jamur tersebut. Senyawa-senyawa tersebut meliputi Alkaloid, Flavonoid, Steroid-Terpenoid, dan Saponin. Pengujian dilakukan pada masing-masing spesies jamur . Jamur yang mengandung senyawa tersebut, ditandai dengan adanya minimal dua pereaksi yang bernilai positif. Pada pengujian saponin hanya digunakan satu pereaksi.


(53)

Tabel 3. Hasil Skrining Fitokimia Jamur Beracun di Hutan Pendidikan Gunung Barus

No. Jenis Jamur

Alkaloid Flavonoid Steroid-Terpenoid Saponin

Mayer Wagner Bouchardart Dragendorf FeCl3 1% NaOH

10% Mg-HCl

H2SO4

(p) Salkowsky

Lieberman Bouchard CeSO4 1% dalam H2SO4 10% Aquadest + Alkohol

1 Marasmius siccus + - - + - - - -

2 Scleroderma cepa - - + + - - - +

3 Lenzites betulina + + - - - -

4

Auricularia

auricula-judae + - - - -

5 Amanita vaginata + - - - -

6 Amanita sp1. + + + + - - - +

7 Amanita rubescens + - + ++ - - - +

8 Amauroderma sp. - - + + - - - -

9 Marasmius sp. - - - -

10 Russula aeruginea - + - - - +

11 Amanita virosa + - - + - - - -

12 Omphalotus nidiformis + - - - +

13 Russula xerampelina - + + + - - - + - - - -

14 Psathyrella bipellis + + + + - - - + - - - +

Keterangan :

Wagner : KI + Aquadest + Iodium + : Terdapat sedikit zat kimia (endapan sedikit)

Mayer : HgCl2 + Aquadest + KI ++ : Terdapat agak banyak zat kimia (endapan sedang)

Bouchardart : KI + Aquadest + Iodium +++ : Terdapat sangat banyak zat kimia (endapan banyak dan pekat)

Dragendorf : BiNO3 + HNO3 + KI + Aquadest - : Tidak terdapat zat kimia

Salkowsky : H2SO4 (p)


(54)

Setelah dilakukan pengujian di laboraturium, didapatkan hasil uji Alkaloid yang menyatakan bahwa jenis yang mengandung senyawa alkaloid tersebut di antaranya adalah Marasmius siccus, Scleroderma cepa, Lenzites betulina, Amanita sp1., Amanita rubescens, Amauroderma sp., Amanita virosa, Russula xerampelina, dan Psathyrella bipellis. Kandungan senyawa Alkaloida berperan sebagai penurun aktivitas makan pada organisme (antifeedant). Hal ini menunjukkan kesembilan jenis jamur ini dapat dijadikan sebagai anti hama. Menurut Taofik (2010) yang menyatakan bahwa salah satu alkaloid yang mempunyai struktur tersederhana adalah nikotina, tetapi nikotina ini dampak fisiologinya cukup besar. Dalam dosis tinggi, nikotina bersifat racun (toksik) dan pernah juga digunakan sebagai insektisida, sedangkan dalam dosis rendah nikotina berfungsi sebagai stimulan terhadap sistem syaraf otonom. Menurut Dinas Pertanian TPH Kabupaten Grobogan (2012) menyatakan bahwa nikotin merupakan racun syaraf yang bereaksi cepat. Nikotin berperan sebagai racun kontak bagi serangga sehingga efektif untuk mengendalikan hama pengisap juga serangga seperti: ulat perusak daun, aphids, triphs, dan pengendali jamur (fungisida).

Pada hasil pengujian flavonoid yang dilakukan dengan menggunakan empat pereaksi, diketahui bahwa semua jenis jamur tidak memiliki senyawa flavonoid sama sekali. Kandungan flavonoid berfungsi sebagai antimikroba dan antivirus. Oleh karena itu, seluruh jenis jamur yang didapatkan tidak dapat dijadikan sebagai antimikroba. Hal ini membuktikan bahwa ke 14 jamur tersebut tidak dapat dijadikan sebagai antimikroba atau antivirus.

Untuk pengujian Steroida dan Terpenoida, didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada senyawa steroid dan terpenoid yang terkandung di dalam jamur yang diuji.


(55)

Pada umumnya kandungan steroida berperan sebagai pelindung pelindung dan penolak serangga. Menurut Robinson (1995) bahwa beberapa senyawa ini jika terdapat dalam tumbuhan akan dapat berperan menjadi pelindung. Senyawa ini tidak hanya bekerja menolak beberapa serangga tetapi juga menarik beberapa serangga lain, sedangkan terpenoida dapat menolak beberapa serangga pada tanaman melalui ekstraksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Budianto dan Tukiran (2012) yang mengatakan bahwa senyawa triterpenoid merupakan senyawa yang bersifat repellent (penolak serangga), sehinga sering dimanfaatkan sebagai insektisida.

Sedangkan pada pengujian Saponin, diperoleh data bahwa terdapat

kandungan saponin pada beberapa jenis jamur seperti Scleroderma cepa, Amanita sp1., Amanita rubescens, Russula aeruginea, Omphalotus nidiformis, dan

Psathyrella bipellis. Kandungan senyawa saponin berperan sebagai penghancur sel-sel darah merah pada organisme, sehingga dapat dijadikan sebagai racun bagi organisme. Menurut Claus (1961) bahwa saponin dikarakteristikan dengan pembentukan solusi koloidal di dalam air yang berbusa ketika dikocok; mereka mengandung rasa yang lebih pahit, aroma yang tajam, dan racun-racun yang berisikan mereka yang biasanya menyebabkan bersin dan lainnya menyebabkan iritasi ke selaput membran; mereka menghancurkan sel-sel darah merah melalui hemolisis dan mereka beracun, terutama pada hewan-hewan yang berdarah dingin, banyak yang telah digunakan sebagai racun ikan.

Potensi Pengembangan Biopestisida yang Berasal dari Senyawa Fitokimia


(56)

Beberapa tumbuhan memiliki senyawa metabolit sekunder yang berfungsi untuk mempertahankan siklus hidupnya. Senyawa metabolit sekunder tersebut dapat mematikan atau menghindarkan diri dari gangguan organisme lainnya melalui serangkaian proses. Oleh sebab itu, jamur yang didapatkan di Hutan Pendidikan Gunung Barus dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan jamur beracun dapat dilakukan melalui proses ekstraksi. Ekstraksi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengeluarkan kandungan senyawa yang terdapat di dalam tubuh buah tanaman.

Tabel 4. Analisis Potensi Jamur Beracun dan Pemanfaatannya sebagai Biopestisida

No Nama Jenis Senyawa Fitokimia

Pemanfaatan

Alkaloid Flavonoid

Steroid-Terpenoid

Saponin

1 Marasmius siccus √ Larvasida, Fungisida,

Rodentisida, , Moluskida

2 Scleroderma cepa √ √

Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Pisisida, Avisida,

Moluskida,Bakterisida

3 Lenzites betulina √ Larvasida, Fungisida,

Rodentisida, Moluskida 4 Auricularia auricula-judae

5 Amanita vaginata

6 Amanita sp1. √ √

Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Pisisida, Avisida, Moluskida, Bakterisida

7 Amanita rubescens √ √

Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Pisisida, Avisida, Moluskida, Bakterisida

8 Amauroderma sp.

Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Moluskida, Bakterisida

9 Marasmius sp.

10 Russula aeruginea √ Avisida, Muluskida,

Bakterisida

11 Amanita virosa √ Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Moluskida

12 Omphalotus nidiformis √ Avisida, Muluskida

13 Russula xerampelina

Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Moluskida, Bakterisida

14 Psathyrella bipellis √ √

Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Pisisida, Avisida, Moluskida, Bakterisida

Keterangan : √ = terdapat senyawa Fitokimia

Dilihat dari analisis fitokimia di atas, beberapa jamur beracun tersebut memiliki potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai biopestisida, karena


(57)

kandungan senyawa metabolit sekunder yang dimilikinya. Namun, terdapat 3 jenis jamur yang tidak memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder, sepert Auricularia auricula-judae, Marasmius sp., dan A. vaginata. Hal ini belum menunjukkan bahwa jamur tersebut tidak dapat dijadikan sebagai biopestisida, karena masih terdapat senyawa lainnya yang tergolong ke dalam senyawa tersebut. Senyawa-senyawa metabolit tersebut memiliki peranannya masing-masing di dalam menghindari organisme yang mengganggunya. Ada 4 jenis jamur yang memiliki lebih banyak kandungan senyawa tersebut, diantaranya : S. cepa, Amanita sp1, A. rubescens, dan P. bipellis.

Potensi Budidaya Jamur Beracun yang Terdapat di Hutan Pendidikan Gunung Barus

Ditinjau dari segi potensi pengembangan dan aspek keanekaragamannya, Jamur Amanita sp1. dan P. bipellis dapat dibudidayakan di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Barus. Hal ini disebabkan karena kedua jenis jamur ini memiliki indeks nilai penting yang tidak terlalu rendah. Untuk membudidayakan jamur tersebut, diperlukan kesesuaian antara lingkungan dengan kemampuan tumbuh dan berkembangnya jamur beracun tersebut. Pembudidayaannya dapat dilakukan secara vegetatif yaitu dengan mengambil bagian tubuh buah dan dibiakkan ke dalam kultur. Setelah dewasa dapat dipindahkan ke media tumbuh seperti sekam padi, serpihan kayu, dan sebagainya yang dicampurkan dengan substrat tumbuh jamur.


(58)

Substrat yang diperlukan adalah serasah atau tanah yang mengandung bahan organik yang cukup banyak dan berasosiasi dengan akar pohon dipterocarpaceae. Umumnya Amanita sp1. dapat tumbuh secara menyebar atau jarang-jarang. Tidak terdapat cincin pada batang Amanita sp. Kondisi Suhu di lokasi penelitian mendukung pertumbuhan miselia jamur ini, karena pertumbuhan miselium spesies jamur ini berkisar antara 20-30 oC. Menurut Brundrett et al. (1995) bahwa

biakan-biakan Amanita sp. biasanya diinkubasi pada suhu 20-25 oC, tetapi laju

pertumbuhan pada suhu ini adalah untuk subkultur segar yang akan dibuat setiap 8 -12 minggu, sebelum nutrisi di dalam media dilengkapi secara lengkap atau akumulasi substansi terhambat. Laju pertumbuhannya termasuk sedang atau dengan faktor-faktor tumbuh. Pembudidayaannya dapat dilakukan dengan menumbuhkan miselianya. Miselia Amanita sp1. berwarna putih atau sedikit warna lain. Menurut Hall et al. (2003) bahwa jamur Amanita sp1. dapat ditanam pada tray kayu yang berisi kompos, kantong, ataupun di dalam rak. Sterilisasi media diperlukan suhu sebesar 50-60 oC dari 5 hingga 8 hari. Di dalam tahap ini, status

nutrisi dari substrat diubah menjadi kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan jamur Amanita sp1. Kondisi yang diperlukan untuk berbuah adalah suhu antara 16 -20 0C

dengan kelembaban yang tingggi, dan rendah karbon. Psathyrella bipelis

Jamur ini tidak memiliki cincin, tetapi memiliki rambut pada bagian tudungnya. P. bipelis merupakan salah satu jamur yang tidak dapat dikonsumsi atau beracun. Jamur ini berbentuk payung dengan tangkai yang lebih panjang dan cembung. Jamur ini memiliki kepala atau tudung berwarna merah kecokelatan dan tangkai yang berwarna putih kemerahan. Substrat yang diperlukan untuk


(59)

pertumbuhan jamur P. bipelis adalah tanah yang banyak mengandung bahan organik ataupun serasah yang lembab. Pada tahap pemijahan (Spawning) dapat menggunakan serbuk gergaji kayu maupun butir-butir jagung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ayode et al. (2010) bahwa pada tahap pemijahan, jamur-jamur muncul pada butir-butir jagung Guinea dan serbuk gergaji dari kayu Gmelina arborea.

Biasanya jamur ini ditemukan pada kondisi cahaya yang agak banyak atau dengan tutupan tajuk yang tidak terlalu rapat. Menurut Ayodele et al.(2010) yang menyatakan bahwa rata-rata hari dari kolonisasi miselia lengkap dan sporofor kritis di bawah cahaya matahari ditemukan lebih lama pada Psathyrella sp. (22 dan 41 hari berturut-turut), sedangkan di bawah stres kekeringan lebih lama pada Pleurotus sajor-caju (17 dan 42 hari berturut-turut).


(60)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Terdapat 18 jenis jamur yang ditemukan di hutan pendidikan gunung Barus dan 14 diantaranya dilakukan pengujian fitokimia yaitu Marasmius siccus (Alkaloid), Scleroderma cepa (Alkaloid, Saponin), Lenzites betulina (Alkaloid), Auricularia auricula-judae, Amanita vaginata, Amanita sp1.(Alkaloid, Saponin),

Amanita rubescens (Alkaloid, Saponin), Amauroderma sp.(Alkaloid), Marasmius sp., Russula aeruginea (Saponin), Marasmiellus candidus, Amanita

virosa (Alkaloid), Omphalotus nidiformis (Saponin), Coprinus disseminatus, Russula xerampelina (Alkaloid), Psathyrella bipellis (Alkaloid, Saponin), Amanita sp2, dan Peniophora rufa. Pada pengujian fitokimia yang dilakukan, ada 3 jenis jamur yang tidak mengandung senyawa metabolit sekunder, diantaranya : Amanita vaginata, Auricularia auricula-judae, dan Marasmius sp.

Berdasarkan indeks nilai penting (INP) diperoleh bahwa jenis yang memiliki INP tertinggi adalah Marasmius siccus dengan nilainya yaitu sebesar 68,48, sedangkan jenis yang memiliki INP terendah adalah Amanita sp2. dengan nilainya yaitu sebesar 2,1. Pada tingkat keanekaragaman jenis (H’), jamur makroskopis ini tergolong sedang yaitu sebesar 2,18.

Dilihat dari analisis fitokimia yang dilakukan, ada 4 jenis jamur yang memiliki senyawa metabolit sekunder yang lebih kompleks, yaitu : S. cepa, Amanita sp1, A. rubescens, dan P. Bipellis, sehingga keempat jenis jamur tersebut berpotensi sebagai biopestisida. Jenis jamur Amanita sp1 dan Psathyrella bipellis memiliki potensi untuk dibudidayakan di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Barus,


(61)

karena memiliki kelimpahan jenis yang cukup tinggi dan kesesuaian kondisi lingkungan dengan pertumbuhannya.

Saran

Sebaiknya dilakukan pengujian lanjutan tentang kandungan senyawa lainnya dan diujikan pada beberapa organisme sehingga dapat diketahui pengaruh dan aplikasinya terhadap organisme tersebut. Selain itu, perlu dilakukan pengamatan yang intensif terhadap pertumbuhan jamur beracun di lapangan maupun di laboraturium untuk mengetahui faktor-faktor pertumbuhan dan perkembangbiakannya.


(62)

TINJAUAN PUSTAKA

Eksplorasi Jamur

Eksplorasi adalah kegiatan pelacakan atau penjelajahan guna mencari, mengumpulkan, dan meneliti jenis plasma nutfah tertentu untuk mengamankan dari kepunahan. Langkah pertama pengeksplorasian adalah mencari informasi ke dinas-dinas dan instansi terkait lainnya untuk memperoleh informasi tentang jenis dan habitat tumbuhnya. Informasi ini kemudian dikembangkan pada saat eksplorasi ke lokasi sasaran yang umumnya daerah asal dan penyebaran jenis tanaman (Andriani et al., 2010).

Eksplorasi hendaknya dilakukan pada sentra produksi, daerah produksi tradisional, daerah terisolir, daerah pertanian lereng-lereng gunung, pulau terpencil, daerah suku asli, daerah dengan sistem pertanian tradisional/belum maju, daerah yang masyarakatnya menggunakan komoditas yang bersangkutan sebagai makanan pokok/utama/penting, daerah epidemik hama/penyakit, serta daerah transmigrasi lama dan baru. Eksplorasi dan koleksi plasma nutfah disertai dengan menggali keterangan dari petani yang berkaitan dengan kriteria preferensi petani terhadap varietas tanaman yang bersangkutan. Di samping itu, benihnya haru s sehat dan jumlahnya mencukupi. Eksplorasi mikroba pertanian dilakukan dengan berbagai cara isolasi dan koleksi di habitatnya atau di tempat-tempat yang diduga mengandung mikroba tersebut. Terhadap mikroba yang telah diisolasi dan dikoleksi dilakukan karakterisasi baik dari sifat dan karakter morfologi koloninya pada media khusus maupun bentuk sel dan cirinya, serta sifat-sifat biokimiawi-nya (Kusumo et al., 2002).


(1)

5. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara serta teman-teman yang telah mendukung, membantu dan mendoakan penulis dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya , penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat dan memberikan

kontribusi yang baru khususnya dalam bidang kehutanan dan bidang pendidikan dalam penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya.

Medan, April 2013


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Eksplorasi Jamur ... 4

Pengenalan Jamur ... 5

Pengidentifikasian Jamur Beracun ... 7

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur ... 8

Klasifikasi Toksin/Racun yang Terdapat pada Jamur Beracun ... 10

Kondisi Umum Hutan Pendidikan Gunung Barus ... 14

Keberadaan Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan Gunung Barus ... 15

Penggunaan Pestisida Alami ... 16

Kandungan Senyawa Fitokimia dan Pengaruhnya terhadap Organisme ... 18

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

Alat dan Bahan ... 25

Prosedur Penelitian ... 25

a) Aspek Ethnobotani ... 25

b) Aspek Keanekaragaman Jenis ... 26

c) Aspek Fitokimia ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Ethnobotani ... 36

Coprinus disseminatus (non-inky coprinus) ... 38

Lenzites betulina (Gilled Polypore) ... 39

Marasmius siccus (Orange Pinwheel) ... 41

Amanita vaginata (Grisette) ... 43

Amanita rubescens ... 44

Amanita virosa ... 46

Scleroderma cepa ... 47

Russula aeruginea (Green Russula) ... 49


(3)

Psathyrella bipellis ... 52

Russula xerampelina ... 53

Auricularia auricula-judae ... 54

Amanita sp1. ... 55

Amauroderma sp. ... 56

Marasmius sp. ... 57

Marasmiellus candidus ... 58

Amanita sp2. ... 59

Peniophora rufa ... 60

Analisis Keanekaragaman Jenis Jamur Beracun di Hutan Pendidikan Gunung Barus ... 62

Analisis Fitokimia Jamur Beracun yang Terdapat di Hutan Pendidikan Gunung Barus ... 68

Potensi Pengembangan Biopestisida yang Berasal dari Fitokimia Jamur Beracun di Hutan Pendidikan Gunung Barus ... 72

Potensi Budidaya Jamur Beracun yang Terdapat di Hutan Pendidikan Gunung Barus ... 73

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 76

Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(4)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Jenis-jenis Jamur Makroskopis yang ditemukan

di Hutan Pendidikan Gunung Barus ... 61 2. Data Analisis Vegetasi Jamur di Hutan Gunung Barus

seluas 1000 ha, dengan ukuran plot sebesar 10m x 10m ... 63 3. Hasil Skrining Fitokimia Jamur Beracun di Hutan Pendidikan Gunung Barus Analisis Potensi Jamur Beracun dan Pemanfaatannya sebagai Biopestisida .. 68 4. Analisis Potensi Jamur Beracun dan Pemanfaatannya sebagai Biopestisida .. 71


(5)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Bagian Tubuh Jamur ... 6

2. Struktur inti Alkaloida ... 20

3. Struktur inti senyawa Steroida ... 21

4. Senyawa Triterpenoid ... 21

5. Struktur inti senyawa Flavonoid ... 22

6. Struktur inti senyawa Saponin ... 24

7. Skema Pengujian Alkaloid ... 28

8. Skema Pengujian Steroida-Terpenoida ... 29

9. Skema Pengujian Flavonoid ... 31

10. Skema Pengujian Saponin ... 31

11. Peta Hutan Pendidikan USU sebagai tempat penelitian ... 32

11. Jamur Coprinus disseminatus ... 35

12. Jamur Lenzites betulina ... 37

13. (a) dan (b) adalah jenis jamur Marasmius siccus ... 38

14. (a) Jamur Amanita vaginata tampak dari bagian samping, sedangkan (b) Jamur A.vaginata tampak dari bagian atas ... 40

15. Jamur Amanita rubescens ... 42

16. Jamur Amanita virosa ... 43

17. Jamur Scleroderma cepa ... 45

18. Jamur Russula aeruginea... 46

19. Jamur Omphalotus nidiformis ... 48


(6)

21. Jamur Russula xerampelina ... 50

22. (a) dan (b) merupakan jenis jamur Auricularia auricula-judae ... 51

23. Jamur Amanita sp1. ... 52

24. Jamur Amauroderma sp. ... 53

25. (a) dan (b) merupakan jenis jamur Marasmius sp. ... 54

26. (a) dan (b) merupakan jenis jamur Marasmiellus candidus ... 55

27. Jamur Amanita sp2. ... 56

28. Jamur Peniophora rufa ... 57