Sejarah Singkat Surat Kabar
Zaman Belanda pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita
lelang, dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Surat kabar yang terbit pada masa itu tidak mempunyai arti secara politis, karena lebih
merupakan surat kabar periklanan. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 ekslempar setiap kali terbit.Semua penerbit terkena peraturan, setiap
penerbit tidak boleh diedarkan sebelum diperiksa oleh penguasa setempat. Zaman Jepang ketika Jepang datang,surat kabar-surat kabar yang
ada di Indonesia diambil alih secara pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan untuk menghemat alat-alat dan tenaga. Tujuan
sebenarnya adalah agar pemerintahan Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita Antara pun diambil alih
dan diteruskan oleh kantor berita Yashima yang kemudian selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni Domei. Wartawan -
wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedang yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja
didatangkan langsung dari Jepang. Pada saat itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.
Zaman Kemerdekaan pada masa awal kemerdekaan Indonesia pun melakukan perlawanan dalam hal sabotase komunikasi. Surat kabar yang
diterbitkan oleh Indonesia pada saat itu merupakan tandingan dari surat kabar yang diterbitkan oleh pemerintah Jepang. Dalam perkembangannya
berita Indonesia berulang kali dibredel, dan selama pembredelan para tenaga redaksinya ditampung oleh surat kabar Merdeka yang didirikan
oleh B.M.Diah. Surat kabar lainnya yang terbit pada masa itu antara lain: Soeara Indonesia yang dipimpin oleh Manai Sophian Makasar, pedoman
harian yang kemudian berganti nama menjadi Soeara Merdeka Bandung. Zaman Orde Lama setelah presiden Soekarno mengumumkan
dekrit kembali ke UUD 1954 tanggal 5 juli 1959, terdapat larangan kegiatan politik termasuk pers. Bahkan persyaratan untuk mendapat surat
izin terbit dan surat izin cetak pun diperketat. Namun situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh PKIPartai Komunis Indonesia yang pada saat itu
menaruh perhatian pada pers. PKI kemudian memanfaatkan para buruh termasuk karyawan surat kabar untuk melakukan apa yang dinamakan
slowdown strike, yakni mogok secara halus. Dalam hal ini, karyawan di bagian setting melambatkan kerjanya, sehingga banyak kolom surat kabar
yang tidak terisi menjelang deadline batas waktu cetak. Akhirnya kolom kosong itu diisi iklan secra gratis sebagaimana yang dialami oleh
Soerabaja Post dan Harian Pedoman di Jakarta. Pada masa inilah sering terjadi polemik antara surat kabar yang Pro PKI dan Anti PKI.
Zaman Orde Barusejalan dengan tampilan Orba, surat kabar yang tadinya dipaksakan untuk mempunyai gantolan berafiliasi, kembali
mendapatkan kepribadiannya. Contoh kedaulatan rakyat yang pada Zaman Orde Lama harus berganti nama menjadi Dwikora, kembali kepada nama
semula. Mengutip pernyataan presiden Soeharto dihadapan sidang umum MPR
12 maret 1973, “ sudah sewajarnya kita merasa bangga dan lega melihat pertumbuhan pers yang bebas dan merdeka, suatu pertanda bahwa
kehidupan demokrasi terjamin pelaksanannya dalam orba, tapi sering-
sering kita merasa ikut prihatin dan khawatir terhadap penggunaan hak kebebasan pers yang kurang wajar dan bertanggung jawab” Selanjutnya
presiden mengemukakan,” masih banyak surat kabarmajalah yang terdorong oleh tujuan komersilpun motif lainnya menyajikan berita-berita
sensasional tanpa norma-norma kesusilaan, sopan santun, kerahasiaan negara, dan kurang memperhatikan akibat tulisan yang dapat
menggoncangkan masyarakat, yang pada gilirannya akan merusak stabilitas nasional”. Itulah mengapa yang menjadi sebab pemerintah
memberikan ganjaran berupa pencabutan surat izin terbit dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers SIUPP, seperti Sinar Harapan, Tabloid Monitor,
Detik, Majalah Tempo dan Editor. Zaman Reformasi tumbangnya presiden Soeharto pada 21 Mei
1998 silam membawa aura baru di dunia pers. Berakhirnya Orde Baru mengalirkan kebebasan berekspresi melalui mediakebebasan pers. Pada
saat itu media massa terutama cetak tumbuh menjamur dan berkembang pesat. Booming media cetak terjadi pada masa presiden BJ.Habibie
berkuasa dengan menteri penerangan letjen TNI Muhammad Yunus Yosfiah. Pada saat itu menteri penerangan menerapkan kebijakan pers
yang lebih liberal dengan memberikan kemudahan bagi siapa pun untuk memperoleh SIUPP, yang pada saat itu diperoleh dalam kurun waktu
kurang dari 1 minggu tanpa bayar. Akibatnya, dalam masa pemerintahan BJ.Habibie yang singkat Mei 1998-Oktober 1999 sudah dikeluarkan lebih
dari 1600 SIUPP baru.Padahal selama 32 tahun era Soeharto, hanya diperoleh sekitar 300 SIUPP yang dikeluarkan.
8