buatan dapat mempercepat siklus ganti kulit yang dimediasi oleh sistem ekdisteroid.
Berdasarkan sistem pengaturan kadar hormon ekdisteroid hemolimph tersebut diatas dan hubungannya dengan MIH, Mattson dan Spaziani 1986
telah membuat sebuah model sistem pengaturan neuroendokrin, yaitu interaksi antara organ X- kelenjar sinus-organ Y. MIH dalam hemolimph berikatan
dengan permukaan reseptor sel organ-Y yang menyebabkan adenilat siklase AC aktif dan mengubah ATP menjadi cAMP siklik AMP. Produksi
hormon ekdison dari kolesterol akan ditetapkan oleh cAMP. Pengaruh yang berlawanan ditimbulkan oleh kalsium Ca yang berikatan dengan kalmodulin
akan mengaktifkan enzim cAMP-fosfodiesterase membentuk 5’AMP, sehingga produksi ekdison dapat ditingkatkan kembali. Greenway dalam Mattson dan
Spaziani 1986 menemukan adanya kenaikan kadar kalsium hemolimph pada awal ganti kulit dan akan turun kembali pada saat ganti kulit, keadaan ini
berhubungan dengan perubahan ekdisteroid hemolimph. Dengan demikian, pelepasan MIH yang terus menerus menyebabkan kadar ekdison menjadi
rendah dan crustacea berada dalam keadaan anekdisis. Pengurangan pelepasan MIH yang disebabkan adanya kenaikan kadar hormon ekdisteroid yang tidak
tetap atau terjadinya pengurangan rangsangan pada neural perifer akan melepaskan organ-Y dari hambatan untuk memproduksi hormon ekdison
kadar cAMP menurun, sehingga produksi hormon ekdison meningkat. Ekdison diubah menjadi 20-hidroksiekdison dijaringan perifer. Kenaikan kadar
hormon ekdisteroid hemolimph ini mengawali untuk terjadinya ganti kulit. Aktifitas organ-Y ini akan turun kembali yang belum diketahui penyebabnya,
kadar hormon ekdisteroid turun, dan MIH kembali dilepaskan
2.3 Nutrisi
Pakan harus mengandung semua nutrien yang diperlukan seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral dalam jumlah cukup dan berimbang.
Lemak disamping berfungsi sebagai sumber energi 8-9 kcalg juga penting sebagai sumber asam lemak essensial dan diperlukan juga dalam proses
absorpsi nutrient yang larut didalamnya. Tanpa lemak dan karbohidrat yang cukup, udang menggantungkan pemenuhan energinya hanya dari protein,
sehingga protein tidak optimal digunakan untuk pertumbuhan. Menurut Stickney 1979 energi yang terkandung dalam pakan yang berasal dari non
protein dapat mempengaruhi protein yang digunakan untuk pertumbuhan Pada habitat aslinya Jenis makanan yang dimanfaatkan oleh huna capit
merah asanya berupa biji-bijian, ubi-ubian, dan bangkai hewan Scavenger, sekaligus memangsa hewan hidup lain dari kelompok udang, karena itu huna
capit merah termasuk hewan omnivora. Kebiasaan nyata yang sering dilakukan adalah mengkonsumsi udang-udang kecil yang hidup dihabitatnya
atau memangsa anggota huna capit merah itu sendiri, sehingga huna capit merah memiliki sifat kanibal. Jenis pakan yang dapat dikonsumsi induk lobster
air tawar diantaranya daging udang kecil, ubi jalar, dan pelet, dimana kemampuan huna capit merah mencerna material tanaman karena memiliki
enzim polysaccharide hydrolase Xue et al. 1999. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Manomaitis 2001 menggunakan benih huna capit merah yang
baru menetas 0,1 gram melaporkan bahwa benih huna capit merah yang berukuran 3 gram berumur ± 9 minggu membutuhkan 24-44 protein dalam
pakan, hal ini tidak berbeda nyata terhadap berat total, pertumbuhan spesifik dan persentase pertumbuhan yang dihasilkan pada akhir penelitiannya. Metts
et al. 2007 dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa cherax dengan
ukuran rata-rata 6,25 g yang dipelihara di kolam tanah dapat memanfaatkan protein kasar dalam pakan sebesar 13-28.
Setelah berumur 8-15 hari, rata-rata huna capit merah memiliki bentuk yang sama dengan induknya, aktif dalam mencari pelindung diri dari serangan
luar, aktif mencari pakan yang berasal dari luar, dan mulai mengalami moulting dalam pertumbuhannya. Pada masa juvenil tingkat kepadatan, jenis
dan ukuran pakan adalah faktor yang harus diperhatikan selain kondisi lingkungan dan pencegahan serangan penyakit. Guna memberikan sumber
energi yang dapat digunakan dalam pemeliharaan, serta penggantian dan penambahan sel tubuh benih lobster air tawar, jenis pakan yang digunakan
adalah cacahan udang segar, hancuran pellet udang komersial, cacing sutera segar, daphnia beku, tepung kacang-kacangan, dan sisikan ubi jalar. Secara
ilmiah, pakan berupa cacahan udang segar, cacing sutera segar, dan daphnia
beku merupakan sumber protein dan lemak hewani. Sementara itu tepung kacang-kacangan dan sisikan ubi jalar merupakan sumber protein dan
karbohidrat yang berasal dari sumber nabati. Kalsium digunakan dalam pembentukan cangkang, sehingga dibutuhkan bahan pakan mengandung
mineral tepung mineral. D’Abramo et al. 1982 telah meneliti hubungan antara fosphatidilkholin
ransum dan kolesterol serum pada lobster, Homarus sp. Diketahui bahwa ketiadaan fospatidikholin kedelai ransum murni yang diberikan pada larva
lobster telah mengakibatkan penurunan konsentrasi kolesterol dan fospolipid yang cukup besar dalam serum. Bila fospolipid telur, sephalin dan
fospotidilinositol digunakan sebagai pengganti fospatidikholin kedelai, konsentrasi kolesterol dan fospolipid dalam serum tetap rendah. Konsentrasi
kolesterol dan fospolipid dalam serum memiliki keterkaitan yang tinggi. Terdapat indikasi bahwa absorpsi kolesterol oleh usus tidak terhambat oleh
ketiadaan fospatidikholin atau keberadaan fospolipid pengganti. Diduga molekul fospatidilkholin merupakan komponen penting lipoprotein yang
mentransfer kolesterol dari hepatopankreas ke hemolimph. Hernandes et al. 2003 melaporkan bahwa perbedaan yang nyata dari
pertumbuhan juvenil huna capit merah ditentukan oleh diet pakan dengan variasi dari level lipid pada kondisi dilaboratorium. Dalam uji coba
pertumbuhan, 26 bobot tubuh ditentukan oleh pakan alami dalam sistem budidaya dengan ketersediaan pakan alami untuk mendukung pertumbuhan
yang optimum Kebutuhan optimal protein yang cukup untuk huna capit merah
tergantung pada ukuran dan umur huna capit merah. Cortes et al. 2003 mendefinisikan untuk juvenil huna capit merah rasio perbandingan kecernaan
protein terhadap kecernaan energi adalah 18,4 mg protein kilo joule dengan 270gkg pakan level DP, dan DL 75gkg dan intake protein per animal per hari
sebagai pembentukan jaringan, survival, Laju Pertumbuhan Spesifik SGR,
Food Corversi Ratio FCR dan Protein Efisiensi Ratio PER. Hasil penelitian Campana-Torres 2006 menyatakan bahwa kecernaan
lipid dan karbohidrat huna capit merah yang terdapat pada 2 ramuan tanaman
yaitu tepung gandum dan paste kedele dan ramuan hewani yaitu tepung kepiting merah dilaporkan hasilnya sama dengan kecernaan pada udang
vanamei Littopenaeus vanamei dan sumber tepung dari gandum juga mengandung lemak dengan tingkat kecernaan yang tinggi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa huna capit merah sistem kecernaannya sangat efisien karena kesanggupannya mengassimilasi nutrien dari sumber yang bervariasi
karena memiliki enzim endogenous sellullose. Hasil penelitian dari Hernandes et al. 2003 menyatakan bahwa huna
capit merah betina dan jantan memerlukan lipid untuk kebutuhan yang berbeda dalam sistem metabolisme. Huna capit merah betina pada percobaan yang
berbeda tidak ditunjukkan perbedaan nyata kandungan lipid dalam hepatopankreas, dan dapat dijadikan hubungan antara penggunaan lipid untuk
pematangan gonad atau vitellogenesis. Perbedaan perkembangan stadia ditentukan oleh telur yang terdapat pada induk betina untuk semua percobaan,
termasuk nilai pakan untuk udang betina dan sebagian besar kebutuhan lipid digunakan untuk pematangan gonad.
Lebih lanjut dilaporkan oleh Hernandes et al. 2003, pengaruh dari diet lipid pada berbagai level dan sumber lemak untuk ketahanan huna capit merah
tidak didokumentasikan dengan baik, akan tetapi hasil penelitian pada diet lipid akan mempengaruhi ketahanan pada huna capit merah jantan.
Peningkatan lipid hepatopankreas pada huna capit merah jantan berhubungan dengan peningkatan lipid pada carcass, dan dapat meningkatkan pertumbuhan
dan dan disimpan untuk pematangan gonad. Dasar dari penelitian oleh Hernandes et al. 2003 pada sistem budidaya semi intensif kebutuhan huna
capit merah ini bahwa kebutuhan lipid dapat dikurangi hingga 4,2 dengan
mempertimbangkan keberadaan pakan alami pada lingkungan budidaya. 2.4 Kebutuhan asam lemak udang-udangan
. Pemberian asam lemak essensial harus optimum sehingga menunjang pertumbuhan udang. Asam lemak essensial dalam tubuh ikan merupakan
komponen fosfolipid yang berperan penting pada biomembran sel. Keberadaan asam lemak essensial pada biomembran sel dapat menjaga dan
memperbaiki fluiditas membran sehingga fungsi metabolisme tetap berjalan
normal. Asam lemak essensial yang berasal dari polyunsaturated fatty acids PUFA dan highly unsaturated fatty acid HUFA berperan penting pada
proses metabolisme membran sel Bhagavan 1992. Penambahan asam lemak n-3 HUFA dapat mengaktifkan enzim Na+ K+ ATPase untuk mendukung
fleksibilitas dan permeabilitas yang tinggi pada membran sel, sehingga meningkatkan aktivitas enzim dan transportasi ion-ion ke dalam sel. Hal ini
penting untuk proses pertumbuhan, adaptasi dan osmoregulasi.
Tabel 2. Komposisi asam lemak essensial dengan berbagai sumber Lipid g100g asam lemak
Tacon 1987 dalam Millamena 2002
Sumber Lipid 18:2n-6
18:3n-3 20:5n-3
22:6n-3
Lemak Nabati : Minyak jagung
58 1
Minyak kelapa 2
Minyak biji kapas 53
1 Minyak biji rami
17 56
Minyak kelapa sawit 10
1 Minyak biji sawit
2 Lemak hewani
Minyak capelin 5
7 5
Minyak hati ikan kod 5
1 16
14 Minyak cumi-cumi
1 2
16 18
Minyak Ikan Salmon 3
10 10
Minyak Ikan Tuna 5
3 7
12 Menurut Halver 1989, salah satu ciri minyak ikan adalah kandungan
asam lemak linoleat n-6 yang rendah tetapi kandungan asam lemak linolenat n-3 tinggi. Menurut Sargent 1997, minyak ikan laut biasanya kaya akan
asam lemak n-3, EPA. Minyak ikan yang sering digunakan adalah minyak ikan cod, hearing, salmon, menhaden, tuna dan caplin. Minyak jagung mengandung
asam lemak linoleat n-6 yang tinggi 56,3 Takeuchi et al. 1983. Minyak kelapa mengandung 88 asam lemak jenuh Linder 1992 sehingga sangat
menentukan kualitas dan kuantitas asam lemak essensial dalam pakan. Pemilihan sumber lemak yang sesuai perlu dilakukan, karena sumber lemak
yang berbeda akan menghasilkan asam lemak essensial yang berbeda pula sehingga penggunaan sumber lemak yang tepat akan berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang.
Kebutuhan asam lemak pada udang juga berbeda, seperti pada udang galah Macrobarachium rosenbergii De man, adalah 1,1 g100 g pakan dan
pada udang laut seperti Penaeus brasiliensis, Penaeus schimitty, Xiphopenaeus kroyeri
adalah 0,9-1,0g100g pakan Bragagnolo et al. 2000. Hasil Penelitian Glencross et al. 2002 menyatakan bahwa kebutuhan
optimalisasi asam lemak essensial pada udang windu Penaeus monodon dari total pakan 45-130gkg , kandungan lipid adalah 75 gram dengan asam lemak
essensialnya adalah 17gkg pakan. Mayra et al. 2002 menyatakan bahwa kebutuhan lipid pada udang vaname mempengaruhi kandungan lipid pada
hepatopancreas dan jaringan otot pada udang tersebut. Dari 6-9 total lipid tubuh perbedaan yang tinggi dari total lipid pada hepatopancreas lebih dari 3.
Bagaimanapun juga kandungan lipid pada otot udang bersumber dari 9 lipid pada pakan udang dan memiliki kesamaan dengan kandungan lipid 6 pada
pakan tersebut, dan berbeda dengan pakan udang yang kandungan lipidnya hanya 3 .
Mukhopadyay et al. 2003 menyatakan bahwa Monounsaturated fatty acid merupakan bagian terbesar dari asam lemak pada stadia 1 udang air tawar
dan polyunsaturated fatty acid adalah kelompok yang dominan n-3 series dan n-6 series untuk perkembangan larva tersebut. Bagian asam lemak yang
terbesar pada stage-1 larva adalah palmitat 16:0, Oleic vaccine 18:1, linoleic acid 18:2n-6 dan eicosapentanoic acid 20:5n-3. Selanjutnya
dijelaskan bahwa pada juvenil udang galah PUFA akan meningkat selama proses perkembangan larva. Larva udang cukup mampu mensuplai Palmitat
16:0 atau stearic acid 18:0 kebutuhan linoleic acid 18-2n:6 dan juga memanfaatkan arachidonat 20:4n-6 untuk kebutuhan larva tersebut.
Hasil Penelitian Xu et al. 1994 kebutuhan asam lemak essensial pada udang chinese Penaeus chinensis melaporkan bahwa pertumbuhan dan
tingkat kelangsungan hidup udang ini hanya membutuhkan 1 linolenat 18:3n-3 dan 1 linoleat 18:2n-6 dalam pakannya. Asam lemak
docosahexanoid acid 22:6n-3 adalah asam lemak essensial untuk larva udang galah stage 1 hingga stage 3, dan rasio asam lemak n-3 dan n-6 didapatkan
setelah stage 1 Roustran et al. 1999. Hasil penelitian Felix Gonzales et al.
2002 pengaruh kebutuhan lipid terhadap ketersediaan asam lemak essensial pada juvenil udang putih Littopenaeus vanamei dengan total n-3 adalah
28,85 dan n-6 adalah 15,30. Halver 1989 sumber asam lemak essensial sangat penting untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan dan udang. Asam lemak essensial ini tidak dapat disintesa oleh hewan akuatik atau dapat disintesa tetapi dalam
jumlah yang sedikit, sehingga harus tersedia didalam pakan. Dibandingkan dengan minyak tumbuhan, minyak ikan mengandung variasi asam lemak tidak
jenuh yang lebih besar dan rantai karbon yang lebih panjang sehingga termasuk dalam kelompok asam lemak n-3. Asam lemak n-3 berantai panjang biasanya
berjumlah sekitar seperempat atau sepertiga dari keseluruhan asam lemak dalam minyak ikan, sedangkan asam lemak berantai panjang pada minyak
nabati tidak lebih dari 5 dan bahkan kurang dari 1 . Watanabe 1982 Tersedianya kebutuhan lipid dalam bentuk PUFA
untuk ikan, tidak dapat disintesis de novo tetapi harus disediakan pada pakan dalam bentuk asam lemak essensial untuk pemeliharaan dan fungsi sel. Asam
linoleat 18:2n-6 dan linolenat 18:3n-3 dibutuhkan khususnya pada pertumbuhan ikan tersebut.
Catacutan 1991 kebutuhan asam lemak essensial dalam bentuk linolenat 18:3n-3 dan n-3 HUFA sebagai sumber lemak pada juvenil udang windu
sekitar 2,6 dalam pakannya akan meningkatkan pertumbuhannya, dengan kandungan n-6 asam linoleat dalam pakan tidak lebih dari 5 sebab akan
memberikan efek negatif pada pertumbuhan.
2.5 Fosfolipid