Pengaruh Kadar Asam Lemak n 6 dari minyak jagung Terhadap Komposisi Asam Lemak, Tingkat Kerapuhan Sel dan Kinerja Pertumbuhan Benih Huna Capit Merah
IN
(Cherax
RATNA
SEKOLAH NSTITUT P
x quadricari
AWATI R
H PASCASA PERTANIA
BOGOR 2010
inatus.)
RIFAI
ARJANA AN BOGORR
(2)
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Lipid, disamping sebagai sumber energi juga dimanfaatkan untuk ketersediaan asam lemak essensial untuk udang dan diperlukan sebagai sumber sterol dan phospolipid guna pertumbuhan, pemeliharaan, fungsi integritas dan fungsi physiologis (Kanazawa et al. 1977a). Jumlah lipid nabati dan hewani yang dibutuhkan untuk pertumbuhan berkisar antara 6-8% dari total pakan (Mukhopadhyay et al. 1999). Meskipun demikian secara umum bahwa udang air tawar tidak dapat mentolerir tingkatan yang tinggi untuk kebutuhan lipidnya, yakni tidak lebih dari 10% (New1980).
Ikan dan udang air tawar memerlukan asam lemak n-6 atau campuran asam lemak n-6 dan n-3, sedangkan ikan air laut hanya memerlukan asam lemak n-3 terutama dalam bentuk 20:5n-3 dan 22:6n-3. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lovell (1989), Hepher (1990), bahwa kebutuhan ikan akan asam lemak essensial berbeda-beda pada setiap spesies ikan sesuai dengan habitat dan lingkungannya. Ikan dan udang air tawar mampu mengkonversikan asam lemak linolenat dan linoleat menjadi asam lemak berantai karbon panjang PUFA atau HUFA, namun tidak demikian pada ikan air laut (Sargent et al. 1999). Dalam tubuh ikan air tawar tersedia enzim elongase dan desaturase yang dapat memperpanjang dan mendesaturasikan rantai karbon asam lemak. Pemenuhan kebutuhan akan asam lemak tersebut dapat dipenuhi dengan pemberian sumber lemak pakan yang tepat yang bersumber dari sumber lemak hewani dan lemak nabati. Sebagai contoh minyak ikan dan minyak jagung merupakan pilihan alternatif yang dapat digunakan sebagai sumber lemak pakan dari berbagai sumber lemak yang ada.
Pada pembuatan pakan, minyak ikan biasanya digunakan sebagai sumber asam lemak n-3 (linolenat) dan minyak jagung sebagai asam lemak n-6 (Linoleat). Berbagai sumber lemak yang dapat digunakan untuk formula pakan seperti minyak jagung sebagai lemak nabati yang kaya dengan asam lemak linoleat (n-6) yaitu sekitar 56,3% (Takeuchi et al. 1983). Sedangkan sumber lemak hewani sebagai sumber asam lemak essensial n-3 seperti
(3)
minyak ikan sardine dengan kandungan 18:3n-3 adalah 1%, 20:5n-3 adalah 13% dan 22:6n-3 adalah 10% (Millamena2002).
Hasil penelitian Cortes et al. (2005) menunjukkan bahwa kebutuhan optimum lipid juvenil huna capit merah (Cherax quadricarinatus) adalah 75g/kg pakan. Sedangkan penelitian yang dikemukakan oleh Hernandes et al.
(2003) menunjukkan bahwa kebutuhan lemak sebesar 4% dalam pakan memberikan pertumbuhan yang baik pada huna capit merah, Selanjutnya penelitian Thompson et al. (2003) pakan dengan komposisi 25% tepung ikan menhaden, 44,5% tepung kedele, 0,5% choline chloride, 2% minyak hati ikan cod, dan 1% minyak jagung tanpa lecithin dan kolesterol memberikan pertumbuhan yang baik pada huna capit merah dengan bobot 0,2 gram. Sejalan dengan itu Lochmann Rebecca et al. (1992) menyatakan bahwa kolesterol diperlukan untuk pertumbuhan huna capit merah dalam jumlah yang sedikit atau tidak sama sekali. Ini berbeda dengan kebutuhan kholesterol untuk juvenile udang vanamei yang diformulasikan dalam pakan sekitar 0,5% (Felix Gonzales, et al. 2003).
Beberapa penelitian tentang pentingnya profil asam lemak dari sumber lemak nabati dan lemak hewani pada udang-udangan telah dilakukan oleh Glencross et al. (2001) yang melaporkan bahwa optimalisasi kebutuhan asam lemak essensial seperti linoleat, linolenat, eicosapentanoic dan docosahexanoic untuk meningkatkan bobot tubuh udang windu (Penaeus monodon) adalah 75 gram total lipid dalam setiap 1 kg pakan dengan kandungan asam lemak essensial adalah 30 gram/kg pakan. Hasil penelitian Felix Gonzales et al.
(2002) ketersediaan asam lemak essensial untuk juvenil udang putih
(Litopenaeus vannamei) pada kisaran lemak pakan 3-9% adalah 0,5% n-3
dari total pakan, Sedangkan untuk huna capit merah kebutuhan asam lemak essensialnya belum diketahui.
Selanjutnya dijelaskan oleh Ronald JR., (2002) masalah penting dengan komponen lipid pakan ikan terutama asam lemak PUFA n-3 dan n-6 adanya oksidasi yang menyebabkan bau ketengikan pada pakan karena terjadi proses ranciidin (produksi radikal bebas karena adanya induksi dari produksi oksidasi asam lemak) yang sifatnya beracun bagi ikan dan bereaksi dengan protein
(4)
sehingga mengganggu aktivitas pertumbuhan. Gejala yang ditimbulkan defisiensi asam lemak menyebabkan terjadinya pembengkakan pada hati dimana hati berwarna pucat karena terjadi infiltrasi lemak. Gejala lain terjadi anemia dimana pembentukan sel darah tidak terjadi sehingga terjadi penyakit lemak hati atau degenerasi lipid hati (Takeuchi et al. 1983). Defisiensi asam lemak akan menyebabkan membrane sel cepat rapuh dengan perubahan salinitas, karena hal ini sangat berpengaruh pada kekuatan sel darah merah atau hemolimph yang kurang mengandung komponen polar lipid (Kiron et al.
1994).
Guna menyempurnakan formulasi pakan huna capit merah, maka tingkat kebutuhan asam lemaknya perlu diketahui. Diaplikasikannya kebutuhan asam lemak n-3 dan n-6 dalam pakan untuk huna capit merah diharapkan bisa lebih mempercepat pertumbuhan bagi udang air tawar tersebut.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui effektifitas minyak jagung sebagai sumber asam lemak essensial n-6 terhadap pertumbuhan serta pengaruhnya pada tingkat kerapuhan sel huna capit merah. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi tentang kebutuhan asam lemak n-6 yang optimal pada pakan huna capit merah sebagai dasar dalam penyusunan ransum.
1.3 Hipotesis
Jika pemberian minyak jagung dalam formulasi pakan dapat dimanfaaatkan seoptimal mungkin maka pertumbuhan benih huna capit merah setidaknya lebih baik bila dibandingkan dengan pertumbuhan dengan pakan tanpa minyak jagung.
(5)
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspek Biologi Huna Capit Merah
Lobster air tawar tidak hanya sekadar udang konsumsi, tetapi juga bisa dijadikan hiasan di dalam aquarium. Sebagai udang hias, lobster memiliki ciri khas yang tidak ditemukan pada ikan hias air tawar. Selain bentuk tubuhnya yang unik, lobster air tawar juga memiliki warna yang beragam diantaranya kuning keputihan, hijau putih, biru, pink, hingga cokelat kehitaman.
Adapun tatanama lobster air tawar menurut (Riek 1968) dituliskan sebagai berikut : Kingdom: Animalia, Filum : Arthropoda, Subfilum : Crustacea, Kelas : Malacostraca, Ordo : Decapoda, Subordo : Plyocyemata, Infraordo : Astacidea, Superfamili : Parastacoidea, Famili : Parastacidae, Genus : Cherax, Spesies : Cherax quadricarinatus (Von Marten)
Huna capit merah memiliki ciri-ciri morfologi tubuh yang terbagi menjadi 2 yaitu : kepala (Cephalotorax) dan badan (abdomen). Tubuh Lobster beruas-ruas dan ditutupi oleh eksoskeleton yang terdiri dari chitin. Antara kepala bagian depan dan bagian belakang dikenal dengan nama sub-cephalotorax, Cangkang yang menutupi kepala disebut karapak (carapace) yang berperan dalam melindungi organ tubuh, seperti otak, insang, hati, dan lambung. Carapace berbahan zat tanduk atau kitin yang tebal dan merupakan nitrogen polisakarida (C6H13O5N), yang disekresikan oleh kulit epidermis dan dapat mengelupas saat terjadi pergantian cangkang tubuh (Moulting). Kelopak bagian depan meruncing dan bergerigi yang disebut rostrum.
Gambar 1. Struktur organ internal huna capit merah
Pada bagian kepala lobster terdapat sepasang mata bertangkai, sepasang, sungut besar (antena, sepasang sungut kecil dan mulut). Pada bagian kepala
(6)
terdapat lima pasang kaki jalan (Pereiopoda), Namun tiga pasang kaki tersebut, yaitu kaki pertama, kedua, dan ketiga mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi capit.
Di habitat aslinya, huna ini aktif mencari pakan pada malam hari (nocturnal). Jika bahan pakan tersebut sesuai dengan keinginannya, lobster akan menangkapnya menggunakan capit dan menyerahkannya pada pereiopoda 1 sebagai tangan pemegang pakan yang akan dikonsumsi. Huna capit merah memiliki gigi halus yang terletak dipermukaan mulut, sehingga cara memakan pakannya sedikit demi sedikit. Menurut Jones (1998) genus huna capit merah merupakan pemakan oportunity terutama sisa-sisa tumbuhan (serasah) dan koloni mikroba yang banyak ditemukan pada dasar kolam. Meskipun huna capit merah dapat tetap bertahan hidup dan tumbuh tanpa makanan tambahan, tetapi tingkat pertumbuhan terbaik hanya dapat dicapai bila pasokan makanan cukup. Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan pelet komersiil dapat memberikan hasil yang memuaskan. Tingkat pertumbuhan benih yang bagus
dapat juga dicapai jika zooplankton berkembang baik di kolam. Menurut Holdich and Lowery (1981) proses perkembangan anakan pada huna
capit merah dibagi menjadi 3 tahap perkembangan telur (pra-larva) yang terdiri atas lima stadia, tahap larva dan tahap post embrio yang terdiri atas lima stadia. Sedangkan Sokol (1988) menerangkan bahwa periode perkembangan embrio huna capit merah adalah periode inkubasi yang berlangsung antara 40-45 hari. Telur-telur yang telah dibuahi selanjutnya akan menetas menjadi larva setelah 20-30 hari setelah pembuahan. Sesudah fase larva, tahap selanjutnya dalam daur hidup huna capit merah adalah juvenil yang terdiri dari : Juvenil I, II, III. Induk huna capit merah biasanya mengasuh anaknya pada fase embrio, larva hingga juvenil. Karena sifatnya yang demikian maka induk huna capit merah dapat disebut mempunyai sifat maternal care (perlindungan ibu), juvenil biasanya akan meninggalkan induknya setelah mencapai panjang tubuh antara 3-4 mm. Setelah tahapan juvenil, huna capit merah akan terus tumbuh dan akhirnya menjadi dewasa. Selama beberapa hari, pada tahap post-larva atau fase juvenil, anak huna capit merah akan tetap berada dekat induknya agar mendapatkan perlindungan. Post larva ini akan melompat-lompat disekeliling
(7)
tubuh induknya sambil menjauhi induknya untuk beberapa saat. Hingga pada suatu saat tertentu anak huna capit merah akan menunjukkan ketidaktergantungannya pada induk. Pada saat induk dan anak-anak huna capit merah harus segera dipindahkan ke tempat budidaya yang cukup baik dan luas untuk menghindari masalah kanibalisme, karena anak-anak huna capit merah dapat bersifat kanibal bila kebutuhan pakannya tidak tercukupi (Morissy. 1970).
Tabel 1. Tahap perkembangan telur hingga juvenil huna capit merah Rouse (1977)
TAHAP CIRI-CIRI STADIA
1 Telur berwarna kuning (1-2 hari)
TAHAP
PERKEMBANGAN TELUR
2 Telur berwarna hijau zaitun (3-4 hari) 3 Telur berwarna Kheki (5-7 hari) 4 Telur berwarna coklat tua (8-14 hari) 5 Telur berwarna orange (15-17 hari) 6 Telur berwarna merah tanpa bercak
mata (18-21 hari)
NAUPLIUS 7 Telur berwarna merah dengan bercak
mata (22-27 hari)
PROTOZOEA 8 Telur berwarna merah hampir menetas
(28-35 hari)
MYSIS 9 Berwarna kelabu, dilepaskan, jatuh dari
pleopod induk (36-40) hari
JUVENIL
Periode perkembangan post-larva sebenarnya adalah periode proses diferensiasi pembentukan karapas, telson dan uropoda. Menurut Holdich and Lowery (1981) periode perkembangan post-larva dari Astacus leptodactylus, salah satu jenis lobster air tawar asal Eropa dibagi menjadi 5 stadia berdasarkan pertambahan panjang karapaks.
Menurut Rouse (1977) tingkat pertumbuhan benih huna capit merah sangat bervariasi, karena proses moulting tidak terjadi secara bersamaan. huna capit merah mudah dapat dipisahkan pemeliharaannya berdasarkan ukuran tubuhnya, kanibalisme juga dapat dikurangi jika tempat persembunyian cukup tersedia dan tempat pemeliharaan berukuran cukup luas atau tidak melebihi 50 ekor per meter persegi. Sedangkan panjang huna capit merah dapat mencapai 10-18 cm, dengan ukuran maksimum dapat dicapai setelah 8-14 bulan
(8)
pemeliharaan (Anonimous 1977). Beberapa spesies huna capit merah mengalami pertumbuhan yang pesat pada waktu berumur muda dan akan mencapai kematangan gonad dalam waktu 6 bulan (Stronger dan Usinger 1961). Beberapa huna capit merah di Australia mempunyai panjang karapaks 15 cm dengan panjang total 35 cm dan berat ada yang mencapai 1,25 kg.
Huna capit merah yang hidup di Australia dapat mencapai ukuran lebih dari 500 gram dengan panjang karapas mencapai 9 cm dan panjang total lebih dari 30 cm. Jenis huna capit merah ini merupakan yang paling banyak dibudidayakan di Australia, alasanya karena huna capit merah memiliki daging yang lebih tebal dan memiliki kemampuan berkembang biak lebih banyak dalam waktu satu tahun jika kondisinya bagus. Selain itu huna capit merah memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap kepadatan yang tinggi dan tidak menunjukkan sifat kanibalisme dengan kepadatan 50 ekor/meter persegi.
2.2 Moulting
Moulting atau ganti kulit adalah pergantian cangkang pada udang dan terjadi ketika ukuran daging udang bertambah besar sementara eksoskeleton tidak bertambah besar karena eksoskeleton bersifat kaku, sehingga untuk menyesuaikan dengan keadaan ini udang akan melepaskan eksoskeleton lama akan membentuk kembali dengan bantuan kalsium (Wickins dan Lee. 2002). Semakin baik pertumbuhannya semakin sering huna capit merah berganti cangkang (Rouse 1977). Saat terjadi pergantian cangkang merupakan saat yang rawan bagi huna capit merah karena saat kulitnya terlepas, tubuh yang ada di dalamnya tidak memiliki perlindungan lagi. Menurut Holdich dan Lowery (1988) proses pembentukan cangkang pada huna capit merah membutuhkan bahan berupa kalsium, proses ini terjadi setelah pelepasan cangkang lama dilakukan. Selain itu, Gao dan Wheathly (2004) menambahkan bahwa dalam pembentukan cangkang akan terjadi mineralisasi selaput baru menggunakan kalsium yang diserap dari lingkungan perairan.
Ganti kulit pada crustacea tidak hanya meliputi aktifitas pelepasan eksoskeleton lama, tetapi juga pengumpulan cadangan makanan; pembentukan eksoskeleton baru yang disertai dengan penyerapan bahan-bahan organik dan anorganik dari eksoskeleton lama selama proekdisis; pelepasan eksoskeleton
(9)
lama saat ganti kulit yang disertai dengan penyerapan air; membangun dan mengeraskan eksoskeleton lama dari cadangan dan ion-ion dalam medium; pertumbuhan jaringan (Passano 1960; Yamaoka dan Scheer. 1970).
Menurut Ling (1976) Selama ganti kulit udang mengalami perubahan morfologis baik eksternal maupun internal yang dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan stadium ganti kulit. Untuk menentukan stadium metekdisis dan anekdisis serta proekdis pada udang dilakukan dengan mengamati perubahan retraksi pigmen pada dorsal dan lateral abdomen, rostrum serta permukaan epidermis pleopod. Akan tetapi, retraksi pigmen pada awal proekdisis tidak lengkap pada sisi dorsal abdomen, perkembangan setae dapat juga diamati pada uropoda.
Frequensi pergantian kulit (Moulting) pada udang ditentukan oleh faktor umur dan makanan. Udang lebih sering mengalami pergantian kulit dan udang yang mendapat makanan yang cukup dan baik akan lebih cepat mengalami pergantian kulit (Ling 1976). Selain itu menurut Soegiarto (1979) proses moulting dipengaruhi oleh faktor kualitas lingkungan, antara lain kecukupan oksigen, suhu dan timbunan gas amoniak. Menurut Merrick (1993) proses pergantian kulit (moulting) pada huna capit merah melibatkan daur ulang Kalsium, yang terdiri atas empat tahap, yaitu :
1. Premoulting, kalsium dalam kulit diserap kembali dan disimpan dalam gastrolith, lalu diikuti dengan pembentukan kulit baru
2. Moulting, Pelepasan kulit lama yang diikuti dengan penyerapan air dari media dalam jumlah besar.
3. Postmoulting, Pengapuran dan pengerasan kulit baru dari cadangan material organik dan anorganik yang berasal dari hemolimph dan hepatopankreas, serta sebagian kecil dari media.
4. Intermoulting, pertumbuhan jaringan somatik dan awal antar moulting. Lebih lanjut Merrick (1993) menyatakan bahwa pertumbuhan dan moulting adalah dua proses yang berkaitan erat. Tanpa tanda-tanda nyata, proses moulting berlangsung dengan cepat, hanya beberapa menit individu yang baru mengalami ganti kulit dapat dikenal melalui warna yang lebih cerah dan karapas yang lunak.Telah diketahui bahwa ganti kulit pada crustacea dikontrol oleh hormon ekdisteroid dan MIH (Quackenbush. 1986; Fingerman. 1987). Pelepasan hormon ekdisteroid oleh organ-Y bervariasi berdasarkan stadium yang dilaluinya dalam siklus ganti kulit dan juga tergantung pada
(10)
kadar hormon ekdisteroid yang terdapat dalam hemolimph (Quackenbush 1986). Pada awal siklus ganti kulit perbandingan kadar alfa-akdison dan beta-ekdison adalah 1:1 atau 1:2 yang akan berubah menjadi 1:4 atau lebih besar dengan berlanjutnya siklus ganti kulit. Adegboy (1981) menyatakan bahwa tempat penyimpanan utama kalsium dalam tubuh cherax adalah hemolimph, cangkang lama, hepatopankreas, cangkang baru dan gastrolith.
Hormon ekdisteroid selain dihasilkan oleh organ-Y yang terdapat pada thoraks, ditemukan juga pada sel-sel neurosekretori medulla interna dan medulla terminalis tangkai mata kepiting ucu pugilator (Hopkins 1988). Fungsi ekdisteroid yang terdapat pada tangkai mata ini belum diketahui, namun kadar ekdisteroid tersebut tinggi pada saat anekdisis (Quackenbush 1986). Selama siklus ganti kulit crustacea, alfa-ekdison disintesis dan dilepaskan dari organ-Y untuk selanjutnya diubah menjadi 20-hidroksiekdison di jaringan target. Reseptor hormon ekdison terdapat pada jaringan perifer hipo dan epidermis, badan lemak, usus, dan otak (Passano 1960; King dan Siddal. 1969). Kadar hormon ekdisteroid crustacea selama siklus ganti kulit mengalami fluktuasi dengan pola yang khas, di mana pada saat metekdisis dan anekdisis kadar hormon ekdisteroid rendah, mulai meningkat tiga sampai 10 kali lipat kadar intermolt pada saat transisi dari intermolt ke preekdisis (apolisis), mencapai nilai maksimum selama proekdisis (D3) yang mengawali ganti kulit dan turun kembali pada saat ekdisis
Pengaturan kadar hormon ekdisteroid hemilimph dapat dipengaruhi melalui beberapa lintasan. Penelitian terhadap organ-Y dengan cara in vitro memperlihatkan bahwa ekstrak tangkai mata dapat memperlambat atau menghentikan pelepasan hormon ekdisteroid (Mattson dan Spaziani. 1985). Moulting Inhibition Hormon juga dapat bekerja pada jaringan target hormon ekdisteroid yang langsung menghambat pengaruh hormon ekdisteroid. Menurut Mattson dan Spaziani (1986) hormon ekdisteroid juga dapat mengatur produksi sendiri melalui mekanisme umpan balik positif pada organ-Y. Disamping itu beberapa faktor eksternal dapat mempengaruhi siklus ganti kulit secara langsung. Kehilangan anggota gerak balik secara alamiah maupun
(11)
buatan dapat mempercepat siklus ganti kulit yang dimediasi oleh sistem ekdisteroid.
Berdasarkan sistem pengaturan kadar hormon ekdisteroid hemolimph tersebut diatas dan hubungannya dengan MIH, Mattson dan Spaziani (1986) telah membuat sebuah model sistem pengaturan neuroendokrin, yaitu interaksi antara organ X- kelenjar sinus-organ Y. MIH dalam hemolimph berikatan dengan permukaan reseptor sel organ-Y yang menyebabkan adenilat siklase (AC) aktif dan mengubah ATP menjadi cAMP (siklik AMP). Produksi hormon ekdison dari kolesterol akan ditetapkan oleh cAMP. Pengaruh yang berlawanan ditimbulkan oleh kalsium (Ca) yang berikatan dengan kalmodulin akan mengaktifkan enzim cAMP-fosfodiesterase membentuk 5’AMP, sehingga produksi ekdison dapat ditingkatkan kembali. Greenway dalam Mattson dan Spaziani (1986) menemukan adanya kenaikan kadar kalsium hemolimph pada awal ganti kulit dan akan turun kembali pada saat ganti kulit, keadaan ini berhubungan dengan perubahan ekdisteroid hemolimph. Dengan demikian, pelepasan MIH yang terus menerus menyebabkan kadar ekdison menjadi rendah dan crustacea berada dalam keadaan anekdisis. Pengurangan pelepasan MIH yang disebabkan adanya kenaikan kadar hormon ekdisteroid yang tidak tetap atau terjadinya pengurangan rangsangan pada neural perifer akan melepaskan organ-Y dari hambatan untuk memproduksi hormon ekdison (kadar cAMP menurun), sehingga produksi hormon ekdison meningkat. Ekdison diubah menjadi 20-hidroksiekdison dijaringan perifer. Kenaikan kadar hormon ekdisteroid hemolimph ini mengawali untuk terjadinya ganti kulit. Aktifitas organ-Y ini akan turun kembali yang belum diketahui penyebabnya, kadar hormon ekdisteroid turun, dan MIH kembali dilepaskan
2.3 Nutrisi
Pakan harus mengandung semua nutrien yang diperlukan seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral dalam jumlah cukup dan berimbang. Lemak disamping berfungsi sebagai sumber energi (8-9 kcal/g ) juga penting sebagai sumber asam lemak essensial dan diperlukan juga dalam proses absorpsi nutrient yang larut didalamnya. Tanpa lemak dan karbohidrat yang cukup, udang menggantungkan pemenuhan energinya hanya dari protein,
(12)
sehingga protein tidak optimal digunakan untuk pertumbuhan. Menurut Stickney (1979) energi yang terkandung dalam pakan yang berasal dari non protein dapat mempengaruhi protein yang digunakan untuk pertumbuhan Pada habitat aslinya Jenis makanan yang dimanfaatkan oleh huna capit merah asanya berupa biji-bijian, ubi-ubian, dan bangkai hewan (Scavenger), sekaligus memangsa hewan hidup lain dari kelompok udang, karena itu huna capit merah termasuk hewan omnivora. Kebiasaan nyata yang sering dilakukan adalah mengkonsumsi udang-udang kecil yang hidup dihabitatnya atau memangsa anggota huna capit merah itu sendiri, sehingga huna capit merah memiliki sifat kanibal. Jenis pakan yang dapat dikonsumsi induk lobster air tawar diantaranya daging udang kecil, ubi jalar, dan pelet, dimana kemampuan huna capit merah mencerna material tanaman karena memiliki enzim polysaccharide hydrolase (Xue et al. 1999). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Manomaitis(2001) menggunakan benih huna capit merah yang baru menetas (0,1 gram) melaporkan bahwa benih huna capit merah yang berukuran 3 gram (berumur ± 9 minggu) membutuhkan 24-44% protein dalam pakan, hal ini tidak berbeda nyata terhadap berat total, pertumbuhan spesifik dan persentase pertumbuhan yang dihasilkan pada akhir penelitiannya. Metts
et al. (2007) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa cherax dengan
ukuran rata-rata 6,25 g yang dipelihara di kolam tanah dapat memanfaatkan protein kasar dalam pakan sebesar 13-28%.
Setelah berumur 8-15 hari, rata-rata huna capit merah memiliki bentuk yang sama dengan induknya, aktif dalam mencari pelindung diri dari serangan luar, aktif mencari pakan yang berasal dari luar, dan mulai mengalami moulting dalam pertumbuhannya. Pada masa juvenil tingkat kepadatan, jenis dan ukuran pakan adalah faktor yang harus diperhatikan selain kondisi lingkungan dan pencegahan serangan penyakit. Guna memberikan sumber energi yang dapat digunakan dalam pemeliharaan, serta penggantian dan penambahan sel tubuh benih lobster air tawar, jenis pakan yang digunakan adalah cacahan udang segar, hancuran pellet udang komersial, cacing sutera segar, daphnia beku, tepung kacang-kacangan, dan sisikan ubi jalar. Secara ilmiah, pakan berupa cacahan udang segar, cacing sutera segar, dan daphnia
(13)
beku merupakan sumber protein dan lemak hewani. Sementara itu tepung kacang-kacangan dan sisikan ubi jalar merupakan sumber protein dan karbohidrat yang berasal dari sumber nabati. Kalsium digunakan dalam pembentukan cangkang, sehingga dibutuhkan bahan pakan mengandung mineral (tepung mineral).
D’Abramo et al. (1982) telah meneliti hubungan antara fosphatidilkholin ransum dan kolesterol serum pada lobster, Homarus sp. Diketahui bahwa ketiadaan fospatidikholin kedelai ransum murni yang diberikan pada larva lobster telah mengakibatkan penurunan konsentrasi kolesterol dan fospolipid yang cukup besar dalam serum. Bila fospolipid telur, sephalin dan fospotidilinositol digunakan sebagai pengganti fospatidikholin kedelai, konsentrasi kolesterol dan fospolipid dalam serum tetap rendah. Konsentrasi kolesterol dan fospolipid dalam serum memiliki keterkaitan yang tinggi. Terdapat indikasi bahwa absorpsi kolesterol oleh usus tidak terhambat oleh ketiadaan fospatidikholin atau keberadaan fospolipid pengganti. Diduga molekul fospatidilkholin merupakan komponen penting lipoprotein yang mentransfer kolesterol dari hepatopankreas ke hemolimph.
Hernandes et al. (2003) melaporkan bahwa perbedaan yang nyata dari pertumbuhan juvenil huna capit merah ditentukan oleh diet pakan dengan variasi dari level lipid pada kondisi dilaboratorium. Dalam uji coba pertumbuhan, 26% bobot tubuh ditentukan oleh pakan alami dalam sistem budidaya dengan ketersediaan pakan alami untuk mendukung pertumbuhan yang optimum
Kebutuhan optimal protein yang cukup untuk huna capit merah tergantung pada ukuran dan umur huna capit merah. Cortes et al. (2003) mendefinisikan untuk juvenil huna capit merah rasio perbandingan kecernaan protein terhadap kecernaan energi adalah 18,4 mg protein kilo joule dengan 270g/kg pakan level DP, dan DL 75g/kg dan intake protein per animal per hari sebagai pembentukan jaringan, survival, Laju Pertumbuhan Spesifik (SGR), Food Corversi Ratio (FCR) dan Protein Efisiensi Ratio (PER).
Hasil penelitian Campana-Torres (2006) menyatakan bahwa kecernaan lipid dan karbohidrat huna capit merah yang terdapat pada 2 ramuan tanaman
(14)
yaitu tepung gandum dan paste kedele dan ramuan hewani yaitu tepung kepiting merah dilaporkan hasilnya sama dengan kecernaan pada udang vanamei (Littopenaeus vanamei ) dan sumber tepung dari gandum juga mengandung lemak dengan tingkat kecernaan yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa huna capit merah sistem kecernaannya sangat efisien karena kesanggupannya mengassimilasi nutrien dari sumber yang bervariasi karena memiliki enzim endogenous sellullose.
Hasil penelitian dari Hernandes et al. (2003) menyatakan bahwa huna capit merah betina dan jantan memerlukan lipid untuk kebutuhan yang berbeda dalam sistem metabolisme. Huna capit merah betina pada percobaan yang berbeda tidak ditunjukkan perbedaan nyata kandungan lipid dalam hepatopankreas, dan dapat dijadikan hubungan antara penggunaan lipid untuk pematangan gonad atau vitellogenesis. Perbedaan perkembangan stadia ditentukan oleh telur yang terdapat pada induk betina untuk semua percobaan, termasuk nilai pakan untuk udang betina dan sebagian besar kebutuhan lipid digunakan untuk pematangan gonad.
Lebih lanjut dilaporkan oleh Hernandes et al. (2003), pengaruh dari diet lipid pada berbagai level dan sumber lemak untuk ketahanan huna capit merah tidak didokumentasikan dengan baik, akan tetapi hasil penelitian pada diet lipid akan mempengaruhi ketahanan pada huna capit merah jantan. Peningkatan lipid hepatopankreas pada huna capit merah jantan berhubungan dengan peningkatan lipid pada carcass, dan dapat meningkatkan pertumbuhan dan dan disimpan untuk pematangan gonad. Dasar dari penelitian oleh Hernandes et al. (2003) pada sistem budidaya semi intensif kebutuhan huna capit merah ini bahwa kebutuhan lipid dapat dikurangi hingga 4,2% dengan mempertimbangkan keberadaan pakan alami pada lingkungan budidaya. 2.4 Kebutuhan asam lemak udang-udangan
. Pemberian asam lemak essensial harus optimum sehingga menunjang pertumbuhan udang. Asam lemak essensial dalam tubuh ikan merupakan komponen fosfolipid yang berperan penting pada biomembran sel. Keberadaan asam lemak essensial pada biomembran sel dapat menjaga dan memperbaiki fluiditas membran sehingga fungsi metabolisme tetap berjalan
(15)
normal. Asam lemak essensial yang berasal dari polyunsaturated fatty acids
(PUFA) dan highly unsaturated fatty acid (HUFA) berperan penting pada proses metabolisme membran sel (Bhagavan 1992). Penambahan asam lemak n-3 HUFA dapat mengaktifkan enzim (Na+ / K+) ATPase untuk mendukung fleksibilitas dan permeabilitas yang tinggi pada membran sel, sehingga meningkatkan aktivitas enzim dan transportasi ion-ion ke dalam sel. Hal ini penting untuk proses pertumbuhan, adaptasi dan osmoregulasi.
Tabel 2. Komposisi asam lemak essensial dengan berbagai sumber Lipid (g/100g asam lemak) (Tacon (1987) dalam Millamena (2002) Sumber Lipid 18:2n-6 18:3n-3 20:5n-3 22:6n-3 Lemak Nabati :
Minyak jagung 58 1 0 0
Minyak kelapa 2 0 0 0
Minyak biji kapas 53 1 0 0
Minyak biji rami 17 56 0 0
Minyak kelapa sawit 10 1 0 0
Minyak biji sawit 2 0 0 0
Lemak hewani
Minyak capelin 5 0 7 5
Minyak hati ikan kod 5 1 16 14
Minyak cumi-cumi 1 2 16 18
Minyak Ikan Salmon 3 0 10 10
Minyak Ikan Tuna 5 3 7 12
Menurut Halver (1989), salah satu ciri minyak ikan adalah kandungan asam lemak linoleat (n-6) yang rendah tetapi kandungan asam lemak linolenat (n-3) tinggi. Menurut Sargent (1997), minyak ikan laut biasanya kaya akan asam lemak n-3, EPA. Minyak ikan yang sering digunakan adalah minyak ikan cod, hearing, salmon, menhaden, tuna dan caplin. Minyak jagung mengandung asam lemak linoleat (n-6) yang tinggi 56,3% (Takeuchi et al. 1983). Minyak kelapa mengandung 88% asam lemak jenuh (Linder 1992) sehingga sangat menentukan kualitas dan kuantitas asam lemak essensial dalam pakan. Pemilihan sumber lemak yang sesuai perlu dilakukan, karena sumber lemak yang berbeda akan menghasilkan asam lemak essensial yang berbeda pula sehingga penggunaan sumber lemak yang tepat akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang.
(16)
Kebutuhan asam lemak pada udang juga berbeda, seperti pada udang galah (Macrobarachium rosenbergii De man), adalah 1,1 g/100 g pakan dan pada udang laut seperti (Penaeus brasiliensis, Penaeus schimitty, Xiphopenaeus kroyeri ) adalah 0,9-1,0g/100g pakan (Bragagnolo et al. 2000). Hasil Penelitian Glencross et al. (2002) menyatakan bahwa kebutuhan optimalisasi asam lemak essensial pada udang windu (Penaeus monodon) dari total pakan 45-130g/kg , kandungan lipid adalah 75 gram dengan asam lemak essensialnya adalah 17g/kg pakan. Mayra et al. (2002) menyatakan bahwa kebutuhan lipid pada udang vaname mempengaruhi kandungan lipid pada hepatopancreas dan jaringan otot pada udang tersebut. Dari 6-9% total lipid tubuh perbedaan yang tinggi dari total lipid pada hepatopancreas lebih dari 3%. Bagaimanapun juga kandungan lipid pada otot udang bersumber dari 9% lipid pada pakan udang dan memiliki kesamaan dengan kandungan lipid 6% pada pakan tersebut, dan berbeda dengan pakan udang yang kandungan lipidnya hanya 3 %.
Mukhopadyay et al. (2003) menyatakan bahwa Monounsaturated fatty acid merupakan bagian terbesar dari asam lemak pada stadia 1 udang air tawar dan polyunsaturated fatty acid adalah kelompok yang dominan (n-3 series dan n-6 series) untuk perkembangan larva tersebut. Bagian asam lemak yang terbesar pada stage-1 larva adalah palmitat (16:0), Oleic vaccine (18:1), linoleic acid (18:2n-6) dan eicosapentanoic acid (20:5n-3). Selanjutnya dijelaskan bahwa pada juvenil udang galah PUFA akan meningkat selama proses perkembangan larva. Larva udang cukup mampu mensuplai Palmitat (16:0) atau stearic acid (18:0) kebutuhan linoleic acid (18-2n:6) dan juga memanfaatkan arachidonat (20:4n-6) untuk kebutuhan larva tersebut.
Hasil Penelitian Xu et al. ( 1994) kebutuhan asam lemak essensial pada udang chinese (Penaeus chinensis) melaporkan bahwa pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup udang ini hanya membutuhkan 1% linolenat (18:3n-3) dan 1% linoleat (18:2n-6) dalam pakannya. Asam lemak docosahexanoid acid ( 22:6n-3) adalah asam lemak essensial untuk larva udang galah stage 1 hingga stage 3, dan rasio asam lemak n-3 dan n-6 didapatkan setelah stage 1 (Roustran et al. 1999). Hasil penelitian Felix Gonzales et al.
(17)
(2002) pengaruh kebutuhan lipid terhadap ketersediaan asam lemak essensial pada juvenil udang putih (Littopenaeus vanamei) dengan total n-3 adalah 28,85% dan n-6 adalah 15,30%.
Halver (1989) sumber asam lemak essensial sangat penting untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan dan udang. Asam lemak essensial ini tidak dapat disintesa oleh hewan akuatik atau dapat disintesa tetapi dalam jumlah yang sedikit, sehingga harus tersedia didalam pakan. Dibandingkan dengan minyak tumbuhan, minyak ikan mengandung variasi asam lemak tidak jenuh yang lebih besar dan rantai karbon yang lebih panjang sehingga termasuk dalam kelompok asam lemak n-3. Asam lemak n-3 berantai panjang biasanya berjumlah sekitar seperempat atau sepertiga dari keseluruhan asam lemak dalam minyak ikan, sedangkan asam lemak berantai panjang pada minyak nabati tidak lebih dari 5% dan bahkan kurang dari 1% .
Watanabe (1982) Tersedianya kebutuhan lipid dalam bentuk PUFA
untuk ikan, tidak dapat disintesis de novo tetapi harus disediakan pada pakan dalam bentuk asam lemak essensial untuk pemeliharaan dan fungsi sel. Asam linoleat (18:2n-6) dan linolenat (18:3n-3) dibutuhkan khususnya pada pertumbuhan ikan tersebut.
Catacutan (1991) kebutuhan asam lemak essensial dalam bentuk linolenat (18:3n-3) dan n-3 HUFA sebagai sumber lemak pada juvenil udang windu sekitar 2,6% dalam pakannya akan meningkatkan pertumbuhannya, dengan kandungan n-6 (asam linoleat) dalam pakan tidak lebih dari 5% sebab akan memberikan efek negatif pada pertumbuhan.
2.5 Fosfolipid
Bagian lemak yang cukup penting berada dalam sel adalah fosfolipid yaitu lemak yang mengandung fosfor. Lecithin adalah sebuah fosfolipid penting terutama yang terdapat dalam membran sel. Fosfolipid terdiri dari suatu ikatan antara satu molekul asam fosfat dan 2 molekul asam lemak dan ketiga gugusan hidroksil dari molekul gliserol (Campbel dan Smith. 1982). Fosfolipid juga mengandung asam lemak yang mempunyai potensi lipofilik (gugusan yang dapat menarik lemak) dan juga mempunyai kemampuan sebagai penolak air atau gugus hidrofobik. Dengan demikian lecithin mempunyai
(18)
kemampuan untuk mempertahankan kestabilan fase air yang terdapat di luar dan di dalam sel karena adanya gugus hidrofilik, sedangkan gugus hidrofobik yang dipunyai lecithin masuk ke dalam sel.
Fosfolipid merupakan bagian terbesar dari lemak yang ada dalam biomembran pada jaringan ikan dan mengandung fosfotidikholin sebagai fosfolipid terbesar yang diikuti oleh fosfatidiletanomalin (FE), fosfatidilserin (FS), fosfatidinilinositol (FI), kardioplin dan spingomielin sebagai komponen yang terkecil (Sargent et al. 1989). Sintesis fosfolipid dan spingolipid meliputi banyak reaksi yang kompleks, tempat berlangsungnya proses sintesis fosfolipid di dalam hati dan fosfolipid ditranspor ke jaringan tubuh oleh lipoprotein dalam bentuk very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), high density lipoprotein (HDL) (Champbel dan Smith. 1982).
Disamping itu karena sifatnya sebagai zat pengemulsi maka fosfolipid mempunyai peranan sebagai karier asam lemak dalam darah ikan.
Kebutuhan formasi komponen sel yang baru pada permulaan periode pertumbuhan larva yang cepat (Kanazawa. 1993). Sebagian besar ikan dan crustacea yang diteliti mempunyai kebutuhan fosfolipid pada fase larva 1-3% dari bobot kering pakan (Coettau et al. 1997). Sedangkan Kanazawa (1997) melaporkan bahwa kebutuhan fosfolipid dalam tubuh ikan mampu meningkatkan daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kualitas air lingkungan. Tampak bahwa jenis fosfolipid dalam pakan akan memberikan respon toleransi terhadap perubahan kualitas air yang berbeda. Teshima dan Kanazawa (1986) menyatakan bahwa komposisi lemak hepatopankreas, hemolimph dan otot larva udang yang ransumnya mengandung cukup fosfolipid ternyata berbeda dengan udang yang ransumnya kekurangan fosfolipid. Kebutuhan udang akan berhubungan dengan perannya untuk memperlancar transportasi lemak seperti trigliserida dan kolesterol dalam tubuh melalui hemolimph. Selanjutnya diasumsikan bahwa ransum yang kekurangan fosfolipid akan mengakibatkan transportasi lemak tidak mencukupi sehingga pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup menurun dan nilai retensi lemak dalam tubuh khususnya kolesterol sangat menurun bila ransum udang kekurangan fosfolipid.
(19)
2.6 Hemolimph Udang
Hemolimph udang merupakan suatu cairan tubuh yang terdapat dalam pembuluh hemolimph dan berhubungan dengan sistem pertahanan tubuh. Sistem pertahanan tubuh udang masih primitif dan tidak memiliki sel memori. Sistem pertahanan tubuh udang terdiri dari 2 bagian utama yaitu : Sistem pertahanan tubuh selluller dan sistem pertahanan tubuh humoral. Kedua system pertahanan tubuh ini bekerja sama memberikan perlindungan tubuh terhadap berbagai bahan dalam lingkungan. Lockwood (1989)
mengungkapkan bahwa crustacea yang hidup di perairan bersalinitas rendah, mempertahankan darahnya agar hyperosmotic terhadap mediumnya dengan jalan menyerap secara aktif garam-garam ke dalam tubuhnya. Perubahan parameter-parameter (kandungan ion) hemolimph crustacea, selain karena perubahan medium eksternalnya, juga disebabkan karena faktor-faktor dalam endogenous terutama pada peristiwa moulting.
Kerusakan struktur sel hemolimp meliputi penyusutan sel seperti ukuran sel hemolimph yang kecil dan bentuknya tidak beraturan (lisis). Kiron et al.
(1994) menyatakan bahwa jumlah sel darah yang lisis dapat digunakan sebagai indikator tingkat integritas membrane sel
(20)
3 METODE 3.1 Pakan Uji
Pakan perlakuan yang digunakan dalam penelitian adalah empat jenis pakan dengan formulasi yang berbeda dan kesemuanya mengandung protein kasar (CP) 35%. Penggunaan sumber lemak nabati dari minyak jagung dalam jumlah yang berbeda, yaitu 0%, 1%, 2% dan 3% dan minyak kelapa ditambahkan 3,13%, 2,13%, 1,13% dan 0,13%, mencukupkan total lemak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebesar 6,13%. Sedangkan sumber lemak hewani yang digunakan dalam formulasi ini adalah minyak ikan sebagai penyumbang n-3 untuk semua pakan sama jumlahnya yaitu 3%. Formulasi pakan ini mengacu pada penelitian seperti yang dilakukan oleh Thompson et al. (2005) dengan sedikit modifikasi seperti terlihat pada Tabel 3. Keempat jenis pakan yang diformulasikan tersebut menggunakan tepung ikan, dan tepung kedele sebagai sumber protein dan menggunakan tepung terigu dan tepung pollard sebagai sumber karbohidrat. Penggunaan bahan bahan sebagai senyawa mikronutrient seperti mineral mix1, vitamin mix2, Dicalsium phosfat, Cholin chloride, Wheat gluten dan enzim fitase sebagai komposisi pelengkap bagi makronutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan huna capit merah tersebut
Proses pembuatan pakan dari 1 kg bahan baku menggunakan metode Cheng dan Hardy (2002). Sebelum pakan dibuat, dilakukan analisis proksimat terhadap bahan baku pakan. Komposisi bahan penyusun pakan disajikan pada Tabel 3. Prosedur pembuatan pakan disajikan pada Lampiran 1. Pakan yang telah dibuat dianalisa proksimat untuk mengetahui kandungan proksimatnya dan analisa asam lemak dengan metode GC-MS untuk mengetahui komposisi asam lemaknya. Hasil analisa proksimat pakan uji dapat dilihat pada Tabel 4, dan hasil analisa asam lemak dapat dilihat pada Tabel 5.
(21)
Tabel 3. Komposisi pakan uji yang digunakan pada penelitian
Jenis Bahan Baku (%)
Pakan Uji (% Kadar minyak jagung) ( 0,0) ( 1,0) ( 2,0) ( 3,0)
Tepung ikan 1 10,00 10,00 10,00 10,00-
Tepung kedelai 1 46,20 46,20 46,20 46,20
Tepung terigu1 18,69 18,69 18,69 18,69
Tepung pollard1 9,94 9,94 9,94 9,94
Minyak Ikan 3 3 3 3
Minyak Jagung 0 1 2 3
Minyak kelapa 3,13 2,13 1,13 0,13
Mineral mix2 0,50 0,50 0,50 0,50
Vitamin mix3 2,00 2,00 2,00 2,00
Dicalsium phospat 1,00 1,00 1,00 1,00
Cholin chloride 0,50 0,50 0,50 0,50
Wheat gluten 1 5,00 5,00 5,00 5,00
Fitase 0,04 0,04 0,04 0,04
Jumlah 100 100 100 100
Keterangan :
1.Kandungan protein (bobot kering) tepung ikan 47,17%, tepung pollard 16,17%, tepung kedele 46,98%, tepung terigu 10,48%, wheat gluten 77,12%
2. Mineral mix yang akan digunakan mengandung (g/kg) KCl, 0,5; MgSO4.7H2O, 0,5 ;
ZnSO4.7H2O, 0,09; MnCl2.4H2O, 0,0234; CuSO4.5H2O, 0,005; KI,
0,005;CoCl2.2H2O;0,0025; Na2HPO4, 2,37; Selenium 0,3 mg/kg pakan (Lopez et al,
2005)
3. Vitamin mix mengandung biotin 0,6 mg; B12 0,06 mg; E (alpha-thocopheryl acetat) 50 IU; folic acid 16,5 mg; mio inositol 132 mg; K (menadione sodium bisulfate complex) 9,2 mg; niacin 221 mg; panthothenic acid 106 mg; B6 31 mg; riboflavin 53 mg; thiamin 43 mg, D3 440 IU; A (vitamin A palmitat) 4399 IU; ethoxyquin 99 mg (Thompson et al. 2005).
Tabel 4. Hasil analisa proksimat (% bobot basah) pakan penelitian
Komposisi (%) Pakan Uji (% Kadar minyak jagung) (0,0) (1,0) (2,0) (3,0) Protein
Lemak Abu Serat kasar Kadar air
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
31,78 6,69 9,26 2,98 9,96 39,33 32,27 6,81 9,28 3,01 8,61 40,02 32,36 6,96 9,48 3,02 8,08 39,92 32,71 7,14 9,25 2,33 9,54 39,21 Total energi (Kal/gram) 3911 3916 3941 3983
(22)
Tabel 5. Komposisi asam lemak pakan penelitian
No Komposisi Asam lemak
Pakan uji (% Kadar minyak jagung) (0,0) (1,0) (2,0) (3,0) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17. 18. 19. 12:0 14:0 15:0 16:1n-7 16:0 17:0 18:2n-6 18:3n-3 18:1n-9 18:0 20:5n-3 20:4n-6 20:0 20:1n-9 22:6n-3 22:0 Total n-3 Total n-6 Ratio n-6/n-3 0,32 3,32 1,39 4,03 5,18 2,37 0,08 4,71 5,04 0,47 0,69 0,36 0,48 4,14 2,22 0,64 7,62 0,44 0,06 4,34 3,36 2,24 4,26 4,96 2,59 0,60 4,68 5,09 0,79 0,47 0,73 0,49 6,42 2,81 0,57 7,96 1,33 0,17 6,48 3,67 2,23 4,52 4,92 2,64 1,05 4,80 5,64 1,75 0,59 0,78 0,47 6,01 3,94 0,47 9,33 1,53 0,16 4,71 4,54 1,94 5,07 4,65 2,68 2,04 4,60 8,50 1,18 0,43 1,55 0,00 7,00 3,52 0,68 8,55 3,59 0,42
3.2 Pemeliharaan dan Pengumpulan Data
Spesies yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih huna capit merah berumur 2,5 bulan dengan berat individu ± 3,5-6,5 g. Benih yang digunakan adalah hasil pendederan yang dilakukan dari penetasan sepasang induk huna capit merah yang dipelihara selama 2 bulan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Wadah yang digunakan adalah akuarium ukuran ( 50 x 37,5 x 35) cm sebanyak 16 buah dengan sistem aerasi dan potongan pipa PVC sebagai pelindung huna selama pemeliharaan.
Benih huna capit merah yang digunakan untuk penelitian diadaptasikan dengan lingkungan dan pakan uji terlebih dahulu. Setelah huna ini mampu beradaptasi dengan baik dilakukan seleksi berdasarkan kesamaan ukuran untuk dijadikan hewan uji. Huna capit merah yang digunakan dalam penelitian sebanyak 11 ekor per akuarium, kemudian dilakukan pemuasaan selama 24 jam sebelum pemberian pakan perlakuan. Selama masa budidaya, huna capit merah diberi pakan sebanyak 3 kali (06.00, 12.00 dan 17.00 WIB). Pemberian pakan awal diberikan sebanyak 3% dari bobot huna ini, selanjutnya jumlah
(23)
pemberian pakan disesuaikan dengan kebutuhan huna capit merah, dengan cara mengamati respon makan huna tersebut. Pemeliharaan huna capit merah dilakukan selama 60 hari.
Pengamatan respon makan huna capit merah dilakukan dengan pengecekan dalam jangka waktu 1 hingga 2 jam setelah pemberian pakan. Apabila dalam 1 jam pakan sudah habis, maka jumlah pakan ditambahkan sebanyak 20% pada pemberian pakan berikutnya. Jika dalam 2 jam pakan belum habis, maka pakan dikurangi 20% pada pemberian pakan berikutnya. Jumlah pakan yang dimakan selama percobaan pada setiap unit percobaan dicatat sebagai dasar dalam menghitung efisiensi pakan.
Pengendalian kualitas air dilakukan dengan cara penyiponan setiap hari dari sisa makanan dan feses huna capit merah. Media pemeliharaan sebelum digunakan disterilkan dengan menggunakan kaporit dan dinetralkan dengan Natrium Tio Sulfat dan dilakukan uji kesadahan. Selama penelitian juga dilakukan pengamatan kualitas air seperti suhu, oksigen terlarut, pH, amoniak dan alkalinitas, yang berperan dalam pertumbuhan dan kehidupan huna capit merah. Sampel air pemeliharaan diuji pada 3 kali pengampilan sampel yaitu: pada awal pemeliharaan, setelah masa pemeliharaan 1 bulan, dan setelah masa pemeliharaan 2 bulan. Hasil pengukuran disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai rataan kualitas air media pemeliharaan pada setiap perlakuan selama penelitian
Parameter Perlakuan pakan (% kadar minyak jagung) (0,0) (1,0) (2,0) (3,0) Suhu (oC)
pH
Oksigen terlarut (mg/L)
Total Amonium Nitrogen (mg/L) Kesadahan (mg/L)
25 7,5 3,6 0,05 68,07
25 7,4 3,5 0,04 69.21
25 7,2 3,8 0,05 68,33
25 7,8 4 0,04 70,12
Penentuan bobot hewan uji dengan cara mengambil semua hewan uji dalam masing masing akuarium pada tiap ulangan dengan menggunakan seser dan dimasukkan dalam wadah tanpa air, kemudian ditimbang. Penimbangan bobot tubuh dilakukan pada awal dan akhir penelitian.
(24)
3.3 Analisis Statistik
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian menggunakan 4 perlakuan pakan yang berbeda kandungan asam lemak essensialnya dan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali terhadap masing-masing perlakuan. Data dianalisa secara statistik dengan one-way analysis of variance (Steel dan Torrie, 1980) menggunakan software statistik SPSS (versi 13.0). Perbedaan dipertimbangkan secara nyata pada selang kepercayaan 95% (p<0,05).
Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan huna capit merah, parameter yang digunakan antara lain, tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan relatif, konversi pakan, efisiensi pakan, retensi protein dan retensi lemak, kandungan posfolipid dan netral lipid, tingkat kerapuhan osmotik pada media bersalinitas rendah.
1. Laju pertumbuhan relatif (LPR)
Laju pertumbuhan relatif rata-rata udang dihitung dengan menggunakan rumus:
LPR = x100 % Wo
Wo
Wt −
Keterangan: LPR = Laju pertumbuhan relatif rata-rata (%) wo = bobot tubuh awal pemeliharaan (g) wt = bobot tubuh akhir pemeliharaan (g) 2. Kelulushidupan/survival rate (SR)
Tingkat kelangsungan hidup udang dihitung dengan menggunakan rumus:
SR= 100% 0
Nt
N ×
Keterangan: SR = kelangsungan hidup (%)
Nt = jumlah udang pada akhir pemeliharaan (ekor) 0
N = jumlah udang pada awal pemeliharaan (ekor) 3. Rasio konversi pakan (FCR)
Rasio konversi pakan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
FCR =
Biomassa Pakan
Δ Σ
Keterangan: ΣPakan = jumlah pakan udang selama pemeliharaan (g)
Biomassa
Δ = selisih biomassa udang pada akhir pemeliharaan ditambah dengan bobot udang yang mati dan bobot udang awal pemeliharaan (g)
(25)
4. Retensi Protein (PR)
Retensi protein dihitung dengan menggunakan rumus:
PR = Bobot protein tubuh akhir – Bobot protein tubuh awal (g) x 100% Bobot total protein yang dikonsumsi
5. Retensi Lemak (LR)
Retensi lemak dihitung dengan menggunakan rumus :
LR = Bobot lemak tubuh akhir – Bobot lemak tubuh awal (g) x 100% Bobot total lemak yang dikonsumsi
6. Efisiensi Pakan (EP):
EP = (Wt + Wd) -- W0 F
7. Analisa kerapuhan osmotik hemolimph udang (Kiron et al. 1994) % hemolysis = Jumlah sel lisis x 100%
Jumlah sel total
8. Analisa lipid polar (PL) dan lipid netral (NL) Persentase PL = PL x 100% NL + PL
Persentase NL = NL x 100% NL + PL
3.4 Analisis Kimia
Analisis kimia dilakukan untuk mengetahui komposisi proksimat bahan baku pakan, pakan, tubuh dan daging huna capit merah tersebut. Analisa proksimat tubuh dan daging huna (Takeuchi, 1988) ini dilakukan pada awal dan akhir penelitian dilakukan di lab. Nutrisi, BDP. FPIK IPB. meliputi ; protein (metode Kjedhal), lemak (ekstraksi soxhlet), serat kasar (metode pelarutan sampel dalam asam dan basa kuat serta pemanasan), kadar abu (metode pemanasan sampel dalam tanur pada suhu 400-600oC), kadar air (metode pemanasan dalam oven pada suhu 105-110oC) dan BETN (Bahan ekstrak tanpa nitrogen). Analisa kimia lanjutan meliputi: analisa asam lemak dalam pakan, tubuh dan daging huna capit merah dilakukan dengan metode Khromatografi gas cairan (Gas liquid Chromatography) di laboratorium LIPI Juanda dan laboratorium Kimia Analisis Pangan FATETA. IPB. pemisahan lemak dengan metode Folch, analisis polar lipid dan netral lipid (Sep-pak
(26)
Cartridges), analisis hemolimph udang pada konsentrasi garam bertingkat 0,5% (Kiron et al. 1994). Analisis hemolimph udang dilakukan untuk melihat peran asam lemak essensial pada permeabilitas membran sel dengan pengukuran tingkat kerapuhan sel menggunakan spektrofotometer, nilai optical
density tertinggi merupakan sel yang memiliki kerapuhan tertinggi dan
(27)
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi minyak jagung yang ditambahkan ke dalam pakan sampai 3% menghasilkan pertumbuhan huna capit merah yang semakin meningkat. Nilai rata-rata tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan relatif, retensi lemak, retensi protein, jumlah konsumsi pakan disajikan pada Tabel 7 dan data lengkapnya disajikan pada Lampiran 10,11,12,13, dan 14.
Tabel 7. Rata-rata tingkat kelulushidupan (SR), retensi protein (RP), retensi lemak (RL), Laju pertumbuhan Relatif (LPR) dan Efisiensi Pakan (EP) selama penelitian
Parameter
Pakan (% kadar minyak jagung)
(0,0) (1,0) (2,0) (3,0) SR (%) 78,79±5,25a 75,76±13,89a 75,76±10,5a 78,79±11,7 a LPR (%) 79,6±5,3a* 90,6±14,1b 121,2±25,9b 144,7±3,50c RP (%) 8,8±1,66a 11,9±1,4b 17,7±4,53b 27,7±7,81c RL (%) 1,40±0,5a 2,20±0,2b 2,5±0,2b 3,4±0,3b EP (%) 19,4±4,4a 27,9±9,8b 33,0±2,3c 35,9±4,9c Keterangan : *) huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada
perbedaan antar perlakuan (P<0.05)
Penambahan minyak jagung dengan kadar yang berbeda dalam komposisi pakan memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan relatif (LPR), retensi protein (RP), retensi lemak (RL) dan efisiensi pakan (EP), namun tidak berpengaruh terhadap tingkat kelulushidupan (SR) huna capit merah. Pakan dengan kadar minyak jagung 3% memiliki nilai laju pertumbuhan relatif (144,7±3,50), retensi protein (16,8±5,45), retensi lemak (3,65±0,23), efisiensi pakan (34,4±4,9) yang paling baik. Sedangkan tingkat kelulushidupan pada tiap-tiap perlakuan tidak berbeda nyata (Tabel 7).
Pengaruh asam lemak essensial dalam pakan terhadap kinerja pertumbuhan berkorelasi dengan nilai rata-rata kerapuhan hemolimph udang seperti yang disajikan pada Gambar 2 dan data lengkapnya pada Lampiran 15.
(28)
Gambar 2. Nilai rata-rata kerapuhan hemolimph huna capit merah pada konsentrasi NaCl 0,5% di akhir penelitian
Pada Gambar 2 terlihat bahwa jumlah sel hemolimph udang yang rapuh lebih sedikit terjadi pada pakan kadar minyak jagung 3% kemudian pakan kadar minyak jagung 2%, pakan kadar minyak jagung 1% dan pakan kadar minyak jagung 0%. Hal ini berarti bahwa huna dengan pakan kadar minyak jagung 3% memiliki integritas membran sel yang lebih baik.
Data komposisi asam lemak tubuh huna capit merah, dapat dilihat pada Tabel 8, ini terlihat bahwa kadar minyak jagung yang berbeda pada masing masing perlakuan menghasilkan kadar asam lemak n-6 tubuh yang berbeda pula. Kadar asam lemak tubuh terendah pada pakan kadar minyak jagung 0%, menghasilkan n-6 tubuh huna capit merah 12,27%, pakan kadar minyak jagung 1% menghasilkan n-6 tubuh 17,78%, pakan kadar minyak jagung 2%, menghasilkan n-6 tubuh 21,72%, pakan kadar minyak jagung 3% menghasilkan n-6 tubuh, 26,89%. Minyak ikan yang diformulasikan dalam pakan pada jumlah yang sama menghasilkan turunan n-3 tubuh yang tidak berbeda nyata, walaupun ada peningkatan dari 4,08% kadar n-3 tubuh dari awal pemeliharaan hingga pada akhir penelitian. Rasio n-6 dan n-3 asam lemak tubuh huna capit merah berturut-turut adalah 1,83%, 1,66%, 1,61%, 2,21% ( Tabel 5 dan Tabel 8)
(29)
Tabel 8. Hasil analisa asam lemak tubuh huna capit merah awal dan akhir penelitian
No Komposisi Asam lemak Awal penelitian
Pakan (% kadar minyak jagung) (0,0) (1,0) (2,0) (3,0) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17. 18. 19. 12:0 14:0 15:0 16:1n-7 16:0 17:0 18:2n-6 18:3n-3 18:1n-9 18:0 20:5n-3 20:4n-6 20:0 20:1n-9 22:6n-3 22:0 Total n-3 Total n-6 Ratio n-6/n-3 0,01 0,08 0,02 1,38 10,32 0,04 9,68 0,85 18,70 2,51 2,16 1,25 0,07 0,00 1,07 0.08 4,08 10,93 2,68 0,07 0,77 0,09 1,92 12,39 0,12 10,95 2,54 19,62 2,34 2,01 1,32 1,08 0,02 2,14 1,07 6,69 12,27 1,83 0,32 0,34 0,08 2,17 12,90 0,08 11,78 1,98 16,59 5,39 3,22 2,78 0,99 0,25 3,57 0,57 8,77 14,56 1,66
0,67 0,89 0,86 1,12 2,38 3,09 12,14 11,11 0,24 0,89 20,18 26,33 13,15 18,47 17,88 11,43 2,53 1,37 2,15 3,44 1,54 2,89 3,35 5,63 0,89 0,88 4,93 4,98 0,33 0,09 0,43 0.92 10,23 10,89 16,5 24,1 1,61 2,21
Tabel 9. Hasil analisa laboratorium lipid polar dan lipid netral huna capit merah akhir penelitian
Parameter Pakan Penelitian (% kadar minyak jagung)
(0,0) (1,0) (2,0) (3,0)
Lipid polar (%) 9,2 12,74 16,18 16,82 Lipid netral (%) 84,18 83,22 81,18 80,52
4.2 Pembahasan
Kadar asam lemak essensial dalam pakan optimal, maka fungsi membran sel juga optimal. Peranan asam lemak essensial tersebut dalam tubuh huna capit merah dibuktikan dari data kerapuhan hemolimph udang (Gambar 2). Kiron et al., (1994) menyatakan bahwa jumlah sel hemolimph yang rapuh dapat dijadikan indikator tingkat integritas membran sel. Pakan kadar minyak jagung 3% menghasilkan integritas membran sel yang paling tinggi, kemudian pakan kadar minyak jagung 2%, pakan kadar minyak jagung 1% dan pakan kadar minyak jagung 0%, sehingga nilai kerapuhan hemolimph juga paling
(30)
rendah pada pakan kadar minyak jagung 3%. Hal ini berarti bahwa pengaruh kadar minyak jagung yang semakin tinggi dalam membran sel memperkecil terjadinya tingkat kerapuhan sel dengan perubahan salinitas dalam media pemeliharaan, karena dengan konsentrasi asam lemak yang tinggi dalam membran sel akan memperkuat membran sel tersebut sehingga tidak mudah rapuh pada saat huna melakukan osmoregulasi. Pada pakan kadar minyak jagung 3% kandungan asam linoleat (18:2n-6) yang mencapai 18,27% dan arakhidonat (20:4n-6) mencapai 5,37% berperan pada integritas membran. Bhagavan (1992) menyatakan bahwa asam lemak essensial terutama dari kelompok HUFA mempunyai peranan penting untuk proses metabolisme sel di dalam tubuh. Mayes et al. (1999) menyatakan bahwa asam lemak essensial, terutama arakhidonat (20:4n-6) merupakan prekursor prostaglandin PGF2α yang dapat mempengaruhi replikasi sel. Selain itu, beberapa jenis prostaglandin lainnya mempunyai fungsi induksi dan pengaturan transport ion, terutama pada bagian insang yang berhubungan dengan proses pengaturan mineral dan osmoregulasi.
Asam lemak essensial pada pakan dengan kadar minyak jagung 3% dapat berperan meningkatkan integritas membran sel sehingga meningkatkan kelancaran transpor nutrien dari luar dan ke dalam sel dan dapat pula mengaktifkan kerja enzim-enzim pada membran sel huna. Peningkatan kinerja membran sel tersebut akan menunjang metabolisme secara keseluruhan sehingga sintesis protein dalam sel tinggi (Bhagavan 1992), yang akhirnya berpengaruh pada pertumbuhan huna capit merah yang lebih baik bila dibandingkan pertumbuhan huna pada pakan dengan kadar minyak jagung 2%, 1% dan 0%.
Asam lemak essensial yang merupakan bagian dari phosfolipid terdapat pada membran sel. Pada Tabel 9 disajikan kandungan phosfolipid tertinggi pada pakan dengan kadar minyak jagung 3% mencapai 16,82%. Hal ini berarti bahwa peran phosfolipid mempercepat transport lipid ke hemolimph udang dan pengangkutan lipid diantara jaringan dan organ tubuh berlangsung seefektif mungkin (Cotteau et al., 1997) dan selain itu phosfolipid berfungsi sebagai pengemulsi lipid pada sistem cerna larva ikan dan udang (Kanazawa 1993).
(31)
Hal ini didukung pula dengan laju pertumbuhan relatif tertinggi pada huna capit merah dengan pakan kadar minyak jagung tertinggi mencapai 144,68%±3,50 bila dibandingkan dengan pertumbuhan huna pada pakan dengan kadar minyak jagung 2%, 1%, 0%. Pada membran sel yang integritasnya lebih baik secara tidak langsung menghasilkan penyimpanan retensi protein yang berperan penting pada proses pertumbuhan huna. Tersedianya asam lemak essensial sesuai kebutuhan tubuh udang dan ikan akan menentukan laju sintesis protein di dalam tubuh, dimana kadar asam linoleat maupun linolenat yang bervariasi akan menentukan rasio fosfolipid dan lipid netral dari lemak tubuh total. Umumnya asam lemak tidak jenuh menempati posisi kedua molekul fosfolipid
Adanya peranan asam lemak essensial tersebut di atas secara keseluruhan dapat meningkatkan metabolisme dalam sel, yang secara tidak langsung akan menghasilkan penyimpanan protein tubuh yang lebih tinggi. Keadaan ini terlihat dari nilai retensi protein dan laju pertumbuhan relatif huna capit merah pada pakan kadar minyak jagung 3% lebih tinggi dibandingkan pada pakan lainnya, sehingga menghasilkan efisiensi pakan yang lebih tinggi pula. Kandungan energi dari lemak pakan kadar minyak jagung 3% dimanfaatkan secara efisien untuk pertumbuhan selain sebagai pemenuhan kebutuhan dasar, sedangkan sebagian besar protein dimanfaatkan oleh huna capit merah untuk pertumbuhan seefisien mungkin, karena lemak merupakan sparring effect bagi protein dalam penggunaan energi. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan huna capit merah yang optimum, dapat ditambahkan asam lemak n-6 3,59% yang bersumber dari minyak jagung 3% ke dalam lemak pakan 7,14%.
Huna capit merah membutuhkan n-6 dan n-3 seperti ikan air tawar pada umumnya. Pengaruh asam lemak pakan akan mempengaruhi serta mengubah komposisi asam lemak tubuh huna. Pada Tabel 8 komposisi asam lemak n-3 dan n-6 mengalami modifikasi pada awal pemeliharaan ke akhir penelitian selama 60 hari pemeliharaan. Rasio n-6/n-3 dalam pakan kadar minyak jagung 3% sebesar 0,42% meningkatkan pertumbuhan huna 2,21% diakhir pemeliharaan. Hal ini berarti bahwa Kebutuhan lemak nabati dan hewani
(32)
dalam pakan kadar minyak jagung 3% dapat dioptimalisasi huna capit merah seefisien mungkin baik untuk pertumbuhan maupun untuk metabolisme (Castell, 1981). Hal ini dianggap penting karena udang air tawar membutuhkan 20:5n-3 dan 20:4n-6 sebagai substansial mendasar untuk kebutuhan lipidnya (Sargent et. al., 1997). Kadar asam lemak essensial yang kurang dalam pakan akan menyebabkan membran sel tidak optimal sehingga membran sel tidak berfungsi dengan baik. Keadaan ini akan mengganggu aktivitas enzim-enzim pada membran sel, sehingga sintesis protein dalam sel juga rendah yang akhirnya berpengaruh pada rendahnya laju pertumbuhan relatif huna capit merah. Laju pertumbuhan relatif yang rendah pada pakan kadar minyak jagung 0%, 1%, 2% berakibat pada efisiensi pakan yang rendah pula. Keadaan ini menunjukkan bahwa untuk pertumbuhan optimal pada huna capit merah membutuhkan total asam lemak n-6 3,59% dalam pakan.
Penambahan minyak jagung pada pakan hingga 3% dapat meningkatkan retensi protein dan retensi lemak sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk menyebabkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa minyak jagung mampu meningkatkan pemanfaatan nutrien yang dicirikan pada dengan nilai retensi protein dan retensi lemak yang tinggi, sehingga jumlah protein dan lemak yang disimpan dalam jaringan tubuh juga meningkat (Hernandes et al., 2003). Laju pertumbuhan yang tinggi dengan pakan yang baik akan berpengaruh terhadap nilai kelulushidupan (SR) dan konversi pakan, semakin rendah nilai konversi pakan maka pakan semakin dapat dimanfaatkan oleh huna capit merah dengan efisien. Nilai kelulushidupan dan rasio konversi pakan pada kadar minyak jagung 3% memberikan hasil yang terbaik dibandingkan dengan pakan kadar minyak jagung 2%,1%,0%. Hasil ini lebih baik bila dibandingkan dengan penelitian Setyogati (2009) pada huna capit merah yang menghasilkan nilai FCR pada pakan dengan menggunakan tepung kedele berkadar protein 35% (4,74) dan nilai kelulushidupan 73,33%
(33)
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Pemberian minyak jagung 3% menghasilkan kerapuhan membran sel dan laju pertumbuhan relatif huna capit merah dua kali lipat lebih baik bila dibandingkan dengan integritas membran sel dan laju pertumbuhan relatif huna dengan pakan yang berkadar 0% minyak jagung.
5.2 Saran
Untuk Formulasi pakan benih huna capit merah umur 1,5 bulan dapat ditambahkan kadar asam lemak n-6 sebesar 3% yang bersumber dari minyak jagung dalam lemak pakan 7,14%.
(1)
Gambar 2. Nilai rata-rata kerapuhan hemolimph huna capit merah pada konsentrasi NaCl 0,5% di akhir penelitian
Pada Gambar 2 terlihat bahwa jumlah sel hemolimph udang yang rapuh lebih sedikit terjadi pada pakan kadar minyak jagung 3% kemudian pakan kadar minyak jagung 2%, pakan kadar minyak jagung 1% dan pakan kadar minyak jagung 0%. Hal ini berarti bahwa huna dengan pakan kadar minyak jagung 3% memiliki integritas membran sel yang lebih baik.
Data komposisi asam lemak tubuh huna capit merah, dapat dilihat pada Tabel 8, ini terlihat bahwa kadar minyak jagung yang berbeda pada masing masing perlakuan menghasilkan kadar asam lemak n-6 tubuh yang berbeda pula. Kadar asam lemak tubuh terendah pada pakan kadar minyak jagung 0%, menghasilkan n-6 tubuh huna capit merah 12,27%, pakan kadar minyak jagung 1% menghasilkan n-6 tubuh 17,78%, pakan kadar minyak jagung 2%, menghasilkan n-6 tubuh 21,72%, pakan kadar minyak jagung 3% menghasilkan n-6 tubuh, 26,89%. Minyak ikan yang diformulasikan dalam pakan pada jumlah yang sama menghasilkan turunan n-3 tubuh yang tidak berbeda nyata, walaupun ada peningkatan dari 4,08% kadar n-3 tubuh dari awal pemeliharaan hingga pada akhir penelitian. Rasio n-6 dan n-3 asam lemak tubuh huna capit merah berturut-turut adalah 1,83%, 1,66%, 1,61%, 2,21% ( Tabel 5 dan Tabel 8)
(2)
Tabel 8. Hasil analisa asam lemak tubuh huna capit merah awal dan akhir penelitian
No Komposisi Asam lemak Awal penelitian
Pakan (% kadar minyak jagung) (0,0) (1,0) (2,0) (3,0) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17. 18. 19. 12:0 14:0 15:0 16:1n-7 16:0 17:0 18:2n-6 18:3n-3 18:1n-9 18:0 20:5n-3 20:4n-6 20:0 20:1n-9 22:6n-3 22:0 Total n-3 Total n-6 Ratio n-6/n-3 0,01 0,08 0,02 1,38 10,32 0,04 9,68 0,85 18,70 2,51 2,16 1,25 0,07 0,00 1,07 0.08 4,08 10,93 2,68 0,07 0,77 0,09 1,92 12,39 0,12 10,95 2,54 19,62 2,34 2,01 1,32 1,08 0,02 2,14 1,07 6,69 12,27 1,83 0,32 0,34 0,08 2,17 12,90 0,08 11,78 1,98 16,59 5,39 3,22 2,78 0,99 0,25 3,57 0,57 8,77 14,56 1,66
0,67 0,89 0,86 1,12 2,38 3,09 12,14 11,11 0,24 0,89 20,18 26,33 13,15 18,47 17,88 11,43 2,53 1,37 2,15 3,44 1,54 2,89 3,35 5,63 0,89 0,88 4,93 4,98 0,33 0,09 0,43 0.92 10,23 10,89 16,5 24,1 1,61 2,21
Tabel 9. Hasil analisa laboratorium lipid polar dan lipid netral huna capit merah akhir penelitian
Parameter Pakan Penelitian (% kadar minyak jagung)
(0,0) (1,0) (2,0) (3,0)
Lipid polar (%) 9,2 12,74 16,18 16,82
Lipid netral (%) 84,18 83,22 81,18 80,52
4.2 Pembahasan
Kadar asam lemak essensial dalam pakan optimal, maka fungsi membran sel juga optimal. Peranan asam lemak essensial tersebut dalam tubuh huna capit merah dibuktikan dari data kerapuhan hemolimph udang (Gambar 2). Kiron et al., (1994) menyatakan bahwa jumlah sel hemolimph yang rapuh dapat dijadikan indikator tingkat integritas membran sel. Pakan kadar minyak jagung 3% menghasilkan integritas membran sel yang paling tinggi, kemudian pakan kadar minyak jagung 2%, pakan kadar minyak jagung 1% dan pakan kadar minyak jagung 0%, sehingga nilai kerapuhan hemolimph juga paling
(3)
rendah pada pakan kadar minyak jagung 3%. Hal ini berarti bahwa pengaruh kadar minyak jagung yang semakin tinggi dalam membran sel memperkecil terjadinya tingkat kerapuhan sel dengan perubahan salinitas dalam media pemeliharaan, karena dengan konsentrasi asam lemak yang tinggi dalam membran sel akan memperkuat membran sel tersebut sehingga tidak mudah rapuh pada saat huna melakukan osmoregulasi. Pada pakan kadar minyak jagung 3% kandungan asam linoleat (18:2n-6) yang mencapai 18,27% dan arakhidonat (20:4n-6) mencapai 5,37% berperan pada integritas membran. Bhagavan (1992) menyatakan bahwa asam lemak essensial terutama dari kelompok HUFA mempunyai peranan penting untuk proses metabolisme sel di dalam tubuh. Mayes et al. (1999) menyatakan bahwa asam lemak essensial, terutama arakhidonat (20:4n-6) merupakan prekursor prostaglandin PGF2α yang dapat mempengaruhi replikasi sel. Selain itu, beberapa jenis prostaglandin lainnya mempunyai fungsi induksi dan pengaturan transport ion, terutama pada bagian insang yang berhubungan dengan proses pengaturan mineral dan osmoregulasi.
Asam lemak essensial pada pakan dengan kadar minyak jagung 3% dapat berperan meningkatkan integritas membran sel sehingga meningkatkan kelancaran transpor nutrien dari luar dan ke dalam sel dan dapat pula mengaktifkan kerja enzim-enzim pada membran sel huna. Peningkatan kinerja membran sel tersebut akan menunjang metabolisme secara keseluruhan sehingga sintesis protein dalam sel tinggi (Bhagavan 1992), yang akhirnya berpengaruh pada pertumbuhan huna capit merah yang lebih baik bila dibandingkan pertumbuhan huna pada pakan dengan kadar minyak jagung 2%, 1% dan 0%.
Asam lemak essensial yang merupakan bagian dari phosfolipid terdapat pada membran sel. Pada Tabel 9 disajikan kandungan phosfolipid tertinggi pada pakan dengan kadar minyak jagung 3% mencapai 16,82%. Hal ini berarti bahwa peran phosfolipid mempercepat transport lipid ke hemolimph udang dan pengangkutan lipid diantara jaringan dan organ tubuh berlangsung seefektif mungkin (Cotteau et al., 1997) dan selain itu phosfolipid berfungsi sebagai pengemulsi lipid pada sistem cerna larva ikan dan udang (Kanazawa 1993).
(4)
Hal ini didukung pula dengan laju pertumbuhan relatif tertinggi pada huna capit merah dengan pakan kadar minyak jagung tertinggi mencapai 144,68%±3,50 bila dibandingkan dengan pertumbuhan huna pada pakan dengan kadar minyak jagung 2%, 1%, 0%. Pada membran sel yang integritasnya lebih baik secara tidak langsung menghasilkan penyimpanan retensi protein yang berperan penting pada proses pertumbuhan huna. Tersedianya asam lemak essensial sesuai kebutuhan tubuh udang dan ikan akan menentukan laju sintesis protein di dalam tubuh, dimana kadar asam linoleat maupun linolenat yang bervariasi akan menentukan rasio fosfolipid dan lipid netral dari lemak tubuh total. Umumnya asam lemak tidak jenuh menempati posisi kedua molekul fosfolipid
Adanya peranan asam lemak essensial tersebut di atas secara keseluruhan dapat meningkatkan metabolisme dalam sel, yang secara tidak langsung akan menghasilkan penyimpanan protein tubuh yang lebih tinggi. Keadaan ini terlihat dari nilai retensi protein dan laju pertumbuhan relatif huna capit merah pada pakan kadar minyak jagung 3% lebih tinggi dibandingkan pada pakan lainnya, sehingga menghasilkan efisiensi pakan yang lebih tinggi pula. Kandungan energi dari lemak pakan kadar minyak jagung 3% dimanfaatkan secara efisien untuk pertumbuhan selain sebagai pemenuhan kebutuhan dasar, sedangkan sebagian besar protein dimanfaatkan oleh huna capit merah untuk pertumbuhan seefisien mungkin, karena lemak merupakan sparring effect bagi protein dalam penggunaan energi. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan huna capit merah yang optimum, dapat ditambahkan asam lemak n-6 3,59% yang bersumber dari minyak jagung 3% ke dalam lemak pakan 7,14%.
Huna capit merah membutuhkan n-6 dan n-3 seperti ikan air tawar pada umumnya. Pengaruh asam lemak pakan akan mempengaruhi serta mengubah komposisi asam lemak tubuh huna. Pada Tabel 8 komposisi asam lemak n-3 dan n-6 mengalami modifikasi pada awal pemeliharaan ke akhir penelitian selama 60 hari pemeliharaan. Rasio n-6/n-3 dalam pakan kadar minyak jagung 3% sebesar 0,42% meningkatkan pertumbuhan huna 2,21% diakhir pemeliharaan. Hal ini berarti bahwa Kebutuhan lemak nabati dan hewani
(5)
dalam pakan kadar minyak jagung 3% dapat dioptimalisasi huna capit merah seefisien mungkin baik untuk pertumbuhan maupun untuk metabolisme (Castell, 1981). Hal ini dianggap penting karena udang air tawar membutuhkan 20:5n-3 dan 20:4n-6 sebagai substansial mendasar untuk kebutuhan lipidnya (Sargent et. al., 1997). Kadar asam lemak essensial yang kurang dalam pakan akan menyebabkan membran sel tidak optimal sehingga membran sel tidak berfungsi dengan baik. Keadaan ini akan mengganggu aktivitas enzim-enzim pada membran sel, sehingga sintesis protein dalam sel juga rendah yang akhirnya berpengaruh pada rendahnya laju pertumbuhan relatif huna capit merah. Laju pertumbuhan relatif yang rendah pada pakan kadar minyak jagung 0%, 1%, 2% berakibat pada efisiensi pakan yang rendah pula. Keadaan ini menunjukkan bahwa untuk pertumbuhan optimal pada huna capit merah membutuhkan total asam lemak n-6 3,59% dalam pakan.
Penambahan minyak jagung pada pakan hingga 3% dapat meningkatkan retensi protein dan retensi lemak sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk menyebabkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa minyak jagung mampu meningkatkan pemanfaatan nutrien yang dicirikan pada dengan nilai retensi protein dan retensi lemak yang tinggi, sehingga jumlah protein dan lemak yang disimpan dalam jaringan tubuh juga meningkat (Hernandes et al., 2003). Laju pertumbuhan yang tinggi dengan pakan yang baik akan berpengaruh terhadap nilai kelulushidupan (SR) dan konversi pakan, semakin rendah nilai konversi pakan maka pakan semakin dapat dimanfaatkan oleh huna capit merah dengan efisien. Nilai kelulushidupan dan rasio konversi pakan pada kadar minyak jagung 3% memberikan hasil yang terbaik dibandingkan dengan pakan kadar minyak jagung 2%,1%,0%. Hasil ini lebih baik bila dibandingkan dengan penelitian Setyogati (2009) pada huna capit merah yang menghasilkan nilai FCR pada pakan dengan menggunakan tepung kedele berkadar protein 35% (4,74) dan nilai kelulushidupan 73,33%
(6)
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Pemberian minyak jagung 3% menghasilkan kerapuhan membran sel dan laju pertumbuhan relatif huna capit merah dua kali lipat lebih baik bila dibandingkan dengan integritas membran sel dan laju pertumbuhan relatif huna dengan pakan yang berkadar 0% minyak jagung.
5.2 Saran
Untuk Formulasi pakan benih huna capit merah umur 1,5 bulan dapat ditambahkan kadar asam lemak n-6 sebesar 3% yang bersumber dari minyak jagung dalam lemak pakan 7,14%.