Penerapan Soft Skills dalam Kultur di Kampus
62 respect, responsibility, fairness, caring dan citizenship Astrid Wiratna,
2008. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penerapan character building dalam
dunia pendidikan memberikan nuansa lain dalam pendidikan karena indikator evaluasi tidak hanya berbasis pada nilai kognitif melainkan juga
pada segi afektif dan bahkan juga psikomotorik mahasiswa. Proses pembelajaran melalui character building pertama kali adalah
pengenalan atas good character di dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian, setelah mahasiswa mengenal dan memahami good character
tersebut maka mahasiswa mengkorelasikannya dengan kehidupan sehari-hari baik di kampus maupun di rumah atau lingkungan di luar
kampus. Membahas masalah soft skills, maka tidak luput dari sikap seperti integritas, inisiatif, motivasi, etika, kerja sama dalam tim,
kepemimpinan, kemauan belajar, komitmen, mendengarkan, tangguh, fleksibel, komunikasi lisan, jujur, berargumen logis, dsb.
Proses pembentukan karakter yang secara perlahan tersebut tidak langsung dapat memberikan stimulus kepada pengasahan soft skills
mahasiswa. Sehingga,
mahasiswa diharapkan
dapat memiliki
kemampuan soft skills yang prima dan berujung pada pembentukan mental individu yang stabil dalam menghadapi tantangan hidup ke
depan. Proses pengembangan soft skills yang lebih berdimensi abstrak
membuatnya tidak dapat dipelajari dalam dalam waktu sesaat. Keberadaan institusi formal seperti kampus lebih cocok sebagai media
yang paling kondusif untuk mengasah keahlian soft skills seseorang. Hal ini dikarenakan soft skills dipelajari melalui interaksi dengan orang lain
63 dan
bagaimana seseorang
menghadapi permasalahan
dalam kehidupannya. Pembelajaran soft skills dapat dimulai ketika seseorang
masih anak-anak. Hal ini dikarenakan masa anak-anak merupakan masa yang paling mudah dalam membentuk blue print bagi pengembangan
psikologis seseorang. Walaupun, karakter seseorang bisa berubah secara otodidak. Namun, orang tersebut harus memiliki kesadaran penuh untuk
berubah, kemauan dan usaha yang keras sekali. Aspek-aspek soft skills, khususnya yang bersifat sikap merupakan
perwujudan kesadaran diri banyak yang sebenarnya merupakan bagian aktivitas sehari-hari manusia. Secara teoritik aspek sikap atau ranah
afektif lebih efektif jika dikembangkan melalui kebiasaan sehari-hari. Misalnya disiplin pada mahasiswa akan lebih mudah dikembangkan jika
disiplin telah menjadi kebiasaan sehari-hari di kampus. Jujur, kerja keras, saling toleransi dan sebagainya akan mudah dikembangkan jika aspek-
aspek tersebut sudah menjadi kebiasaan sehari-hari di kampus. Ibarat anak yang memasuki gedung yang bersih, tentu sungkan kalau akan
membuang sampah di sembarang tempat. Jika dosen selalu datang di kelas beberapa menit sebelum kuliah dimulai, tentu secara bertahap
mahasiswa akan mengikutinya. Jika dosen biasa membaca dan kemudian membuat rangkuman yang ditempel di majalah dinding kampus, akan
mendorong mahasiswa menirunya. Jika antara dosen dan karyawan terjadi kebiasaan saling menyapa dan menghormati bahkan saling
menolong akan menumbuhkan hal serupa pada mahasiswa. Dari contoh di atas, kultur kampus memang harus dirancang dan
dilakukan dengan keteladanan. Pimpinan, dosen, karyawan dan bahkan orangtua mahasiswa dapat berunding bagaimana memulai dan
64 mengembangkan budaya itu. Pada jenjang tertentu, mahasiswa juga
dapat dilibatkan untuk merancang dan memutuskan budaya apa yang akan dikembangkan, termasuk sangsi apa yang diberikan bagi mereka
yang tidak mematuhinya. Mungkin
ada yang
mengatakan sangat
sulit untuk
mengembangkan kultur seperti itu. Tetapi dari pengamatan, ternyata juga ada beberapa kampus yang telah berhasil mengembangkan budaya
seperti itu. Di beberapa negara kultur kampus school culture juga sedang menjadi kajian untuk meningkatkan mutu.
Dalam konteks pendidikan vokasi, penumbuhan iklim kerja industri menjadi langkah yang dirasa efektif dalam upaya menumbuhkan
sikap kerja mahasiswa yang diharapkan nantinya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh industri. Kerjasama dengan berbagai industri akan
memberikan pengalaman langsung bagi mahasiswa sehingga dengan sendirinya akan tumbuh sikap maupun etos kerja seseuai dengan
harapan dunia kerja. Kompetensi kerja sangat dibutuhkan dan penting artinya dalam memperoleh pekerjaan, karena mahasiswa pendidikan
vokasi dituntut untuk mempunyai skills yang diperlukan dalam suatu pekerjaan baik berupa hard skills maupun soft skills. Saat ini stakeholder
lebih cenderung melihat calon pekerja dari soft skills, tentunya dengan tidak mengesampingkan hard skills yang merupakan kemampuan yang
sifatnya keterampilan. Perlu diperhatikan, bahwa saat ini masih sedikit mahasiswa lulusan pendidikan vokasi yang mempunyai kesiapan kerja
dan belum mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh stakeholder, sehingga ketika lulus mereka akan kesulitan dalam
memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Soft skills begitu
65 signifikan diperlukan oleh mahasiswa pendidikan vokasi sebagai
persiapan terjun di dunia kerja. Di pendidikan vokasi kita mengenal istilah praktik kerja industri
prakerin. Saat inilah para mahasiswa vokasi umumnya tingkat tiga semester awal mengenal langsung dunia industri dengan segala
tuntutan dan tantangannya. Pada saat tersebut, mahasiswa dituntut untuk mengembangkan hard skills serta dilatih kemampuan soft skills-
nya. Pengembangan soft skills di kampus merupakan upaya untuk membangun kebiasaan positif dengan harapan jika telah menjadi suatu
kebiasaan, cepat atau lambat akan terbentuklah karakter yang positif, dan tingkat produktivitas dengan sendirinya meningkat.
66
67
PARADIGMA PENDIDIKAN ORANG DEWASA ANDRAGOGI