Kontak dengan Para Pejuang Nasional
Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi: Menjadi Tahanan Kota 1934-1942
152 akan memengaruhi sikap para anggota AII untuk mau
bekerja sama
dengan Pemerintah
Hindia Belanda
menghadapi kemungkinan serangan dari Jepang. Akan tetapi, kekhawatiran yang begitu mendalam dari sebagian
besar pejabat lokal mengakibatkan Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat membebaskan K. H. Ahmad Sanusi.
Keadaan berubah secara drastis ketika pada 11 Oktober 1938, G. F. Pijper yang menggantikan Gobee
sebagai
Adviseur Indlandsche Zaken
mengirim surat kepada Gubernur Jenderal A. W. L. Tjarda. Ia berpandangan bahwa
ketakutan mendalam yang diperlihatkan oleh sebagian pejabat setempat merupakan sesuatu yang berlebihan dan
tidak mendasar. Pijper yakin bahwa seandainya K. H. Ahmad Sanusi dicabut statusnya sebagai tahanan kota, ia
tidak akan berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya untuk memperluas pengaruhnya di kalangan
masyarakat. Dalam pandangan Pijper, K. H. Ahmad Sanusi merupakan seorang ulama yang memiliki kecerdasan luar
biasa.
Keahliannya di
bidang tafsir
mengundang kecemburuan dari kalangan ulama pakauman karena hasil
penafsirannya mampu menggoyahkan tradisi yang telah dibangun oleh mereka.
Sebagai seorang mufasir yang hendak melakukan pencerahan dalam memaknai ayat-
ayat Al Qur’an, K. H. Ahmad Sanusi dipandang sebagai sumber cahaya bagi kaum
muslimin. Ia tidak mendatangi kaum muslimin, melainkan
Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi: Menjadi Tahanan Kota 1934-1942
153 kaum muslimin-lah yang mendatangi dirinya. Apapun status
hukumnya, ketenaran dan pengaruhnya tehadap kaum muslimin tidak akan berubah. Ia tetap sebagai
ajengan
kharismatik yang sangat dihormati dan dipatuhi oleh jamaahnya. Oleh karena itu, di bagian akhir suratnya itu,
Pijper memberi rekomendasi kepada Gubernur Jenderal Tjarda untuk membebaskan K. H. Ahmad Sanusi Iskandar,
1993: 19.
Beberapa waktu kemudian, Pijper menerima surat dari para pejabat setempat, antara lain Bupati Sukabumi, Residen
Bogor, Kepala PID Bogor dan Banten, dan Asisten Residen Sukabumi. Para pejabat lokal itu memiliki pandangan yang
sama dengan Pijper. Menariknya, para pejabat inilah yang sebelum Pijper menjabat sebagai
Adviseur voor Inlandse
Zaken
, mengajukan keberatan kepada Pemerintah Hindia Belanda atas rencana pembebasan K. H. Ahmad Sanusi
Iskandar, 1993: 19. Perubahan sikap yang drastis ini bisa jadi disebabkan oleh pengaruh kuat dari Pijper, seorang
yang berpikiran liberal. Atau bisa jadi juga sebagai bentuk strategi Pemerintah Hindia Belanda menarik simpati bangsa
Indonesia, mengingat peperangan di Asia Pasifik semakin mendekati kenyataan.
Di lain pihak, para jamaah atau anggota AII terus menerus memperjuangkan agar pemimpin mereka segera
dibebaskan. Di Bogor, misalnya, terjadi aksi membubuhkan tanda tangan yang isinya minta kepada Pemerintah Hindia
Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi: Menjadi Tahanan Kota 1934-1942
154 Belanda untuk segera membebaskan K. H. Ahmad Sanusi
segera dibebaskan. Aksi tersebut dilaporkan C. van Rossen, Residen Bogor kepada Gubernur Jawa Barat. Dalam surat
itu, van Rossen merekomendasikan untuk mencabut status K. H. Ahmad Sanusi sebagai tahan kota. Gubernur Jawa
Barat berpandangan sama dengan van Rossen sehingga memperkuat rekomendasi tersebut ke Gubernur Jenderal
Tjarda. Sebagai pejabat yang menyarankan agar K. H. Ahmad Sanusi dibebaskan, Pijper menyatakan setuju atas
usulan Residen C. van Rossen. Dengan mempertimbangkan usulan dari bawahannya itu, pada 20 Februari 1939,
Gubernur Jenderal Tjarda mencabut status K. H. Ahmad Sanusi sebagai tahanan kota Iskandar, 1993: 19.
Sementara itu, pada tahun 1930-an, pemerintah kolonial menjadikan Sukabumi sebagai daerah pembuangan
para para pemimpin pergerakan nasional. Pada masa akhir penjajahan Belanda, tercatat beberapa pejuang nasional
yang dibuang di Kota Sukabumi. Tjipto Mangunkusomo, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir merupakan tiga tokoh
pergerakan nasional yang dibuang Pemerintah Hindia Belanda ke Sukabumi. Tjipto Mangunkusomo tidak lama
menjadi tahanan di Sukabumi, tetapi kemudian ia beserta keluarganya memilih untuk menetap di Salabintana.
Sementara itu, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir ada di Sukabumi karena statusnya sebagai tahanan pemerintah
kolonial. Keduanya ditahan di sebuah rumah dengan
Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi: Menjadi Tahanan Kota 1934-1942
155 ruangan yang berbeda yang terletak
Vogelweg
sekarang Jln. Bhayangkara. Selain itu, tokoh pergerakan nasional
lainnya yang ada di Sukabumi sekitar akhir tahun 1930-an antara lain A. M. Sipahioetar, Amir Syarifudin, dan Arudji
Kartawinata Sulasman, 2007: 85.
Keberadaan para tokoh pergerakan nasional tersebut dimanfaatkan oleh K. H. Ahmad Sanusi beserta dengan
tokoh-tokoh pergerakan nasional setempat untuk bertukar pikiran. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Mr. Sjamsuddin,
dr. Abu Hanifah, K. H. Atjoen Basoeni, K. H. Damanhuri, Waluyo, Suryana, dan lain-lain. Dalam tukar pikiran itu,
mereka lebih banyak membicarakan situasi politik dan juga membicarakan masa depan bangsa Indonesia. Bahkan
dengan Soekarno, K. H. Ahmad Sanusi memiliki hubungan cukup erat karena Soekarno sering berkunjung ke Pesantren
Gunung Puyuh pada saat di rawat oleh dr. Abu Hanifah Sulasman, 2007: 85.
Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi: Zaman Pendudukan Jepang 1942-1945
157