Semiologi Landasan Teori .1 Karya Sastra Novel Sebagai Media Komunikasi Massa

23 Kata seks bebas dibuat agar jelas bahwa semua penganutnya bebas untuk memilih pasangannya. Bisa berganti pasangan kapanpun mereka mau, tanpa terikat suatu pernikahan. Seks bebas, disini adalah bebas dari perasaan-perasaan yang akan membebani bila kita melakukannya dalam keterikatan, entah keterikatan pernikahan atau keterikatan dalam hal cinta pada umumnya. Bahwa seks bebas berarti anda dapat melakukan hubungan dengan seseorang yang anda suka dan orang tersebut juga mau lalu bisa mengobrol pada keesokan harinya tanpa ada perasaan bersalah dan rasa terikat yang biasa akan terjadi pada hubungan seks yang biasa. Hubungan seks biasa adalah hubungan seks yang terikat oleh rasa tanggung jawab terhadap lawan jenis. Seks bebas dilakukan dengan segala kenikmatan dan keindahan seks itu sendiri tanpa dibebani oleh omong kosong tanpa cinta, tanggung jawab, dan segala intrik yang digunakan rekan kita untuk mengikat kita.

2.1.7 Semiologi

Semiologi atau semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan humanity memakai hal-hal things. Memaknai to sinify dalam hal ini 24 tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan to communicate. Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membaca informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes, 1998:179 Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna meaning ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda Littlejohn, 1996:64. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk non-verbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk pada semiotika. Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skoalstik atas seni logika, retorika dan poetika. Akar namaya sendiri adalah “Semeion”, nampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada smptomatologi dan diagnostik inferensial. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia Sobur,2004;15 Semiologi adalah ilmu tentang bentuk-bentuk, karena hal itu mempelajari pertandaan terlepas dari kandungannya Barthes, 2007:299 Dalam definisi Saussure Budiman, 1990:107. Semiologi merupakan ilmu 25 yang mengkaji kehidupan tanda-tanda ditengah masyarakat dan dengan demikian, menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah- kaidah yang mengaturnya Sobur, 2004:12 Sejak kemunculan Saussure dan Pierce maka semiologi menitik beratkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya. Meskipun semiotika Pierce masih ada kecenderungan meneruskan tradisi skolastik yang mengarah pada inferensi pemikiran logis dan Saussure menekankan pada linguistik, pada kenyataannya semiologi juga membahas signifikasi dan komunikasi yang terdapat dalam system tanda non-linguistik. Sementara itu, bagi Barthes 1988:179 semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan humanity memakai hal-hal things. Kurniawan, 2001;153 Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai system pemaknaan tataran kedua, yang dibangun diatas system lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas system pemaknaan tataran kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai system pertama. System kedua ini, oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam mythologies nya secara tegas dibedakan dari denotative atau system pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjemslev, 26 Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja. CobleyJansz, 1999 1. Signifier penanda 2. Signified Petanda 3. Denotative sign tanda Denotatif 4. Conotative signifier Penanda konotatif 5. Conotative signified petanda konotatif 6. Conotative sign Tanda konotatif Gambar 2.1 Peta Roland Barthes Dari peta diatas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2 akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin Cobley dan Jansz, 1995;51. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif. Pada dasarnya , ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam arti umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna 27 harfiah, makna yang “sesungguhnya,” bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah Budiman, 1992:22. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki tanda tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Konotasi identik dengan operasi ideology, yang disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai dominasi dalam suatu periode tertentu Sobur,2004:69-71 Mitos, menurut Barthes 1993:109, adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian dia adalah suatu pesan. Mitos kemudian tak mungkin dapat menjadi objek, sebuah konsep, atau sebuah 28 ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan yakni sebuah bentuk. Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh obyek pesannya. Suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila tidak hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tak lain adalah teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonstruksi, maka teks tersebut dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau satuan bacaan tertentu. Leksia dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat, beberapa kalimat, sebuah paragraph, atau beberapa paragraph. Kurniawan, 2001:93 Lima kode yang ditinjau Barthes adalah kode sebagai sistem makna luar yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda, menurut Barthes terdiri atas lima jenis : kode hermeneutic kode teka-teki, Kode semik Makna konotatif, kode simbolik, kode proaretik Logika tindakan, dan kode gnomik atau cultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu. Lechte. 2001:1996 Pertama, Kode Hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian dalam cerita. Kedua, Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. la melihat 29 konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Ketiga, kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat structural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna yang berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dalam proses produksi wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Keempat, kode proaretik atau kode tindakanlakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang. Antara lain semua teks yang bersifat naratif. Kelima, kode gnomic atau cultural yang jumlahnya banyak. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional di definisi oleh acuan kepada apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya yang diatasnya para penulis bertumpu. Sobur, 2004:66 Tujuan analisis barthes ini, , bukan hanya untuk membangun suatu system klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian paling meyakinkan atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan yang nyata. lechte 2001:196 30 Semiologi, bagaimanapun sejauh ini tetap sebuah metode untuk mendekati kebudayaan dalam beragam bentuk.

2.2 Kerangka Berpikir

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU SEKS BEBAS PADA REMAJA Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Perilaku Seks Bebas Pada Remaja.

1 8 13

DIMENSI JENDER NOVEL SWASTIKA KARYA MAYA WULAN TINJAUAN: FEMINIS SASTRA.

0 0 16

DIMENSI JENDER DALAM NOVEL SWASTIKA KARYA MAYA WULAN: TINJAUAN SASTRA FEMINIS DIMENSI JENDER DALAM NOVEL SWASTIKA KARYA MAYA WULAN: TINJAUAN SASTRA FEMINIS.

0 1 11

PENDAHULUAN DIMENSI JENDER DALAM NOVEL SWASTIKA KARYA MAYA WULAN: TINJAUAN SASTRA FEMINIS.

0 2 24

REPRESENTASI DISKRIMINASI PEREMPUAN DALAM NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK” (Studi Semiologi Tentang Representasi Diskriminasi Perempuan Dalam Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari).

2 7 121

REPRESENTASI TINDAKAN IMMORAL DALAM NOVEL “MY SISTER KEEPER” (Studi Semiologi Representasi Tindakan Immoral Dalam Novel “MY SISTER KEEPER” Karya Jodi Picoult).

0 17 97

REPRESENTASI PEKERJA SEKS KOMERSIAL YANG LESBIAN DALAM NOVEL “CHRYSAN” ( Studi Semiotik Kehidupan Pekerja Seks Komersial Yang Lesbian dalam Novel “Chrysan” Karya Hapie Joseph Aloysia ).

0 12 115

REPRESENTASI SEKS BEBAS DALAM LIRIK LAGU ”LAKUKAN DENGAN CINTA” (Studi Semiologi Tentang Representasi Seks Bebas Dalam Lirik Lagu ”Lakukan Dengan Cinta” yang dipopulerkan oleh Mahadewi dan The Law).

0 5 161

REPRESENTASI PEKERJA SEKS KOMERSIAL YANG LESBIAN DALAM NOVEL “CHRYSAN” ( Studi Semiotik Kehidupan Pekerja Seks Komersial Yang Lesbian dalam Novel “Chrysan” Karya Hapie Joseph Aloysia ) SKRIPSI

0 0 21

REPRESENTASI TINDAKAN IMMORAL DALAM NOVEL “MY SISTER KEEPER” (Studi Semiologi Representasi Tindakan Immoral Dalam Novel “MY SISTER KEEPER” Karya Jodi Picoult)

0 1 19