REPRESENTASI PEKERJA SEKS KOMERSIAL YANG LESBIAN DALAM NOVEL “CHRYSAN” ( Studi Semiotik Kehidupan Pekerja Seks Komersial Yang Lesbian dalam Novel “Chrysan” Karya Hapie Joseph Aloysia ).

(1)

SKRIPSI  

                   

Oleh:

Putri Herawati Fajrin NPM. 0743010263

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


(2)

Disusun oleh :

PUTRI HERAWATI FAJRIN NPM. 0743010263

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komuniksai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Pembangunan Nasioanal “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 12 Mei 2011

Pembimbing, Tim Penguji:

1. Ketua

Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si Juwito, S, Sos, M,Si

NPT: 3 7006 94 0035 1 NPT. 3 6704 95 0036 1

2. Sekretaris

Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si NPT. 3 7006 94 0035 1

3. Anggota

Zainal Abidin Achmad, M,Si, Med NIP. 373 059 901 701

Mengetahui, DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi NIP. 1 95507 181 983 022 001


(3)

iii

berkat dan rahmatNya kepada penulis sehingga skripsi dengan judul REPRESENTASI PEKERJA SEKS KOMERSIAL YANG LESBIAN DALAM NOVEL “CHRYSAN” (Studi Semiotik Kehidupan Pekerja Seks Komersial Yang Lesbian dalam Novel “Chrysan” Karya Hapie Joseph Aloysia) dapat terselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, M. Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, nasehat serta motivasi kepada penulis. Dan penulis juga banyak menerima bantuan dari berbagai pihak,baik itu berupa moril, spiritual maupun materiil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:.

1. Bapak Prof. DR. Ir. Teguh Soedarto MP, Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “ Veteran “ Jawa timur.

3. Bapak Juwito, S,Sos, M,Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi. 4. Kedua Orang Tua Drs. Ec. H. Hendro Heruyanto dan Dra. Sudarwati

Mahadari, Terima Kasih buat semuanya, karena Engkau aku bisa menjadi seperti sekarang ini.


(4)

7. Mybeloved Sista Diajeng Hendrawati Ningrum.

8. MySpirit of my life Hendro Kuncoro Jati, A,Md. Thank’s buat dukungannya,kesabarannya,perhatian serta pengertiannya.

9. Hapie Joseph Aloysia pengarang “Chrysan” terima kasih novelnya udah menjadi inspirasi Skripsiku, n’ Thank’s buat bantuannya yang special. 10. Keluarga Besar H. FZ. Hendro Soeparno, Drs. H. Budi Pristiadi, Drs. H

Imam Solichan, H. Qusnan

11. Trio Kopler Zhe Martinem n’ Kopler Si Kambing Tong – Tong

12. Kawan Seperjuanganku Elizabeth, Like n, Riri, Inget saat2 Susah Rek…!!! 13. Genk Weslep Shutephy, Mem, Lobo, Ike Cekak (mamanya Radit)

14. DuO Krucel Suelin n Kakak Cilik

15. Dan Segenap kawan – kawan n Handai taulan yang g bisa kesbut satu – satu, PUTRI ucapinnnnn TERIMA KASIH BANYAK….!!!!

Penulis menyadari bahwa di dalam skirpsi ini akan ditemukan banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala keterbatasan yang penulis miliki semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak umumnya dan penulis pada khususnya.

Surabaya, 26 April 2011


(5)

v

HALAMAN JUDUL………. i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN PROPOSAL……….. ii

KATA PENGANTAR……….. iv

DAFTAR ISI……….... vi

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakang Masalah………....…….. 1

1.2 Perumusan Masalah……… 12

1.3 Tujuan Penelitian…………...……….…. 12

1.4 Kegunaan Penelitian……… 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA……….... 14

2.1 Landasan Teori…………...……….... 14

2.1.1 Buku Sebagai Media Massa Cetak………. 14

2.1.2 Representasi……...………. 14

2.1.3 Pengertian Semiotiks Komunikasi………. 17

2.1.4 Semiologi Roland Barthes……….. 20


(6)

2.2.1 Pengertian Novel………. 25

2.2.2 Jenis – Jenis Novel……….. 26

2.2.3 Elmen – Elemen Pokok Novel……… 29

2.2.4 Bahasa dalam Karya Sastra Novel………... 32

2.2.5 Karya Sastra Novel Sebagai Media Massa……….. 34

2.3 Pekerja Seks Komersial……….... 36

2.4 Homoseksual Lesbian………...……….... 42

2.5 Kerangka Berfikir………. 48

BAB III METODE PENELITIAN………. 52

3.1 MetodePenelitian……….. 52

3.2 Definisi Operasional Konsep……….... 54

3.2.1 Perilaku Menyimpang Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial dalam Novel “Chrysan”………….... 54

3.3 Subjek Penelitian……...……….. 55.

3.4 Unit Analisis…….……….… 56

3.5 Populasi dan Corpus……….……… 56

3.6 Teknik Pengumpulan Data……….…….. . 63

3.7 Teknik Analisis Data………..………... 64

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….………. 66

4.1 Gambaran Obyek Penelitian ..………..…….. 66


(7)

vi

4.2.1 Penyajian Data ………….………..……….…….... 67

4.2.2 Hasil Analisis Data ………. 74

4.2.3 Sistem Mitos ……….………...….………. 98

4.3 Penggambaran Pekerja Seks Komersial yang Lesbian dalam Novel “Chrysan”……..………. 99

BAB V KESIMPPULAN DAN SARAN……….……. 102

5.1 Kesimpulan...……….….. 102

5.2 Saran……….………..………. 105


(8)

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menelaah isi pesan yang disampaikan oleh pengarang dan untuk mengetahui penggambaran, pekerja seks komersial yang Lesbian sesungguhnya melalui novel “Chrysan”, karya Hapie Joseph Aloysia.

Landasan teori yang digunakan berupa penelitian kualitatif dengan pendekatan semiologi, yaitu bagaimana suatu karya tersebut ditafsirkan secara subyektif oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda – tanda atau lambang – lambang yang ada dalam novel sesuai dengan frame of reference dan field of experience tiap individu.

Dalam penelitian ini menggunakan metode semiologi Roland Barthez yang menginterpretasikan semua unsur atau elemen yang terdapat pada novel untuk dimasukkan kedalam lima kode pembacan yaitu kode hermeneutik, kode simbolik, kode semik, kode proaretik dan kode gnomik.

Hasil penelitian ini berdasarkan dari hasil analisis dan interpretasi penelitian terhadap penggambaran perilaku tokoh utama yakni seorang pekerja seks komersial yang Lesbian dalam novel “Chrysan” yang dimaknai sebagai sebuah fenomena yang bertentangan dengan ajaran agama, norma sosial dan norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat, sehingga keberadaannya kurang bisa diterima sebagai bagian perilaku dalam masyarakat.

Kata Kunci : Chrysan, Semiotik, Roland Barthes, Hapie Joseph Aloysia

ABSTRAKSI

PUTRI HERAWATI FAJRIN, REPRESENTATION OF COMMERCIAL SEX WORKERS THROUGH A REAL LESBIAN IN NOVEL “CHRYSAN”

( Semiotic Study About life commercial sex workers through a real lesbian In Novel “Chrysan” The Work Of Hapie Joseph Aloysia )

This research was conducted to examine the contents of the messages conveyed by the author and to find the depiction, commercial sex workers through a real lesbian novel "Chrysan", the work of Joseph Hapie Aloysia

The foundation of the theories used in the form of qualitative research with semiology approach, namely how a work is interpreted subjectively by the observers and the public via a sign - a sign or symbol - a symbol that exist in the novel according towith the frame of reference and field of experience of each individual .

In this study using the method of semiology Roland Barthez who interpret any element or elements contained in the novel to be included into the five code pembacan the hermeneutic code, the symbolic code, semic code, code and code proaretik gnomic.

The results of this study based on analysis and interpretation of results of research on the depiction of behavior which is the main character of a commercial sex worker who Lesbians in the novel "Chrysan" is interpreted as a phenomenon that is contrary to religious teachings, social norms and moral norms prevailing in society, so that its existence less acceptable as part of behavior in society.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam kehidupan manusia terdapat banyak sekali fenomena komunikasi dan sosial didalamnya. Pada fenomena – fenomena tersebut, juga terdapat berbagai macam permasalahan yang dapat diangkat untuk menjadi sebuah penelitian. Dalam hal ini, peneliti ingin meneliti sebuah permasalahan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat yang tertuang dalam salah satu jenis serta bentuk dari jenis media massa.

Salah Satu dari sekian media masaa diantaranya adalah novel. Dalam isi novel “Chrysan” ini persoalan profesi sebagai pekerja seks komersial serta perilaku seksualitas yang tidak lazim dipaparkan secara jelas dengan harapan untuk mengurangi ketidaktahuan masyarakat dan mengurangi pemikiran – pemikiran dangkal dari masyarakat yang selama ini sudah tertanam dalam benak mereka. Sehingga fakta – fakta yang sesungguhnya terjadi dapat tersampaikan.

Perkembangan kehidupan manusia tidak selamanaya berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan. Manusia dalam kehidupannya sering menemui kendala – kendala yang membuat manusia merasa kecewa dan tidak menemukan jalan keluar sehingga manusia memilih langka yang kurang tepat dalam jalan hidupya. Salah asatu jalan pintas dalam perjalanan hidup seorang


(10)

perempuan akibata cobaan- cobaan hidup yang berat dirasakan, perempuan tersebut terjun dalam dunia pelacuran.

Fenomena praktek pelacuran merupakan masalah social yang sangat menarik dan tidak ada habisnya untuk dibicarakan dan diperdebatkan mulai dari dahulu samapai sekarang. Masalah pelacuran adalah masalah social yang sangat sensitive,apalagi seorang pelacur yang pada sisi lain memiliki perilaku menyimpang seksual yaitu pekerja seks komersial yang lesbian, dimana perilaku tersebut adalah perilaku yang menyangkut peraturan social, moral etika, bahkan agama

Menganggkat masalah profesi pekerja seks komersial dan perilaku seks dengan segala penyimpangannya dalam sebuah karya sastra novel khususnya, sebenarnya tidak terlepas dari keingintahuan masyarakat akan masalah yang selama ini dianggap sebagai hal yang tabu. Ketabuan membuat orang tidak berani mengungkapkan serta terbuka. Akibatnya, seks dianggap sebagai sesuatu yang begitu rahasia dan misterius. Inilah yang menjadikan profesi pekerja seks komersial dan perilaku seks beseta penyimpangannya sebagai sesuatu yang fenomenal, kontoversial, dan membuat orang untuk ingin tahu lebih banyak. Padahal seharusnya pemahaman tentang seks itu sendiri haruslah jelas sehingga tidak mengalami reduksi bahkan distorsi.

Dalam kehidupan sekarang ini keberadaan wanita tuna susila atau sering disebut pekerja seks komersial ( PSK ) merupakan fenomena yang tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, akan tetapi keberadaan tersebut ternyata masih menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat.


(11)

Pertanyaan apakah Pekerja Seks Komersial (PSK) termasuk kaum yang tersingkirkan atau kaum yang terhina, hal tersebut mungkin sampai sekarang belum ada jawaban yang dirasa dapat mengakomodasi konsep pekerja seks komersial itu sendiri. Hal ini sebagaian besar disebabkan karena mereka tidak dapat menanggung biaya hidup yang sekarang ini semuanya serba mahal.

Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan gejala pelanggaran moral tetapi merupakan suatu kegiatan perdagangan. Kegiatan prostitusi ini berlangsung cukup lama, hal ini mungkin di sebabkan karena dalam prakteknya kegiatan tersebut berlangsung karena banyaknya permintaan dari konsumen terhadap jasa pelayanan kegiatan seksual tersebut oleh sebab itu semakin banyak pula tingkat penawaran yang di tawarkan.

Di negara-negara lain istilah prostitusi dianggap mengandung pengertian yang negatif. Di Indonesia, para pelakunya diberi sebutan Pekerja Seks Komersial. Ini artinya bahwa para perempuan itu adalah orang yang tidak bermoral karena melakukan suatu pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Karena pandangan semacam ini, para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor, hina, dan tidak bermartabat. Tetapi orang-orang yang mempekerjakan mereka dan mendapatkan keuntungan besar dari kegiatan ini tidak mendapatkan cap demikian. (6 Maret 2007 dari http://www.pikiran rakyat.com/).

Dalam masyarakat, kehidupan seorang pekerja seks komersial merupakan suatu hal yang kurang dapat diterima. Sampai sekarang PSK


(12)

dipandang sebagai mahluk yang menyandang stereotype negatif, dan tidak dianggap pantas menjadi bagian dari masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, kaum PSK selalu mendapat tekanan dari masyarakat, bahkan menjadi bahan olokan dan ejekan. Tekanan dan perlakuan negatif dari lingkungan ini biasanya muncul dari perilaku masyarakat yang selalu ingin memojokkan mereka.

Pandangan masyarakat ini hanya dikhususkan kepada para perempuan pekerja seks komersial yang menjalani pekerjaan ini karena murni akibat tekanan ekonomi. Kesan pertama akan perempuan pekerja seks ini adalah para perempuan jalang yang amoral. Tidak tahu malu, penggoda lelaki. Tidak layak bagi para perempuan pekeja seks untuk dihargai. Kenapa masyarakat bisa memiliki kesan seperti itu, karena sejak kecil ditanamkan oleh orang-orang tua bahwa perempuan pekerja seks menyebutnya pelacur, adalah perempuan yang tidak benar kelakuannya. Apalagi digambarkan para pekerja seks Komersial (PSK) tersebut kehidupannya glamour tetapi norak. Juga ditunjukkan jenis parfum yang di botolnya bergambar putri duyung, yang namanya minyak si nyong nyong, yang pakai minyak wangi itu adalah para pelacur. Akhirnya tertanamlah di benak masyarakat selama bertahun-tahun bahwa PSK itu memang perempuan jalang. (6 Maret 2007 dari http://www.pikiranrakyat.com/).

Kemudian jika melihat sendiri kehidupan nyata bahwa banyak dari para pekerja seks itu terpaksa menjalani pekerjaannya sebagai PSK karena tekanan ekonomi. Ada yang memang datang dari keluarga yang miskin, ada


(13)

yang ditelantarkan oleh orang tuanya sejak kecil, ada yang telah tumbuh dan hidup dilingkungan prostitusi sejak ia dilahirkan, ada yang untuk membiayai pengobatan orang tuanya, ada juga yang terpaksa disetujui suaminya karena benar-benar hidup amat miskin. Senada seperti pengakuan beberapa PSK, bahwa sebenarnya jika mereka boleh memilih, mereka tidak ingin jadi PSK, tetapi apa daya, mereka tidak punya kepandaian atau keterampilan.

Oleh sebab itu perlu diakui bahwa eksploitasi seksual, pelacuran dan perdagangan manusia semuanya adalah tindakan kekerasan terhadap perempuan dan karenanya merupakan pelanggaran martabat perempuan dan juga merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Jumlah perempuan pekerja seks meningkat secara dramatis di seluruh dunia karena sejumlah alasan ekonomis, sosial dan budaya.

Bagi budaya masyarakat golongan tradisional yang terikat kuat dengan norma serta moralitas budaya, cenderung memandang seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk dibicarakan secara terbuka, terutama bagi kalangan yang dianggap belum dewas. Para orang tua pada umumnya menutup pembicaraan tentang seks kepada anak – anaknya, termasuk mereka sendiri sebagai suami – istri merasa risih jika membicarakan tentang seks. Bagi kalangan ini perilaku seksual diatur sedemikian rupa dengan hokum – hukum adat, agama, dan ajaran morralitas, dengan tujuan agar dorongan seks secara alamiah ini dalam prakteknya sesuai dengan batasan – batasan kehormatan manusia.


(14)

Tetapi pada kenyataanya dijaman modern seperti sekarang ini kehidupan seks masyarakat sudah semakin tidak terkendali karena budaya asing (westernisasi) yang tidak sesuai dengan nilai – nilai luhur bangsa kita dan norma ketimuran. Maka pengaruh pergaulan bebas lebih dominan masuk kedalam kebiasaan baru. Seks sebagai kebutuhan manusia yang alamiah tersebut dalam upaya pemenuhannya cenderung didominasi oleh dorongan naluri seks secara subyektif. Akibatnya sering terjadi penyimpangan dan pelanggaran perilaku seks beserta penyimpangannya diluar batas hak – hak kehormatan dan tatasusila kemanusiaan.

Kajian tentang orientasi seksual mancakup bagaiman seseorang memiliki ketertarikan seksual pada seseorang. Jika Perempuan, bisa jadi hanya tertarik pada laki - laki saja (heteroseksual), boleh jadi tertarik hanya pada perempuan saja (homoseksual – Lesbian), atau boleh jadi tertarik pada laki – laki maupun perempuan (ambi-seksual).

(http://smartpsikollogi.blogspot.com/2007/08/mengartikan-seksualitas.html:28 juni 2008).

Tentang semua itu hanya manusia dewasa yang akan paham mengenai seksualitas yang ada pada diri masing – masing. Manusia mengetahui semua itu dari cara pembelajaran baik formal maupun informal. Manusia dewasa punya cara – cara tersendiri untuk mengetahui semua yang berhubungan keterkaitan antara manusia itu sendiri, seksualitas serta moral yang terjadi pada diri sendiri dan lingkungan yang ada disekitarnya. Maka yang bisa menilai baik atau buruknya dampak yang terjadi pada masyarakat


(15)

merupakan orang dewasa yang telah banyak belajar mengenai hal – hal yang terjadi dalam lingkungannya dan budaynya.

Budaya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap seksualitas. Hampir semua aspek seksualitas dipengaruhi oleh budaya. Pengruhnya dimulai dari cara mendidik anak dalam membangun identias seksual dan pembentukan orientasi seksual. Budaya mengatur mana yang baik dan mana yang tidak baik serta mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilkukan dalam perkara seksualitas.

(http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/11/budaya-moral-dan-seksualitas.htm:28 juni 2008).

Aturan moral tentang seksualitas diatur oleh budaya, karena budaya selalu berubah maka aturan tentang seksualitas pun ikut berubah. Dulu, berpacaran hanya boleh dilakukan dengan saling mengintip dari lubang dinding. Saat ini pacaran sudah melakukan semua hal, mulai dari pegangan tangan,ciuman hingga hubungan seksual. Dulu Homoseksual diusir oleh warga kampung, sekarang ini kaum homoseksual mulai diterima di masyarakat.

Seks adalah anugarah pemberian Tuhan sebagaimana pemberian – pemberian lain yang melekat pada setiap kehidupan makhluk-Nya dan merupakan kebutuhan setiap individu. Seksualitas mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan kepribadian sikap dan watak sosial berkaitan dengan perilaku dan orientasi atau preferensi seksual (Bishop, 2006:8). Arti dari seks itu sendiri sebenarnya adalah sesuatu yang khas, intim, dan mesra


(16)

dalam kaitannya dengan sesuatu hubungan antara pria dan wanita (Boyke, 2004:5). Namun dengan adanya pengaruh dari lingkungan dan kondisi psikologi seseorang pemahaman itu telah bergeser dan memaksa untuk menghalakan suatu hubungan yang dilakukan antara dua orang yang sejenis atau bisa disebut homoseksual.

Homoseksual termasuk perilaku menyimpang atau merupakan gangguan yang disebabkan oleh proses belajar yang tidak semestinya, atau terlanjur mempelajari bentuk –bentuk perilaku yang maladaptif (Coleman, Butcher & Carson, 1980, 15 – 16).

Pada suatu sisi seksualitas memang diperlukan sebagai urusan privat yang tidak boleh diintervensi atau diganggu gugat oleh apapun dan siapapun, juga tidak perlu diperbincangkan ditingkat publik. Namun sisi lain, seksualitas diperlukan sebagai isu publik yang harus diatur melalui sistem hukum lengkap dengan sanksi, tidak hanya moral tetapi juga fisik dan materi, seperti hukum rajam dalam agama Islam (Kennedy, 2005:37).

Bagaimanapun juga,ada sekelompok orang dalam keidupan ini memiliki orientasi seksual yang berbeda meskipun hampir secara keseluruhan manusia memiliki orientasi seksual terhadap lawan jenisnya atau biasa disebut dengan kaum heteroseksual. Bagi kaum homoseksual, orientasi seksual dengan lawan jenis sangatlah kecil kemungkinannya bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Hal itulah yang membuat kaum homoseksual ini melakukan hal – hal diluar konteks budaya dan sosial yang sesungguhnya.


(17)

Perkiraan dari jumlah atau prevalensi homoseksualitas di masa modern ini bervariasi secara signifikan. Data yang dikumpulkan diperumit oleh berbagai definisi yang digunakan dalam homoseksualitas serta adanya fluktuasi dalam jangka waktu dan tempat

Secara umum, diperkirakan jumlah kaum lesbian dan homo di dalam masyarakat adalah 1% hingga 10% dari jumlah populasi. Tetapi, menurut laporan kontroversi Kinsey Reports pada tahun 1984, menyebutkan bahwa setidaknya 37% pria dari total keseluruhan pria telah setidaknya mengalami pengalaman seks bersama pria lainnya, dan 4% di dalamnya adalah secara eklusif homoseksual. Pada wanita, Kinsey menemukan dari 2% hingga 5% ‘kurang lebih secara eklusif’ homoseksual

Meskipun banyak sekali pertentangan yang terjadi dimasyarakat, akan tetapi tidak menghalangi perilaku homoseksual tersebut untuk dijadikan sebuah tema yang sangat menarik untuk dituangkan dalam sebuah novel. Banyak sekali hal mendasar yang melatarbelakangi perilaku homoseksual pada cerita dalam sebuah novel.

Dalam novel berjudul “Chrysan” ini diceritakan tokoh utama yang seorang perempuan berusia 24 tahun yang bernama Chantal Olgivie adalah seorang bayi malang yang dibuang oleh neneknya didepan sebuah rumah dilingkungan prostitusi, dia diasuh oleh seorang pelacur sekaligus seorang germo yang cukup terkenal didaerah tersebut. Chantal tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik, karena lingkungan dengan segala aspek sosial ataupun ekonominya yang terbatas, kecantikan Chantal dimanfaatkan oleh ibu


(18)

angkatnya dengan menjual keperawanan Chantal disaat dia berusia 15 tahun. Mulai dari situlah Chantal melakoni profesi sebagai seorang pelacur yang mau tidak mau dia harus melakoninya, semua itu dia lakukkan karena demi ibu yang telah mengangkatnya. Ditahun kelima Chantal melakoni profesinya tersebut, dia bertemu dengan seorang perempuan bernama Devara atau biasa dipanggil Dev. Dev adalah teman satu kost Chantal, dev memiliki perilaku penyimpangan seksual, yakni dia adalah seorang Homoseksual (Lesbian). Dari pertemuan itulah Chantal merasakan memiliki perasaan yang tidak biasa ia rasakan terhadap wanita lain bahkan terhadap laki – laki lain yang sering dia layani. Tanpa dia sadari telah tumbuh rasa cinta dalam diri Chantal terhadap Dev. Sehingga lengkap sudah penderitaan seorang Chantal, dimana sebelumnya dia telah dicap sebagai seorang pelacur dan sekarang pun dia menjadi seorang Lesbian. Banyak tekanan yang terjadi menimbulkan pertentangan batin dalam diri Chantal. Sehingga pada akhir cerita Chantal mengakhiri profesinya sebagai seoarang pelacur dan memilih hidup dengan Dev sebagai sepasang Lesbiannya.

Yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian tehadap novel “Chrysan” ini karena didalamnya tertuang sebuah fenomena yaitu seorang pekerja seks komersial yang memiliki perilaku penyimpangan seksual dalam hal ini lesbian. Pengarang berusaha menguak kehidupan seorang gadis yang memiliki predikat ganda, yaitu sebagai pekerja seks komersial yang menyimpang dari kodratnya. Dimana penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan seksual. Selama ini, masyarakat luas memang


(19)

menganggap seks adalah hal tabu, apalagi bila tidak sesuai dengan nilai budaya dan nilai agama yang ada. Tetapi dalam novel ini, pengarang menuliskan bagaimana kehidupan homoseksual sudah menjadi hal yang sangat biasa, terbuka bahkan terkadang terang – terangan dilakukan dalam kehidupan glamour kota megapolitan Jakarta. Pengarang berani dengan gamblang menuliskan tentang kehidupan seorang pekerja seks komersial serta hubungan seksual yang dilakukan antara dua orang yang sejenis dengan bahasa yang halus. Pengarang juga banyak menyelipkan kata – kata asing yang kurang dikenal oleh telinga banyak kalangan yang diibaratkan sebagai kata – kata bagi komunitas kelas atas (seperti merek – merek terkenal, dll), sehingga pembaca tidak dapat atau kurang paham untuk menangkap maksud dari tulisan – tulisan yang ada pada novel tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti menggunakan metode analisis semiologi untuk memaknai perilaku penyimpangan seksual pekerja seks komersial pada setip leksia dalam novel “Chrysan” dan disesuaikan dengan fakta yang terjadi didalam masyarakat terhadap pekerja seks komersial dan homoseksual. Analisis semiologi yang dipakai menggunakan teori Roland Barthes agar dapat melihat pesan tersembunyi yang berusaha disampaikan oleh pengarang dalam novel tersebut melalui tanda – tanda yang tetrdapat dalam struktur bahasa.


(20)

1.2PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas yang telah disampaikan diatas, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian adalah:

“Bagaimanakah Representasi Pekerja Seks Komersial yang Lesbian dalam novel “Chrysan” karya Hapie Joseph Aloysia ? ”

1.3TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menelaah satu persatu isi pesan yang ingin disampikan oleh pengarang melalui media massa berbentuk novel dan juga untuk mengetahui penggambaran penyimpangan seksual pekerja seks komersial dalam novel “Chrysan” karya Hapie Joseph Aloysia.

1.4KEGUNAAN PENELITIAN 1. Secara Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah kontribusi atau masukan untuk pemikiran – pemikiran yang berkaitan dengan ilmu komunikasi sehingga berguna untuk kegiatan penelitian berikutnya mengenai studi semiologi dengan bahan kajian novel 2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan agar dapat lebih membantu pembaca novel untuk memahami pesan yang ingin disampaikan penulis novel “Chrysan” tentang pekerja seks komersial dan homoseksual, sehingga


(21)

pembaca dapat mengambil gambaran obyektif tentang perilaku dan keberadaan pekerja seks komersial dan homoseksual dalam masyarakat. Juga dapat menjadi kerangka acuan bagi pihak – pihak yang berkaitan dalam pembutan novel, khususnya bagi penulis atau pengarang novel agar semakin selektif dalam mengangkat tema sebuah novel, berkreatifitas secara positif dalm menggambarkan dan menyajikan sebuah karya sastra sebagai bagian dari media komunikasi massa.


(22)

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Buku Sebagai Media Massa Cetak

Dalam sejarahnya, buku termasuk media massa cetak yang dianggap mampu menyampaikan pesan secara mendalam. Terlebih lagi dengan banyaknya kelebihan yang dimilikinya seperti mudah dibawa kemana saja, dan yang paling penting terdokumentasi permanen, namun sayangnya hanya bisa dinikmati oleh mereka yang melek huruf (Cangara, 2005 : 128). Buku sebagai media massa juga merupakan tranmisi warisan sosial dari generasi ke generasi berikutnya. Media cetak seperti buku mampu memberi pemahaman yang lebih kepada pembacanya. Melalui sebuah buku, penulis atau penyusunnya dapat berbagi banyak hal, seperti ilmu pengetahuan, pengalaman, bahkan imajinasi kepada banyak hal, seperti ilmu pengetahuan, pengalaman bahkan imajinasi kepada pembacanya sehingga buku banyak digunakan untuk keperluan studi, pengetahuan, hobi atau media hiburan dengan penyajian mendalam.

2.1.2 Representasi

Representasi berasal dari kata “represent” yang bermakna stsnd for artinya berarti juga “act as delegate for” yang bertindak sebagai perlambangan atas sesuatu. Representasi juga dapat berarti sebagai suatu tindakan yang


(23)

menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya. Biasanya berupa tanda atau symbol (piliang, 2003:21)

Representasi juga biasanya dipahami sebagai penggambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistrorsi. Representasi adalah sebuah cara dimana memakanai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan.

(http://yolagani.wordpress.com/2007/11/18).

Representasi menunjukkan baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep – konsep ideology yang digunakan dalam bentuk – bentuk yang kongkrit. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses social pemaknaan melalui system penandaan yang tersedia:dialog, tulisan,video, film fotografi, dsb. Secara ringkas representasi adalah produksi makna melalui bahasa.

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut “pengalaman berbagi”, sedangkan dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia – manusia yang ada disuatu tempat membagi pengalaman yang sama, membagi kodde – kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam “bahasa” yang sama dan saling berbagi konsep – konsep yang sama.

Proses pertama memungkinkan kita memaknai dunia dengan

mengkonstruksi antar sesuatu dengan system “peta konseptual” kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara “peta konseptual” dengan bahasa atau symbol yang berfungsi merepresentasikan konsep


(24)

– konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara “sesuatu”, “peta konseptual” dan “bahasa dan simbol” adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama itulah yang dinamakan representasi (www.kunci .co,id)

Bahasa adalah medium yang menjadi perantera kita dalam memakanai sesuatu. Memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena bahasa beroperasi sebagai system representasi. Lewat bahasa (symbol – symbol, dan tanda tulis, lesan, atau gambar). Kita mengungkapkan pikiran, konsep dan ide – ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal yang sangat tergantung dari cara kiat mempresentasikannya dengan mengamati kata – kata yang kita gunakan dan imej – imej yang kita gunakan dalam mempresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai – nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.

Untuk menjelaskan bagaimana makna representasi lewat bahasa kita bisa memaknai tiga teori representasi yang dipakai sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan pertanyaan dari mana suatu makna berasal atau bagaimana membedakan antara makna yang sebenarnya dari sesuatu atau imej dari sesuatu yang pertama adalah pendekatan efektif. Disini bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan internasional dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkonsumsikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksions, dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi lewat bahasa yang kita pakai. Proses


(25)

yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama – bersama itulah yang kita namakan representasi.

Konsep representasi bisa berubah – ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah makna akan inhern dalam suatu dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi, ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu, seperti yang dikatakan juliastuti dalam bukunya.

Representasi berasumsi bahwa praktik pemaknaan berbentuk menjelaskan atau praktek lain didunia secara social kepada dan oleh individu. Mengharuskan adanya eksplorasi pembentukan makna tekstual. Serta menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks. Representasi memiliki materiaalitas tertentu yang melekat pada bunyi, objek, citra, buku, majalah, dan program televise. Representasi diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks tertentu.

2.1.3 Pengertian Semiolotik Komunikasi

Secara estimologis, istilah semiotic berasal dari kata yunani semeion yang

berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatuyang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu

yang lain (Sobur, 2006:95). Tanda – tanda itu hanya mengemban arti (significant)


(26)

tanda dengan apa yang ditandakan. Sedangkan definisi semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna (Sobur,2006:15). Sebuah tanda menunjuk pada sesuatu selain dirinya sendiri yang mewakili barang atau sesuatu yang lain itu, dan sebuah makna merupakan penghubung antara suatu objek dengan suatu tanda (Hartoko & Rahmanto, 1986:131). Menurut Barthes,

semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)

memaknai hal – hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat

dicampuradukkan ddengan mengkomunikasikan (to communicate), namun

memaknai berarti bahwa objek – objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek – objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. (Kurniawan, 2001:53 dalam sobur, 2006:15)

Sebuah teks baik itu lagu, musik, novel, cerpen, puisi, komik, dimana semua hal itu mungkin menjadi “tanda” dapat dilihat dalam aktivitas penanda, yaitu suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungan obyek dan interpretasi, pada dasarnya, semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dalam istilah semiotika merupapkan hubungan antara lima istilah:

S (s,i,e,r,c)

S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik) ; s untuk sign (tanda) ; I

untuk interpreter (penafsiran) ; e untuk effect (pengaruh) ; r untuk reference

(rujukan) ; c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi) (Sobur, 2004 : 16 –


(27)

Kajian semiotika sampai saat ini membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi dan acuan (hal yang dibicarakan) (jakobson, 1963 dalam Sobur, 2006:15). Sedangkan semiotika signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu kontaks tertentu. Pada semiotika sidnifikasi ini tidak dapat dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi, namun yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisi pada penerima tanda lebih diperhatikan dari pada proses komunikasinya (Sobur, 2004:96)

Menurut John Fiske, terdapat tiga area penting dalam studi semiotik, yakni (Sobur, 2004:94) :

1. Tanda itu sendiri, Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda,

seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh oranng – orang yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem dimana lambang – lambang disusun. Studi ini meliputi

bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan.


(28)

2.1.4 Semiologi Komunikasi Roland Barthes

Roland Barthes merupakan pelopor aliran semiologi konotasi. Ia juga dikenal sebagai salah seorang pemikir strukuralis yang mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda – tanda. Fokus perhatian Barthes lebih

tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification)

(Fiske, 1990:88)

Dalam bukunya yang diterbitkan oleh Roland Barthes Mythologi of the mont membeberkan perenungan – perenungan Barthers tentang penari – penari perut, citero tipe baru, busa detergen, dll. Salah satu area penting yang dirambah

Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader).

Konotasi, walaupun sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthers secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut

sebagai sistem pemaknaan tataran kedua (second – order of signification), yang

dibangun diatas diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Konotasi tanda menajadi partikular ketika melihat pada penggunaan tanda.

First order Second order

Reality Sign Culture

denotation

Signifier   

Signifed   

myth 

 


(29)

Melalui gambar diatas, Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama

merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda) didalam

sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Berhes menyebutkan sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjai ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai akna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya (Fiske, 1990:88).

Signifier (penanda) adalah bunyi yang brmakna atau coretan yang

bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau

dibaca. Signified (petanda) adalah gambaran mental, yakni aspek mental (pikiran

atau konsep) dari bahasa (Kurniawan, 2001:30).

Barthes mengatakan suatu karya atau teks erupakan sebuah bentuk konstruksi belaka. Maka seseorang hars melakukan rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri apabila ingin menemukan makna didalamnya. Yang dilakukan Barthes dalam proyek rekonstruksi, paling awal adalah teks atau wacana neratif yang terdiri atas penanda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan panjang pendk bervariasi. Sebuah leksi dapat berupa satu-dua kata, kelompok kata, beberapa kalimat atau beberapa paragraph (Kurniawan, 2001:93).


(30)

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan penbaca agar dapat berfungsi. Dalam memaknai sebuah “teks”, pembaca mempunyai kekuasaan absolute untuk memberikan makna dan penafsiran terhadap sebuah hasil karya sastra (novel) yang dilihatnya bahkan tidak harus sama dengan maksud sang pengarang. Pembaca memiliki beberapa pilihan dalam memberikan makna, bisa dengn membedah bacaannya, memfokuskan pada teks dan terkadang dapat pula melupakan sang pengarang, sehingga pembaca tersebut melakukan interpretasi sendiri terhadap bacaannya. Semakin cerdas pembaca itu menafsirkan, semakin jells pula karya novel itu memberikan maknanya.

Dalam suatu naskah atau teks, terdapat lima kode yang ditinju dan dieksplisitkan oleh Barthes untuk menilai suatu naskah realis. Lima kode yang

ditinjau Barthes adalah kode hermeneutic (kode teka-teki), kode semik (makna

konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dank ode gnomic

yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu (Sobur, 2006:65).

Kode hermeneutic atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca

untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kde teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa tej-ka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita (Sobur, 2006:65). Kode ini merupakan sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam


(31)

permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban (Budiman, 2003:55).

Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam

proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenli uatu tukoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” (Sobur, 2006:65-66). Kode ini memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kiasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu (Budiman, 2003:56).

Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paliang khas

bersifat structural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat di kodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antithesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam system simbolik Barthes (Sobur, 2006:66). Kode ini merupakan konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai macam cara dan saran tekstual (Budiman, 2003:56).


(32)

Kode proaretik atau kode tindakan mengimplikasi suatu logika perilaku manusia seperti tindakan – tindakan yang membuahkan dampak – dampak dimana masing – masing dampak memiliki nama generic tersendiri, semacam “judul” bagi sekuans yang bersangkutan, (Budiman, 2003:56). Kode ini dianggap Barthes sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya, antara lain, simula teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua yang dilakukan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi (Sobur, 2006:66).

Kode gnomic atau kode cultural banyak jumlahnya. Bisa berupa

kode-kode pengetahuan atau kearifan yang terus menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah di ketahui dan di kodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realism tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu (Sobur, 2006:66).

Barthes secara panjang lebar sering mengulas tentang system pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas system lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas system pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai system yang pertama. System kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif yang di dalam mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau system pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi hjelnslev, Barthes, menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004:69).


(33)

Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Alex Sobur, 2004. Semiotika Komunikasi, Bandung : Remaja Rosdakarya, hlm.69.

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut meupakan unsure material, hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi harga diri, kegarabgan, keberanian menjadi mungkin (Sobur, 2004:69).

Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memilik makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotative (Sobur, 2004:69).

2.2 Karya Sastra Novel 2.2.1 Pengertian novel

Novel merupakan salah satu jenis buku dalam bentuk sastra. Sama seperti media cetak lainnya, novel juga memberikan informasi pada pembacanya, selain

1. Signifier (petanda) 2. Signified (petanda)

3. denotative Sign (tanda denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PENANDA KONOTATIF) (PENANDA KONOTATIF)


(34)

itu novel juga berfungsi menghibur dan mempersuasi para pembacanya (Keraf, 1993:187-188).

Menurut Jacob Sumardjo, novel adalah sebuah karya sastra yang diciptakn oleh sesorang yang berisi tentang cerita rekaan yang panjang dalam bentuk prosa (Ensiklopedia, 1993:196). Berbeda lagi yang diungkapkan oleh salah satu tokoh sastra Indonesia, N.H. Dini, menurutnya novel adalah cerita panjang yang dituturkan oleh pengarang yang didalamnya selalu ada cerita pook yang memberikan struktur keseluruhan, dan dari struktur pokok tersebut diuraikan cerita lain yang memperkuat cerita poko (Ensiklopedia, 1993:443).

Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia, novel merupakan suatu karanga prosa yang panjang berbentuk naratif dan fiksi yang bukan menyajikan kenyataan tetapi lebih pda perlambangan atau model dari kenyataan itu. Wujud dari perlambangan itu berupa kata-kata yang digunakan untuk berkomunikasi sekaligus untuk berfikir dan erasakan tentang realitas yang tergantikan oleh kata-kata tersebut. Pelaku utamanya sedikit tapi dirangkum sebagai satu-kesatuan yang lebih kuat ketimbang roman dan lebih dramatis ketimbang cerita pendek (cerpen), biasanya memuat cerita mengenai interaksi seseorang dengan orang-orang disekitarnya dengan menonjolkan watak dan perilaku para pelakunya.

2.2.2 Jenis Novel

Sebagai sebuah karya sastra, novel memiliki beberapa klasifikasi ditinjau dari jenisnya, antara lain (Hendy, 199:62-64):


(35)

1. Novel Sosial

Novel sosial ialah novel yang isinya menceritakan corak kehidupan dan penghidupan masyarakat, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan. Dapat juga menceritakan keincangan kehidupn dalam masyarakat, sehingga kebanyakan isi dalam novel ini terselip kritik-kritik sosial tentang fakta yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan manusia sesungguhnya. Keadaan yang dimaksudkan diungkapkan melalui tokoh-tokoh dalam cerita.

2. Novel Bertendens

Novel bertendens ialah novel yang mengungkapkan tendens atau tujuan tertentu, untuk membuat keadaan menjadi lebih bai. Misalnya untuk mendobrak adat lama yang menghambat kemajuan, mendobrak adat kawin paksa, mendobrak kebejatan moral, dan sebagainya.

3. Novel Sejarah

Novel sejarah ialah novel yang ceritanya erat hubungannya dengan peristiwa sejarah, baik tahunnya maupun pelakunya.

4. Novel Psikologis

Novel psikologi ialah novel yang mengutamakan pengungkapan tokoh-tooh pelaku dari aspek kejiwaannya. Mengungkapkan pergolakan jiwa, batin, dan pendirian para tokoh dalam cerita.

5. Novel Detektif

Novel detektif ilah novel yang isinya mengungkapkan peristiwa yang bersifat detektif, menceritakan kelihain akal pikiran pelaku,


(36)

melakukan taktik tertentu untuk membantu dan memenangkan pihak yang benar. Biasanya tokoh utama dalam novel ini bersifat misterius dn tidak banyak diketahui identitasnya oleh orang lain atau tokoh utama lebih banyak dikenal sebagai seorang detektif.

6. Novel Adat

Novel adat ialah novel yang berisi masalah adat. Biasanya mengisahkan pertentangan adat lama yang dianggap tak lekang oleh panas dan tak lekang oleh hujan, dengan kaum muda yang ingin merombak adat lama yang mereka anggap mengekang dan menghambat kemajuan.

7. Novel Percintaan

Novel percintaan ialah novel yang mengisahkan hubungan percintaan antara pria dan wanita dengan berbagai rintangan dan cobaan-cobaan. Melalui cobaan, penderitaan dan perjuangan yang teguh akirnya cinta kasih kedua insan itu terpadu.

8. Novel Anak-anak

Novel anak ialah novel yang isinya menceritakan dunia anak-anak. Kisahnya melukiskan perilaku anak-anak, kecerdikannya, pengalamannya, suka-dukanya, dan sebagainya.

9. Novel Simbolik

Novel simbolik ialah novel yang isi dan maksudnya dilambangkan atau disimbolkan terhadap Sesutu yng dikisahkan atau yang diceritakan.


(37)

Namun bukan berarti novel ini disajikan dalam bentuk gambar-gambar tertentu untuk mengungkapkan kisah yang terkandung didalamnya.

2.2.3 Elemen Pokok Novel

Dalam sebuah novel terdapat beberapa elemen yang patut diketahui, antara lain (Hendy, 1991:175-176):

1. Latar

Latar (setting) ialah segala kterangan mengenai waktu, ruang

(tempat), dan suasana yang dilukiskan dalam suatu karya sastra. Sebuah krya sastra yang berlatar lengkap akan memiliki aspek-aspek tersebut sehingga jelas kepada pembaca tentang kapan, Dimana, dan bagaimana peristiwa yang diceritakan itu terjadi.

2. Alur

Alur (plot) ialah jalinan atau rangkaian peristiwa dalam sebuah karya sastra (sebuah cerita) sehingga jalan cerita dari aal sampai akhir tersusun sebagai satu kesatuan yang terpadu. Rangkaian peristiwa tersebut dapat terjalin berdasarkan hubungan waktu (temporal) atau berdasrkan hubungan sebab-akibat (kausal). Bila jalinan peristiwa itu tersusun secara seksama, jalan crita akan terpadu secara baik melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

a) Pengenalan Tokoh, pada tahap ini diceritakan beberapa pelaku. Selain


(38)

inilah keterangan-keterangan penting dalam hubungannya dengan tahapan berikutnya dapat diperoleh.

b)Komplikasi atau Permulaan Konflik, pda tahap ini tokoh cerit

mendapatkan berbagai kesulitan dan hambatan. Kesulitan dan hambatan itu bisa menyangkut fisik dan dapat pula berhubungan dengan batin yang dialami tokoh cerita, tetapi intensitasnya masih lemah dan biasa-biasa saja.

c) Krisis atau Penanjakan Konflik, tahap ini muncul ketika mulai terjadi

peristiwa ketik tokoh antagonis berusaha memaksakan keinginannya kepada tokoh protagonist. Sebaliknya, tokoh protagonist menolak pemksaan tersebut, sehingga konflik semakin meningkat.

d)Klimaks, padatahap ini tokoh utama ingin memecahkan diri dari

keruwetan masalahnya. Tetapi keinginannya gagal karena tidak menemukan jalan keluar yang tercetus dari benaknya. Oleh sebab itu, tokoh utama tadi tetap pada kenyataan semula. Pada tahap ini pula perubahan-perubahan dalam hubungannya dengan nasib, sukses atau tidaknya tokoh utama dalam cerita ini dapat dilihat.

e) Penyelesaian, di tahap ini tokoh utama masih berusaha mencari jalan

dari keruwetan masalahnya tapi dalam situasi baru. Kemungkinan munculnya orang ketiga memaksa tokoh utama memenuhi kewajiban yang belum diselesaikan. Konflik terasa mulai mengendur dan secara lambat mengarah pada penyelesaian.


(39)

Namun dalam kenyataannya, tahapan-tahapan tersebut tidak selalu diawali dengan tahap perkenalan hingga tahap penyelesaian. Semuanya itu diserahkan sepenuhnya pada pengarang, tetapi tahap-tahap diatas hampir selalu ada dalam setiap cerita.

Alur sebuah cerita dapat merupakan alur erat (ketat), alur longgar (kurang terpadu), alur bawahan (alur pada cerita yang disisipkan), dan alur menanjak (yang semakin meninggi sifatnya).

3. Perwatakan

Perwatakan ialah sifat dan ciri khas (character) pelaku yang

diceritakan. Bagaimana kualitas nalarnya, sikap dan tingkah lakunya, kemauannya, pendiriannya, temperamennya, jiwanya, dan sebagainya. Perwatakan seorang pelaku dalam sebuah cerita biasanya berbeda dengan pelaku yang lainnya, karena memang biasanya watak manusia berbeda-beda.

4. Tema

Tema (theme) ialah id pokok, gagasan atau pikiran utma yng merupakan dasar cerita sebuah karya sastra. Tema ini mungkin terungkap secara jelas, mungkin pula secara samar-samar.

Sebuah tema cerita dapat dijabarkan menjadi beberapa masalah yang kompleks. Karena itu tema tidak sama dengan pokok masalah. Seorang pembaca yang jeli dapat menemukan tema sabuah cerita yang

diungkapkan secara samar-samar. Tapi semua itu kembali lagi pada frame


(40)

5. Amanat

Amaanat (message) ialah pesan yang hendak disampaikan

pengarang melalui karya sastranya (ceritanya) kepada para pembaca, secara tersurat maupun secara tersirat. Dan melalui amanat inilah, seorang pembaca dapat memahami dan mengambil hikmah dari gambaran kehidupan yang diceritakan oleh pengarang novel.

2.2.4 Bahasa Dalam Karya Sastra Novel

Bahasa adalah sebuah institusi sosi yang otonom, yang keberadaannya terlepas dari individu-individu pemakainya (Budiman, 2005:38). Penggunaan bahasa memiliki peranan yang penting dalam sebuah karya sastra dalam hal ini novel. Artinya, bahasa dalam novel merupakan titik sntral dalam penggunaan tanda pada metode Barthes. Bahasa dalam perspektif semiotika, hanyalah salah

satu system tanda-tanda (system of sign). Penelitian sastra dengan pendekatan

semiotika itu sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme dan kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, alsannya, karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan system tanda, tanda dan maknanya, serta konvensi tand, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti secara optiml. Penelitian sastra dengan pendekatan semiotika itu memandang objek-objek sebagai parole (laku tuturan) dari suatu Langue (bahasa:system bahasa) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis (Sobur, 2006:144).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bbahasa adalah (1) Sistem lambang bunyi beraktikulasi yang bersifat konvensional dan sewenang-wenang


(41)

yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran, (2) Perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa, (3) Percakapan yang baik, sopan santun dan tingkah laku yang baik.

Menurut seorang linguis barat, Ronald Wardhaugh, dalam bukunya

Intriduction to Linguistics memberikan definisi “a system of arbirety vocal

symbols used for human communications” yang artinya, bahwa bahasa merupakan

suatu system simbol-simbol bunyi yang arbiter yang digunakan untuk komunikasi manusia (Hidayat, 2006:22). Dari uraian tersebut maka symbol dapat diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan sesuatu yang lain. Dengan kata lain bahwa di sekeliling kita terdapat banyak symbol dan kita akan senantiasa dihadapkan pada berbagai symbol (Hidayat, 2006:23).

Karakteristik yang dimiliki tanda-tanda kebahasaan sendiri ada dua macam, yaitu bersifat linear dan arbiter. Bersifat linier/linearitas penanda, berkaitan dengan dimensi kewaktuannya. Penanda-penanda kebahasaan harus diproduksi seara beruntun, satu demi satu, namun tidak munkin secara sekaligus (simultan). Bersifat arbiter/kearbiteran tanda, berkaitan dengan relasi diantara

penanda dan petanda yang “semena-mena” atau “tanpa alasan”, unmotivated.

Relasi diantara penanda dan petanda adalah semata-mata berdasarkan konvensi (Budiman, 2005:38).

Secara keseluruhan, bahasa memilikinperanan yang sentral dalam semiotik, perlu adanya pendekatan bahasa dalam tanda-tanda pada teks novel. Pendekatan bahasa dalam metode Barthes membagi tanda atas dua bagian, yaitu


(42)

denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua.

Dalam penelitian ini, sastra juga dijabarkan dan digali maknanya dengan menggunakan pendekatan semiologi, tanda yang berupa indeks yang paling banyak dicari, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat. Penelitian harus menentukan kontras-kontras diantara satuan-satuan yang menghasilkan arti (hubungan-hubungan paradigmatik) dan aturan-aturan kombinasi yang memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama-sama sebagai pembentuk-pembentuk struktur yang lebih luas (hubungan-hubungan sintogmatik). Oleh karena itu, peneliti harus menemukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan kara sastra mempunyai suatu makna (Sobur, 2006:144).

2.2.5 Karya Sastra Novel Sebagai Media Komunikasi

Komunikasi dalam studi sastra menunjukkan relasi mjemuk antar pengarng, teks, dan pembaca. Menurut Roman Jakobson, dalam setiap ungkapan bahasa sastra terdapat sejumlah fungsi (referensial, emotif, konatif, puitik) yang berkaitan dengan beberapa faktor (konteks, pemancar, juru bicara, pengarang) pada penerima (pendengar, pembaca) dan berita atau pesan bahasa sendiri (Hartoko&Rahmanto, 1986:76).

Sastra menjadi bahasa untuk berkomunikasi dengan bidang-bidang lainnya yang berkembang sesuai dengan perubahan masyarakat dimna ia hidup (Sunardi, 2004:14).


(43)

Menurut Duncan Ratna (2003:142), karya sastra sebagai proses komunikasi menyediakan pemahaman yang sangat luas. Dalam sebuah karya sastra terkandung bentuk-bentuk ideal komunikasi, karena karya sastra menyajikan pengalaman dlam kualitas antar hubungan.

Duncan juga memandang bahwa masyarakat lahir dalam dan melalui komunikasi, yaitu komunikasi simbol-simbol bermakna. Mekanisme melalui hubungan-hubungan lisan dan tulisan dianggap sebagai cara-cara berkomunikasi paling konstan dan lazim dalam kehidupan sosial yang dengan sendirinya merupakan fondasi, sumber, dan energy semua aktivitas (Ratna, 2003:12).

Fungsi sosial karya sastra tidak terbtas hanya sebagai penjelasan materi dari satu individu ke individu lin, tapi yang lebih penting adalah transmisi dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu generasi ke generasi lain.

Karya sastra (novel), makin lama makin dirasakan sebagi aktivitas yng benar-benar memiliki fungsi integral dalam struktur sosial, karya sastra dalam proses komunikasi, dianggap sebagai gejala yang sarat dengan referensi-referensi sosial, yang pada dasarnya sangat bermanfaat dalam pengembangan-pengembangan hubungan-hubungan sosial. Oleh karena itu, Duncan menyatakan bahwa kekuatan seni yang sesungguhnya terletak dalm kapasitasnya untuk menerobos tembok pemisah antar manusia (Ratna, 2003:134).

Menurut Ratna (2003:135), komunikasi sastra merupakan komunikasi tertinggi, sebab melibatkan unsure-unsur yang paling luas dan melibatkan proses total meliputi: (a) produksi teks, yaitu aktivitas pengarang dalam menghasilkan teks tertentu, (b) teks itu sendiri dengan berbagai problematikanya, (c) transmisi


(44)

teks melalui editor, penerbit, toko buku dan pembaca nyata, (d) penerim teks, melalui aktivitas pembaca, khususnya pembaca implicit.

Hubungan karya sastra dengan masyarakat merupakan kompleksitas hubungan yang bermakna, antar hubungan yang bertujuan untuk saling menjelaskan fungsi-fungsi perilaku sosial yang terjadi pada saat-saat tertentu (Ratna, 2003:137).

2.3 Pekerja Seks Komersial

Semakin berkembangnya zaman, persaingan dalam hal mencari pekerjaan semakin sulit. Banyak cara ditempuh untuk tetap bertahan hidup dengan menjalani berbagai macam pekerjaan, meskipun dengan resiko yang tidak sebanding dengan apa yang diterima yaitu profesi sebagai pekerja seks komersial yang bagi masyarakat dianggap sebagai pekerjaan yang memiliki konotasi buruk. Berbicara tentang pekerja seks komersial pandangan kita langsung tertuju pada kaum perempuan dengan aktivitas menjual tubuh, serta profesi yang dianggap sebagai aib sosial.karena diperlakukan tidak enak hati, hina, rendah karena diperlakukan sesuatu yang kurang baik disini terkait dengan profesinya sebagai pekerja seks komersial yang menurut masyarakat sebagai pekerjaan yang tidak bermoral.

Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur (pekerja seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan


(45)

menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku sex bebas tanpa pengaman bernama kondom.

Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun toh dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki); tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik-baik (http://id.wikipedia.org).

Augustinus dari Hippo (354-430), seorang bapak gereja. Ia mengatakan bahwa pelacuran itu ibarat "selokan yang menyalurkan air yang busuk dari kota demi menjaga kesehatan warga kotanya." Istilah pelacur sering diperhalus dengan pekerja seks komersial, wanita tuna susila, istilah lain yang juga mengacu kepada layanan seks komersial. Khusus laki-laki, digunakan istilah gigolo.


(46)

Pada opini tersebut tentu predikat yang melekat padanya sangat buruk. Namun bila dilihat dari sisi yang lain yaitu profesi pekerja seks komersial merupakan suatu upaya, usaha yang dilakukan oleh kaum perempuan yang merasa dirinya sudah tidak ada alternatif pekerjaan yang lain. Profesi demikian terpaksa ditempuh dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup.

Profesi sebagai pekerja seks komersial tersebut dilakukan atas dasar mencari penghasilan karena faktor untuk berjuang mempertahankan hidup ditengah sulitnya kaum perempuan mendapatkan pekerjaan yang layak,khususnya bagi mereka yang berpendidikan rendah yang berasal dari daerah pedalaman, apalagi yang ia andalkan selain kecantikan dan kemolekan tubuh yang indah yang dapat menggoda nafsu kaum lelaki. Anak perempuan juga mendapatkan tuntutan yang sama dengan saudara laiki – lakinya tuntutan (keluarga keluarga) dan mereka kemudian harus menyesuaikan dengan tata kehidupan global dengan berbagai implikasinya, akhirnya mereka mencari pekerjaan yang paling mudah yakni menjual tubuhnya (muniarti, 2004:212-213).

Dalam melakukan hubungan seksual sebagian remaja tidak terlindungi dari pengaruh lingkungan, sehingga menjadikan anak tersebut seorang pekerja seks komersial. Namun tidak menutup kemungkinan wanita-wanita yang status ekonominya rendah, ataupun ditinggal pasangannya menjadikan dia sebagai seorang pekerja seks komersial (PSK) lebih sering disebut pelacur. Atau kata yang lebih samar adalah kupu-kupu malam(http://id.wikipedia.org).

Di Indonesia berdasarkan analisis situasi yang dilakukan oleh seorang aktivis Hak-hak Anak, Mohammad Farid, pada tahun 1998, diperkirakan ada


(47)

40.000-70.000 anak-anak yang dilacurkan atau 30% dari jumlah PSK di Indonesia. UNDP mengestimasikan tahun 2009 di Indonesia terdapat 790 ribu hingga 970 ribu pekerja seksual komersial dengan 10 hingga 170 juta pelanggan (http://id.wikipedia.org).

Dalam hal ini terdapat beberapa pandanagan mengenai pekerja seks komersial berdasarkan beberapa agama atau kepervayaan, diantaranya sebagai berikut:

1. Pelacuran dalam pandangan agama yahudi dan kristen

Agama Yahudi dan Kristen menyamakan penyembahan terhadap dewa-dewa lain selain kepada Allah sebagai pelacuran. Gambaran ini dapat ditemukan di dalam kitab Nabi Yehezkiel ps. 23 dan kitab Nabi Hosea (1:2-11). Namun demikian ada pula kisah tentang Rahab, seorang pelacur bangsa Yerikho yang menyelamatkan dua orang mata-mata yang dikirim Yosua untuk mengintai kekuatan Yerikho (Yosua 2:1-14). Dalam kisah ini, Rahab dianggap sebagai pahlawan, dan karena itu ia diselamatkan sementara seluruh kota Yerikho hancur ketika diserang oleh tentara Israel yang dipimpin oleh Yosua. Kitab Yosua mengisahkan demikian: "Demikianlah Rahab, perempuan sundal itu dan keluarganya serta semua orang yang bersama-sama dengan dia dibiarkan hidup oleh Yosua. Maka diamlah perempuan itu di tengah-tengah orang Israel sampai sekarang, karena ia telah menyembunyikan orang suruhan yang disuruh Yosua mengintai Yerikho." (Yosua 6:25).


(48)

Agama Yahudi di masa Perjanjian Baru, khususnya di masa Yesus menganggap negatif praktek pelacuran. Karena itu orang baik-baik biasanya tidak mau bergaul dengan mereka bahkan menjauhkan diri dari orang-orang seperti itu. Namun demikian Yesus digambarkan dekat dengan orang-orang yang disingkirkan oleh masyarakat seperti para pelacur, pemungut cukai, dll. Injil Matius melukiskan demikian: "Kata Yesus kepada mereka: 'Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah'." (Matius 21:31) Maria Magdalena, salah seorang pengikut dan murid Yesus, seringkali digambarkan sebagai seorang pelacur yang diampuni Yesus (Lukas 8:2), meskipun pendapat ini masih diperdebatkan, Kitab Wahyu melukiskan Roma sebagai pelacur besar yang akan dijatuhi hukuman oleh Allah: "... sebab benar dan adil segala penghakiman-Nya, karena Ialah yang telah menghakimi pelacur besar itu, yang merusakkan bumi dengan percabulannya; dan Ialah yang telah membalaskan darah hamba-hamba-Nya atas pelacur itu." (Wahyu 19:2; lih. pula Wahyu 17:1, 17:5, 17:15, 17:16). Di sini perlu diingat bahwa Roma yang dimaksudkan oleh penulis Kitab Wahyu ini adalah pemerintahan yang pada waktu itu menindas dan menganiaya Gereja dan orang-orang Kristen pada masa-masa permulaan agama Kristen.

3. Pelacuran dalam pandangan Islam

Pelacuran dalam pandangan Islam adalah haram hukumnya.Dan Islam secara tegas mengharamkan perzinahan/pelacuran. Sebagaiman firman Allah:


(49)

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (TQS. Al Isra[17]; 32).

Dan Sanksi bagi para pelaku zina dalam islam ialah:

a. Bagi pezina yang belum menikah, maka wajib didera 100 kali cambukan,

dan boleh diasingkan selama satu tahun. Seperti dalam ayat Al Qur’an An Nur[24];2

Yakni Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah

tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman(An Nur[24];2)

b. Bagi pezina yang sudah menikah maka harus dirajam hingga mati.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Bahwa seorang laki-laki berzina

dengan perempuan. Nabi Muhammad SAW memerintahkan menjilidnya, kemudian ada khabar bahwa dia sudah menikah(muhshan) , maka Nabi SAW memerintahkan untuk merajamnya.

4. Pelacuran dalam pandangan Hindu

Dalam pandangan umat Hindu pelacuran sangat sangat dilarang, karena dalam Hindu, tubuh wanita itu ibarat susu kehidupan bagi generasi keberikutnya, mereka yang memperjual belikan susu kehidupan dalam pandangan hindu hukumnya adalah kutukan seumur hidup. Dalam weda sendiri yang merupakan


(50)

kitab suci umat hindu pelacuran disebutkan sebagai sesuatu yang selain dipantangkan juga akan mendapatkan kutukan sebanyak 7 turunan.

5. Pelacuran dalam pandangan Budha

Dalam kitab suci agama Buddha, pelacuran jelas jelas dilarang karena tidak sesuai dengan keinginan sang Budha.

Dari pemaparan diatas mengenai Pekerja seks komersial diatas dapat disimpulkan bahwa pekerja seks komersial adalah sebuah profesi yang dilakukan oleh seseorang perempuan yang menjual jasa (tubuhnya) untuk melakukan hubungan seksual untuk mendapatkan uang dan memuaskan nafsu para pelanggannya (kaum laki – laki).

2.4 Homoseksual Lesbian

Sejarah mempercayai, bahwa lesbian berkembang dari yunani dengan bukti , bahwa kata lesbian diambil dari kata lesbos, yakni nama sebuah pulau di sana. Sekian abad silam, hubungan antar kaum hawa ini jarang sekali terjadi, bisa dimaklumi karena memang hubungan antar sejenis ini lebih rapat tersimpan rapi, dari pada kaum homo seksual. bisa jadi.,. kaum feminisme lebih pintar mengeksplorasi cinta yang mereka dapatkan. Terkadang apa yang bergejolak, tak mudah di terjemahkan oleh kaum pria. Karena secara kodrati, wanita memang dianugrahi perasaan lembut dan sensitifitas yang cukup tinggi. Fenomena cinta sejenis perempuan dan perempuan, memang bukan hal yang baru dalam gaya hidup masyarakat metro moderen. Meski sekali lagi keberadaannya masih sangat rahasia. Begitu susah memang menditeksi hubungan


(51)

ini. Banyak Istilah –istilah yang lazim digunakan dalam dunia lesbian. Istilah ini memgerucut pada discripsi hetero seksual kaum perempuan.

Diantara banyak istilah itu, kami menemukan istilah lipstick. Untuk

meniskripikan femine lesbian. Istilah ini diperuntukkan untuk mereka yang suka bermake up dan cenderung memliki sifat keperempuanan. Jauh berbeda dengan

perempuan bersifat kelelaki- lakian atau lebih di kenal dengan istilah dyke.

Lesbian dalam katagori ini adalah lesbian yang bertidak sebagai sang maskulin. Layaknya pria, ia bertugas untuk melindungi dan mengayomi. Lesbian dyke yang biasanya berkembang atas latar belakang historical masa kecil. Lain halnya dengan lesbian lipstik yang jauh lebih feminin dan layaknya kum perempuan kebanyakan.

Terjadinya cinta sejenis, Lesbian terlatar belakangi dari banyak hal.. Misalnya karena bentukan orang tua yang menginginkan mereka tumbuh menjadi lelaki, pengaruh ,lingkungan serta karakteristik yang memaksa mereka tumbuh menjadi gadis tomboy, dan pada akhirnya membawa mereka lebih dekat dengan pribadi maskulin. Dari sini bisa ditebak, kemana arahnya. Merekapun lebih tertarik dengan gemulai seorang wanita, dari pada keperkasaan seorang pria. Hal ini lah yang menyebabkan, terjadinya dyke, atau perempuan yang sangat kelelaki- lakian

Di sisi lain, Trauma masa kecil, juga bisa jadi menjadi salah satu pemicu terjadinya lesbian. Dari sini bisa memunculkan kengganannya bergaul dengan kaum lelaki, karena paradigma yang dibentuk dari awal, bahwa lelaki memang


(52)

diterima secara berulang kali, perselingkuhan dan juga kekerasan yang pada akhirnya bermuara pada dendam dengan kaum lelaki. Adalah juga salah satu alasan mengapa kaum lesbian ini, memutuskan untuk tidak lagi percaya dengan cinta yang ditawarkan oleh mereka yang menglkim dirinya sebagai makluk jantan itu. Rasa ini akhirnya terakumulasi menjadi sebuah babak baru dalam dunia percintan mereka. Pengalihan rasa terhadap sesama perempuan mencetakknya sebagai kaum lesbian

Kata lesbian menjelaskan adanya keinginan seksual terhadap jenis kelamin sejenis. Semenjak kata ini ditemukan pada tahun 1869 oleh Karl-Maria Kerthbeny, kata lesbian telah memberi pengaruh hebat terhadap konsep modern orientasi seksual, memperoleh cinta tambahan seperti cinta dan identitas selebih daru seksualitas murni belaka..

Menurut Priaga, homoseksual merupakan penyimpangan arah seksual dimana terjadi ketertarikan terhadap sesame jenis bila dipandang dari unsur seksual. Hubungan semacam ini apabila dilakukan sesame perempuan maka biasa dikenal dengan istilah “lesbian” (Priaga, 2003:18)

Sedangkan menuruut Az – Zulfi, Lesbian merupakan perbuatan yang dapat merusak agama, kehormatan dan moral serta merupakan perbuatan sesat yang menyalahi kodrat manusia yang fitrah (Al- Zulfi, 2005 : 1).

Lesbian adalah perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis. Pasangan sejenis artinya wanita yang secara seksual dan emosional merasa tertarik kepada wanita lain dan menjalin suatu hubungan. Hal terebut bukankah


(53)

sebuah penyakit atau gangguan kejiwaan melainkan lebih cenderung pada pilihan identitas seseorang (Tobing, 1987:21).

Dalam kenyataan dan praktiknya sulit sekali meengenali seseorang wanitah lesbian, hanya dengan melihat saja, karena tidak ada tanda-tanda fisik yang khas yang dapat menunjukkan seseorang itu lesbian. Satu-satunya cara untuk mengetahui ialah dengan menanyakan kepada yang bersangkutan atau melihat kenyataan bahwa dia mengadakan hubungan seks dengan orang sejenisnya. Tetapi hubungan seks yang demikian susah dilihat karena berlangsung dalam keadaan tertentu. Jadi hanya berdasarkan pengakuan orang tersebut atas identitas diriny sebagai seorang homoseks, kita dapat benar-benar mengetahuinya (Tobing, 1987:29).

Dalam pebuatan dan perilaku yang dilakukan oleh homoseksual lesbian lebih banyak mengacu pada perilaku seksual antara dua orang dengan jenis kelamin yang sama. Perbuatan (seksual) yang dilakukan oleh homo seksual lesbian tersebut terbagi dalam dua batasan, yaitu:

1. Hubungan homoseksual genital, yaitu hubungan yang dilakukan antara

dua orang yang berkelamin sama dengan melibatkan alat kelamin. Hubungan ini dibagi menjadi dua, yaitu hubungan tanpa kontak.

(contohnya: masturbasi dual) dan hubungan dengan kontak langsung

(contohnya: masturbasi mutual, coitus interfemorallselapaha dan coitus

oral atau anal).

2. Hubungan homoseksual non-genital, yaitu hubungan yang dilakukan


(54)

contohnya: mengagumi orang sesama jenis, merasa dekat dengan orang sesame jenis sehingga menggandeng tangan, memeluk, mencium atau melambai-lambai bagian tubuh yang bukan alat kelamin.

Menurut seorang ahli psikologi dr. Wimpie Pangkahila, ada empat kemungkinan penyebab lesbian. Pertama, faktor biologis yakni ada kelainan di otak atau genetic. Kedua, faktor psiodinamik yaitu adanya gangguan perkembangan sikoseksual pada masa kanak-kanak. Ketiga, faktor sosiokultural yakni adat istiadat yang memperlakukan hubungan homoseks dengan alas an tertentu yang tidak benar. Keempat, faktor lingkungan yaitu keadaan lingkungan yang memungkinkan dan mendorong pasangan sesama jenis menjadi erat (Supratiknya, 1995:94).

Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui jumlah

homoseks wanita. Seperti studi penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh Alfred Kinsey. Ia mengatakan bahwa 70% wanita adalah homoseks. Artinya orang-orang tersebut keinginan homoseksnya lebih menonjol dari heteroseks atau homoseks semata-mata, yangs edikitnya berlaangsung selama 3 tahun dalam hidupnya. Kemudian ada penelitian lain yang dilakukan oleh Paul Gebhard yang menemukan bahwa 9,13% dari sampel yang diteliti adalah homoseks. Dari hasil studi tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa 10% manusia adalah homoseks. Sedangkan di Indonesia sendiri belum ada penelitian yang mengenai jumlah homoseks. Hal tersebut masih sangat sulit dilakukan karena orang homoseks di Indonesia tidk akan bersedia membuka dirinya.


(55)

Keberadaan lesbian dalam masyarakat Indonesia pada kenyataannya dapat ditemukan mulai dari kota – kota kecil hingga kota – kota besar. Jika ditelusuri sejarah keberadaanya, homoseksualitas telah ada dan menjadi menjadi bagaian kebudayaan. Mengenai kapan mulai homoseksual ini tidak ada catatan yang jelas. Hanya diketahui beberapa abad sebelum masehi telah dikenal adanya lesbian seperti yang ditulis Plato dalam bukunya The Symposium. Bahkan 580 tahun sebelum masehi di Timur Yunani telah berkembang sebuah mitos tentang kisah cinta antara putri saapho yang berasal dari kalangan elit denga murid wanitanya bernama Athis di pulau Lesbos. Dari nama pulau inilah kemudian dikenal nama Lesibian umntuk homoseksual wanita (Arintowaty, 1988:39).

Dari sebagaian masyarakat yang memandang bahwa lesbian adalah hal yang biasa terdapat sebagaian masyarakat lagi yang memandang bahwa lesbian adalah suatu hal yang tabu dan tidak boleh dilakukan. Hal ini juga mendapat perlawanan dari sudut pandang agama dan norma – norma yang ada di masyarakat.

Telah diketahui bahwa agama manapun tidak membenarkan

adanya hubungan sejenis baik itu sesama perempuan. Hal tersebut dijelaskan dalam Al – Qur’an surat Al – a’raaf ayat 80 – 85, surat Syu’ara ayat 165 dan 166, Surat An – Naml nayat 55 Surat Ambiyaa’ ayat 74, dimana garis besar isi dari surat – surat tersebut adalah melarang perbuatan (hubungan sejenisnya) yang dapat merusak agama, kehormatan dan moral. Perbuatan itu merupakan penyakit berbahaya, racun yang sangat mematikan, puncak dari kejelekan dan


(56)

keburukan, serta merupakan perbuatan sesat yang menyalahi kodrat manusia yang fitrah. Selain itu Alkitab Rom 1:27 menerangkan bahwa hubungan sejenis itu adalah salah karena membawa hubungan yang tidak sehat, Alkitab iut juga menerangkan dengan sangat jelas bahwa tuhan tidak menciptakan seorangpun sebagai homoseks. Tuhan menciptakan laki – laki dan perempuan dan ia memerintahkan untuk menjadi satu daging.

Menurut paparan definisi diatas mengenai homoseksualitas dapat ditarik kesimpulan bahwa homoseksual sendiri adalah kelainan terhadap orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadp orang lain yang mempunyai kelamin sejenis atau identitas gender yang sama. Istilah yang sudah umum dikenal masyrakat untuk orang yang termasuk homoseksual adalah gay (untuk laki-laki), Lesbian (untuk perempuan), selain itu ada pula transgender/waria, dan biseksual (orientasi seksual kepada laki-laki dan perempuan).

2.5Kerangka Berfikir

Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam memaknai suatu peristiwa ataupun objek. Hal ini dikarenakan pengaruh yang

didapat dari latar belakang pengalaman (field of experience) dan pengetahuan

(frame of reference) yang berbeda-beda pada setiap individu. Dalam hal ini pesan komunikasi disampaikan melalui teks novel, maks penulis novel juga


(57)

atas yang nantinya mempengaruhi peneliti dalam memaknai pesan yang terdapat dalam teks novel tersebut.

Novel “ Chrysan” yang merupakan karya Hapie Joseph Aloysia yang terbit pada Januari 2011 menceritakan tentang tokoh utama seorang perempuan berusia 24 tahun yang bernama Chantal Olgivie adalah seorang bayi malang yang dibuang oleh neneknya didepan sebuah rumah dilingkungan prostitusi, dia diasuh oleh seorang pelacur sekaligus seorang germo yang cukup terkenal didaerah tersebut. Chantal tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik, karena lingkungan dengan segala aspek sosial ataupun ekonominya yang terbatas, kecantikan Chantal dimanfaatkan oleh ibu angkatnya dengan menjual keperawanan Chantal disaat dia berusia 15 tahun. Mulai dari situlah Chantal melakoni profesi sebagai seorang pelacur yang mau tidak mau dia harus melakoninya, semua itu dia lakukkan karena demi ibu yang telah mengangkatnya. Ditahun kelima Chantal melakoni profesinya tersebut, dia bertemu dengan seorang perempuan bernama Devara atau biasa dipanggil Dev. Dev adalah teman satu kost Chantal, dev memiliki perilaku penyimpangan seksual, yakni dia adalah seorang Homoseksual (Lesbian). Dari pertemuan itulah Chantal merasakan memiliki perasaan yang tidak biasa ia rasakan terhadap wanita lain bahkan terhadap laki – laki lain yang sering dia layani. Tanpa dia sadari telah tumbuh rasa cinta dalam diri Chantal terhadap Dev. Sehingga lengkap sudah penderitaan seorang Chantal, dimana sebelumnya dia telah dicap sebagai seorang pelacur dan sekarang pun dia menjadi seorang Lesbian. Banyak tekanan yang terjadi menimbulkan


(58)

pertentangan batin dalam diri Chantal. Sehingga pada akhir cerita Chantal mengakhiri profesinya sebagai seoarang pelacur dan memilih hidup dengan Dev sebagai sepasang Lesbiannya.

Dalam hal ini novel “Chrysan” akan dianalisis dengan menggunakan teori analisis semiologi milik Roland Barthes, dengan menggunakan leksia dan lima kode pembacaan. Profesi pekerja seks komersial dan perilaku homoseksual (lesbian) yang terdapat dalam novel “Chrysan” ini akan di interpretasikan melalui dua tahap pemaknaan. Tahap pertama novel “Chrysan” akan dipilah penanda-penandaannya ke dalam serangkaian frakmen ringkas dan beruntun

yang disebut dengan leksia, yaitu satuan pembacaan (units of reading) dengan

menggunakan kode-kode pembacaan yang terdiri dari lima kode. Kelima jenis kode tersebut meliputi kode hermeneutic, kode semik, kode simbolik, kode proaretik, dan kode gnomic (kode kultural).

Pada tahap kedua novel “Chrysan” sebagai sebuah bahasa pada tataran signifikasi akan dianalisa secara mitologi pada tataran bahasa atau system semiologi tingkat pertama sebagai landasannya. Dengan cara sebagai berikut:

1. Dalam tataran linguistic, yaitu sistek semiologi tingkat pertama,

“penanda-penanda” berhubungan dengan “petanda-petanda” sedemikian sehingga menghasilkan “tanda”.

2. Selanjutnya, di dalam tataran mitos, yakni semiologi lapis kedua,


(59)

menjadi “penanda-penanda” yang berhubungan pula pada “petanda-petanda” pada tataran kedua.

Dengan demikian pada akhirnya peneliti akan menghasilkan

interpretasi yang mendalam dan tidak dangkal. Seluruh makna yang tersembunyi dalam keseluruhan teks pada novel “Chrysan” dapat terungkap dan dipaparkan dengan benar dan terperinci sehingga menimbulkan sebuah pemahaman yang benar juga.

Dari penggunaan metode Barthes yang menitik beratkan pada makna denotasi (makna harfiah/makna sesungguhnya) dan makna konotasi (makna tambahan) yang pda akhirnya dapat diperoleh signifikasi, sehingga menghasilkan suatu interpolasi mengenai perilaku menyimpang pekerja seks komersial dalam novel “Chrysan”. Secara sistematis dapat ditunjukkan bagan kerangka sebagia berikut:

Novel “ Chrysan” Karya. Hapie J.A

Analisis menggunakan metode

Semiologi Roland

Hasil Interpretasi


(1)

102 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Novel Chrysan karya Hapie J.A ini memiliki latar belakang tentang kehidupan seorang lesbian yang memiliki profesi sebagai PSK yang ada di kota Jakarta. Berdasarkan pembahasan bab sebelumnya, setelah pemilihan leksia yang kemudian masing – masing leksia tersebut digolongkan pada masing – masing kode pembacaan lalu diaplikasikan pada metabahasa, maka dapat diambil kesipulan sebagai berikut:

Setelah dilakukan beberapa proses yang dilalui untuk mendapatkan pemaknaan perilaku lesbian dan PSK yang diperankan oleh tokoh utama yang bernama Chantal Olgivieyang terdapat dalam novel Chrysan karya Hapie Joseph Aloysia.

Pada kode pembacaan hermeneutik, perilaku homoseksual lesbian dimakanai dengan hubungan antara perempuan yang dilakukan tokoh utama (Chantal) bersama dengan pasangannya (Devara). Perilaku ini tidak hanya sebatas pemenuhan kebutuhan biologis yang berupa perilaku homoseksual genital (menggunakan alat kelamin) maupun perilaku homoseksual non – genital (tidak menggunakan alat kelamin), tetapi juga melibatkan segi emosional, karena dapat menimbulkan rasa cinta trehadap pasangan sejenisnya. Sedangkan perilaku pekerja seks komesial dimaknai dengan sebuah profesi menjual diri kepada para lelaki hidung belang yang dilakukan oleh tokoh utama (Chantal), dikarenakan hanya karena faktor


(2)

kebutuhan hidup,serta pemuas nafsu, bukan berdasarkan perasaan cinta dan kasih saying. Cermin perilaku yang dilakukan tokoh dalam novel Chrysan dianggap oleh peneliti bukanlah sebuah penggambaran perilaku yang baik untuk ditiru,apalagi diterapkan dalam masyarakat.

Pada kode pembacaan semik, perilaku lesbian dalam novel Chrysan dimaknai bahwa dalam kehidupan homoseksualnya terjadi peran – peran yang menegaskan kedudukan dan status sang tokoh sebagai seorang pekerja seks komersial sangatlah tidak dihargai, para lelaki bisa memainkan sesuka hatinya saat berhubungan intimacy dengan tokoh,kemudian tokoh ditinggalkan begitu saja setelah dia puas dan membayarnya. Dan sangat bertolak belakanng sekali dengan status tokoh sebagai perempuan lesbian,dia begitu dihargai sebagai seorang pasangan.di merasakan bagaimana rasanya mencintai dan dicintai dengan hati yang jujur, tulus,dan bukan dibuat – buat. Sehingga muncul sebuah gambaran tokoh hanya menginginkan uang dari para lelaki yang telah menidurinya dan hubungan hoseksual lesbiannya terkesan penuh dengan kesetiaan dan saling menghargai.

Pada kde pembacaan simbolik, perilaku pekeja seks komersial yang lesbiandalam novel “Chrysan” dimaknai bahwa tokoh adalah sosok yang agresif, kuat, tegar, memiliki dorongan seksual yang besar, dan berusaha untuk bisa lepas dari dunia hitamnya.

Pada kode pembacaan proaretik, perilaku pekeja seks komersial yang lesbian dalam novel “Chrysan”dimaknai dengan munculnya tingkah


(3)

laku dari tokoh utama yang dianggap tidak bisa mengendalikan diri menahan hasratnya, sehingga mengakibatkannya terlarut melakukan aktifitas seksual di luar batas kewajaran.

Pada kode pembacaan gnomic, perilaku pekeja seks komersial yang lesbian dalam novel “Chrysan” bertentanngan dengan norma kesusilaan dan sangat dikecam seluruh ajaran agama yang ada khususnya agama islam sebagai ajaran yang dianut oleh peneliti.

Pada tataran linguistic, perilaku pekeja seks komersial yang lesbian dalam novel “Chrysan” karya Hapie Joseph Aloysia. Menunjukkan adanya perilaku Hmoseksual lesbian genital dan non genital. Serta adanya pandangan masyarakat yang mayoritas masih menilai negative terhadap kaum pekeja seks komersial yang lesbian.

Pada tataran mitos, dalam novel “Chrysan” ini perilaku pekeja seks komersial yang lesbian diamaknai sebagai sebagai sebuah fenomena yang bertentangan dengan norma social dan norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Perilaku pekeja seks komersial yang lesbian dalam masyarakat umum masih dipandang sebagai suatu yang menyimpang, oleh karena itu sering kali perilaku pekeja seks komersial yang lesbian menyembunyikan identitas dirinya tersebut. Sedangkan jika dilihat dari sisi agama islam, sesuai dengan keyakinan yang dianut oleh peneliti menyatakan bahwa perilaku pekeja seks komersial yang lesbian dalam novel “Chyrsan” adalah perilaku yang tidak dapat dibnarkan dan


(4)

merupakan sebuah dosa besar, hal ini dapat dilihat pada ayat – ayat Al – Qur’an

5.2 Saran

Diharapkan penelitian ini dapat menjawab pertanyaan – pertanyaan yang ada dalam benak masyarakat tentang bagaimana kehidupan pekeja seks komersial yang lesbian melalui perilaku – perilaku yang digambarkan penulis novel, sehingga masyarakat bisa mendapatkan sebuah pemahaman yang obyektif tentang pemikiran mereka selama ini terhadap lesbian dan PSK, yang sebenarnya memang tidak pantas dilakukan oleh siapapun yang memiliki moral dan agama. Namun semua kembali lagi pada pemikiran tiap – tiap individu untuk dapat menerima keberadaan kaum lesbian dan PSK sebagi bagaian dari masyarakat.

Selain itu, peneliti juga berharap penelitian ini dapat menjadi kerangka acuan bagi pihak – pihak yang berkaitan dengan pembuatan dan penerbitan novel, khususnya bagi penulis novel agar semakin selektif dalam mengangkat tema sebuah novel, berkreatifitas secara positif dalam menggambarkan dan menyajikan sebuah karya sastra sebagai bagian dari media komuniksi massa.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Barker, Chris, 2004, Cultural Studies Teori dan Praktek, Yogyakarta : Kresi Wacana

Barthes, Roland, 2007, Membedah Mitos – Mitos Budaya Massa, Yogyakarta : Jala Sutra Anggota IKAPI

Effendy, Onong, 2009, Teori Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Effendy, Onong, 1995, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung, PT.

Aditya Bakti

Eriyanto, 2001, Analisis Wacana, Yogyakarta : LKIS Gandhi, Mohandes, 2007, Spiritualitas, Jakarta : Mediatama Joseph, Hapie, 2011, Crysan, Yogyakarta : Shira Media Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, Jakarta : Balai Pustaka Krishnamurti, 1997, Meditasi, Jakarta : Gramedia

Krisyantono, Rachmat, 2007, Riset Komunikasi, Jakarta : Prenada Media Group Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Magelang : Yayasan Indonesiatera Moelong, Lexi, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Ratna, Nyoman, Kutha, 2003, Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sobur, Alex, 2004, Semiotika komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Sobur, Alex, 2003, Analisis Teks Media, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya


(6)

NON BUKU:

(http://id.wikipedia.org/wiki/novel)

(http:// meneropong-jejak-kaum-lesbian_19.html) (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)

(http://hizbut-tahrir.or.id/2009/10/16/munas-psk-pekerja-seks-komersial-pesan-negara-dan-amar-ma%e2%80%99ruf-nahi-mungkar/)

(http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/qardhawi/halal/30288.html) (http://id.wikipedia.org/wiki/homosesual)

(http://id.wikipedia.org/wiki/pelacur)

SKRIPSI :

Damayanti, Prily, 2008, Homoseksual Tersembunyi Dalam Novel Roman Sarkastik Cinta Lelaki dan Penghianatan (Studi Semiologi penggambaran kehidupan Homoseksual Tersembunyi Dalam Novel Roman Sarkastik Cinta Lelaki dan Penghianatan Karya Erza S.T), Surabaya, UPN “Veteran” Jawa Timur.

Natalia, Sansukma, 2008, Pemaknaan Ilustrasi Sampul Buku “Sex The Phone” Sensasi Fantasi Rahasia Karya Andre Syahreza (Studi Semiotik tentang Sampul Buku “Sex The Phone” Sensasi Fantasi Rahasia Karya Andre Syahreza), Surabaya, UPN “Veteran” Jawa Timur.

Wahyu, Arie, 2009, Representasi gay di Film Dostana, Surabaya, UPN “Veteran” Jawa Timur.


Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial (Studi Deskriptif : Psk Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan)

1 74 108

Hubungan Sosiodemografi, Pengetahuan, dan Sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan Upaya Pencegahan HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau

0 80 120

Pandangan Waria Penjaja Seks Komersial Tentang Kesehatan (Studi Administrasi Kesehatan di Pelabuhan Belawan Kota Medan Propinsi Sumatera Utara Tahun 2003)

0 31 85

Pengetahuan Dan Sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) Tentanginfeksi Menular Seksual (IMS) Di Desa Naga Kesiangan Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010

4 49 92

Hubungan Perilaku Pekerja Seks Komersial Dengan Kejadian Penyakit Sifilis Dan HIV Di Lokalisasi Perbatasan Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2008

1 58 92

Persepsi Pekerja Seks Komersial Terhadap Pemanfaatan Klinik IMS Dan VCT Di Klinik VCT Kantor Kesehatan Pelabuhan Belawan Kota Medan Tahun 2009

1 44 97

Pekerja Seks Komersial Di Sekitar Kawasan Wisata Bandungan

6 298 126

MEMAHAMI KEHIDUPAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DALAM LINGKUNGAN SOSIO-KULTURAL MEREKA :Kajian Tentang Wanita Pekerja Seks komersial Di Kotamadya Bandung.

2 3 36

NOVEL CHRYSAN KARYA HAPIE JOSEPH ALOYSIA: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra

0 4 111

REPRESENTASI PEKERJA SEKS KOMERSIAL YANG LESBIAN DALAM NOVEL “CHRYSAN” ( Studi Semiotik Kehidupan Pekerja Seks Komersial Yang Lesbian dalam Novel “Chrysan” Karya Hapie Joseph Aloysia ) SKRIPSI

0 0 21