Dinamika Hubungan TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada faktor internal, yaitu pengaruh personal dan pengaruh perilakuan.

D. Dinamika Hubungan

Self Regulated Learning dengan Kenakalan Remaja Masa remaja adalah masa di mana seseorang lebih mementingkan kehidupan sosialnya di luar ikatan sosialnya dalam keluarga, berpikir tentang apa yang terjadi pada pikiran orang lain, emosi yang tinggi, serta mulai melihat lebih dekat diri mereka sendiri untuk mendefinisikan bahwa diri mereka berbeda. Mereka mudah menjadi tidak puas dengan diri mereka sendiri, mengkritik sifat-sifat pribadi mereka, membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan mencoba mengubah seperti diri orang lain atau teman lain. Pada fase remaja, biasanya seorang anak akan mengalami suatu perubahan. Perubahan tersebut bukan hanya dari fisik namun juga dari psikologisnya. Pada masa transisi ini kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya kenakalan pada remaja. Menurut Santrock 2003 kenakalan remaja juvenile delinquency mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. Perilaku ketidakdisiplinan siswa di sekolah juga menjadi salah satu bentuk kenakalan pada remaja yang melawan status. Hal ini sejalan dengan penelitian Sutrisno 2009 yang mengatakan bahwa remaja kebanyakan berprilaku sebagai siswa yang tidak disiplin. Hal ini ditunjukan oleh perilaku remaja sehari-hari di sekolah, seperti membolos, datang terlambat, melalaikan tugas, catatan tidak lengkap, tidak berseragam lengkap, malas mengikuti pelajaran, acuh tak acuh pada jam pelajaran, merokok, tidak sopan, mempengaruhi teman untuk melanggar disiplin, nongkrong di kantin. Ketika remaja tidak disiplin, maka ia membutuhkan strategi belajar. Salah satu strategi belajar yang diperlukan oleh remaja adalah self regulated learning SRL. Self regulated learning dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana pelajar melakukan strategi dengan meregulasi kognisi, metakognisi, dan motivasi. Straregi kognisi meliputi usaha mengingat kembali dan melatih materi terus-menerus, elaborasi, dan strategi mengorganisir materi. Strategi metakognisi meliputi merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi. Strategi motivasional meliputi nilai belajar sebagai kebutuhan diri atau sisi intrinsik, melakukan penghargaan terhadap diri sendiri, dan tetap bertahan ketika menghadapi kesulitan Chin, 2004 dalam Kristiyani, 2016. Schunk dan Zimmerman 1998 mengatakan bahwa self regulated learning yang terdiri dari tiga aspek, yaitu metakognitif, motivasi, dan perilaku. Pada aspek metakognitif, Matlin 1998 mengatakan bahwa metakognitif adalah pemahaman dan kesadaran tentang proses kognitif atau pikiran tentang berpikir. Metakognitif merupakan suatu proses penting. Hal ini disebabkan pengentahuan seseorang tentang kognisinya dapat membimbing dirinya mengatur atau menata peristiwa yang akan dihadapi dan memilih strategi yang sesuai agar dapat meningkatkan kinerja kognitifnya ke depan. Sehubungan dengan itu, Zimmerman 1998 menyatakan bahwa hal yang penting bagi individu yang melakukan regulasi diri adalah kempampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasi atau mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar. Apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang tinggi akan maka ia mampu merencanakan kegiatan sehari-hari, mampu mengatur diri, serta dapat memonitor kegiatannya, dan melakukan evaluasi kegiatannya. Sebaliknya, apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang rendah maka ia akan kesulitan untuk membuat suatu perencanaan kegiatan sehari-hari, kesulitan mengatur diri, kesulitan mengontrol kegiatannya, dan kesulitan dalam mengevaluasi kegiatan. Pada aspek motivasi, Zimmerman 1998 mengatakan bahwa motivasi merupakan pendorong drive yang ada pada diri individu yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi yang dimiliki dalam aktivitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu. Apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang tinggi maka ia merasa percaya bahwa dirinya mampu mengorganisasikan dan memutuskan tindakan yang akan dilakukan dalam berbagai situasi. Selain itu, ia mempunyai tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai dengan melakukan usaha tertentu. Sebaliknya, apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang rendah maka ia akan merasa kurang percaya diri, ia tidak memiliki tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai. Pada aspek perilaku, Zimmerman dan Pons 1998 menyatakan bahwa perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar. Apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang tinggi maka ia mampu untuk melihat perilakunya sendiri dengan memberikan perhatian atas kualitas pada perilaku yang sedang dilakukannya. Selain itu, mereka juga mampu untuk mengevaluasi perilakunya sendiri dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Self regulated learning yang tinggi juga dapat dilihat dari bagaimana remaja mampu untuk merespon secara postitif atau negatif perilakunya yang bergantung pada standar personal dalam mengukur perilaku dengan memberikan reward atau punishment. Apabila serorang remaja memiliki self regulated learning yang rendah, maka ia merasa kurang mampu untuk melakukan evaluasi diri dengan memberikan perhatian atas apa yang mereka lakukan. Tambahan pula, remaja yang memiliki self regulated learning yang rendah akan kesulitan merespon secara positif maupun negatif perilakunya. Pada kenakalan remaja, self regulated learning memiliki pengaruh pada remaja untuk mengatur diri, mengevaluasi diri, mengorganisasikan dan memutuskan suatu tindakan, serta merespon secara positif maupun negatif perilaku yang dilakukannya. Hal ini menentukan pengambilan keputusan remaja untuk melakukan suatu tindakan. Remaja yang memiliki self regulated learning yang tinggi akan mampu menyadari perilakunya dan mampu mengatur dirinya sendiri, sehingga remaja dapat mengantisipasi terjadinya kenakalan. Sebaliknya, remaja dengan tidak memiliki self regulated learning yang baik cenderung kurang mampu menyadari perilakunya dan kurang mampu mengatur dirinya sendiri, sehingga remaja melakukan kenakalan.

E. Hipotesis