Studi Mengenai Penyelesaian Permasalahan Rute Terpendek Yang Dipandang Sebagai Model Transshipment(Persinggahan)

(1)

TRANSSHIPMENT (PERSINGGAHAN)

SKRIPSI

YUPITER SITANGGANG

050803047

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

TRANSSHIPMENT (PERSINGGAHAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains.

YUPITER SITANGGANG 050803047

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

PERSETUJUAN

Judul : STUDI MENGENAI PENYELESAIAN

PERMASALAHAN RUTE TERPENDEK YANG

DIPANDANG SEBAGAI MODEL

TRANSSHIPMENT (PERSINGGAHAN)

Kategori : SKRIPSI

Nama : YUPITER SITANGGANG

Nomor Induk Mahasiswa : 050803047

Program Studi : SARJANA (S1) MATEMATIKA

Departemen : MATEMATIKA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan, Februari 2010 Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Drs. Henry Rani Sitepu, M.Si Prof. DR. Herman Mawengkang NIP 195303031983031002 NIP 1946112819744031001

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Matematika FMIPA USU Ketua,

Dr. Saib Suwilo, M.Sc. NIP 1964010919880301004


(4)

PERNYATAAN

STUDI MENGENAI PENYELESAIAN PERMASALAHAN RUTE TERPENDEK YANG DIPANDANG SEBAGAI MODEL TRANSSHIPMENT (PERSINGGAHAN)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Februari 2010

YUPITER SITANGGANG 050803047


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, atas segala berkat dan karunia serta bimbingan-Nya, saya diberikan kemampuan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyampaikan terima kasih yang teramat tulus kepada orangtua tercinta M. Sitanggang dan N. Limbong serta kepada keluarga di Bandung dan sekitarnya atas segala perhatian, cinta dan dukungan moril maupun materil yang mereka berikan kepada penulis. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof.DR. Herman Mawengkang dan Bapak Drs. Henry Rani Sitepu, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. 2. Bapak Drs.Ramli Barus, M.Si dan Bapak Drs.H.Haluddin Panjaitan selaku

dosen penguji.

3. Bapak Dr.Saib Suwilo, M.Sc selaku Ketua Departemen Matematika dan Bapak Drs. Henry Rani Sitepu, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Matematika 4. Semua dosen di Departemen Matematika dan pegawai di FMIPA USU.

5. Untuk generasi terbaik yang pernah dimiliki Matematika FMIPA USU (anak 2005) khususnya kepada seseorang yang telah memberikan dukungan dan semangat tiap hari kepada saya walaupun dia tidak menyadarinya. Juga kepada anak-anak futsal supaya tetap rajin berolah raga. Dan kepada semua teman-teman yang tidak bisa disebut satu per satu.

6. Semua orang yang mencintai saya dan membenci saya yang telah menempa saya sehingga menjadi seperti ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini. Untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang membangun dari pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kata semua. Semoga semua bantuan saudara mendapat balasan yang lebih dari Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Februari 2010

Penulis,


(6)

ABSTRAK

Permasalahan rute terpendek dapat diselesaikan dengan model transshipment. Model transshipment merupakan perluasan dari model transportasi. Perbedaannya adalah, pada model transshipment semua simpul berpotensi menjadi tempat persinggahan barang atau titik transshipment,sedangkan pada model transportasi pengiriman barang langsung dari gudang yang kelebihan barang ke gudang yang membutuhkan barang. Penyelesaian model transshipment dimulai dengan mencari dahulu penyelesaian awal permasalahan yang diperoleh melalui metode NWCR (NorthWest Corner Rule),metode biaya terkecil, maupun metode VAM (Vogel Approximation Method). Setelah itu penyelesaian tersebut diuji dengan metode batu loncatan (Stepping Stone).

Penggunaan transshipment dalam penelitian ini adalah untuk menentukan rute terdekat antara kota Bandung dan kota Cirebon dalam jaringan antar kota di Jawa Barat. Hasil dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa jarak rute terdekat antara kota Bandung dan Cirebon adalah 152 Km yang dilalui melalui jalur

Cirebon Majalengka

Sumedang


(7)

ABSTRACT

Problems of short route can be finished with model of transshipment. Model of Transshipment represent extension of transportation model. Its difference is at model of transshipment all node have potency to become a halt place of goods or dot of transshipment, while at transportation model goods delivery is directly from warehouse that excess of goods to warehouse that requiring goods. Solution of model of transshipment started with searching ahead the solving of early obtained problems through NWCR (Northwest Corner Rule) method, least cost method, or VAM (Vogel Approximation Method). Afterwards the solution tested with Stepping Stone method.

Usage of transshipment model in this research is to determine closest route between Bandung city and Cirebon city in intercity network in West Java. Result of this research is that route distance between Bandung city and Cirebon city is 152 Km which passed by Bandung→Sumedang→Majalengka→Cirebon.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN ii

PERNYATAAN iii

PENGHARGAAN iv

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 1

1.3 Pembatasan Masalah 2

1.4 Tujuan Masalah 2

1.5 Manfaat Penelitian 2

1.6 Metodologi Penelitian 2

1.7 Tinjauan Pustaka 3

BAB 2 LANDASAN TEORI 4

2.1 Persoalan Transportasi 5

2.1.1 Model Matematis Metode Transportasi 6 2.1.2 Langkah-Langkah Penyelesaian Masalah Model

Transportasi 9

2.1.3 Perumusan Persoalan Transportasi Secara Umum 11 2.1.4 Model Transshipment (Persinggahan) 13

2.2 Terminologi Dasar Graph 15

2.2.1 Graph Ganda dan Graph Berbobot 17

2.2.2 Lintasan dan Rangkaian 18

2.2.3 Lintasan dan Sirkuit Euler 20

2.2.4 Lintasan dan Sirkuit Hamilton 21 2.2.5 Lintasan Terpendek di Dalam Graph Berbobot 21

2.3 Jaringan Transportasi 22

BAB 3 PEMBAHASAN 25

3.1 Metode VAM (Vogel Approximation Method) 27 3.2 Uji Optimalisasi Metode SteppingSone 31

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 43

4.1 Kesimpulan 43

4.2 Saran 43

DAFTAR PUSTAKA 44


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Persoalan Transportasi 8

Tabel 2.2 Perumusan Transportasi Secara Umum 12

Tabel 3.1 Metode VAM Awal 27

Tabel 3.2 Metode VAM Akhir 30

Tabel 3.3 NWCR (NorthWest Corner Rule) 31

Tabel 3.4 Evaluasi Pertama Metode SteppingStone 31

Tabel 3.5 SteppingStone Pertama 32

Tabel 3.6 Evaluasi Kedua Metode SteppingStone 33

Tabel 3.7 SteppingStone Kedua 34

Tabel 3.8 Evaluasi Ketiga Metode SteppingStone 34

Tabel 3.9 SteppingStone Ketiga 36

Tabel 3.10 Evaluasi Keempat Metode SteppingStone 36

Tabel 3.11 SteppingStone Keempat 37

Tabel 3.12 Evaluasi Kelima Metode SteppingStone 38

Tabel 3.13 SteppingStone Kelima 39

Tabel 3.14 Evaluasi Keenam Metode SteppingStone 39

Tabel 3.15 SteppingStone Keenam 41


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Representasi jaringan model transportasi 7

Gambar 2.2 Graph berarah 16

Gambar 2.3 Graph tak berarah 17

Gambar 2.4 Graph ganda berarah 18

Gambar 2.5 Lintasan dan rangkaian 19

Gambar 2.6 Graph Euler 20

Gambar 2.7 Graph Hamilton 21


(11)

ABSTRAK

Permasalahan rute terpendek dapat diselesaikan dengan model transshipment. Model transshipment merupakan perluasan dari model transportasi. Perbedaannya adalah, pada model transshipment semua simpul berpotensi menjadi tempat persinggahan barang atau titik transshipment,sedangkan pada model transportasi pengiriman barang langsung dari gudang yang kelebihan barang ke gudang yang membutuhkan barang. Penyelesaian model transshipment dimulai dengan mencari dahulu penyelesaian awal permasalahan yang diperoleh melalui metode NWCR (NorthWest Corner Rule),metode biaya terkecil, maupun metode VAM (Vogel Approximation Method). Setelah itu penyelesaian tersebut diuji dengan metode batu loncatan (Stepping Stone).

Penggunaan transshipment dalam penelitian ini adalah untuk menentukan rute terdekat antara kota Bandung dan kota Cirebon dalam jaringan antar kota di Jawa Barat. Hasil dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa jarak rute terdekat antara kota Bandung dan Cirebon adalah 152 Km yang dilalui melalui jalur

Cirebon Majalengka

Sumedang


(12)

ABSTRACT

Problems of short route can be finished with model of transshipment. Model of Transshipment represent extension of transportation model. Its difference is at model of transshipment all node have potency to become a halt place of goods or dot of transshipment, while at transportation model goods delivery is directly from warehouse that excess of goods to warehouse that requiring goods. Solution of model of transshipment started with searching ahead the solving of early obtained problems through NWCR (Northwest Corner Rule) method, least cost method, or VAM (Vogel Approximation Method). Afterwards the solution tested with Stepping Stone method.

Usage of transshipment model in this research is to determine closest route between Bandung city and Cirebon city in intercity network in West Java. Result of this research is that route distance between Bandung city and Cirebon city is 152 Km which passed by Bandung→Sumedang→Majalengka→Cirebon.


(13)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan, sering dilakukan perjalanan dari satu tempat atau kota ke tempat yang lain dengan mempertimbangkan efisiensi, waktu dan biaya sehingga diperlukan ketepatan dalam menentukan jalur terpendek antar suatu kota ditambah dengan faktor kemacetan lalu lintas yang terjadi terutama di pulau Jawa khususnya pada tulisan ini yaitu jalur Bandung-Cirebon sehingga ketepatan menentukan jalur terpendek mutlak harus diperlukan. Hasil penentuan jalur terpendek akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menunjukkan jalur yang akan ditempuh.

Secara umum pencarian jalur terpendek dapat dibagi menjadi 2 metode, yaitu metode konvensional dan heuristik. Pencarian rute terpendek juga dapat dirumuskan sebagai model transshipment yang termasuk dalam metode konvensional. Model transshipment merupakan suatu bentuk umum dari model transportasi dimana terdapat sumber-sumber asli, tujuan yang asli, dan titik-titik transshipment. Titik-titik transshipment tersebut bisa terdapat pada pusat sumber maupun pusat tujuan. Tidak seperti algoritma-algoritma pencarian rute terpendek yang lain, yang secara otomatis menghitung jarak terdekat antara node satu dan semua node lainnya, model transshipment hanya menghitung jarak terdekat diantara dua node.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana menerapkan model transshipment untuk menyelesaikan permasalahan rute terpendek.


(14)

1.3 Pembatasan Masalah

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan rute terpendek. Dengan tetap mempertahankan maksud dan tujuan tulisan ini, pada tulisan ini penulis membatasi hanya membahas penyelesaian permasalahan rute terpendek yang dipandang sebagai model transshipment.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari solusi optimum dari permasalahan rute terpendek yang dipandang sebagai model transshipment.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Hasil dari penelitian dapat menjadi bahan masukan bagi para pengambil keputusan untuk dapat memilih rute terpendek.

2. Penelitian ini juga bermanfaat dalam pengembangan ilmu, khususnya dalam bidang ekonomi, keuangan, dan transportasi.

1.6 Metodologi Penelitian

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian literatur . Prosedur yang dilakukan adalah:

1. Pengumpulan Data.

2. Memformulasikan masalah rute terpendek menjadi model transshipment . 3. Mengolah data dengan menggunakan model transshipment.


(15)

4. Penarikan Kesimpulan

1.7 Tinjauan Pustaka

Taha (1996) menyatakan bahwa masalah rute terdekat berkaitan dengan penentuan busur-busur yang dihubungkan dalam sebuah jaringan transportasi yang secara bersama-sama membentuk jarak terdekat di antara sumber dan tujuan.

Hillier (2005) menguraikan algoritma penyelesaian permasalahan rute terpendek secara umum.

Mulyono (2004) menyatakan bahwa suatu perluasan dari rumusan transportasi adalah masalah persinggahan, di mana setiap sumber dan tujuan dapat juga menjadi titik perantara pengiriman dari sumber-sumber atau tujuan-tujuan lain. Masalah persinggahan dapat diselesaikan dengan beberapa penyesuaian kecil terhadap metode solusi masalah transportasi.

Nasendi (1985) menyatakan ada beberapa cara untuk merumuskan masalah transshipment secara matematis. Andaikan,

ij

X = jumlah yang diangkut dari titik i ke titik j ; ij; i,j= 1, 2, ..., n. ij

C = biaya angkutan dari titik i ke titik j; Cij ≥0. i

r = kebutuhan bersih (sisa) di titik i.

Setiap titik atau lokasi yang ada harus dapat memenuhi suatu rumusan keseimbangan yaitu antara arus barang yang keluar (diangkut) dikurangi arus barang yang masuk (diterima) harus sama dengan kebutuhan bersih. Secara simbolik, rumusan model umum transshipmentadalah sebagai berikut :

Minimumkan :

= = = n j ij ij n i X C Z 1 1

dimana ij

Dengan kendala : i

n i j ji n j i

ij X r

X

=

≠= ≠ = 1 1 1 1


(16)

LANDASAN TEORI

Sebagian besar dari persoalan manajemen berkenaan dengan penggunaan sumber secara efisien atau alokasi sumber-sumber yang terbatas (tenaga kerja terampil, bahan mentah, modal) untuk mencapai tujuan yang diinginkan (desired objective) seperti penerimaan hasil penjualan yang harus maksimum, penerimaan devisa hasil ekspor nonmigas harus maksimum; jumlah biaya transport harus minimum; lamanya waktu antrian untuk menerima pelayanan sependek mungkin; kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.

Dalam keadaan sumber yang terbatas harus dicapai suatu hasil yang optimum. Dengan perkataan lain bagaimana caranya agar dengan masukan (input) yang serba terbatas dapat dicapai hasil kerja yaitu keluaran (output) berupa produksi barang atau jasa yang optimum. Linear programming akan memberikan banyak sekali hasil pemecahan persoalan, sebagai alternatif pengambilan tindakan, akan tetapi hanya ada satu yang optimum (maksimum atau minimum). Ingat bahwa mengambil keputusan berarti memilih alternatif, yang jelas harus alternatif yang terbaik (the best alternative).

Jika diperhatikan keadaan dalam praktek di mana pimpinan perusahaan bermaksud atau bertujuan untuk mencapai hasil penjualan sebesar mungkin (maximum revenue), logikanya adalah pimpinan perusahaan tersebut memutuskan untuk memproduksi sebanyak-banyaknya, maka kalau semua barang tersebut laku dijual, tentu akan diperoleh jumlah hasil penjualan sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, keadaan belum tentu seperti itu, pimpinan perusahaan tersebut sebagai pembuat keputusan (decision maker), ternyata akan menghadapi pembatasan-pembatasan (limitation or constraints), misalnya jumlah permintaan masyarakat tidak sebanyak yang diproduksi, sehingga barang susah dijual. Pembatasan bukan berhenti disitu saja sebab mungkin dia menghadapi pembatasan seperti persediaan bahan mentah ternyata hanya tersedia terbatas, tenaga terampil yang aktif dan kreatif


(17)

terbatas, machine hours untuk memproses produksi terbatas, modal terbatas, ruangan (storage) untuk menyimpan barang hasil produksi terbatas dan permintaan masyarakat ternyata juga terbatas (limited demand).

Persoalan yang timbul kemudian adalah bagaimana dapat mencapai hasil (output) yang optimum dengan memperhatikan input (men, money, material, time) yang tersedianya memang terbatas. Jadi mencari suatu pemecahan yang optimum dengan memperhatikan pembatasan-pembatasan input. Inilah yang menjadi sasaran linear programming. Pimpinan perusahaan atau pengambil keputusan dalam menghadapi product-mix harus mencari pemecahan agar diperoleh maximum revenue atau maximum profit atau sebaliknya minimum cost of production.

2.1 Persoalan Transportasi

Persoalan transportasi merupakan persoalan linear programming. Bahkan aplikasi dari teknik linear programming pertama kali ialah dalam merumuskan persoalan transportasi dan memecahkannya. Persoalan tranportasi yang dasar pada mulanya dikembangkan oleh F.L Hitchcock pada tahun 1941 dalam studinya yang berjudul: The distribution of a product from several sources to numerous locations. Ini merupakan ciri dari persoalan transportasi yaitu mengangkut sejenis produk tertentu katakan beras, minyak, daging, telur, tekstil, pupuk dan jenis produk lainnya dari beberapa daerah asal (pusat produksi, depot minyak, gudang barang) ke beberapa daerah tujuan (pasar, tempat proyek, pemukiman, daerah trasmigrasi), pengaturan harus dilakukan sedemikian rupa agar jumlah biaya transportasi minimum.

Pada tahun 1947, T.C Koopmans secara terpisah menerbitkan suatu hasil studi mengenai : Optimum utilization of the transportation system. Selanjutnya, perumusan persoalan linear programming, dan cara pemecahan yang sistematis dikembangkan oleh Prof. George Danzig yang sering disebut Bapak linear programming. Prosedur pemecahan yang sistematis tersebut disebut metode simpleks.


(18)

Ciri-ciri khusus metode transportasi :

1. Terdapat sejumlah sumber dan sejumlah tujuan tertentu.

2. Jumlah yang didistribusikan dari setiap sumber dan yang diminta oleh setiap tujuan adalah tertentu .

3. Jumlah yang dikirim atau diangkut dari suatu sumber ke suatu tujuan sesuai dengan permintaan atau kapasitas sumber. Jumlah permintaan dan penawaran seimbang dan apabila jumlah permintaan tidak sama dengan penawaran, maka harus ditambahkan variabel dummy.

4. Biaya transportasi dari suatu sumber ke suatu tujuan adalah tertentu.

5. Jumlah variabel dasar m + n - 1, dimana m adalah jumlah baris dan n adalah jumlah kolom. Apabila jumlah variabel dasar kurang dari m + n – 1 yang disebut dengan degenerasi, maka harus ditambahkan variabel dasar dengan nilai nol.

2.1.1 Model Matematis Metode Transportasi

Dalam menggambarkan masalah transportasi, perlu digunakan istilah istilah yang tidak khusus karena masalah transportasi adalah masalah yang umum, yaitu pendistribusian berbagai komoditi dari berbagai kelompok pusat penerima yang disebut tujuan, sedemikian rupa sehingga meminimalisasi biaya distribusi total.

Secara umum, sumber i (i = 1, 2, ..., m) mempunyai supply si unit yang akan didistribusikan ke tujuan-tujuan dan tujuan (j = 1, 2, ...,n) mempunyai permintaan di unit yang dikirim dari sumber-sumber. Asumsi dasar metode transportasi ini adalah biaya mendistribusikan unit-unit dari sumber i ke tujuan j berbanding langsung dengan jumlah yang akan didistribusikan, dimana cij menyatakan biaya per unit yang didistribusikan.

Apabila Z merupakan biaya distribusi total dan xij ( i = 1, 2, ..., m ; j = 1, 2, ..., n) adalah jumlah unit yang harus didistribusikan dari sumber i ke tujuan j, maka formulasi pemrograman linier masalah transportasi. Dari penjelasan di atas, maka rumus metode transportasi dapat diformulasikan sebagai berikut :


(19)

Meminimumkan :

∑∑

= = = m i n j ij ijx c Z 1 1

Batasan :

0 , 2 , 1 ; , 2 , 1 ; ≥ = = = =

ij j ij i ij X n j b X m i a X

Untuk memudahkan pemahaman model transportasi, berikut ini diberikan ilustrasinya pada gambar di bawah ini. Gambar di bawah menjelaskan bahwa terdapat tiga sumber dalam sebuah perusahaan, yaitu m1, m2, dan m3. Dari ketiga sumber tersebut dapat dikirimkan ke tujuan n1, n2, dan n3. Untuk mengetahui seberapa besar masing-masing sumber didistribusikan ke masing-masing tujuan, maka digunakan model transportasi. Dengan menggunakan model transportasi, akan dihasilkan pendistribusian yang akan meminimalisasikan biaya transportasi.


(20)

Ilustrasi model transportasi gambar diterjemahkan ke dalam tabel model transportasi dengan mebedakan antara sumber dengan tujuan. Sumber diletakkan pada baris, sedangkan tujuan diletakkan pada kolom. Jumlah penawaran dari masing-masing sumber diletakkan pada kolom paling akhir dan jumlah masing-masing-masing-masing permintaan diletakkan pada baris paling akhir.

Segi empat kecil yang berisi c11,c12, cmn merupakan biaya pendistribusian dari sumber ke tujuan, sedangkan segi empat besar merupakan jumlah yang akan didistribusikan dari setiap sumber ke setiap tujuan. Sebagai gambaran yang lebih konkret, berikut dituangkan model transportasi pada tabel, dengan menggunakan tabel akan memudahkan mencari penyelesaian dari setiap permasalahan transportasi.

Tabel 2.1 Persoalan Transportasi Tujuan

Biaya 1 2 j n

Supply

C11 C12 C11 C1n

1

X11 X1n

S1

C21 C22 C21 C2n

2

X21 X22 X21 X2n

S2 . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Ci1 Ci2 Cij Cin

i

Xi1 Xi2 Xij Xin

S1 . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Cm1 Cm2 Cm1 Cmn

S u m b e r m

Xm1 Xm2 Xm1 Xmn

Sm


(21)

2.1.2 Langkah-Langkah Penyelesaian Masalah Model Transportasi

Dalam menyelesaikan masalah transportasi, terdapat dua langkah yang harus dilakukan, yaitu :

1. Mencari penyelesaian layak pada variabel dasar. Untuk mencari penyelesaian yang layak dapat dipilih salah satu metode yang tersedia. Metode yang dapat digunakan adalah Northwest Corner ( sudut barat laut), Least Cost (biaya terkecil) dan Vogel Approximation ( VAM).

a. Metode Northwest Corner (NWCR)

1. Pendistribusian dimulai dari pojok kiri atas dan, diakhiri pada pojok kanan bawah.

2. Setiap pendistribusian dipilih nilai sebanyak mungkin tanpa menyimpang dari sumber/ tujuan.

3. Apabila variabel dasar sudah terisi semua, maka dihitung jumlah biaya yang akan dikeluarkan oleh perusahaan.

b. Metode Least Cost

1. Pendistribusian dimulai dari biaya terkecil dan, apabila terdapat biaya terkecil lebih dari satu, maka dipilih salah satu.

2. Setiap pendistribusian dipilih nilai sebanyak mungkin tanpa mengabaikan jumlah sumber/tujuan.

c. Vogel Approximation Method ( VAM )

1. Menghitung opportunity cost yang didasarkan pada dua biaya terkecil pada setiap baris dan kolom dan mengurangkan keduanya, hasil perhitungannya disebut dengan penalty cost. 2. Memilih nilai penalty cost terbesar di antara baris dan kolom. 3. Memilih biaya terkecil dari nilai penalty cost terbesar dan

mendistribusikan sejumlah nilai. Baris/ kolom penalti yang sudah terpilih diabaikan untuk langkah selanjutnya.


(22)

4. Menyesuaikan jumlah permintaan dan penawaran untuk menunjukkan alokasi yang sudah dilakukan. Menghilangkan semua baris dan kolom dimana penawaran dan permintaan telah dihabiskan.

5. Apabila jumlah penawaran dan permintaan belum sesuai, maka ulangi langkah pertama sampai terisi semua.

2. Menguji hasil penyelesaian. Dengan menggunakan salah satu metode yang tersedia akan didapatkan solusi awal yang layak, akan tetapi penyelesaian yang layak ini belum tentu menjadi penyelesaian yang optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian agar hasil penyelesaian model transportasi optimal yaitu menghasilkan biaya minimal. Pengujian optimalisasi menggunakan dua metode yaitu :

a. Metode Stepping Stone

1. Memilih satu water square (segi empat yang masih kosong/variabel non basis) dan 3 atau lebih variabel basis (segi empat yang terisi).

2. Mengisi water square (entering variable) dengan memperhatikan variabel basis dan menyesuaikan dengan jumlah penawaran dan permintaan.

3. Memberikan tanda + (positif) pada water square yang akan diisi dan variabel basis yang nilainya bertambah.

4. Memberikan tanda – (negatif) pada variabel basis yang nilainya dipindahkan pada water square.

5. Menguji hasil stepping stone dengan mencari nilai perubahan biaya yang masih negatif.

6. Mengulangi langkah di atas dengan memilih nilai terkecil.

b. Metode MODI

Metode MODI merupakan variasi dari model stepping stone yang didasarkan pada rumusan dual. Perbedaannya dengan metode stepping stone adalah pada metode ini tidak harus menentukan semua jalur


(23)

tertutup variabel non basis, kecuali pada saat akan melakukan perpindahan pengisian tabel. Dengan demikian MODI merupakan cara yang efisien untuk menghitung variabel non basis. Dalam metode MODI terdapat persamaan sebagai berikut :

Di mana : mi = Nilai setiap sel baris

nj = Nilai setiap kolom

Cij = Biaya transportasi per unit

Adapun langkah-langkah dalam metode MODI adalah :

1) Mentukan nilai mi untuk setiap baris dan nilai-nilai nj untuk setiap kolom dengan menggunakan hubungan Cij = mi + nj untuk semua variabel basis dan menentukan nilai mi = 0.

2) Menghitung perubahan biaya Cij untuk setiap variabel non basis dengan menggunakan rumus Cij - mi - nj.

3) Apabila hasil perhitungan terdapat nilai Cij negatif, maka solusi belum optimal. Oleh karena itu, dipilih Xij dengan nilai Cij negatif terbesar sebagai entering variabel.

4) Mengalokasikan sejumlah nilai ke entering variabel Xij sesuai dengan proses stepping stone dan mengulangi langkah pertama.

2.1.3 Perumusan Persoalan Transportasi Secara Umum

Misalkan suatu jenis barang diangkut dari beberapa daerah asal ke beberapa daerah tujuan . Misalnya ada m daerah asal: A1,A2,...,Ai,...,Amdan n daerah tujuan :T1,T2,...,Tj,...,Tn. Di daerah asal Ai, tersedia barang yang akan diangkut (supply)


(24)

sebanyak Si dan di tempat tujuan barang tersebut diminta sebanyak dj(demand).

ij

x = jumlah barang yang diangkut (dalam satuan) dari Ai ke Tj

ij

c = besarnya biaya untuk 1 unit barang tersebut dari Ai ke Tj

Dengan demikian untuk mengangkut xij diperlukan biaya cijxi. Jumlah permintaan (total demand) = jumlah penawaran (total supply).

Perhatikan tabel berikut yang menggambarkan permintaan dari setiap tempat tujuan dan penawaran/persediaan dari setiap tempat asal, juga besarnya biaya

ij

c dengan tanda kurung buka.

Tabel 2.2 Perumusan Transportasi Secara Umum

T

A

1

T T2 . . . Tj . . . Tn S

1 A 11 11) x c 12 12) x c j j x c 1 1 ) n n x c 1

1 ) S1

2 A 21 21) x c 22 22) x c j j x c 2 2 ) n n x c 2

2 ) S2

i A 1 1) i i x c 2 2) i i x c ij ij x c ) in in x

c ) Si

m A 1 1) m m x c 2 2) m m x c mj mj x c ) mn mn x

c ) Sm


(25)

Perumusan persoalan linear programming menjadi :

Minimum :

∑∑

= = = m i n j ij ijx c Z 1 1

Dengan kendala :

∑∑

∑ ∑

= = = = = = = = ≥ = → = ≥ ≤ n j ij j m i i n j m i ij m i n j ij m i j ij n j i ij x d S x x d x S x 1 1 1 1 1 1 1 1 0 , 2.1.4 Model Transshipment (Persinggahan)

Model transportasi standar mengasumsikan bahwa rute langsung antara sebuah sumber dan sebuah tujuan adalah rute berbiaya minimum. Ini berarti bahwa perhitungan persiapan yang melibatkan penentuan rute terdekat harus dilakukan sebelum biaya unit dari model transportasi standar dapat ditentukan. Perhitungan ini dapat dilakukan dengan menerapkan algoritma rute terdekat terhadap pasangan node yang diinginkan.

Satu prosedur alternatif dari penggunaan model transportasi biasa (dengan algoritma rute terdekat yang dimasukkan ke dalamnya) adalah model

transshipment. Model yang baru ini memiliki ciri tambahan yang mengijinkan

unit-unit yang dikirimkan dari semua sumber untuk melewati node-node antara atau sementara sebelum pada akhirnya mencapai tujuan mereka. Dengan kata lain model transshipment digunakan pada saat terdapat suatu node-node antara yang diijinkan menjadi tempat persinggahan unit dari sumber sebelum pada akhirnya mencapai tujuan. Akibatnya, algoritma baru ini menggabungkan baik algoritma transportasi biasa dengan algoritma rute terdekat menjadi satu prosedur.

Model transshipment merupakan perluasan dari model transportasi. Perbedaannya adalah, pada model transshipment semua simpul berpotensi


(26)

menjadi tempat persinggahan barang atau titik transshipment,sedang pada model transportasi pengiriman barang langsung dari gudang yang kelebihan barang ke gudang yang membutuhkan barang. Dalam model transshipment

diasumsikan bahwa:

1. Barang yang dikirim adalah homogen,

2. Biaya penyimpanan tidak diperhitungkan,

3. Alat pengangkutan telah ditentukan untuk pengiriman barang dari suatu gudang ke gudang lain,

4. Biaya pengiriman barang dari suatu gudang ke gudang dihitung untuk tiap unit barang yang dipindahkan,

5. Biaya persinggahan pada titik transshipment dihitung untuk tiap unit barang yang dipindahkan.

Langkah-langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah transshipment adalah sebagai berikut :

1. Membuat model transshipment,

2. Mengubah model transshipment menjadi model transportasi,

3. Mencari solusi fisibel basis,

4. Mencari solusi optimal.

Berdasarkan Nasendi (1985),masalah transshipment (persinggahan) merupakan suatu bentuk umum dari model transportasi, sedangkan model transportasi adalah bentuk khususnya di mana terdapat pusat-pusat asal atau sumber-sumber asli, pusat-pusat tujuan yang asli, dan titik-titik

transshipmentnya. Titik-titik transshipment tersebut bisa terdapat pada pusat

asal maupun pusat tujuan. Dalam model ini setiap pusat dapat mengirim dan menerima arus barang angkutan. Hal ini berarti terdapat keleluasaan dalam penetapan rute arus barang dari titik i ke titik j, selain rutenya yang langsung.

Ada beberapa cara untuk merumuskan masalah transshipment secara matematis. Pendekatan yang disajikan ini termasuk relatif lebih singkat dan


(27)

tegas. Andaikan : Xij = jumlah yang diangkut dari titik i ke titik j ;

n j

i j

i≠ ; , =1,2, , .

ij

C = biaya angkutan dari titik i ke titik j ; Cij ≥0.

i

r = kebutuhan bersih (sisa) di titik i.

Setiap titik atau lokasi yang ada harus dapat memenuhi suatu rumusan keseimbangan yaitu antara arus barang yang keluar (diangkut) dikurangi arus barang yang masuk(diterima) harus sama dengan kebutuhan bersih. Secara simbolik, rumusan model umum transshipment adalah sebagai berikut :

Minimumkan : Z C X i j

n i n j ij ij ≠ =

∑∑

= = dimana , 1 1

Dengan kendala :

j i n j i X n i r X X ij i n i j ji n j i ij ≠ = ≥ = = −

≠= ≠ = ; , , 2 , 1 , ; 0 dan , , 2 , 1 untuk 1 1 1 1

Apabila kita inginkan agar jumlah permintaan sama dengan jumlah suplai (artinya

iri =0) maka model transshipmentnya menjadi :

Minimumkan : Z C X i j

n i n j ij ij ≠ =

∑∑

= = dimana , 1 1

Dengan kendala :

j i n j i X n i X X ij n i j ji n j i ij ≠ = ≥ = = −

≠= ≠ = ; , , 2 , 1 , ; 0 dan , , 2 , 1 untuk 0 1 1 1 1


(28)

2.2 Terminologi Dasar Graph

Graph berarah (directed graph) didefinisikan secara abstrak sebagai suatu pasangan terurut (V,E), dengan V suatu himpunan dan E suatu relasi biner pada V. Graph berarah dapat digambarkan secara geometris sebagai suatu himpunan titik-titik V dengan suatu himpunan tanda panah E antara pasangan titik-titik. Sebagai misal Gambar di bawah ini menunjukkan sebuah graph berarah. Unsur-unsur di dalam V dinamakan verteks (vertex), sedangkan psangan terurut di dalam E dinamakan rusuk (edge) graph berarah tersebut. Sebuah rusuk dikatakan berinsidensi (incident) dengan kedua verteks yang dihubungkannya.

Gambar 2.2 Graph Berarah

Sebagai misal, rusuk (a,b) berinsidensi dengan verteks a dan verteks b. Kadang-kadang, bila diinginkan lebih rinci lagi, dapat dikatakan bahwa rusuk (a,b) berinsidensi dari a dan berinsidensi ke b. Untuk rusuk (a,b), verteks a dinamakan verteks awal (initial vertex). Suatu rusuk yang berinsidensi dari dan ke verteks yang sama, misalnya (c,c) di dalam Gambar, dinamakan lup (loop).


(29)

Dua verteks dikatakan berdekatan (adjacent) jika keduanya dihubungkan oleh sebuah rusuk. Selain itu, untuk rusuk (a,b), verteks a dikatakan berdekatan ke

(adjacent to) verteks b, sedangkan verteks b dikatakan berdekatan dari (adjacent

form) verteks a. Sebuah verteks dinamakan verteks terasing atau terisolasi

(isolated vertex) jika tidak ada rusuk yang beinsidensi dengannya.

Graph tak berarah (undirected graph) G didefinisikan secara abstrak sebagai suatu pasangan terurut (V, E), dengan V suatu himpunan dan E suatu himpunan yang unsur-unsurnya berupa multi himpunan dengan dua unsur dari V. Sebagai misal, G = ({a, b, c, d}, {{a, b}, {a, d}, {b, c}, {b, d}, {c, c}}) adalah sebuah graph tak berarah. Graph tak berarah G diatas digambarkan secara geometrik dalam Gambar. Sebagai ilustrasi lain, misalkan V = {a, b, c, d, e} sebuah himpunan program komputer. Gambar menunjukkan sebuah graph tak berarah dengan dua verteks dihubungkan oleh sebuah rusuk jika kedua program yang direpresentasikan oleh kedua verteks itu bisa menerima data yang sama.

Gambar 2.3 Graph Tak Berarah

2.2.1 Graph Ganda dan Graph Berbobot

Definisi graph dapat diperluas dalam beberapa cara. Misalkan G = (V, E), dengan V suatu himpunan dan E suatu himpunan ganda yang unsur-unsurnya


(30)

berupa pasangan terurut dari V x V. Graph G ini dinamakan graph ganda berarah (directed multigraph). Secara geometris, graph ganda berarah dapat dinyatakan sebagai suatu himpunan titik-titik V dengan suatu himpunan tanda panah E antara titik-titik tanpa ada kendala mengenai banyaknya tanda panah dari satu titik ke titik lainnya. Sebagai misal, Gambar di bawah menunjukkan sebuah graph ganda. Selanjutnya perhatikan representasi grafis sebuah peta jalan raya dengan rusuk antara dua kota menyatakan sebuah jalur pada jalan raya antara kedua kota. Karena jalan raya antara dua kota sering mempunyai banyak lajur, representasi ini akan menghasilkan sebuah graph ganda. Gagasan graph ganda tak berarah (undirected multigraph) dapat didefinisikan dengan cara serupa.

Gambar 2.4 Graph Ganda Berarah

Ketika memodelkan suatu masalah fisik sebagai suatu graph abstrak, seringkali ditambahkan informasi lain kepada verteks-verteks dan/atau rusuk-rusuk graph tersebut. Sebagai misal, di dalam graph yang menggambarkan jaringan jalan raya antara kota-kota, ditambahkan sebuah bilangan pada setiap rusuk untuk menunjukkan jarak antara kedua kota yang dihubungkan oleh rusuk tersebut. Secara umum, graph berbobot (weighted graph) didefinisikan sebagai sebuah pasangan terurut ganda empat (V, E, f, g), atau sebuah pasangan terurut ganda tiga (V, E, g); dalam hal ini V himpunan semua verteksnya, E


(31)

himpunan semua rusuknya, f sebuah fungsi dengan daerah asal (domain) V, dan

g sebuah fungsi dengan daerah asal E. Fungsi f memberi pembobot (weights) pada verteks, sedangkan fungsi g memberi pembobot pada rusuk. Pembobot itu bisa berupa bilangan, lambang, atau besaran apa pun yang ingin kita berikan kepada verteks dan rusuk.

2.2.2 Lintasan dan Rangkaian

Di dalam graph berarah, lintasan ialah suatu barisan rusuk

) , , , (

2

1 i ik

i e e

e sedemikian rupa sehingga verteks terminal

j i

e berimpit dengan

verteks awal

) 1 (j+ i

e untuk 1≤ jk−1. Suatu lintasan dikatakan sederhana (simple)

jika ia tidak mencakup rusuk yang sama dua kali. Suatu lintasan dikatakan elementer (elementary) jika ia tidak bertemu verteks yang sama dua kali.

Dalam Gambar di bawah ini, (e1, e2, e3, e4) adalah sebuah lintasan ; (e1, e2,

e3, e5, e8, e3, e4) adalah sebuah lintasan,namun bukan yang sederhana ; (e1, e2, e3,

e5, e9, e10, e11, e4) adalah sebuah lintasan sederhana, namun bukan yang

elementer.


(32)

Rangkaian (circuit) ialah suatu lintasan ( , , , ) 2

1 i ik

i e e

e yang verteks

terminalnya,

k i

e . Suatu rangkaian dikatakan sederhana (simple) jika ia tidak mencakup rusuk yang sama dua kali. Suatu rangkaian dikatakan elementer

(elementary) jika ia tidak bertemu verteks yang sama dua kali. Di dalam

Gambar, (e1, e2, e3, e5, e9, e10, e12, e6, e7) adalah sebuah rangkaian sederhana, namun bukan elementer, sedangkan (e1, e2, e3, e5, e6, e7) adalah sebuah

rangkaian elementer.

Suatu lintasan atau suatu rangkaian dapat direpresentasikan juga dengan barisan verteks-verteks yang ditemuinya. Sebagai misal, lintasan (e1, e2,

e3, e4) di dalam Gambar, dapat juga direpresentasikan sebagai (v1, v2, v3, v4, v7),

sedangkan rangkaian (e5, e9, e10, e11) dapat direpresentasikan sebagai (v4, v5, v8,

v6, v4).

Suatu graph tak berarah dikatakan terhubungkan (connected) jika ada suatu lintasan antara setiap dua verteks, dan jika tidak demikian dikatakan tidak terhubungkan (disconnected). Suatu graph berarah dikatakan terhubungkan jika graph tak berarah yang diperoleh dengan mengabaikan arah-arah rusuk-rusuknya ternyata terhubungkan, dan jika tidak demikian dikatakan tidak terhubungkan. Dengan demikian, suatu graph tidak terhubungkan terdiri dari dua atau lebih komponen yang masing-masingnya berupa sebuah graph terhubungkan. Suatu graph berarah dikatakan terhubungkan erat (strongly connected) jika untuk setiap dua verteks a dan b di dalam graph itu, ada lintasan dari a ke b maupun dari b ke a.

2.2.3 Lintasan dan Sirkuit Euler

Misalkan G adalah suatu graph. Lintasan Euler G adalah lintasan yang melalui masing-masing sisi di dalam graph G tepat satu kali..


(33)

Sirkuit Euler ialah sirkuit yang melewati masing-masing sisi tepat satu kali dan graph yang mempunyai sirkuit Euler disebut graph Euler (Eulerian

graph). Graph yang mempunyai lintasan Euler dinamakan juga graph

semi-Euler (semi-Eulerian graph). Gambar di bawah ini merepresentasikan sebuah graph Euler dengan lintasan eulernya : 1, 2, 4, 6, 2, 3, 6, 5, 1, 3

Gambar 2.6 Graph Euler

2.2.4 Lintasan dan Sirkuit Hamilton

Suatu graph terhubung G disebut lintasan Hamilton bila ada lintasan yang melalui tiap simpul di dalam graph G tepat satu kali. Sirkuit Hamilton ialah sirkuit yang melalui tiap simpul di dalam graph tepat satu kali, kecuali simpul asal (sekaligus simpul akhir) yang dilalui dua kali. Graph yang memiliki sirkuit Hamilton dinamakan graph Hamilton, sedangkan graph yang hanya memiliki lintasan Hamilton disebut graph semi-Hamilton.

Dalam sirkuit Euler, semua garis harus dilalui tepat satu kali, sedangkan semua titiknya boleh dikunjungi lebih dari satu kali. Sebaliknya, dalam sirkuit Hamilton semua titik harus dikunjungi tepat satu kali dan tidak harus melalui semua garisnya. Dalam sirkuit Euler, yang dipentingkan adalah garisnya. Sebaliknya dalam sirkuit Hamilton, yang dipentingkan adalah kunjungan pada titiknya. Gambar di bawah ini merepresentasikan sebuah contoh graph Hamilton dengan lintasannya adalah : 1, 2, 3, 4, 1.


(34)

Gambar 2.7 Graph Hamilton

2.2.5 Lintasan Terpendek Di Dalam Graph Berbobot

Misalkan G = (V, E, w) sebuah graph berbobot ; dalam hal ini w suatu fungsi dari E ke himpunan bilangan nyata positif. Misalkan V sebuah himpunan kota-kota dan E himpunan jalan-jalan raya yang menghubungkan kota-kota tersebut. Pembobot rusuk {i, j}, dilambangkan w(i, j), biasanya dinamakan panjang rusuk {i, j}, yang dalam hal ini dapat ditafsirkan sebagai jarak antara kota i dan kota j. Panjang suatu lintasan di dalam graph G didefinisikan sebagai jumlah panjang rusuk-rusuk di dalam lintasan itu.

Misalkan diinginkan suatu lintasan terpendek dari verteks a ke verteks z

di dalam graph G. Mula-mula ditentukan lintasan terpendek dari a ke suatu verteks lain, lalu ditentukan lagi lintasan terpendek dari a ke suatu verteks lain lagi, dan demikian seterusnya. Pada akhirnya, prosedur demikian ini akan berakhir bila lintasan terpendek dari a ke z diperoleh.

Masalah lintasan terpendek adalah masalah yang menyangkut node, panjang jalur, arah lintasan. Dalam lintasan ini perlu diperhatikan khusus yaitu node supply (node awal) dan node demand ( node akhir). Untuk menyelesaikan masalah lintasan terpendek, terdapat suatu algoritma yang bisa dipakai yaitu :

1. Tujuan pada iterasi ke-n ; Tentukan node terdekat dari titik awal (node awal)


(35)

2. Input pada iterasi ke-n ; node terdekat ke n-1 ke node awal, termasuk di dalamnya lintasan terpendek dan jarak dari node awal. (node-node ini ditambah dengan node awal disebut node terselesaikan, yang lain node belum terselesaikan).

3. Kandidat untuk node terdekat ke-n ; setiap node terselesaikan yang langsung berhubungan dengan satu atau lebih node belum terselesaikan sebagai kandidat node belum terselesaikan yang mempunyai hubungan terpendek.

4. Perhitungan node terdekat ke-n ; untuk setiap node terselesaikan dan node kandidat, ditambah dengan jarak diantaranya. Kandidat yang mempunyai total jarak terpendek ke-n.

2.3 Jaringan Transportasi

Suatu graph berbobot dinamakan jaringan transportasi (transport network) jika sejumlah syarat berikut dipenuhi :

1. Ia terhubungkan dan tidak mempunyai lup.

2. Ada satu dan hanya satu verteks di dalam graph itu yang tidak mempunyai rusuk masuk.

3. Ada satu dan hanya satu verteks di dalam graph itu yang tidak mempunyai rusuk keluar.

4. Pembobot setiap rusuk berupa sebuah bilangan nyata tidak negatif.

Di dalam suatu jaringan transportasi, verteks yang tidak mempunyai rusuk masuk dinamakan sumber (source) dan dilambangkan dengan a ; verteks yang tidak mempunyai rusuk keluar dinamakan pembuangan (sink) dan dilambangkan dengan z. Pembobot suatu rusuk dinamakan kapasitas (capacity) rusuk tersebut. Kapasitas rusuk (i, j) dilambangkan dengan w(i, j)

Suatu jaringan transportasi merepresentasikan suatu model umum bagi transportasi benda/barang dari tempat asal pasokan ke tujuan melalui berbagai


(36)

rute pengiriman, dengan kendala berupa batas maksimum terhadap banyaknya barang yang dapat dikirimkan melalui rute-rute tersebut.

Aliran (flow) di dalam suatu jaringan transportasi,φ,ialah pemberian suatu bilangan tidak negatif φ(i,j) kepada setiap rusuk (i, j) sedemikian rupa sehingga syarat-syarat berikut dipenuhi :

1. φ(i,j)≤w(i, j) untuk setiap rusuk (i,j).

2.

∝ = ∝ = = 0 0 ) , ( ) , ( k i k j j i φ

φ untuk setiap verteks j kecuali sumber a dan

pembuangan z.

Dalam kaitan dengan transportasi barang/benda, φ(i,j) adalah banyaknya barang yang akan dikirim melalui rute (i, j). Syarat 1 berarti bahwa banyaknya barang yang akan dikirim melalui suatu rute tidak boleh melebihi kapasits rute tersebut. Syarat 2 berarti bahwa, kecuali di sumber dan di pembuangan, banyaknya barang yang mengalir menuju suatu verteks harus sama dengan banyaknya barang yang keluar dari verteks bersangkutan.

Besaran

∝ =0 ) , ( i i a

φ dinamakan nilai aliran φ (value of the flow φ) dan dilambangkan dengan φv,sehingga :

∝ = ∝ = = = 0 0 ) , ( ) , ( k i

v φ a i φ k z

φ

yang berarti bahwa total aliran keluar di titik sumber sama dengan total aliran masuk di titik pembuangan. Untuk suatu aliran, rusuk (i, j) dikatakan jenuh

(saturated) jika φ(i, j)=w(i,j) , dan dikatakan belum jenuh (unsaturated) jika

) , ( ) ,

(i j <wi j

φ . Aliran maksimum (maximum flow) di dalam suatu jaringan

transportasi ialah suatu aliran yang mencapai nilai tertinggi yang mungkin dicapai.


(37)

Potongan (a cut) di dalam suatu jaringan transportasi ialah suatu himpunan potongan dari graph tak terhubungkan (yang diperoleh dari jaringan transportasi itu dengan mengabaikan arah rusuk-rusuknya) yang memisahkan titik sumber dari titik pembuangannya. Notasi (P,P) digunakan untuk menyatakan suatu potongan yang membagi verteks-verteks itu menjadi dua himpunan bagian P dan P , dengan P mengandung titik sumber dan P

mengandung titik pembuangan. Kapasitas suatu potongan,dilambangkan dengan w(P,P), didefinisikan sebagai jumlah kapasitas rusuk-rusuk yang berinsidensi dari verteks-verteks di dalam P ke verteks-verteks di dalam P;

dengan kata lain :

∈ ∈ =

P j P i

j i w P

P w

,

) , ( )

,


(38)

PEMBAHASAN

Permasalahan rute terdekat dapat dirumuskan sebagai sebuah model

transshipment. Jaringan rute terdekat dapat dipandang sebagai sebuah model

transportasi dengan satu sumber dan satu tujuan. Penawaran di sumber adalah satu unit dan permintaan di tujuan juga satu unit. Satu unit akan mengalir dari sumber ke tujuan melalui rute yang dapat diterima dalam jaringan tersebut. Tujuannya adalah meminimumkan jarak yang ditempuh oleh unit tersebut sementara mengalir dari sumber ke tujuan.

Untuk mengilustrasikan pengembangan model ini, diambil sebuah permasalahan yaitu sebuah jaringan antar kota di Jawa Barat dalam Gambar 3.1.


(39)

Keterangan : A = Kota Bandung B = Kota Subang C = Kota Sumedang D = Kota Garut E = Kota Majalengka F = Kota Tasikmalaya G = Kota Cirebon

Dalam jaringan ini node A tidak berfungsi sebagai tujuan, karena node ini merupakan sumber (utama) untuk jaringan ini. Demikian pula, node G tidak dapat bertindak sebagai sumber, karena mewakili tujuan akhir dari arus unit tersebut. Kolom biaya transportasi dalam model ini diisi dengan jarak rute yang bersangkutan. Rute yang tidak tersedia harus diberikan biaya M yang sangat tinggi ketika memecahkan model ini dan jarak dari sebuah node ke node itu sendiri adalah nol.

Penyelesaian permasalahan diatas dapat diselesaikan dengan 3 metode penyelesaian transportasi yaitu metode NWCR (NorthWest Corner Rule), metode biaya terkecil (Least Cost) dan metode VAM (Vogel Approximation Method). Dalam permasalahan ini akan digunakan Metode VAM (Vogel Approximation


(40)

3.1 Metode VAM (Vogel Approximation Method)

Langkah-langkah penyelesaian metode VAM adalah :

1. Mencari opportunitycost pada setiap baris dan kolom.

Tabel 3.1 Metode VAM Awal TUJUAN

B C D E F G SUPPLY

58 45 63 M M M

A 1

0 61 M 149 M M

B 1

61 0 72 46 115 M

C 1

M 72 0 M 57 M

D 1

149 46 M 0 101 61

E 1

M 115 57 101 0 120

S

U

M

B

E

R

F 1

DEMAND 1 1 1 1 1 1

Baris pertama adalah 58 dan 45 ; biaya penaltinya 58-45 = 13 Baris kedua adalah 61 dan 0 ; biaya penaltinya 61-0 = 61 Baris ketiga adalah 46 dan 0 ; biaya penaltinya 46-0 = 46 Baris keempat adalah 57 dan 0 ; biaya penaltinya 57-0 = 57 Baris kelima adalah 46 dan 0 ; biaya penaltinya 46-0 = 46 Baris keenam adalah 57 dan 0 ; biaya penaltinya 57-0 = 57 Kolom pertama adalah 58 dan 0 ; biaya penaltinya 58-0 = 58 Kolom kedua adalah 45 dan 0 ; biaya penaltinya 45-0 = 45 Kolom ketiga adalah 57 dan 0 ; biaya penaltinya 57-0 = 57 Kolom keempat adalah 46 dan 0 ; biaya penaltinya 46-0 = 46 Kolom kelima adalah 57 dan 0 ; biaya penaltinya 57-0 = 57


(41)

Kolom keenam adalah 120 dan 61 ; biaya penaltinya 120-61 = 59

2. Memilih biaya penalti terbesar dan melakukan pendistribusian.

Opportunity Cost

58 45 63 M M M 13

0 61 M 149 M M 61

61 0 72 46 115 M 46

M 72 0 M 57 M 57

149 46 M 0 101 61 46

M 115 57 101 0 120 57

58 45 57 46 57 59

Biaya penalti terbesar adalah 61 yang berada pada baris ke 2, maka pendistribusian dilakukan pada baris ke 2 dengan memilih biaya terkecil yaitu Subang-Subang. Dilanjutkan dengan menghitung biaya penalti berikutnya.

Opportunity Cost

45 63 M M M 18

0 72 46 115 M 46

72 0 M 57 M 57

46 M 0 101 61 46

115 57 101 0 120 57

45 57 46 57 59

Biaya penalti terbesar adalah 59 yang berada pada kolom ke 6, maka pendistribusian dilakukan pada kolom ke 6 dengan memilih biaya terkecil yaitu Majalengka-Cianjur. Dilanjutkan dengan menghitung biaya penalti berikutnya.


(42)

Opportunity Cost

45 63 M M 18

0 72 46 115 46

72 0 M 57 57

115 57 101 0 57

45 57 55 57

Biaya penalti terbesar adalah 57 yang berada pada baris ke 4, maka pendistribusian dilakukan pada baris ke 4 dengan memilih biaya terkecil yaitu Garut-Garut. Dilanjutkan dengan menghitung biaya penalti berikutnya.

Opportunity Cost

45 M M M-45

0 46 115 46

115 101 0 115

45 55 115

Biaya penalti terbesar adalah M-45 yang berada pada baris ke 1, maka pendistribusian dilakukan pada baris ke 1 dengan memilih biaya terkecil yaitu Bandung-Sumedang. Dilanjutkan dengan menghitung biaya penalti berikutnya.

Opportunity Cost

46 115 69

101 0 101


(43)

Biaya penalti terbesar adalah 115 yang berada pada kolom ke 5, maka pendistribusian dilakukan pada kolom ke 5 dengan memilih biaya terkecil yaitu Tasikmalaya-Tasikmalaya.

Opportunity cost telah habis, akan tetapi pendistribusian belum selesai, sebagai langkah terakhir adalah melengkapi jumlah segi empat agar sesuai dengan kapasitas supply dan demand. Untuk itu, Sumedang-Majalengka harus diisi 1.

Tabel 3.2 Akhir Metode VAM

TUJUAN

B C D E F G SUPPLY

58 45 63 M M M

A

1 1

0 61 M 149 M M

B

1 1

61 0 72 46 115 M

C

1 1

M 72 0 M 57 M

D

1 1

149 46 M 0 101 61

E

1 1

M 115 57 101 0 120

S

U

M

B

E

R

F

1 1

DEMAND 1 1 1 1 1 1

3.2 Uji Optimalisasi Metode SteppingStone

Hasil dari penyelesaian permasalahan telah didapat. Akan tetapi penyelesaian tersebut harus dilakukan uji optimalisasi untuk membuktikan bahwa penyelesaian tersebut layak dan sudah optimal. Evaludasi pertama dilakukan dengan metode NWCR (NorthWest Corner Rule) .


(44)

Tabel 3.3 NWCR (NorthWest Corner Rule)

TUJUAN

B C D E F G SUPPLY

58 45 63 M M M

A

1 1

0 61 M 149 M M

B

0 1 1

61 0 72 46 115 M

C

0 1 1

M 72 0 M 57 M

D

0 1 1

149 46 M 0 101 61

E

0 1 1

M 115 57 101 0 120

S

U

M

B

E

R

F

0 1 1

DEMAND 1 1 1 1 1 1

2. Melakukan evaluasi terhadap entri non basis. Semua entri non basis dievaluasi dengan cara melakukan korespondensi satu entri non basis terhadap minimal 3 entri basis. Memberi tanda + dan – secara berurutan yang dimulai dari entri non basis tersebut.

Tabel 3.4 Evaluasi Pertama Metode SteppingStone

Kotak Kosong Jalur tertutup Selisih

X12 45-58+0-61 -74

X13 63-58+0-61+0-72 -128

X14 M-58+0-61+0-72+0-M -191

X15 M-58+0-61+0-72+0-M+0-101 -292

X16 M-58+0-61+0-72+0-M+0-101+0-120 -412


(45)

X24 149-61+0-72+0-M 16-M

X25 M-61+0-72+0-M+0-101 -234

X26 M-61+0-72+0-M+0-101+0-120 -354

X31 61-0+61-0 122

X34 46-72+0-M -26-M

X35 115-72+0-M+0-101 -58-M

X36 M-72+0-M+0-101+0-120 -293

X41 M-0+72-0+61-0 M+133

X42 72-0+72-0 144

X45 57-M+0-101 -M-44

X46 M-M+0-101+0-120 -221

X51 149-0+61-0+72-0+M-0+101 383+M

X52 46-0+M-0+72-0 118+M

X53 M-0+M-0 2M

X56 61-101+0-120 -160

X61 M-0+101-0+M-0+72-0+61-0 2M+234

X62 115-0+101-0+M-0 158+M

X63 57-0+101-0+M-0 158+M

X64 101-0+101-0 202

Hasil evaluasi menunjukkan masih terdapat entri-entri yang belum positif,sehingga harus dilakukan evaluasi selanjutnya. Kotak X35 memiliki nilai terkecil yaitu -58-M sehingga X35 terpilih menjadi entri basis, sedangkan X55 menjadi entri non basis. Uji kembali hasil stepping stone dengan mencari nilai perubahan biaya yang terkecil yang masih negatif sampai didapatkan tabel yang optimal.


(46)

Tabel 3.5 SteppingStone Pertama

TUJUAN

B C D E F G SUPPLY

58 45 63 M M M

A

1 1

0 61 M 149 M M

B

0 1 1

61 0 72 46 115 M

C

0 0 1 1

M 72 0 M 57 M

D

1 0 1

149 46 M 0 101 61

E

1 1

M 115 57 101 0 120

S

U

M

B

E

R

F

0 1 1

DEMAND 1 1 1 1 1 1

Tabel 3.6 Evaluasi Kedua Metode SteppingStone

Kotak Kosong Jalur tertutup Selisih

X12 45-58+0-61 -74

X13 63-58+0-61+0-72 -128

X14 M-58+0-61+0-72+0-M -191

X15 M-58+0-61+0-115 M-191

X23 M-61+0-72 M-133

X24 149-61+0-72+0-M 16-M

X25 M-61+0-115 M-176

X26 M-61+0-115+0-120 M-296

X31 61-0+61-0 122

X34 46-72+0-M -26-M

X36 M-115+0-120 M-235

X41 M-0+72-0+61-0 M+133

X42 72-0+72-0 144


(47)

X46 M-115+0-120 M-235

X51 149-0+M-0+72-0+61-0 M+282

X52 46-0+M-0+72-0 M+118

X53 M-0+M-0 2M

X55 101-115+72-0+M-0 M+58

X56 61-120+0-115+72-0+M-0 M-102

X61 M-0+115-0+61-0 M+176

X62 115-0+115-0 230

X63 57-0+115-72 100

X64 101-0+115-72+0-M 144-M

X16 58-0+61-0+115-0+120 354

Hasil evaluasi menunjukkan masih terdapat entri-entri yang belum positif,sehingga harus dilakukan evaluasi selanjutnya. Kotak X34 memiliki nilai terkecil yaitu -26-M sehingga X34 terpilih menjadi entri basis, sedangkan X44 menjadi entri non basis. Uji kembali hasil stepping stone dengan mencari nilai perubahan biaya yang terkecil yang masih negatif sampai didapatkan tabel yang optimal.

Tabel 3.7 Stepping Stone Kedua

TUJUAN

B C D E F G SUPPLY

58 45 63 M M M

A

1 1

0 61 M 149 M M

B

0 1 1

61 0 72 46 115 M

C

0 0 0 1 1

M 72 0 M 57 M

D

1 1

149 46 M 0 101 61

E

1 1

M 115 57 101 0 120

S

U

M

B

E

R

F

0 1 1


(48)

Tabel 3.8 Evaluasi Ketiga Metode SteppingStone

Kotak Kosong Jalur tertutup Selisih

X12 45-58+0-61 -74

X13 63-58+0-61+0-72 -128

X14 M-58+0-61+0-46 M-165

X15 M-58+0-61+0-115 M-234

X16 M-58+0-61+0-115+0-120 M-354

X23 M-61+0-72 M-133

X24 149-61+0-46 42

X25 M-61+0-115 M-176

X26 M-61+0-115+0-120 M-296

X31 61-0+61-0 122

X36 M-115+0-120 M-235

X41 M-0+72-0+61-0 M+133

X42 72-0+72-0 144

X44 M-46+72-0 26+M

X45 57-115+72-0 14

X46 M-120+0-115+72-0 M-163

X51 149-0+46-0+61-0 256

X52 46-0+46-0 92

X53 M-0+46—72 M-26

X55 101-0+46-115 32

X56 61-120+0-115+46-0 -128

X61 M-0+115-0+61-0 M+176

X62 115-0+115-0 230

X63 57-0+115-72 100

X64 101-0+115-46 170

Hasil evaluasi menunjukkan masih terdapat entri-entri yang belum positif,sehingga harus dilakukan evaluasi selanjutnya. Kotak X13 memiliki nilai terkecil yaitu -128 sehingga X13 terpilih menjadi entri basis, sedangkan X33 menjadi


(49)

entri non basis. Uji kembali hasil stepping stone dengan mencari nilai perubahan biaya yang terkecil yang masih negatif sampai didapatkan tabel yang optimal.

Tabel 3.9 Stepping Stone Ketiga

TUJUAN

B C D E F G SUPPLY

58 45 63 M M M

A

1 0 1

0 61 M 149 M M

B

0 1 1

61 0 72 46 115 M

C

0 0 1 1

M 72 0 M 57 M

D

1 1

149 46 M 0 101 61

E

1 1

M 115 57 101 0 120

S

U

M

B

E

R

F

0 1 1

DEMAND 1 1 1 1 1 1

Tabel 3.10 Evaluasi Keempat Metode SteppingStone

Kotak Kosong Jalur tertutup Selisih

X12 45-58+0-61 -74

X14 M-58+0-61+0-46 M-165

X15 M-58+0-61+0-115 M-234

X16 M-120+0-115+0-61+0-58 M-354

X23 M-63+58-0 M-5

X24 149-46+0-61 42

X25 M-115+0-61 M-176

X26 M-120+0-115+0-61 M-296

X31 61-0+61-0 122


(50)

X36 M-120+0-115 M-235

X41 M-0+63-58 M+5

X42 72-0+63-58+0-61 16

X44 M-0+63-58+0-46 M-102

X45 57-0+63-58+0-61+0-115 -114

X46 M-120+0-115+0-61+0-58+63-0 M-291

X51 149-0+46-0+61-0 256

X52 46-0+46-0 92

X53 M-0+46-0+61-0+58-63 M+102

X55 101-0+46-115 32

X56 61-120+0-115+46-0 -128

X61 M-0+115-0+61-0 M+176

X62 115-0+115-0 230

X63 57-0+115+0-61+0-58+63 116

X64 101-0+115-46 170

Hasil evaluasi menunjukkan masih terdapat entri-entri yang belum positif,sehingga harus dilakukan evaluasi selanjutnya. Kotak X56 memiliki nilai terkecil yaitu -128 sehingga X56 terpilih menjadi entri basis, sedangkan X66 menjadi entri non basis. Uji kembali hasil stepping stone dengan mencari nilai perubahan biaya yang terkecil yang masih negatif sampai didapatkan tabel yang optimal.

Tabel 3.11 Stepping Stone Keempat

TUJUAN

B C D E F G SUPPLY

58 45 63 M M M

A

1 0 1

0 61 M 149 M M

B

0 1 1

61 0 72 46 115 M

C

0 1 0 1

M 72 0 M 57 M

S

U

M

B

E

R

D


(51)

149 46 M 0 101 61 E

0 1 1

M 115 57 101 0 120

F

0 1

DEMAND 1 1 1 1 1 1

Tabel 3.12 Evaluasi Kelima Metode SteppingStone

Kotak Kosong Jalur tertutup Selisih

X12 45-58+0-61 -74

X14 M-58+0-61+0-46 M-165

X15 M-58+0-61+0-115 M-234

X16 M-61+0-46+0-61+0-58 M-226

X23 M-0+58-63 M-5

X24 149-61+0-46 42

X25 M-115+0-61 -176+M

X26 M-61+0-46+0-61 M-168

X31 61-0+61-0 122

X33 72-63+58-0+61-0 128

X36 M-61+0-46 M-107

X41 M-58+63-0 M+5

X42 72-0+63-58+0-61 16

X44 M-0+63-58+0-61+0-46 M-102

X45 57-0+63-58+0-61+0-115 -114

X46 M-0+63-58+0-61+0-46+0-61 M-163

X51 149-0+61-0+46-0 256

X52 46-0+46-0 92

X55 101-0+46-115 32

X61 M-0+115-0+61-0 M+176

X62 115-0+115-0 230

X63 57-0+115-0+61-0+58-63 228

X64 101-0+115-46 170

X66 120-0+115-46+0-61 128


(52)

Hasil evaluasi menunjukkan masih terdapat entri-entri yang belum positif,sehingga harus dilakukan evaluasi selanjutnya. Kotak X45 memiliki nilai terkecil yaitu -114 sehingga X45 terpilih menjadi entri basis, sedangkan X35 menjadi entri non basis. Uji kembali hasil stepping stone dengan mencari nilai perubahan biaya yang terkecil yang masih negatif sampai didapatkan tabel yang optimal.

Tabel 3.13 Stepping Stone Kelima

TUJUAN

B C D E F G SUPPLY

58 45 63 M M M

A

1 0 1

0 61 M 149 M M

B

0 1 1

61 0 72 46 115 M

C

0 1 1

M 72 0 M 57 M

D

1 0 1

149 46 M 0 101 61

E

0 1 1

M 115 57 101 0 120

S

U

M

B

E

R

F

1 1

DEMAND 1 1 1 1 1 1

Tabel 3.14 Evaluasi Keenam Metode SteppingStone

Kotak Kosong Jalur tertutup Selisih

X12 45-58+0-61 -74

X14 M-58+0-61+0-46 M-165

X15 M-63+0-57 M-120

X16 M-58+0-61+0-46+0-61 M-226


(53)

X24 149-61+0-46 42

X25 M-57+0-63+58-0 M-62

X26 M-61+0-46+0-61 M-168

X31 61-0+61-0 122

X33 72-0+61-0+58-63 128

X35 115-57+0-63+58-0+61-0 114

X36 M-61+0-46 M-107

X41 M-58+63-0 M+5

X42 72-0+63-58+0-61 16

X66 120-61+0-46+0-61+0-58+63-0+57 14

X44 M-46+0-61+0-58+63-0 M-102

X46 M-61+0-46+0-61+0-58+63-0 -163+M

X51 149-0+46-0+61-0 256

X52 46-0+46-0 92

X53 M-0+46-0+61-0+58-63 M+102

X55 101-0+46-0+61-0+58-63+0-57 146

X61 M-0+57-0+63-58+0-61 M+62

X62 115-0+57-0+63-58+0-61 116

X63 57-0+57-0 114

X64 101-0+57-0+63-58+0-61+0-46 56

Hasil evaluasi menunjukkan masih terdapat entri-entri yang belum positif,sehingga harus dilakukan evaluasi selanjutnya. Kotak X12 memiliki nilai terkecil yaitu -74 sehingga X12 terpilih menjadi entri basis, sedangkan X22 menjadi entri non basis. Uji kembali hasil stepping stone dengan mencari nilai perubahan biaya yang terkecil yang masih negatif sampai didapatkan tabel yang optimal.


(54)

Tabel 3.15 Stepping Stone Keenam

TUJUAN

B C D E F G SUPPLY

58 45 63 M M M

A

0 1 0 1

0 61 M 149 M M

B

1 1

61 0 72 46 115 M

C

0 1 1

M 72 0 M 57 M

D

1 0 1

149 46 M 0 101 61

E

0 1 1

M 115 57 101 0 120

S

U

M

B

E

R

F

1 1

DEMAND 1 1 1 1 1 1

Tabel 3.16 Evaluasi Ketujuh Metode SteppingStone

Kotak Kosong Jalur tertutup Selisih

X14 M-46+0-45 M-91

X15 M-57+0-63 M-120

X16 M-61+0-46+0-45 M-152

X22 61-0+58-45 74

X23 M-0+58-63 M-5

X24 149-46+0-45+58-0 116

X25 M-57+0-63+58-0 M-62

X26 M-61+0-46+0-45+58-0 M-94

X31 61-0+45-58 48

X33 61-0+45-58 48


(55)

X36 M-61+0-46 M-107

X41 M-0+63-58 M+5

X42 72-0+63-45 90

X44 M-46+0-45+63-0 M-28

X46 M-61+0-46+0-45+63-0 M-89

X51 149-0+46-0+45-58 182

X52 46-0+46-0 92

X53 M-0+46-0+45-63 M+28

X55 101-0+46-0+45-63+0-57 72

X61 M-0+57-0+63-58 M+62

X62 115-0+57-0+63-45 190

X63 57-0+57-0 114

X64 101-0+57-0+63-45+0-46 130

X66 120-0+57-0+63-45+0-46+0-61 88

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa tidak ada lagi entri-entri yang bernilai negatif. Tabel transshipment akhir menunjukkan bahwa : XAC = 1; XBB = 1; XCE = 1; XDD = 1; XEG = 1; XFF = 1. nilai XBB = 1, XDD = 1, dan XFF = 1 tidak berkontribusi pada pemecahan, karena ketiganya menghubungkan node B, D, dan F dengan node itu sendiri. Nilai-nilai sisanya dapat disusun dalam urutan : XAC = 1, XCE = 1, XEG = 1 yang memperlihatkan bahwa rute optimal adalah A→C →E→Gdengan nilai optimal adalah 152.


(56)

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diatas penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Model transshipment (persinggahan) yang awam digunakan dalam model transportasi tenyata dapat dipakai dalam menyelesaikan permasalahan rute terpendek.

2. Jarak terpendek antara kota Bandung dan kota Cirebon dalam jaringan jarak antar kota di Jawa Barat adalah 152 Km dengan jalur yang dilaluinya ialah

Cirebon Majalengka

Sumedang

Bandung→ → → .

4.2 Saran

Berdasarkan tulisan diatas maka penulis menyarankan :

1. Masalah rute terpendek dapat diselesaikan dengan memandangnya sebagai masalah transshipment (persinggahan) dan diselesaikan dengan teknik transportasi,namun disarankan kepada pembaca agar tidak hanya terpaku pada metode penyelesaian ini saja karena masih banyak metode lain yang dapat digunakan.

2. Bagi pembaca yang berminat untuk lebih mendalami masalah rute terpendek ini diharapkan tulisan ini dapat dikembangkan lagi nantinya.


(57)

Hillier, Frederick. 2005. Introduction to Operation Research. New York: McGraw-Hill Education.

Liu, C.L. 1995. Dasar-Dasar Matematika Diskret. Jakarta : PT. Gramedia.

Nasendi, B.D. 1985. Program Linear Dan Variasinya. Jakarta: PT. Gramedia.

Siang, J.J. 2002. Matematika Diskrit Dan Aplikasinya Pada Ilmu Komputer. Yogyakarta : Andi Offset

Supranto, Johannes. 1988. Riset Operasi Untuk Pengambilan Keputusan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Taha, Hamdy. 1996. Riset Operasi. Jakarta: Binarupa Aksara.

Zulfikarijah, Fien. 2004. Operation Research. Malang : Bayumedia Publishing.

http : //www.indonesia-tourism.com/west-java/map.html. Diakses tanggal 3 Februari 2010 pukul 20.00 WIB


(58)

(59)

(60)

(61)

(1)

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diatas penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Model transshipment (persinggahan) yang awam digunakan dalam model transportasi tenyata dapat dipakai dalam menyelesaikan permasalahan rute terpendek.

2. Jarak terpendek antara kota Bandung dan kota Cirebon dalam jaringan jarak antar kota di Jawa Barat adalah 152 Km dengan jalur yang dilaluinya ialah

Cirebon Majalengka

Sumedang

Bandung→ → → .

4.2 Saran

Berdasarkan tulisan diatas maka penulis menyarankan :

1. Masalah rute terpendek dapat diselesaikan dengan memandangnya sebagai masalah transshipment (persinggahan) dan diselesaikan dengan teknik transportasi,namun disarankan kepada pembaca agar tidak hanya terpaku pada metode penyelesaian ini saja karena masih banyak metode lain yang dapat digunakan.

2. Bagi pembaca yang berminat untuk lebih mendalami masalah rute terpendek ini diharapkan tulisan ini dapat dikembangkan lagi nantinya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Hillier, Frederick. 2005. Introduction to Operation Research. New York: McGraw-Hill Education.

Liu, C.L. 1995. Dasar-Dasar Matematika Diskret. Jakarta : PT. Gramedia. Nasendi, B.D. 1985. Program Linear Dan Variasinya. Jakarta: PT. Gramedia.

Siang, J.J. 2002. Matematika Diskrit Dan Aplikasinya Pada Ilmu Komputer. Yogyakarta : Andi Offset

Supranto, Johannes. 1988. Riset Operasi Untuk Pengambilan Keputusan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Taha, Hamdy. 1996. Riset Operasi. Jakarta: Binarupa Aksara.

Zulfikarijah, Fien. 2004. Operation Research. Malang : Bayumedia Publishing. http : //www.indonesia-tourism.com/west-java/map.html. Diakses tanggal 3 Februari

2010 pukul 20.00 WIB

http : //www.bakosukarnal.go.id. Diakses tanggal 3 Februari 2010 pukul 20.00 WIB


(3)

45


(4)

46


(5)

47


(6)

48