Analisis Alasan Penolakan Produk Pangan Ekspor Indonesia Oleh Amerika Serikat Dan Eropa Selama Tahun 2002-2010

(1)

ANALISYS OF REASON OF INDONESIAN FOOD PRODUCT EXPORT

REFUSAL BY THE UNITED STATES AND EUROPE DURING THE YEARS

2002-2010

M. Angga Saputra and Purwiyatno Hariyadi

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agricultural University, IPB Darmaga, PO BOX 220, Bogor, West Java,

Indonesia

Phone : +62 85695531418, E-mail : saput.angga@yahoo.co.id

ABSTRACT

Many detention and refusal case of food-product in foreign countries was occurring on each year. Indonesia as one of the country which exporting food-product to the overseas, often having detention and refusal case of food-product in United States and Europe. During the years of 2002-2010, Indonesia had experienced a case of rejection of food products in United States about 2608 cases and in Europe about 35 cases. Fishery products are a product with the highest number of rejection; it is about 1300 cases in United States and about 12 cases in Europe. The development in the case of rejection for food products that occurs every year during the years 2002-2010 showed a fluctuating growth. Based on the pareto chart, it is determined that the main problem of food products rejection cases that occurred in the US and Europe on fishery products is filthy and mercury. There are 2 factors that caused these problems based on the Ishikawa diagram. Those factors are the environments and humans

.


(2)

I. PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Perubahan global secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi perkembangan perdagangan internasional. Perubahan ini menuntut semua negara untuk berupaya optimal dalam menghasilkan produk ekspor yang berdaya saing. Salah satu syarat dalam menghasilkan produk ekspor yang berdaya saing adalah terjaminnya mutu dan keamanan produk khususnya produk pangan. Menurut Suryana (2006), era globalisasi perdagangan menuntut diterapkannya jaminan

mutu seperti, Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) untuk pangan dan persyaratan

produksi yang berwawasan lingkungan (Ecolabelling), serta sistem pengelolaan keamanan

pangan dalam ISO 22000 : 2005. Produk pangan ekspor yang tidak memenuhi jaminan mutu dan keamanan dapat ditahan dan ditolak masuk ke negara pengimpor.

Kasus penahanan dan penolakan produk pangan di luar negeri telah banyak terjadi setiap tahunnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengekspor produk pangan ke luar negeri sering mengalami berbagai kasus penolakan dan penahanan ekspor pangan yang sebagian besar disebabkan oleh masalah mutu dan keamanan yang dianggap tidak memenuhi persyaratan

internasional. Menurut data dari FDA (Food and Drug Administration), mulai dari Januari 2001

sampai dengan September 2005, setiap tahunnya tercatat setidaknya sebanyak lebih dari 300 kasus (bahkan sampai lebih dari 700 kasus pada tahun 2001) penolakan produk Indonesia untuk masuk ke Amerika Serikat. Sebanyak lebih dari 80 % kasus dari produk tersebut adalah produk pangan. Keamanan pangan digunakan oleh FDA sebagai alasan penolakan produk-produk pangan Indonesia (Hariyadi 2007). Masalah label juga menjadi alasan penolakan makanan kaleng asal

Indonesia sepanjang 2000 sampai 2002. Pangan itu ditolak dengan alasan kotor (filthy) sebanyak

48,2 %, alasan tidak melampirkan informasi scheduled process (no process) 36,5 %, karena

belum terdaftar sebagai produsen makanan kaleng (needs fce) 14,1 %, belum diberi label nutrisi

4,7 %, karena tulisan label berbahasa Indonesia dan sisanya tidak diketahui (Suryana 2006). Berdasarkan data dari FDA, pada tahun 2009 terjadi sekitar 239 kasus penolakan terhadap produk

pangan ekspor Indonesia, sedangkan data dari Europa-RASFF (Europa-Rapid Alert System for

Food and Feed) menyebutkan bahwa terjadi 11 kasus penolakan produk ikan Indonesia pada

tahun 2010. Alasan penolakan tersebut bermacam-macam mulai dari filthy (kotor), mengandung

bahan kimia berbahaya serta mengandung nikroorganisme seperti Salmonella sp yang banyak

mencemari produk ikan.

Semua hal tersebutlah yang menjadi dasar untuk melakukan analisa terhadap kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 2002 sampai 2010.

B.

TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui data jumlah kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat dan

Eropa selama tahun 2002-2010.

2. Mengetahui jenis produk pangan dan alasan penolakannya di Amerika Serikat dan Eropa

selama tahun 2002-2010.

3. Mengetahui perkembangan kasus penolakan yang terjadi setiap tahunnya selama tahun


(3)

2

4. Membandingkan kasus penolakan yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa selama

tahun2002-2010.

5. Menganalisis penyebab terjadinya kasus penolakan produk pangan ekspor Indonesia selama

tahun 2002-2010.

6. Memberikan saran agar kasus penolakan produk pangan dapat berkurang atau tidak terjadi

kembali.

C.

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini bermanfaat dalam mendorong pengembangan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di Indonesia agar kasus penolakan produk pangan di Amerika Serikat dan Eropa dapat berkurang atau tidak ada sama sekali serta masukan bagi pemerintah untuk dapat memberikan penyuluhan yang baik tentang keamanan pangan kepada industriawan pangan serta mempermudah dalam pemantauan kegiatan ekspor produk pangan Indonesia. Selain itu bagi industriawan pangan agar mampu menghasilkan produk pangan yang berdaya saing diluar negeri dengan jaminan mutu dan keamanan pangan dengan menerapkan sistem yang diakui oleh dunia internasional.


(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

KEAMANAN PANGAN

Menurut UU RI No. 7 tahun 1996, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sedang Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (PP No. 28 Tahun 2004). Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman (PP No. 28 Tahun 2004).

Keamanan pangan sudah menjadi masalah global, sehingga mendapat perhatian utama dalam perdagangan internasional. Memasuki era perdagangan bebas, masalah mutu dan keamanan pangan memegang peranan yang sangat strategis. Perhatian masyarakat internasional terhadap keamanan pangan yang dikonsumsinya sudah sangat tinggi, sehingga mereka mensyaratkan standar yang tinggi pada bahan pangan yang akan diterima dan dikonsumsinya (Hariyadi 2007). Menurut Suryana (2006), era globalisasi perdagangan menuntut diterapkannya

jaminan mutu seperti, Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) untuk pangan dan

persyaratan produksi yang berwawasan lingkungan (Ecolabelling), serta sistem pengelolaan

keamanan pangan dalam ISO 22000: 2005. Produk pangan ekspor yang tidak memenuhi jaminan mutu dan keamanan dapat ditahan dan ditolak masuk ke negara pengimpor.

Banyak produk pangan ekspor yang ditolak oleh negara-negara pengimpor karena tidak terjamin keamanannya. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengekspor produk pangan ke luar negeri telah banyak mendapat kasus penolakan oleh FDA dan RASFF. Menurut data dari FDA, mulai dari Januari 2001 sampai dengan September 2005, setiap tahunnya tercatat setidaknya sebanyak lebih dari 300 kasus (bahkan sampai lebih dari 700 kasus pada tahun 2001) penolakan produk Indonesia untuk masuk ke AS. Sebanyak lebih dari 80 % kasus dari produk tersebut adalah produk pangan. Keamanan pangan digunakan oleh FDA sebagai alasan penolakan produk-produk pangan Indonesia (Hariyadi 2007). Pada tahun 2009 terjadi sekitar 239 kasus penolakan terhadap produk pangan ekspor Indonesia. Jadi, kinerja produk Indonesia untuk menembus pasar AS, dilihat dari aspek mutu masih sangat memprihatinkan. Sebagian besar penolakan karena alasan keamanan pangan tersebut, yaitu sekitar 33-80 % (rata-rata 62 %),

ditolak karena alasan “filthy”. Secara umum, filthy dapat diartikan bahwa pada produk tersebut

mengandung “sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam bahan pangan tersebut”. Penyebab

adanya filthy adalah karena masih kurang atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip penanganan

dan pengolahan yang baik. Dengan kata lain, kepada produsen produk pangan dan hasil pertanian

Indonesia masih perlu diperkenalkan, disosialisasikan, dan diawasi untuk menerapkan good

practices (Hariyadi dan Andarwulan 2007). Selain itu jenis produk pangan yang ditolak oleh

pasar AS sebagian besar berupa produk segar seafood dan sejenisnya. Hal ini dikarenakan praktek

GHP, GMP, dan GT/DP belum sempurna dilakukan di industri pangan di Indonesia (Hariyadi 2007).


(5)

4

Tidak hanya di AS saja terjadi kasus penolakan produk pangan Indonesia. Di Eropa oleh RASFF, produk pangan Indonesia juga banyak ditolak masuk karena alasan yang sama yaitu keamanan pangan. Berdasarkan data dari RASFF menyebutkan bahwa terjadi 11 kasus penolakan

produk perikanan Indonesia pada tahun 2010. Produk perikanan ini mengandung Salmonella sp.

yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia jika mengkonsumsinya.

B.

US-FDA (UNITED STATES - FOOD AND DRUG ADMINISTRATION)

FDA adalah lembaga di bawah Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat yang terdiri atas kantor dan pusat layanan. FDA bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin keamanan, khasiat dan keamanan obat-obatan manusia dan hewan, produk biologi, peralatan medis, suplai makanan untuk negara, kosmetik dan produk radiasi, dan mengatur pembuatan, pemasaran dan distribusi produk tembakau. FDA juga bertanggung jawab untuk memajukan kesehatan masyarakat dengan membantu mempercepat inovasi untuk membuat obat-obatan dan makanan lebih efektif, aman dan terjangkau, dan membantu masyarakat mendapatkan informasi yang akurat berbasis ilmiah untuk obat-obatan dan makanan, dan untuk mengurangi penggunaan tembakau untuk meningkatkan kesehatan.

Dalam menjamin kesehatan masyarakat, FDA memiliki undang-undang yang disahkan

oleh Presiden George W. Bush yang disebut “Public Health Security and Terorism Prepardnes and Response Act of 2002” (Undang-Undang Mengenai Perlindungan Kesehatan Masyarakat dan

Penangkalan Terorisme). Undang-undang ini selanjutnya disebut “Bioterorism Act” (Undang

-Undang Bio-terorisme). -Undang-undang Bio-terorisme terdiri atas judul lima judul: 1. National Preparedness for Bioterrorism and Other Public Health Emergencies

2. Enhancing Controls on Dangerous Biological Agents and Toxins

3. Protecting Safety and Security of Food and Drug Supply

4. Drinking Water Security and Safety

5. Additional Provisions

Pada undang-undang tersebut yang erat kaitannya dengan aktivitas ekspor dari negara luar

AS adalah ketentuan yang tertuang pada judul III (Protecting Safety and Security of Food and

Drug Supply). Peraturan ini berlaku untuk pengusaha atau importir bahan makanan di AS. Sebagian besar pasokan bahan pangan berasal dari luar AS sehingga importir AS akan meminta eksportir terkait mengirim data atau informasi untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh Pemerintah AS. Judul III memuat empat pasal yang menjelaskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Keharusan mendaftar fasilitas yang digunakan (Pasal 305). Ketentuan ini

mengharuskan pemilik atau pengelola atau agen yang mengelola suatu fasilitas pangan baik di dalam negeri (AS) maupun diluar negeri untuk mendaftar (alamat, pemilik, dan lain-lain) kepada US-FDA. Pengertian fasilitas adalah pabrik, gudang, pabrik pengemas yang membuat, memproses, mengemas, dan menyimpan bahan pangan. Pendaftaran ini dapat dilakukan oleh importir yang berasal di AS dengan meminta eksportir Indonesia mengisi formulir yang telah disediakan.

2. Penyusunan dan pemeliharaan catatan atau data (Pasal 306). Ketentuan ini memberi

wewenang kepada Menteri Pertanian untuk menentukan sumber terdekat dari asal dan penerimaan bahan pangan yang dikirim atau diterima. Ketentuan ini ditujukan untuk memudahkan US-FDA menilai atau melacak bila ditemui ancaman yang serius membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Mereka yang terkena ketentuan ini


(6)

5

adalah yang membuat, memproses, mengemas, membawa, mendistribusikan, menerima, menyimpan, dan mengimpor bahan pangan.

3. Pemberitahuan awal bagi bahan pangan impor yang dikapalkan (Pasal 307).

Ketentuan ini mengatur importir agar menyampaikan pemberitahuan awal kepada US-FDA mengenai bahan pangan yang akan dikapalkan. Pemberitahuan ini harus mencakup deskripsi lengkap produk, nama pembuat (pabrik), nama kapal, nama petani bila diketahui, negara asal, negara di mana produk dikapalkan, dan pelabuhan tujuan.

4.

Penahanan administratif (Pasal 303). Ketentuan ini memberi wewenang kepada

Menteri Pertanian AS melalui US-FDA untuk memerintahkan penahanan bahan pangan bila seorang pejabat atau petugas yang berwenang menemukan bukti yang meyakinkan atau informasi yang menunjukan bahan yang dapat memberikan dampak negartif atau buruk atau kematian bagi manusia atau hewan.

Selain UU Bio-terorisme, FDA juga memiliki peraturan dalam hal impor produk pangan

yaitu Food, Drug, and Cosmetic Act. (UU FD&C). Dalam peraturan tersebut FDA dapat

melakukan penahanan terhadap produk pangan yang masuk tanpa ada pemerikasaan fisik terlebih dahulu jika produk pangan tersebut berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat. Penahanan ini dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari lembaga negara atau lokal yang telah melakukan analisis terhadap produk pangan yang masuk dan FDA telah menetapkan bahwa pengambilan sampel dan pengujian yang dilakukan adalah akurat, diterima dan mewakili dari

produk tersebut. Pada Pasal 801 (a) UU FD&C menyatakan, “jika dalam pemeriksaan sampel

tersebut atau dinyatakan pada Pasal (1) produk tersebut telah diproduksi, diproses, atau dikemas dalam kondisi tidak bersih atau fasilitas atau pengendalian dalam pembuatan, pengepakan, penyimpanan, atau instalasi tidak memenuhi pesyaratan Pasal 520 (f), atau Pasal (2) produk tersebut dilarang atau dibatasi dalam penjualan di negara dimana produk diproduksi atau dari

mana produk diekspor, atau Pasal (3) produk tersebut tercemar, misbranded, atau melanggar

Pasal 505, maka produk tersebut akan ditolak masuk.”

FDA akan melakukan penahanan terhadap beberapa produk seperti berikut:

1. Produk tersebut dapat menyebabkan resiko kesehatan yang tidak diinginkan.

2. Produk (segar, beku, atau olahan) yang memiliki tingkat residu pestisida, alfatoksin,

dan kontaminan kimia diatas batas.

3. Produk makanan kaleng asam rendah atau makanan yang diasamkan (kegagalan

dalam proses pada suatu produk atau tidak terregristrasi).

4. Produk dengan informasi tentang bahan produk atau formulasi yang tidak jelas.

5. Produk yang tidak memberitahukan perubahan perangkat dan tidak sesuai dengan

Pasal 510 (k) atau tentang permohonan persetujuan untuk pemasaran.

6. Produk yang memiliki pelanggaran pada pelabelan atau tidak sesuai dengan NLEA

(Nutritional Labeling and Education Act).

C.

UNI EROPA-RASFF (

RAPID ALERT SYSTEM FOR FOOD AND FEED

)

Diluncurkan pada tahun 1979, RASFF pada dasarnya merupakan alat untuk pertukaran informasi antara badan yang berwenang pada pengiriman pangan dan pakan dalam kasus di mana resiko terhadap kesehatan manusia telah diidentifikasi dan langkah-langkah telah diambil, seperti penanganan, penarikan, penyitaan atau penolakan terhadap produk tersebut. Pertukaran cepat informasi ini memungkinkan semua negara anggota untuk memverifikasi segera apakah mereka


(7)

6

juga dipengaruhi oleh masalah. Setiap kali produk sudah ada di pasar dan tidak boleh dikonsumsi, pemerintah negara-negara anggota akan dalam posisi untuk mengambil langkah-langkah mendesak, termasuk memberikan informasi langsung kepada masyarakat.

Jaringan RASFF melibatkan negara anggota Uni Eropa, negara-negara European

Economic Area (EEA) seperti Norwegia, Liechtenstein dan Islandia, Sekretariat Economic Free Trade Association (EFTA) mengkoordinasikan masukan dari negara-negara EEA, European Food Safety Authority (EFSA) dan Komisi sebagai pengelola sistem.

Sistem pertukaran cepat merupakan hasil konkret dan nyata tentang integrasi Eropa. Petukaran cepat informasi tentang resiko pangan dan pakan terkait, memastikan tindakan yang

koheren dan simultan oleh semua negara anggota. Negara-negara anggota menggunakan template

(lembaran) untuk menyediakan semua informasi yang relevan dan berguna seperti identifikasi produk, bahaya yang ditemukan, kebijakan yang diambil dan informasi penelusuran produk. Jika produk berbahaya terdapat di pasar, maka negara-negara anggota akan melapor kepada Komisi Eropa melalui RASFF tentang apa yang telah ditemukan dan langkah-langkah yang telah dilakukan.

Anggota RASFF masing-masing memiliki penghubung yang ditunjuk untuk bertanggung jawab mengirimkan pemberitahuan RASFF kepada Komisi dimana sebelumnya telah dilakukan suatu tindakan yaitu inspektur pangan atau pakan telah memerikasa produk di pasar atau di perbatasan. Mereka mungkin telah mengambil sampel dan telah menerima hasil dari laboratorium. Jika ditemukan bahwa tidak ada keluhan pada produk maka perlu dilaporkan di dalam sistem nasional. Kewenangan memutuskan masalah berada di bawah lingkup RASFF dan melaporkan ke penghubung nasional RASFF. Penghubung nasional memverifikasi dan melengkapi pemberitahuan RASFF yang diperlukan dan meneruskannya kepada Komisi Eropa dengan menggunakan template. Template merupakan formulir pemberitahuan RASFF untuk memberikan rincian dari temuan dan tindakan yang diambil serta menambahkan dokumen yang relevan seperti tagihan, daftar perusahaan, laporan analitis, dll.

Beberapa tipe pemberitahuan yang diinformasikan melalui RASFF adalah sebagai berikut: 1. Alertnotifications

Sebuah „pemberitahuan peringatan‟ atau „peringatan‟ akan dikirim melalui RASFF ke

negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki resiko serius di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan. Peringatan yang dilakukan oleh anggota jaringan yang mendeteksi masalah dan telah melakukan tindakan yang relevan seperti penarikan. Pemberitahuan ini bertujuan untuk memberikan informasi ke semua anggota jaringan untuk memverifikasi apakah produk yang bersangkutan telah beredar di pasar, sehingga anggota jaringan dapat mengambil tindakan yang diperlukan. Produk yang bersangkutan telah ditarik atau sedang dalam proses penarikan dari pasar. Negara-negara anggota memiliki mekanisme sendiri untuk melakukan tindakan, seperti menyediakan informasi secara detail melalui media jika perlu.

2. Informationnotifications

Sebuah „pemberitahuan informasi‟ menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar

negara yang memberitahukan dimana resiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat, karena pangan atau pakan belum mencapai pasar atau tidak ada di pasar (pada negara-negara anggota selain negara yang memberitahukan).


(8)

7

Suatu „pemberitahuan batas penolakan‟ menyangkut suatu pangan dan pakan yang

ditolak masuk masyarakat karena alasan resiko terhadap kesehatan manusia dan hewan.

4. News notifications

Suatu „pemberitahuan berita‟ menyangkut setiap jenis informasi yang berhubungan

dengan keamanan pangan atau pakan yang belum disampaikan sebagai peringatan, informasi atau batas penolakan, oleh pihak yang berwenang dalam hal pangan dan pakan di negara-negara anggota. Pemberitahuan berita seringkali dibuat berdasarkan informasi yang diambil di media atau yang disampaikan oleh bagian yang berwenang dalam pangan dan pakan di negara-negara ketiga, perwakilan EC atau organisasi internasional, setelah diverifikasi oleh negara-negara anggota yang bersangkutan. Ketika suatu produk teridentifikasi, RASFF memberitahu negara ketiga yang bersangkutan, untuk mencegah terulangnya masalah, dalam banyak kasus melalui platform jendela online RASFF. Ketika masalah serius terdeteksi, Komisi mengirim surat kepada otoritas nasional dari negara ketiga yang bersangkutan, meminta mereka untuk menerapkan langkah-langkah korektif seperti perusahaan delisting, memblokir ekspor atau mengintensifkan kontrol. Semua laporan hasil investigasi terhadap makan dan pakan yang berbahaya dipublikasikan dalam

Database RASFF Portal. Database RASFF Portal membuat konsumen dapat melihat informasi yang berkaitan dengan pemberitahuan RASFF tentang pangan dan pakan secara online.


(9)

III

.

METODE PENELITIAN

A.

PENGUMPULAN DATA

Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder mengenai jenis produk pangan dan penyebab penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa. Data penolakan produk pangan Indonesia oleh Amerika Serikat diperoleh dengan cara mengakses data ke

website (www.accessdata.fda.gov/scripts/importrefusals) melalui internet yang dipublikasikan

oleh US-FDA (United State-Food and Drug Administration), sedangkan data penolakan produk

pangan indonesia oleh Eropa diperoleh dengan cara mengakses ke website

(www.webgate.ec.europa.eu/rasff-window/portal) melalui internet yang di publikasikan oleh

Europa-RASFF (Europa-Rapid Alert System for Food and Feed). Data yang diambil adalah data

dari tahun 2002 sampai 2010. Untuk data yang diperoleh melalui website FDA hanya berupa data produk pangan yang mengalami penolakan selain produk pangan, produk obat-obatan dan produk jamu herbal yang juga mengalami penolakan tidak diambil datanya. Selain itu dengan

melihat RASFF Annual Report 2002-2009 untuk membandingkan dengan negara lain.

B.

PENGELOMPOKAN DATA

Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokan berdasarkan jenis produk pangan, tahun ekspor, dan alasan penolakan. Kelompok berdasarkan jenis produk pangan terbagi menjadi beberapa kelompok lagi yaitu kelompok produk hasil perikanan, kelompok produk hasil pertanian dan perkebunan, dan kelompok produk hasil peternakan. Kelompok berdasarkan jenis produk pangan dibuat untuk mengetahui jenis produk pangan yang terbanyak mengalami penolakan. Kelompok berdasarkan tahun dikelompokan sesuai dengan tahun ekspor produk tersebut yaitu pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2010. Kelompok berdasarkan tahun dibuat untuk mengetahui perbedaan terjadinya kasus penolakan mengalami penaikan, penurunan, atau fluktuatif setiap tahunnya. Kelompok berdasarkan alasan penolakan produk dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan informasi yang ada pada data di website FDA dan RASFF.

C.

ANALISIS DATA

Data yang telah dikelompokan berdasarkan jenis produk pangan, tahun ekspor, dan alasan penolakan kemudian dibuat dalam bentuk grafik atau diagram. Data yang telah dibuat dalam bentuk grafik atau diagram selanjutnya dianalisis untuk mengidentifikasi jumlah kasus penolakan produk pangan, jenis produk pangan apa yang mengalami penolakan terbanyak, dan alasan produk pangan tersebut ditolak serta perkembangan yang terjadi pada jumlah kasus setiap tahunnya (mengalami penaikan, penurunan, atau fluktuatif) sehingga diketahui penyebab produk pangan tersebut mengalami penolakan selama tahun 2002 sampai 2010 serta memberikan saran yang baik agar penolakan produk pangan dapat berkurang atau tidak terjadi lagi. Analisis penyebab masalah penolakan produk pangan menggunakan Diagram Pareto dan Diagram sebab akibat atau diagram Ishikawa. Diagram pareto merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok dan grafik garis yang menggambarkan perbandingan masing-masing jenis data terhadap keseluruhan. Dengan memakai Diagram Pareto, dapat terlihat masalah mana yang sedikit tapi


(10)

9

sebab-akibat sering juga disebut sebagai Diagram Tulang Ikan (Fish Bone Diagram). Diagram

sebab akibat berguna untuk mengetahui faktor-faktor yang mungkin (memiliki peluang) menjadi penyebab munculnya masalah (berpengaruh terhadap hasil). Secara umum terdapat lima faktor yang berpengaruh yaitu :

1. Lingkungan

2. Manusia

3. Metode

4. Bahan

5. Mesin peralatan

Diagram sebab akibat hanya merupakan alat untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpeluang menjadi penyebab masalah, bukan mangidentifikasi masalah (Muhandri dan Kadarisman 2008).


(11)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA DI

AMERIKA SERIKAT OLEH US-FDA

Selama tahun 2002-2010, Indonesia mengalami kasus penolakan di Amerika Serikat sebanyak 2608 kasus penolakan produk pangan selain produk obat-obatan dan jamu herbal. Setiap tahunnya terjadi lebih dari 200 kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat oleh US-FDA dengan rata-rata tiap tahun terjadi 289 kasus penolakan. Jumlah kasus penolakan produk pangan tiap tahunnya selama tahun 2002-2010 tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Perkembangan jumlah kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Perkembangan kasus penolakan produk pangan yang terjadi selama tahun 2002-2010 menunjukan perkembangan yang fluktuatif atau naik-turun. Berdasarkan Gambar 1. menunjukan bahwa jumlah kasus terbanyak terjadi pada tahun 2007 dengan 367 kasus dan terkecil pada tahun 2002 dengan jumlah 204 kasus. Pada tahun 2006-2010 menunjukan peningkatan jumlah kasus yang cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2002-2005 meskipun pada tahun 2004 jumlah kasus penolakan yang terjadi cukup tinggi.

Kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat melibatkan banyak jenis produk pangan. Produk pangan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat digolongkan menjadi beberapa jenis produk pangan. Jumlah penolakan yang terjadi untuk setiap jenis produk pangan dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini :

0 50

100

150 200 250 300 350 400

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Ju

m

lah

K

as

u

s


(12)

11

Gambar 2. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami kasus penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Berdasarkan Gambar 2 tersebut, jenis produk pangan yang paling banyak mengalami

penolakanan adalah jenis produk seafood seperti ikan, udang dan kepiting. Jumlah kasus

penolakan dari ketiga jenis produk pangan ini mencapai 80% dari total kasus yang terjadi atau

sebanyak 2088 kasus selama tahun 2002-2010. Ikanmerupakan jenis produk pangan yang paling

banyak mengalami penolakan yaitu sebesar 1300 kasus atau hampir 50% dari total kasus yang

terjadi. Selain produk seafood juga terdapat produk minuman, bumbu-bumbuan, rempah-rempah,

cumi-cumi dan produk lainnya. Produk lainnya merupakan kumpulan jenis produk yang mengalami penolakan dibawah 50 kasus. Jumlah kasus penolakan dan jenis produk pangan untuk produk lainnya tersaji pada Gambar 3.

Gambar 3. Jumlah kasus dan jenis produk pangan untuk produk lainnya yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

ikan 50% udang 22% kepiting 8% produk minuman 3% bumbu-bumbuan 3% rempah-rempah 2% cumi-cumi

1% produk lainnya11%

n = 2608 kasus

0 10 20 30 pr oduk pe rm en pr oduk kue sa os s am ba l da n ke ca p ke rupuk gul a ag ar -a ga r da n je lli pr oduk ins ta nt ka ri (gul ai) bum bu pe ce l ata u ga do -ga do mie bum bu se m ur pr oduk bis kui t sa ra ng bur ung pr odu k s up ka ca ng pr oduk c okl at pr oduk de ss er t as in an bua h bua h da n s ay ur an pr oduk s ela i te pung ge la ti n pr oduk ta m ar in d (pa ste … pr oduk s na ck pr oduk c am pur an

Ju

m

lah

K

as

u

s


(13)

12

Berdasarkan Gambar 3 menunjukan bahwa jumlah kasus penolakan yang terjadi pada produk pangan lainnya tidak menunjukan perbedaan jumlah kasus yang terlalu besar atau signifikan antara satu produk dengan produk lainnya hanya produk permen dan kue yang menunjukan jumlah kasus sedikit lebih tinggi. Selain itu terdapat produk campuran yang merupakan gabungan beberapa produk dengan jumlah kasus satu kasus saja.

Produk pangan Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 tidak setiap tahunnya mengalami penolakan. Produk pangan dengan jumlah kasus

penolakan tertinggi seperti produk seafood mengalami penolakan setiap tahunnya, sedangkan

produk pangan lainnya tidak setiap tahunnya mengalami penolakan bahkan ada beberapa produk

yang hanya mengalami penolakan pada tahun-tahun tertentu saja. Produk seafood yang

mengalami penolakan setiap tahunnya menunjukan kasus penolakan yang fluktuatif. Produk ikan pada tahun 2002-2004 mengalami penurunan persentase jumlah kasus dan meningkat pada tahun 2005-2010. Produk udang menunjukan penurunan persentase jumlah kasus pada tahun 2005-2010 meskipun masih mengalami perkembangan yang fluktuatif. Produk kepiting pada tahun 2004 menunjukan persentase jumlah kasus yang sangat signifikan dibandingkan tahun-tahun lainnya.

Perkembangan kasus penolakan untuk produk seafood selama tahun 2002-2010 dapat dilihat pada

Gambar 4.

Gambar 4. Perkembangan persentase kasus penolakan yang terjadi pada produk pangan seafood

(ikan, udang, kepiting) di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Selain produk seafood, produk pangan lainnya juga mengalami perkembangan kasus

penolakan yang cukup beragam. Produk minuman pada tahun 2002-2008 secara umum menunjukan perkembangan persentase jumlah kasus penolakan yang meningkat. Produk bumbu mengalami penolakan pada tahun 2004-2007 serta tahun 2009 dan pada tahun 2006 dan 2007 menunjukan persentase jumlah kasus penolakan yang sangat signifikan. Produk cumi-cumi mengalami peningkatan persentase jumlah kasus sejak tahun 2002 dan tertinggi pada tahun 2009 tetapi pada tahun 2010 tidak terjadi penolakan. Produk saos, sambal, dan kecap pada tahun 2007 menunjukan persentase jumlah kasus yang sangat tinggi dengan perkembangan yang sangat fluktuatif setiap tahunnya. Produk mie hanya mengalami penolakan pada tahun 2004-2006 dan pada tahun 2004 menunjukan persentase jumlah kasus yang sangat tinggi. Produk coklat hanya terjadi pada tahun 2002 dan tahun 2009-2010 dimana tahun 2010 menunjukan persentase jumlah

0.00

10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

P

e

r

se

n

ta

se

(%

)

Tahun

ikan udang kepiting


(14)

13

kasus penolakan yang tertinggi. Gambar yang menunjukan perkembangan kasus penolakan produk lainnya yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 terlampir pada lampiran.

Berdasarkan data kasus penolakan produk pangan Indonesia, terlihat jelas bahwa produk ikan merupakan produk pangan yang paling banyak mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010. Indonesia merupakan negara kepulauan yang menghasilkan produk ikan atau olahannya yang sangat besar. Jenis ikan yang diekspor ke Amerika Serikat

bermacam-macam seperti tuna, snapper, grouper, mahi-mahi, swordfish, kingfish, opakapaka, tilapia, dan

produk ikan lainnya. Setiap tahunnya terjadi kasus penolakan produk ikan mencapai lebih dari 50 kasus bahkan lima tahun terakhir mencapai lebih dari 100 kasus penolakan. Jumlah kasus penolakan dan jenis produk ikan yang diekspor dan mengalami penolakan Amerika Serikatdapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (US-FDA 2011).

Jumlah kasus terbanyak terjadi pada produk ikan tuna yaitu dengan 811 kasus atau mencapai 62% dan ikan kakap dengan 17% dari jumlah produk ikan yang mengalami penolakan. Produk ikan seperti ikan mahi-mahi, todak, kerapu, tenggiri, dan kakap putih hanya mengalami penolakan dengan jumlah kasus dibawah 5%. Produk ikan lainnya merupakan produk ikan yang terdiri dari beberapa jenis ikan dan produk olahannya dengan jumlah kasus yang sedikit. Jumlah dan jenis produk ikan lainnya yang mengalami penolakan tersaji pada Gambar 6.

ikan tuna 62% ikan kakap

17% produk ikan

lainnya 7%

mahi-mahi

4%

ikan todak

3% kerapu

3%

tenggiri

2% kakap putih

2%


(15)

14

Gambar 6. Jumlah kasus dan jenis produk ikan lainnya yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa jumlah kasus penolakan yang terjadi pada produk ikan tersebut kurang dari 20 kasus atau dibawah 1% dari total kasus penolakan produk ikan yang terjadi selama tahun 2002-2010. Ikan olahan merupakan produk ikan yang telah mengalami pengolahan dan tidak diketahui jenis ikannya. Ikan lainnya merupakan produk ikan dengan jumlah kasus penolakan sebanyak 1 kasus.

Produk ikan tuna yang mengalami penolakan di Amerika Serikat sebagian besar dapat digolongkan menjadi beberapa jenis produk yaitu produk tuna beku, produk tuna segar, produk tuna kalengan, produk tuna mentah, dan produk tuna lainnya. Produk tuna beku merupakan produk ikan tuna dengan kasus penolakan terbesar yaitu sebesar 88% atau 713 kasus. Produk ikan tuna lainnya yang mengalami penolakan yaitu produk tuna mentah, produk tuna segar, produk tuna kalengan dan produk ikan tuna lainnya. Jumlah persentase produk ikan tuna yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 7.

0

2 4 6 8 10 12 14 16

Ju

m

lah

K

as

u

s


(16)

15

Gambar 7. Jumlah kasus dan jenis produk ikan tuna yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Penolakan yang terjadi pada produk pangan asal Indonesia tidak terlepas dari alasan penolakan atas produk tersebut. Alasan yang diterima oleh produk pangan tersebut beragam macamnya dan sesuai dengan sistem yang ada pada masing-masing negara. Jenis alasan dan jumlah penolakannya pada produk pangan ekspor asal Indonesia di Amerika Serikat dapat dilihat pada Gambar 8. berikut ini:

Gambar 8. Jenis alasan dan jumlah kasus yang terjadi pada produk pangan yang ditolak oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (US-FDA 2011).

Alasan penolakan yang terjadi pada produk pangan ekspor asal Indonesia terbanyak adalah

karena alasan filthy, Salmonella, no process, needs fce, vetdrugres, dan histamine. Keenam alasan

ini mencapai lebih dari 70% dari total jumlah kasus yang terjadi atau sebanyak 2673 kasus dari 3382 kasus. Jumlah kasus ini melebihi dari jumlah produk yang mengalami penolakan yaitu 2608 kasus. Hal ini karena pada beberapa produk mengalami penolakan dengan alasan yang dapat

produk tuna beku 88% tuna mentah

8%

tuna segar 2%

tuna kalengan

1% produk tuna lainnya

1%

n = 811 kasus

filhty 39%

salmonella 23% no process

6% needs fce

4% vetdrugres

3% histamine

3%

unsafe col 3%

nutrit lbl 2% chloramp

2% poisonous2% list

ingre 2%

lacks n/c 1%

other 10%


(17)

16

mencapai lebih dari dua alasan. Alasan filthy merupakan alasan yang paling banyak terjadi yaitu

sebesar 1326 kasus. Alasan ini terjadi jika dalam produk pangan tersebut mengandung sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam bahan pangan tersebut (Hariyadi dan Andarwulan 2007).

Alasan Salmonella terjadi jika pada produk pangan tersebut mengandung Salmonella, zat beracun

dan merusak yang dapat membahayakan kesehatan (FDA 2011). Salmonella merupakan salah

satu bakteri patogen yang berperan penting sebagai indikator keamanan dan berpengaruh sangat besar pada kesehatan manusia. Bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang paling umum menyebabkan penyakit keracunan pangan di negara sedang berkembang dan negara berkembang

(Del-Portillo 2000 dalam Fredy 2010). Salmonella di dalam pangan perlu mendapat perhatian

karena umumnya terdapat dalam jumlah kecil tetapi jumlah tersebut cukup untuk menimbulkan

gejala penyakit (Jenie dan Fardiaz 1989). Kasus dengan alasan Salmonella terjadi sebanyak 788

kasus. No process merupakan alasan penolakan jika produsen dari produk pangan tersebut tidak

mengajukan informasi tentang proses yang dijadwalkan (scheduled process) seperti yang

dipersyaratkan oleh 21 CFR 108,25 (c) (2) atau 108,35 (c) (2) (FDA 2011). Kasus penolakan

dengan alasan no process terjadi sebanyak 210 kasus. Needs fce terjadi jika produsen produk

pangan tersebut tidak terdaftar sebagai produsen makanan kaleng berasam rendah atau makanan kaleng yang diasamkan sesuai dengan 21 CFR 108,25 (c) (1) atau 108,35 (c) (1) (FDA 2011).

Kasus dengan alasan needs fce terjadi sebanyak 144 kasus. Vetdrugres merupakan alasan yang

terjadi jika pada produk pangan tersebut mengandung obat untuk hewan (konversi dari produk sejenisnya) yang tidak aman seperti dalam pasal 512 tentang kandungan pangan (FDA 2011).

Vetdrugres terjadi sebanyak 105 kasus. Alasan histamine terjadi jika pada produk pangan tersebut

mengandung histamine, zat beracun dan merusak dengan jumlah yang dapat membahayakan

kesehatan (FDA 2011). Keberadaan histamine dalam jumlah yang besar pada ikan yang

mengalami pembusukan dapat menyebabkan keracunan atau kematian, khususnya untuk ikan –

ikan golongan Scombroidae (Taylor 1983 dalam Naibaho 2010). Histamine terjadi sebanyak 100

kasus. Selain keenam alasan tersebut terdapat juga alasan lain yang jumlah kasusnya dibawah 100 kasus. Jumlah kasus dan jenis alasan untuk alasan lainnya yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Jenis alasan dan jumlah kasus penolakan yang terjadi untuk alasan lainnya pada produk pangan yang ditolak di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 0 5 10 15 20 25 30 po is c hl or la be lin g no e ngl is h la cks f ir m tr an sf at m fr i ns an ni tr of ur an us ua l n am e fa ls e. co lo r lbl g un sa fe a dd jui ce % lis te ri a in sa ni ta ry un appr ov ed af la to xi n no t l is te d ye llo w of f odo r cy cl am at e di se as ed hea lt h C m fr hacc p sa cc ha rl bl ot he r

Ju

m

lah

K

as

u

s

Jenis Alasan


(18)

17

Alasan lainnya yang terjadi pada produk pangan yang mengalami penolakan berdasarkan Gambar 9 menunjukan bahwa alasan yang terjadi memiliki kasus dibawah 30 kasus dan antara alasan satu dengan yang lain memiliki jumlah kasus penolakan yang tidak berbeda jauh atau tidak

terlalu signifikan dengan alasan lainnya yang juga mengalami penolakan. Alasan lainnya (other)

merupakan gabungan dari beberapa alasan yang mengalami penolakan dengan jumlah kasus penolakan yang terjadi sebanyak satu kasus.

Alasan penolakan yang terjadi selama tahun 2002-2010 menunjukkan perkembangan yang

fluktuatif dan cukup berbeda satu dengan yang lainnya. Alasan filthy dan salmonella menunjukan

perkembangan yang fluktuatif dengan persentase jumlah kasus penolakan yang tinggi setiap

tahunnya selama tahun 2002-2010. No process dan needs fce merupakan alasan pada produk yang

mengalami proses sterillisasi menunjukan perkembangan kasus yang juga fluktuatif dan

persentase jumlah penolakan tertinggi terjadi pada tahun 2007 dan tahun berikutnya menunjukan

penurunan jumlah kasus. No process dan needs fce dikelompokan menjadi satu yaitu process

thermal. Perkembangan kasus untuk alasan filthy, salmonella dan process thermal dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan filthy, salmonella,

process thermal di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Alasan lain yang juga menunjukan perkembangan kasus yang berbeda adalah vetdrugres

yang menunjukan persentase kasus penolakan tertinggi pada tahun 2004 dan tahun berikutnya

menunjukan penurunan jumlah kasus. Alasan chloramp menunjukan peningkatan persentase

jumlah kasus mulai dari tahun 2008-2010. Poischlor hanya terjadi pada tahun 2004-2006 dengan

persentase jumlah kasus yang cukup tinggi. Alasan transfat terjadi pada tahun 2007-2009 dengan

tahun 2008 menunjukan kasus yang tertinggi. Alasan lain yang cukup berbeda adalah juice% dan

listeria yang hanya terjadi pada satu tahun yaitu tahun 2008 untuk juice% dan tahun 2010 untuk

listeria. Perkembangan kasus penolakan untuk alasan yang terjadi terlampir pada lampiran. Alasan yang terjadi pada produk pangan Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010, menunjukan bahwa terdapat 4 alasan dengan jumlah kasus yang

cukup besar atau berbeda signifikan dengan alasan lainnya yaitu alasan filthy, salmonella, no

process dan needs fce. Alasan filthy terjadi hampir disemua produk pangan yang mengalami

penolakan sedangkan untuk alasan salmonella, needs fce dan no process hanya terjadi pada

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00

90.00

100.00

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

P

e

r

se

n

ta

se

(%

)

Tahun

filhty salmonella process thermal


(19)

18

beberapa produk tertentu saja. Jenis produk yang memiliki alasan penolakan karena filthy tersaji

pada Gambar 11.

Gambar 11. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan

filthy di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Alasan filthy terjadi sebanyak 1326 kasus selama tahun 2002-2010. Produk pangan yang

mengalami penolakan karena alasan filthy terbanyak terjadi pada produk ikan dengan 63% dari

1326 kasus yang terjadi atau sebanyak 838 kasus. Selain produk ikan produk pangan lain yang

juga mengalami penolakan karena alasan filthy adalah udang, kepiting, cumi-cumi, gula, produk

kerupuk dan produk lainnya. Produk lainnya merupakan produk pangan yang ditolak dengan

alasan filthy kurang dari 10 kasus. Berdasarkan Gambar 11 alasan filthy lebih banyak terjadi pada

produk seafood seperti ikan, udang, kepiting, dan cumi-cumi.

Seperti halnya alasan filthy, alasan salmonella juga banyak terjadi pada produk pangan

seafood seperti produk ikan dan udang. Alasan salmonella pada produk pangan terjadi sebanyak 788 kasus selama tahun 2002-2010. Produk udang dan ikan merupakan produk pangan yang

mengalami penolakan karena alasan salmonella terbanyak yaitu sebesar 46% dari 788 kasus yang

terjadi. Selain produk udang dan ikan produk pangan lain yang menerima alasan salmonella

adalah rempah-rempah, cumi-cumi, dan produk lainnya, yang merupakan produk yang memiliki

alasan salmonella kurang dari 10 kasus. Seperti halnya filthy, alasan salmonella juga banyak

terjadi pada produk seafood seperti ikan, udang dan cumi-cumi. Jenis produk yang ditolak karena

lasan salmonella tersaji pada Gambar 12.

ikan 63% udang

25% kepiting

4%

cumi-cumi

2% gula

1% kerupuk

1% produk lainnya4%


(20)

19

Gambar 12. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan

salmonella di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Needs fce dan no process merupakan alasan yang terjadi pada produk yang mengalami

proses tertentu seperti proses sterillisasi. Berbeda dengan alasan filthy dan salmonella, alasan

needs fce dan no process hanya terjadi pada beberapa produk saja. Alasan needs fce dan no process terjadi sebanyak 354 kasus selama tahun 2002-2010. Produk pangan yang menerima

penolakan dengan alasan needs fce dan no process terbanyak adalah bumbu-bumbuan sebesar

31% atau sebanyak 111 kasus. Produk lainnya yang memiliki alasan needs fce dan no process

adalah produk minuman, saus, sambal dan kecap, produk makanan instant, kari (gulai), bumbu

semur, produk sup dan produk lainnya, yang merupakan produk pangan dengan alasan needs fce

dan no process dibawah 10 kasus. Jenis produk pangan yang memiliki alasan needs fce dan no

process tersaji pada Gambar 13.

Gambar 13. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan

needs fce dan no process di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

udang 46% ikan

46% rempah-rempah

4%

cumi-cumi 1%

produk lainnya 3%

n = 788 kasus

bumbu-bumbuan 31%

minuman 24%

saus sambal dan kecap

10% produk instant

6% kari (gulai)

6% bumbu semur

5%

produk sup 4%

produk lainnya 14%


(21)

20

Produk ikan yang merupakan produk pangan terbanyak mengalami penolakan oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 memiliki alasan penolakan yang yang cukup banyak antara lain

filthy, Salmonella, histamine, poisonous, lacks n/c, list ingre dan alasan lain atau other. Alasan

penolakan karena filthy merupakan kasus yang banyak terjadi yaitu sebesar 57% total produk

ikan yang mengalami penolakan yaitu 1300 kasus. Beberapa produk ikan ada yang memiliki

alasan penolakan lebih dari satu alasan. Selain alasan filthy, produk ikan tuna juga mengalami

penolakan karena alasan mengandung Salmonella, histamine, poisonous, lacks n/c, list ingre dan

karena alasan lain atau other yaitu alasan dengan jumlah kasus dibawah 20 kasus. Jumlah kasus

dan jenis alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat dapat dilihat pada Gambar 14. dibawah ini:

Gambar 14. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

B.

KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA DI

EROPA OLEH EUROPA-RASFF

Berbeda dengan kasus yang terjadi di Amerika Serikat, di Eropa terdapat sistem tersendiri untuk mengatasi produk pangan yang beresiko membahayakan kesehatan masyarakat di Eropa

oleh Europa-RASFF. Europa-RASFF memiliki notification atau pemberitahuan bagi produk

pangan yang diidentifikasi dapat membahayakan kesehatan. Notification ini terdiri dari 4 jenis

yaitu alert, information, border rejection, dan news notification.

Kasus produk pangan Indonesia yang bermasalah di Eropa atau yang menerima

notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 sebanyak 327 kasus. Kasus produk pangan bermasalah ini setiap tahunnya terjadi dengan jumlah yang berbeda-beda dengan rata-rata setiap tahun terjadi 36 kasus. Selama tahun 2002-2010 perkembangan kasus yang terjadi tidak stabil atau fluktuatif. Pada tahun 2004 terjadi kenaikan jumlah kasus yang cukup tinggi tetapi jumlah kasus menurun sampai dengan tahun 2008 dan kembali naik sampai tahun 2010. Tahun 2004 merupakan tahun dengan jumlah kasus tertinggi yaitu dengan 70 kasus dan tahun 2008 merupakan tahun dengan jumlah kasus terendah yaitu dengan 15 kasus. Perkembangan kasus

yang terjadi untuk produk pangan bermasalah atau menerima notification oleh Europa-RASFF

tersaji pada Gambar 15.

filthy 57% salmonella

25% histamine

6%

poisonous 2%

lacks n/c 1%

list ingre 1%

other 8%


(22)

21

Gambar 15. Perkembangan kasus yang terjadi pada produk pangan bermasalah di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Produk pangan Indonesia yang teridentifikasi membahayakan kesehatan di Eropa oleh

Europa-RASFF menerima 3 notification yaitu alert, information dan border rejection

notification. Alertnotification merupakan sebuah „pemberitahuan peringatan‟ atau „peringatan‟

akan dikirim melalui RASFF ke negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki resiko serius

di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan

sebuah „pemberitahuan informasi‟ menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar negara yang

memberitahukan dimana resiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat. Border

rejection notification merupakan notification untuk produk pangan yang teridentifikasi

membahayakan sebelum masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa. Jumlah dan

jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Jumlah dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia di Eropa

oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). 0

10 20 30 40 50 60 70 80

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Ju

m

lah

K

as

u

s

Tahun

alert notification 25%

border rejection 11% information

notification 64%


(23)

22

Sebanyak 326 kasus yang terjadi 64% merupakan information notification, 25% alert

notification, dan 11% border rejection notification. Hal ini berarti sebanyak 89% produk pangan diketahui memiliki masalah atau dapat membahayakan kesehatan setelah masuk ke dalam pasar di Eropa dan 11% produk pangan telah ditolak masuk ke pasar karena teridentifikasi membahayakan kesehatan.

Jumlah notification yang diterima oleh produk pangan Indonesia selama tahun 2002-2010

setiap tahunnya berbeda. Jumlah notification yang diterima produk pangan Indonesia setiap

tahunnya tersaji pada Gambar 17.

Gambar 17. Jumlah persentase notification yang terjadi setiap tahunnya pada produk pangan

Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Berdasarkan Gambar 17 alert dan informationnotification terjadi setiap tahunnya dengan

persentase jumlah kasus tiap tahunnya tidak sama. Information notification merupakan

notification yang banyak terjadi selama tahun 2002-2010 pada produk pangan Indonesia. Sama

halnya dengan information notification, alert notification juga terjadi setiap tahunnya selama

tahun 2002-2010 meskipun dengan jumlah kasus yang terjadi lebih sedikit. Kedua notification ini

menunjukan perkembangan kasus yang fluktuatif setiap tahunnya dengan kenaikan dan penurunan kasus yang tidak sama.

Berbeda dengan alert dan information notification, border rejection notification hanya

terjadi pada tahun 2008-2010 dengan persentase jumlah kasu yang terjadi cukup tinggi. Hal ini berarti kasus penolakan produk pangan Indonesia di Eropa selama tahun 2002-2010 hanya terjadi

pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Pada tahun 2008 border rejectionnotification terjadi sebanyak

11 kasus, tahun 2009 terjadi sebanyak 8 kasus dan tahun 2010 terjadi sebanyak 16 kasus. Perkembangan kasus yang terjadi juga menunjukan perkembangan yang fluktuatif setiap tahunnya. Kasus penolakan produk pangan terbanyak terjadi pada tahun 2010 dengan 16 kasus penolakan.

Jenis produk pangan bermasalah atau menerima notification di Eropa ini terbagi dalam

beberapa jenis produk pangan dengan jumlah kasus tertinggi. Jumlah kasus yang terjadi untuk setiap jenis produk pangan oleh Europa-RASFF dapat dilihat pada Gambar 18. dibawah ini:

0.00 10.00

20.00

30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

P

e

r

se

n

tas

e

(%

)

Tahun

alert

border rejection information


(24)

23

Gambar 18. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Produk yang mengalami kasus terbanyak adalah ikan yaitu sebanyak 184 kasus, diikuti

udangsebanyak 77 kasus, rempah-rempahsebanyak 27 kasus, produk daging sebanyak 10 kasus

dan produk lainnya sebanyak 29 kasus. Produk lainnya merupakan produk pangan yang memiliki

kasus atau menerima notification dibawah 10 kasus. Berdasarkan Gambar 18, terlihat produk

ikan memiliki jumlah kasus yang sangat signifikan perbedaannya dengan produk lainnya. produk

ikan yang bermasalah atau menerima notification mencapai lebih dari dua kali lipat produk

lainnya. Jumlah dan jenis produk lainnya yang teridentifikasi berbahaya tersaji pada Gambar 19.

Gambar 19. Jumlah kasus dan jenis produk pangan lainnya yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Gambar 19 menunjukan jumlah kasus yang terjadi pada produk pangan lainnya yang

bermasalah atau menerima notification selama tahun 2002-2010. Jumlah kasus pada produk

ikan 56% udang

24%

rempah-rempah

8%

daging 3%

produk lainnya

9%

n = 327 kasus

0 2 4 6

Ju

m

lah

K

as

u

s


(25)

24

pangan tersebut kurang dari 10 kasus dan setiap produk pangan memiliki jumlah kasus yang tidak terlalu berbeda jauh.

Produk ikan dan udang merupakan produk dengan jumlah kasus tertinggi atau mencapai

80% dari total jumlah kasus yang terjadi dengan ikan sebanyak 56% dan 24% untuk udang.

Produk ikan terbagi menjadi 5 produk yaitu ikan beku, ikan utuh, ikan segar, chilled fish, dan

produk ikan lainnya. Jumlah kasus dan jenis produk ikan dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Produk ikan beku merupakan produk dengan jumlah kasus yang terbanyak yaitu 43% dari 184 kasus atau dua kali lipat dari jumlah kasus yang terjadi pada produk ikan yang lain seperti

produk ikan utuh, ikan segar, chilled fish, dan produk ikan lainnya dengan jumlah kasus di bawah

40 kasus.

Produk pangan Indonesia menerima notification yang berbeda jenis notification dan

jumlahnya untuk setiap jenis produk pangan. Jumlah kasus pada tiap jenis notification yang

terjadi pada produk pangan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 21.

ikan beku 43%

ikan utuh 22% ikan segar

17% produk ikan

lainnya 11%

chilled fish 7%


(26)

25

Gambar 21. Jumlah kasus dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia di

Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Information notification terlihat mendominasi pada setiap jenis produk pangan.

Pengecualian terjadi pada produk pangan herb and spices dimana alert notification lebih banyak

terjadi. Banyaknya information notification yang terjadi pada produk pangan mengindikasikan

bahwa produk pangan asal Indonesia yang telah beredar dipasar telah teridentifikasi masalahnya.

Border rejection notification juga terjadi hampir disemua jenis produk pangan tetapi dengan jumlah kasus yang lebih sedikit.

Perkembangan kasus produk pangan Indonesia yang bermasalah atau menerima

notification di Eropa oleh Europa-RASFF menunjukan perkembangan yang fluktuatif selama

tahun 2002-2010. Beberapa produk menerima notification atau menunjukan jumlah kasus yang

tinggi hanya pada tahun-tahun tertentu dan tahun berikutnya atau sebelumnya tidak menunjukan

jumlah kasus yang tinggi atau tidak menerima notification sama sekali. Produk ikan menunjukan

perkembangan kasus produk bermasalah atau menerima notification yang naik-turun selama

tahun 2002-2010. Produk ikan menerima notification setiap tahunnya dengan angka jumlah kasus

yang cukup tinggi dibandingkan produk pangan lainnya. Pada tahun 2004-2006 jumlah kasus pada produk ikan menunjukan angka yang tetinggi dan tahun berikutnya mengalami penurunan jumlah kasus yang cukup signifikan. Selain produk ikan, produk udang juga menerima

notification yang cukup tinggi setiap tahunnya meskipun menunjukan penurunan jumlah kasus

setiap tahunnya seperti pada tahun 2009 dimana tidak menerima notification sama sekali. Produk

rempah-rempah menunjukan kasus yang secara umum meningkat setiap tahunnya dan tahun 2010 menunjukan jumlah kasus yang tertinggi. Produk daging menunjukan perkembangan kasus yang relaitf sama setiap tahunnya kecuali pada tahun 2009 dimana jumlah angka kasus tertinggi untuk produk daging. Berbeda dengan produk ikan, udang, rempah-rempah, dan daging, produk kacang

hanya menerima notification pada tiga tahun yang berbeda yaitu tahun 2005,2008, dan 2010

dengan jumlah kasus yang hanya berbeda satu kasus. Produk lainnya menunjukan kasus yang juga berbeda setiap tahunnya dan hanya terjadi pada tahun-tahun tertentu saja. Hal ini karena jumlah produk pangan lainnya menunjukan angka kasus yang rendah dibandingkan produk ikan, udang, rempah-rempah, daging dan kacang. Perkembangan kasus untuk produk lainnya yang

bermasalah atau menerima notification terlampir pada lampiran.

0 20 40 60 80 100 120

produk udang produk ikan rempah-rempah produk lainnya

Ju

m

lah

K

as

u

s

Jenis Produk

alert

border rejection information


(27)

26

Produk pangan yang teridentifikasi berbahaya dan menerima notification oleh

Europa-RASFF disebabkan oleh alasan yang diterima oleh produk pangan tersebut. Alasan terjadinya

notification pada produk pangan asal Indonesia dapat dilihat pada Gambar 22.

Gambar 22. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi berdasarkan notification yang diterima

produk pangan ekspor Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Alasan terjadinya notification pada produk pangan tersebut yang terbesar adalah karena

produk pangan tersebut mengandung logam berat seperti mercury dan cadmium; mengandung

mikroorganisme seperti aflatoxin, Salmonella spp., vibrio spp.; mengandung zat yang berbahaya

bagi tubuh serta perlakuan pada proses produksi yang tidak sesuai.

Perkembangan kasus produk pangan bermasalah yang terjadi karena alasan yang diterima

menunjukan perkembangan yang fluktuatif setiap tahunnya selama 2002-2010. Alasan mercury

terjadi setiap tahunnya dengan jumlah kasus yang cukup tinggi, hal ini karena alasan mercury

banyak terjadi pada produk seafood yang juga memiliki kasus dengan jumlah yang tinggi setiap

tahunnya. Histamine menunjukan jumlah kasus yang tinggi pada tahun 2004 dam menurun pada

tahun-tahun berikutnya dan pada tahun 2010 tidak terjadi kasus produk pangan bermasalah yang

mengandung histamine. Sama halnya dengan histamine, carbon monoxide treatment juga

menunjukan penurunan jumlah kasus pada tahun-tahun berikutnya setelah tahun 2005

menunjukan kasus yang tertinggi. Aflatoxin menunjukan perkembangan yang menaik pada

tahun-tahun berikutnya setelah pada tahun-tahun 2003-2004 tidak terjadi kasus produk bermasalah karena

alasan ini. Cadmium menunjukan perkembangan yang menurun jumlah kasus yang terjadi setelah

pada tahun 2004 menunjukan jumlah kasus tertinggi. Prohibited substance chloramphenicol dan

nitrofuran (metabolite) furazolidone, nitrofurazone secara umum menunjukan perkembangan kasus yang menurun pada tahun-tahun berikutnya setelah pada tahun 2002 menunjukan kasus yang tertinggi. Perkembangan alasan yang terjadi pada produk pangan yang bermasalah di Eropa selama tahun 2002-2010 terlampir pada lampiran.

Alasan yang terjadi pada tiga jenis produk pangan dengan jumlah terbanyak yaitu produk produk ikan, udang, dan rempah-rempah memiliki alasan yang cukup berbeda. Produk ikan

meiliki alasan mengandung mercury sebanyak 34%, mengandung histamine sebanyak 19%,

mengandung cadmium sebanyak 10%, alasan proses yaitu carbon monoxide treatment sebanyak

20%, dan alasan lain atau other sebanyak 17% dari jumlah kasus yaitu 184 kasus. Terlihat pada

0 20 40

60

80

Ju

m

lah


(28)

27

produk ikan alasan yang terjadi lebih banyak dikarenakan pada produk tersebut mengandung logam berat dan zat berbahaya. Produk udang dengan jumlah 77 kasus memiliki alasan yaitu

prohibited substance chloramphenicol sebanyak 29%, prohibited substance nitrofuran (metabolite) furazolidone sebanyak 26%, mengandung Vibrio spp. sebanyak 18% dan alasan lain

atau other sebanyak 27%. Berbeda dengan produk ikan, produk udang ini lebih banyak

mengalami penolakan dengan alasan yaitu menggunakan zat yang dilarang seperti

chloramphenicol dan nitrofuran serta alasan karena mengandung Vibrio spp.. Produk

rempah-rempah memiliki alasan yaitu mengandung aflatoxin sebanyak 78%, mengandung Salmonella

spp. sebanyak 8%, organoleptic characteristic sebanyak 7% dan alasan lain atau other sebanyak

7% dari 27 kasus yang terjadi. Produk rempah-rempah ini lebih banyak didominasi oleh alasan

mengandung aflatoxin. Aflatoxin merupakan jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang

Aspergillus flavus dan Aspergillus paraciticus. Bagi manusia, konsumsi terus menerus meskipun dalam dosis kecil dapat menyebabkan kanker hati (Paramawati, Arief dan Triwahyudi 2006).

Kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Eropa merupakan kasus produk pangan

yang menerima border rejectionnotification oleh Europa-RASFF. Jumlah produk pangan yang

mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF atau produk pangan yang mengalami border

rejection selama tahun 2002-2010 terjadi sebanyak 35 kasus. Sebanyak 9 jenis produk pangan

tercatat mengalami border rejection yaitu produk ikan, produk udang, rempah-rempah,

buah-buahan dan sayuran, produk daging, produk permen, produk kacang-kacangan, produk cumi-cumi dan produk campuran lainnya. Jumlah dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Jumlah dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa produk ikan merupakan produk pangan yang

terbanyak mengalami kasus penolakan dengan 34% atau sebanyak 12 kasus kemudian diikuti

rempah-rempah sebesar 20%, produk kacang-kacangan, produk daging, cumi-cumi, udang, dan

buah-buahan dan sayuran, produk permen, serta produk campuran lainnya dengan jumlah kasus dibawah 10%. Produk pangan yang mengalami penolakan memiliki alasan yang berbeda-beda. Jumlah dan jenis alasan yang terjadi pada produk pangan yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 24.

produk ikan 34%

rempah-rempah

20% kacang-kacangan

11% udang

8% daging

9% cumi-cumi

9%

buah-buahan dan sayuran

3% produk permen

3%

produk campuran lainnya

3%


(29)

28

Gambar 24. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Gambar 24 menunjukan bahwa alasan yang banyak terjadi pada produk pangan yang ditolak di Eropa adalah karena produk pangan mengandung sesuatu yang berbahaya bagi

kesehatan seperti mengandung aflatoxin dan mengandung logam berat seperti mercury dan

cadmium. Aflatoxin lebih banyak terjadi pada produk rempah-rempah sedangkan alasan mercury

dan cadmium terjadi pada produk seafood seperti ikan, udang dan cumi-cumi.

Berdasarkan kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Eropa oleh Europa-RASFF, produk ikan merupakan produk dengan jumlah kasus penolakan yang terbesar yaitu dengan jumlah kasus sebanyak 12 kasus. Jenis produk ikan yang mengalami penolakan hanya terdiri dari

6 jenis ikan yaitu tuna, snapper, bichique, marlin, oilfish, dan barramundi. Jumlah kasus dan

jenis produk ikan yang mengalami penolakan oleh Europa-RASFF tersaji pada Gambar 23. dibawah ini:

Gambar 25. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

0 5 10 15

Ju

m

lah

K

as

u

s

Jenis Alasan

tuna fish

59%

bichique fish

9%

baramundi fish 8% snapper fish

8%

oilfish fish 8%

marlin fish 8%


(30)

29

Berdasarkan Gambar 25 produk ikan tuna merupakan produk ikan yang mengalami kasus penolakan terbanyak yaitu sebesar 59% dari 12 kasus yang terjadi. Produk ikan lain seperti

bichique, snapper, barramundi, oilfish, dan marlin hanya mengalami satu kasus saja. Penolakan produk ikan tersebut tidak terlepas dari alasan penolakan yang diterima oleh produk-produk tersebut. Alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk ikan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Secara umum produk ikan mengalami penolakan dikarenakan mengandung sesuatu yang

berbahaya sperti logam berat dan histamine. Produk ikan yang mengalami penolakan memiliki 4

alasan penolakan yang terjadi yaitu bad hygienic state, cadmium, histamine, dan mercury. Alasan

yang paling banyak terjadi adalah alasan karena mengandung mercury yaitu sebesar 50% dari

jumlah kasus sebanyak 12 kasus. Bad hygienic state terjadi sebanyak 3 kasus atau sebesar 25%,

mengandung histamine sebesar 17% dan tercenar cadmium sebesar 8%.

C.

ANALISIS PENYEBAB TERJADINYA KASUS PENOLAKAN PRODUK

PANGAN DI AMERIKA SERIKAT DAN EROPA SELAMA TAHUN

2002-2010

Sepanjang tahun 2002-2010 kasus penolakan produk pangan ekspor asal Indonesia cukup tinggi. Penolakan yang terjadi di Amerika Serikat oleh US-FDA sebanyak 2608 kasus dan di Eropa oleh Europa-RASFF sebanyak 35 kasus. Setiap tahunnya selama 2002-2010 jumlah kasus yang terjadi berbeda dengan rata-rata kasus per tahun di Amerika Serikat sebanyak 289 kasus dan di Eropa terjadi 4 kasus per tahunnya. Perbedaan jumlah kasus penolakan produk pangan yang terjadi disebabkan oleh sistem yang diberlakukan di negara tujuan yaitu Amerika Serikat dan Eropa. Di Amerika Serikat pengawasan produk pangan dilakukan oleh FDA yang berada di bawah naungan Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat. Peraturan yang ditetapkan

oleh FDA seperti yang tercantum dalam Federal Food, Drugs, and Cosmetic Act yang

didalamnya berisi peraturan berikut yang penting dalam ekspor produk pangan mengenani bahan bad hygienic state

25%

cadmium

8%

histamine 17% mercury

50%


(31)

30

yang rusak, label yang tidak sesuai dengan bahan yang terkandung, batas bahan makanan tambahan, batas maksimal residu kimia, sistem ekspor-ekspor, dan cara pendaftaran unit pengolahan. Selain itu adanya penahanan otomatis, yitu penahanan tanpa pengujian sampel secara fisik (detention without physical examination) membuat banyak produk pangan langsung menerima penolakan tanpa ada pengujian terhadap produk pangan tersebut terlebih dahulu.

Peraturan lain yaitu The Bioterorism ACT (TBA) juga berpengaruh terhadap perdagangan produk

pangan karena Amerika Serikat menentapkan peraturan baru tentang registrasi pengolahan pangan, pemberitahuan sebelum ekspor, dan pembuatan rekaman proses pengolahan (Cahya 2010). Ketatnya peraturan yang diberlakukan oleh FDA membuat banyaknya produk pangan Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat. Berbeda dengan di Amerika Serikat yang hanya satu negara, Uni Eropa merupakan gabungan dari beberapa negara di Eropa dan setiap negara memiliki lembaga tersendiri yang mengawasi produk pangan. Setiap negara juga memiliki standar mutu masing-masing untuk produk pangan sehingga kasus penolakan yang terjadi di Eropa lebih sedikit dibandingkan di Amerika Serikat. Produk pangan yang akan masuk ke salah satu negara di Eropa mungkin akan ditolak masuk tetapi belum tentu akan ditolak juga dinegara yang lain di Eropa. Hal ini yang membuat lebih banyak kasus produk pangan Indonesia bermasalah setelah masuk ke pasar di Eropa dibandingkan dengan yang mengalami penolakan langsung diperbatasan. Selain itu di Eropa, produk pangan yang bermasalah atau mengalami penolakan melalui RASFF akan diberitahukan kepada negara asal produk pangan tersebut sehingga negara asal dapat segera menangani masalah tersebut. Perbedaan sistem inilah yang membuat kasus penolakan produk pangan Indonesia di Eropa lebih sedikit terjadi.

Setiap tahun terjadi kenaikan atau penurunan jumlah kasus atau terjadi fluktuatif setiap tahunnya. Untuk kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat, menunjukan bahwa pada tahun 2002-2004 mengalami kenaikan jumlah kasus tetapi menurun pada tahun 2005. Tahun 2005-2007 jumlah kasus meningkat kembali dan menurun jumlahnya pada tahun 2008-2009, lalu kembali naik pada tahun 2010. Jumlah kenaikan atau penurunan jumlah kasus setiap tahunnya cukup berbeda. Pada tahun 2004 mengalami peningkatan jumlah kasus dan pada tahun 2005 mengalami penurunan jumlah kasus yang hampir sama. Setelah tahun 2005 terjadi kenaikan jumlah kasus sampai tahun 2007 dan menurun kembali pada tahun 2008 tetapi jumlah kasus yang terjadi masih di atas jumlah kasus pada tahun 2005 hingga naik kembali pada tahun 2010.

Sama seperti yang terjadi di Amerika Serikat, di Eropa juga mengalami perkembangan kasus yang fluktuatif setiap tahunnya. Penolakan produk pangan Indonesia atau produk pangan

yang mengalami border rejection di Eropa oleh Europa-RASFF menunjukan perkembangan yang

berbeda. Penolakan produk pangan Indonesia di Eropa selama tahun 2002-2010 tidak terjadi setiap tahunnya tetapi hanya terjadi pada tahun 2008-2010. Kasus penolakan baru terjadi pada tahun 2008 dengan 11 kasus yang menurun pada tahun 2009 menjadi 8 kasus. Pada tahun 2010 mengalami kenaikan jumlah kasus yang cukup besar yaitu sebesar 100% dari tahun 2009 menjadi 16 kasus.

Jumlah kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat dan di Eropa sangat berbeda jauh. Selama tahun 2002-2010, di Amerika Serikat terjadi 2608 kasus penolakan produk pangan, sedangkan di Eropa terjadi sebanyak 35 kasus penolakan produk pangan.

Perkembangan kasus yang terjadi setiap tahunnya oleh di Amerika Serikat maupun Eropa menunjukan bahwa kasus yang terjadi sulit untuk diketahui alasan penaikan atau penurunan kasus sehingga menunjukan perkembangan kasus yang fluktuatif. Penaikan atau penurunan yang terjadi setiap tahunnya terlihat tidak sama bahkan ada beberapa yang menunjukan penaikan atau penurunan yang sangat besar. Pengecualian terjadi pada kasus di Eropa oleh Europa-RASFF yaitu


(1)

69

Lampiran 53. Perkembangan kasus untuk alasan organoleptic characteristic, unauthorised irradiation, unauthorised use of color pada produk pangan yang menerima notification

oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Lampiran 54. Perkembangan kasus untuk alasan bad hygienic state, lead, other pada produk pangan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Lampiran 55. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk ikan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9

organoleptic characteristics unauthorised irradiation unauthorised use of colours

0.00

5.00 10.00 15.00 20.00 25.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9

bad hygienic state lead

other

34%

20% 19%

10%

7% 3% 7%

n = 184 kasus

mercury

carbon monoxide treatment

histamine

cadmium

unauthorised substances malachite green,crystal violet and leucomalachite green parasitic infestation


(2)

70

Lampiran 56. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk udang yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Lampiran 57. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk rempah-rempah yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Lampiran 58. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk daging yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

31%

28% 18%

5% 4%

14%

n = 77 kasus

prohibited subtance nitrofuran

(metabolite) furazolidone

prohibited subtance

chloramphenicol

vibrio spp.

too high count of aerobic

mesophiles cadmium

other

78%

8% 7%

7%

n = 27 kasus

aflatoxin salmonella spp.

organoleptic characteristics other

40%

40% 10%

10%

n = 10 kasus

parasitic infestation unauthorised irradiation prohibited subtance nitrofuran (metabolite) nitrofurazone prohibited subtance chloramphenicol


(3)

71

Lampiran 59. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk kacang yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Lampiran 60. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk buah dan sayuran yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Lampiran 61. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk permen yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

100%

n = 6 kasus

60% 20%

20%

n = 5 kasus

salmonella spp. glass fragments deterioration

50% 50%

n = 4 kasus

unauthorised use of color E127-erythrosine

suffocation risk as a result of the consumption


(4)

72

Lampiran 62. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk coklat yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Lampiran 63. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk lainnya yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

34%

33% 33%

n = 3 kasus

methyl bromide moulds

unauthorised irradiation

20%

20%

20%

20%

20%

n = 5 kasus

unsuitable organoleptic characteristics

undeclared milk ingredient

unauthorised use of colour of E102-tartrazine

too high count of enterobacteriaceae

prohibited subtance nitrofuran (metabolite) nitrofurazone


(5)

M. ANGGA SAPUTRA. F24070076. Analisis Alasan Penolakan Produk Pangan

Ekspor Indonesia Oleh Amerika Serikat Dan Eropa Selama Tahun 2002-2010. Di

bawah bimbingan Purwiyatno Hariyadi. 2011.

RINGKASAN

Perubahan global secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi perkembangan perdagangan internasional. Perubahan ini menuntut semua negara untuk berupaya optimal dalam menghasilkan produk ekspor yang berdaya saing. Salah satu syarat dalam menghasilkan produk ekspor yang berdaya saing adalah terjaminnya mutu dan keamanan produk khususnya produk pangan. Kasus penahanan dan penolakan produk pangan di luar negeri telah banyak terjadi setiap tahunnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengekspor produk pangan ke luar negeri sering mengalami berbagai kasus penolakan dan penahanan ekspor pangan yang sebagian besar disebabkan oleh masalah mutu dan keamanan yang dianggap tidak memenuhi persyaratan internasional. Semua hal tersebutlah yang menjadi dasar untuk melakukan analisis terhadap kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 2002 sampai 2010. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi lengkap mengenai kasus penolakan produk pangan ekspor Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa selama 2002-2010.

Penelitian ini terbagi menjadi 3 tahap yaitu (1) pengumpulan data, (2) pengelompokan data, dan (3) analisis data. Pada penelitian tahap 1, data diperoleh dengan cara mengakses data ke website (www.fda.gov) melalui internet yang dipublikasikan oleh US-FDA (United State-Food and Drug Administration) dan ke website (www.ec.europa.eu) melalui internet yang di publikasikan oleh Europa-RASFF (Europa-Rapid Alert System for Food and Feed). Data yang diambil adalah data kasus penolakan produk pangan ekspor Indonesia dari tahun 2002 sampai 2010.

Hasil pengumpulan data menunjukan bahwa selama tahun 2002-2010 Indonesia mengalami 2608 kasus penolakan produk pangan di Amerika Serikat dan sebanyak 327 kasus produk pangan bermasalah di Eropa dengan 35 kasus produk pangan mengalami penolakan.

Hasil pengelompokan data menunjukan bahwa produk pangan ekspor Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat terdiri dari 20 jenis produk pangan yaitu produk ikan dengan 1300 kasus, produk udang dengan 571 kasus, crabs produk kepiting sebanyak 217 kasus, produk minuman sebanyak 85 kasus, produk bumbu-bumbuan sebanyak 77 kasus, rempah-rempah sebanyak 43 kasus, cumi-cumi sebanyak 39 kasus, produk permen dan produk kue masing-masing sebanyak 29 kasus, produk saus dan kecap sebanyak 27 kasus, produk kerupuk sebanyak 22 kasus, gula sebanyak 18 kasus, produk kari sebanyak 13 kasus, salad dressing sebanyak 12 kasus, agar-agar dan jeli, produk mie serta semur masing-masing 11 kasus, produk biskuit sebanyak 10 kasus dan produk lainnya sebanyak 83 kasus. Produk pangan yang mengalami penolakn di Eropa terdiri dari produk ikan sebanyak 12 kasus, rempah-rempah sebanyak 7 kasus, produk kacang sebanyak 4 kasus, produk daging, produk cumi-cumi dan kepiting masing-masing sebanyak 3 kasus, dan buah dan sayuran, permen dan produk campuran lainnya masing-masing sebanyak 1 kasus.

Hasil analisis data penolakan produk pangan Indonesia selama tahun 2002-2010 menunjukan bahwa produk ikan merupakan produk pangan dengan jumlah kasus penolakan terbanyak. Produk ikan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat sebanyak 1300 kasus dan di Eropa sebanyak 12 kasus. Penolakan produk ikan ini didasarkan atas alasan yang terjadi pada produk ikan tersebut sehingga mengalami penolakan. Alasan terjadinya kasus penolakan pada produk ikan di Amerika


(6)

Serikat adalah filthy, sedangkan pada kasus penolakan di Eropa adalah karena tercemar atau mengandung mercury.

Perkembangan kasus penolakan produk pangan yang terjadi setiap tahunnya selama tahun 2002-2010 yang dialami oleh Indonesia menunjukan perkembangan yang fluktuatif. Selama tahun 2002-2010 indonesia mengalami kasus penolakan terbanyak di Amerika Serikat yaitu pada tahun 2004 sebanyak 367 kasus dan terendah pada tahun 2002 sebanyak 203 kasus dengan rata-rata jumlah kasus pertahunnya sebesar 289 kasus, sedangkan kasus penolakan yang terjadi di Eropa selama tahun 2002-2010 hanya terjadi pada tahun 2008, 2009, dan 2002-2010. Perkembangan kasus yang terjadi bersifat fluktuatif atau naik turun sehingga sulit untuk mencari tahu penyebab kasus yang terjadi sepanjang tahunnya selama tahun 2002-2010.

Berdasarkan diagram pareto untuk kasus yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, ditentukan masalah utama terjadinya kasus penolakanj produk pangan yaitu produk ikan asal Indonesia adalah

filthy dan mercury. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya masalah tersebut berdasarkan diagram ishikawa adalah faktor manusia dan lingkungan. Lingkungan tempat pengolahan produk pangan harus jauh dari sumber pencemaran, sarang hama, dan memiliki bangunan yang dirancang dengan baik agar alasan filthy dan tercemar merkuri dapat dihindari. Faktor manusia, dalam hal ini adalah nelayan dan karyawan, harus memiliki keahlian dalam penanganan dan pengolahan pangan yang baik serta memiliki tingkah laku yang baik pula agar kontaminasi terhadap produk akibat keahlian serta tingkah laku yang kurang baik dapat dihindari.