Seleksi Sampel Statistik Deskriptif

commit to user 48

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menjelaskan mengenai deskripsi data, pengujian hipotesis dan pembahasan hasil pengujian yang telah dilakukan dalam penelitian. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda dengan bantuan program SPSS release 16.

A. Deskriptif Data

Analisis deskriptif data terdiri dari seleksi sampel dan statistik deskriptif.

1. Seleksi Sampel

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa annual report tahun 2005 sampai dengan 2009. Data ini diperoleh dari situs www.idx.co.id dan situs masing – masing perusahaan sampel. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh BUMN yang terdaftar di BEI dari tahun 2005-2009 yaitu 67 BUMN. BUMN yang menjadi sampel adalah BUMN yang memenuhi kriteria tertentu yang sudah dijelaskan di Bab III. Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut, maka jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 65, namun ternyata hanya terdapat 48 BUMN yang menyediakan data dan informasi secara lengkap terkait corporate governance dalam annual report-nya. Oleh karena itu, pengolahan dan pengujian data hanya dilakukan pada 48 BUMN, nama perusahaan sampel dapat dilihat di Lampiran II. commit to user 49

1. Statistik Deskriptif

Bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai hasil penghitungan statistik deskriptif dari masing-masing variabel dalam penelitian Lampiran III. Informasi mengenai statistik deskriptif tersebut meliputi: nilai rerata mean, standar deviasi, nilai minimum dan maksimum. Pengungkapan wajib sebagai variabel dependen dalam penelitian ini diperoleh dari item pengungkapan yang mengacu pada PSAK No. 21 tahun 2007 akuntansi ekuitas. Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa nilai rerata pengungkapan wajib berdasarkan PSAK No. 21 akuntansi ekuitas untuk 48 BUMN adalah sebesar 54,16 partly comply. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa kepatuhan pengungkapan wajib ekuitas pada BUMN di Indonesia masih rendah, mengingat pengungkapan ekuitas merupakan salah satu pengungkapan wajib yang diharuskan oleh PSAK No. 21, dimana seharusnya tingkat kepatuhannya adalah 100,00. Rendahnya rerata pengungkapan wajib dapat mengakibatkan informasi yang disajikan kurang informatif dan menyebabkan asimetri informasi yang merugikan stakeholder. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab maraknya kasus BUMN yang terjadi di Indonesia Salah satu kasus BUMN di Indonesia terkait dengan pengungkapan laporan keuangan yaitu skandal manipulasi laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk. pada tahun 2001. Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus dugaan penggelembungan mark up laba bersih di laporan keuangan perusahaan milik negara untuk tahun buku 2001, commit to user 50 dimana mencatat laba bersih 2001 sebesar Rp 132,3 miliar http:davidparsaoran.wordpress.com, 2009. Hal ini menunjukkan bahwa adanya rekayasa keuangan. Badan Pengawas Pasar Modal Bapepam menilai kesalahan pencatatan dalam laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di pasar modal dan menimbulkan pernyataan yang menyesatkan kepada pihak yang berkepentingan, terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar sehingga diperlukan lagi audit ulang laporan keuangan per 31 Desember 2001 dan laporan keuangan per 30 Juni 2002 yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik http:davidparsaoran.wordpress.com, 2009. Kasus tersebut menunjukkan bahwa pengungkapan laporan keuangan secara akurat penting agar stakeholders dapat mengambil keputusan yang tepat dan juga menunjukkan lemahnya penerapan corporate governance karena perbuatan mantan direksi dalam memanipulasi laporan keuangan perusahaan. Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Variabel Dependen Variabel Mean Min Max St. Deviasi PW 54,16 43,00 63,00 0,054 Dari 48 BUMN terdapat 28 BUMN yang mempunyai skor pengungkapan di atas rerata, sedangkan 20 BUMN lainnya mempunyai pengungkapan di bawah rerata. Nilai minimum 43,00 untuk pengungkapan wajib pada penelitian ini diperoleh PT Kimia Farma Tbk. tahun 2005 dan PT Bukit Asam Tbk. tahun 2009. Perusahaan tersebut hanya mengungkapkan 15 item dari 35 item. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan belum melakukan pengungkapan commit to user 51 sebagaimana yang dipersyaratkan oleh PSAK No. 21. Nilai maksimum 63,00 dalam pengungkapan wajib pada penelitian ini diperoleh PT BNI Tbk. pada tahun 2007 dan 2008 dan PT Bank Mandiri Tbk. pada tahun 2009 dengan mengungkapkan 22 item dari 35 item. Sebagai perbandingan rerata pengungkapan wajib di Indonesia, Setyadi et al 2006 meneliti mengenai tingkat pengungkapan wajib dengan jumlah sampel 160 laporan tahunan perusahaan di Indonesia pada tahun 2006, hasilnya menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan persediaan sebesar 71,63, aktiva tetap sebesar 51,13, dan depresiasi sebesar 99,69. Pada tabel 4.2 di bawah ini dijelaskan statistik deskriptif dari variabel independen penelitian. Hasil dari perhitungan tersebut ditampilkan pada tabel 4.2 berikut: Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Variabel Independen Variabel Mean Min Max St. Deviasi BSIZE KOMIND 5,42 45,32 2,00 20,00 7,00 71,43 1,145 11,356 RPTDK 22,10 4,00 76,00 13,894 KOMKAI 91,45 40,00 100,00 12,691 RPTKA 24,27 11,00 72,00 11,141 Sumber: hasil pengolahan data Abeysekera 2008 mengungkapkan bahwa jumlah dewan komisaris di Kenya dinilai efektif berada pada rentang lebih dari 5 lima orang dan kurang dari 14 orang. Berdasarkan tabel 4.2, rerata jumlah dewan komisaris adalah 5 orang. Menurut Muntoro 2006, ukuran dewan komisaris yang efektif dipengaruhi oleh 1 ukuran dewan direksi, 2 jenis industri, 3 risiko yang commit to user 52 dihadapi dan 4 komite yang ada, sehingga jumlah dewan komisaris yang dinilai efektif bagi perusahaan akan berbeda. Jumlah dewan komisaris paling sedikit dimiliki oleh PT Kimia Farma Tbk. pada tahun 2005 yang hanya memiliki dua anggota dewan komisaris. Hal tersebut menunjukkan kurangnya pelaksanaan corporate governance pada PT Kimia Farma Tbk. pada tahun 2005. Hal ini memungkinkan lemahnya pengawasan dewan komisaris terhadap manajemen sehingga berdampak pada rendahnya kepatuhan pengungkapan wajibnya yaitu sebesar 43,00 pada tahun 2005. Ada beberapa perusahaan yang memiliki jumlah dewan komisaris yang paling banyak, sebanyak 7 orang, salah satunya yaitu Bank Mandiri, dimana memiliki anggota dewan komisaris sebanyak 7 orang dari tahun 2005 sampai dengan 2007. Rerata komposisi komisaris independen adalah 45,32. Berdasarkan peraturan keberadaan komisaris independen yang diatur Bursa Efek Jakarta melalui Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-305BEJ07-2004 , persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah 30,00 dari seluruh anggota dewan komisaris, maka jumlah rerata komposisi komisaris independen dalam penelitian ini telah mencukupi persyaratan tersebut. Komposisi komisaris independen tertinggi sebesar 71,43 diperoleh PT Bank Mandiri Tbk. pada tahun 2007, sedangkan komposisi komisaris independen terendah diperoleh PT Adhi Karya Tbk. tahun 2005 yaitu sebesar 20,00. Perusahaan yang memiliki komposisi komisaris independen di bawah 30,00 mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut belum memenuhi persyaratan jumlah keberadaan komisaris independen menurut peraturan BEJ, namun sudah memenuhi peraturan Surat commit to user 53 Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117M-MBU2002, dimana komposisi komisaris independen paling sedikit sebesar 20,00. Dalam menjalankan tugasnya, dewan komisaris biasanya mengadakan pertemuan rutin. Berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No: KEP-117M- MBU2002, rapat dewan komisaris harus diadakan secara berkala, yaitu pada prinsipnya sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan, tergantung sifat khusus BUMN masing-masing. Rerata rapat dewan komisaris dalam penelitian ini adalah 22 kali. Jumlah rapat dewan komisaris tertinggi adalah 76 yang diperoleh PT BNI Tbk. pada tahun 2006. Jumlah rapat dewan komisaris terendah diperoleh PT Wijaya Karya Tbk. yaitu hanya 4 kali selama tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran perusahaan akan ketentuan yang telah ditetapkan. Agar peran pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris perusahaan di Indonesia berjalan dengan baik dan memadai, maka dewan komisaris perlu membentuk suatu komite yang dinamakan komite audit. Sesuai dengan Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-29PM2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan dan pengelolaan perusahaan. Menurut Herwidayatmo 2000, komite audit independen adalah anggota komite yang tidak memiliki hubungan usaha maupun afiliasi dengan perusahaan, direktur, komisaris, maupun pemegang saham utama. Berdasarkan tabel 4.2 rerata komposisi komite audit independen sebesar 91,45. Beberapa perusahaan memiliki komposisi komite audit independen commit to user 54 sebanyak 100,00, sedangkan komposisi komite audit independen terendah sebesar 40,00 diperoleh PT Aneka Tambang Tbk. pada tahun 2009. Agar tugas dan fungsi komite audit dalam membantu dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, komite audit minimal mengadakan rapat tiga sampai empat kali dalam satu tahun FCGI, 2001. Berdasarkan Peraturan Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-29PM2004 dan Peraturan Menteri BUMN Nomor: Per-05MBU2006, komite audit mengadakan rapat sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan minimal rapat dewan komisaris yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Rerata rapat komite audit dalam penelitian ini adalah 24 kali. Jumlah rapat komite audit tertinggi diperoleh PT Telekomunikasi Tbk. dengan jumlah 72 kali rapat komite audit pada tahun 2007, sedangkan jumlah rapat komite audit terendah diperoleh PT Wijaya Karya Tbk. pada tahun 2008, dimana hanya mengadakan rapat komite audit 11 kali. Berdasarkan hasil statistik deskriptif dan penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa rerata kepatuhan pengungkapan wajib sebesar 54,16; rerata ukuran dewan komisaris adalah 5 orang; rerata komposisi komisaris independen adalah 45,32; rerata jumlah rapat dewan komisaris sebanyak 22 kali; rerata komposisi komite audit independen sebesar 91,45; dan rerata jumlah rapat komite audit sebanyak 24 kali. commit to user 55

B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan