Tinjauan Umum Arbitrase LANDASAN TEORI

Dalam bisnis asuransi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap nasabah asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana premi yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial tabarru. g. Larangan riba Riba secara bahasa bermakan ziyadah tambahan. Dalam pengertian lain, riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. h. Larangan maisir Syafii Antonio mengatakan bahwa unsur maisir judi artinya adanya salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa periodenya, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. i. Larangan gharar Gharar menurut bahasa adalah al-khida penipuan, yaitu suatu tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan

B. Tinjauan Umum Arbitrase

1. Pengertian arbitrase syariah

Kata arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dalam istilah bahasa Inggris arbitrase disebut arbitration. Sedangkan pengertian arbitrase secara umum di Indonesia, menurut para pakar hukum adalah sebagai berikut : Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter. R. Subekti, mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. 24 Sudargo Gautama, menyatakan bahwa arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk dilkanakan karena akan ditaati para pihak. 25 24 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bandung: Bina Cipta, 1979, h.1 25 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1979, h. 5 Abdulkadir Muhammad, menyatakan bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalm perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas dari para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata. 26 Faturrahman Jamil mengatakan bahwa: “pengertian arbitrase dalam bahasa konvensional sekarang ini dipersamakan dengan istilah tahkim dalam hukum Islam yang artinya: pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai. 27 Menurut Undang-Undang Nomor. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa, arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan arbitrase dalam perspektif Islam arbitrase syariah dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata kerja 26 Absul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: PT Citra Aditiya, 1992, h.276 27 Khairul Wasif, Arbitrase Islam Di Indonesia, Jakarta: BAMUI, 1994, h. 31 hakkama . 28 Secara etimologis, kata itu berarti menjadikan seorang menjadi pencegah suatu sengketa. Secara teknis tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal saat ini, yaitu : Pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai. Kata sinonim yang digunakan adalah muhakkam, sedang wasit atau arbiter digunakan istilah hakam, yaitu yang menyelesaikan perselisihan. Arbitrase menurut para pakar hukum islam dari empat imam Mahzab mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut: 29 a. Kelompok Hanafiyah, berpendapat bahwa memisahkan persengketaan atau memutuskan pertikaian atau menetapkan hukum antara manusia dengan yang hak dan atau ucapan yang mengikat yang keluar dari yang mempunyai kekuasaan secara umum b. Kelompok Malikyah, berpendapat bahwa hakikat qadlha adalah pemberitaan terhadap hukum syari’I menurut jalur yang pasti mengikat atau sikap hukum yang mewajibkan bagi pelaksanaan hukum Islam walaupun dengan ta’dil atau tarjih tindak untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum. c. Kelompok Syafi’I, berpendapat bahwa memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah SWT. Atau 28 Luis Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1994, h.146 29 A Rahmat Rosyadi, Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002, cet-1, h. 44 menyatakan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa wajib melaksanakannya. d. Kelompok Hanabilah, berpendapat bahwa penjelasan dan kewajibannya serta penyelesaiannya antara para pihak. Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa arbitrase syariah adalah suatu cara penyelesaian sengketa para pihak yang dilakukan oleh wasit hakam di luar lembaga peradilan berdasarkan kesepakatan baik sebelum atau sesudah terjadinya sengketa secara syariah.

2. Dasar Hukum Arbitrase Syariah

Dasar hukum yang mengokohkan eksistensi tahkim arbitrase Islam terdapat di dalam Al-quran, sunnah, dan ijma. Al-quran dan sunnah sebagai sumber hukum yang paling utama memberikan petunjuk kepada manusia apabila terjadi sengketa di antara para pihak, apakah di bidang politik, keluarga, ataupun bisnis. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Al-quran surat An-Nissa ayat 35 : -ﻡ :2 B1 -ﻡ :2 C ﺏ D 8ﺏ E F B1 GH : 8 F :8 3 8ﺏ ID : , ? JK Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Q.S. An-Nisaa : 4 : 35 L B 8ﺏ1 - L B -ﺏ M - M -ﺏ N -ﺏ B O 1 P B 2 B ﺱ ﺱ 8 R H R S ﺱ; D S D ﺱ 8 R H R S ﺱ; T D 2U ﺏ1 2U B R U ﺏ 2 D 2U 8 S D V 2 W 1 L8 D F X Wﻡ Y ﺏ Z2UD 8 D [ W 3 G 8 - \ Y S ﻡ ? - B . D ] ﻡ - V Y S W M R ﻡ ? Y S D - 3 B Y V S M \ Y S H R 8 ﺱ D4 Z ﺏ M ? T ; Artinya: “Yazid Ibn al-Miqdam bin Syuraih menceritakan kepada kami, riwayat dari Syuraih bin Hani dari ayahnya Hani, bahwa ketika ia Hani menemui Rasulullah SAW banyak orang memanggilnya dengan panggilan Abul Hakam, kemudian Rasul memanggil Hani seraya bersabda: sesungguhnya Hakam itu adalah Allah dan kepada- Nyalah dimintakan hukum. Mengapa kamu dipanggil Abu al-Hakam?” Abu Syuraih menjawab: jika kaumku bersengketa maka mereka mendatangiku untuk meminta penyelesaian dan kedua belah pihak akan rela dengan putusanku”, kemudian nabi mengomentari jawaban Abu Syuraih : “Alangkah baiknya perbuatanmu ini Apakah kamu mempunyai anak ?”. Abu Syuraih menjawab: “Ya, saya punya anak yaitu Syuraih, ‘Abdullah, dan Musallam”. Siapa yang paling tua? “. Tanya Nabi. Jawab Abu Syuraih: “Syuraih” kata Rasul: “kalau begitu, engkau adalah Abu Syuraih”. HR. Al-Nasa’i. 30 Adapun dasar hukum yang ketiga adalah Ijma ulama, yang telah memperkuat tentang adanya lembaga arbitrase Islam untuk mengantisipasi persengketaan para pihak dalam berbagai aspek kehidupan. Penyelesaian sengketa setelah wafat Rasulullah SAW, banyak dilakukan pada masa sahabat 30 Abdurrahman Ibn Syu’aib al-Nasa’I, Juz VIII Bab “Idza Hakamu Rajulan Faqadha Bainahum” Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1138 H, h. 199 dan ulama untuk menyelesaikan sengketa dengan cara mendamaikan para pihak melalui musyawarah dan konsensus antara mereka sehingga menjadi Yurisprudensi Hukum Islam dalam beberapa kasus. Keadaan Ijma sahabat atau ulama sangat dihargai dan tidak ada yang menentangnya, karena tidak semua masalah sosial keagamaan tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah secara rinci. Bahkan, Khalifah Umar bin Khattab pernah mengatakan, bahwa tolaklah permusuhan hingga mereka damai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian di antara mereka. Sedangkan dasar hukum arbitrase yang berlaku secara positif dapat dijelaskan bahwa, Alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat umum, yaitu Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi, Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan Undang- undang No. 32 tentang Tata Letak Sirkuit Terpadu.

3. Macam-macam Arbitrase

Secara umum orang mengenal dua macam arbitrase dalam praktek, yaitu sebagai berikut : a. Arbitrase Ad-Hoc Volunter Arbitrase Disebut dengan arbitrase ad-hoc atau volunteer arbitrase karena sifat dari arbitrase ini yang tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad-hoc ini pun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Para arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan dan penentuan hal- hal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. 31 Dalam arbitrase ad hoc proses beracara dalam arbitrase ditentukan sendiri oleh para pihak menurut ketentuan yang lazim berlaku, atau jika dikehendaki dapat diikuti proses beracara pengadilan. Pada arbitrase ad hoc para pihak dapat mengatur cara-cara bagaimana pelaksanaan pemilihan arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan aparatur administrasi dan arbitrase. Namun demikian dalam pelaksanaannya, arbitrase ad hoc ini memiliki kesulitan antara lain kesulitan dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan prosedural dan arbitrase serta kesulitan dalam merencanakan metode- metode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak. Karena 31 Gunawana Wijaya dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001, Cet. Ke-2, h. 19 ada beberapa kesulitan itu sering kali dipilih bentuk arbitrase kedua yaitu arbitrase institusional. b. Arbitrase Institusional Lembaga Arbitrase Sedikit berbeda dari arbitrase ad-hoc, arbitrase institusional keberadaannya praktis bersifat permanen, dan karenanya juga dikenal dengan nama permanent arbitral body. Arbitrase institusional ini merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk menyelesaikan sengketa terbit dari kalangan dunia usaha hampir dari semua Negara-negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang pada umumnya pendiriannya diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Negara tersebut. Lembaga arbitrase ini mempunyai aturan main sendiri- sendiri yang telah dibakukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa penunjukan lembaga ini berarti menunjukkan diri pada aturan-aturan main dari lembaga ini. Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat dari peraturan- peraturan yang berlaku untuk masing-masing lembaga tersebut. 32 Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen karena sering juga disebut “Permanent Arbitral Body” sebagaimana dalam pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958, arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. 32 Ibid ., h. 20 Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc yang dibentuk setelah perselisihan timbul. Selain itu arbitrase institusional ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai. Arbitrase institusional, proses beracara dalam arbitrase institusional biasanya memutus proses beracara yang sudah baku menurut ketentuan lembaga tersebut. Dalam arbitrase institusional, di samping ketentuan yang berlaku umum tata cara pengangkatan arbiter biasanya sudah ditentukan oleh lembaga tersebut, termasuk perlawanan yang mungkin ditiadakan terhadap arbiter yang ditunjuk. Selain itu bagi arbitrase institusional, proses beracara dalam arbitrase institusional biasanya memutuskan proses beracara yang sudah baku menurut lembaga tersebut.

4. Syarat – Syarat Menjadi Arbiter

Syarat-syarat Arbiter menurut ketentuan pasal 12 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 33 a. Cakap melakukan tindakan hukum; b. Berumur paling rendah 35 tahun; c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; d. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun; Dengan ketentuan bahwa hakim, jaksa, panitera, dan pejabat-pejabat lainnya tidak dapat di tunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Ketentuan yang mengatur mengenai berakhirnya tugas arbiter dalam bab dapat kita temui dalam bab VIII dari pasal 73 sampai dengan pasal 75 Undang-undang No 30 tahun 1999. Dalam pasal 73 Undang-undang tahun 1999 dikatakan bahwa tugas arbiter berakhir karena: 34 a. Putusan mengenai sengketa telah di ambil; 33 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bsinis: Seri Hukum Bsinis Hukum Arbitrase , Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003, Cet -3, h. 60 34 Ibid., 78 b. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah di perpanjang oleh para pihak telah lampau; atau c. Para pihak sepakat untuk menarik kembali pertunjukan arbiter; Sedangkan dalam Anggaran Rumah Tangga ART BASYARNAS pasal 5 dijelaskan syarat-syarat untuk diangkat menjadi arbiter sebagai berikut: 35 a. Beragama Islam yang taat menjalankan agamanya dan tidak terkena larangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Ahli dalam ilmu, baik murni maupun terapan dan telah mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun dalam bidangnya; c. Memiliki integritas, kredibilitas serta nama baik di masyarakat; d. Menyatakan setuju dan menerima segala ketentuan yang ada dan peraturan prosedur beracara yang berlaku di dalam Badan Arbitrase Syariah Nasional; e. Mengisi dan menandatangani formulir isian yang disiapkan oleh Badan Pengurus dan siap untuk dilantik sebagai arbiter Badan Arbitrase Syariah Nasional; Berakhirnya masa ke-anggotaan sebagai arbiter, dikarenakan sebagai berikut: 36 a. Meninggal dunia 35 Achmad Djauhari, Arbitrase Syariah Di Indonesia, Jakarta: BASYARNAS, 2006, h.57 36 Ibid.,h. 57-58 b. Atas permintaan sendiri c. Menduduki jabatan yang berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku dilarang untuk menjadi arbiter d. Diberhentikan dengan alasan karena tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai arbiter danatau melakukan perbuatan yang tercela dipandang dari agama Islam. Seorang arbiter memiliki tugas pokok sebagai berikut: 37 a. Memeriksa dan memberi putusan arbitrase dalam jangka waktu yang telah ditentukan menurut pasal 48, paling lama 180 hari sejak penunjukanpengangkatannya; b. Bersikap independen dalam menjalankan tugasnya demi mencapai suatu putusan yang adil dan cepat bagi para pihak yang beda pendapat, berselisih paham maupun yang bersengketa; c. Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbitermajelis arbiter harus terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa pasal 45 ayat 1; d. Apabila usaha mendamaikan tersebut berhasil, maka arbitermajelis arbiter membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut; 37 Djauhari, Arbitrase Syariah Di Indonesia, h. 58 Tugas arbiter berakhir sebagaimana diatur dalam pasal 37 UU. No. 301999, adalah sebagai berikut: 38 a. Apabila putusan mengenai sengketa telah diambil; b. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah dilampaui; c. Para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter;

C. Tinjauan Umum Mediasi