Keanekaragaman Burung Pantai dan Potensi Makanan di Kawasan Pantai Baru Kecamatan Pantai Labu Deli Serdang Sumatera Utara

(1)

(2)

Lampiran 2. Bagan Kerja Tekstur Tanah

Disaring 10 mesh sebanyak 25 gram

Dimasukkan tanah kedalam tabung Erlenmeyer Ditambahkan Natrium piroposfat 50 ml

Digoncang selama 15 menit Diinkubasi selama 1 hari

Dimasukkan dalam tabung 500 ml

Ditambahkan aquades hingga volume mencapai

500 ml

Diaduk 20 kali Didiamkan 40 detik

Dimasukkan hydrometer (Pembacaan I) Dibiarkan selama 3 jam

Dimasukkan hydrometer (Pembacaan II) Dihitung persentase fraksi pasir, debu, dan liat Tanah


(3)

Lampiran 3. Bagan Kerja Kadar Orgaik

Dihomogenkan

Dikeringkan dalam oven 450

Dihaluskan/digerus dengan lumpang Dikeringkan di dalam oven 450 C selama 1 jam

Ditimbang sebanyak 5 gram

Dibakar dalam tungku pembakar pada suhu 6000 C selama 3 jam

Ditimbang berat abu Substrat dasar pada titik

pengamatan

Berat konstan tanah

5 gram tanah

Abu

Hasil


(4)

Lampiran 4. Klasifikasi dan Deskripsi Burung Pantai

No. Gambar Klasifikasi Deskripsi

1.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Charadriidae G : Pluvialis

Sp : Pluvialissquatarola

Berukuran sedang (28 cm), paruh pendek dan kuat, tubuh bagian atas abu-abu kecoklatan, tubuh bagian bawah keputih-putihan. Sewaktu terbang, tungging dan bagian sisi atas ekor putih, ada garis pada sayap serta bercak ketiak hitam pada pangkal sayap bawah yang putih. Iris coklat, paruh hitam, tungkai abu-abu.

2.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Charadriidae G : Pluvialis S : Pluvialis fulva

Berukuran sedang (25 cm), bertubuh kekar dengan kepala besar dan paruh pendek besar. Berwarna kuning coklat keemasan dengan garis mata, sisi mukadan bagian tubuh bawah pucat. Tidak ada warna kontras pada garis sayap sewaktu terbang. Iris coklat, paruh hitam dan tungkai abu-abu.


(5)

3.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Charadriidae G : Charadrius

S : Charadriusalexandrinus

Berukuran kecil (15 cm), berwarna coklat dan putih, berparuh pendek. Ada garis putih jelas pada sayap sewaktu terbang. Pada sisi dada terdapat bercak hitam (jantan) tau coklat (betina). Iris coklat, paruh dan kaki hitam.

4.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Charadriidae G : Charadrius

S : Charadrius mongolus

Berukuran sedang (20 cm), berparuh pendek, berwarna abu-abu, coklat dan putih. Garis putih pada sayap terlihat samar sewaktu terbang. Iris coklat, paruh hitam dan lurus, kaki abu-abu gelap.


(6)

5.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Charadriidae G : Charadrius

S : Charadrius leschenaultii

Berukuran sedang (22 cm), berwarna abu-abu, coklat dan putih. Tidak memiliki garis dada atau garis kerah. Iris coklat, paruh hitam dan tebal, kaki abu-abu kehijauan.

6.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Charadriidae G : Charadrius

S : Charadrius veredus

Berukuran sedang (23 cm), berwarna coklat dan putih. Sewaktu terbang, sayap bawah (termasuk ketiaknya) terlihat putih. Iris merah tua, paruh coklat-hijau zaitun dan pendek, kaki kuning sampai jingga.


(7)

7.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Numenius

S : Numenius arquata

Berukuran sangat besar (55 cm), berwarna coklat bercoret. Kaki panjang dan paruh sangat panjang dan melengkung ke bawah. Tunggir putih berubah menjadi putih dan bergaris coklat pada ekor. Sayap bawah putih. Iris coklat, paruh coklat, kaki biru keabu-abuan.

8.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Numenius

S : Numenius phaeopus

Berukuran besar (43 cm), berwarna coklat bercoret dengan alis pucat. Garis mahkota hitam, kaki panjang dan paruh melengkung ke bawah. Iris coklat, paruh hitam dan lebih pendek dibandingkan Numenius arquata, kaki coklat kehitaman.


(8)

9.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Numenius

S : Numenius madagascariensis

Berukuran besar (57 cm), berwarna cklat bercoret, kaki panjang, berwarna gelap dan coklat, tunggir dan ekor coklat, bagian bawah kuning kebo. Ketika terbang sayap bawah bergaris. Iris coklat, paruh hitam dengan dasar merah jambu dan paruh sangat panjang serta melengkung kebawah.

10.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Limosa

S : Limosalapponica

Berukuran besar (37 cm), kaki panjang. Bagian atas berbintik abu-abu dan coklat. Alis putih jelas, pada dada terdapat sedikit warna abu-abu. Ciri khas: garis sayap sempit berwarna pucat, gais-gariscoklat sempit di atas tunggir dan ekor yang putih. Iris colat, paruh sedikit melengkung ke atas, pangkal paruh merah jambu dan ujung hitam, kaki hijau gelap atau abu-abu.


(9)

11.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Arenaria

S : Arenariainterpres

Berukuran sedang (23 cm), kaki dan tungkai jingga terang. Pada kepala dan dada terlihat suatu pola yang rumit dank has dari warna-warna hitam, coklat dan putih. Bentuk paruh merupakan cirri khas. Sewatu terbang dilihat dari atas berpola hitam dan putih tebal. Iris coklat, paruh hitam dan pendek.

12.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Tringa

S : Tringa totanus

Berukuran sedang (28 cm), kaki jingga kemerahan. Bagian atas abu-abu kecoklatan, bagian bawah putih, dada bercoretan coklat. Sewaktu terbang tunggit yang putih terlihat jelas dan bulu sekunder yang putih memberikan kesan yang jelas di pinggir sayap. Ekor seluruhnya bergaris-garis halus hitam dan putih. Iris coklat, pangkal paruh merah dan ujung hitam, kaki jingga merah.


(10)

13.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Tringa

S : Tringa cinereus

Berukuran sedang (23 cm), berwarna abu-abu. Bagian atas abu-abu, alis putih, bulu primer hitam mencolok. Bagian bawah putih, kaki relatif pendek dan berwarna jingga. Pinggir belakang yang putih dan sempit pada sayap terlihat mencolok sewaktu terbang. Iris coklat, paruh panjang dan sedikit melengkung ke atas berwarna hitam dengan dasar kuning.

14.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Tringa

S : Tringa hypoleucos

Berukuran agak kecil (20 cm), berwarna coklat dan putih. Bagian atas coklat, bulu terbang kehitaman. Bagian bawah putih dengan bercak abu-abu coklat pada sisi dada. Cirri khas sewaktu terbang adalah sayap garis saya putih, tunggir tidak putih, ada garis putih pada bulu ekor terluar. Iris coklat, paruh abu-abu gelap dan pendek, kaki hijau zaitun pucat.


(11)

15.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Calidris

S : Calidris canutus

Berukuan sedang (24 cm), gemuk. Kaki pendek keabu-abuan. Bagian atas abu-abu bersisik-sisiksamar, bagian bawah keputih-putihan. Leher, dada dan sisi lambung sedikit kuning kebo. Sewaktu terbang terlihat garis sayap putih sempit dan tunggir abu-abu pucat. Iris coklat gelap, paruh hitam dan agak pendek, kaki hijau kekuningan.

16.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Calidris

S : Calidris ruficolis

Berukuran kecil (15 cm), berwarna coklat keabu-abuan denga kaki hitam dan bagian atas pucat bercoret. Bagian atas coklat keabu-abuan, berbintik dan bercoret. Alis mata putih. Pusat tungging dan ekor gelap, sisi ekor dan bagian bawah putih. Iris coklat, paruh dan kaki hitam.


(12)

17.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Calidris

S : Calidris ferruginea

Berukuran agak kecil (21 cm). tungging putih. Bagian atas umumnya abu-abu, bagian bawah putih. Alis, setrip sayap, dan palang pada bulu atas penutup ekor putih. Iris coklat, paruh hitam panjang dan melengkung ke bawah, kaki kekuningan sampai hijau.

18.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Calidris S : Calidris alba

Erukuran agak kecil (20 cm), berwan abu-abu dengan pundak hitam mencolok. Tampak lebih putih daripada jenis kedidi lain, dengan palang putih pada saya sewaktu terbang. Bagian tengah ekor gelap, sisi-sisinya putih. Cirri khasnya tidak ada jari belakang. Iris coklat tua, paruh dan kaki hitam.


(13)

19.

K : Animalia Ph : Chordata C : Aves

O : Charadriiformes F : Scolopacidae G : Limicola

S : Limicola falcinellus

Berukuran agak kecil (17 cm). sering tampak nyata berbercak kapal hitam, dengan alis ganda putih yang jelas. Bagian atas blorok abu-abu coklat, bagian bawah putih berlorek pada dada. Tunggir dan ekor hitam ditengahnyadan putih disisinya. Iris coklat, paruh hitam dan membengkok ke bawah, kaki coklat kehijauan.


(14)

Lampiran 5. Foto Jenis Makrozoobentos

Anadara gubernaculum Sinovacula virens

Pholas orientalis Solen truncata


(15)

Lampiran 6. Data Makrozoobentos per Kedalaman

Kedalaman

(cm) Kelas Nama Spesies

Ulangan

Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

5

Bivalvia Corbula ovulata 313 570 114 427 356

Donax faba 85 - 28 - 28

Geukensia demissa - 142 85 - 57

Mactra violacea 57 28 142 142 92

Mytella falcata - 370 142 - 128

Pholas orientalis - - 57 - 14

Sinovacula virens 1.168 1.254 598 256 819

Solen truncata 28 - - 114 36

Gastropoda Nassarius stolatus - 2.793 - - 698

Phascolosomatidea Phascolosoma lurco - 28 - - 7

Polychaeta Nereis sp. 6.468 12.510 171 2.964 5528

10

Bivalvia Anadara gubernaculum - - 28 28 14

Corbula ovulata 285 256 199 1.140 470

Donax faba 57 - - - 14

Mactra violacea 142 57 199 399 199

Mytella falcata - - 28 - 7

Sinovacula virens 570 85 285 228 292

Crustacea Balanus sp. 1 28 - - - 7

Lingula unguis 57 28 - - 21

Gastropoda Gemmula graeffei 57 - - - 14

Phascolosomatidea Phascolosoma lurco - 285 - - 71

Polychaeta Nereis sp. 3.847 1.881 342 57 1532

15

Bivalvia Anadara gubernaculum - - - 28 7

Corbula ovulata 114 342 142 1.083 420

Donax faba - 28 - - 7

Geukensia demissa - 57 28 - 21

Harvella plicataria - - - 114 29

Mactra violacea 171 57 313 513 264

Mytella falcata - 28 342 - 93

Pholas orientalis - - 28 - 7

Serripes laperrousii 28 - - - 7

Sinovacula virens 598 171 171 - 235

Solen truncata - 28 - - 7

Crustacea Lingula unguis - 28 - - 7

Polychaeta Nereis sp. 3.049 513 256 427 1061

20

Bivalvia Anadara gubernaculum 28 - - - 7

Corbula ovulata 228 370 114 627 335

Donax faba 28 - - - 7

Mactra violacea 228 142 342 370 271


(16)

Pholas orientalis - - 57 - 14

Sinovacula virens 199 114 228 228 192

Crustacea Balanus sp. 2 - - 28 - 7

Lingula unguis 28 28 - - 14

Liocarcinus depurator - 28 - - 7

Gastropoda Nassarius stolatus - - 28 - 7

Phascolosomatidea Phascolosoma lurco - 427 - - 107

Polychaeta Nereis sp. 285 199 57 85 157

25

Bivalvia Corbula ovulata 199 256 114 712 320

Donax faba 28 - - - 7

Mactra violacea 142 256 285 370 263

Mytella falcata - 85 - - 21

Pholas orientalis - 28 28 - 14

Sinovacula virens 541 427 313 28 327

Solen truncata - 28 - 85 28

Crustacea Liocarcinus depurator - - - 28 7

Phascolosomatidea Phascolosoma lurco - 199 - - 50

Polychaeta Nereis sp. 85 456 57 85 171

30

Bivalvia Anadara gubernaculum 28 28 - 28 21

Corbula ovulata 114 171 114 285 171

Mactra violacea 228 342 114 342 257

Mytella falcata - - 28 - 7

Serripes laperrousii 28 - - - 7

Sinovacula virens 427 142 - 199 192

Solen truncata 28 - - - 7

Crustacea Goneplax sp. 28 - - - 7

Lingula unguis 28 - - - 7

Gastropoda Cerithidea cingulata 28 - - 28 14

Gemmula graeffei - - 28 - 7

Phascolosomatidea Phascolosoma lurco - 313 - - 78

Polychaeta Nereis sp. 513 142 - 285 235


(17)

Lampiran 7. Data Biomassa Makrozoobentos per Spesies (gr.m-3)

Kedalaman

(cm) Kelas Nama Spesies

Ulangan

Rata-Rata

1 2 3 4

5

Bivalvia Corbula ovulata 36,76 57,85 24,22 33,05 37,97

Donax faba 53,86 - 37,61 - 22,87

Geukensia demissa - 50,15 18,52 - 17,17

Mactra violacea 5,41 3,70 37,33 14,82 15,32

Mytella falcata - 65,82 15,67 - 20,37

Pholas orientalis - - 12,54 - 3,13

Sinovacula virens 260,73 180,66 130,22 29,64 150,31

Solen truncata 3,99 - - 9,69 3,42

Gastropoda Nassarius stolatus - 15,96 - - 3,99

10

Bivalvia Anadara gubernaculum - - 27,64 31,06 14,68

Corbula ovulata 87,77 36,76 29,64 33,05 46,80

Donax faba 16,81 - - - 4,20

Mactra violacea 30,78 12,25 31,06 14,82 22,23

Mytella falcata - - 5,41 - 1,35

Sinovacula virens 135,92 21,37 54,14 29,64 60,27

Crustacea Balanus sp. 1 13,96 - - - 3,49

Lingula unguis 31,63 19,95 - - 12,89

Gastropoda Gemmula graeffei 16,81 - - - 4,20

15

Bivalvia Anadara gubernaculum - - - 31,06 7,77

Corbula ovulata 6,84 66,96 23,65 73,23 42,67

Donax faba - 10,83 - - 2,71

Geukensia demissa - 9,97 26,79 - 9,19

Harvella plicataria - - - 16,53 4,13

Mactra violacea 98,59 33,62 43,31 35,05 52,65

Mytella falcata - 3,13 1,99 - 1,28

Pholas orientalis - - 5,98 - 1,50

Serripes laperrousii 39,32 - - - 9,83

Sinovacula virens 127,37 61,55 37,90 - 56,71

Solen truncata - 4,84 - - 1,21

Crustacea Lingula unguis - 5,41 - - 1,35

20

Bivalvia Anadara gubernaculum 18,24 - - - 4,56

Corbula ovulata 82,64 55,28 23,37 64,97 56,56

Donax faba 24,51 - - - 6,13

Mactra violacea 94,61 15,10 54,14 82,07 61,48

Mytella falcata - 10,26 4,27 - 3,63

Pholas orientalis - - 3,99 - 1,00

Sinovacula virens 92,04 39,04 78,93 125,95 83,99

Crustacea Balanus sp. 2 - - 1,42 - 0,36

Lingula unguis 30,21 7,98 - - 9,55


(18)

Gastropoda Nassarius stolatus - - 9,12 - 2,28

25

Bivalvia Corbula ovulata 58,70 58,13 21,94 55,85 48,66

Donax faba 14,53 - - - 3,63

Mactra violacea 24,79 51,58 43,03 78,65 49,51

Mytella falcata - 7,98 - - 1,99

Pholas orientalis - 8,26 5,41 - 3,42

Sinovacula virens 68,39 49,01 106,57 49,01 68,25

Solen truncata - 5,13 - 13,96 4,77

Crustacea Liocarcinus depurator - - - 14,25 3,56

30

Bivalvia Anadara gubernaculum 15,39 33,05 - 3,70 13,04

Corbula ovulata 11,40 32,20 0,85 37,61 20,52

Mactra violacea 38,53 24,22 38,75 50,15 37,91

Mytella falcata - - 6,55 - 1,64

Serripes laperrousii 18,24 - - - 4,56

Sinovacula virens 56,71 13,68 - 51,58 30,49

Solen truncata 13,68 - - - 3,42

Crustacea Goneplax sp. 2,56 - - - 0,64

Lingula unguis 17,10 - - - 4,27

Gastropoda Cerithidea cingulata 10,83 - - 8,83 4,92

Gemmula graeffei - - 12,25 - 3,06


(19)

Lampiran 8. Foto Kerja

Pengamatan Burung Pantai Pengukuran Tekstur Tanah

Pengambilan Sampel Makrozoobentos Identifikasi Makrozoobentos


(20)

Lampiran 9. Curah Hujan, Kelembaban, Suhu Rata-Rata dan Kecepatan Angin


(21)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Bibby, C.J., M, Jones., S. Marden. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survei Burung. Bogor: Birdlife Internasional-Indonesia Programme.

Burger, J., Niles, L., Clark, K. E. 1996. Importance of Beach, Mudflat and marsh Habitats to migrant Shorebirds on Delawere Bay. Journal Biological Concervation 79 (1997).

Botto, F., Iribane, O., Martinez, M. M., Delhey, K., Carette, M. 1998. The Effect of Migratory Shorebirds on the Benthic Species of Three Southwestern Atlantic Argentinean Estuaries. Journal Estuaries 21 (4B).

Cummins, K . W. 1975. Macroinvertebrates, p. 101-109. In B . A . Whitton (ed). River Ecologi.Blackwell Sciences Pulb. Oxford.

Dharma, P. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. Jakarta: Rineke Cipta.

Diana, S. 2007. Dampak Degradasi Lahan Basah terhadap Burung Pantai Migran. Karya Tulis.

Dugan, P.J. (editor).1990. Wetlands Conservation, A Review of Cureent Issues and Required Action. Switzerland: IUCN-The World Conservation Union.

Effendi H. 2000. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber daya dan Lingkungan Perairan. Bogor: Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.

Ezeikel. E. N., A.I. Hart., J.F.N Abowei. 2011. The Distribution and Seasonality of Benthic Macro-Invertebrates in Sombreiro River, Niger Delta, Nigeria.

Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology 3(4).

Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.

Faaborg J. 1988. Ornithology an Ecological Approach. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Goss-Custrad, J. D., Stillman, R. A. 2008. Individual-Based Models and the Management of Shoredbirds Population. Journal Natural Resource Modeling 21(1).

Goss-Custrad, J. D., Verboven, N. 1993. Disturbance and Feeding Shoredbirds on the Ex estuary. Journal Wader Study Group Bull 68 (59-66).


(22)

Goss-Custrad, J. D., Warwick, R. M., Kirby, R., McGrorty, S., Clarke, R. T., Pearson, B., Rispin, W. E., Le, V. S. E. A., Durel, D. I. T., Rose, R. J. 1991. Toward Predicting Wading Bird Densities From Predicted Prey Densities in a Post-Barrage Severn Estuary. Journal of Applied Ecology

28 (1004-1026).

Harahap, D.Y. Patana, P dan Rahmawaty. 2013. Keanekaragaman Burung Migran di Pesisir Pantai Timur Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

Peronema Forestry Science Journal 2 (2).

Harisson, C. J. O. 1991. Waders and Shorebirds. Di dalam. Forshaw, J. Editor. Encycopedia of Birds. New York. Wolden Owen Inc.

Hawkes HA. 1979. Invertebrates as Indicator of River Water Quality. In : Jamers A. and Evision L, editor. Biological Indicator of Water Quality. Toronto Canada: John Willey and Sons.

Holmes, D., Rombang, H. D. 2001. Daerah Penting bagi Burung: Sumatera. Bogor: PKA/BirdLife International-Indonesia Programme.

Howes, J., Bakwell, D., Noor, Y. R. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Bogor: Wetlands International-Indonesia Programme.

Jamaksari, H. 2011. Keanekaragaman Burung Pantai Pada Berbagai Tipe Habitat Lahan Basah di Kawasan Muara Cimanuk, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Jumilawaty, E., Mardiastuti, A., Prasetyo, L. B., Mulyani, Y. A. 2011. Keanekaragaman Burung Air di Bagan Percut Deli Serdang Sumatera Utara. Jurnal Media Konservasi 16 (3).

Jumilawaty, E. 2012. Kesesuaian Habitat dan Distribusi Burung Air di Percut Sei Tuan Sumatera Utara. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

. 2013. Keanekaragaman Burung Pantai Migran di Bagan Percut: Studi Kasus Numenius spp. Jurnal Prosiding Seminar Biologi.

Jumilawaty, E. Mulya, M. B. 2013. Distribusi Burung Pantai Migran di Pesisir Pantai Pantai Deli Serdang Sumatera Utara. Laporan Akhir Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara. Tidak diterbitkan.

MacKinnon, J., Phillipps, K., Balen, B. V. 1998. Burung-Burung Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI.

Magurran, A. E. 1998. Ecological Diversity and Its Maesurement. New Jersey: Princeton University Press.


(23)

. 2004. Measuring Biological Diversity. USA: Blackwell Publishing Company.

Marasabessy, T. 2003. Uji Coba Beberapa Metode Analisis Tekstur Tanah (Metode Pipet) dengan Berbagai Kriteria Waktu Pengendapan Fraksi Pasir dan Pengaruh Pupuk Phonska terhadap Sifat Kimia Tanah Beberapa Tanah Hutan. [Skripsi]. Bogor: Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Ma, Z., Cai, Y., Li, Bo., Chen, J. 2009. Managing Wetland Habitats for Waterbirds: An International Perspective. Journal Wetlands 2010 (30).

Neithammer G. 1972. Waders and Gull-Like Birds. Di dalam. Grzimeks B, editor. Animal Life Enclycopedia. New York: Von Nostrand Company.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan: Jakarta.

Noortiningsih., Jalip, I. S., Handayani, S. 2008. Keanekaragaman Makrozoobentos, Meiofauna dan Foraminifera di Pantai Pesisir Putih Barat dan Muara Sungai Cikamal Pangandaran, Jawa Barat. Jurnal Vis Vitalis 1 (1).

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut satu Pendekatan Ekologis. (diterjemahan oleh H.M Eidman). PT. Gramedia.Jakarta )

Odum, E. P.1971. Fundamentals Of Ecology. Saunders College. London.

. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: University Gadjah Mada Press.

Perrins, C., Middleton, A. L. A. 1986. The Encylcopedia of Birds. New York: Feast on File Publications.

Pescod NB. 1973. Investigation of Inland Water and Estuaries. New York: Reinhold Pubilshing Corporation.

Putra, C. A. 2012. Keanekaragaman Jenis Burung Air di kawasan Pesisir Pantai Timur Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. [Skripsi]. Medan: Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Santos, T. M., Cabral, J. A., Lopes, R. J., Pardal, M., Marques, J. C., Custrad, J. G. 2005. Competition for Feeding in Waders: a Case Study in a Estuary of South Temperate Europe (Mondego, Portugal). Journal Hydrobiologia

544 (155-166).

Sembiring, H. 2008. Keanekaragaman dan Distribusi Udang serta Kaitannya dengan Faktor Fisik Kimia di Perairan Pantai Labu Kabuaten Deli


(24)

Serdang. [Tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

Setiawan, B. 2008. Struktur Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan Perairan Hilir Sungai Musi. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sibuea, T. T. H., Rov, N., Gjershaug, J. O. 1997. Konservasi Burung Air dan Lahan Basah di Indenesia. Seminar Nasional Pelestarian Burung dan Ekosistemnya dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.

Stillman, R. A., West, A. D., Custrad, J. D. G., McGrorty, S., Frost, N. J., Morrisey, D. J., Kenny, A. J., Drewitt, A. L. 2005. Predicting Site Quality for Shoredbirds Communities: a Case Study on the Humber Estuary, UK. Journal Marine Ecology Progress Series 305 (203-217).

Subekti, D. 2010. Pemetaan Lokasi Makan Burung Pantai Migran Genus Calidris

di Kawasan Pesisir Trisik Kulon Progo Yogyakarta. [Skripsi]. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Padang: Universitas Andalas.

Sukmantoro, W., Irham, M., Novarino, W., Hasudungan, F., Kemp, N., Muchtar, M. 2007. Daftar Burung Indonesia no. 2. Bogor: Indonesian Ornithologists Union.

Susanto, P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Tian B, Zhou Y, Zhang L, Yuan L. 2008. Analyzing the habitat suitability for migratory birds at the chongming Dongtan Nature Reserve in Shanghai, China. JournalEstuarine, Coastal and Shelf Science 80:296-302.

Wiens, J.A. 1989. The Ecology of Bird Communities. London: Cambridge University Press.


(25)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Juni di Pantai Baru, Desa Pantai Labu Pekan, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatra Utara. Identifikasi dilakukan pada bulan Juni-Juli di Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Pengukuran biomassa dilakukan dari bulan September sampai dengan November di Laboratorium Kimia Dasar LIDA, Universitas Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, teropong binokuler

Bushnell 12 x 50 dan monokuler Bushnell 15-60 x 60 mm, alat tulis, buku panduan lapangan burung Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (Macckinnon at al. 1998), buku identifikasi Siput dan Kerang Indonesia (Dharma, 1988), GPS (Global Positioning System) Garmin 60 CSx, termometer, refraktometer, erlenmeyer, hygrometer, spektrofotometer, pH meter, kamera, botol terang dan gelap, pipa paralon, ayakan 1 mm, tanur, ember, kantung plastik, yang digunakan untuk menyimpan sampel tanah/lumpur serta botol koleksi. Bahan yang digunakan yaitu, alkohol 70%, aquades, natrium piroposfat.

3.3 Deskripsi Area

Pantai Baru terletak di kecamatan Pantai Labu yang berbatasan dengan pantai Ancol dan Serambi Deli. Pantai Baru dan Serambi Deli dibatasi oleh muara yang cukup besar dan digunakan oleh para nelayan sebagai jalur/jalan untuk mencari ikan, yang menyebabkan aktivitas di kawasan Pantai Baru cukup tinggi. Selain itu, terdapat juga muara yang lebih kecil, tetapi muara tersebut tidak dipergunakan oleh para nelayan.


(26)

Secara geografis Pantai Baru terletak pada 030 40’ 54.77” N dan 0980 54’ 19.97” E. Pada pantai ini terdapat hamparan lumpur yang luas, dan terdapat aktivitas pariwisata, pertambakan, perkebunan serta aktivitas lainnya. Vegetasi dominan yang terdapat, yaitu Avicennia spp., dan Excoecaria spp. Berikut adalah gambar lokasi penelitian.

Gambar 3.1. Lokasi Penelitian di Pantai Baru

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Pengambilan Data Burung

Pengambilan data burung dilakukan dengan mengidentifikasi jenis dan menghitung jumlah burung. Penentuan lokasi penelitian dengan menggunakan Metode Purposive, yaitu penentuan lokasi dengan memilih lokasi tempat burung pantai berada dan lokasi tersebut dapat mewakili atau mendekati kebenaran dengan keadaan secara keseluruhan (Fachrul, 2007). Sedangkan untuk pengamatan keberadaan jenis burung pantai dengan menggunakan metode

Concentration Count. Metode ini mengamati burung pada suatu lokasi dan waktu tertentu berdasarkan kelompok makan pada lokasi tempat burung air berkumpul mencari makan (Bibby et al., 2000). Pengamatan disesuaikan dengan waktu pasang surut. Kemudian diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan lapangan burung Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (Mackinnon et al. 2010).

Metode perhitungan jumlah burung dengan menggunakan metode blok. Perhitungan dengan cara ini dapat dilakukan pada kelompok burung yang sedang terbang atau hinggap di daerah terbuka dalam jumlah yang cukup besar. Pada metode ini, pengamat menghitung burung dengan cara melakukan perkiraan


(27)

terhadap jumlah individu yang diamati berdasarkan jumlah blok yang ada dalam suatu kelompok. Satu blok terdiri dari 10 atau 20 jumlah individu. Pengamat kemudian menghitung ada berapa blok dalam kelompok tersebut. Total perkiraan jumlah individu adalah jumlah blok dalam suatu kelompok dikalikan dengan jumlah individu dalam suatu blok ditambah beberapa individu yang tersisa, yang dianggap tidak termasuk dalam blok yang ada (Howes et al. 2003). Contoh perhitungan dengan metode blok dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Contoh Perhitungan Jumlah Burung dengan Metode Blok

Data burung pantai diambil pada bulan Februari-April. Pengambilan data dilakukan pada minggu pertama dan ketiga, dalam 1 minggu pengamatan dilakukan selama tiga hari berurut-turut.

3.4.2 Pengambilan Makrozoobentos

Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan menggunakan pipa paralon (Swennen & Marteijjen 1985 dalam Howes et al.2003) dan di identifikasi dengan menggunakan buku Siput dan Kerang Indonesia (Dharma, 1998). Penggunaan pipa paralon bertujuan untuk mengambil sampel yang berada dalam substrat. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan pada lokasi/tempat burung pantai mencari makan, dan juga pada lokasi yang tidak digunakan oleh burung.

Pengambilan makrozoobentos menggunakan pipa paralon melalui beberapa tahapan yaitu:


(28)

1) Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan pada lokasi/tempat burung pantai mencari makan, dan juga pada lokasi yang tidak digunakan oleh burung. Pengambilan dilakukan pada 4 kali ulangan. Masing-masing lokasi berukuran 100 m x 100 m dan dalam 1 ulangan diambil sebanyak 5 titik. Setiap 1 titik diambil sampai kedalaman 30 cm dan dibagi menjadi 6 strata (5 cm, 10 cm, 15 cm, 20 cm, 25 cm dan 30 cm),

2) Sedimen yang diambil dicampur dengan air.

3) Selanjutnya, diayak dengan menggunakan ayakan yang berukuran 1 mm, hal ini bertujuan agar makrozoobentos yang ukurannya lebih dari 1 mm dapat disaring dan tertinggal dalam ayakan.

4) Kemudian, makrozoobentos yang diperoleh dimasukkan ke dalam plastik yang telah berisi alkohol 70% dan diidentifikasi di laboratorium Sistematika Hewan.

3.4.3 Pengukuran Biomassa

Pengukuran biomassa dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar LIDA, yang bertujuan untuk mengetahui kerapatan rata-rata makrozoobentos, penyebaran serta kepentingan jenis makanan burung air (Howes et al, 2003). Khusus untuk kelas polychaeta tidak dilakukan pengukuran biomassa karena kelas ini telah luruh pada saat pengambilan sampel. Pengukuran biomassa dilakukan dengan cara seperti berikut ini:

1) Makrozoobentos yang telah di identifikasi dikelompokkan dan dihitung dalam jumlah kemudian ditimbang berat basahnya dan disimpan dalam cawan petri yang telah di beri label.

2) Sampel dikeringkan dengan oven pada suhu 100oC selama 2 hari untuk mendapatkan berat kering yang konstan dan selanjutnya di timbang beratnya. 3) Sampel dikering abukan dalam tanur dengan suhu 600oC selama 4 jam.

Selanjutnya dihitung berat bersih dengan demikian akan diketahui secara pasti kalkulasi kerapatan rata-rata, penyebaran dan kepentingan jenis makanan burung air.


(29)

3.4.4 Pengukuran Parameter Fisika-Kimia

Faktor fisika-kimia yang di ukur adalah suhu, kecerahan, salinitas, pH, kadar fosfat, kadar nitrat dan tekstur tanah. Pengukuran suhu, kecerahan, salinitas dan pH dilakukan di lokasi penelitian. Alat dan metode yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Pengukuran Faktor Fisika-Kimia

No. Variabel Satuan Alat/ Metode

A. Faktor fisik

1. Suhu oC Termometer

2. Kecerahan Cm Secchi disk

B. Faktor Kimia

1. Salinitas 0/00 Refraktometer

2. pH - pH meter

3.4.5 Tekstur Tanah

Pengukuran tekstur tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Prosedur pengukuran tekstur tanah dapat dilihat pada Lampiran 2. Tekstur sedimen yang telah diukur dikelompokkan menjadi beberapa kelas berdasarkan komposisi pasir, debu dan liat. Selanjutnya sedimen tersebut dianalisis menggunakan software segitiga tekstur tanah dengan macromedia flash player 7 (Copyright: Mahbub, ps ilmu tanah unlam (’06)).


(30)

3.4.6 Kadar Organik

Pengukuran kadar organik dilakukan di Laboratorium Penelitian, Universitas Sumatera Utara. Prosedur pengukuran kadar fospat dapat dilihat pada Lampiran 3.

3.5 Analisis Data

3.5.1 Burung Pantai dan Makrozoobentos Indeks Keanekaragaman Jenis

Indeks keanekaragaman jenis burung pantai dan makrozoobentos dihitung dengan menggunakan Indeks Shannon (Magurran, 1988) yaitu:

dengan pi = ∑ ∑

dimana H’ : merupakan nilai indeks diversitas Shannon

pi : merupakan proporsi kelimpahan spesies ke i atau ni/N ni : jumlah individu spesies ke i

2) Indeks Kemerataan Jenis (E)

Untuk menentukan indeks kemerataan jenis burung pantai dan makrozoobentos digunakan Indeks Shannon (Magurran, 2004) yaitu:

dengan S = jumlah spesies

3.5.2 Biomassa Makrozoobentos

Berat kering bebas abu dihitung menggunakan rumus (Howes et al. 2003): ADW (gr) = berat X-berat Y

Dimana X = berat awal spesies 1,2 ... dst

Y = berat akhir spesies 1,1 ... dst setelah jadi abu

ADW total (gr.m2) = ∑ Dimana Bj : biomassa semua spesies LA : luas area (πr2 x n) N : jumlah pipa paralon


(31)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keanekaragaman Burung Pantai

Hasil penelitian yang telah dilakukan dari bulan Februari-April 2013 ditemukan 19 spesies burung pantai yang termasuk ke dalam 2 famili, untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1. Jenis-Jenis Burung Pantai yang Ditemukan di Pantai Baru pada Bulan Februari-April 2013

No Famili Nama Spesies Nama Indonesia Status

Bulan

Februari Maret April 1 Charadriidae Pluvialis squatarola Cerek Besar LC √ √ -

2 Pluvialis fulva Cerek Kernyut LC √ √ √

3 Charadrius alexandrinus Cerek Tilil LC √ √ √

4 Charadrius mongolus Cerekpasir-mongolia

LC

5 Charadrius leschenaultii Cerekpasir-besar LC √ √ √

6 Charadrius veredus Cerek Asia LC √ √ -

7 Scolopacidae Numenius arquata Gajahan Besar NT/AB √ √ -

8 Numenius phaeopus Gajahan Pengala AB √ √ √

9 Numenius

madagascariensis Gajahan Timur

VU/AB

- -

10 Limosa lapponica Birulaut Ekor-blorok

LC

- -

11 Arenaria interpres Trinil Pembalik-batu

LC

√ √ -

12 Tringa totanus Trinil Kaki-merah LC √ - -

13 Tringa cinereus Trinil Bedaran LC √ √ √

14 Tringa hypoleucos Trinil Pantai LC √ √ √

15 Calidris canutus Kedidi Merah LC √ √ -

16 Calidris ruficollis Kedidi Leher-merah LC √ - -

17 Calidris ferruginea Kedidi Golgol LC √ √ -

18 Calidris alba Kedidi Putih LC √ √ -

19 Limicola falcinellus Kedidi Paruh-besar LC √ - -

Total 19 14 7

Keterangan: LC: Least Concern, NT: Near Threatened, VU: Vulnarable, A: UU No 5 tahun 1990, B: PP No. 7 tahun 1999.

Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah spesies tertinggi ditemukan pada bulan Februari yaitu 19 spesies, kemudian mengalami penurunan pada bulan April dan Maret menjadi 14 spesies dan 7 spesies. Kondisi air pada bulan Februari


(32)

sedang pasang mati, sehingga mempengaruhi terbentuknya hamparan lumpur sebagai lokasi mencari makan burung pantai. Hal ini diduga mempengaruhi kehadiran burung pantai pada suatu lokasi. Dimana, pada saat kondisi air sedang pasang mati hamparan lumpur yang terbentuk sempit mengakibatkan jumlah burung pantai berkumpul dalam kelompok yang lebih besar dibandingkan pada saat pasang besar. Pengamatan pada bulan Maret, kondisi air sedang pasang besar yang mengakibatkan lokasi mencari makan burung pantai menjadi luas.

Pengaruh ketinggian air terhadap burung pantai pada saat penelitian dapat dilihat ketika air mulai pasang. Pada saat lokasi makan yang digunakan tertutup oleh air, burung pantai akan berpindah ke lokasi yang tidak tergenang oleh air laut dan akan meninggalkan lokasi mencari makan saat lokasi tertutup oleh air laut.

Faktor lain yang mempengaruhi kehadiran burung pada suatu lokasi adalah keamanan. Hal ini dapat dilihat selama pengamatan, dimana kelompok burung pantai akan terbang dari lokasi mencari makan ketika ada nelayan yang mendekati lokasi tersebut. Beberapa kelompok burung pantai akan hinggap kembali ke lokasi semula, tetapi sebagian burung pantai terbang mencari lokasi yang dianggap lebih aman.

Menurut Ma et al. (2009) faktor yang mempengaruhi kehidupan burung air diantaranya: ketinggian air, fluktuasi ketinggian air, vegetasi, salinitas, topografi, tipe makanan, kemudahan memperoleh makanan, ukuran lahan basah dan konektisitas lahan basah. Hal ini di dukung juga oleh Jumilawaty et al. (2011) yang menyatakan bahwa bervariasinya jumlah spesies dan individu yang ditemukan setiap bulan di Bagan Percut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: waktu dan lama pasang surut, ketinggian air, pola musiman, makanan, kemudahan memperoleh makanan (dipengaruhi tekstur sedimen dan profil sedimen), lingkungan, luas lahan basah, konektivitas lahan basah dan keamanan.

Faktor lain yang diduga mempengaruhi tingginya jumlah individu pada bulan Februari disebabkan karena kondisi lingkungan, seperti curah hujan. Hal ini dapat dapat dilihat pada Lampiran 9, dimana curah hujan pada bulan Februari (152 mm) tergolong sedang jika dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain.

Kecepatan angin dapat menghambat burung pantai saat terbang, tetapi tidak berpengaruh pada saat mencari makan. Hal ini disebabkan karena burung


(33)

pantai mencari makan dengan cara hinggap di hamparan lumpur. Jumilawaty (2012), faktor yang mempengaruhi tingginya jumlah individu dan spesies di bulan Februari adalah fluktuasi curah hujan, dimana pada curah hujan yang tinggi mengakibatkan jumlah burung air rendah, sebaliknya curah hujan rendah meningkatkan jumlah burung air. Jumilawaty (2013) menyatakan bahwa peningkatan jumlah spesies burung pantai migran pada bulan Februari berhubungan dengan pola musiman, ketersediaan makanan, kemudahan memperoleh makan dan keadaan lingkungan, dimana pada bulan Februari diduga merupakan waktu terbaik (ketersediaan makanan maupun keadaan cuaca) bagi burung pantai migran untuk memenuhi kebutuhan makan.

Hasil penelitian menemukan 19 spesies dan 1.589 individu burung pantai. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jamaksari (2011) di Kawasan Muara Cimanuk, Jawa Barat yang menemukan 21 spesies dan 2.180 individu burung pantai. Tetapi, jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Harahap et al. (2013) di Pantai Baru menemukan 11 spesies dan 4.837 individu burung pantai. Berdasarkan jumlah spesies penelitian ini lebih tinggi, tetapi jika dibandingkan jumlah individu lebih rendah. Perbedaan jumlah spesies dan jumlah individu yang ditemukan bisa disebabkan karena perbedaan waktu pengamatan serta kondisi lingkungan.

Jumlah individu dan spesies tertinggi ditemukan pada bulan Februari (Tabel 4.1 dan Gambar 4.1). Faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah periode migrasi burung pantai. Dimana, semua burung pantai yang ditemukan adalah burung migran. Burung migran melakukan perjalanan migrasi ke belahan bumi selatan pada bulan September-Maret. Hal ini disebabkan karena perubahan kondisi alam yang ekstrim di lokasi berbiak burung migran. Kondisi ekstrim menyebabkan kurangnya pasokan makanan di lokasi berbiak burung migran.

Menurut Howes et al. (2003), burung migran memulai perjalanan menuju belahan bumi selatan (September-Maret) dan kembali ke lokasi berbiak (Maret-April). Perjalanan migrasi dilakukan karena kondisi alam yang ekstrim dilokasi berbiak burung migran. Secara umum, burung migran melakukan migrasi untuk memberikan tanggapan terhadap tekanan yang disebabkan oleh kondisi alam, untuk kelangsungan hidup mereka.


(34)

Jumlah Individu

Gambar 4.1. Perbandingan Jumlah Individu Burung Pantai

Berdasarkan status keterancaman yang mengacu pada Redlist IUCN 2007

Numenius arquata dikategorikan Near Threatened (mendekati terancam) dan

Numenius madagascariensis dikategorikan Vulnerable (terancam). Berdasarkan status perlindungan dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Numenius arquata, Numenius phaeopus dan Numenius madagascariensis dilindungi dalam UU No. 5 tahun 1990 (tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya) dan PP No. 7 tahun 1999 (tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa) (Tabel 4.1).

Jika dibandingkan jumlah individu dari spesies burung pantai yang ditemukan, jumlah tertinggi adalah Pluvialis fulva, sedangkan terendah Numenius madagascariensis hanya ditemukan 1 individu (Gambar 4.1). Rendahnya jumlah

Numenius madagascariensis berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan Jumilawaty (2013) di Bagan Percut yang menemukan lebih dari 250 individu. Perbedaan jumlah bisa disebabkan karena perbedaan lokasi yang disukai oleh burung pantai, seperti, adanya perbedaan jenis makanan maupun tekstur sedimen.

0 50 100 150 200 250

Pluvialis squatarola Pluvialis fulva Charadrius alexandrinus Charadrius mongolus Charadrius leschenaulti Charadrius veredus Numenius arquata Numenius phaeopus Numenius madagascariensis Limosa lapponica Arenaria interpres Tringa totanus Tringa cinereus Tringa hypoleucos Calidris canutus Calidris ruficollis Calidris ferruginea Calidris alba Limicola falcinellus April Maret Februari


(35)

Jumlah individu tertinggi setiap bulan tidak tetap, bulan Februari

Charadrius mongolus merupakan yang mendominasi, bulan Maret Pluvialis fulva,

sedangkan padabulan April Tringa hypoleucos. Perbedaan tersebut diduga karena perbedaan siklus migrasi burung pantai itu sendiri.

Burung pantai dari famili Charadriidae 19 spesies diantaranya ditemukan di Asia. 31,6% dari burung pantai yang ada di Asia ditemukan di Pantai Baru. 28,3% dari 46 spesies burung pantai di Asia famili Scolopacidae terdapat juga di Pantai Baru (Tabel 4.2). Jika dibandingkan dengan jumlah burung pantai secara keseluruhan yang ada di Indonesia, jumlah burung pantai yang ada di Pantai Baru 34,55%. Dari persentasi tersebut dapat diketahui bahwa Pantai Baru memiliki arti penting bagi burung pantai.

Tabel 4.2. Perbandingan Jumlah Spesies di Asia, Indonesia dan Pantai Baru

No Famili Jumlah Spesies Perkawasan Persen

Asia Indonesia Pantai Baru

1 Charadriidae 19 16 6 31,6%

2 Scolopacidae 46 39 13 28,3%

Total 65 55 19

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Harahap et al. (2013), indeks keanekaragaman 2,00 (tergolong sedang). Hasil tersebut sama dengan hasil penelitian yang dilakukan, dimana indeks keanekaragaman berkisar antara 1,89-2,50 yeng berarti indeks keanekaragaman tergolong sedang (Tabel 4.3). Odum (1993), menyatakan keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dalam tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenis dinilai rendah. Menurut Alikodra (2002), faktor yang mempengaruhi nilai indeks keanekaragaman adalah kondisi lingkungan, jumlah jenis dan sebaran individu pada masing-masing jenis.

Tabel 4.3. Indeks Keanekaragaman Spesies (H’), Jumlah Spesies (S), Jumlah Individu (N), Indeks Kemerataan (E) Burung Pantai

Februari Maret April

H’ 2,50 2,21 1,89

S 19 14 7

N 971 572 46


(36)

Nilai keanekaragaman tertinggi ditemukan pada bulan Februari dan terendah pada bulan April. Hal ini di sebabkan pada bulan Maret-April burung pantai sebagai burung migran kembali ke lokasi berbiaknya yang mengakibatkan berkurangnya jenis maupun jumlah dilokasi penelitian.

4.2 Faktor Fisik Kimia di Pantai Baru

Suhu di lokasi penelitian adalah 31oC dan tekstur sedimen berupa pasir berlempung dan lempung berpasir (Tabel 4.4). pH di lokasi penelitian berkisar antara 6,8-7,2, meskipun sebagian besar bentik aquatik sangat sensitif terhadap perubahan, pH dilokasi penelitian sesuai dengan kebutuhan makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noortiningsih et al. (2008) yang menyatakan bahwa bentik aquatik menyukai pH berkisar 7-8,5.

Setiawan (2008), menyatakan bahwa tekstur atau tipe substrat merupakan salah satu parameter sedimen yang berpengaruh terhadap kehidupan bentos, jenis sedimen tersebut sangat menentukan kepadatan dan komposisi hewan bentos. Hal ini didukung oleh Jumilawaty (2012), bahwa tekstur sedimen mempengaruhi kehadiran dan kelimpahan spesies makrozoobentos.

Tabel 4.4. Faktor Fisika Kimia di Lokasi Penelitian

No Variabel Ulangan

1 2 3 4

A. Faktor Fisika

1. Suhu 31 31 31 31

2. Kecerahan 21 20 23 19

3. Tekstur Sedimen Pasir Berlempung Pasir Berlempung Lempung Berpasir Lempung Berpasir

B. Faktor Kimia

1. Salinitas 30 30 30 30

2. pH 6,9 6,8 7,1 7,2

3. Kadar Organik (%) 1,215 1,113 1,094 1,029

Goss-Custrad et al. (1991), menyatakan bahwa bahan organik berkorelasi positif dengan tipe partikel sedimen atau substrat halus. Pengendapan bahan organik dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang tenang. Kondisi lingkungan yang tenang akan mengakibatkan pengendapan sedimen lumpur yang kemudian diikuti oleh bahan organik ke dasar perairan. Bahan organik tersebut menjadi sumber makanan bagi organisme bentik, sehingga jumlah dan laju


(37)

penambahannya dalam sedimen pada batasan tertentu mempunyai pengaruh yang besar terhadap jenis, jumlah dan kelimpahan makrozoobentos. Kelimpahan makrozoobentos dalam suatu lokasi akan mempengaruhi kepadatan burung pantai. Odum (1971) menjelaskan bahwa karakter dasar suatu perairan sangat menentukan penyebaran makrozoobentos, yaitu substrat perairan seperti lumpur, pasir, liat, berpasir kerikil dan batu, dimana masing-masing tipe menentukan komposisi jenis makrozoobentos. Hal ini di duga karena perbedaan faktor fisika dan kimia yang akan mempengaruhi komposisi makrozoobentos yang ada pada lokasi tersebut. Menurut Jumilawaty (2012), jika dibandingkan tekstur sedimen lempung berliat memiliki spesies dan jumlah individu rendah daripada tekstur lempung berdebu dan lempung berpasir. Tetapi jika dibandingkan antara lempung berdebu dengan lempung berpasir, maka lempung berdebu memiliki nilai keanekaragaman yang lebih bervariasi dibandingkan dengan lempung berpasir.

Distribusi hewan makrozoobentos sangat ditentukan oleh sifat fisika, kimia dan biologi perairan. Sifat fisika yang berpengaruh langsung terhadap hewan makrozoobentos adalah kedalaman, kecepatan arus, kekeruhan, substrat dasar dan suhu perairan. Sedangkan sifat kimia yang berpengaruh langsung adalah derajat keasaman dan kandungan oksigen terlarut (Odum, 1971).

4.3 Keanekaragaman Makrozoobentos

Rata-rata makrozoobentos yang ditemukan dilokasi penelitian adalah 15.934 individu. Terbagi menjadi 5 kelas yaitu: Bivalvia, crustacea, gastropoda,

phascolosomatidea dan polychaeta. Diantara 5 kelas yang ditemukan, bivalvia

merupakan spesies yang paling banyak ditemukan, yaitu terdiri dari 9 famili, 11 spesies dan terendah adalah polychaeta dan phascolosomatidea masing-masing 1 spesies (Tabel 4.5 dan Lampiran 6).

Tingginya jenis dan jumlah kelas bivalvia disebabkan karena bivalvia

merupakan organisme yang dapat hidup pada berbagai macam substrat. Hal ini di dukung oleh (Nybakken, 1992), yang menyatakan kelas bivalvia termasuk dalam kelompok organisme yang dapat hidup pada daerah dengan sedimen mulai dari lumpur sampai pasir kasar. Kelas bivalvia masuk dalam kategori organisme pemakan suspensi dan deposit. Hal ini disebabkan karena kelas bivalvia memiliki


(38)

kemampuan untuk menggali sedimen dan menyaring partikel-partikel yang tersuspensi dengan menggunakan sifon yang terdapat pada bagian tubuh bivalvia

dan menjulurkannya ke permukaan untuk memperoleh makanan. Bahan organik yang terdeposit diperoleh dengan cara menggali lubang kemudian menyaring bahan organik tersebut.

Tabel 4.5. Jumlah Individu Makrozoobentos di Pantai Baru

Kedalaman (cm) Kelas Jumlah Spesies Jumlah Individu

5

Bivalvia 8 1.530

Gastropoda 1 698

Phascolosomatidea 1 7

Polychaeta 1 5.528

10

Bivalvia 6 997

Crustacea 2 28

Gastropoda 1 14

Phascolosomatidea 1 71

Polychaeta 1 1.532

15

Bivalvia 11 1.096

Crustacea 1 7

Polychaeta 1 1.061

20

Bivalvia 7 847

Crustacea 3 28

Gastropoda 1 7

Phascolosomatidea 1 107

Polychaeta 1 157

25

Bivalvia 7 981

Gastropoda 1 7

Phascolosomatidea 1 50

Polychaeta 1 171

30

Bivalvia 7 662

Crustacea 2 14

Gastropoda 2 21

Phascolosomatidea 1 78

Polychaeta 1 235

Total 15.934

Secara keseluruhan jumlah makrozoobentos yang ditemukan adalah 21 spesies. Pada ulangan 1 ditemukan 13 spesies, ulangan 2 ditemukan 13 spesies, dan ulangan 3 ditemukan 12 spesies, serta ulangan 4 ditemukan 9 spesies. Jumlah individu tertinggi di temukan pada ulangan 2 (25.777) dan terendah ulangan 3


(39)

(5.661) (Lampiran 6). Rendahnya jumlah individu pada ulangan 3 kemungkinan disebabkan karena tekstur tanah pada ulangan 3, hal ini dapat juga dilihat pada ulangan 4 yang memiliki perbandingan yang cukup jauh dengan ulangan 1 dan 2.

Ulangan 3 yang memiliki jumlah individu terendah menyebabkan burung pantai tidak menggunakan lokasi ini sebagai tempat untuk mencari makan. Hal ini sesuai dengan pemilihan lokasi makan burung pantai, dimana pada ulangan 3 tidak digunakan oleh burung pantai untuk mencari makan. Pemilihan lokasi makan burung pantai juga dipengaruhi oleh jenis tekstur tanah. Lokasi yang memiliki tekstur tanah yang kasar akan mempersulit burung pantai dalam manangkap mangsa, sehingga energi yang dibutuhkan untuk menangkap mangsa lebih besar.

Subekti (2010), menyatakan bahwa burung pantai lebih banyak mencari makan di lokasi dengan substrat berlumpur dibandingkan dengan lokasi bersubstrat pasir. Lokasi dengan substrat pasir dapat mengganggu penangkapan organisme makanan oleh burung pantai karena sulit untuk membedakan organisme yang dimakan dengan penyusun substratnya, sehingga energi yang dibutuhkan untuk menemukan organisme makanan di substrat berpasir oleh burung pantai lebih besar.

Ulangan 3 juga merupakan lokasi yang dekat dengan pinggir pantai, sehingga pada lokasi ini terdapat aktifitas masyarakat yang cukup tinggi. Masyarakat menggunakan tepi sebagai tempat bermain (berlibur). Tingginya aktifitas masyarakat dapat mengganggu burung pantai dalam mencari makan, sehingga burung pantai lebih memilih lokasi yang minim aktifitas masyarakat. Hal ini sesuai dengan penelitian Subekti (2010), dimana lokasi dengan aktifitas yang tinggi tidak digunakan oleh burung pantai dalam mencari makan. Meskipun pada lokasi tersebut tersedia beberapa jenis sumber makanan. Menurut Goss-Custrad & Verboven (1993), kehadiran manusia dalam jumlah lebih dari 3 orang pada lokasi mencari makan burung pantai dapat mengurangi proporsi rata-rata makan burung dari 85% menjadi 65%. Proporsi rata-rata makan burung berkurang 20-25%. Sebaliknya kepadatan burung akan meningkat ketika tidak ada gangguan. Jumlah individu yang paling banyak ditemukan adalah Nereis sp. (Lampiran 6). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa jenis ini makanan yang


(40)

penting bagi burung pantai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Howes et al. (2003) yang menyatakan bahwa salah satu makanan penting dari burung pantai (khususnya burung pantai yang berukuran kecil) adalah cacing dari kelas polychaeta yang biasa hidup pada sedimen yang lembut. Ukuran polychaeta tersebut bervariasi dari yang berukuran besar (sekitar 30 cm), seperti Nereis spp., sedang (sekitar 15 cm), seperti Nephyst spp., dan Ceratonereis spp., hingga yang berukuran kecil. Hal ini di dukung juga oleh Santos et al. (2005) bahwa kepadatan jenis mangsa polychaeta adalah salah satu jenis mangsa yang penting. Lebih lanjut dijelaskan bahwa polychaeta merupakan mangsa yang paling disukai oleh burung pantai.

Howes et al. (2003) juga menyatakan bahwa crustacea (misalnya kepiting dan udang-udangan) merupakan mangsa yang paling umum diambil oleh jenis-jenis burung pantai di daerah pasang surut, selama musim tidak berbiak. Sedangkan untuk jenis gastropoda yang berukuran besar dan bergerak lambat yang berada di permukaan tidak di mangsa oleh burung pantai. Tetapi burung pantai memangsa individu yang berukuran kecil dan menghancurkannya didalam perut.

Jumilawaty (2012), menyatakan bahwa makanan (dalam hal ini makrozoobentos) merupakan sumber energi yang sangat penting bagi burung migran sebagai cadangan energi berupa lemak untuk melanjutkan perjalanan ke wilayah berbiaknya.

Menurut Botto et al. (1998), tingkat konsumsi burung pantai tergantung pada ukuran dan kepadatan mangsa, faktor lingkungan seperti jenis substrat, cuaca (misal: suhu, kekuatan angin dan curah hujan). Tingkat konsumsi burung pantai lebih tinggi pada substrat yang lunak dan pada daerah pasang surut. Hal ini terkait dengan paruh burung pantai, dimana pada substrat yang lunak lebih mudah menangkap mangsa.

Tabel 4.6. Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Kemerataan (E) Makrozoobentos

Kedalaman (cm) H’ E

5 1,06 0,44

10 1,31 0,55

15 1,51 0,59

20 1,83 0,71

25 1,72 0,75


(41)

Nilai indeks keanekaragaman makrozoobentos pada kedalaman 5 cm dan 10 cm berkisar antara 1,06-1,31 yang berarti keanekaragaman, sedangkan pada kedalaman 15 cm sampai 30 cm berkisar antara 1,51-1,85 tergolong sedang. Indeks kemerataan pada kedalaman 5 cm yaitu 0,44 yang berarti indeks kemerataan tergolong sedang, sedangkan indeks kemerataan pada kedalaman 10 cm sampai 30 cm berkisar antara 0,55-0,75 yang berarti kemerataan tergolong tinggi (Tabel 4.6).

4.4 Biomassa Makrozoobentos

Berdasarkan Tabel 4.7 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata biomassa makrozoobentos yang ditemukan adalah 1175,38 gr.m-3.Nilai biomassa tertinggi ditemukan pada ulangan 1, yaitu 1659,63 gr.m-3, sedangkan terendah adalah pada ulangan 3, yaitu 974,26 gr.m-3. Jika dilihat berdasarkan spesies nilai biomassa tertinggi adalah dari spesies Sinovacula virens (1800,06 gr.m-3), sedangkan terendah Balanus sp.2 (1,42 gr.m-3) (Lampiran 7). Tingginya nilai biomassa

Sinovacula virens menunjukkan bahwa spesies ini memiliki potensi yang besar sebagai makanan burung pantai.

Sinovacula virens yang memiliki biomassa tertinggi merupakan dari kelas bivalvia. Hal ini menunjukkan bahwa kelas bivalvia memiliki potensi besar sebagai mangsa burung pantai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stillman et al. (2005) yang menyatakan bahwa bivalvia menjadi komponen utama mangsa burung pantai, karena bivalvia memiliki kepadatan biomassa tertinggi dan umumnya lebih besar dari jenis mangsa yang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bivalvia merupakan jenis yang mendominasi sebagai mangsa burung pantai.

Dilihat dari jenis makrozoobentos ulangan 4 memiliki jenis yang lebih rendah, tetapi jika dibandingkan dengan jumlah individu dan nilai biomassa yang terendah adalah ulangan 3. Burung pantai lebih memilih ulangan 4 daripada ulangan 3 dalam memperoleh makanan, karena potensi makanan pada ulangan 4 lebih tinggi. Hal ini di dukung oleh Goss-Custrad & Stillman (2008), bahwa ada perbedaan kelimpahan makanan antar lokasi. Tetapi, burung pantai akan memilih lokasi yang memiliki kepadatan mangsa yang tinggi sehingga dapat meningkatkan pasokan makanan yang dapat diperoleh oleh burung tersebut. Lebih lanjut


(42)

dijelaskan bahwa lokasi yang memiliki substrat kering tidak digunakan burung pantai dalam mencari makan.

Tabel 4.7. Biomassa Makrozoobentos (gr.m-3)

Kedalaman (cm) Kelas Rata-Rata

5 Bivalvia 270,56

Gastropoda 3,99

10 Bivalvia 149,53

Crustacea 16,38

Gastropoda 4,20

15 Bivalvia 189,64

Crustacea 1,35

20 Bivalvia 217,35

Crustacea 11,83

Gastropoda 2,28

25 Bivalvia 180,23

Crustacea 3,56

30 Bivalvia 111,57

Crustacea 4,92

Gastropoda 7,98

Total 1175,38

Nilai biomassa pada suatu lokasi menggambarkan ketersediaan potensi makanan pada lokasi tersebut. Hal ini di dukung oleh Howes et al. (2003), bahwa pengukuran biomassa makrozoobentos memungkinkan untuk mangkalkulasi kerapatan rata-rata dan penyebaran dari jenis-jenis mangsa burung pantai di suatu wilayah tertentu, dan dengan demikian akan diketahui potensi rata-rata energi yang tersedia di suatu wilayah. Dan dapat dikaitkan dengan penyebaran dan konsentrasi sebaran burung pantai.

Menurut Ezekiel et al. (2011), faktor yang mempengaruhi nilai biomassa adalah faktor abiotik, seperti kedalaman makrozoobentos, adanya zat beracun dan ketidakstabilan fluktuasi salinitas. Hal ini di dukung juga oleh Subekti (2010), bahwa salah satu hal yang menyebabkan rendahnya kepadatan biomassa organisme makanan burung pantai adalah tingginya fluktuasi kadar garam sebagai akibat aliran sungai yang sangat beragam pada musim hujan dan kemarau.


(43)

4.5 Hubungan Panjang Paruh dengan Kedalaman Jenis Mangsa

Burung pantai yang memiliki paruh yang lebih panjang memiliki kesempatan memperoleh makanan yang lebih banyak dibandingkan burung dengan paruh yang lebih pendek (Gambar 4.2). Numenius spp. dan Limosa spp. merupakan burung dengan paruh panjang memiliki kesempatan untuk memperoleh makanan yang lebih banyak dibanding spesies yang lain. Diantara spesies Numenius spp. burung memiliki kesempatan memperoleh makanan lebih banyak adalah Numenius madagascariensis, karena burung ini memiliki paruh yang sangat panjang (MacKinnon et al. 1998). Berdasarkan penelitian Jumilawaty & Mulya (2013), menyatakan bahwa makrozoobentos yang paling disukai oleh burung pantai terutama genus Numenius spp. adalah dari jenis Sinovacula virens.

Perbedaan panjang paruh burung pantai akan mengurangi kompetisi dalam mencari makan. Hal ini sesuai dengan parnyataan Howes et al. (2003) yang menyatakan bahwa kompetisi burung pantai teratasi dengan adanya spesialisasi pada masing-masing burung, dalam bentuk penampakan morfologi, sehingga burung tersebut dapat mencari makan pada strata dan jenis makanan yang berbeda pada lokasi yang sama. Menurut Stillman et al. (2005) bahwa berbeda jenis spesies burung pantai maka akan berbeda ukuran paruh burung, menyebabkan burung memangsa jenis yang berbeda dan rentang ukuran yang berbeda pula. Hal ini didukung juga oleh Subekti (2010) bahwa adanya perbedaan jangkauan atau kedalaman tiap jenis burung Calidris pada tipe pergerakan paruh maka ada kemungkinan kesamaan dan perbedaan jenis organisme yang dimakan oleh burung tersebut, akan tetapi ada perbedaan strata tanah dan lokasi yang digunakan. Perbedaan cara mencari makan burung pantai dapat digunakan untuk mengetahui pemilihan jenis mangsa atau organisme yang dimakan oleh burung pantai.

Perbedaan cara mencari makan juga terlihat pada spesies Arenaria interpres, spesies ini mencari makan dengan cara membalik batu atau benda-benda kecil yang dianggap terdapat makanan dibawahnya.


(44)

Gambar 4.2. Hubungan Panjang Paruh dengan Kedalaman Keberadaan Jenis Mangsa (Howes et al. 2003)

Tringa hypoleucos selama pengamatan tidak ditemukan mencari makan di hamparan lumpur, tapi mencari makan di tepi pantai. Pada pagi hari spesies ini selalu yang pertama di jumpai dari jenis burung pantai dan tidak berkelompok dengan jumlah yang tidak banyak. Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan Jamaksari (2011), dimana Tringa hypoleucos

termasuk dalam kategori yang melimpah dan menyebar secara mengelompok. Hal ini mungkin disebabkan karena jenis makanan yang disukai burung tersebut, selama penelitian Tringa hypoleucos terlihat menangkap kepiting yang berada di tepi pantai.

Berdasarkan hasil penelitian kedalaman 0-5 cm memiliki jumlah individu makrozoobentos tertinggi dibandingkan dengan kedalaman yang lain (Lampiran 6). Jumlah individu terendah terdapat pada kedalaman 26-30 cm, dari hal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa semakin tinggi kedalaman maka semakin berkurang jumlah individu.


(45)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang yang diperoleh dari hasil penelitian di Pantai Baru adalah:

a. Jenis burung pantai yang ditemukan dilokasi penelitian adalah 19 spesies dengan jumlah individu 1.589. Jumlah individu tertinggi adalah Pluvialis fulva

(319), terendah Numenius madagascariensis (1). Dengan indeks keanekaragaman tergolong sedang.

b. Sebanyak 21 spesies makrozoobentos di temukan dilokasi penelitian, yang tergolong ke dalam 5 kelas, yaitu bivalvia, crustacea, gastropoda,

phascolosomatidea dan polychaeta. Pada lokasi 1 ditemukan 13 spesies, lokasi 2 (14 spesies), lokasi 3 (12 spesies) dan lokasi 4 (9 spesies). Dengan indeks keanekaragaman tergolong rendah, dan indeks kemerataan tergolong tinggi. c. Nilai biomassa makrozoobentos tertinggi dari spesies Sinovacula virens

(1800,06 gr.m-3), sedangkan terendah Balanus sp.2 (1,42 gr.m-3). Biomassa pada lokasi 1 memiliki nilai tertinggi di bandingkan dengan lokasi yang lain, yaitu 1659,63 gr.m-3, dan terendah adalah pada lokasi 3 yaitu 974,26 gr.m-3.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian secara berkala untuk mengatahui jenis-jenis burung pantai setiap musim migrasi dan mengetahui pergantian populasi makrozoobentos yang digunakan oleh burung pantai sebagai sumber makanan, dengan adanya data tersebut maka akan diketahui seberapa besar pengaruh pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu terhadap populasi burung pantai.


(46)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Burung Pantai

Burung pantai dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai shorebird atau wader. Secara umum burung pantai diartikan sebagai sekelompok burung air yang secara ekologis bergantung pada kawasan pantai sebagai tempat mencari makan dan atau berbiak, berukuran kecil sampai sedang dengan berbagai bentuk dan ukuran paruh yang disesuaikan dengan keperluannya untuk mencari dan memakan mangsanya (Howes et al. 2003).

Sebagian besar burung pantai dikenal sebagai burung migran atau burung pendatang. Burung pantai di Indonesia sebagian besar merupakan burung pantai pendatang atau migran yang menghabiskan waktu di wilayah lahan basah untuk mencari makan serta menunggu kembali ke daerah berbiaknya, baik di belahan bumi utara (Rusia dan sekitarnya) maupun belahan bumi selatan (Australia dan Negara-negara Pasifik) (Howes et al. 2003, Diana, 2007).

Burung pantai melakukan migrasi sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi alam yang ekstrim di lokasi berbiaknya sehingga menyebabkan berkurangnya pasokan makanan. Perjalanan migrasi burung pantai ke belahan bumi selatan dilakukan sebagai upaya menghindari perubahan alam (cuaca) yang ekstrim dan memenuhi kebutuhan makanan untuk keberlangsungan hidupnya (Howes et al. 2003). Hewan melakukan migrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kepadatan populasi dan faktor kondisi fisik lingkungan, seperti adanya perubahan suhu dan persediaan sumber makanan (Susanto, 2000).

2.1.1 Taksonomi Burung Pantai

Sebagian besar burung pantai tergolong ke dalam dua suku besar, yaitu

Charadriidae dan Scolopacidae. Beberapa spesies lainnya termasuk ke dalam famili Jacanidae, Haematopodidae, Recurvirostridae, Glareolidae, Burhinidae,

Rostratulidae, Dromadidae, Ibidorhynchidae, Pluvianellidae dan Thinocoridae. Jumlah burung pantai yang ada di dunia sekitar 214 jenis. Dimana 65 spesies


(47)

diantaranya tercatat ditemukan di Indonesia (Howes et al. 2003, Diana, 2007). Penyebaran dan jumlah jenis burung pantai yang terdapat di dunia, Asia dan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.1. Pada Tabel 2.1 menunjukkan bahwa burung pantai dari famili Charadriidae dan Scolopacidae memiliki jumlah spesies yang paling banyak di bandingkan dengan famili yang lainnya.

Tabel 2.1. Kelompok Burung Pantai di Indonesia dan Dunia

No. Famili Jumlah Spesies per Kawasan

Dunia(1) Asia(1) Indonesia(2)

1 Jacanidae 8 3 3

2 Rostratulidae 2 1 1

3 Dromadidae 1 1 -

4 Haematopodidae 11 2 2

5 Ibidorhynchidae 1 1 -

6 Recurvirostridae 7 2 1

7 Burhinidae 9 3 1

8 Glareolidae 17 6 2

9 Charadriidae 65 19 16

10 Pluvianellidae 1 - -

11 Scolopacidae 88 46 39

12 Thinocoridae 4 - -

Total 214 84 65

Sumber: (1)Howes and Bakewell (1989) (2) Rusila (1994) dalam Howes et al. (2003)

2.1.2 Morfologi dan Stratifikasi Paruh Burung Pantai

Kelompok burung pantai memiliki ukuran tubuh mulai dari yang terkecil, yaitu

Calidris minutila dengan panjang tubuh sekitar 11 cm (4,5 inci) dan bobot sekitar 23-37 gram dengan bentangan sayap sepanjang 33 cm (Harrison, 1991). Burung pantai yang terbesar adalah gajahan timur (Numenius madagascariensis) dengan panjang tubuh 63 cm (25 inci) dan bobot sekitar 860 gram (Perrins, 1986), bobot yang terberat mencapai 2 kg (Neithammer, 1972). Selain itu, kelompok burung ini umumnya memiliki kaki yang panjang, bentuk tubuh dan paruh disesuaikan dengan keperluannya untuk mencari makan (Howes et al. 2003).

Famili Charadriidae merupakan burung perencah dengan ciri khas berparuh lurus, terdapat penebalan pada ujungnya. Tungkai panjang yang kuat, sebagian besar tidak memiliki jari belakang. Sayap agak panjang dengan ekor pendek. Warna tubuh dari famili Charadriidae (Gambar 2.1) kebanyakan coklat, hitam dan putih. Sedangkan famili Scolopacidae (Gambar 2.2), mempunyai kaki


(48)

yang panjang dengan paruh ramping memanjang. Pada beberapa jenis, paruh sangat panjang, yang digunakan untuk mengais ke dalam lumpur, mencari cacing dan udang-udangan yang bersembunyi. Famili ini memiliki jenis yang banyak dan tersebar luas. Umumnya ditemukan di pantai atau daerah lahan basah terbuka, sering di dekat laut (Howes et al. 2003).

Gambar 2.1.Famili Charadriidae Gambar 2.2. Famili Scolopacidae

Berbagai jenis burung pantai yang hidup di lahan basah secara bersamaan akan mengakibatkan terjadinya hubungan kompetitif antara jenis satu dengan yang lainnya sehingga menyebabkan pemisahan kegiatan (partition). Burung pantai yang hidup di lahan basah memiliki spesialisasi dalam hal memperoleh makanan (Susanto, 2000). Hal ini ditegaskan juga oleh Howes et al. (2003), burung pantai biasanya hidup secara berkelompok selama periode tidak berbiak, yang mengakibatkan adanya kompetisi baik dalam mencari makan maupun beristirahat. Kompetisi tersebut berkurang karena adanya spesialisasi morfologi, yaitu bentuk dan ukuran paruh, bentuk dan ukuran kaki serta ukuran mata. Untuk mengatasi hal tersebut, sangat penting bagi burung pantai untuk menerapkan mekanisme strategi makan yang efisien.

Kondisi di atas akan teratasi karena adanya spesialisasi dalam bentuk penampakan morfologi, sehingga burung pantai dapat mencari makan pada strata (berbagai kedalaman) lumpur dan jenis makanan yang berbeda pada lokasi yang sama. Seperti, pada beberapa jenis burung pantai, terdapat perbedaan panjang paruh antara jantan dan betina (betina mempunyai paruh yang lebih panjang). Perbedaan tersebut kemudian berpengaruh terhadap kompetisi antar jenis kelamin


(49)

terhadap sumber daya makanan yang dieksploitasi. Sebagai contoh, Calidris ferruginea betina dapat menangkap mangsa di strata dangkal maupun yang dalam. Sementara yang jantan hanya dapat menangkap mangsa pada lubang yang dangkal. Perbedaan panjang paruh antar jenis burung pantai dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Hubungan Panjang Paruh dengan Kedalaman Keberadaan Jenis Mangsa (Howes et al. 2003)

2.1.4 Habitat Burung Pantai

Lahan basah merupakan habitat penting bagi burung air termasuk burung pantai yang digunakan sebagai tempat berbiak, bersarang dan membesarkan anaknya, tempat mencari makan, sumber air minum, tempat berlindung dan melakukan interaksi sosial.

Burung pantai menyukai habitat lahan basah, seperti hutan mangrove, hamparan lumpur (mudflat), rawa rumput, savana, rawa herba, danau alam dan buatan, serta lahan basah buatan. Keberadaan lahan basah sebagai habitat burung air telah dirumuskan sebagai salah satu kepentingan internasional dalam Konvensi Ramsar Iran pada tahun 1971 (Sibuea et al. 1997). Berdasarkan Konvensi Ramsar, lahan basah merupakan daerah rawa, lahan gambut, atau air, baik yang alami maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, dengan air tergenang atau mengalir, bersifat tawar, payau atau asin, termasuk wilayah perairan yang pada waktu surut tidak lebih dari 6 meter (Dugan, 1990).


(50)

Faktor yang paling penting dalam suatu habitat adalah ketersediaan pakan bagi satwa (Jamaksari, 2011). Pola pemilihan habitat oleh burung pantai berhubungan erat dengan kedalaman air dan morfologi dari masing-masing spesies. Morfologi (paruh, kaki dan leher) sangat mempengaruhi dalam perilaku mencari makan dan keberhasilan memperoleh makan (Howes et al. 2003). Menurut Burger et al. (1996), burung pantai lebih banyak ditemukan pada hamparan lumpur yang memiliki pasang surut air laut jika dibandingkan dengan pantai terbuka dan rawa baik dipengaruhi oleh pasang surut maupun tidak. Tetapi, burung pantai lebih menyukai hamparan lumpur dan rawa dengan pasang surut rendah dibandingkan dengan daerah yang sama memiliki fluktuasi pasang surut tinggi.

2.1.4 Makanan Burung Pantai

Makanan merupakan faktor yang mempengaruhi keberlangsungan hidup makhluk hidup termasuk burung air (burung pantai). Burung merupakan konsumer penting pada komunitas intertidal, burung membutuhkan energi yang tinggi dan efisiensi dalam memperoleh makanan (Botto et al. 1998). Kuantitas dan kualitas makanan yang diperlukan oleh satwaliar berbeda menurut jenis, perbedaan kelamin, kelas umur, fungsi fisiologi, musim, cuaca, dan kondisi geografisnya. Oleh karena itu, ketersediaan makanan merupakan hal yang sangat mendasar untuk mengetahui distribusi dan kelimpahan hewan (Alikodra, 2002).

Burung air (termasuk burung pantai) membutuhkan makanan sebagai sumber energi untuk melakukan berbagai proses fisiologi dalam kelangsungan hidup, diantaranya untuk bergerak, berbiak dan interaksi dengan burung air lainnya. Makanan merupakan sumber daya yang sangat penting dalam banyak aspek bagi ekologi burung (Wiens, 1989). Burung pantai memanfaatkan lokasi lahan basah yang terdapat pakan untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber pakan burung pantai sebagian besar terdiri dari bentos. Makrozoobentos yang sering dijadikan makanan bagi burung pantai dari bivalvia, gastropoda, crustacea, polychaeta dan ikan (Howes et al. 2003).

Bentos adalah organisme air yang mendiami bagian dasar perairan dan tinggal di dalam atau pada sedimen dasar perairan (Suin, 2002, Odum, 1971).


(51)

Bentos yang termasuk hewan disebut zoobentos, sedangkan yang tergolong tumbuhan disebut fitobentos. Pada umumnya zoobentos adalah makroinvertebrata yang meliputi insekta, moluska, oligochaeta, crustacea, dan nematoda.

Berdasarkan hidupnya di substrat dibedakan menjadi 2, antara lain epifauna yaitu, bentos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan dan infauna merupakan bentos yang hidupnya terbenam didalam substrat perairan (Cummnis, 1975 dalam Setiawan, 2008). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Makrozoobentos yang hidup di atas dan di dalam substrat dasar perairan (Cummins, 1975 dalam Setiawan, 2008).

2.2 Faktor Fisik dan Kimia Lingkungan

Faktor fisik dan kimia air sering merupakan faktor pembatas bagi organisme air, sehingga selalu di ukur dalam studi ekologi perairan, antara lain suhu, cahaya, konduktivitas dan kecepatan arus (Suin, 2002).

2.2.1 Suhu

Suhu merupakan pengatur utama proses fisika dan kimia yang terjadi di perairan. Suhu secara tidak langsung akan mempengaruhi kelarutan oksigen dan secara langsung mempengaruhi proses kehidupan organisme seperti pertumbuhan dan reproduksi dan penyebarannya. Suhu dapat berperan sebagai faktor pembatas utama bagi banyak makhluk hidup dalam mengatur proses fisiologinya disamping faktor lingkungan lainnya (Setiawan, 2008).

Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, garis lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, aliran serta kedalaman dari badan air.


(52)

Cahaya matahari yang masuk ke perairan mengalami penyerapan dan berubah menjadi energi panas, proses penyerapan cahaya berlangsung lebih intensif pada lapisan sebelah atas perairan sehingga lapisan ini akan lebih panas dan mempunyai densitas yang lebih kecil dari pada lapisan bawahnya (Effendi, 2000).

2.2.2 Kecerahan

Selama periode pasang surut maupun pada pasang naik menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan waktu, dimana pada waktu pasag surut pengaruh daratan lebih dominan sehingga tingkat kecerahannya lebih tinggi berpengaruh terhadap kondisi perairan, juga dipengaruhi oleh limbah yang menutupi permukaan perairan sehingga dapat menghalangi penetrasi cahaya (Nontji, 1993).

2.2.3 Salinitas

Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volum air yang biasanya dinyatakan dalam satuan promil (‰) (Setiawan, 2008). Notji (2002) menyatakan bahwa perairan dengan pengadukan vertikal yang kuat disebabkan oleh gerak pasang surut hingga menyebabkan perairan sungai menjadi homogen secara vertikal, karena berada di bawah kondisi pasang surut maka salinitas dapat berubah secara drastis, bergantung pada kedudukan pasang dan surut. Pada saat surut salinitas didominansi oleh air tawar yang datang dari sungai, sedangkan pada saat pasang masuknya air laut yang menentukan salinitas.

2.2.4 pH

Nilai pH ini dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen, dan adanya ion-ion. Dari hasil aktivitas biologi dihasilkan CO2 yang merupakan hasil respirasi, CO2 inilah yang akan membentuk

buffer atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod, 1973). Kehidupan organisme akuatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH. Pada umumnya organisme akuatik toleran pada kisaran nilai pH yang netral (Odum, 1998). Makrozoobentos memiliki kisaran toleransi terhadap pH


(53)

yang berbed-beda, seperti gastropoda lebih banyak ditemukan pada perairan dengan pH diatas 7. Bivalvia di dapatkan pada kisaran pH yang lebih lebar yaitu 5,6 – 8,3 (Hawkes, 1979).

2.2.5 Kadar Organik

Bahan organik tanah merupakan semua fraksi bukan mineral yang ditemukan sebagai komponen penyusun tanah. Bahan organik ini biasanya merupakan timbunan dari setiap sisa tumbuhan, binatang dan jasad mikro baik sebagian atau seluruhnya mengalami perombakan (Marasabessy, 2003).

Bahan-bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi hewan bentos. Bahan tersebut biasanya berasal dari dekomposisi organisme yang masuk ke sungai. Substrat yang kaya bahan organik dapat melimpahkan hewan bentos yang di dominasi oleh deposit feeder. Karakter substrat suatu perairan sangat menentukan keberadaan makrozoobentos di perairan tersebut. Dasar berupa batuan-batuan di dominasi oleh makrozoobentos yang mampu menempel dan melekat. Dasar yang lunak dan selalu berubah-ubah biasanya membatasi makrozoobentos untuk berlindung (Setiawan, 2008). Menurut Odum (1993), pengendapan partikel lumpur di dasar perairan tergantung pada arus air jika arus air kuat, partikel yang mengendap berukuran besar dan jika arus air tidak kuat, partikel yang mengendap akan memiliki ukuran yang lebih kecil.

2.2.6 Tekstur Tanah

Tekstur mempunyai arti kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, tekstur dapat dirasakan apakah tanah tersebut kasar dan tajam atau halus dan lembut, sebutan tekstur menunjukkan distribusi ukuran-ukuran partikel yang terdapat dalam tanah tersebut. Dengan demikian, tektur tanah merupakan suatu ciri tanah yang permanen dan alami, yang paling sering dipergunakan untuk mengelompokkan susunan fisiknya. Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah, berdasarkan atas perbandingan banyaknya butir-butir pasir, debu dan liat. Bahan-bahan tanah yang halus dapat dibedakan menjadi, pasir (2mm-50µ), debu (50µ-2µ) dan liat (kurang dari 2µ) (Marasabessy, 2003).


(1)

BIODIVERSITY OF SHOREDBIRDS AND POTENTIAL FOOD AT PANTAI BARU PANTAI LABU SUBDISTRICT DELI SERDANG

REGENCY NORTH SUMATERA

ABSTRACT

Research about biodiversity of shoredbirds and potential of the food had been conducted for February to November 2013. The research was aimed to know biodiversity of shoredbirds and potenstial of food. Pantai Baru is one of beach along eastern of the beach in Sumatera and determined as Important Bird Area (IBA). Shoredbirds data sampling used Concentration Method, and macrozoobenthos sampling used paralone pipe. Futhermore to estimate the potential food used the calculation of macrozoobenthos biomass.. The result of research found two families (Charadriidae and Scolopaciidae) and 19 species of shorebirds which used this location as feeding ground, and 21 species of macrozoobenthos which had potential as source of shorebird food, and biomass contained in the location of research was 1175,38 g.m-3. The highest bird species were Pluvialis fulva (319) and the lowest Numenius madagascariensis (1). The highest number of macrozoobenthos was Nereis sp. of 8.684 ind. and the lowest was Balanus sp. 1 Balanus sp. 2 Goneplax sp. each of them 7 ind. The highest biomass was found in Sinovacula virens (1800,06 gr.m-3) and lowest in Balanus sp.2 (1,42 gr.m-3).

Keyword: Biodiversity, Macrozoobenthos, Pantai Baru, Potential Food, Shoredbird.


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar I

Abstrak Ii

Abstrack Iii

Daftar Isi Iv

Daftar Tabel Vi

Daftar Gambar Vii

Daftar Lampiran Viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Burung Pantai 5

2.1.1 Taksonomi Burung Pantai 5

2.1.2 Morfologi Burung Pantai dan Stratifikasi Paruh

Burung Pantai 6

2.1.3 Habitat Burung Pantai 8

2.1.4 Makanan Burung Pantai 9

2.2 Faktor Fisik dan Kimia Lingkungan 10

2.2.1 Suhu 11

2.2.2 Kecerahan 11

2.2.3 Salinitas 11

2.2.4 pH 12

2.2.5 Kadar Organik 12

2.2.6 Tekstur Tanah 13

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 14

3.1 Waktu dan Tempat 14

3.2 Alat dan Bahan 14

3.3 Deskripsi Area 14

3.4 Metode Pengumpulan Data 15

3.4.1 Pengambilan Data Burung 15

3.4.2 Pengambilan Makrozoobentos 16

3.4.3 Pengukuran Biomassa 17

3.4.4 Pengukuran Parameter Fisika-Kimia 17

3.4.5 Tekstur Tanah 18

3.4.6 Kadar Organik 19


(3)

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21 4.1 Keanekaragaman Burung Pantai 21 4.2 Faktor Fisik Kimia di Pantai Baru 25 4.3 Keanekaragaman Makrozoobentos 27

4.4 Biomassa Makrozoobentos 30

4.5 Hubungan Panjang Paruh dengan Kedalaman Jenis

Mangsa 32

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 34

5.1 Kesimpulan 34

5.2 Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 36


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

2.1 Kelompok Burung Pantai di Indonesia dan Dunia 6

3.1 Pengukuran Faktor Fisika-Kimia 18

4.1 Jenis-Jenis Burung Pantai yang Ditemukan di Pantai Baru

Selama Waktu Pengamatan/Penelitian 21 4.2 Perbandingan Jumlah Spesies di Asia, Indonesia dan

Pantai Baru 23

4.3 Indeks Keanekaragaman Spesies (H’), Jumlah Spesies (S),

Jumlah Individu (N), Indeks Kemerataan (E) Burung Pantai

24

4.4 Faktor Fisika Kimia di Lokasi Penelitian 26 4.5 Jumlah Individu Makrozoobentos di Pantai Baru 28

4.6 Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Kemerataan (E)

Makrozoobentos

30


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.1 Famili Charadriidae 7

2.2 Famili Scolopacidae 7

2.3 Hubungan Panjang Paruh dengan Kedalaman Jenis

Mangsa 8

2.4 Makrozoobentos yang Hidup di atas dan di dalam

Substrat Dasar Perairan 10

3.1 Lokasi Penelitian 15

3.2 Contoh Perhitungan Jumlah Burung dengan Metode Blok 16 4.1 Perbandingan Jumlah Individu Burung Pantai 25 4.2 Hubungan Panjang Paruh dengan Kedalaman Jenis


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1 Peta Lokasi 40

2 Bagan Kerja Tekstur Tanah 41

3 Bagan Kerja Kadar Organik 42

4 Klasifikasi dan Deskripsi Burung Pantai 43

5 Foto Jenis Makrozoobentos 53

6 Data Makrozoobentos per Kedalaman 54

7 Data Biomassa Makrozoobentos per Spesies 56

8 Foto Kerja 58

9 Curah Hujan, Kelembaban, Suhu Rata-Rata dan