Teori Orthogonal Merchant Kajian Pembentukan Geram AISI 4140 pada Proses Pemesinan Keras, Kering, dan Laju Tinggi

Z = f.a.v 2.7 Sudut potong utama principal cutting edge angle K r adalah sudut antara mata potong utama dengan laju pemakanan V f , besarnya sudut tersebut ditentukan oleh geometri pahat dan cara pemasangan pada mesin bubut. Untuk nilai pemakanan f dan kedalaman potong a yang tetap maka sudut ini akan mempengaruhi lebar pemotongan b dan tebal geram sebelum terpotong h sebagai berikut :  Lebar pemotongan b = mm 2.8  Tebal geram sebelum terpotong h h = mm 2.9 Dengan demikian penampang geram sebelum terpotong adalah : A = f.a = b.h mm 2.10

2.2 Teori Orthogonal Merchant

Suatu analisis mekanisme pembentukan geram yang dikemukakan oleh Merchant mendasarkan teorinya atas model pemotongan sistem tegak Orthogonal Sistem. Sistem pemotongan tegak merupakan penyederhanaan dari sistem pemotongan miring Oblique System dimana gaya diuraikan menjadi komponennya pada suatu bidang. Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis model tersebut adalah: a Mata potong pahat sangat tajam sehingga tidak menggosok atau menggaruk benda kerja b Deformasi terjadi hanya dua dimensi, c Distribusi tegangan yang merata pada bidang geser, dan d Gaya aksi dan reaksi pahat terhadap bidang geram adalah sama besar dan segaris tidak menimbulkan momen kopel Karena berasal dari satu gaya yang sama mereka dapat dilukiskan pada suatu lingkaran dengan diameter yang sama dengan gaya total F, lihat gambar 2.4. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4 Lingkaran Gaya Pemotongan Lingkaran Merchant Sumber : Rochim 1993 Lingkaran tersebut digambarkan persis diujung pahat sedemikian rupa sehingga semua komponen menempati lokasi seperti yang dimaksud. Gambar ini merupakan sistem gaya pada pemotongan orthogonal dan dalam prakteknya dapat didekati dengan menggunakan pahat dengan sudut k r = 90 o dan sudut  s = 0 o dengan kecepatan potong jauh lebih tinggi daripada kecepatan makan. Berdasarkan analisis geometric dari lingkaran gaya Merchant dapat diturunkan rumus dasar gaya potong F v : 2.11 dan 2.12 Dari kedua rumus di atas, maka : 2.13 Gaya geser Fs dapat digantikan dengan penampang bidang geser dan tegangan geser yang terjadi padanya yaitu: 2.14 dengan : = Tegangan geser pada bidang geser Nmm 2 Universitas Sumatera Utara = Penampang bidang geser, = Asin ; mm 2 A = penampang geram sebelum terpotong, = b.h ; mm 2 Dengan demikian rumus gaya potong adalah, 2.15 Rumus teoritik di atas diturunkan dalam analisa proses pemotongan Orthogonal yang berarti K r = 90 o dan  s = 0 o . Pada kondisi di atas, hanya faktor sudut potong utama K r dan kondisi bahan yang diperhatikan sedangkan faktor – faktor koreksi untuk kondisi pemotongan , seperti kecepatan potong, kecepatan makan dan lain – lain belum dipertimbangkan. Dari pernyataan diatas, dapat digunakan rumus empiris yang lebih kompleks, yaitu: 2.16 dimana: K s = gaya potong spesifik Nmm 2 A = penampang geram sebelum terpotong mm 2 =h.b = f.a Gaya potong spesifik K s akan dipengaruhi oleh pahat jenis dan geometri, benda kerja jenis dan kondisi pengerjaan, dan kondisi pemotongan serta jenis permesinan yang dapat berciri spesifik. 2.17 K s1.1 = gaya potong spesifik referensi Nmm2 Z = pangkat tebal geram = 0.2 C k = faktor sudut potong utama K r C  = faktor koreksi sudut geram  o C VB = faktor koreksi keausan V B C V = faktor koreksi kecepatan potong v Universitas Sumatera Utara Nilai K s1.1 dapat diperoleh dari persamaan gaya potong spesifik referensi dengan kekuatan tarik. 2.18 Dimana:  u = kekuatan tarik Nmm 2 Untuk menentukan besar gaya gesek dan gaya normal pada bidang geram F γ dan F γn dapat diturunkan dari gaya potong dan gaya makan F v dan F f , yaitu : 2.19 dan 2.20 Maka kombinasi dari dua formula di atas diperoleh formula koefisien gaya gesek adalah: 2.21 Dari formula diatas dapat dinyatakan bahwa koefisien gesek dipengaruhi oleh sudut geram. Tetapi rumus tersebut tidak menyatakan bahwa dengan mengubah sudut geram gaya potong dan gaya makan tidak berubah. Dalam kenyataan, gaya potong dan gaya makan berubah dengan berubahnya sudut geram dan hal ini disebabkan oleh perubahan sudut geser Ф. Dari persamaan 2.15, dikarenakan gaya potong F v merupakan fungsi dari sudut geser Ф maka sudut geser maksimum dapat dicari dengan cara deferensiasi dan hasilnya disamakan dengan nol, dengan menyederhanakan persamaan tersebut diperoleh 2.22 Rasio Pemampatan Tebal Geram yang merupakan perbandingan antara tebal geram dengan tebal geram sebelum terpotong. Rasio ini dapat dinyatakan : Universitas Sumatera Utara 2.24 Dari rumus diatas maka sudut geser berdasarkan pengukuran dapat diturunkan sebagai berikut: 2.24 Adapun hubungan antara sudut geram sebagai fungsi dari rasio pemampatan tebal geram  h untuk sudut o = 20 o , 0 o , dan -20 o . Gambar 2.5 Sudut geser  sebagai fungsi dari rasio pemampatan tebal geram  h Sumber : Rochim, 1993 Jika sudut geram telah ditetapkan, maka sudut geser dapat dihitung dengan mengukur rasio pemampatan tebal geram. Akan tetapi tebal geram tak dapat diukur secara langsung tanpa mengakibatkan kesalahan pengukuran sebab, a. Permukaan geram relatif kasar, dan b. Geram tidak lurus karena dalam kenyataan bidang geser tidak lurus melainkan melengkung yang diakibatkan oleh distribusi tegangan geser yang tidak merata. Rasio pemampatan tebal geram merupakan karakteristik dari proses permesinan berarti dipengaruhi oleh material benda kerja, jenis pahat, sudut pahat, kecepatan potong, kecepatan makan dan pemakaian cairan pendingin. Universitas Sumatera Utara Dikarenakan adanya pemampatan tebal geram, maka kecepatan aliran geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong. Gambar 2.6 menunjukkan kecepatan aliran geram v c dan kecepatan potong v. Gambar 2.6 Arah kecepatan geser v s , kecepatan aliran geram v c dan kecepatan potong v. Sumber : Rochim, 1993 Dari Gambar 2.6 diatas, arah kecepatan geser vs ditentukan oleh kecepatan aliran geram v c dan kecepatan potong v. Berdasarkan aturankaidah tangan kanan, dari Gambar 2.6 arah pergerakan mata pahat v f searah pada sumbu x, dan kecepatan potong v yang terbentuk terletak pada sumbu z. Kecepatan geser v s akan lebih tinggi daripada kecepatan potong v untuk sudut geram γ negatif Rochim, 1993. Sehingga berdasarkan polygon kecepatan tersebut maka dapat dirumuskan sebagai berikut : 2.25 dengan : v c = kecepatan aliran geram v = kecepatan potong karena, 2.26 Maka: 2.27 Universitas Sumatera Utara Karena λ h 1 maka kecepatan geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong. Selanjutnya kecepatan geser dapat diketahui dari poligon yaitu ; 2.28 atau 2.29 Persamaan diatas menunjukkan bahwa kecepatan geser v s akan lebih tinggi daripada kecepatan potong v untuk sudut geram negatif atau nol.

2.3 Geram