Analisa Gaya dan Suhu Pemotongan Terhadap Geometri Geram Pada Proses Pemesinan Laju Tinggi, Keras dan Kering (Bahan AISI 4140 – Pahat CBN)

(1)

ANALISA GAYA, DAN SUHU PEMOTONGAN TERHADAP GEOMETRI GERAM PADA PROSES PEMESINAN TINGGI, KERAS DAN KERING

(BAHAN AISI 4140 - PAHAT CBN)

SKRIPSI

Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

FACHRIZA 060401077

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulilah saya ucapkan Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesehatan, dan kesempatan sehingga tugas sarjana ini dapat selesai.Tugas sarjana yang berjudul “Analisa Gaya dan Suhu Pemotongan Terhadap Geometri Geram Pada Proses Pemesinan Laju Tinggi, Keras dan Kering (Bahan AISI 4140 Pahat CBN)” ini dimaksudkan sebagai satu diantara syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana Teknik Mesin Program Reguler di Departemen Teknik Mesin – Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Tugas sarjana ini berisikan penelitian yang berhubungan dengan pembahasan gaya pembentukan geram menggunakan teori Merchant dan suhu pemotongan AISI 4140 - pahat Cubic Boron Nitride (CBN) pada proses pembubutan keras, kering dan laju tinggi.

Selama Pembuatan tugas sarjana ini dimulai dari penelitian sampai penulisan, saya banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Kedua orangtuaku, ayahanda Edi Arifin dan ibunda Hanim A. Basri yang

telah memberikan perhatian, do’a, nasehat dan dukungan baik moril maupun

materil, juga kakakanda Ulfahmi dan adinda Annisa yang terus menerus memberikan masukan selama pembuatan tugas sarjana ini.

2. Bapak Prof. DR. Ir. Armansyah Ginting, M.Eng selaku dosen pembimbing Tugas sarjana yang telah banyak membantu menyumbang pikiran dan meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dalam menyelesaikan tugas sarjana ini.

3. Bapak DR. Ing-Ir. Ikhwansyah Isranuri selaku ketua Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi di Departemen Teknik Mesin, Kak Ismawati, Kak Sonta, Bang Syawal, Bang Sarjana, dan Bang Lilik yang telah banyak membantu dan memberikan ilmu selama perkuliahan.


(7)

5. Seluruh anggota dalam tim penelitian ini, Bang Bobby Umroh, Bu Bertha br Ginting, Bang Enzo, Bang Yudi, Pak Budi Harto, dan Fahrul Muharram. Penelitian ini merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga bagi saya untuk dapat meningkatkan ilmu, dan kualitas, serta pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.

6. Pak Sunaryanto, ST selaku staf pengajar di Politeknik Medan yang telah banyak memberikan arahan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi kesempurnaan penelitian yang telah dilakukan.

7. Seluruh teman – teman stambuk 2006, M. Alfian, M. Wirza, Yasser Arafat, Fajar Hidayat, T. Fahri, Julius Putra, Wendy Aditya, dan lainnya yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan baik selama perkuliahan maupun dalam pembuatan tugas sarjana ini.

Saya menyadari bahwa tugas sarjana ini masih jauh dari sempurna.Oleh sebab itu, saran dan kritik dari pembaca sekalian sangat diharapkan demi kesempurnaan skrispi ini.Semoga tugas sarjana ini bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.

Medan, 25 April 2011

Fachriza


(8)

ABSTRAK

Pada penelitian ini, bahan AISI 4140 dengan kekerasan 55 HRC akan dipotong menggunakan pahat CBN pada proses pemesinan laju tinggi, keras dan kering dengan tujuan mempelajari morfologi geram yang terbentuk dan hubungan antara geometri geram dengan nilai parameter orthogonal Merchant (teoritik). Geram yang dihasilkan dari seluruh kondisi pemotongan diamati morfologinya serta diukur geometrinya terutama tebal geram yang terjadi untuk menghitung gaya dan suhu pemotongan menggunakan teori orthogonal Merchant. Hasil penelitian menunjukkan bahwa morfologi geram yang terbentuk memiliki geometri seperti mata gergaji (sa w-tooth). Untuk gaya pemotongan yang mengalami trend yang meningkat akan menyebabkan geram semakin tebal dengan jarak antara mata puncak gergaji semakin renggang yang diikuti dengan penurunan jumlah mata gergaji dan rasio geram. Sedangkan untuk suhu pemotongan dengan trend yang meningkat akan menyebabkan geram semakin tebal dengan jarak antara mata puncak gergaji semakin rapat yang mengakibatkanpeningkatan jumlah mata gergaji dan rasio geram.


(9)

DAFTAR ISI

LEMBARAN PENGESAHAN DARI PEMBIMBING ... i

SPESIFIKASI TUGAS ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR NOTASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan penelitian ... 2

1.3 Manfaat penelitian ... 3

1.4 Batasan masalah ... 3

1.5 Sistematika penulisan ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Pemesinan Laju Tinggi, Keras, dan Kering ... 5

2.2 Proses Pembubutan ... 10

2.3 AISI 4140 ... 14

2.4 Pahat CBN (Cubic Boron Nitride)... 15

2.5 Geram ... 17

2.5.1 Proses Pembentukan Geram ... 17

2.5.2 Morfologi Geram ... 18

2.5.3Lingkaran Gaya Pembentukan Geram (Lingkaran Merchant) ... 20

2.6 Suhu Pemotongan Logam ... 26

2.6.1 Suhu pada Zona Deformasi Pertama ... 28

2.6.2 Suhu pada Zona Defromasi Kedua ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 31

3.1 Bahan ... 31


(10)

3.1.2 Bahan Pahat Potong ... 32

3.2 Peralatan ... 34

3.2.1 Mesin bubut konvensional ... 34

3.2.2 Fixed Steady ... 35

3.2.3 Tool Holder ... 35

3.2.4 Mikroskop USB digital ... 35

3.2.5 Digital Caliper ... 36

3.3 Kerangka Konsep Penelitian ... 37

3.4Tempat dan Waktu ... 38

3.5 Kondisi Pemesinan ... 38

3.6 Rancangan Kegiatan ... 39

3.6.1 Proses Pemesinan ... 39

3.6.2 Pengambilan Gambar Morfologi Geram ... 40

3.6.3 Pengukuran Geometri Geram ... 40

3.6.4 Perhitungan Gaya dan Suhu Pemotongan ... 44

3.6.5 Pengumpulan Data ... 44

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN ... 46

4.1 Hasil ... 46

4.1.1 Morfologi Geram Kondisi Pemotongan I ... 46

4.1.2 Morfologi Geram Kondisi Pemotongan II ... 47

4.1.3 Morfologi Geram Kondisi Pemotongan III ... 48

4.1.4 Morfologi Geram Kondisi Pemotongan IV ... 49

4.1.5 Morfologi Geram Kondisi Pemotongan V ... 50

4.1.6 Data Pemesinan Parameter Orthogonal Merchant ... 58

4.1.7 Komponen Kecepatan dan Gaya Pembentukan Geram ... 58

4.1.8 Suhu Pemotongan ... 62

4.2 Pembahasan ... 65

4.2.1 Hubungan Gaya Pemotongan dengan Geometri Geram ... 65

4.2.2 Hubungan Suhu Pemotongan dengan Geometri Geram ... 70

BAB V KESIMPULAN dan SARAN ... 77

5.1 Kesimpulan ... 77


(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN A DATA PEMESINAN PARAMETER

ORTHOGONAL MERCHANT ... 83 LAMPIRAN B KOMPONEN GAYA PEMOTONGAN

PADA SETIAP KONDISI PEMOTONGAN ... 86 LAMPIRAN C SUHU PEMOTONGAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Komposisi Kimia AISI 4140 31

Tabel 3.2 Sifat Termal AISI 4140 31

Tabel 3.3 Sifat Mekanik AISI 4140 32

Tabel 3.4 Sifat Mekanik dan Thermal dari CBN 33

Tabel 3.5 Spesifikasi mesin bubut konvensional Emco Maximat V13 34

Tabel 3.6 Tempat dan waktu penelitian 38

Tabel 3.7 Kondisi Pemesinan 38

Tabel 3.8 Format tabel untuk pengumpulan data

yang dihasilkan dari proses pemesinan 44

Tabel 3.9 Format tabel untuk pengumpulan data

yang diperoleh dari hasil pengukuran geometri geram

dengan parameter Orthogonal Merchant 44

Tabel 4.1 Geometri Geram untuk setiap kondisi pemotongan 51 Tabel 4.2 Hasil perhitungan Gaya pemotongan dan pengukuran

geometri geram untuk setiap kondisi pemotongan 65 Tabel 4.3 Suhu Pemotongan Teoritik dengan geometri geram

untuk setiap kondisi pemotongan 70

Tabel 5.1 Nilai parameter Orthogonal Merchant (teoritik) untuk

setiap kondisi pemotongan dalam menghasilkan geram 77 Tabel A.1 Data Pemesinan kondisi I

(Vc=225 m/min; a=1,1mm; f=1,1 mm/rev) 83

Tabel A.2 Data Pemesinan Kondisi II

(Vc=225 m/min; a=0,7 mm; f=0,16 mm/rev) 83 Tabel A.3 Data Pemesinan Kondisi III

(Vc=250 m/min; a=0,3 mm; f=0,1 mm/rev) 84 Tabel A.4 Data Pemesinan Kondisi IV

(Vc = 250 m/min; a = 1 mm; f = 0,1 mm/rev) 84 Tabel A.5 Data Pemesinan Kondisi V

(Vc = 250 m/min; a = 0,3 mm; f = 0,15 mm/rev) 85 Tabel B.1 Komponen Gaya pada kondisi I


(13)

(Vc=225 m/min; a=1,1mm; f=1,1 mm/rev) 86 Tabel B.2 Komponen Gaya pada kondisi II

(Vc=225 m/min; a=0,7 mm; f=0,16 mm/rev) 88 Tabel B.3 Komponen Gaya pada kondisi III

(Vc=250 m/min; a=0,3 mm; f=0,1 mm/rev) 90 Tabel B.4 Komponen Gaya pada kondisi IV

(Vc = 250 m/min; a = 1 mm; f = 0,1 mm/rev) 91 Tabel B.5 Komponen Gaya pada kondisi V

(Vc = 250 m/min; a = 0,3 mm; f = 0,15 mm/rev) 92 Tabel C.1 Suhu Pemotongan pada kondisi I

(Vc=225 m/min; a=1,1mm; f=1,1 mm/rev) 93

Tabel C.2 Suhu Pemotongan pada kondisi II

(Vc = 225 m/min; a = 0,7 mm; f = 0,16 mm/rev) 94 Tabel C.3 Suhu Pemotongan pada kondisi III

(Vc = 250 m/min; a = 0,3 mm; f = 0,1 mm/rev) 95 Tabel C.4 Suhu Pemotongan pada kondisi IV

(Vc = 250 m/min; a = 1 mm; f = 0,1 mm/rev) 96 Tabel C.5 Suhu Pemotongan pada kondisi V


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kecepatan Potong pada Proses Laju Tinggi 6

Gambar 2.2 Proses Bubut 10

Gambar 2.3 Penamaan (nomenclature) pahat kanan 11

Gambar 2.4 Proses Bubut 12

Gambar 2.5 Formasi geram pada proses bubut menurut analogi kartu 18 Gambar 2.6 Geram kontinu (continuous / Flow chips) 19 Gambar 2.7 GeramBersegmen atau Seperti Mata Gergaji

(Segmented or Sa w-Tooth chisp) 19

Gambar 2.8 Geram Tidak Kontinu (Discontinuous chips) 20 Gambar 2.9 Lingkaran Gaya Pemotongan (Lingkaran Merchant) 21 Gambar 2.10 Sudut geser  sebagai fungsi dari

rasio pemampatan tebal geram h 24

Gambar 2.11 Arah kecepatan geser (vs),

kecepatan aliran geram (vg) dan kecepatan potong (Vc) 25

Gambar 2.12 Panas yang Dibangkitkan Pada Pemotongan Orthogonal 27

Gambar 2.13 vs R tan 29

Gambar 2.14 Grafik hubungan antara dengan wo 30

Gambar 3.1 Geometri Benda Kerja 32

Gambar 3.2 (a) Pahat CBN dan (b) Geometri Pahat CBN 32

Gambar 3.3 Mesin Bubut Konvensional Emco 34

Gambar 3.4 Fixed Steady 35

Gambar 3.5 Tool Holder Sandvick Coromant 35

Gambar 3.6 Mikroskop USB digital Rax Vision 36

Gambar 3.7 Mistar Ingsut Digital 36

Gambar 3.8 Diagram Alir Konsep Penelitian 37

Gambar 3.9 Set up Peralatan 39

Gambar 3.10 Cara Pengukuran Tebal Geram (hc) 41 Gambar 3.11 Cara Pengukuran jarak antar mata gergaji () 42 Gambar 3.12 Cara Penghitungan Jumlah Mata Gergaji (np) 43


(15)

Gambar 4.1 Morfologi geram yang dihasilkan pada kondisi pemotongan Vc = 225 m/s;f= 0,165 mm/rev;a= 0,7 mm 46 Gambar 4.2 Morfologi Geram yang dihasilkan pada kondisi pemotongan

Vc = 225 m/s; f = 0,125 mm/rev;a= 1,1 mm 47 Gambar 4.3 Morfologi Geram yang dihasilkan pada kondisi pemotongan

Vc = 250 m/s; f = 0,1 mm/rev;a= 0,3 mm 48 Gambar 4.4 Morfologi Geram yang dihasilkan pada kondisi pemotongan

Vc = 250 m/s; f = 0,1 mm/rev;a= 1 mm 49 Gambar 4.5 Morfologi Geram yang dihasilkan pada kondisi pemotongan

Vc = 250 m/s; f = 0,15 mm/rev; a = 0,3 mm 50 Gambar 4.6 Hubungan Kecepatan pemotongan (Vc) dengan

tebal geram setelah terpotong (hc) 52

Gambar 4.7 Hubungan Kecepatan pemotongan (Vc) dengan

Jarak antar puncak mata gergaji () 52 Gambar 4.8 Hubungan Kecepatan pemotongan (Vc) dengan

jumlah puncak mata gergaji (np) 53

Gambar 4.9 Hubungan Kecepatan pemotongan (Vc) dengan

Rasio geram (rp) 53

Gambar 4.10 Hubungan pemakanan (f) dengan

tebal geram setelah terpotong (hc) 54

Gambar 4.11 Hubungan pemakanan (f) dengan

Jarak antar puncak mata gergaji () 54 Gambar 4.12 Hubungan pemakanan (f) dengan

jumlah puncak mata gergaji (np) 55

Gambar 4.13 Hubungan pemakanan (f) dengan

Rasio geram (rp) 55

Gambar 4.14 Hubungan Kedalaman pemotongan (a) dengan

tebal geram setelah terpotong (hc) 56

Gambar 4.15 Hubungan Kedalaman pemotongan (a) dengan

Jarak antar puncak mata gergaji () 56 Gambar 4.16 Hubungan Kedalaman pemotongan (a) dengan


(16)

jumlah puncak mata gergaji (np) 57 Gambar 4.17 Hubungan Kedalaman pemotongan (a) dengan

Rasio geram (rp) 57

Gambar 4.18 hubungan antara kecepatan pemotongan (Vc)

dengan gaya pemotongan (Fv) 66

Gambar 4.19 hubungan antara gaya pemotongan (Fv) dengan

tebal geram setelah terpotong (hc) 67

Gambar 4.20 Hubungan antara gaya pemotongan (Fv) dengan

jumlah mata gergaji (np) 68

Gambar 4.21 hubungan antara gaya pemotongan (Fv) dengan

jarak antar puncak mata gergaji () 69 Gambar 4.22 hubungan antara gaya pemotongan (Fv) dengan

rasio (rp) geram 69

Gambar 4.23 hubungan antara kecepatan pemotongan (Vc)

dengan suhu pemotongan (maks) 71

Gambar 4.24 Hubungan antara suhu pemotongan (maks) dengan

tebal geram setelah terpotong (hc) 72

Gambar 4.25 Hubungan antara suhu pemotongan (maks) dengan

jarak antara mata puncak gergaji () 73 Gambar 4.26 Hubungan antara suhu pemotongan (maks)

dengan jumlah mata gergaji (np) 74

Gambar 4.27 Hubungan antara suhu pemotongan (maks)


(17)

DAFTAR NOTASI

Lambang Keterangan Satuan

a kedalaman pemotongan mm

A Penampang geram sebelum terpotong mm2

b lebar pemotongan mm

c kapasitas panas spesifik J/kg.oK

C faktor koreksi sudut geram (o)

Ck faktor sudut potong utama (Kr)

CV faktor koreksi kecepatan potong (v)

CVB faktor koreksi keausan (VB)

d diameter rata-rata mm

dm diameter akhir mm

do diameter mula mm

f pemakanan mm/rev

F Gaya Gesek pada bidang geram N

Fn Gaya Gesek normal pada bidang geram N

Ff Gaya gesek yang terjadi pada pemotongan logam N

Fs Gaya Geser N

Fsn Gaya Geser Normal pada bidang geser N

Fv Gaya pemotongan N

h tebal geram sebelum terpotong mm

hc tebal geram setelah terpotong mm

Kr sudut potong utama (o)

Ks gaya potong spesifik N/mm2

lt panjang pemesinan (mm)

n putaran poros utama (rpm)

Pf laju panas akibat gaya gesek (watt)

Pm energi yang dikonsumsi (watt)

Ps laju panas yang dibangkitkan di zona deformasi utama (J/s)


(18)

rp rasio untuk geram

tc waktu pemotongan min

Vc laju pemotongan m/min

vg Kecepatan Geram m/min

vf laju pemakanan mm/min

vs Kecepatan Geser pada bidang Geram m/min

z pangkat tebal geram, rata-rata bernilai 0,2

Z laju pembuangan geram cm3/min

satu bagian dari panas yang

tergenerasi rata-rata pada daerah deformasi utama

sudut geser (o)

massa jenis material benda kerja kg/m3

 jarak antar mata puncak mm

 Sudut Gesek (o)

o sudut geram (o)

u kekuatan tarik N/mm2

Penampang bidang geser mm2

suhu rata-rata geram yang dihasilkan

dari deformasi kedua K

kenaikan suhu material

yang melalui zona deformasi kedua oC suhu maksimum saat geram lepas dari benda kerja oC suhu lingkungan (nilainya berkisar 27oC) oC kenaikan suhu material yang

melalui zona deformasi pertama oC Rasio pemampatan tebal geram


(19)

ABSTRAK

Pada penelitian ini, bahan AISI 4140 dengan kekerasan 55 HRC akan dipotong menggunakan pahat CBN pada proses pemesinan laju tinggi, keras dan kering dengan tujuan mempelajari morfologi geram yang terbentuk dan hubungan antara geometri geram dengan nilai parameter orthogonal Merchant (teoritik). Geram yang dihasilkan dari seluruh kondisi pemotongan diamati morfologinya serta diukur geometrinya terutama tebal geram yang terjadi untuk menghitung gaya dan suhu pemotongan menggunakan teori orthogonal Merchant. Hasil penelitian menunjukkan bahwa morfologi geram yang terbentuk memiliki geometri seperti mata gergaji (sa w-tooth). Untuk gaya pemotongan yang mengalami trend yang meningkat akan menyebabkan geram semakin tebal dengan jarak antara mata puncak gergaji semakin renggang yang diikuti dengan penurunan jumlah mata gergaji dan rasio geram. Sedangkan untuk suhu pemotongan dengan trend yang meningkat akan menyebabkan geram semakin tebal dengan jarak antara mata puncak gergaji semakin rapat yang mengakibatkanpeningkatan jumlah mata gergaji dan rasio geram.


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perkembangan industri manufaktur menjadi suatu alasan utama dilakukan proses pemesinan yang berbeda dari sebelumnya. Tiga isu penting yang berkembang saat ini yaitu proses yang cepat, biaya yang murah dan ramah lingkungan menjadikan tantangan sendiri bagi industri manufaktur untuk dapat melakukan inovasi dibidang pemesinan. Untuk menjawab tantangan ini, inovasi pertama dilakukan dengan proses pemesinan laju tinggi (high speed machining), dengan menggunakan proses ini diharapkan waktu untuk memproduksi dapat berkurang sehingga biaya yang diperlukan dapat menurun, namun hal ini juga masih menjadi kendala manakala proses ini juga memerlukan biaya yang cukup tinggi karena dalam prosesnya masih digunakan media pendingin (coolant). Selain itu, proses ini masih mencemari lingkungan. Hal lainnya yang menjadi masalah adalah adanya pengaruh buruk untuk kesehatan dari cairan pemotongan.

Kendala ini menjadi suatu hal yang harus diselesaikan, beberapa pakar pemesinan mulai merekomendasikan inovasi selanjutnya, dimulai dengan melakukan proses pemesinan kering (dry machining). Konsep pemesinan kering ini sebenarnya biasa dilakukan oleh industri manufaktur.Pemotongan logam pada saat memotong besi tuang. Namun demikian untuk bahan-bahan yang lain tidak lazim dilakukan. Dari aspek proses pemesinan, pemesinan kering berarti pemotongan logam dilakukan pada suhu dan gesekan yang relative tinggi.

Sejak akhir tahun 1970 penggunaan proses pembubutan keras (hard

turning) dijadikan inovasi berikutnya untuk mengatasi permasalahan yang ada, hal

ini terbukti melalui proses pembubutan keras dapat mereduksi waktu pemesinan hingga 60 % (Thonsoff, et.al, 1995). Literatur menyebutkan bahwa penelitian yang telah dilakukan dikonsentrasikan pada mekanisme pembentukan geram dalamrangka mencari hubungan karakteristikproses dan stabilitas pemotongan padaproses proses bubut keras. Penelitian lainnya difokuskan pada suhu pemotongan, komposisi dan karakteristik keausan pahat CBN dan efek properti


(21)

material, geometri pahat dankondisi pemotongan terhadapintegritas permukaan benda kerja. Selain itu, menurut Nouari dan Ginting (2007) bahwa pahat karbida dengan multi lapisan mampu memotong dengan kecepatan yang tinggi dan pemotongan yang kering, tetapi bahan yang digunakan masih dibawah 55 HRC. Hal ini membuktikan bahwa hanya pahat intan yang mampu melakukan pemotongan untuk kekerasan 55 HRC. Namun dikarenakan biaya untuk produksi menggunakan pahat intan relatif tinggi, sebagai alternatif untuk mengatasi masalah ini digunakan pahat CBN.

Ketiga Inovasi di atas merupakan suatu hal yang berbeda jika dilakukan dengan bersamaan. Dan ini menjadi sesuatu hal baru yang disebut proses pemesinan laju tinggi, keras, dan kering. Untuk menambah informasi mengenai penggabungan proses pemesinan tersebut serta memastikan apakah penggabungan proses pemesinan laju tinggi, pembubutan keras dan pemesinan kering untuk satu bahan tertentu dengan kekerasan 55 HRC yang dalam hal ini dipilih AISI 4140 perlu dilakukan suatu penelitian. Pemilihan bahan AISI 4140 sebagai benda kerja pada penelitian ini disebabkan selama ini bahan tersebut diproduksi untuk suku cadang transportasi dalam kondisi basah dan memiliki stabilitas dimensi pada saat dikeraskan. Belum adanya laporan tentang gaya dan suhu pemotongan (teoritik) yang dilakukan dengan proses pemesinan laju tinggi, keras dan kering terhadap bahan AISI 4140 dengan kekerasan 55 HRC menggunakan pahat Cubic Boron

Nitride (CBN) maka dalam penelitian ini pembahasan hanya difokuskan pada

gaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan geram serta suhu pemotongan dimana untuk menghitung gaya dan suhu pemotongan dibutuhkan suatu parameter dari geometri geram yaitu tebal geram setelah terpotong (deformed chips thickness).

1.2Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini diantaranya:

1) Mempelajari morfologi geram yang terbentuk pada proses pembubutan keras dan kering AISI 4140 dengan menggunakan pahat CBN (Cubic

Boron Nitride) pada laju pemotongan tinggi.

2) Menghitung nilai parameter Orthogonal Merchant (teoritik) dalam menghasilkan geram


(22)

3) Mempelajari hubungan antara morfologi geram dengan nilai parameter Orthogonal Merchant.

1.3Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah 1. Untuk Akademis

Dapat memberikan informasi mengenai morfologi geram yang terbentuk serta parameter teori Merchant lainnya untuk proses pembubutan keras dan kering AISI 4140 dengan pahat CBN pada laju pemotongan tinggi.

2. Untuk Bidang Industri

Dijadikan pertimbangan dalam menghasilkan suatu produk agar dapat meningkatkan kualitas serta ramah lingkungan.

1.4Batasan Masalah

Permasalahan dalam tugas sarjana ini dibatasi pada geometri geram yang terbentuk serta menganalisisnya dengan teori Orthogonal Merchant. Benda kerja yang digunakan adalah AISI 4140 dengan Pahat yang dipilih yaitu CBN. Proses Pembubutan dilakukan pada kondisi kering dan keras dengan laju pemotongan tinggi.

1.5Sistematika Penulisan

Penulisan tugas sarjana ini disajikan dalam beberapa bab dengan tujuan membentuk pemaparan masalah dan hasil analisa yang mudah dipahami. BAB I merupakan uraian singkat mengenai latar belakang, tujuan, manfaat, batasan masalah dan sistematika penulisan.

BAB II menjelaskan tinjauan pustaka mengenai pemesinan laju tinggi, keras, dan kering, proses pembubutan, AISI 4140, pahat CBN, serta geram BAB III berisikan penjelasan tentang metode penelitian berupa bahan dan peralatan yang digunakan, waktu dan tempat penelitian, kerangka konsep penelitian, kondisi pemesinan, dan rancangan kegiatan yang akan dilakukan untuk penelitian ini.


(23)

BAB IV berisikan hasil penelitian yang dilakukan berupa morfologi geram dan data proses pemesinan dihasilkan melalui proses pembubutan kering dan keras dengan laju pemotongan tinggi. Dalam bab ini juga dipaparkan mengenai perhitungan dari data yang diperoleh dengan menggunakan teori Orthogonal Merchant. Untuk bagian pembahasan, dalam bab ini tidak semua parameter orthogonal Merchant akan dibahas sebab dari seluruh parameter orthogonal Merchant tersebut gaya dan suhu pemotongan dapat mewakili nilai tersebut. Dan dalam subbab ini akan dibahas hubungan antara gaya dan suhu pemotongan dengan geometri geram.

BAB V merupakan kesimpulan dari hasil analisa serta permasalahan yang ada pada tugas sarjana ini dan sebagai penutup dari bab ini akan ada saran yang diharapkan dapat dibahas pada tugas sarjana selanjutnya.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemesinan Laju Tinggi, Keras, dan Kering

Pemesinan laju tinggi, keras dan kering merupakan inovasi baru dalam industri manufaktur. Hal ini disebabkan dalam prosesnya menggunakan tiga kondisi yang berbeda yaitu proses pemesinan yang menggunakan laju pemotongan yang tinggi dengan kecepatan potong sebesar 5 – 10 kali lebih besar daripada proses konvensional, menggunakan material yang memiliki kekerasan diatas 45 HRC dan tidak menggunakan cairan pendingin (coolant) pada saat pemotongan berlangsung. Inovasi pemesinan seperti ini merupakan inovasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas dengan biaya produksi yang murah dibandingkan dengan menggunakan pahat intan. Selain itu, inovasi ini juga diharapkan mampu mengurangi pencemaran lingkungan karena sama sekali tidak menggunakan cairan pendingin pada prosesnya.

Dilatarbelakangi untuk meningkatkan produktivitas dengan waktu yang cepat proses pemesinan kecepatan tinggi menjadi inovasi pilihan untuk memproduksi suatu bentuk material yang diinginkan. Dengan kecepatan potong yang tinggi, maka volume pelepasan material dari material induk akan meningkat sehingga akan diperoleh penghematan waktu pemesinan yang cukup berarti. Disamping itu, pemesinan kecepatan tinggi mampu menghasilkan produk yang halus serta permukaannya lebih presisi.

Perbedaan pendapat mengenai defenisi tentang proses pemesinan kecepatan tinggi yang dikemukakan oleh para ahli tidak menjadi halangan untuk tetap dikembangkannya proses pemesinan tersebut. Sebagian besar para ahli menyatakan bahwa kecepatan potong merupakan va riable penentu terhadap defenisi dari proses pemesinan kecepatan tinggi. Salomon (1931) menyatakan bahwa proses pemesinan kecepatan tinggi adalah proses pemesinan dengan kecepatan potong sebesar 5 – 10 kali lebih besar daripada proses konvensional (Schulz, 1999). Namun ada juga ahli pemesinan lainnya yang menyatakan bahwa


(25)

proses pemesinan kecepatan tinggi ditentukan berdasarkan jenis bahan yang digunakan.

Gambar 2.1 Kecepatan Potong pada Proses Laju Tinggi (Sumber : Schmitz, T and Davies, M. 2003)

Bergerak dari pernyataan diatas, jika bahan benda kerja yang digunakan untuk proses bubut dengan kekerasan antara 45 - 70 HRC, maka hal tersebut dapat disebut sebagai proses bubut keras (hard turning). Material yang keras memiliki sifat abra sive, dan nilai kekerasan atau rasio modulus young yang tinggi. Akibat dari semua itu, maka proses bubut keras membutuhkan alat potong yang jauh lebih keras dan tahan terhadap abrasive dibanding poses bubut biasa. Proses bubut keras juga dapat menjadi solusi untuk mengurangi waktu produksi melalui pengurangan jumlah proses/tahapan, setup peralatan dan waktu untuk inspeksi karena proses bubut keras dapat dilakukan pada mesin yang sama dengan proses bubut konvensional, peralatan yang sama dapat digunakan dan tanpa membutuhkan tambahan sebuah mesin gerinda (Yuliarman, 2008). Pembubutan keras telah dimanfaatkan secara praktis oleh industri manufaktur di benua Amerika dan Eropa untuk memproduksi suatu komponen dari logam dalam rangka meningkatkan kualitas dan daya saing produk secara menyeluruh (Kiswanto dkk, 2005).


(26)

Keuntungan yang dapat diraih dengan menerapkan teknologi proses bubut keras antara lain pembubutan material lunak dan keras dilakukan pada mesin yang sama, pembuangan material 4 - 6 kali lebih besar dari proses gerinda dan penanganan limbah pemesinan lebih mudah.

Proses bubut keras dapat dilakukan terhadap berbagai macam jenis logam seperti baja paduan (steel alloy), baja untuk bantalan (bea ring steel), hot and cold

work tool steel, high speed steel, die steel dan baja tuang yang dikeraskan

(Baggio, 1996)

Pemesinan laju tinggi dan pembubutan keras biasanya dilakukan dengan media pendingin berupa cairan yang berfungsi untuk mengurangi aus pahat.Selain itu, cairan pemotongan juga bermanfaat untuk membersihkan serpihan dari daerah pemotongan. Namun pada awal tahun 1996 cairan pemotongan dari proses pemesinan menjadi masalah serius disebabkan regulasi Undang – undang Lingkungan hidup. Hal ini mengawali inovasi terbaru dalam proses pemesinan yaitu pemesinan kering (dry machining). Pemesinan kering atau dalam dunia manufaktur dikenal dengan pemesinan hijau (green machining) merupakan suatu cara proses pemesinan atau pemotongan logam tanpa menggunakan cairan pendingin melainkan menggunakan partikel udara sebagai media pendingin selama proses pemesinan berlangsung untuk menghasilkan suatu produk yang diinginkan dengan maksud untuk mengurangi biaya produksi, meningkatkan produktivitas serta ramah lingkungan. Proses pemesinan kering pada industri manufaktur sekarang ini masih sedikit, hal ini disebabkan teknologi yang ada sekarang ini hanya mampu digunakan untuk proses pemakanan yang kecil sehingga hanya dipakai untuk proses penghalusan (finishing). Selain itu, kurang tegaknya undang-undang lingkungan hidup dan masih minimnya pahat yang direkomendasikan untuk pemesinan kering juga membuat industri manufaktur masih tetap bertahan pada sistem yang lama yaitu proses pemesinan basah (Molinary and Nouari 2003, Grzesik and Nieslony 2003). Ada tiga faktor yang menyebabkan pemesinan kering menjadi menarik dibicarakan yaitu:

1. Pemesinan kering hanya dipilih untuk mengatasi masalah pemutusan atau penguraian rantai ikatan kimia yang panjang dengan waktu paruh yang


(27)

sangat lama (non biodegradable) yang potensial untuk merusak lingkungan.

2. Teknik pemesinan kering sangat potensial untuk mengurangi biaya produksi. Hasil riset menunjukkan bahwa pada industri otomotif Jerman, biaya cairan pemotongan (7 – 20) % dari biaya pahat total. Jumlah ini adalah dua sampai empat kali lebih besar dari biaya pahat potong.

3. Satu diantara cara pemesinan yang tidak menimbulkan limbah dan pengabutan udara serta tidak menimbulkan sisa pada serpihan adalah pemesinan kering (Sreejith and Ngoi 2000, Sokovic and Mijanovic 2001). Pemesinan kering bertujuan untuk mencapai peningkatan kemampuan mesin dengan mengurangi koefisien gesekan dan panas selama proses pemotongan. Sekarang ini material berlapis telah ditemukan untuk menjamin suksesnya pemesinan kering. Dalam studi literatur dinyatakan bahwa pengaruh cairan pemotongan yang digunakan terhadap dampak lingkungan pertama sekali dianalisa dan dipublikasikan (Klocke and Eisenblatter 1997). Mereka melaporkan bahwa pemesinan kering dapat dilakukan dengan hasil yang diharapkan pada besi tuang, karbon dan baja tuang.

Graham (2000) juga melaporkan bahwa perubahan dari pemesinan yang menggunakan cairan pemotongan ke pemesinan kering dapat dilakukan untuk beberapa logam seperti baja, besi tuang dan aluminium. Namun harus dipahami dalam hal ini bahwa perubahan tersebut akan menyebabkan keuntungan yang ada pada pemesinan basah tidak terjadi pada proses pemesinan kering. Pemesinan basah merupakan pemesinan yang pada prosesnya dilakukan dengan cairan pendingin. Fungsi utama dari cairan pendingin adalah untuk menurunkan suhu pemotongan dengan mengurangi gaya gesek dan sebagai media pembawa panas dari daerah pemotongan juga berfungsi sebagai pembawa geram. Dengan turunnya suhu pemotongan tersebut maka umur pahat akan meningkat. Hal tersebut akan berbeda dengan pemesinan kering dimana pada prosesnya pemesinan kering dapat menyebabkan gaya gesek yang besar pada proses pemesinan sehingga suhu pemotongan menjadi tinggi dan pada akhirnya akan menurunkan umur pahat. Dari pemaparan di atas dapat dinyatakan hubungan geometri geram yang terbentuk dari pemesinan basah dan kering, bahwa pada


(28)

pemesinan basah suhu pemotongan cenderung lebih rendah sehingga dimungkinkan geometri geram yang terbentuk memiliki tebal geram yang lebih tipis dengan jarak antar puncak gergaji yang renggang dibanding pada pemesinan kering.

Sebagai informasi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Varadarajanet. al (2001). Perbandingan bentuk geram yang dihasilkan dari pemesinan kering dan basah dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Bentuk geram yang dihasilkan dari proses pemesinan kering dan basah Kecepatan Pemotongan (m/min)

40 53 80 91 120

Pemesinan Kering

Pemesinan Basah

(Sumber :Varadarajan et. al, 2001)

Streejith and Ngoi (2000) di dalam kertas kerjanya juga dinyatakan bahwa pemesinan kering untuk masa yang akan datang sangat diharapkan. Selain itu, Graham (2000), Streejith and Ngoi (2000) melaporkan bahwa pemesinan yang sukses untuk masa yang akan datang adalah pemesinan kering dengan menggunakan pahat potong karbida berlapis, CBN, Sialon dan PCD.

Pemesinan kering meniadakan kebutuhan untuk pembuangan dan pembelian cairan pendingin, menghapus ditutupnya produksi pembersih pemesinan dan meningkatkan keselamatan dan kesehatan pekerja. Pemesinan kering juga akan memberikan lebih bersih lingkungan benda kerja seperti adanya minyak yang melekat pada benda kerja. Selain itu, geram akan menjadi tak terkontaminasi.


(29)

2.2 Proses Pembubutan

Proses pemotongan dengan logam merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengubah bentuk suatu produk dari logam (komponen mesin) dengan cara memotong. Prinsip pemotongan logam dapat didefenisikan sebagai sebuah aksi dari alat potong yang dikontakkan dengan sebuah benda kerja untuk membuang permukaan benda kerja tersebut dalam bentuk geram (Yuliarman, 2008).

Proses bubut merupakan satu diantara 7 (tujuh) jenis proses pemesinan yang digunakan pada pemotongan logam. Dalam prosesnya digunakan mesin bubut yang memiliki chuck atau pencekam dan berputar pada sebuah sumbu, alat potong bergerak arah aksial terhadap benda kerja sehingga terjadi pemotongan dan menghasilkan permukaan yang konsentris dengan sumbu putar benda kerja. Proses pembubutan biasanya digunakan untuk memproses benda kerja dengan hasil atau bentuk penampang lingkaran atau benda kerja berbentuk silinder (Kurniawan, 2008). Gambar 2.2 adalah skematis dari sebuah proses bubut dengan

N adalah putaran poros utama, f adalah pemakanan, dan a adalah kedalaman potong.

Gambar 2.2 Proses Bubut (Sumber : Gutowski, 2009) .

Bagian-bagian serta penamaan (nomenclature) dari alat potong yang digunakan pada proses bubut dijelaskan pada gambar 2.3. Radius pahat potong menghubungkan sisi dengan ujung pootong (cutting edge) dan berpengaruh terhadap umur pahat, gaya radial, dan permukaan akhir


(30)

(a) (b) Gambar 2.3 Penamaan (nomenclature) pahat kanan

Ada tiga parameter utama yang mempengaruhi gaya potong, peningkatan panas, keausan, dan integritas permukaan benda yang dihasilkan. Ketiga parameter itu adalah kecepatan potong (v), pemakanan (f), dan kedalaman potong (a).Kecepatan potong adalah kecepatan keliling benda kerja dengan satuan (m/min).Pemakanan adalah perpindahan atau jarak tempuh pahat tiap satu putaran benda kerja (mm/rev). Kedalaman potong merupakan tebal material terbuang pada arah radial (mm).

Menurut Rochim (1993), kecepatan pembuangan geram dapat dipilih agar waktu pemotongan sesuai dengan yang dikehendaki. Hal ini dimaksudkan agar produktivitas pemesinan dapat optimal. Untuk itu perlu dipahami lima elemen dasar proses pemesinan, yaitu:

1) kecepatan potong (cutting speed) : Vc (m/min) 2) kecepatan makan (feeding speed) : vf (mm/min)

3) kedalaman potong (depth of cut) : a (mm) 4) waktu pemotongan (cutting time) : tc (min), dan

5) kecepatan penghasilan geram : z (cm3/min)

(rate of metal removal)

Kelima elemen proses pemesinan di atas dihitung berdasarkan dimensi benda kerja dan/atau pahat serta besaran dari mesin yang digunakan. Dikarenakan besaran mesin pemotongan logam yang dapat diatur ada bermacam-macam dan


(31)

bergantung pada jenis mesin pemotong, maka rumus yang digunakan untuk menghitung setiap elemen proses pemesinan dapat berlainan.

Untuk proses bubut elemen dasarnya dapat diketahui dengan memperhatikan gambar di bawah ini

Gambar 2.4 Proses Bubut (Sumber :Rochim, 1993) Geometri benda kerja ;

do = diameter mula (mm)

dm = diameter akhir (mm)

lt = panjang pemesinan (mm)

Pahat :

Kr = sudut potong utama

o = sudut geram

Mesin bubut :

a = kedalaman potong

a = (mm)

f = pemakanan (mm/putaran) n = putaran poros utama (rpm)


(32)

Berdasarkan besaran-besaran di atas, maka kondisi pemotongan dapat ditentukan sebagai berikut:

 laju pemotongan (velocity of cut)

(2.1)

dengan, Vc = laju pemotongan (m/min)

n = putaran spindle (benda kerja) (rpm) d = diameter rata-rata (mm)

yaitu (2.2)

dimana: do = diameter mula benda kerja (mm)

dm = diameter akhir benda kerja (mm)  laju pemakanan (feeding velocity)

(2.3)

Dimana : Vf = laju pemakanan (mm/min)

f = pemakanan (mm/rev)

n = putaran spindle / benda kerja (rpm)

 waktu pemotongan (cutting time)

(2.4) Dimana : tc = waktu pemotongan (min)

lt = panjang pemesinan (mm)

Vf = laju pemakanan (mm/min)  laju pembuangan geram (metal removal rate)

Z = A.v (2.5)

dengan, Z = laju pembuangan geram (cm3/min) v = laju pemotongan (m/min)

A = Penampang geram sebelum terpotong (mm2)

A = f.a (2.6)

maka


(33)

Sudut potong utama (principal cutting edge angle/Kr) adalah sudut antara

mata potong utama dengan laju pemakanan (Vf), besarnya sudut tersebut

ditentukan oleh geometri pahat dan cara pemasangan pada mesin bubut. Untuk nilai pemakanan (f) dan kedalaman potong (a) yang tetap maka sudut ini akan mempengaruhi lebar pemotongan (b) dan tebal geram sebelum terpotong (h)

sebagai berikut :

 lebar pemotongan

b =

(

mm) (2.8)

 tebal geram sebelum terpotong (h)

h =

(

mm) (2.9)

Dengan demikian penampang geram sebelum terpotong adalah :

A = f.a = b.h (mm) (2.10)

2.3 AISI 4140

Material logam umumnya digolongkan menjadi dua yaitu Ferrous Metal

dan Non-Ferrous Metal. Ferrous metal atau bahan logam ferro merupakan suatu

logam yang memiliki dasar paduan besi (ferrous), sedangkan unsur lain hanyalah sebagai unsur tambahan untuk mendapatkan sifat bahan sesuai dengan aplikasi dalam penggunaannya. Bahan logam non ferro adalah bahan yang memiliki unsur logam tetapi tidak ada unsur besi (ferrous).

Dalam bidang material baja karbon sedang AISI 4140 merupakan low

alloy steel. Penamaan AISI 4140 berdasarkan pada standard yang ditetapkan oleh

American Iron Steel Institute (AISI). Angka pertama yaitu 4 menunjukkan jenis dari baja tersebut yaitu baja chrom, angka kedua menujukkan modifikasi jenis baja paduan untuk baja paduan yang kompleks, untuk jenis AISI 4140 angka 1 menandakan bahwa jenis tersebut merupakan baja chrom molybdenum, sedangkan dua angka terakhir menunjukkan kadar karbon perseratus persen yaitu 0,40 % C.

AISI 4140 memiliki kemampuan mesin, stabilitas dimensi saat mengalami perlakuan panas (heat treatment), dengan kekerasan permukaan yang tinggi. Pada proses perlakuan panas suhu adalah variabel utama yang sangat


(34)

berpengaruh terhadap perubahan sifat mekanik bahan, dimana masing-masing bahan memiliki level suhu dan menggunakan media pendingin spesifik saat dilakukan proses perlakuan panas. Kekerasan pada AISI 4140 dapat ditingkatkan melalui proses quenching (dipanaskan sampai pada suhu austenit kemudian didinginkan secara cepat akan terbentuk struktur martensit yang memiliki kekerasanyang lebih tinggi dari struktur perlit maupun ferit) dengan metode air tersirkulasi (Haryadi, 2006).

Baja AISI 4140 merupakan material yang banyak dipakai sebagai bahan dasar dari crankshaft, shaft, gear, gandar, dan berbagai part mesin dimana bagian

– bagian tersebut membutuhkan sifat tahan aus, kekerasan yang tinggi dan tangguh, disamping itu pada industri perminyakan digunakan untuk pump liner

(Parker, 1967). Selain itu, AISI 4140 juga digunakan sebagai bahan landing gea r

pesawat terbang. Landing gear pada pesawat terbang adalah komponen peralatan pada pesawat terbang yang terbuat dari baja perkakas. Kekerasan komponen ini biasanya berkisar antara 54 s/d 62 HRC.

2.4 Pahat CBN

Dalam industri manufaktur, ada tujuh bahan pahat yang dapat digunakan untuk proses pemotongan logam diantaranya: karbon tinggi (High Carbon Steel,

Carbon Tool Steels, CTS), HSS (High Speed Steels, tool Steels), Paduan Cor

Nonfero (Cast Nonferous Alloys, Cast Carbides), Karbida (Cermented Carbides,

Harmetals), Keramik (Ceramic), CBN (Cubic Boron Nitride), Intan (Sintered

Diamonds and Natural Diamonds).

Diantara ketujuh bahan pahat potong tersebut, CBN merupakan satu diantara bahan pahat yang dapat digunakan untuk proses pemesinan dengan tiga kondisi yang berbeda yaitu pemesinan laju tinggi, keras dan kering. CBN termasuk jenis keramik dan mulai diperkenalkan oleh GE di USA pada tahun 1957. CBN dibuat dengan penekanan panas (HIP, 60 kbar,1500oC) sehingga serbuk graphit putih nitride boron dengan struktur heksagonal berubah menjadi struktur kubik. Hot hardness CBN ini sangat tinggi dibandingkan dengan jenis pahat yang lain. CBN dapat digunakan untuk pemesinan berbagai jenis baja dalam keadaan dikeraskan, besi cor, HSS maupun karbida semen.Afinitas terhadap baja


(35)

sangat kecil dan tahan terhadap perubahan reaksi kimiawi sampai dengan suhu pemotongan 1300oC (Rochim, 1993).

Cubic Boron Nitride adalah material pahat untuk pembubutan keras. Mulai diperkenalkan pada tahun 1970 CBN dalam bentuk padatan. Pahat ini dibuat dengan lapisan 0.5 – 1 mm policristal cubic boron nitride menjadi kobalt melalui substrasi karbida pada suhu dan tekanan yang tinggi. Pahat CBN merupakan pahat yang tahan terhadap kekerasan dan ketangguhan yang tinggi pada pemesinan kecepatan tinggi. CBN menunjukkan performa yang sangat baik dalam proses gerinda untuk material dengan sifat kekerasan tinggi dan kuat. Perbedaan kekerasan, ketangguhan, komposisi kimia dan stabilitas panas dan ketahanan aus berperan penting untuk perkembangan pahat potong CBN termasuk untuk laju pembuangan geram dan juga memberikan pemesinan yang presisi untuk menghasilkan kekasaran permukaan yang sangat baik.

Dalam pemesinan untuk baja keras pahat potong CBN merupakan pilihan yang tepat karena pahat ini memiliki sifat tahan untuk suhu pemotongan yang tinggi, keras, daya larut yang rendah dalam pembuatan, dan ketangguhan yang baik (Kalpakjian, 2010). Pahat ini memberikan kemungkinan proses pemesinan fleksibel yang sangat baik, mengurangi waktu pemesinan, hemat energi, dan memungkinkan untuk didaur ulang.

Pada umumnya, ada dua kategori dari pahat CBN.

1). memiliki sekitar  90% butir CBN dengan bahan pengikat logam (seperti kobalt, yang digunakan untuk memberikan peningkatan ketangguhan agar CBN menjadi keras dan getas), biasanya disebut pahat CBN tingkat tinggi. 2). memiliki konsentrasi CBN yang rendah sekitar 50% sampai 70%, dengan

bahan pengikat keramik (seperti : TiN atau TiC), biasanya disebut sebagai pahat CBN tingkat rendah.

Ada beberapa studi yang mempelajari karakteristik aus pahat untuk pahat CBN tingkat tinggi dan CBN tingkat rendah.Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa CBN tingkat rendah memiliki umur pahat yang lebih lama dan memberikan kekasaran yang lebih baik daripada CBN tingkat tinggi dalam penyelesaian pembubutan keras walaupun pada akhirnya memiliki kekerasan dan ketangguhan patah yang sangat tinggi (Chou, 1999). Pahat CBN digunakan untuk


(36)

pemesinan yang materialnya terbuat dari ferrous paduan dengan kecepatan potong yang tinggi (Ibrahim A. Al-Zkeri, M.S, 2007).

Kekhusunan Pahat CBN ialah memiliki manfaat dan efektifitas untuk digunakan di pemesinan dengan bermacam-macam material berlapiskan baja karbon tinggi dan baja paduan, logam non-ferrous dan logam paduan, logam eksotic seperti nikel yang dikeraskan, inconel, nimonic lainnya dan material non-logam lainnya yang begitu sulit untuk dimesin dengan pahat konvensional.Pahat CBN dapat digunakan pada suhu sampai1400oC. Adapun range kecepatan yang dapat diporasikan untuk CBN jika pemesinan menggunakan baja cor abu-abu adalah 300 – 400 m/min. Berikut ini merupakan range kecepatan untuk material lainnya:

• besi cor yang dikeraskan (> 400 BHN) : 80 – 300 m/min

• Super paduan (> 35 Rc) : 80 – 140 m/min

• Baja yang dikeraskan (> 45 Rc) : 100 – 300 m/min

Dalam kasus baja paduan, beberapa peneliti melaporkan bahwa karbida berlapis keramik, CBN dan PCD sangat sangat potensial digunakan (Che Haron et al 2001, Grzesik and Nieslony 2003). Selain itu, CBN dan PCD telah banyak digunakan untuk pemesinan kering kecepatan tinggi 1000 m/menit.

2.5 Geram

Geram merupakan bagian dari material yang terbuang yang dihasilkan dari proses pemesinan. Selama proses pembubutan berlangsung bahan dibuang akibat perputaran benda kerja sebagai suatu geram tunggal, tergantung pada parameter kerja mesin.

2.5.1 Proses Pembentukan Geram

Geram yang dihasilkan berupa suatu tali berkelanjutan atau berupa potongan-potongan, dalam banyak kasus formasi geram yang terjadi adalah seperti pada gambar 2.4. Dari gambar 2.4 menunjukkan bahwa pemotongan adalah proses diskontinu dan gaya antara geram dan alat potong tidak konstan (Kalpakjian, et.al, 2002)


(37)

Formasi geram yang dihasilkan juga dapat dilakukan dengan pendekatan model pemesinan Orthogonal sebagaimana yang dikemukakan oleh Merchant, model ini mengasumsikan formasi geram dengan dua dimensi.

Gambar 2.5 Formasi geram pada proses bubut menurut analogi kartu (Sumber : Rochim, 1993)

Dari gambar di atas terlihat bahwa terbentuknya geram dapat dianalogikan sebagai tumpukan kartu dengan posisi sedikit miring kemudian didorong dengan papan (penggaris) yang membuat sudut terhadap garis vertical (sesuai dengan sudut geram) maka kartu bergeser keatas relatif terhadap kartu di belakangnya.Pergeseran tersebut berlangsung secara berurutan dan kartu terdorong melewati bidang atas papan. Analogi kartu tersebut menerangkan keadaan sesungguhnya dari kristal logam (struktur butir metalografis) yang terdeformasi sehingga merupakan lapisan tipis yang bergeser pada bidang geser.

2.5.2 Morfologi Geram

Geram yang dihasilkan dari proses pemesinan untuk logam dan paduan logam pada umumnya dapat diklasifikan menjadi tiga kategori berdasarkan perbedaan geometri bentuk geram. Beberapa morfologi geram tersebut diantaranya:

1. Geram Kontinu (continuous / Flow chips)

Geram kontinu dihasilkan pada pemesinan untuk bahan yang liat (ductile) dan geram ini dikelompokkan dengan jenis penampang lintang yang seragam


(38)

Gambar 2.6 Geram kontinu (continuous / Flow chips) (Sumber : Sutter et. al, 1997)

2. Geram Bersegmen atau Seperti Mata Gergaji (Segmented or Sa w-Tooth chips) Geram seperti mata gergaji biasanya dinamakan geram bersegmen adalah geram semikontinu dan memiliki kawasan regangan geser yang kecil (untuk geram kontinu) dan regangan geser yang tinggi (untuk geram tidak kontinu).

Gambar 2.7 GeramBersegmen atau Seperti Mata Gergaji

(Segmented or Sa w-Tooth chisp)

(Sumber : Sutter et. al, 1997)

3. Geram Tidak Kontinu (Discontinuous chips)

Geram tidak kontinu biasanya terbentuk pada pemesinan untuk bahan yang getas (brittle) pada kecepatan pemotongan yang rendah, pemakanan dan kedalaman pemotongan yang tinggi dan gesekan antar pahat dan geram yang tinggi.


(39)

Gambar 2.8 Geram Tidak Kontinu (Discontinuous chips)

(Sumber : Matthew et. al, 2001)

2.5.3 Lingkaran Gaya Pembentukan Geram (Lingkaran Merchant)

Suatu analisis mekanisme pembentukan geram yang dikemukakan oleh Merchant mendasarkan teorinya atas model pemotongan sistem tegak (Orthogonal Sistem). Sistem pemotongan tegak merupakan penyederhanaan dari sistem pemotongan miring (Oblique System) dimana gaya diuraikan menjadi komponennya pada suatu bidang. Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis model tersebut adalah:

a) Mata potong pahat sangat tajam sehingga tidak menggosok atau menggaruk benda kerja

b) Deformasi terjadi hanya dua dimensi,

c) Distribusi tegangan yang merata pada bidang geser, dan

d) Gaya aksi dan reaksi pahat terhadap bidang geram adalah sama besar dan segaris (tidak menimbulkan momen kopel)

Karena berasal dari satu gaya yang sama mereka dapat dilukiskan pada suatu lingkaran dengan diameter yang sama dengan gaya total (F), lihat gambar 2.9 Lingkaran tersebut digambarkan persis diujung pahat sedemikian rupa sehingga semua komponen menempati lokasi seperti yang dimaksud. Gambar ini merupakan sistem gaya pada pemotongan Orthogonal dan dalam prakteknya dapat didekati dengan menggunakan pahat dengan sudut kr = 90o dan sudut s = 0o


(40)

Gambar 2.9 Lingkaran Gaya Pemotongan (Lingkaran Merchant) (Sumber : Rochim 1993)

Berdasarkan analisis geometri dari lingkaran gaya (Merchant) dapat diturunkan rumus dasar gaya potong (Fv) :

(2.11)

dan

(2.12)

Dari kedua rumus di atas, maka :

(2.13)

Gaya geser Fs dapat digantikan dengan penampang bidang geser dan tegangan

geser yang terjadi padanya yaitu:

(2.14)

dengan : = Tegangan geser pada bidang geser (N/mm2) = Penampang bidang geser (mm2),

= A/sin

A = penampang geram sebelum terpotong (mm2), = b.h


(41)

Dengan demikian rumus gaya potong adalah,

(2.15)

Rumus teoritik di atas diturunkan dalam analisa proses pemotongan Orthogonal yang berarti Kr = 90o dan s = 0o. Pada kondisi di atas, hanya faktor

sudut potong utama Kr dan kondisi bahan yang diperhatikan sedangkan faktor –

faktor koreksi untuk kondisi pemotongan, seperti kecepatan potong, kecepatan makan dan lain – lain belum dipertimbangkan. Dari pernyataan diatas, dapat digunakan rumus empiris yang lebih kompleks, yaitu:

(2.16)

dimana: Ks = gaya potong spesifik (N/mm2)

A = penampang geram sebelum terpotong (mm2) = h.b = f.a

Gaya potong spesifik Ks akan dipengaruhi oleh pahat (jenis dan geometri),

benda kerja (jenis dan kondisi pengerjaan), dan kondisi pemotongan serta jenis permesinan yang dapat berciri spesifik.

(2.17)

Ks1.1 = gaya potong spesifik referensi (N/mm2)

Z = pangkat tebal geram = 0.2 Ck = faktor sudut potong utama (Kr)

C = faktor koreksi sudut geram (o)

CVB = faktor koreksi keausan (VB)

CV = faktor koreksi kecepatan potong (Vc)

Nilai Ks1.1 dapat diperoleh dari persamaan gaya potong spesifik referensi


(42)

(2.18) Dimana: u = kekuatan tarik (N/mm2)

Untuk menentukan besar gaya gesek dan gaya normal pada bidang geram (Fγdan Fγn) dapat diturunkan dari gaya potong dan gaya makan (Fv dan Ff), yaitu :

(2.19)

dan

(2.20)

Maka kombinasi dari dua formula di atas diperoleh formula koefisien gaya gesek adalah:

(2.21)

Dari formula diatas dapat dinyatakan bahwa koefisien gesek dipengaruhi oleh sudut geram. Tetapi rumus tersebut tidak menyatakan bahwa dengan mengubah sudut geram gaya potong dan gaya makan tidak berubah. Dalam kenyataan, gaya potong dan gaya makan berubah dengan berubahnya sudut geram dan hal ini disebabkan oleh perubahan sudut geser (Ф).

Dari persamaan (2.15), dikarenakan gaya potong (Fv) merupakan fungsi dari sudut geser (Ф) maka sudut geser maksimum dapat dicari dengan

caradeferensiasi dan hasilnya disamakan dengan nol, dengan menyederhanakan persamaan tersebut diperoleh

(2.22)

Rasio Pemampatan Tebal Geram yang merupakan perbandingan antara tebal geram dengan tebal geram sebelum terpotong. Rasio ini dapat dinyatakan :


(43)

Dari rumus diatas maka sudut geser ( ) berdasarkan pengukuran dapat diturunkan sebagai berikut:

(2.24)

Adapun hubungan antara sudut geram sebagai fungsi dari rasio pemampatan tebal geram h untuk sudut o = 20o, 0o, dan -20o.

Gambar 2.10 Sudut geser  sebagai fungsi dari rasio pemampatan tebal geram h

(Sumber : Rochim, 1993)

Jika sudut geram telah ditetapkan, maka sudut geser dapat dihitung dengan mengukur rasio pemampatan tebal geram. Akan tetapi tebal geram tak dapat diukur secara langsung tanpa mengakibatkan kesalahan pengukuran sebab,

a. Permukaan geram relatif kasar, dan

b. Geram tidak lurus karena dalam kenyataan bidang geser tidak lurus melainkan melengkung yang diakibatkan oleh distribusi tegangan geser yang tidak merata.

Rasio pemampatan tebal geram merupakan karakteristik dari proses pemesinan berarti dipengaruhi oleh material benda kerja, jenis pahat, sudut pahat, kecepatan potong, kecepatan makan dan pemakaian cairan pendingin. Dikarenakan adanya pemampatan tebal geram, maka kecepatan aliran geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong. Gambar 2.11 menunjukkan kecepatan aliran geram (vg) dan kecepatan potong (Vc).


(44)

Gambar 2.11 Arah kecepatan geser (vs), kecepatan aliran geram (vg) dan

kecepatan potong (Vc). (Sumber : Rochim, 1993)

Dari Gambar 2.11 diatas, arah kecepatan geser (vs) ditentukan

olehkecepatan aliran geram (vg) dan kecepatan potong (Vc). Berdasarkan

aturan/kaidahtangan kanan, dari Gambar 2.11 arah pergerakan mata pahat (vf)

searah padasumbu x, dan kecepatan potong (Vc) yang terbentuk terletak pada sumbu z.Kecepatan geser (vs) akan lebih tinggi daripada kecepatan potong (Vc)

untuk sudutgeram γo negatif (Rochim, 1993).

Sehingga berdasarkan polygon kecepatan tersebut maka dapat dirumuskan sebagaiberikut :

(2.25)

dengan :

vg= kecepatan aliran geram

v = kecepatan potong karena,

(2.26)

Maka: (2.27)

Karena λh> 1 maka kecepatan geram selalu lebih rendah daripada kecepatan


(45)

(2.28)

atau

(2.29)

Persamaan diatas menunjukkan bahwa kecepatan geser vs akan lebih tinggi

daripada kecepatan potong Vc untuk sudut geram negatif atau nol.

2.6 Suhu Pemotongan

Selama pemotongan logam, suhu panas dibangkitkan pada bagian sisi pahat potong, dan suhu ini timbul akibat pengaruh dari laju aus pahat potong, dan gesekan antara geram dan pahat potong.

Menurut Boothroyd, energi yang dikonsumsi selama pemesinan berlangsung adalah:

(2.30)

dengan: Pm = energi yang dikonsumsi/total laju panas

yang dibangkitkan pada pemotongan logam (watt) Fv = gaya pemotongan (newton)

Vc = kecepatan potong (m/s)

Ketika geram berubah menjadi elastis, energi yang dibutuhkan untuk operasi disimpan dalam material dalam energi regangan, dan tidak ada panas yang terjadi. Akan tetapi, jika material berubah menjadi plastis, energi yang digunakan diubah menjadi panas. Dalam pemotongan logam, material mengalami regangan sangat tinggi, dan deformasi elastis yang sangat kecil dari total deformasi, untuk itu dapat diasumsikan bahwa seluruh energi diubah menjadi panas.


(46)

Gambar 2.12 Panas yang Dibangkitkan Pada Pemotongan Orthogonal (Sumber : Boothryod: The Fundamental of Metal Cutting)

Perubahan energi menjadi panas terjadi di dua zona utama deformasi plastis, yaitu zona regangan atau zona deformasi utama dan zona deformasi kedua. Jika dalam suatu keadaan dimana pahat potong tidak terlalu tajam, sumber panas ketiga akan dihasilkan oleh gesekan antara pahat dan permukaan benda kerja lainnya. Namun, jika pahat aus, sumber panas yang dihasilkan akan menjadi kecil dan dapat diabaikan dalam analisis seperti ini.

Maka:

(2.31)

Dengan: Pm= total laju panas yang dibangkitkan pada pemotongan logam (watt)

Ps = laju panas yang dibangkitkan di zona deformasi utama (laju panas

akibat gaya geser) (watt)

Pf = laju panas uang dibangkitkan di zona defromasi kedua (laju panas

akibat gaya gesek) (watt)

Laju panas akibat gaya gesek dapat diperoleh dari


(47)

Dengan : Pf = laju panas akibat gaya gesek (watt)

Ff = Gaya gesek yang terjadi pada pemotongan logam (N)

v =laju pemotongan logam (m/s) rc= rasio pemotongan

rc=

Menurut Boothryod, Thermal Number (R) yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut:

(2.33)

dengan: = massa jenis material benda kerja (kg/m3) k = konduktivitas panas (W/mK)

c = kapasitas panas spesifik (J/kg.oK) Vc = kecepatan potong (m/s)

h = tebal geram sebelum terpotong (mm)

2.6.1Suhu Pada Zona Deformasi Pertama

Menurut Boothryod, kenaikan suhu rata-rata ( ) material yang melalui zona deformasi utama dapat dirumuskan :

(2.34)

dengan : = satu bagian dari panas yang tergenerasi rata-rata pada daerah deformasi utama

Ps = laju panas yang dibangkitkan di zona deformasi utama (J/s)

= massa jenis material benda kerja (kg/m3) c = kapasitas panas spesifik (J/kg.oK)

Vc = kecepatan potong (m/s)

hc = tebal geram setelah terpotong (mm)

h = tebal geram sebelum terpotong (mm)

Untuk menentukan nilai ( ) terlebih dahulu ditentukan nilai R tan . Kemudian nilai ( ) dapat dilihat pada grafik di bawah ini.


(48)

Gambar 2.13 vs R tan

(Sumber : Boothryod: The Fundamental of Metal Cutting)

2.6.2 Suhu pada zona Deformasi kedua

Suhu maksimum pada geram terjadi pada saat geram melewati zona deformasi kedua. Suhu ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

(2.35)

dengan : = kenaikan suhu material yang melalui zona deformasi kedua = kenaikan suhu material yang melalui zona deformasi pertama

= suhu lingkungan (nilainya berkisar 27oC)

Dalam sebuah analisis suhu geram oleh Rapier, diasumsikan bahwa sumber panas dihasilkan dari gesekan antara geram dan pahat dengan sumber panas yang kekuatannya seragam.

Nilai diperoleh dari hubungan antara dengan wo, dengan nilai y 20,


(49)

Gambar 2.14 Grafik hubungan antara dengan wo

(Sumber : Boothryod: The Fundamental of Metal Cutting)

Kenaikan suhu rata-rata geram dihasilkan dari deformasi kedua ( ), berdasarkan hal ini dapat diperoleh persamaan:

(2.36)

dimana:

= suhu rata-rata geram yang dihasilkan dari deformasi kedua Pf = laju panas akibat gaya gesek (watt)

= massa jenis material benda kerja (kg/m3) c = kapasitas panas spesifik (J/kg.oK)

v = kecepatan potong (m/min)

h = tebal geram sebelum terpotong (mm) b = lebar pemotongan (mm)


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Bahan

3.1.1 Bahan Benda Kerja

Bahan benda kerja yang digunakan adalah AISI 4140. Baja tersebut merupakan baja paduan rendah yang telah dikeraskan hingga 55 – 60 HRC. Bahan AISI 4140 yang dikeraskan tersebut dipilih sebagai spesimen pada penelitian ini disebabkan oleh keinginan mengetahui pula bagaimana ketermesinan bahan yang lazim digunakan sebagai landing gear pesawat terbang. Pada tabel berikut diberikan komposisi kimia, sifat Mekanik, dan geometri dari AISI 4140 yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 3.1 Komposisi Kimia AISI 4140

Sumber : http//www. matweb.com Tabel 3.2 Sifat Termal AISI 4140

Sifat Termal Nilai

Massa Jenis (g/cc) 7,85

Konduktivitas Panas (W/mK) 42,6 Kapasitas Panas Spesifik (J/kg.oK) 561

Sumber : http//www.matweb.com

Element Weight (%)

C 0,38 – 0,43 Fe 96,78 – 97,77 Mn 0,75 – 1,00

P 0,035 (maks)

S 0,04 (maks)

Si 0,15 – 0,30 Cr 0,80 – 1,10 Mo 0,15 – 0,25


(51)

Tabel 3.3 Sifat Mekanik AISI 4140

Sifat Nilai

Rasio Poisson 0,29

Modulus Elastis (Gpa) 205

Kekuatan Tarik Maksimum (Mpa) 1965

Kekuatan Luluh (Mpa) 1735

Elongation (%) 11

Reduction in Area (%) 42,0

Kekerasan (HRC) 55

Kekuatan Impak (J) (Izod) 15 Sumber : http//www.matweb.com

Gambar 3.1 Geometri Benda Kerja

3.1.2 Bahan Pahat Potong

Adapun jenis pahat CBN yang digunakan adalah Sandvik Coromant yang direkomendasikan untuk pemotongan baja dengan kekerasan dan ketangguhan yang tinggi melalui proses bubut. Bentuk dan ukuran sesuai standard ISO yaitu TNGA160408S01030A 7015dengan Geometri sebagai berikut

(a) (b)


(52)

Keterangan : l = 16 mm lc = 9,52 mm

ød = 3.81 mm

Radius pojok (rε) = 0,8 mm Tebal mata pahat (s) = 4.76 mm Sudut Potong utama = 91o Sudut Geram = -6o

Tabel 3.4 Sifat Mekanik dan Thermal dari CBN.

Sifat Nilai

Berat jenis (g/cm3) 3,48

Titik Lebur (oC) 2700

Kekuatan Patah(MPam0,5) 5

Kekerasan knop (GPa) 43 – 47

Modulus Young (GPa) 600 – 800

Ekspansi Termal (10-6 K-1) 4,9

Konduktivitas Panas 150 – 700

(Sumber : Karthick, 2009)

Menurut Sandvik (2010) bahwa kondisi pemesinan yang dianjurkan untuk membubut bahan baja yang memiliki kekerasan ekstra seperti 59 HRc menggunakan pahat CBN Sandvik Coromant tipe: TNGA160408S01030A adalah sebagai berikut:

kecepatan potong (Vc) = 200 m/min

kecepatan pemakanan (f) = 0,05 – 0,30 mm kedalaman potong (a) = 0,07 – 0,80 mm


(53)

3.2 Peralatan

3.2.1 Mesin Bubut Konvensional

Pemesinan dilakukan di mesin bubut konvensional Emco Tipe : Maximat V13. Berikut ini merupakan gambar dari mesin bubut yang digunakan dalam penelitian ini.

Gambar 3.3 Mesin Bubut Konvensional Emco Tabel 3.5 Spesifikasi Mesin Bubut Konvensional Emco Maximat V13:

Daya 1,7/2,2 kW (2,3/3,0 hp)

Voltase (v) 220 380 440 Putaran (rpm) 1230 1500 Panjang pemesinan maksimum (mm) 850

Diameter Penjepit maksimum (mm) 158

Jumlah Putaran 16

Frekuensi (Hz) 50 60 Sumber : Data Mesin Politeknik Medan


(54)

3.2.2 Fixed Steady

Fixed Steadymerupakan peralatan yang berfungsi untuk membuat lubang

dudukan kepala lepas (tail stock) yang digunakan sebagai sumbu putar ketika benda kerja berputar untuk melakukan pemesinan

Gambar 3.4 Fixed Steady

3.2.3Tool Holder

Tool Holder merupakan peralatan yang digunakan sebagai pemegang

pahat potong. Jenis Tool Holder yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sandvick dengan kode Tool holder Sandvick Coromant tipe DTGNR/L2020 K 16.

Gambar 3.5 Tool Holder Sandvick Coromant

3.2.4 Mikroskop USB Digital

Untuk mengetahui dan mengamati morfologi geram yang terjadi digunakan mikroskop USB digital Rax Vision. Mikroskop ini dapat memperbesar gambar hingga 200 kali pembesaran.


(55)

Gambar 3.6 Mikroskop USB digital Rax Vision

3.2.5Digital Caliper (Mistar Ingsut Digital)

Digital Caliperatau dalam bahasa sehari – hari disebut jangka sorong

digital digunakan untuk mengukur tebal geram setelah pemotongan (deformed

chips thickness), diameter benda kerja sebelum dan sesudah pemesinan dilakukan.

Mistar ingsut digital yang digunakan memiliki ketelitian hingga 10-2 mm, dengan ketelitian seperti ini maka diharapkan hasil pengukuran lebih presisi.


(56)

Variabel bebas : Vc (m/min) f (mm/rev) a (mm)

kekerasan bahan = 55 HRC, cairan pendingin = tidak ada

3.3 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 3.8 Diagram Alir Konsep Penelitian Isu penting perkembangan

teknologi Pemesinan

Produktivitas tinggi Hemat waktu dan Biaya Ramah lingkungan

Pemesinan laju tinggi, keras, dan kering AISI 4140 + CBN

Pemesinan kecepatan tinggi Pembubutan keras ( > 45 HRc) Pemesinan kering

 Analisis menggunakan teori Orthogonal Merchant

 Suhu Pemotongan (oC)

Variabel terikat : hc (mm)

di (mm)

MULAI

Kesimpulan :

1. Morfologi geram yang terbentuk

2. Hubungan antara geometri geram dengan Gaya pemotongan

3. Hubungan antara geometri geram dengan suhu pemotongan


(57)

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tempat dan waktu yang berbeda. Tabel 3.4 akan memberikan informasi tempat dan waktu dari penelitian ini.

Tabel 3.6 Tempat dan Waktu Penelitian

No Kegiatan Tempat Waktu

1 Persiapan bahan uji untuk di heat treatment Bengkel Merbabu 1 bulan

2 Heat treatment Bengkel Merbabu 1 bulan

3 Pengujian kekerasan Bengkel Merbabu 2 minggu

4 Proses pemesinan dan pengukuran geram Politeknik Medan 4bulan

5 Pembuatan Laporan dan Analisa Medan 2 bulan

3.5 Kondisi Pemesinan

Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental dengan menggunakan mesin bubut konvensional. Variabel kondisi pemesinan seperti kecepatan potong (Vc), dan gerak makan (f) disesuaikan dengan kondisi dari putaran, gerak makan yang ada pada mesin bubut. Selain itu, diameter dari benda kerja juga harus disesuaikan untuk mendapatkan kecepatan potong yang nilainya mendekati dari kondisi pada tabel di bawah.

Tabel 3.7 Kondisi Pemesinan

Kondisi Vc (m/min) f (mm/rev) a (mm)

1 225 0,125 1,1

2 225 0,16 0,7

3 250 0,1 0,3

4 250 0,1 1

5 250 0,15 0,3

Dalam prosesnya setiap kondisi pemotongan akan dihentikan jika aus pahat (VB) sudah diperoleh 0,3 mm atau nilai kekasaran permukaan dari benda


(58)

3.6 Rancangan Kegiatan 3.6.1 Proses Pemesinan

Proses Pemesinan dilakukan dengan mesin bubut konvensional Emco type Maximat V13 dengan set up peralatan seperti gambar di bawah ini:

Gambar 3.9 Set up Peralatan Keterangan gambar:

1 Pencekam benda kerja (Chuck)

2. Benda kerja (AISI 4140 @ 55 HRC) 3. Dudukan pemegang pahat (Tool Post)

4. Pahat CBN

5. Pemegang Pahat (Tool Holder)

Adapun prosedur pelaksanaan proses pemesinan ialah sebagai berikut: 1. Mempersiapkan peralatan dan bahan

2. Memasang benda kerja di pencekam benda kerja (chuck) dan pahat sisipan CBN di pemegang pahat (tool holder)

3. Melakukan uji jalan mesin bubut Emco Maximat V 13 sekaligus menguji kemampumesinan dengan parameter pemotongan pada kondisi laju tinggi, keras, dan kering.

4. Mengatur arah dan besar putaran, pemakanan, dan kedalaman pemotongan untuk proses awal yang bertujuan menentukan diameter awal benda kerja agar sesuai dengan kecepatan pemotongan yang telah ditentukan sebelumnya. 5. Setelah point 4 selesai, selanjutnya dibuat entry path (masukan pahat) di

benda kerja yang bertujuan mengurangi beban kejut pada pahat. 1

2

3 4 5


(59)

6. Mengatur kondisi pemotongan (putaran, pemakanan, dan kedalaman pemotongan) sesuai dengan data yang telah ditentukan.

7. Proses pemesinan laju tinggi, keras, dan kering dilakukan

8. Setelah proses pemesinan selesai, geram yang terjadi dikumpulkan kemudian tebal geram setelah pemotongan (hc) dan diameter akhir benda kerja (di)

diukur.

9. Kembali ke point 4, jika setelah proses pemesinan aus pahat (VB) belum

mencapai 0,3 mm atau kekasaran permukaan pada benda kerja (Ra) belum

menujukkan nilai 1,6 m.

10. Proses pemesinan dihentikan jika satu diantara syarat pada point 9 telah dicapai, kemudian geram dikumpulkan.

3.6.2 Pengambilan Gambar Morfologi Geram

Morfologi geram dapat diketahui dengan langkah – langkah sebagai berikut:

1. Satu diantara geram yang telah dikumpulkan untuk satu kondisi pemesinan pada proses pemesinan dimounting menggunakan resin epoxy dan pengeras. 2. Geram yang sudah selesai dimounting kemudian di-polish dengan kertas pasir

dan dietsa menggunakan alkohol dan asam nitrat.

3. Proses selanjutnya ialah mengambil gambar morfologi geram dengan bantuan mikroskop USB digital Rax Vision dengan 200 kali pembesaran.

4. Setelah pengambilan gambar morfologi geram selesai, kemudian gambar morfologi geram untuk setiap kondisi pemesinan dikumpulkan menjadi satu folder.

3.6.3 Pengukuran Geometri Geram

1. Sebelum pengukuran geometri geram dilakukan, terlebih dahulu hasil pengukuran tebal geram setelah terpotong (hc) dengan mistar ingsut digital

untuk seluruh proses pemotongan pada setiap kondisi pemesinan dirata – ratakan.

2. Satu diantara gambar morfologi geram untuk satu kondisi pemesinan yang telah diperoleh dari mikroskop dibuka melalui adobe photoshop kemudian


(60)

dilihat dimensi dokumennya terutama lebar gambar. Nilai lebar gambar morfologi yang tertera di photoshop tersebut kemudian dibagi dengan skala pembesaran yaitu 200. Hasil pembagian inilah yang menjadi panjang geram sebenarnya pada gambar morfologi geram.

3. Gambar morfologi geram yang telah dibuka di photoshop kemudian di-copy

dari folder dan di-paste di ms Word. Sesuaikan ukuran gambar di ms Word dengan dimensi dokumen yang tertera di photoshop. (Ingat bahwa dimensi yang dimaksud adalah dimensi awal, bukan dimensi hasil pembagian dengan skala 200 kali pembesaran)

4. Gambar double arrow diletakkan di tinggi gigi (tinggi gigi yang dimaksud merupakan tebal geram setelah terpotong (hc)) pada gambar morfologi geram,

panjang double a rrow yang ada pada format width dibagi 200 (nilai 200 ini merupakan nilai pembesaran dari mikroskop) dan karena satuan panjang

double arrow dalam cm maka hasil pembagian dikalikan 10 mm (1 cm = 10

mm), untuk lebih jelasnya perhatikan formula di bawah: hc

kemudian dilihat apakah sudah sama dengan tebal geram setelah pemotongan (hc) rata – rata dari hasil pengukuran langsung.

Gambar 3.10 Cara Pengukuran Tebal Geram (hc) hc ≈ hc rata-rata


(61)

Jika belum sama, pindahkan gambar double arrow ke tinggi gigi lainnya dan sesuaikan panjangnya dengan tinggi gigi tersebut. Langkah ini dilanjutkan hingga nilai panjang double a rrow sama dengan tinggi gigi dan tebal geram setelah pemotongan (hc) rata – rata dari hasil pengukuran langsung.

5. Selanjutnya jarak antar mata gergaji () diukur dengan cara yang sama dengan point 3 yaitu menggunakan gambar double arrow. Pada gambar morfologi geram, gambar double arrow diletakkan di setiap jarak antar mata gergaji kemudian setiap panjang double a rrow dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah jarak antar mata gergaji yang ada pada gambar morfologi geram (hal ini berarti bahwa jarak antar mata gergaji yang diukur merupakan jarak rata-rata mata gergaji yang dihasilkan melalui hasil bagi antara jumlah panjang mata gergaji yang diukur dengan bantuan double arrow dengan berapa jumlah jarak antar mata gergaji yang ada pada gambar morfologi geram).

Gambar 3.11 Cara Pengukuran jarak antar mata gergaji ()

6. Kemudian dihitung berapa jumlah mata gergaji (np) yang ada pada setiap


(62)

Gambar 3.12 Cara Penghitungan Jumlah Mata Gergaji (np)

7. Setelah jumlah mata gergaji (np) dihitung maka dilanjutkan dengan

menghitung rasio geram (rp) dengan formula sebagai berikut:

Dimana: rp = rasio geram

np = jumlah mata gergaji

1,05 = lebar morfologi geram/skala pembesaran 1,05 = 210/200

8. Tulisan “hc” untuk tebal geram setelah terpotong dan “” untuk jarak antar

mata gergaji dibuat dengan cara sebagai berikut:

a) Setelah point 5 selesai, seluruh display ms word dengan gambar morfologi geram di-print screendan di-paste-kan di ms picture manager, melalui ms picture manager gambar yang di-paste-kan tersebut di-crop dengan menyisakan gambar morfologinya saja, hal ini juga dilakukan untuk gambar morfologi geram pada kondisi lainnya. Kemudian gambar tersebut disimpan berdasarkan kondisi pemesinan di satu folder.

b) Gambar morfologi geram yang telah disimpan tersebut dibuka menggunakan bantuan software adobe photoshop cs 4 dengan bantuan

software ini tulisan “hc” dan “” dibuat dengan menu Text. Setelah selesai,

gambar morfologi geram kembali disimpan.

9. Proses ini diulangi untuk setiap kondisi pemesinan lainnya, setelah itu data yang telah diukur dan dihitung dikumpulkan di tabel pengumpulan data.


(63)

3.6.4 Perhitungan Gaya dan Suhu Pemotongan

Dalam menghitung gaya pemotongan dapat digunakan persamaan yang ada pada bab dua yang dihasilkan dari pemodelan dua dimensi oleh Merchant. Untuk langkah – langkah perhitungan gaya dapat langsung dilihat pada bab empat. Tidak berbeda dengan gaya pemotongan, suhu pemotongan juga dapat dihitung menggunakan formula yang terdapat pada bab dua dimana formula ini diperoleh melalui buku fundamental of metal cutting karangan Boothryod. Urutan perhitungan suhu pemotongan juga dapat dilihat pada bab empat. Setelah kedua perhitungan ini selesai keseluruhan nilai dapat dilihat pada lampiran B dan C.

3.6.5 Pengumpulan Data

Untuk menghindari kesalahan dalam tabulasi data, dibutuhkan format tabel untuk mengumpulkan data yang dihasilkan dari proses pemesinan dan data hasil pengukuran geometri geram dengan parameter Orthogonal Merchant (teoritik). Agar lebih mudah dalam menganalisa, format tabel pengumpulan data dibagi menjadi dua format. Pertama, tabel untuk data yang dihasilkan dari proses pemesinan dan kedua, tabel untuk data yang diperoleh dari hasil pengukuran geometri geram dengan parameter Orthogonal Merchant (teoritik). Berikut ini merupakan format kedua tabel.

Tabel 3.8 Format tabel untuk pengumpulan data yang dihasilkan dari proses pemesinan

kondisi variabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Vc (m/min)

f (mm/rev)

a (mm)

s/d do (mm)

di (mm) n (rpm)


(64)

Tabel 3.9 Format tabel untuk pengumpulan data yang diperoleh dari hasil pengukuran geometri geram dengan parameter Orthogonal Merchant

Kondisi Pemotongan

1 2 3 4 5

Vc = 225 m/min f = 0,125 mm/rev a = 1,1 mm

Vc =225 m/min f = 0,16 mm/rev a = 0,7 mm

Vc = 250 m/min f = 0,1 mm/rev a = 0,3 mm

Vc = 250 m/min f = 0,1 mm/rev a = 1 mm

Vc = 250 m/min f = 0,15 mm/rev a = 0,3 mm hc (mm)

 (mm) np rp

Fv (N) / maks ( o


(65)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Dalam subbab ini, hasil penelitian akan dibagi menjadi dua yaitu morfologi atau bentuk geram yang terjadi dan parameter – parameter teori pemotongan Orthogonal Merchant (Merchant 1944,1945) yang dihasilkan melalui perhitungan berdasarkan data yang dihasilkan dari proses pemesinan.

4.1.1 Morfologi Geram Kondisi Pemotongan I (Vc = 225 m/min; f = 0,125 mm/rev; a = 1,1 mm)

Morfologi geram diamati menggunakan USB mikroskop digital Rax Vision. Pada gambar 4.1 disajikan morfologi geram yang dihasilkan dari kondisi pemotongan Vc = 225 m/min; f = 0,125 mm/rev; a = 1,1 mm

Gambar 4.1 Morfologi Geram yang dihasilkan pada kondisi pemotongan Vc = 225 m/min; f = 0,125 mm/rev; a= 1,1 mm


(1)

Tabel B.4 Komponen Gaya pada Kondisi IV (Vc = 250 m/min; a = 1 mm; f = 0,1 mm/rev)

no Vc

(m/min)

f (mm/rev)

a (mm)

n (rpm)

do (mm)

di (mm)

hc

(mm) o Kr

h (mm)

b

(mm) h 

1 2 3 4

1 251 0.098 1 1230 66.0 64 0.18 -6 91.0 0.10 1.0 1.8 27.12

2 251 0.098 1 1230 66.0 64 0.18 -6 91.0 0.10 1.0 1.8 27.12

3 251 0.098 1 1230 66.0 64 0.18 -6 91.0 0.10 1.0 1.8 27.12

4 250 0.098 1 1500 54.0 52 0.2 -6 91.0 0.10 1.0 2.0 24.87

 Vf

(m/min)

Vchips

(m/min)

Vs

(m/min)

Ks1.1

(N/mm2)

Ks

(N/mm2)

Fv (N)

F (N)

Ff

(N)

Fs

(N)

Fsn

(N)

F (N)

Fn

(N)

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

29.75 120.5 136.73 298.26 2381.81 4584.62 449.29 553.63 323.49 252.40 492.8 274.76 480.65 29.75 120.5 136.73 298.26 2381.81 4584.62 449.29 553.63 323.49 252.40 492.8 274.76 480.65 29.75 120.5 136.73 298.26 2381.81 4584.62 449.29 553.63 323.49 252.40 492.8 274.76 480.65 34.26 147.0 122.36 289.38 2381.81 4584.62 449.29 588.79 380.54 247.60 534.2 331.50 486.61


(2)

Tabel B.5 Komponen Gaya pada Kondisi V (Vc = 250 m/min; a = 0,3 mm; f = 0,15 mm/rev)

no Vc (m/min)

f (mm/rev)

a (mm)

n (rpm)

do (mm)

di (mm)

hc

(mm) o Kr

h (mm)

b

(mm) h 

1 2 3 4

1 256.59 0.15 0.3 1500 54.75 54.15 0.19 -6 91.0 0.15 0.3 1.27 35.95 2 256.59 0.15 0.3 1500 54.75 54.15 0.20 -6 91.0 0.15 0.3 1.33 34.67 3 254.70 0.15 0.3 1500 54.35 53.75 0.20 -6 91.0 0.15 0.3 1.33 34.67 4 254.94 0.15 0.3 1500 54.4 53.8 0.19 -6 91.0 0.15 0.3 1.27 35.95

 Vf

(m/min)

Vchips

(m/min) Vs

(m/min)

Ks1.1

(N/mm2)

Ks

(N/mm2)

Fv (N)

F (N)

Ff

(N)

Fs

(N)

Fsn

(N)

F (N)

Fn

(N)

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

12.10 225 202.54 343.11 2381.81 4210.47 189.47 199.34 61.93 117.02 161.37 41.79 194.91 14.67 225 192.41 336.43 2381.81 4210.47 189.47 202.50 71.47 115.18 166.55 51.27 195.90 14.67 225 191.00 333.95 2381.81 4210.47 189.47 202.50 71.47 115.18 166.55 51.27 195.90 12.10 225 201.24 340.91 2381.81 4210.47 189.47 199.34 61.93 117.02 161.37 41.79 194.91


(3)

LAMPIRAN C

SUHU PEMOTONGAN PADA SETIAP KONDISI PEMOTONGAN

Tabel C.1 Suhu Pemotongan pada kondisi I (Vc=225 m/min; a=1,1mm; f=1,1 mm/rev)

no Vc (m/min)

f (mm/rev)

a (mm)

Fv (N)

F (N)

Pm

(watt)

Pf

(watt)

Ps

(watt) R

s

(oC)

f

(K) lo m/f

m

(oC)

max

(oC)

1 2 3 4 5 6 7 8

1 227.30 0.125 1.1 600.44 368.42 2274.69 758.43 1516.25 48.95 410.45 330.62 1.30 2.19 452.07 889.52 2 225.82 0.125 1.1 600.44 428.07 2259.83 805.43 1454.40 48.63 368.64 353.42 1.20 2.22 511.15 906.79 3 219.17 0.125 1.1 600.44 457.26 2193.34 802.92 1390.42 47.20 298.97 362.99 1.15 2.22 533.58 859.56 4 215.71 0.125 1.1 600.44 457.26 2158.68 790.23 1368.45 46.45 297.91 362.99 1.15 2.22 531.57 856.48 5 217.36 0.125 1.1 600.44 306.69 2175.18 661.23 1513.95 46.81 450.72 301.43 1.43 2.15 375.76 853.48 6 223.16 0.125 1.1 600.44 306.69 2233.19 678.86 1554.32 48.05 457.40 301.43 1.43 2.16 378.02 862.42 7 221.20 0.125 1.1 600.44 398.48 2213.61 765.02 1448.60 47.63 383.22 342.69 1.25 2.20 480.25 890.47 8 222.75 0.125 1.1 600.44 368.42 2229.18 743.26 1485.92 47.97 405.85 330.62 1.30 2.19 449.95 882.79 9 223.08 0.125 1.1 600.44 368.42 2232.48 744.36 1488.12 48.04 406.18 330.62 1.30 2.19 450.10 883.28 10 217.12 0.125 1.1 600.44 398.48 2172.82 750.92 1421.90 46.75 379.32 342.69 1.25 2.19 478.19 884.51 11 223.13 0.125 1.1 600.44 398.48 2232.95 771.70 1461.25 48.05 385.06 342.69 1.25 2.20 481.23 893.29


(4)

Tabel C.2 Suhu Pemotongan pada kondisi II(Vc = 225 m/min; a = 0,7 mm; f = 0,16 mm/rev)

no Vc (m/min)

f (mm/rev)

a (mm)

Fv (N)

F (N)

Pm

(watt)

Pf

(watt)

Ps

(watt) R

s

(oC)

f

(K) lo m/f

m

(oC)

max

(oC)

1 2 3 4 5 6 7 8

1 230 0.16 0.7 465.52 181.41 1785.37 463.75 1321.62 63.75 585.75 243.91 0.83 2.33 294.35 907.10 2 230 0.16 0.7 465.52 161.04 1785.37 429.58 1355.78 63.75 623.83 225.95 0.91 2.31 249.02 899.84 3 226 0.16 0.7 465.52 140.19 1755.39 384.38 1371.00 62.68 659.76 205.63 0.99 2.29 198.42 885.18 4 226 0.16 0.7 465.52 201.33 1755.39 485.81 1269.58 62.68 546.00 259.88 0.77 2.34 334.83 907.83 5 222 0.16 0.7 465.52 140.19 1720.16 376.67 1343.49 61.42 651.14 205.63 0.99 2.29 197.77 875.90 6 222 0.16 0.7 465.52 161.04 1720.16 413.89 1306.27 61.42 608.94 225.95 0.91 2.30 247.56 883.49 7 217 0.16 0.7 465.52 140.19 1685.68 369.12 1316.56 60.19 642.70 205.63 0.99 2.29 197.12 866.82 8 217 0.16 0.7 465.52 140.19 1685.68 369.12 1316.56 60.19 642.70 205.63 0.99 2.29 197.12 866.82 9 232 0.16 0.7 465.52 201.33 1798.86 497.84 1301.02 64.23 554.74 259.88 0.77 2.34 336.15 917.90 10 232 0.16 0.7 465.52 140.19 1797.36 393.57 1403.79 64.18 670.04 205.63 0.99 2.30 199.20 896.24 11 228 0.16 0.7 465.52 140.19 1768.13 387.17 1380.96 63.13 662.88 205.63 0.99 2.29 198.66 888.54 12 228 0.16 0.7 465.52 161.04 1768.13 425.44 1342.69 63.13 619.89 225.95 0.91 2.31 248.63 895.52 13 225 0.16 0.7 465.52 201.33 1749.39 484.15 1265.25 62.46 544.79 259.88 0.77 2.34 334.65 906.44


(5)

Tabel C.3 Suhu Pemotongan pada kondisi III (Vc = 250 m/min; a = 0,3 mm; f = 0,1 mm/rev)

no Vc (m/min)

f (mm/rev)

a (mm)

Fv

(N)

F (N)

Pm

(watt)

Pf

(watt)

Ps

(watt) R

s

(oC)

f

(K) lo m/f

m

(oC)

max

(oC)

1 2 3 4 5 6 7 8

1 250 0.1 0.3 136.98 80.58 570.79 186.51 384.28 43.07 424.10 338.79 0.93 1.76884 326.28 777.38 2 249 0.1 0.3 136.98 62.71 568.15 162.52 405.62 42.87 492.20 296.60 1.17 1.70452 232.57 751.77 3 250 0.1 0.3 136.98 53.38 571.14 148.35 422.79 43.10 538.55 269.32 1.33 1.67694 178.63 744.18 4 250 0.1 0.3 136.98 71.76 570.79 175.86 394.93 43.07 455.85 319.45 1.04 1.73631 281.67 764.52 5 248 0.1 0.3 136.98 80.58 566.38 185.07 381.31 42.74 422.41 338.79 0.93 1.76652 325.49 774.90 6 248 0.1 0.3 136.98 62.71 566.38 162.02 404.36 42.74 491.40 296.60 1.17 1.70379 232.35 750.75 7 250 0.1 0.3 136.98 53.38 571.67 148.49 423.18 43.14 538.81 269.32 1.33 1.67713 178.68 744.49 8 250 0.1 0.3 136.98 71.76 570.79 175.86 394.93 43.07 455.85 319.45 1.04 1.73631 281.67 764.52 9 248 0.1 0.3 136.98 62.71 565.50 161.77 403.73 42.67 491.00 296.60 1.17 1.70342 232.24 750.24


(6)

Tabel C.4 Suhu Pemotongan pada kondisi IV (Vc = 250 m/min; a = 1 mm; f = 0,1 mm/rev)

no Vc (m/min)

f (mm/rev)

a (mm)

Fv (N)

F (N)

Pm

(watt)

Pf

(watt)

Ps

(watt) R

s

(oC)

f

(K) lo m/f

m

(oC)

max

(oC)

1 2 3 4 5 6 7 8

1 251 0.1 1 449.29 274.76 1880.82 626.11 1254.71 42.40 359.75 346.56 1.67 1.96 406.58 793.33 2 251 0.1 1 449.29 274.76 1880.82 626.11 1254.71 42.40 359.75 346.56 1.67 1.98 376.89 784.99 3 251 0.1 1 449.29 274.76 1880.82 626.11 1254.71 42.40 359.75 346.56 1.67 1.96 406.58 793.33 4 250 0.1 1 449.29 331.50 1870.23 676.04 1194.19 42.16 325.41 376.31 1.50 1.92 449.76 802.17

Tabel C.5 Suhu Pemotongan pada kondisi V (Vc = 250 m/min; a = 0,3 mm; f = 0,15 mm/rev)

no Vc (m/min)

f (mm/rev)

a (mm)

Fv (N)

F (N)

Pm

(watt)

Pf

(watt)

Ps

(watt) R

s

(oC)

f

(K) lo m/f

m

(oC)

max

(oC)

1 2 3 4 5 6 7 8

1 256,6 0,15 0,3 189,47 41,79 810,27 141,06 669,21 66,30 796,70 166,45 1,25 1,72 13,40 837,09 2 256,6 0,15 0,3 189,47 51,27 810,27 164,43 645,84 66,30 652,18 194,02 1,12 1,73 62,08 741,25 3 254,7 0,15 0,3 189,47 51,27 804,32 163,22 641,10 65,82 594,38 194,02 1,12 1,73 61,98 683,37 4 254,9 0,15 0,3 189,47 41,79 805,06 140,16 664,90 65,88 597,60 166,45 1,25 1,72 13,33 637,93