Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

27 sebanyak 17 orang 35,4. Tingkat kepercayaan pada tabel ini adalah sebesar 0,05. Pada tabel ini didapat nilai p = 0,001 p 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan gangguan tidur.

5.2. Pembahasan

Pada penelitian ini dijumpai gangguan tidur pada remaja sebesar 47. Penelitian yang dilakukan Fisher et al menunjukan frekuensi gangguan tidur sebesar 35-46 pada remaja usia sekolah, persentase jenis gangguan tidur yang dialami 39 insomnia, 17 OSA, 8,98 hipersomnia, dan 28,2 mengalami hipersomnia. Sedangkan penelitiann yang dilakukan Ohida et al di Jepang menunjukan prevalensi gangguan tidur pada siswa SMP dan SMA yang bervariasi 15,3 - 39,2 tergantung jenis gangguan tidur yang dialami. Sementara di Indonesia belum ada penelitian epidemiologi mengenai gangguan tidur pada remaja. Gangguan tidur merupakan kumpulan kondisi dengan adanya gangguan dalam jumlah, kualitas, dan waktu tidur seseorang. Jika terjadi gangguan tidur secara kronik bisa mengganggu pertumbuhan fisik, emosional, kognitif, dan sosial seorang remaja. Berbagai faktor mempengaruhi pola tidur remaja, yaitu faktor non-medis dan faktor medis. Remaja yang sudah mengalami pubertas akan mengalami perubahan irama sirkadian dan pematangan system neuroendokrin, yang bisa mempengaruhi pola tidur. Perubahan pada HPA-axis akan meningkatkan sekresi kortisol menyebabkan keadaan hyperaurosal sehingga tejadi delayed sleep onset. Factor non-medis terdiri dari jenis kelamin, pubertas, social ekonomi, gaya hidup dan lingkungan. Faktor medis terdiri dari riwayat penyakit kronik seperti asma dan dermatitis, dan gangguan neuropsikiatri Milmann, 2005 Pada penelitian ini menunjukan remaja putri yang mengalami gangguan tidur sebesar 27 orang 57,4 , remaja laki-laki yang mengalami gangguan tidur sebanyak 20 orang42,6, dan nilai p = 0,225 yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan gangguan tidur. Sedangkan penelitian yang dilakukan Johson EO et al 2006 menunjukan bahwa perempuan memiliki risiko Universitas Sumatera Utara 28 yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan tidur, karena perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi dalam menghadapi kelelahan akibat pubertas, prevalensi gangguan mental yang lebih tinggi, serta lebih sensitive dan mudah stress dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan penelitian yang dilakukan Mindell 2003 menyatakan bahwa delayed sleep phase disorder lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan, karena adanya perubahan pada irama sirkadian yang dipengaruhi oleh kondisi medis, lingkungan, sosial, psikologi, merokok, dan kafein. Pada penelitian ini tidak dijumpai hubungan antara jenis kelamin dan gangguan tidur, mungkin karena jumlah sampel yang terlalu sedikit, tidak melihat faktor penyebab gangguan tidur lainnya, dan dari kuesioner PSQI yang digunakan tidak dapat mengidentifikasi jenis gangguan tidur yang dialami responden. Penelitian ini menunjukan ada hubungan antara status gizi lebih dan gangguan tidur, dengan prevalensi sebesar 66 dan nilai p 0,001. Seiring dengan penelitian yang dilakukan Marcus et al menjelaskan bahwa 36 anak dan remaja yang obesitas ditemui kelainan pada pemeriksaan polysomnographyPSG, 24 di dalamnya menderita OSA. Penelitian yang dilakukan Verhulst et al 2006 menemukan prevalensi OSA pada obesitas adalah 16 dan 41 pada pasien overweight. Pada obesitas terjadi akumulasi lemak di daerah leher, lidah, ataupun di struktur saluran nafas atas Yuan,2013. Sehingga menyebabkan penyempitan saluran nafas atas, hal ini menimbulkan mendengkursnooring saat tidur. Jika penyempitan saluran nafas terus terjadi secara progresif, ini akan menimbulkan OSA Downey,2010. Hal ini menunjukan korelasi positif antara obesitas dan OSA. Pada penelitian yang dilakukan Zimberg et all 2011, menjumpai hubungan antara variabel antropometri dan pola tidur. Penelitian tersebut menemukan korelasi positif pada persentase slow wave sleep dan lean body mass, korelasi positif antara terbangun-bangun tengah malam dengan BMI. Penelitian tersebut menyimpulkan semakin tinggi deposit lemak tubuh akan meningkatkan risiko gangguan tidur. Rao et al 2009 dalam penelitiannya menunjukan hubungan peningkatan BMI dengan pola tidur. Pasien yang memiliki BMI 27,4 kgm2 memiliki fase Universitas Sumatera Utara 29 slow wave sleepSWS yang lebih rendah dibandingkan mereka yang memiliki BMI 26,8kgm2. Pasien dengan SWS yang rendah akan mendapatkan risiko menjadi obese 1.4 kali. Dengan demikian, terdapat hubungan dua arah antara pola tidur dan variabel antropometri. Pengaruh obesitas dalam pola tidur sangat terlihat pada pasien OSA, karakteristik pola tidurnya dijumpai penurunan effisiensi tidur, penurunan fase REM dan slow wave sleep tahap 3 dan 4 fase NREM, peningkatan light sleep tahap 1 dan 2 fase NREM serta EDS. Hipotesis beberapa peneliti menyebutkan efek ini timbul karena peningkatan sitokin seperti interleukin-6 dan tumor necrosis factor-a dalam serum pasien obesitas. Dan ada mekanisme lain yang disebutkan yaitu obesitas menginduksi gangguan siklus sirkadian; leptin dan melatonin Antczak,2008. Melatonin berperan dalam regulasi energi dan berat badan, serta untuk irama sirkadian bangun-tidur. Pada malam hari,bagian dari hypothalamus yaitu nucleus supra chiasmatic NSC akan merangsang pelepasan hormon melatonin dari parenkim kelenjar pineal, sehingga orang mengantuk dan tertidur. Kadar melatonin yang meningkat dalam darah akan mempengaruhi penurunan temperatur badan dan relaksasi saat tidur Rahayu,2009. Pada orang yang memiliki kelebihan berat badan dijumpai penurunan melatonin, yang berkorelasi dengan peningkatan lemak visceral dan gangguan tidur Mateos,2007. Universitas Sumatera Utara 30

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada 100 responden di SMA Negeri 1 Kota Padang Panjang, maka dapat disimpulkan hal sebagai berikut: 1. Prevalensi remaja dengan status gizi normal pada penelitian ini sebesar 52, dan remaja dengan status gizi lebih sebesar 48. 2. Prevalensi gangguan tidur yang ditemukan dalam penelitian ini sebesar 47. 3. Ada hubungan yang signifikan antara status gizi dan gangguan tidur. 4. Tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan gangguan tidur.

6.2. Saran

1. Perlu dilakukan pendekatan terhadap siswa yang beresiko mengalami gangguan tidur dan untuk menentukan penanganan lebih lanjut dengan melibatkan Bimbingan Konseling BK di sekolah dan orangtua siswa tersebut. 2. Perlu dilakukan penurunan berat badan ideal kepada responden dengan gizi lebih karena akan memiliki banyak risiko penyakit . 3. Penelitian ini tidak mengidentifikasi berbagai faktor lain yang berkaitan dengan gangguan tidur. Disamping itu PSQI merupakan alat skrining yang diisi oleh remaja sehingga dapat terjadi bias pengisian yang tentunya sangat berpengaruh pada hasil penelitian. Untuk itu disarankan adanya penelitian lanjutan yang juga menganalisis berbagai faktor risiko lainnya seperti keadaan Universitas Sumatera Utara