Analisis semiotik terhadap film balibo five

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos.I)

Oleh

Rahmat Subekti

NIM: 106051101937

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H./ 2011M.


(2)

(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 Juni 2011


(5)

i

Rahmat Subekti

Analisis Semiotik Terhadap Film Balibo Five

Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang sangat efektif untuk menyampaikan sebuah informasi kepada masyarakat. Informasi yang disampaikan melalui sebuah film akan dengan mudah dipahami oleh para penonton karena disampaikan secara narasi (bercerita) dan dalam bentuk audiovisual (suara dan gambar) sehingga para penonton seolah ikut merasakan apa yang tengah terjadi dan menjadi bagian dalam film tersebut. Seperti halnya sebuah film yang diangkat berdasarkan sebuah kisah nyata yang berjudul Balibo Five, film Balibo Five adalah sebuah film yang bercerita tentang terbunuhnya lima orang jurnalis muda jaringan televisi Australia (Chanel 7 dan Chanel 9) ketika melakukan peliputan konflik bersenjata yang terjadi di Desa Balibo, Timor-Timur pada tahun 1975.

Dikisahkan dalam film ini bagaimana proses peliputan yang dilakukan oleh para jurnalis tersebut di wilayah konflik bersenjata, sampai akhirnya mereka tewas ketika sedang melakukan tugas peliputan. Dari adegan-adegan yang menggambarkan proses peliputan jurnalistik di wilayah konflik bersenjata tersebut menimbulkan pertanyaan, seperti apa sebenarnya makna denotasi, konotasi serta mitos yang terdapat dalam adegan-adegan tersebut?

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif, yaitu pendekatan penelitian yang datanya tidak menggunakan data statistik, namun lebih dalam bentuk narasi atau gambar-gambar. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, yang memaparkan sebuah situasi atau peristiwa. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotika model Roland Barthes. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah tujuh adegan yang menggambarkan proses peliputan yang dilakukan oleh para jurnalis dalam film Balibo Five.

Kesimpulan dari tujuh adegan yang diteliti dalam penelitian ini memiliki makna denotasi di mana para jurnalis melakukan proses peliputan jurnalistik di wilayah konflik bersenjata dengan penuh komitmen dan tanggung jawab hingga akhirnya mereka tewas dalam tugas tersebut. Sedangkan makna konotasinya yaitu para jurnalis cenderung mengemas berita yang belum sesuai dengan konsep jurnalisme damai di mana seharusnya pemberitaan lebih mengedepankan agar trauma fisik maupun psikologis dari sebuah konflik bersenjata tidak meluas ke wilayah lain, mereka lebih banyak mengemas berita dari sisi negatif yaitu perseteruan yang terjadi antara kedua pihak yang bertikai dalam konflik bersenjata yang terjadi di Balibo. Adapun mitos yang terdapat dalam ketujuh adegan tersebut adalah berita yang disampaikan oleh para jurnalis tersebut menggambarkan penderitaan yang dialami oleh warga sipil yang menjadi korban dalam konflik yang terjadi di Balibo.


(6)

(7)

KATA PENGANTAR

Dalam menjalani kehidupan ini, setiap manusia pasti pernah mengalami cobaan dan kesulitan. Namun di balik cobaan dan kesulitan tersebut, pasti ada jalan yang diberikan oleh Tuhan agar kita mampu melewatinya dengan baik. Hal tersebut juga dialami penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, berkat petunjuk-Nya lah penulis dapat melewati berbagai macam rintangan dan cobaan yang menghadang penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

Oleh karena itu penulis ingin mengucap rasa syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang selama ini membimbing penulis dalam mengarungi kerasnya kehidupan di dunia ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Baginda Besar Rasulullah Muhammad SAW, beliaulah yang memberikan pencerahan kepada segenap umat manusia untuk menuju jalan yang terang benderang dalam kehidupan ini.

Penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Arief Subhan, MA, Selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, serta Drs. H. Mahmud Jalal, MA, Drs. Studi Rizal L.K. MA dan Drs. Wahidin Saputra, MA selaku para Pembantu Dekan Fakultas


(8)

Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Rubiyanah, MA, selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Ade Rina

Farida, M.Si selaku Sekertaris Konsentrasi Jurnalistik yang selalu membantu dalam urusan akademik penulis, terimakasih atas segala bantuannya.

3. Dr. Suhaimi, M.Si, selaku dosen pembimbing, yang telah meluangkan

banyak waktu bagi penulis untuk mendiskusikan penelitian ini. Terima kasih sedalam-dalamnya atas segala ilmu dan masukan yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

4. Para Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas segala ilmu pengetahuan yang diberikan selama penulis menempuh studi di kampus tercinta ini.

5. Seluruh staff dan karyawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, terima kasih atas kerjasama dan bantuannya.

6. Kedua orang tua tercinta, Abubakar Mahmud dan Mundiroh Spd.I.

terimakasih atas segala bentuk cinta kasih dan pelajaran hidup yang tercurah selama ini.

7. Kakak-kakak penulis, Mochammad Subhan Zein yang merupakan

kandidat Doktor di Australia National University, terima kasih untuk segala dukungan moral dan material yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Maulana Arief Nasrullah, terima kasih atas dorongan semangat yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan


(9)

penelitian ini. Serta Ahmad Abubakar yang telah banyak memberikan masukan filosofis terhadap penulis.

8. Keluarga besar Lebakgowah di Tegal, Jawa Tengah dan keluarga besar di

Bima, Nusa Tenggara Barat. Semoga tali silaturrahim keluarga kita dapat terus terjaga dengan baik.

9. Teman-teman Konsentrasi Jurnalistik angkatan 2006, Agung, Aida

Islamie, Ahmad Zakaria, Amin Chanafie, Ahmad Yani, Bagus Santosa, Dirga Maulana, Dwi Hardiyanto, Dyambika Yuni, Edi Mahmud, Irham Maulana, Maysyarah, Mimi Fahmiyah, Muhammad Iqbal Ichsan, Rizki Akmalsyah, Yikki Arstania, terima kasih telah menjadi teman seperjuangan penulis selama menempuh studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

10.My bestiest neighbor Sena Satria Putra, Bayu Irfandi, Januar Radiansyah,

Nurul Layali Inderania Sahara, Novy Andryani, Arya Irawan, Ryan

Fitriawan, Novie Yu’aisna Nugeraha, Iklima.

11.Para sahabat penulis di Amal Brotherhood Raden Ayu Putri Esmeralda,

Saugy Riyandi, Handoko Rizki Pratama, Ahmad Fariqy, Tomy Febryanto, Luthfi Abrian Wijaya, Gemy Adyendra, Seolly Adam, Ahmad Nurismarsyah, Viana Vilamanda Jatnika, Grace Audrin Mingkid.

12.Para sahabat penulis di Buavita Squad Dara Amalia, Amalia Puspita

Hardini, Nuran Abdat, Christianto Hadiwijaya, Muhammad Afrizal, Hanny Ishtifa Djunaidy, Syifa Nurmalasari (Cipoy), Riski Rahmawati (Ichi) dan Fathir al Fath.


(10)

13.Para sahabat penulis di masa SMP hingga saat ini Mochammad Royan,

Nina Putri Fahrezi, Desy Widianty Koesnaedi, Afrian Indrasari, Ocktaria Irmayanti Putri, Seandy John Ernst Karaeng, Nucky Paramitha.

14.Para sahabat penulis dalam melakukan traveling Vera Pujiastuti dan Tri

Utami. We gonna hit down all around our beautiful land Indonesia lad’s.

15.Untuk teman-teman di Djakarta Artmosphere (Djaksphere) dan South to

South Film Festival (StoS), terimakasih untuk pengalaman yang saya dapatkan dari kalian selama ini.

16.Untuk Damai Rinajani yang telah pergi mendahului kita semua, kita

semua yakin bahwa Allah SWT menempatkanmu di tempat yang istimewa di sisi-NYA. Kenangan indah akan selalu terekam dalam memori kita semua. We will always love you Damai Rinjani.

17.Teman-teman penulis di klub sepakbola dan futsal Gamas FC, semoga tim

kita semakin baik dari hari ke hari.

Dan kepada seluruh pihak yang telah mambantu penulis menyelesaikan penelitian ini, baik langsung maupun tidak langsung, terimakasih atas segala bantuannya semoga Allah SWT membalas segala perbuatan baik Anda selama ini.

Dalam penelitian ini penulis juga menyadari masih terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis menerima pertanyaan, masukan atau saran yang berkaitan dengan karya ilmiah ini. Untuk berkorespondensi dengan penulis, Anda dapat menghubungi penulis melalui surat elektronik dengan alamat ben_subekti@yahoo.co.id atau di akun twitter


(11)

@benburnthedisco dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan bagi Anda semua pada umumnya.

Jakarta Mei 2011


(12)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...vii

DAFTAR TABEL...ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...5

D. Metodologi Penelitian...6

E. Tinjauan Kepustakaan...8

F. Sistematika Penulisan ...9

BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Film Sebagai Media Komunikasi Massa...11

B. Sejarah dan Perkembangan Film...13

C. Jenis-Jenis Film...15

1. Film Dokumenter (Documentary Films)...16

2. Film Cerita Pendek (Short Films)...17

3. Film Cerita Panjang (Feature-Length Films)...17

D. Unsur Pembentuk Film...20

1. Mise-en-scene...20

2. Sinematografi...20

3. Editing...24

4. Suara...24

E. Konsep Umum Semiotika...24

F. Konsep Semiotika Model Roland Barthes...28

G. Konsep Peliputan Dalam Keadaan Konflik atau Perang...32


(13)

viii

BAB III GAMBARAN UMUM FILM BALIBO FIVE

A. Gambaran Umum Film Balibo Five...47

B. Sinopsis Film Balibo Five...49

C. Biografi Sutradara Robert Connoly...53

D. Karya Film dan Filmography Sutradara Robert Connolly...55

1. The Bank...55

2. Three Dollars...55

3. Romullus My Father...56

4. Filmography Robert Connolly...56

E. Profil Tokoh dan Pemeran Film Balibo Five...57

1. Anthony LaPaglia sebagai Roger East...57

2. Oscar Isaac sebagai Jose Ramos Horta...60

3. Damon Gameau sebagai Greg Shackleton...61

4. Gyton Grantley sebagai Gary Cunningham...62

5. Nathan Philips sebagai Malcolm Rennie...63

6. Thomas Wright sebagai Brian Peters...63

7. Mark Leonard Winter sebagai Tony Stewart...64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos dalam Film Balibo Five...69

1. Scene 1...69

2. Scene 2...71

3. Scene 3...73

4. Scene 4...75

5. Scene 5...76

6. Scene 6...79

7. Scene 7...80

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...83

B. Saran...84

DAFTAR PUSTAKA...86


(14)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Skema Denotasi - Konotasi Roland Barthes...30

Tabel 2 Scene 1...69

Tabel 3 Scene 2...71

Tabel 4 Scene 3...73

Tabel 5 Scene 4...75

Tabel 6 Scene 5...76

Tabel 7 Scene 6...79


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pada era informasi seperti saat ini, media komunikasi massa telah menjadi suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dalam kehidupannya, manusia membutuhkan informasi untuk menunjang proses interaksi dengan manusia lain. Informasi yang dibutuhkan oleh manusia tersebut dapat diperoleh dari media massa yang setiap harinya memproduksi dan menyebarluaskan informasi tersebut melalui berbagai bentuk media informasi yang tergolong dalam media massa umum (mainstream). Mulai dari media cetak, media elektronik dan juga media online (internet) yang akhir-akhir ini menjadi pilihan masyarakat modern karena kecepatan akses informasi yang dapat diperoleh.

Namun, penyampaian sebuah informasi tidaklah hanya terbatas melalui media-media mainstream seperti yang telah disebutkan di atas. Film yang dianggap oleh banyak orang hanya sebagai media hiburan, sebenarnya adalah salah satu media yang juga digunakan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Seperti yang telah terjadi pada era Perang Dunia I sampai Perang Dunia II.

Harus kita akui bahwa hubungan antara film dan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Oey Hong Lee (1965:40)


(16)

di dunia, mempunyai masa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar telah dibikin lenyap. Ini berarti bahwa permulaan dari sejarahnya, film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19”. Film kata Oey Hong Lee mencapai puncaknya antara Perang Dunia I hingga Perang Dunia II, namun merosot tajam setelah munculnya medium televisi.1

Contoh jenis film yang biasanya dibuat untuk menyampaikan sebuah informasi antara lain film dokumenter dan juga film fiksi yang diangkat dari kisah nyata (based on true story). Mengapa film dimanfaatkan untuk menyampaikan sebuah informasi? Hal tersebut dilakukan karena film adalah salah satu medium yang sangat dekat dengan masyarakat. Perlu diketahui pula bahwa media massa lain, baik cetak maupun elektronik belum bisa sesempurna film dalam hal memengaruhi emosi penonton ataupun audience ketika proses transfer informasi tersebut berlangsung.

Salah satu film yang dibuat untuk memberikan informasi kepada khalayak atas sebuah peristiwa nyata adalah film yang berjudul Balibo Five. Film Balibo Five merupakan sebuah film fiksi yang diangkat dari sebuah kisah nyata (based on true story) dan disutradarai oleh seorang sineas berkebangsaan Australia bernama Robert Connolly. Film ini berkisah tentang proses peliputan jurnalistik di wilayah Timor-Timur pada tahun 1975, di mana pada saat itu sedang berkecamuk

1

Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. (Bandung: PT. Penerbit Remaja Rosdakarya) 2006 h.12


(17)

konflik bersenjata antara militer Indonesia dengan milisi dari partai Frente Revolucionario da Timor Leste Independente (Fretilin) yaitu partai yang dianggap memiliki ideologi komunis dan menginginkan Timor-Timur merdeka. Proses peliputan tersebut dilakukan oleh lima jurnalis muda jaringan televisi Australia, lima orang jurnalis tersebut adalah dua warga negara New Zealand yaitu reporter Gregory John Shackleton (27 tahun), Anthony John Stewart (21 tahun) dan kameramen asal Australia Gary James Cunningham (27 tahun) yang bekerja untuk jaringan televisi HSV-7 (Seven Network) yang berkantor di Melbourne. Serta dua orang warga negara Inggris yaitu kameramen Brian Raymond Peters (29 tahun) dan reporter Malcolm Harvie Rennie (28 tahun) yang bekerja untuk jaringan televisi TCN-9 (Nine Network) yang berkantor di Sidney.

Dalam proses peliputan tersebut para jurnalis berusaha melakukan peliputan dengan semaksimal mungkin agar masyarakat luas bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Timor-Timur pada saat itu. Namun akhirnya mereka terbunuh karena pada saat melakukan proses peliputan karena mereka dicurigai memihak pada satu kelompok tertentu. Timbul pertanyaan seiring tewasnya kelima jurnalis tersebut, apakah mereka telah mencoba untuk menerapkan konsep peliputan dan pemberitaan menggunakan prinsip jurnalisme damai?

Meliput di wilayah konflik bersenjata dengan menggunakan prinsip jurnalisme damai bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para jurnalis agar berita yang dihasilkan sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme damai. Tantangan tersebut antara lain, para jurnalis dituntut untu bersikap netral agar pemberitaan yang dihasilkan sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.


(18)

Jurnalisme damai merupakan salah satu bentuk pemberitaan jurnalisme mengenai konflik bersenjata atau perang di mana pemberitaannya dikemas sedemikian rupa agar efek buruk dari konflik bersenjata atau perang tersebut tidak menjalar ke wilayah lain. Gaya jurnalisme damai ini mulai diperkenalkan pada tahun 1970 oleh Johan Galtung yang merupakan seorang Profesor Studi Perdamaian asal Norwegia.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini diberi judul “Analisis Semiotik Terhadap Film BALIBO FIVE

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar penelitian menjadi terarah dan tidak keluar dari pokok permasalahan, maka penelitian ini hanya dibatasi kepada tujuh scene (adegan) yang terdapat dalam film Balibo Five. Dan ketujuh scene tersebut adalah scene yang menggambarkan proses peliputan dan pemberitaan jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis dari Chanel 7 dan Chanel 9 pada saat meliput konflik bersenjata yang terjadi di Balibo.

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Seperti apakah makna denotasi yang terdapat dalam ketujuh scene yang menggambarkan proses peliputan dan pemberitaan jurnalistik di wilayah konflik bersenjata yang dilakukan oleh jurnalis dari Chanel 7 dan Chanel 9 dalam film Balibo Five?

2. Seperti apakah makna konotasi yang terdapat dalam ketujuh scene yang menggambarkan proses peliputan dan pemberitaan jurnalistik di wilayah konflik


(19)

bersenjata yang dilakukan oleh jurnalis dari Chanel 7 dan Chanel 9 dalam film Balibo Five?

3. Seperti apakah makna mitos yang terdapat dalam ketujuh scene yang menggambarkan proses peliputan dan pemberitaan jurnalistik di wilayah konflik bersenjata yang dilakukan oleh jurnalis dari Chanel 7 dan Chanel 9 dalam film Balibo Five?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada perumusan masalah penelitian di atas, penelitian ini bertujuan khusus untuk mengetahui seperti apakah makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat ketujuh scene yang menggambarkan proses peliputan jurnalistik wilayah konflik bersenjata dalam film Balibo Five.

2. Manfaat Penelitian 2.1Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih informasi dan juga beragam data mengenai penelitian semiotik terhadap film yang menggunakan model semiotik Roland Barthes, yang diperuntukan bagi para mahasiswa komunikasi maupun jurnalistik di Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.2Manfaat Praktis

Penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi rujukan informasi dan serta memberikan variasi gambaran yang berbeda bagi para praktisi komunikasi, terlebih bagi para mahasiswa komunikasi dan jurnalistik yang tertarik dengan


(20)

penelitian komunikasi model semiotik Roland Barthes. Serta dapat memberikan gambaran mengenai proses pemberitaan dengan pendekatan jurnalisme damai.

Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya literatur penelitian komunikasi khususnya yang menggunakan metodologi semiotik yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D.Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan penelitian yang datanya tidak menggunakan data statistik, namun lebih dalam bentuk narasi atau gambar-gambar.2 Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif hanyalah memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.3

Metode kualitatif lebih berdasarkan pada filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan (verstehen). Metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu, menurut perspektif peneliti sendiri.4

2

Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: CV Teruna Grafica, 2005), cet. Ke-3, hal. 16

3

Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), hal. 24

4

Dr. Husaini Usman, M.pd. Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta. PT. Bumi Aksara) 1996. Hal.81


(21)

2. Objek Penelitian dan Unit Analisis

Objek penelitian ini adalah film yang berjudul Balibo Five yang disutradarai oleh Robert Connolly. Adapun unit analisis penelitiannya adalah potongan gambar visual (scene) yang diambil dari film Balibo Five, yang terkait dengan perumusan masalah yang telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti. 3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama yaitu data primer yang diperoleh dari rekaman video original berupa satu keping cakram DVD original film Balibo Five. Yang kemudian dipilih beberapa scene yang diperlukan oleh peneliti dalam penelitian ini. Bagian yang kedua adalah data sekunder yang merupakan data yang diperoleh dari literatur-literatur pendukung data primer seperti artikel di internet, majalah, surat kabar, buku-buku yang relevan dan berkaitan dengan penelitian ini dan juga kamus istilah komunikasi dan juga film.

4. Teknik Penelitian

Teknik penelitian dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama adalah observasi, dalam hal ini adalah melakukan pengamatan secara langsung dan juga bebas terhadap unit analisis dengan cara menonton serta mengamati dengan seksama isi film Balibo Five secara keseluruhan. Lalu mencermati scene mana saja yang memenuhi kriteria untuk dijadikan unit analisis, dan kemudian menganalisanya menggunakan model penelitian yang sebelumnya telah ditentukan oleh peneliti dalam penelitian ini.


(22)

5. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari mulai Bulan Juli 2010 sampai dengan Bulan Mei 2011. Dalam rentang waktu ini, penulis berusaha keras mendapatkan hasil penelitian yang baik serta sesuai dengan prosedur penelitian yang telah ada. 6. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, setelah data primer dan sekunder terkumpul akan dilakukan pengklasifikasian sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah ditentukan. Setelah itu dilakukan analisis semiotik model Roland Barthes. Semiotik model Roland Barthes ini bertujuan untuk mencari makna eksplisit yang terkandung dalam setiap scene yang dibuat oleh sutradara Robert Connoly yang membuat film Balibo Five ini

E.Tinjauan Kepustakaan

Dalam proses penelitian ini, penulis mengambil beberapa hasil penelitian semiotik terhadap film yang terdahulu guna dijadikan bahan perbandingan. Yaitu penelitian yang menganalisa film sebagai media informasi dan juga komunikasi massa, yaitu :

1. “Analisis Semiotika Film Turtles Can Fly” oleh Istianah, Tahun 2009, Konsentrasi Jurnalistik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. “Analisis Semiotika Terhadap Film Suami-Suami Takut Isteri” oleh Sagita Nurmalasari, Jurusan Jurnalistik, Uiversitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Tahun 2009.


(23)

Dua skripsi di atas adalah penelitian terhadap film dengan menggunakan metode semiotika yang digunakan sebagai alat komunikasi sebagai media penyampai informasi kepada massa. Di mana penelitian bertujuan untuk mengetahui makna yang sesungguhnya yang ingin disampaikan kepada khalayak. Hal tersebut bisa dikatakan sesuai untuk dijadikan untuk perbandingan dalam penelitian ini karena memiliki konsep pemikiran yang sama, yaitu film sebagai media komunikasi massa.

Film yang selama ini dianggap hanya sebatas media hiburan ternyata mampu menarik minat para praktisi komunikasi dan juga mahasiswa komunikasi untuk melakukan penelitian tentang fungsi awal film yang merupakan media informasi dan juga media komunikasi massa. Oleh sebab itu diharapkan penelitian ini mampu memperkaya literatur penelitian komunikasi tentang perfilman di mana film juga merupakan salah satu media komunikasai massa.

F. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini menjadi mudah dalam proses penulisannya, maka penelitian ini ditulis dengan mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UIN (Skripsi, Tesis dan Disertasi 2007) karya Hamid Nasuhi, dkk. Dengan rincian sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Pada Bab I, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka serta Sistematika Penulisan


(24)

BAB II: LANDASAN TEORI

Pada Bab II, memaparkan tinjauan umum film sebagai media komunikasi massa : konsep film sebagai media komunikasi massa, sejarah dan perkembangan film, jenis-jenis film, unsur-unsur pembentuk film, konsep umum semiotika, konsep semiotika model Roland Barthes, konsep peliputan jurnalistik dalam keadaan konflik atau perang, konsep jurnalisme damai serta definisi istilah penelitian yang menjelaskan keterkaitan antara teori yang terdapat pada BAB II dengan analisis data yang terdapat pada BAB IV.

BAB III: GAMBARAN UMUM FILM BALIBO FIVE

Pada Bab III, menggambarkan secara umum film Balibo Five. Biografi Robert Connolly selaku sutradara dan juga Filmografi atau karya-karya film yang telah dibuat oleh Robert Connolly. Lalu sinopsis cerita serta profile tokoh / pemain dalam film Balibo Five.

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Bab IV, akan dikhususkan pada hasil penelitian Analisis Semiotika Model Roland Barthes terhadap film Balibo Five.

BAB V: PENUTUP DAN KESIMPULAN

Pada Bab V, yang merupakan bab terakhir dalam dalam rangkaian penulisan penelitian ini akan disampaikan uraian dalam bentuk kesimpulan dan juga saran penulis atas permasalahan yang telah diteliti.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A.Konsep Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia selalu hidup secara berkelompok atau bermasyarakat. Dalam kehidupan yang berkelompok tersebut pastilah terjadi proses interaksi, di mana proses komunikasi menjadi salah satu bagian penting yang memengaruhi baik atau tidaknya proses interaksi yang terjadi antar manusia tersebut.

Dalam proses komunikasi yang terjadi dalam kelompok tersebut, biasanya terdapat medium yang digunakan sebagai media komunikasi massa, medium ini biasanya digunakan oleh orang atau kelompok yang berkuasa untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Seperti yang terjadi di zaman Romawi kuno di mana kekaisaran Romawi menggunakan lembaran kertas berisi tulisan yang ditempel di pohon tempat masyarakat biasa berkumpul untuk menyampaikan sebuah pengumuman atau informasi tertentu.

Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia (human communication) yang lahir bersamaan dengan mulai digunakannya alat-alat mekanik, yang mampu melipatgandakan pesan-pesan komunikasi. Dalam sejarah publisistik dimulai satu setengah abad setelah ditemukan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Sejak saat itu dimulai suatu zaman yang dikenal dengan


(26)

zaman publisistik atau awal dari era komunikasi massa. Sebaliknya zaman sebelumnya dikenal sebagai zaman prapublisistik.10

Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Sebab, awal perkembangannya saja, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa). Media massa apa? Media massa (atau saluran) yang dihasilkan oleh teknologi modern. Hal ini perlu ditekankan karena ada media yang bukan media massa yakni media tradisional seperti kentongan, angklung, gamelan dan lain-lain. Jadi, di sini jelas media massa menunjuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa.11

Film pada dasaranya merupakan salah satu hasil produk teknologi modern yang bisa dijadikan sebagai salah satu saluran dalam proses komunikasi massa. Dalam film, biasanya terdapat pesan-pesan atau informasi yang ingin disampaikan kepada para penontonnya.

Dalam perkembangannya, film merupakan sebuah medium yang mempunyai fungsi utama sebagai alat komunikasi massa. Pada rentan waktu antara Perang Dunia I sampai Perang Dunia II film merupakan media komunikasi yang dimanfaatkan oleh militer sebuah negara untuk menyampaikan informasi mengenai aktifitas mereka selama berperang atau melakukan invasi di negara lain. Dalam hal ini film yang dibuat biasanya dalam bentuk dokumenter yang dibuat apa adanya sesuai dengan realitas yang ada, atau dengan kata lain tidak menitikberatkan pada aspek teknis pembuatan film itu sendiri.

10

Wiryanto. Teori Komunikasi Massa (Jakarta: PT. Grasindo) 2000 h.1

11

Nurudin M,Si. Pengantar Komunikasi Massa (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) 2007 h.3


(27)

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, film yang bermuatan informasi kini dibuat sesuai dengan kebutuhan pasar. Dalam artian, film yang bermuatan informasi dapat dibuat dalam bentuk film dokumenter (documentary), film cerita pendek (short film) ataupun film cerita panjang (future length-film) yang berdasakan kisah nyata (based on true story). Pada tahapan ini, aspek teknis pembuatan film sangat diperhatikan agar penonton merasa nyaman ketika menonton, dan yang paling penting adalah informasi yang ingin disampaikan dapat dengan mudah dipahami oleh para penonton.

B.Sejarah dan Perkembangan Film

Awal mula kemunculan film tidak bisa terlepas dari awal mula kemunculan fotografi. Teknik-teknik perekaman untuk memproduksi sebuah film dikembangkan dari teknik-teknik dasar merekam gambar yang terdapat dalam fotografi. Awal pembuatan sebuah film pun menggunakan komponon-komponen fotografi statis seperti kamera obscura sebagai alat rekamnya dan rol film sebagai media penyimpanan gambarnya.

Percobaan pembuatan film bergerak yang pertama dilakukan oleh Eadweard Muybridge pada tahun 1877 di Palo Alto yang merupakan sebuah peternakan di California, Amerika Serikat. Dalam percobaannya tersebut ia merekam gerakan cepat seekor kuda yang berlari dengan menggunakan 24 kamera stereoskopik.

Pembuatan film eksperimental kedua yang berjudul Roundhay Garden Scene dilakukan oleh Louis Le Prince pada tanggal 14 Oktober 1888 di


(28)

Roundhay, Leeds, West Yorkshire, Inggris. Film ini merupakan rekaman gambar bergerak pertama yang masih bertahan hingga saat ini.

Pada tanggal 21 Juni 1889, William Friese Greene mematenkan chronophothograpic kameranya yang mampu merekam sepuluh foto perdetik menggunakan film seluloid berlubang. Dari hasil temuannya itu lalu Greene mencoba mengirimkan kliping cerita ke laboratorium Thomas Edison yang mengembangkan eksperimen tersebut menjadi sistem gerak gambar yang disebut kinetoscope. Dari proses rekam gerak gambar kinetoscope ini berkembang alat rekam yang diberi nama kinetograph yang dipatenkan pada tahun 1891 oleh WKL Dickson. Penemuan alat rekam ini diikuti dengan penemuan transparan strip seluloid 35mm lebar yang akhirnya digunakan untuk media rekam film-film yang saat itu dibuat.

Tidak lama berselang setelah penemuan tersebut, Louis dan Auguste menyempurnakan alat rekam tersebut menjadi alat tayang yang disebut cinematographe. Dan bertempat di Paris pada bulan Desember 1895, terjadilah pertunjukkan pertama gambar yang diproyeksikan untuk masyarakat luas. Dari peristiwa tersebutlah awal mula menonton film dengan menggunakan proyektor atau yang lebih kita kenal dengan istilah bioskop ini berkembang. Dan sampai saat ini bioskop masih menjadi tempat yang paling nyaman untuk menyaksikan film. Karena suasana ruang dan juga cahaya diatur dengan sedemikian rupa sehingga membuat penonton menjadi nyaman.


(29)

Pengalaman menonton film di ruang gelap telah dinikmati orang sejak masa awal munculnya medium ini. Ini adalah pengalaman hebat, yang membuat film memiliki kekuatan spesial dalam membentuk nilai-nilai kultural.12

Bioskop menjadi sebuah ruang publik yang dapat memberikan kekuatan tersendiri ketika kita sedang menyaksikan sebuah film. Suasana yang terdapat dalam ruangan bioskop membantu kita untuk lebih mudah memahami isi atau makna yang terdapat dalam sebuah film serta menuntun emosi kita agar bisa ikut merasa berada dalam realitas yang sedang diproyeksikan dalam sebuah film yang sedang kita tonton.

Perkembangan terakhir yang saat ini mulai banyak digemari oleh para sineas ataupun filmmaker adalah metode pembuatan dan penayangan film melalui format video digital. Walaupun format film tidak dapat ditinggalkan karena memiliki kualitas gambar yang lebih tajam ketimbang format video digital, namun format video digital mempunyai kelebihan dari segi efisiensi dan biaya produksi. Untuk proyeksi layar lebar bioskop sampai saat ini masih menjadi pilihan utama, adapaun format video digital biasanya digunakan untuk film yang diproyeksikan melalui layar televisi.

C.Jenis-Jenis Film

Secara umum, film dapat dibagi menjadi tiga jenis. Ketiga jenis film itu adalah film dokumenter (documentary films), film cerita pendek (short films) dan film cerita panjang (feature-length films). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ketiga jenis film tersebut.

12

John Vivian. Teori Komunikasi Massa (Jakarta:Kencana Prenada Media Group) 2008 h.159


(30)

1. Film Dokumenter (Documentary Films)

Pada sekitar tahun 1980-an, Lumire bersaudara membuat karya film pertama yang berkisah tentang perjalanan (travelogues), dan atas karya mereka itulah orang-orang mulai menggunakan istilah dokumenter untuk film yang dibuat dalam rangka merepresentasikan realitas. Tiga puluh enam tahun kemudian, pembuat film yang juga merupakan seorang kritikus film asal Inggris John Grierson kembali menggunakan istilah dokumenter untuk film karya Robert Flaherty yang berjudul Moana yang diproduksi pada tahun 1962.

Film dokumenter pada dasarnya berusaha dibuat untuk menyajikan realitas melalui berbagai macam cara untuk berbagai macam tujuan. Secara umum film dokumenter dibuat untuk tujuan penyebaran informasi, pendidikan dan juga propaganda bagi sesorang atau kelompok tertentu.

Intinya, film dokumenter tetap berpijak pada hal-hal senyata mungkin. Seiring dengan perjalanan waktu, muncul berbagai aliran dari film dokumenter seperti dokudrama (docudrama). Dalam dokudrama, terjadi reduksi realita demi tujuan-tujuan estetis, agar gambar dan cerita menjadi lebih menarik. Sekalipun demikian, jarak antara kenyataan dengan hasil yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda jauh. Dalam dokudrama, realita tetap jadi pakem pegangan.13

Kini dokumenter menjadi sebuah tren tersendiri dalam perfilman dunia. Para pembuat film bisa bereksperimen dan belajar tentang banyak hal ketika terlibat dalam produksi film dokumenter. Tak hanya itu, film dokumenter juga dapat membawa keuntungan dalam jumlah yang cukup memuaskan. Ini bisa

13

Heru effendy. Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser (Jakarta: Erlangga) 2009 h.3


(31)

dilihat dari banyaknya film dokumenter yang bisa kita saksikan melalui saluran televisi seperti program National Geographic dan Animal Planet. Bahkan saluran televisi Discovery Chanel pun mantap menasbih diri sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program dokumenter tentang keragaman flora dan fauna. Selain untuk konsumsi televisi, film dokumenter juga lazim untuk diikutsertakan dalam berbagai festival film di dalam dan luar negeri. Sampai napas penghabisannya di tahun 1992, Festival Film Indonesia (FFI) memiliki kategori untuk penjurian jenis film dokumenter.14

2. Film Cerita Pendek (Short Films)

Durasi film cerita pendek biasanya di bawah 60 menit. Di banyak negara seperti Jerman, Australia, Kanada dan Amerika Serikat, film cerita pendek dijadikan laboratorium eksperiman dan batu loncatan bagi seseorang/sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis film ini banyak dihasilkan oleh mahasiswa dan mahasiswi jurusan film atau orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik. Sekalipun demikian, ada juga orang yang mengkhususkan diri untuk memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini dipasok ke rumah-rumah produksi atau saluran televisi.15

3. Film Cerita Panjang (Feature-Length Films)

Film dengan durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90-100 menit. Film yang biasa diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini. Beberapa film, misalnya Dances With Wolves, bahkan berdurasi lebih dari 120

14

Heru Effendy. Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser (Jakarta: Erlangga) 2009 h.4

15

Heru Effendi. Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser (Jakarta: Erlangga) 2009. h.4


(32)

menit. Film-film produksi India yang cukup banyak beredar di Indonesia, rata-rata berdurasi lebih dari 180 menit.16

Adapun pengklasifikasian film secara umum dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Dalam buku Pilot Studi Statistik Bioskop Indonesia tahun 1991 terdapat klasifikasi tema film seperti yang akan dijelaskan di bawah ini :

1. Drama : Film yang sebagian besar isinya menceritakan hal-hal yanng menggambarkan watak dan kehidupan seseorang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun masyarakat. Misalnya, drama percintaan, drama keluarga dan lain-lain.

2. Detektif : Film yang sebagian besar isinya menceritakan tentang agen rahasia/polisi, agen rahasia/reserse yang berusaha mengungkap suatu hal yang bersifat misteri/rahasia, baik masalah kriminal, politik dan lain-lain. Misalnya film James Bond 007, film tentang kegiatan CIA, KGB dan lain-lain.

3. Action : Film yang sebagian besar isinya menceritakan tentang duel/pertarungan antara dua orang atau lebih yang menonjolkan ketangkasan menyerang dan membela diri dengan menggunakan senjata api seperti pistol, senapan dan lain-lain.

4. Silat : Film yang sebagian besar isinya menceritakan tentang duel/pertarungan antara dua orang atau lebih yang menonjolkan ketangkasan menyerang dan membela diri baik dengan senjata (selain senjata api, meriam dan senjata modern lainnya) maupun

16

Heru effendi. Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser (Jakarta: Erlangga) 2009. h.4


(33)

tidak. Misalnya film mengenai perguruan Shaolin/Kung Fu, Boxing dan lain-lain.

5. Komedi : Film yang sebagian besar isinya menggambarkan hal-hal yang bersifat lucu sehingga membuat penonton tersenyum/tertawa, baik mempunyai pesan maupun tanpa pesan tertentu. Misalnya film mengenai Charlie Chaplin, Warkop Prambors dan lain-lain.

6. Horor : Film yang sebagian besar isinya penuh dengan adegan yang mengerikan dan menakutkan. Misalnya film mengenai setan, hantu, dracula, mayat hidup dan lain-lain.

7. Perang : Film yang sebagian besar isinya menceritakan tentang permusuhan dan pertempuran antara dua negara/kelompok/pasukan atau lebih. Misalnya film Perang Dunia II, Perang Vietnam dan lain-lain. 8. Petualangan (Adventure) : Film yang sebagian besar isinya menceritakan

tentang perjalanan/pengembaraan seseorang yang penuh dengan tantangan dan hambatan yang harus ditanggulangi dalam upaya mendapatkan kebanggaan/prestise dan pengalaman baru. Misalnya petualangan Tarzan, Hercules dan lain-lain.

9. Fantasi (Khayalan) : Film yang sebagian besar isinya menceritakan hal-hal yang bersifat khayalan dan angan-angan yang bukan merupakan kejadian sebenarnya. Misalnya film tentang kehidupan ruang angkasa dan manusia super seperti Superman, Batman, Spiderman dan lain-lain.


(34)

D.Unsur Pembentuk Film

Secara garis besar film terbentuk dari dua unsur utama, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur utama ini saling berkaitan dan bersinergi sehingga membentuk sebuah gambaran audiovisual yang memiliki makna tertentu.

Unsur naratif adalah unsur yang terdiri dari materi atau bahan olahan. Dalam film, unsur naratif adalah penceriteraannya. Terdapat beberapa aspek yang terdapat dalam unsur naratif ini seperti tokoh dengan status sosial tertentu, karakter yang dimiliki oleh tokoh tersebut, konflik yang tercipta antar tokoh dalam film, waktu serta lokasi (setting tempat). Aspek-aspek tersebut saling berkorelasi serta berkesinambungan sehingga menciptakan peristiwa yang membentuk alur cerita dan dilatarbelakangi hukum kausalitas (logika sebab-akibat). Perpaduan antara ruang, waktu dan aspek kausalitas inilah yang akhirnya menjadi elemen pembentuk naratif sebuah film.

Adapun unsur sinematik dalam sebuah film adalah aspek teknis yaang mendukung sebuah produksi film. Dalam unsur sinematik, terdapat empat elemen pokok, yaitu :

1) Mise-en-scene, yaitu segala sesuatu yang terdapat di depan kamera seperti komposisi gambar, setting tempat, alat peraga (properti), aktor (gerakan aktor di dalam set), kostum (wardrobe) dan pencahayaan (lighting).

2) Sinematografi, yaitu segala bentuk aktifitas kamera dan filmya serta kaitan aktifitas kamera tersebut dengan objek yang akan diambil. Sinematografi merupakan sebuah bentuk seni yang sangat unik untuk gambar bergerak.


(35)

Dalam sinematografi ini juga terdapat beberapa teknis sudut pengambilan gambar dan juga ukuran gambar dalam sebuah frame, berikut ini adalah penjelasannya:

1. Sudut Pengambilan Gambar (Camera Angle) a. Bird Eye View

Adalah sudut pengambilan gambar yang dilakukan dari atas ketinggian tertentu, sehingga menghasilkam penglihatan lingkungan yang sedemikian luas dengan benda yang berada di bawah terlihat kecil. Pengambilan gambar ini biasanya dilakukandari atas pesawat, helikopter, pegunungan ataupun gedung-gedung yang tinggi.

b. High Angle

Adalah sudut pengambilan gambar dengan posisi kamera tepat berada di atas objek, teknik pengambilan gambar seperti ini memberikan efek dramatik yang kecil atau terpuruk.

c. Low Angle

Adalah sudut pengambilan gambar dengan posisi kamera berada dari bawah objek, sudut pengambilan gambar ini adalah kebalikan dari high angle. Kesan yang tercipta dari teknik pengambilan gambar ini adalah besar, keagungan dan kejayaan.

d. Eye Level

Adalah sudut pengambilan gambar dengan posisi kamera tepat berada sejajar dengan mata objek, teknik pengambilan gambar eye level ini tidak


(36)

menghasilkan efek dramatik tertentu, yang ada hanya menghasilkan gambaran pandangan mata seseorang.

e. Frog Level

Adalah sudut pengambilan gambar dengan posisi kamera berada sejajar dengan permukaan tempat si objek berdiri. Efek yang ditimbulkan oleh teknik pengambilan gambar frog level ini adalah si objek menjadi seolah sangat besar.

Adapun penjelasan tentang ukuran gambar yang biasa terdapat dalam sebuah proses pembuatan film adalah sebagai berikut17 :

a. Extreme Cloce-Up (ECU)

Gambar diambil secara detail, misalnya pangkal tangan, jari, mata dan telinga. Fokus utama pada bagian detail tersebut karena ada sesuatu yang ingin ditonjolkan, misalnya kebiasaan orang Dayak menghunakan anting berat sehingga telinganya menjadi panjang dan kebiasaan orang Jayawijawa, Papua, memotong jari tangan bila ada keluarga yang meninggal sebagai tanda duka. Kalau gambar seperti ini diambil dari jarak jauh kurang dramatis.

b. Very Close-Up (VCU)

Gambar diambil mulai dari dagu sampai dahi. Fokus utama pada wajah oran tersebut sehingga terlihat detailnya. Gambar ini diambil katena ingin menunjukkan guratan wajah orang, misalnya karena sedih atau gembira. Latar belakang tidak penting dalam pengambilan gambar ini.

17

Arifin S. Harahap. Jurnalistik Televisi: Teknik Memburu dan Menulis Berita (Jakarta: PT. Indeks, 2006) h.37.


(37)

c. Big Close-Up (BCU)

Gambar kepala diambil secara penuh. Ini hampir sama dengan VCU. Fokus utama untuk menunjukkan detail wajah orang dan latar belakangnya tidak menjadi titik perhatian.

d. Close-UP (CU)

Gambar diambil mulai dari bahu sampai atas kepala. Objek menjadi titik perhatian utama dalam pengambilan gambar dan latar belakangnya hanya terlihat sedikit.

e. Medium Close-Up (MCU)

Gambar diambil dari mulai dada sampai atas kepala. f. Medium Shoot (MS)

Objek memenuhi layar kamera dari pinggul sampai atas kepala. Latar belakang relatif sebanding dengan objek utama.

g. Knee Shot (KNEE)

Objek diambil mulai dari lutut sampai atas kepala. h. Medium Long Shot (MLS)

Objek memenuhi layar kamera mulai dari bawah kaki sampai atas kepala. i. Long Shot (LS)

Objek memenuhi sekitar ¾ layar kamera. j. Extra Long Shot


(38)

3) Editing, yaitu proses mempersiapkan dan memilih bahasa, gambar, suara, video atau film melalui proses seleksi, koreksi, organisasi dan juga modifikasi sehingga terbentuk suatu rangkaian audivisual yang koheren dan memiliki makna.

4) Suara, adalah segala sesuatu yang terdapat dalam film yang mampu tertangkap oleh indera pendengaran manusia. Dalam perkembangannya efek suara memiliki peran penting dalam mengarahkan emosi penonton ketika menonton sebuah film.

E.Konsep Umum Semiotika

Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Menurut Preminger (2001), ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.18

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan

18

Rachmat Kriyantono M.S,i. Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana) 2008 h.263


(39)

(to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179;Kurniawan, 2001:53).19

Semiotik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Dalam hal ini tanda memiliki definisi sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dianggap mampu mewakili sesuatu yang lain. Nampaknya istilah semeion telah diturunkan dari kedokteran hiprokatik atau akslepiadik dengan perhatian utama mengarah pada simtomatologi dan juga diagnosik inferensial. Pada masa itu tanda masih merupakan suatu hal yang bermakna sesuatu yang menunjuk pada adanya hal lain, seperti misalnya asap yang menandai adanya api.

Sedangkan secara terminologis, semiotik memiliki definisi sebagai ilmu yang di dalamnya mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa dan seluruh kebudayaan sebagai tanda. Sedangkan Van Zoest mendefinisikan

semiotik sebagai “ilmu yang mempelajari tanda (sign) dan juga segala sesuatu yang berhubungan dengannya, antara lain cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang

mempergunakannya”.

Batasan yang lebih jelas dikemukakan Preminger (2001:89). Dikatakan,

“Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik

19

Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. (Bandung: PT. Penerbit Remaja Rosdakarya) 2006 h.15


(40)

itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.”20

Sampai saat ini sekurangnya terdapat sembilan macam jenis semiotik yang mendapatkan perhatian luas dan banyak dikembangkan oleh banyak praktisi dan juga ahli komunikasi. Kesembilan jenis semiotika tersebut adalah :

1. Semiotik Analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Pierce menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.

2. Semiotik Deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang dihasilkan sekarang. Misalnya langit yang mendung menandakan hujan tidak lama lagi akan segera turun, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu. Demikian juga jika ombak memutih di tengah laut, itu menandakan bahwa laut berombak besar. Namun dengan majunya ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

3. Semiotik Faunal (zoosemiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering manghasilkan tanda yang dapat ditafsir oleh manusia. Misalnya, seekor ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada sesuatu yang ia takuti.

20


(41)

Induk ayam yang membunyikan krek . . . krek . . . krek . . . memberikan tanda kepada anak-anaknya untuk segera mendekat, sebab ada makanan yang ditemukan. Juga, seorang yang akan berangkat terpaksa mengurungkan waktu keberangkatannya beberapa saat, sebab mendengar bunyi cecak yang ada di hadapannya. Tanda-tanda yang dihasilkan hewan seperti ini menjadi perhatian orang yang bergerak dalam bidang semiotik faunal.

4. Semiotik Kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.

5. Semiotik Naratif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada di antaranya memiliki nilai kultural tinggi. Itu sebabnya Greimas (1987) memulai pembahasannya dengan nilai-nilai kultural ketika ia membahas persoalan semiotik naratif.

6. Semiotik Natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan, dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur. Alam yang tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.

7. Semiotik Normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu


(42)

lintas. Di ruang kereta api sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.

8. Semiotik Sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang yang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Buku Halliday (1978) itu sendiri berjudul Language Sosial Semiotic. Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.

9. Semiotik Struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

F. Konsep Semiotika Model Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Bartens (2001:208) menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an d1960-an 1970-1960-an. Ia berpendapat bahasa adalah sebuah sistem t1960-anda y1960-ang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Ia mengajukan pandangan ini dalam Writing Degree Zero (1953;terj. Inggris 1977) dan Critical Essays (1964; terj. Inggris 1972)21

Semiologi Roland Barthes mendasari kajian-kajian Barthes selanjutnya terhadap objek-objek kenyataan atau unsur-unsur kebudayaan yang sering ditelitinya. Cakupan kajian kebudayaan barthes sangat luas. Kajian itu meliputi

21


(43)

kesusastraan, perfilman busana dan berbagai fenomena kebudayaan lainnya. Sebuah garmen, sebuah mobil, sepinggan masakan, sebuah bahasa isyarat, sebuah film, sekeping musik, sebuah gambar iklan, sepotong perabot, sebuah kepala judul surat kabar, ini semua memang nampaknya objek-objek heterogen. Apa yang mereka miliki secara umum? Roland barthes (1988: 157) akan menyatakan bahwa sekurang-kurangnya mereka semua adalah tanda-tanda.22

Roland Barthes menyatakan bahwa dalam memaknai sesuatu simbol teradapat dua sistem pemaknaan tanda, yaitu konotasi dan denotasi. Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta dipahami oleh hampir ssebagian besar anggota suatu kebudayaan tertentu tanpa harus melakukan penafsiran yang mendalam terhadap tanda denotasi tersebut, atau dengan kata lain disebut juga sebagai analogon.

Sedangkan pada tingkat makna lapisan yang kedua, yaitu konotasi. Makna bisa tercipta melalui penggabungan penanda-petanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas seperti keyakina-keyakinan, sikap, kerangka kerja serta ideologi-ideologi suatu formasi sosial tertentu. Konotasi juga merupakan sebuah sistem ganda dimana sistem semiotikan pada tingkatan yang kedua mengambil sistem semiotika pada tingkat yang pertama sebagai signifier atau konsep.

Konotasi merupakan makna yang diinterpretasikan melalui penggabungan penanda-petanda dengan berbagai macam aspek kebudayaan yang cakupannya luas dan juga berkaitan erat dengan keyakinan-keyakinan dari seseorang yang menginterpretasikan sebuah simbol tertentu. Jadi konotasi bisa sangat multi tafsir tergantung pada setiap orang yang menginterpretasikannya.

22


(44)

Berikut ini merupakan skema mengenai proses denotasi dan konotasi yang dikembangkan oleh Barthes :

Language / Bahasa (Lapis I : Denotasi)

1. Signifier 2. Signified 3. Sign (Meaning)

Myth / Mitos

(Lapis II : Konotasi)

(II. Signifier) FORM

(II. Signified) CONCEPT

(III. Sign) SIGNIFICATION

Dalam tataran bahasa (language), yaitu sistem semiologis lapis pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Adapun selanjutnya pada tataran mitos, yakni sistem semiologis lapis kedua, tanda-tanda pada tataran pertama tadi menjadi penanda-penanda yang berhubungan lagi dengan petanda-petanda.

Adapun mengenai mitos, Claude Levi-strauss yang merupakan seorang antropolog strukturalis menyebutkan bahwa satuan paling dasar dari sebuah mitos adalah mytheme (seperti halnya signeme). Mytheme tidak dapat dilihat secara terpisah dari bagian lainnya pada satu mitos, hubungan antara satu mytheme dengan mytheme lainnya membentuk satu rangkaian narasi yang kemudian menjadi kepercayaan budaya tertentu.

Pendekatan semiotik Roland Barthes secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan (speech) yang disebutnya sebagai mitos. Menurut Barthes (1983: 109), bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu yang secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikasi yang disebut


(45)

sebagai sistem semiologis tingkat kedua (the second order semiological system). Maksudnya pada tataran bahasa atau sistem semiologis tingkat pertama (the first semiological system), penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Selanjutnya, tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi lapis kedua inilah mitos bercokol (Barthes, 1983: 114-115). Aspek material mitos, yakni penanda-penanda pada the second order semiological system itu, dapat disebut sebagai retorik atau konotator-konotator, yang tersusun dari tanda-tanda pada sistem pertama; sementara petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan sebagai fragmen ideologi (Barthes, 1981: 91).23

Kajian semiotik ini pada perkembangannya tidak hanya berkutat di ranah bahasa atau sastra yang identik dengan simbol-simbol, namun meluas ke ranah lain seperti musik dan juga film yang di dalamnya juga terdapat simbol-simbol yang dapat dikaji dengan pendekatan semiotik.

In recent years a considerable degree of interest has developed in the semiology of the cinema, in the question wether it is possible to dissolve cinema criticism and cinema aesthetics into a special province of the general science of signs. It has become increasingly clear that traditional theories of film language and grammar, wich grew up spontaneously over the years, need to be reexamined and related to the established discipline of linguistics. If the concep is „language’ is to be used scientifically and not simply as a loose, though suggestive, methapor. The debated which has arisen in France and Italy, round the work of Roland Barthes, Christian Metz, Pier Paolo Pasolini and Umberto Eco, points of this direction.24 (Dalam beberapa tahun terakhir banyak para akademisi tingkat atas yang tertarik untuk meneliti kajian semiotika dalam film, yang kajian pertanyaannya

23

Kris Budiman. Semiotika Visual (Jogjakarta: Penerbit Buku Baik dan Yayasan Seni Cementi) 2004 h. 63

24

Peter Wollen. Signs and Meaning in the Cinema (London: Indiana University Press and British Film Institute) 1976 h.116.


(46)

entah memungkinkan untuk meleburkan antara kritik terhadap film dan juga seni keindahan dalam film untuk menjadi bagian dari tema umum dalam kajian ilmu tentang tanda-tanda. Hal ini jelas menjadi sebuah perkembangan yang pesat dibandinkan teori tardisional tentang film dan struktur bahasa, yang berkembang spontan selama bertahun-tahun, dibutuhkan kajian ulang untuk mencari kaitannya dengan munculnya disiplin ilmu lingustik, meskipun konsep „bahasa’ digunakan untuk dunia akademis serta tidak mudah mengendur, seperti hanlnya menyugesti dan mengumpamakan. Perdebatan mengenai hal ini telah terjadi di Perancis dan Italia, selama masa penelitian Roland Barthes, Christian Metz, Pier Paolo Pasolini dan Umberto Eco yang merupakan poin penunjuk arah atas hal ini.)

Melalui pemaparan tersebut terlihat jelas bahwa Roland Barthes merupakan salah satu orang yang mencoba untuk memperlebar kajian semiotika ke ranah yang lebih luas. Jika sebelumnya kajian semiotika hanya berkutat di ranah bahasa atau sastra, maka seiring perkembangan dunia seni khususnya film, kajian semiotika yang berkaitan dengan filmpun mulai berkembang. Hal ini dikarenakan dalam film juga terdapat berbagai macam elemen tanda yang bisa diteliti menggunakan metode semiotika.

G.Konsep Peliputan Dalam Keadaan Konflik atau Perang

Reporter dan juru kamera televisi terkadang harus menerima tugas untuk meliput di kawasan atau daerah yang rawan konflik dengan tingkat keamanan yang rendah. Melakukan liputan ke kawasan konflik tentu saja memiliki resiko, namun demikian resiko tersebut dapat diperkecil jika reporter melakukan


(47)

persiapan dan memiliki pengetahuan yang cukup terhadap daerah yang akan diliput.25

Reporter dan juga juru kamera tidak bisa memilih lokasi mana yang akan mereka jadikan lokasi peliputan. Lokasi peliputan akan ditentukan oleh koordinator liputan yang berdiskusi dengan para redaktur liputan untuk menentukan lokasi mana saja yang akan menjadi tempat peliputan sebuah berita. Jika koordinator liputan telah menentukan lokasi yang harus diliput oleh reporter dan juga juru kameranya, maka mereka tidak bisa menolak tugas peliputan tersebut, sekalipun tempat liputan tersebut adalah lokasi yang rawan konflik ataupun wilayah yang sedang berkecamuk perang di dalamnya. Dan mereka harus melakukan tugas tersebut berdasarkan tanggung jawab mereka sebagai seorang jurnalis profesional.

Meliput di daerah perang atau konflik memang memiliki tantangan tersendiri dan cenderung memiliki tingkat kesulitan yang lebih berat dibandingkan dengan meliput di daerah yang tingkat keamanannya terkendali. Tingkat keamanan yang rendah dan tidak bisa diprediksi menjadi tantangan utama bagi para jurnalis selain tantangan untuk mendapatkan berita atau tayangan eksklusif dari wilayah tersebut.

Dibutuhkan persiapan yang matang bagi para jurnalis untuk menuju medan tempur tersebut. Selain faktor kesiapan fisik yang memadai, kesiapan mental juga mutlak diperlukan untuk mengatasi tekanan yang kerap terjadi ketika meliput aksi baku tembak dan juga kekerasan yang tidak bisa diprediksi kapan peristiwa tersebut akan terjadi.

25

Morissan, M.A. Jurnalistik Televisi Mutakhir. (Jakarta:Kencana Prenada Media Group) 2008 h.74


(48)

Dalam buku Jurnalistik Televisi Kontemporer, Morrisan, M.A. menjelaskan beberapa hal yang penting untuk diperhatikan ketika seorang jurnalis akan melakukan sebuah liputan di daerah perang atau daerah berkonflik.

1. Persiapan

Cari informasi mengenai daerah konflik yang akan didatangi. Caranya antara lain dengan bertanya kepada wartawan lain yang baru pulang dari tempat itu atau mengubungi mereka yang masih ada di sana. Selain itu, reporter dapat menghubungi pihak-pihak lainnya, misalnya para relawan yang bekerja di daerah yang dimaksud, diplomat dan pihak lainnya yang menurut Anda mengerti betul daerah-daerah konflik itu.

Simpan baik-baik paspor, visa, kartu pers, surat kendaraan dan dokumen lainnya. Bawalah pasfoto dalam jumlah lebih untuk keperluan tak terduga. Bila akan menyewa kendaraan, periksalah apakah membutuhkan surat izin.

Bawa sepatu yang nyaman dan tahan air serta pakaian yang sesuai untuk keperluan siang dan malam. Barang-barang yang berwarna mencolok sangat dianjurkan untuk kasus-kasus tertentu, namun dalam situasi tertentu justru sebaliknya.

Sediakan perlengkapan kesehatan (P3K) dengan instruksi pemakaian yang jelas untuk setiap obat-obatan yang tersedia. Sertakan termometer, gunting dan pisau tajam, obat anti infeksi, obat pembunuh rasa sakit dan tablet anti diare. Di negara tertentu, tim liputan mungkin membutuhkan perlengkapan kesehatan sendiri seperti jarum suntik, tablet anti malaria, tablet penyaring air atau obat anti serangga. Periksa peralatan yang akan dibawa, pastikan tidak ada yang tertinggal sehingga tidak perlu bolak-balik untuk mengambilnya.


(49)

2. Daerah Konflik

Jika sudah tiba di daerah konflik, untuk menghindari bahaya, temukan jalan aman untuk mencapai tempat yang menjadi tujuan sambil terus memantau perkembangan berita terbaru di daerah tersebut. Perhatikan dengan seksama pos-pos keamanan yang ada, garis perbatasan, daerah terlarang, jembatan dan jalan pintas. Carilah tempat yang dapat dimintai bantuan dalam keadaan terdesak. Pastikan untuk mendapatkan fasilitas dan akomodasi yang layak yang memungkinkan tim liputan dapat terus berhubungan dengan rekan-rekan di ruang redaksi. Perhatikan pula kebiasaan-kebiasaan atau peraturan yang berlaku seperti cara berpakaian, bersopan-santun dan lain-lain.

Kurangi resiko perampokan dengan pergi pada saat siang hari dan simpan baik-baik barang berharga. Coba cari tempat yang aman untuk meninggalkan barang-barang bila memang diperlukan. Jangan bepergian seorang diri, bila perlu sewa kendaraan, supir, penerjemah dan penunjuk jalan ataupun sejenisnya secara bersama-sama. Tidak perlu mengendarai kendaraan yang bagus dan jangan meninggalkan peralatan dan barrang berharga di dalamnya jika terpaksa, letakkan di tempat yang aman.

Jika memiliki buku alamat dan nomor telepon penting sebaiknya difotokopi dan jangan bawa yang asli. Bila seorang sedang meliput berita tentang konflik antara dua pihak dan kebetulan reporter memiliki hubungan baik dengan keduanya, jangan sampai mereka membaca buku nomor telepon itu. Kalau mereka tahu seorang reporter berhubungan dengan pihak lawannya, maka akibatnya bisa fatal. Dalam keadaan terdesak, reporter dapat membuang fotokopi alamat itu sebelum diperiksa dan diketahui.


(50)

Bila menggunakan komputer selama liputan, tetap buat cadangan dalam disket atau catatan tertulis untuk mengindari hal-hal yang tidak diinginkan. Secara berkala periksa hasil rekaman untuk memastikan mendapatkan apa yang diharapkan.

3. Meliput Konflik

Jika tim liputan televisi berada di kancah konflik dan melakukan peliputan di tempat itu, maka sebaiknya tidak berada di suatu tempat di mana keselamatan dapat terancam secara langsung. Tempat-tempat yang lebih tinggi seperti lantai di kamar atas di suatu gedung atau ruangan di loteng rumah biasanya lebih aman.

Reporter televisi pasti membawa berbagai peralatan peliputan seperti kamera, mikrofon, tripod dan lain-lain yang dari kejauhan tampak seperti senjata. Demi keamanan, samarkan peralatan liputan yang bentuknya mirip senjata itu. Jangan membawa pistol, teropong atau walkie-talkie karena dapat dianggap mata-mata. Hindari menggunakan pakaian berwarna terang pada malam hari, jika sudah terlanjur tutupi dengan lumpur atau sejenisnya.

Jangan melakukan hal-hal yang tidak perlu di daerah berbahaya, walaupun untuk sebuah berita penting. Mungkin saja reporter diminta untuk mengorek berita lebih dalam dan luas, bukan lagi sekedar berita utamanya. Namun jangan mengambil resiko demi sebuah wawancara atau pengambilan gambar.

Jika diserang, cobalah untuk bergerak dan menjauh. Jika tidak menemukan tempat yang lebih aman, coba temukan posisi yang baik misalnya merunduk, tiarap dan seterusnya. Selalu siaga untuk mundur dari medan perang setiap saat.

Jangan menganggap remeh pihak berwenang setempat, turuti saja kemauan mereka supaya semuanya berjalan mulus. Jangan bertele-tele dan


(51)

usahakan untuk tetap tenang dan berwibawa. Bersikaplah seolah-olah sebagai reporter yang berada di pihak mereka, syukur-syukur mereka mau bekerja sama dengan memberikan informasi yang dibutuhkan. Bila ada masalah, datangi orang-orang yang lebih berwenang.

Jangan perlihatkan secara berlebihan emosi yang sedang dirasakan, misalnya rasa takut. Bila tidak dapat menenangkan diri, pergilah ke tempat yang lebih aman untuk meminta bantuan. Bila mengalami sesak napas, tarik napas melalui tangan yang digenggam untuk menurunkan tingkat oksigen dalam darah. Jika mengalami gejala shock atau stress akibat taruma, sebaiknya pulang saja.

Pemaparan di atas jelas memberikan gambaran yang cukup detail mengenai apa saja yang kita butuhkan dan apa saja yang harus kita persiapkan ketika akan melakukan peliputan di daerah perang atau dalam keadaan konflik. Melakukan peliputan di daerah perang atau konflik memang memberikan tantangan tersendiri bagi para jurnalis, jika ia berhasil mendapatkan berita ataupun gambar yang eksklusif (tidak dapat diperoleh oleh media lain) maka ia akan mendapatkan kepuasan batin (prestise) tersendiri selain reward berupa bonus dari media tempatnya bekerja.

Namun yang harus selalu diingat adalah, keselamatan diri sendiri adalah hal yang paling penting dan utama. Kita tidak perlu mengorbankan nyawa kita hanya untuk sebuah berita atau gambar yang dianggap eksklusif. Logika berfikirnya adalah, kita hanya bisa melaporkan sebuah berita perang dalam keadaan selamat, tidak mungkin kita melaporkan berita perang jika kita sudah tidak bisa menyelamatkan diri kita sendiri.


(52)

H.Konep Jurnalisme Damai

Jurnalisme damai adalah salah satu bentuk jurnalisme yang mengedepankan sisi humanis yang positif dalam sebuah pemberitaan yang berkaitan dengan konflik atau perang. Jurnalisme damai pertama kali diperkenalkan oleh Johan Galtung pada tahun 1970, namun baru mulai banyak diterapkan oleh para jurnalis di seluruh dunia di tahun 1990 saat terjadi banyak peperangan seperti di kawasan Timur Tengah dan negara-negara Balkan (pecahan Uni Soviet).

Johan Galtung adalah seorang Profesor Studi Perdamain yang lahir di kota Oslo, Norwegia. Ia mulai mendalami studi perdamaian karena mencermati pemublikasian konflik sektarian yang terjadi di wilayah Irlandia (antara Kristen Katholik dan Kristen Protestan). Selain itu, ia juga miris ketika melihat kenyataan di mana para jurnalis hanya mengedepankan laporan yang bersifat klise ketika mereka meliput di wilayah konflik bersenjata. Para jurnalis tersebut hanya fokus pada laporan menang atau kalah terhadap dua pihak yang tengah bertikai. Johan Galtung beranggapan bahwa hal tersebut tidak berbeda jauh dengan laporan berita olahraga yang hanya fokus pada pelaporan menang atau kalah antara kedua tim yang bertanding.

Dari fenomena itulah Johan Galtung mencoba untuk mengarahkan para jurnalis kepada isu yang lebih penting ketika mereka melaporkan sebuah peristiwa dari wilayah konflik. Menurutnya, banyak hal yang lebih penting yang harus diangkat oleh para jurnalis agar efek negatif dari konflik tersebut tidak menjalar ke wilayah yang lebih luas. Misalnya tentang bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh para warga yang untuk menghadapi konflik yang tengah terjadi.


(53)

Peace journalism more responsible, definition: peace journalism is when editors and reporters make choices –of what stories to report and about how to report them – that create oppurtunities at large to consider and value nonviolent responses to conflict

1. Uses the insights of conflict analysis and transformation to update the concepts of balace, fairness and accuracy in reporting

2. Provides a new route map tracing the connections between journalists, their sources, the stories they cover and the consequences of their journalism – the ethic of journalistic intervention

3. Bulids an awareness of nonviolence and creativity into the practical job of everyday editing and reporting. (Lynch and McGoldrick 2005:5)26 Penjelasan di atas menekankan bahwa jurnalisme damai berusaha agar tidak terjadi kekerasan lanjutan atau trauma psikis yang terjadi setelah adanya pemberitaan mengenai sebuah konflik.

Pada intinya jurnalisme damai bertujuan untuk mengangkat sebuah persoalan yang terjadi di wilayah konflik secara proporsional, tidak memihak dan berusaha mencegah berkembangnya trauma psikis yang terjadi karena konflik tersebut.

Berdasarkan pemikiran Johan Galtung tentang jurnalisme damai tersebut, Jake Lynch dari Transcend Media Service menjabarkan prinsip-prinsip yang harus diterapkan oleh para jurnalis ketika melaporkan pemberitaan dari wilayah konflik bersenjata:

1. Hindari penggambaran bahwa konflik hanya terdiri dari dua pihak yang bertikai atas satu isu tertentu. Konsekuensi logis dari penggambaran macam ini adalah satu pihak yang menang, dan ada satu pihak yang kalah. Lebih baik

26

Charles Webel, ed., Peace Journalism: Handbook of Peace and Conflict Studies (Oxon: Routledge, Taylor and Francis group 2007) h. 256.


(54)

menggambarkan ada banyak kelompok kecil yang terlibat mengejar berbagai tujuan, dengan membuka lebih banyak kemungkinan kreatif yang akan terjadi. 2. Hindari perbedaan penerimaan yang tajam antara “aku” dan “yang lain”. Hal

ini bisa digunakan untuk membuat perasaan bahwa pihak lain adalah

“ancaman” atau “tidak bisa diterima” tingkah laku yang beradab. Keduanya

merupakan pembenaran untuk terjadinya kekerasan. Lebih baik mencari “yang

lain” dalam diri “aku” dan juga sebaliknya. Bila suatu kelompok menampilkan dirinya sebagai “pihak yang benar” tanyakan bagaimana perbedaan perilaku yang sesungguhnya dari “pihak yang salah” dari mereka apakah ini tidak akan

membuat mereka malu?

3. Hindari memperlakukan konflik seolah-olah ia hanya terjadi pada saat dan tempat kekerasan terjadi. Lebih baik mencoba untuk menelusuri hubungan dan akibat-akibat yang terjadi bagimasyarakat di tempat lain pada saat ini dan saat mendatang. Tanyakanlah:

A. Siapakah orang-orang yang akan beruntung pada akhirnya?

B. Juga tanyakanlah pada diri anda sendiri: apakah yang akan terjadi bila . . . . ? C. Pelajaran apa yang akan didapat oleh masyarakat dengan melihat peristiwa ini secara jelas, sebagai bagian dari pemirsa global? Bagaimana masyarakat akan menghitung para pihak yang bertikai di masa mendatang dalam konflik yang dekat dan jauh dari lingkungan?

4. Hindari pemberian penghargaan kepada tindakan ataupun kebijakan dengan menggunakan kekerasan hanya karena dampak yang terlihat. Lebih baik mencari cara untuk melaporkan dampak-dampak yang justru tidak kelihatan. Misalnya dampak-dampak jangka panjang seperti kerusakan psikis dan trauma,


(55)

mungkin juga pengaruh kekerasan yang bisa meningkat di masa mendatang baik kepada orang lain, atau juga sebagai sebuah kelompok atau negara lain 5. Hindari pengidentifikasian suatu kelompok hanya dengan mengulang ucapan

para pemimpin mereka ataupun tuntutan yang telah dikemukakan. Lebih baik menggali tujuan yang lebih jauh, misalnya dengan bertanya: apakah masyarakat juga bisa terkena dampak dari konflik dalam kehidupan sehari-harinya? Perubahan apa yang mereka inginkan? Apakah betul posisi yang dikemukakan oleh para pemimpin mereka hanya satu-satunya cara atau cara yang terbaik untuk mendapatkan perubahan yang mereka mau? Ini mungkin menjadi salah satu jalan untuk membantu pemberdayaan masyarakat, bekerja sama menuju penyeimbangan konflik, mencoba memperoleh hasil dengan tanpa kekerasan yang mungkin paling akan dapat diterima oleh semua pihak yang bertikai.

6. Hindari pemusatan perhatian hanya pada pihak-pihak yang bertikai, hanya mencari perbedaan dari ucapan-ucapan kedua belah pihak tentang apa yang mereka inginkan. Lebih baik mencoba untuk bertanya yang bisa memunculkan kesamaan-kesamaan dan membawa laporan anda pada suatu jawaban yang bisa memunculkan kesamaan tujuan atau setidaknya yang bisa cocok diterapkan bagi kedua belah pihak.

7. Hindari pelaporan yang hanya menonjolkan unsur kekerasan dan

mendeskripsikan tentang „horor’. Bila anda mengeluarkan segala hal yang

ingin anda usulkan dan hanya menyebutkan bahwa penjelasan satu-satunya bagi kekerasan adalah kekerasan yang lain (pembalasan); hasilnya adalah kekerasan semakin meningkat (pemaksaan dan penghukuman). Lebih baik


(56)

menunjukkan bagaimana orang-orang telah menjadi buntu dan frustrasi atau mengalami kerugian dalam kehidupan sehari-hari sebagai hasil dari tindak kekerasan.

8. Hindari menyalahkan salah satu pihak karena memulai perselisihan. Lebih baik menunjukkan bagaimana problem dan isu bersama bisa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak.

9. Hindari laporan yang hanya berfokus pada penderitaan, ketakutan dan keluhan hanya dari satu sisi. Hal ini akan membagi kedua belah pihak menjadi „pihak

yang melakukan kekerasan’ dan „pihak yang menjadi korban’, serta seolah -olah mengusulkan bahwa tindakan paksaan dan penghukuman terhadap mereka yang memulai kekerasan dianggap sebagai jalan keluarnya. Lebih baik memperlakukan kedua belah pihak mengalami kesengsaraan, ketakutan dan keluhan yang sama. Hindari penggunaan bahasa-bahasa yang menonjolkan sosok korban seperti kata; miskin, hancur, tak berdaya, memelas dan juga tragedi, yang semuanya hanya menunjukkan hal apa yang telah dan mungkin dilakukan untuk kelompok ini. Penggunaan bahasa seperti ini bisa melemahkan mereka dan membatasi opsi-opsi perubahan. Lebih baik melaporkan apa yang telah dan mungkin dilakukan oleh masyarakat, jangan hanya bertanya kepada mereka apa yang mereka rasakan, tetapi tanya juga bagaimana mereka mengatasi situasi tersebut dan apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka bis mengusulkan sebuah jalan keluar? Juga perlu diingat bahwa para pengungsi memiliki nama lengkap seperti orang-orang lainnya. Anda tidak akan

menyebut Presiden Clinton sebagai „Bill’ saja dalam laporan anda. Ini mungkin


(57)

bekerjasama menuju penyeimbangan konflik, mencoba memperoleh hasil dengan tanpa kekerasan yang mungkin paling akan dapat diterima oleh semua pihak yang bertikai.

10. Hindari penggunaan kata-kata yang emosional yang tidak tepat menggambarkan apa yang telah terjadi kepada sekelompok orang. Misalnya kata-kata sebagai berikut:

a. „genocide’ atau genosida yang berarti menyingkirkan seluruh manusia b. „decimated’ atau pembersihan –dari sekelompok penduduk, berarti

mengurangi jumlah penduduk hingga sepersepuluh dari jumlah awalnya- c. „tragedi’ adalah bentuk drama, aslinya dari bahasa yunani, di mana

kesalahan seseorang menunjuk kegagalannya d. „assassination’ adalah pembunuhan kepala negara

e. „massacre’ atau „pembantaian’ adalah pembunuhan yang ditunjukkan kepada mereka yang tak bersenjata atau tidak bisa membela diri. Apakah kita yakin dengan penggunaan kalimat dalam laporan kita? Ataukah mungkin orang-orang ini mati dalam peperangan?

f. „systematis’ seperti perkosaan dan pemaksaan orang meninggalkan rumah mereka. Apakah betul dirancang demikian? Ataukah hasil tersebut merupakan hal yang tidak terkait walaupun juga tetap merupakan tindakan yang menjijikan

Lebih baik kita selalu mengetahui secara persisi situasi yang kita hadapi. Jangan mengecilkan arti penderitaan tapi gunakan bahasa yang kuat untuk situasi yang serius atau anda akan menyalahkan bahasa dan membantu untuk membenarkan reaksi yang tidak proporsional hingga bisa meningkatkan


(58)

kekerasan. Hindari penggunaan kata sifat seperti „kejam’, „brutal’ atau „barbar’. Penggunaan kata-kata seperti ini menjalaskan pandangan satu pihak terhadap apa yang telah dilakukan oleh pihak lainnya. Dengan menggunakan kata-kata tersebut, jurnalis telah mengambil posisi di dalam konflik tersebut dan bisa membantu pembenaran terjadinya peningkatan kekerasan. Lebih baik , laporkan apa yang anda ketahui sebagai perbuatan yang salah, dan berikan informasi sebanyak mungkin tentang kebenaran dari laporan atau deskripsi tersebut.

11.Hindari penggunaan label seperti kata „teroris’ „ekstremis’ „kelompok fanatik’

atau juga „fundamentalis’. Hal ini juga selalu terjadi sebagai pemberian julukan dari „kita’ kepada „mereka’. Tak pernah ada orang yang menggunakan

kata tersebut untuk mendeskripsikan diri mereka, oleh karenanya jika jurnalis sudah menggunakan kata-kata tersebut berarti jurnalis sudah berpihak pada salah satu pihak. Dengang penggunaan kata tersebut suatu kelompok hendak mengatakan bahwa pihak lain tidak perlu diperhatikan sehingga tidak ada gunanya bernegosiasi dengan mereka. Lebih baik mentebut kelompok yang bertikai dengan nama yang mereka pakai sendiri, atau juga bisa melakukan deskripsi secara lebih rinci dalam laporan anda.

12. Hindari pemusatan perhatian hanya pada pelanggaran hak-hak asasi manusia, perlakuan kejam dan kesalahan hanya dari satu sisi saja. Lebih baik menyebutkan semua pelaku kesalahan dan memperlakukan pihak-pihak yang bertikai secara setara karena telah melakukan kekerasan. Dengan memperlakukan masalah ini secara serius bukan berarti jurnalis telah berpihak, tetapi sebaliknya dengan cara ini berarti berusaha untuk mengumpulkan berbagai bukti yang ada untuk mendukung terjadinya perdamaian,


(59)

memperlakukan korban-korban dengan rasa hormat yang sama, dan mencari bukti-bukti yang bisa diajukan ke pengadilan bagi yang bersalah secara adil juga merupakan hal yang penting.

13. Hindari pembentukan opini atau klaim yang seolah-olah sudah pasti. (misalnya: Eurico Gutteres disebut sebagai orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan masal di Timor-Timur..”) lebih baik katakan kepada pembaca anda siapa (sumber) yang mengemukakan hal tersebut (lebih tepat berbunyi:

“seorang pejabat tinggi UN menyebutkan bahwa Eurico Guterres lah yang menginstruksikan terjadinya pembunuhan massal di Timor-Timur”) dengan cara terakhir ini kita akan menghindari menandai diri kita dan berita yang kita buat sebagai serangan yang dibuat oleh suatu kelompok kepada kelompok lain dalam situasi konflik.

14.Hindari pujian atas perjanjian perdamaian yang dilakukan oleh para pemimpin politik, yang hanya akan membawa kemenangan bagi militer atau gencatan senjata, seperti seolah-olah telah tercipta perdamaian. Lebih baik mencoba melaporkan berbagai isu yang masih tertinggal dan meungkin bisa menyebabkan terjadinya kekerasan kembali di masa mendatang. Tanyakanlah apa yang telah dikerjakan untuk memberikan dasar untuk menyelesaikan dan mengakhiri konflik dengan tanpa kekerasan, dalam kerangka perkembangan dan kebutuhan struktural masyarakat dan untuk menghadirkan adanya budaya perdamaian?

15.Hindari penantian akan pemimpin „kita’ mengusulkan jalan keluar. Lebih baik ambil dan gali usulan perdamaian dari manapun asalnya. Tanyakan kepada para menteri misalnya tentang ide yang diberikan oleh kelompok akar rumput.


(60)

Berikan perspektif tentang perdamaian yang anda tahu tentang isu berbagai kelompok bertikai sedang mengusahakannya. Jangan mengabaikan mereka hanya karena mereka tidak setuju dengan posisi yang sudah lebih dulu ada.


(1)

88

Sobur, M.Si, Dr Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004.

Subroto, Hendro. Eyewitness to Integration of East Timor. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.

Usman, M.pd, Husaini, Dr. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996.

Vivian, John. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Wiryanto. Teori Kominikasi Massa. Jakarta: PT. Grassindo, 2000.

Wollen, Peter. Signs and Meaning in the Cinema. London: Indiana University Press and British Film Institute, 1976.

Zacky, Anwar. Dkk. Hari-Hari Terakhir Timor-Timur. Jakarta: PT. Enka Parahiyangan. 2006.

Artikel Koran dan Tabloid

Warta Silaban, Martha. “Balibo Tak Mampir di Festival.” Tempo, 13 Desember 2009.

Suditomo, Kurie. dkk. “Balibo 1975.” Tempo, 13 Desember 2009. Yophiandi. “Setelah Sang Kolonel Bicara” Tempo, 20 Desember 2009. Redaksi. “Percuma Melarang Hantu Balibo.” Tempo, 13 Desember 2009.


(2)

89

Artikel Internet

Haryanto Kurniawan. “Larang Balibo Five, LSF Berlebihan.” Artikel diakses pada 8 Oktober 2010 pukul 15.56 WIB dari www.okezone.com

Irwan Nugroho. “Film Balibo Five Diputar Perdana Di Jakarta.” Artikel diakses pada 8 Oktober 2010 pukul 15.53 WIB dari www.detiknews.com

Wikipedia. “Film.” Artikel diakses pada 27 November 2010 pukul 13.06 WIB dari http://en.wikipedia.org/wiki/Scene_(film)

Kompas. “Balibo Five Disiksa” Artikel diakses pada 8 Oktober 2010 pukul 15.52 WIB dari www.kompas.com

Antara News. “TNI Serahkan Balibo Five Pada Keputusan Pemerintah” Artikel diakses pada 8 Oktober 2010 pada pukul 15.54 WIB dari www.antaranews.com


(3)

(4)

(5)

(6)