Sinopsis Novel Penakluk Badai
bersemangat dalam menuntut ilmu dan saling tolong menolang seperti saudara kandung.
Mendirikan pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat bobrok, perampok, pemabuk, penjudi, prostitusi, dan asusila, itulah keberanian dari
seorang KH. Hasyim Asy’ari yang membuat para kiai sepuh tercengang karena dianggap tidak lazim. Inilah salah satu nilai yang diangkat oleh Aguk Irawan MN
dalam buku fiksi-biografi Bapak Revolusi Pendidikan Islam. Bagaimana sumbangsihnya di bidang pendidikan dan mengangkat perjuangan
Indonesia hingga mencapai kemerdekaannya. Aguk Irawan mencoba mengungkap detail kharisma dan keagun
gan KH. Hasyim Asy’ari yang selama ini hanya dikenal sebagai tokoh kalangan Ormas Nahdlatul Ulama NU. Lebih dari itu,
beliau adalah pahlawan bangsa Indonesia. Novel ini, kembali menampilkan KH. Hasyim Asy’ari sebagai sosok yang
kontroversial dengan gagasannya yang selalu melampaui zamannya. Melalui hasil istikharahnya, KH. Hasyim Asy’ari mau menerima tawaran kerjasama dari
Jepang. Sementara, banyak Kiai lain dan rakyat yang sempat menjadi korban kekejaman Jepang mengkhawatirkan langkah politik yang diambil KH. Hasyim
As’ari tersebut. Jepang sendiri melunak dan mengambil jalan kooperatif terhadap pribumi lantaran mereka cemas bahwa suatu hari nanti Belanda akan merebut
kembali wilayah yang kini diduduki Jepang. Kecemasan itu pun terbukti. Forum Internasional di Wina pada 1942 memutuskan bahwa negara-negara sekutu
sepakat akan mengembalikan wilayah-wilayah yang diduduki Jepang kepada koloni masing-masing.
Landasan logika yang dijadikan pijakan oleh KH. Hasyim Asy’ari adalah kenyataan bahwa beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dijajah Belanda, sehingga
mentalitasnya rapuh dan mudah ciut. Dengan didikan dan gemblengan militer dari Jepang, bangsa Indonesia diharapkan memiliki kesiapan mental dengan suasana
peperangan. Hal inilah yang akan menjadi modal untuk kelak merebut kemerdekaan yang sesungguhnya.
Buah karya dari semangat menuntut ilmu beliau buktikan dengan mendirikan pesantren yang sekarang sudah sangat familiar yani Tebuireng.
Diceritakan pula Hadratussyaih Hasyim Asy’ari adalah seorang yang tabah ketika istri dan anak tercintanya meninggal serta bertubi cobaan yang datang selalu
dihadapi dengan sabar. Beliau juga termasuk orang yang mahir dalam menyulut semangat para pemuda Islam untuk berjihad ketika Indonesia sedang dijajah oleh
kafir-Belanda, dan berjuang mendapatkan serta mempertahankan kemerdekaan. Dalam novel ini dikupas tuntas secara mendalam bagaimana peran beliau dalam
memerdekakan Indonesia dari tangan penjajah. Novel dengan panjang 20,5 cm dan lebar 13,5 cm serta jumlah sekitar 528
halaman ini disertai dengan lampiran-lampiran, tentang penulis, serta kosa kata sehingga bisa memudahkan pembaca yang tidak memahami bahasa Jawa, karena
bahasa Jawa sering sekali dijumpai dalam novel ini. Selain itu, novel ini juga mendapat pengantar dari Prof. DR. KH. Said Aqil
Siradj, MA. yang merupakan ketua umum dari PBNU serta mendapat apresiasi tinggi dari tokoh agama dan nasional seperti Jusuf Kalla Mantan Wakil Presiden
RI, Drs. H. Suryadharma Ali Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Din Syamsudin
Ketua Umum PP. Muhammadiyah, KH. Shalahuddin Wahid Cucu KH. Hasyim Asy’ari dan Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Prof. Dr. Komarudin
Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan lain sebagainya.
41