Pengaruh Terpajan Kebisingan terhadap Penurunan Daya Dengar pada Pekerja di PT. Atmindo Tahun 2010

(1)

PENGARUH TERPAJAN KEBISINGAN TERHADAP DAYA DENGAR PADA PEKERJA DI PT. ATMINDO

TAHUN 2010

TESIS

Oleh

AISYAH UMEDA 087010007/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF NOISE EXPOSURE ON THE LEVEL OF WORKERS HEARING ABILITY AT PT. ATMINDO IN THE

YEAR OF 2010

THESIS

BY :

AISYAH UMEDA 087010007/IKM

MAGISTER STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH SCIENCE FACULTY OF PUBLIC HEALTH

NORTH SUMATERA UNIVERSITY MEDAN


(3)

PENGARUH TERPAJAN KEBISINGAN TERHADAP DAYA DENGAR PADA PEKERJA DI PT. ATMINDO

TAHUN 2010

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Kerja pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

AISYAH UMEDA 087010007/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH TERPAJAN KEBISINGAN

TERHADAP DAYA DENGAR PADA PEKERJA DI PT. ATMINDO TAHUN 2010

Nama Mahasiswa : Aisyah Umeda Nomor Induk Mahasiswa : 087010007

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Kerja

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr.Ir. A. Rahim Matondang, M.S.I.E) (

Ketua Anggota

Dr.dr. Delfitri M, Sp.THT.KL (K))

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

pada tanggal : 11 Mei 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, M.S.I.E. Anggota : 1. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp. THT. KL (K)

2. Dra. Lina Tarigan, Apt, M.S 3. dr. Adlin Adnan, Sp. THT


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH TERPAJAN KEBISINGAN TERHADAP DAYA DENGAR PADA PEKERJA DI PT. ATMINDO

TAHUN 2010

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2011

AISYAH UMEDA


(7)

ABSTRAK

Kebisingan merupakan bunyi yang tidak dikehendaki sehingga dapat menimbulkan gangguan konsentrasi, komunikasi, kenikmatan kerja dan ketulian menetap. The Enviromental Protection Agency memperkirakan bahwa lebih 9 juta pekerja industri manufaktur di Indonesia terpapar bising di atas 85 dB (A). Di PT. Atmindo Jalan K.L. Yos Sudarso, Medan, ada 7 lokasi pada bagian proses yang memiliki nilai ambang batas kebisingan di atas 85 dB, berkisar di antara 86-90 dB yaitu bagian membrane, drum boiler, rool, press, bubut, pipa, maintenance.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh terpajan kebisingan (intensitas, frekuensi, masa kerja, alat pelindung diri dan umur ) terhadap daya dengar. Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional

studi. Sampel penelitian adalah seluruh populasi yang berjumlah 35 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran kebisingan di lingkungan kerja dan pengukuran audiometrik tenaga kerja. Analisis data dilakukan dengan uji regresi linear ganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas bising, frekuensi bising, masa kerja, alat pelindung diri dan umur memengaruhi penurunan daya dengar telinga kanan dan kiri pekerja secara signifikan. Alat pelindung diri adalah variabel yang paling berpengaruh terhadap penurunan daya dengar pekerja.

Manajemen perusahaan disarankan untuk mengadakan pelatihan dan penyuluhan tentang Alat Pelindung Diri (APD) dan meningkatkan pengawasan terhadap kedisiplinan pekerja dalam memakai APD serta membuat kebijakan pembagian shif sesuai standart .

Kata kunci : Daya Dengar, Terpajan Kebisingan


(8)

ABSTRACT

Noise is unwanted sound that can cause impaired concentration, communication, enjoyment of work and settle deafness. The Environmental Protection Agency estimates that over 9 million workers in the Indonesian manufacturing industry exposed to noise above 85 dB (A). At PT. Atmindo Road K.L. Yos Sudarso, Medan, there were 7 locations in the process that had a noise threshold values above 85 dB, ranging between 86-90 dB, which is part of the membrane, drum boilers, rool, presses, lathes, pipe, maintenance.

The purpose of this study was to analyze the influence of noise exposure (intensity, frequency, working of period, personal protective equipment and age) on the hearing ability. The study was an analytic survey with cross sectional study. The samples were all population total 35 people. Data collected by the measurement noise in the workplace and labor audiometrik measurement. The data were analyzed multiple linear regression.

Result of the research showed that the intensity noise, frequency noise, working of period, personal protective equipment and age influenced on the right and left ear workers hearing decrease significantly. Personal protective equipment was the most influential variables on the workers hearing decrease.

The management companies is suggested to conduct training and education about Self Protective Equipment (PPE) and increase the supervision of discipline workers in the use of PPE, make a standart shif policy


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat karuniaNya penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Terpajan Kebisingan terhadap Penurunan Daya Dengar pada Pekerja di PT. Atmindo Tahun 2010

Dalam menyusun tesis ini penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang M.S.I.E. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. dr. Delfitri Munir, Sp. THT. KL (K) selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis dalam penyusunann tesis ini.


(10)

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dra. Lina Tarigan, Apt, M.S selaku Ketua Komisi Pembanding dan dr. Adlin Adnan, Sp. THT. KL (K) selaku anggota Komisi Pembanding yang telah memberikan kritikan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

Selanjutnya terima kasih penulis ucapkan kepada Pieter Simanjuntak,SH selaku Manajer HRD PT. Atmindo yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di perusahaannya.

Tak lupa juga penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua penulis, suami, anak-anak dan seluruh anggota keluarga yang telah memberikan dukungan moril dalam penulisan tesis ini.

Penulis juga menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Juli 2011


(11)

RIWAYAT HIDUP

Aisyah Umeda dilahirkan di Medan pada tanggal 19 Agustus 1966, anak kelima dari lima bersaudara.

Memulai pendidikan di SD Alittihadiah Medan dan lulus tahun 1979, melanjutkan pendidikan di SMP WR Supratman Medan dan lulus tahun 1982. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN-6 Medan lulus tahun 1985. Selanjutnya meneruskan pendidikan Strata 1 Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara Medan lulus tahun 1990. Saat ini sedang mengikuti Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 1998-1999, dan Pegawai Negeri Sipil Pemko Medan pada tahun 2000- sampai sekarang.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Hipotesis ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Bunyi atau Suara dan Sifatnya ... 10

2.2. Kebisingan ... 11

2.2.1. Definisi Kebisingan ... 11

2.2.2. Jenis – Jenis Kebisingan dan Sumbernya ... 11

2.3. Fifiologi Telinga dan Mekanisme Mendengar Bunyi ... 13

2.3.1. Fisiologi Telinga ... 13

2.3.2. Mekanisme Mendengar Bunyi ... 18

2.4. Gangguan Akibat Kebisingan ... 21

2.4.1. Gangguan Auditorial ... 21

2.4.2. Gangguan Nonauditorial ... 24

2.5. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tuli Akibat Bising ... 24

2.6. Nilai Ambang Batas Kebisingan ... 26

2.7. Landasan Teori ... 27

2.8. Kerangka Konsep Penelitian ... 29

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 30

3.1. Jenis Penelitian ... 30

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

3.3. Populasi dan Sampel ... 30

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 31


(13)

3.5.1. Variabel ... 31

3.5.2. Definisi Operasional ... 32

3.6. Metode Pengukuran ... 34

3.6.1. Prosedur Penelitian ... 38

3.7. Metode Analisis Data ... 39

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 41

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 41

4.2. Analisis Univariat ... 41

4.3. Analisis Bivariat ... 44

4.4. Analisis Multivariat ... 47

BAB 5. PEMBAHASAN ... 52

5.1. Analisis Univariat ... 53

5.2. Analisis Bivariat ... 58

5.3. Analisis Multivariat ... 65

5.4. Keterbatasan Penelitian ... 66

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

6.1. Kesimpulan ... 67

6.2. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Fisiologi Telinga ... 13

2.2. Anatomi Penampang Telinga Tengah ... 18

2.3. Kerangka Konsep Penelitian ... 29

3.1. Sound Level Meter ... 35


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Nilai Ambang Batas Kebisingan ... 27 3.1. Variabel Terikat dan Variabel Bebas ... 32 4.1. Distribusi Frekuensi Terpajan Kebisingan pada Pekerja PT. Atmindo

Medan Tahun 2010 ... 42 4.2. Distribusi Frekuensi Penurunan Daya Dengar Pekerja PT. Atmindo

Medan Tahun 2010 ... 44 4.3. Tabulasi Silang Terpajan Kebisingan terhadap Penurunan Daya Dengar

Telinga Kiri pada Pekerja PT. Atmindo Medan Tahun 2010 ... 45 4.4. Tabulasi Silang Terpajan Kebisingan terhadap Penurunan Daya Dengar

Telinga Kanan pada Pekerja PT. Atmindo Medan Tahun 2010 ... 46 4.5. Hasil Uji Regresi Variabel Terpajan Bising terhadap Penurunan Daya

Dengar Telinga Kiri ... 48 4.6. Hasil Uji Regresi Variabel Terpajan Bising terhadap Penurunan Daya


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 72

2 Master Data Penelitian ... 74

3 Hasil Pengukuran Audiometri ... 76

4 Hasil Pengolahan Data ... 79

5 Informasi dan Persetujuan Menjadi Responden ... 95

6 Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden ... 96

7 Alur Pembuatan Boiler ... 97


(17)

ABSTRAK

Kebisingan merupakan bunyi yang tidak dikehendaki sehingga dapat menimbulkan gangguan konsentrasi, komunikasi, kenikmatan kerja dan ketulian menetap. The Enviromental Protection Agency memperkirakan bahwa lebih 9 juta pekerja industri manufaktur di Indonesia terpapar bising di atas 85 dB (A). Di PT. Atmindo Jalan K.L. Yos Sudarso, Medan, ada 7 lokasi pada bagian proses yang memiliki nilai ambang batas kebisingan di atas 85 dB, berkisar di antara 86-90 dB yaitu bagian membrane, drum boiler, rool, press, bubut, pipa, maintenance.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh terpajan kebisingan (intensitas, frekuensi, masa kerja, alat pelindung diri dan umur ) terhadap daya dengar. Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional

studi. Sampel penelitian adalah seluruh populasi yang berjumlah 35 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran kebisingan di lingkungan kerja dan pengukuran audiometrik tenaga kerja. Analisis data dilakukan dengan uji regresi linear ganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas bising, frekuensi bising, masa kerja, alat pelindung diri dan umur memengaruhi penurunan daya dengar telinga kanan dan kiri pekerja secara signifikan. Alat pelindung diri adalah variabel yang paling berpengaruh terhadap penurunan daya dengar pekerja.

Manajemen perusahaan disarankan untuk mengadakan pelatihan dan penyuluhan tentang Alat Pelindung Diri (APD) dan meningkatkan pengawasan terhadap kedisiplinan pekerja dalam memakai APD serta membuat kebijakan pembagian shif sesuai standart .

Kata kunci : Daya Dengar, Terpajan Kebisingan


(18)

ABSTRACT

Noise is unwanted sound that can cause impaired concentration, communication, enjoyment of work and settle deafness. The Environmental Protection Agency estimates that over 9 million workers in the Indonesian manufacturing industry exposed to noise above 85 dB (A). At PT. Atmindo Road K.L. Yos Sudarso, Medan, there were 7 locations in the process that had a noise threshold values above 85 dB, ranging between 86-90 dB, which is part of the membrane, drum boilers, rool, presses, lathes, pipe, maintenance.

The purpose of this study was to analyze the influence of noise exposure (intensity, frequency, working of period, personal protective equipment and age) on the hearing ability. The study was an analytic survey with cross sectional study. The samples were all population total 35 people. Data collected by the measurement noise in the workplace and labor audiometrik measurement. The data were analyzed multiple linear regression.

Result of the research showed that the intensity noise, frequency noise, working of period, personal protective equipment and age influenced on the right and left ear workers hearing decrease significantly. Personal protective equipment was the most influential variables on the workers hearing decrease.

The management companies is suggested to conduct training and education about Self Protective Equipment (PPE) and increase the supervision of discipline workers in the use of PPE, make a standart shif policy


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan disektor industri dengan berbagai proses produksi yang dilaksanakan menggunakan teknologi modern dapat menimbulkan dampak yang kurang baik bagi lingkungan, keselamatan, kesehatan dan produktivitas masyarakat khususnya tenaga kerja.

Garis-Garis Besar Haluan Negara (1993), menegaskan bahwa perlindungan tenaga kerja meliputi hak keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta jaminan sosial tenaga kerja yang mencakup jaminan hari tua, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan terhadap kecelakaan, jaminan kematian, serta syarat-syarat kerja lainnya. Amanat GBHN ini menuntut dukungan dan komitmen untuk perwujudannya melalui penerapan K3 yang disebabkan sebagai landasannya, disamping Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Upaya K3 telah dimantapkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan, yang menyatakan kewajiban pengusaha untuk melindungi tenaga kerja dari potensi bahaya yang dihadapinya.

Pemakaian mesin sebagai alat kerja dan mekanisasi dalam industri dapat menimbulkan kebisingan ditempat kerja. Dimana proses industri dipercepat untuk mendapatkan produksi semaksimal mungkin, dengan begitu dampak akibat bising juga meningkat (Depnaker RI, 1995). Kebisingan ditempat kerja dapat mengganggu


(20)

daya dengar pekerja, mulai dari gangguan konsentrasi, komunikasi sampai kenikmatan bekerja (Budiono, 2003). Kebisingan ditempat kerja dapat mengakibatkan penyakit akibat kerja berupa penurunan daya dengar kepada tenaga kerja (Depnaker RI, 1994). Penurunan daya dengar merupakan salah satu jenis penyakit yang timbul karena hubungan kerja (Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul akibat Hubungan Kerja).

Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat- alat pada proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Kepmennaker nomor : KEP-51/MEN/1999). Bunyi didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Kwalitas bunyi terutama ditentukan oleh frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut Hertz (Hz), yaitu jumlah dari golongan-golongan yang sampai di telinga setiap detiknya. Intensitas atau arus energi per satuan luas biasanya dinyatakan dalam satuan logaritmis yang disebut desibel (dB) dengan memperbandingkannya dengan kekuatan dasar 0,0002 dyne/cm2 yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang tepat dapat didengar oleh telinga normal (Suma’mur P, 1996). Frekuensi bunyi yang dapat didengar telinga manusia terletak antara 16 hingga 20.000 Hz, sedangkan frekuensi bicara terdapat pada rentang 250-4000 Hz. Bunyi frekuensi tinggi adalah yang paling berbahaya (Suyono, 1995).


(21)

Proses pendengaran ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara dimana kecepatan volumenya berbeda-beda. Gelombang suara bergerak melalui rongga telinga luar (auris eksterna) yang menyebabkan membran tympani bergetar. Getaran-getaran tersebut diteruskan menuju incus dan stapes

melalu malleus yang menempel pada membran itu. Karena getaran yang timbul pada setiap tulang itu, maka tulang akan memperbesar getaran yang kemudian disalurkan ke fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe dialihkan melalui membran menuju endolimfe dalam saluran kokhlea dan rangsangan mencapai ujung-ujung akhir syaraf dalam organ korti, selanjutnya dihantarkan menuju otak oleh

nervus auditorius (Pearce, 2002). Perasaan pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang enak atau tidak enak, hingar bingar atau musikal. Gelombang suara yang tidak teratur menghasilkan keributan atau hingarbingar, sementara gelombang suara berirama teratur menghasilkan bunyi musikal enak (Suyono, 1995).

Getaran sumber bunyi dihantarkan melalui media udara menggetarkan gendang telinga dan tulang-tulang kecil yang terletak dalam rongga telinga bagian tengah. Getaran masuk ke dalam suatu sistem cairan yang terletak dalam putaran rongga bangunan menyerupai rumah siput atau lebih dikenal sebagai kokhlea yang terletak di dalam tulang temporalis. Di dalam telinga bagian tengah juga terdapat sebuah otot terkecil dalam tubuh manusia yaitu tensor timpani. Otot ini bertugas membuat tegang rangkaian tulang pendengaran pada saat bunyi yang mencapai sistem pendengaran kita berkekuatan lebih dari 70 dB, untuk meredam getaran yang mencapai sel-sel rambut reseptor pendengaran manusia. Namun, otot ini tidak mampu


(22)

bekerja terus menerus pada keadaan bising yang terlalu kuat dan kontinu.Akibatnya terjadilah stimulasi berlebihan yang dapat merusak fungsi sel-sel rambut. Kerusakan sel rambut dapat bersifat sementara sehingga dapat terjadi ketulian sementara. Akan tetapi, bila terjadi rangsangan terus menerus, terjadi kerusakan permanen,yang menyebabkan sel rambut berkurang sampai menghilang dan terjadi ketulian menetap (Pearce, 2002).

Ketulian akan terjadi pada kedua telinga secara simetris yang mengenai nada tinggi terlebih dahulu, terutama dalam frekuensi 3000 sampai 6000 Hz. Sering kali juga terjadi penurunan tajam (dip) pada frekuensi 4000 Hz, yang sangat khas untuk gangguan pendengaran akibat bising. Karena yang terkena adalah nada yang lebih tinggi dari nada percakapan manusia, sering kali pada awalnya sama sekali tidak dirasakan oleh penderitanya karena belum begitu jelas gangguan pada saat berkomunikasi dengan sesama (Suyanto, 2006) .

Bising dapat merusak kokhlea di telinga dalam sehingga menganggu pendengaran, sedang kerusakan yang ditimbulkan pada saraf vestibuler di telinga dalam dapat menyebabkan gangguan keseimbangan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan akibat kerja belum mendapat perhatian penuh, padahal gangguan ini menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa dengan proporsi 35%. Badan kesehatan dunia (WHO) melaporkan tahun 1988 terdapat 8-12 % penduduk dunia menderita dampak kebisingan dalam berbagai bentuk. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat (Annie, 2000). Data survey


(23)

ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Langka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat.

Tuli akibat bising adalah tuli saraf yang terjadi akibat terpajan bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang lama. Sataloff (1987) mendapati sebanyak 35 juta orang Amerika menderita ketulian dan 8 juta orang diantaranya merupakan tuli akibat kerja (Depkes, 2004). The Enviromental Protection Agency (EPA) memperkirakan bahwa lebih 9 juta pekerja di industri manufaktur terpapar bising diatas 85 dB (A) (Nugroho, 2009).

Kebisingan yang tinggi memberikan efek yang merugikan pada tenaga kerja, terutama akan memengaruhi indera pendengaran. Tenaga kerja memiliki risiko mengalami penurunan daya pendengaran yang terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu lama dan tanpa mereka sadari. Besarnya penurunan daya pendengaran ini tergantung dari lamanya pemaparan serta tingkat kebisingan. Oleh sebab itu faktor-faktor yang menimbulkan gangguan pendengaran harus dikurangi atau dihindari sedapat mungkin (Sasongko, 2000).

Berkurangnya pendengaran akibat kebisingan terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Hal ini sering tidak disadari oleh penderitanya, sehingga pada saat penderita mulai mengeluh berkurang pendengarannya biasanya sudah dalam stadium irreversible. Dalam hubungan ini, jalan yang paling baik adalah mencegah terjadinya ketulian sedini mungkin


(24)

(Grantham, 1992). Kecepatan penurunan pendengaran tergantung pada tingkat kebisingan, lamanya pemajanan dan kepekaan individu. Beberapa kondisi lain ikut berperan pada gangguan pendengaran adalah intoksikasi, trauma dan pada usia 40 tahun ke atas disebut presbyacusis (Suyono, 1995),

Faktor-faktor yang dapat memengaruhi penurunan ambang dengar adalah intensitas bising, frekuensi kebisingan, lama pemajanan, masa kerja, alat pelindung diri serta faktor umur (Sasongko, 2000).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suyanto (2006), menunjukan adanya pengaruh intensitas bising, frekuensi bising, masa kerja, dan umur terhadap penurunan daya dengar. Makin tinggi intensitas dan frekwensi kebisingan lingkungan kerja makin tinggi risiko gangguan telinga. Makin lama waktu pemaparan makin berisiko terjadi gangguan telinga. Makin lama bekerja (masa kerja) makin tinggi risiko terjadinya gangguan telinga serta makin tinggi usia (manula) secara normal kemampuan pendengaran akan menurun. Alat pelindung diri (APD) telinga berfungsi sebagai penyerap intensitas bising yang didengar telinga (Sasongko, 2000).

Telinga kita hanya dapat menerima bising atau suara gaduh pada batas-batas tertentu. Jika batas nilai ambang batas (NAB) ini dilampaui dan waktu paparan cukup lama, dapat mengakibatkan daya pendengaran seseorang menjadi berkurang. Nilai NAB kebisingan yang diperkenankan di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja no. Kep. 51/MEN/1999 tentang NAB faktor fisika di lingkungan kerja adalah 85 dB (A) untuk waktu pemaparan 8 jam sehari dan 40 jam seminggu.


(25)

PT. Atmindo adalah sebuah perusahaan swasta penanaman modal asing (PMA), berlokasi di jalan K.L. Yos Sudarso, nomor 100, Glugur Kota yang memproduksi boiler. Pabrik ini memiliki 58 karyawan terpajan bising, dan berproduksi selama 24 jam yang menerapkan sistem shift. Pekerja dikelompokkan dalam 2 shift yaitu shift pagi, dimulai dari jam 08.00 – 20.00 WIB dan shift malam, dimulai dari jam 20.00 – 08.00 WIB. Total jam istirahat pada setiap shift adalah 90 menit, yaitu jam 12.00-13.00 WIB dan jam 17.00-17.30 WIB untuk shift pagi dan jam 24.00-01.00 WIB dan 05.00-05.30 WIB untuk shift malam.

Pada survey pendahuluan di PT. Atmindo di temui potensial hazard kebisingan yang tinggi terhadap pekerja yang mempunyai masa kerja yang bervariasi. Ada 7 lokasi bagian proses di pabrik boiler tersebut yang memiliki nilai ambang batas kebisingan diatas 85 dB, berkisar diantara 86-90 dB yaitu bagian membrane, drum boiler, rool, press, bubut, pipa dan maintenance. Dari observasi karyawan di lingkungan kerja PT. Atmindo, peneliti mendapatkan informasi keluhan subjektif gangguan pendengaran yang sering terjadi pada tenaga kerja berupa gangguan pada komunikasi, gangguan tidur, gangguan pelaksanaan tugas dan perasaan tidak senang atau mudah marah.

Berdasarkan gambaran di atas, penulis tertarik melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Terpajan Kebisingan terhadap Daya Dengar pada Pekerja di PT. Atmindo Tahun 2010”


(26)

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh terpajan kebisingan terhadap daya dengar pada pekerja di PT. Atmindo tahun 2010.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh terpajan kebisingan terhadap daya dengar pada pekerja di PT. Atmindo tahun 2010.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh terpajan kebisingan terhadap daya dengar pada pekerja di PT. Atmindo tahun 2010.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi bahwa kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin dapat menimbulkan gangguan pendengaran bagi tenaga kerja. Oleh sebab itu penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk selalu mengutamakan kesehatan dan keselamatan tenaga kerjanya dengan memberikan alat pelindung diri yang baik .Disamping itu dapat menjadi bahan evaluasi bagi perusahaan dalam merancang mesin yang memiliki tingkat kebisingan yang relatif kecil (dibawah nilai ambang batas pendengaran).


(27)

b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi tambahan pengetahuan bagi tenaga kerja sehingga bisa lebih memahami tentang efek kebisingan terhadap kesehatan dan keselamatan bagi dirinya sehingga tumbuh kesadaran untuk mematuhi peraturan menggunakan alat pelindung telinga.

c. Sebagai informasi dan pengembangan untuk penelitian sejenis secara berkelanjutan.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bunyi atau Suara dan Sifatnya

Bunyi merupakan suatu gelombang berupa getaran dari molekul-molekul zat yang saling beradu satu dengan yang lain secara terkoordinasi sehingga menimbulkan gelombang dan meneruskan energi serta sebagian dipantulkan kembali. Bunyi merambat melalui udara dengan kecepatan sekitar 344 m/detik pada suhu 20o

Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut Hertz (Hz), yaitu jumlah dari golongan-golongan yang sampai di telinga setiap detiknya. Biasanya suatu kebisingan terdiri dari campuran sejumlah gelombang-gelombang sederhana dari beraneka frekuensi. Nada dari kebisingan ditentukan oleh frekuensi-frekuensi yang ada (Suma’mur, 1996). Intensitas atau arus energi per satuan luas biasanya dinyatakan dalam satuan logaritmis yang disebut desibel (dB) dengan memperbandingkannya dengan kekuatan dasar 0,0002 dyne/cm

C dan menimbulkan gelombang dengan sumber bunyi sebagai titik pusat dan disebarkan secara radial membentuk bidang gelombang (Salim, 2002). Bunyi didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Kualitasnya terutama ditentukan oleh frekuensi dan intensitasnya (Suma’mur, 1996).

2

yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang tepat dapat didengar oleh telinga normal (Suma’mur, 1996). Frekuensi bunyi yang dapat didengar telinga manusia terletak


(29)

antara 16 hingga 20.000 Hz. Frekuensi bicara terdapat pada rentang 250-4000 Hz. Bunyi frekuensi tinggi adalah yang paling berbahaya (Suyono, 1995).

2.2. Kebisingan

2.2.1. Definisi Kebisingan

Kebisingan dapat didefinisikan sebagai suara yang tidak diinginkan, seperti sampah yang dapat didefinisikan sebagai benda yang tidak diinginkan. Pengertian tidak diinginkan ini tentu saja bersifat subjektif (Azwar, 1990). Musik keras bisa jadi merupakan “kebisingan” buat sebagian orang tua. Sebaliknya musik klasik merupakan “suara” yang tidak dikehendaki atau kebisingan bagi sebagian orang muda. Bising bagi tiap orang mempunyai makna berlainan tergantung situasi dan kondisi (Departemen Kesehatan RI, 1990).

Bunyi didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi tersebut tidak dikehendaki maka dinyatakan sebagai kebisingan (Suma’mur, 1996). Pengaruhnya pada kesehatan adalah kerusakan kepada indra-indra pendengaran, yang menyebabkan ketulian progresif.

2.2.2. Jenis-jenis Kebisingan dan Sumbernya

Menurut Suma’mur (1996), jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan meliputi:

a. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar.


(30)

b. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state, narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas.

c. Kebisingan terputus-putus (intermittent), misalnya lalu lintas, suara kapal terbang di lapangan udara.

d. Kebisingan impulsive (impact or impulsive noise), seperti pukulan martil, tembakan bedil, ledakan meriam.

e. Kebisingan impulsive berulang, misalnya mesin tempa di perusahaan.

Menurut Wijadja (1996), sumber kebisingan dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam :

a. Mesin

Yaitu kebisingan yang ditimbulkan akibat aktifitas mesin b. Vibrasi

Yaitu kebisingan yang ditimbulkan akibat getaran yang diakibatkan aktifitas peralatan.

c. Pressure-redusing valve (pergerakan udara, gas dan cairan)

Yaitu kebisingan yang ditimbulkan akibat pergerakan dari udara, gas, likuid atau cairan, dalam kegiatan proses kerja industri.


(31)

2.3 Fisiologi Telinga dan Mekanisme Mendengar Bunyi 2.3.1 Fisiologi Telinga

Gambar 2.1 Fisiologi Telinga (Gabriel, 1996)

Telinga merupakan alat penerima gelombang suara atau gelombang udara kemudian gelombang mekanik ini diubah menjadi pulsa listrik dan diteruskan ke korteks pendengar melalui saraf pendengaran. Telinga dibagi dalam tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Gabriel, 1996).

2.3.1.1. Telinga Bagian Luar

Telinga luar terdiri atas aurikel atau pinna dan maetus auditorius externa

yang menjorok ke dalam menjauhi pinna yang berfungsi menghantarkan getaran suara menuju membran tympani. Liang telinga berukuran panjang sekitar 2,5 cm. Sepertiga luarnya adalah tulang rawan, dua pertiga dalamnya adalah berupa tulang.


(32)

Bagian tulang rawan tidak lurus serta bergerak ke arah atas dan belakang. Liang ini dapat diluruskan dengan mengangkat daun telinga ke atas dan ke belakang. Aurikel

berbentuk tidak teratur serta terdiri dari tulang rawan dan jaringan fibrus, kecuali pada ujung paling bawah, yaitu cuping telinga yang terutama terdiri dari lemak (Pearce, 2002).

Daun telinga berfungsi sebagai pengumpul energi bunyi dan dikonsentrasikan pada membran tympani serta hanya menangkap 6 – 8 dB. Pada kanalis telinga terdapat malam (wax) yang berfungsi sebagai peningkatan kepekaan terhadap frekuensi suara 3.000 – 4.000 Hz. Membran tympani tebalnya 0,1 mm, luas 65 mm2, mengalami vibrasi dan diteruskan ke telinga bagian tengah yaitu pada tulang telinga (incus, malleulus, stapes). Nilai ambang dengar yang dapat didengar ~ 20 Hz dan pada 160 dB membran tympani mengalami ruptur atau pecah (Gabriel, 1996).

2.3.1.2. Telinga Bagian Tengah

Telinga bagian tengah terdiri dari 3 buah tulang yaitu malleulus, incus, dan

stapes. Suara yang masuk sebesar 99% mengalami refleksi dan hanya 0,1% saja yang ditransmisi atau diteruskan. Pada frekuensi kurang dari 400 Hz membran tympani

bersifat “per”, sedangkan pada frekuensi 4.000 Hz membrane tympani menegang. Telinga bagian tengah memegang peranan proteksi, hal ini dimungkinkan oleh karena adanya tuba eustachii yang mengatur tekanan di dalam telinga bagian tengah, dimana

tuba eustachii mempunyai hubungan langsung dengan mulut. Pada beberapa


(33)

akan mengakibatkan penurunan sensitifitas tekanan (misalnya pada penderita influensa) pada tekanan 60 mm Hg yang mengenai membran tympani akan mengakibatkan perasaan nyeri (Gabriel, 1996). Tuba eustachii bergerak ke depan dari rongga telinga tengah menuju naso farinx lantas terbuka, dengan demikian tekanan udara pada kedua sisi gendang telinga dapat diatur seimbang melalui meatus auditorius externa serta melalui tuba eustachius (jaringo umpanik). Celah tuba eustachius akan tertutup jika dalam keadaan biasa, dan akan terbuka setiap kali kita menelan, dengan demikian tekanan udara dalam ruang tympani dipertahankan tetap seimbang dengan udara dalam atmosfer, sehingga cedera atau ketulian akibat tidak seimbangnya tekanan udara dapat dihindarkan. Adanya hubungan dengan nasofarinx

memungkinkan infeksi pada hidung atau tenggorokan dapat menjalar masuk ke dalam rongga telinga tengah (Gabriel, 1996).

Tulang-tulang pendengaran adalah tiga tulang kecil yang tersusun pada rongga telinga tengah seperti rantai yang tersambung dari membran tympani sampai rongga telinga bagian dalam. Tulang sebelah luar adalah malleus, berbentuk seperti martil dengan gagang yang terikat pada membran tympani, sementara kepalanya menjulur ke dalam ruang tympani. Tulang yang berada di tengah adalah incus dan pada bagian dalam ada sebuah tulang kecil yaitu stapes. Stapes berkaitan dengan

incus pada ujung yang lebih kecil, sementara dasarnya yang bulat panjang terikat pada membrane yang menutup fenestra vestibuli atau tingkap jorong. Rangkaian tulang-tulang ini berfungsi untuk mengalirkan getaran suara dari gendang telinga


(34)

menuju rongga telinga dalam, menghubungkan gendang telinga dengan tingkap jorong (Pearce, 2002).

2.3.1.3 Telinga Bagian Dalam

Rongga telinga dalam terdiri dari berbagai rongga yang menyerupai saluran-saluran dalam tulang temporalis. Rongga-rongga itu disebut labirin tulang, dan dilapisi membran yang membentuk labirin membranosa. Saluran-saluran bermembran ini mengandung cairan dan ujung-ujung akhir saraf pendengaran dan keseimbangan (Pearce, 2002).

Vestibula yang merupakan bagian tengah dan tempat bersambungnya bagian-bagian yang lain. Saluran setengah lingkaran bersambung dengan vestibula. Ada 3 jenis saluran, yaitu saluran superior, posterior, dan lateral. Saluran lateral letaknya horisontal, sementara ketiganya saling membuat sudut tegak lurus satu sama lain. Pada salah satu ujung setiap saluran terdapat penebalan yang disebut ampula . Bagian telinga dalam ini berfungsi untuk membantu serebelum dalam mengendalikan keseimbangan, serta kesadaran akan kedudukan kita. Kokhlea adalah sebuah tabung berbentuk spiral yang membelit dirinya laksana sebuah rumah siput. Belitan-belitan itu melingkari sebuah sumbu berbentuk kerucut yang memiliki bagian tengah dari tulang disebut modiulus. Dalam setiap belitan ini terdapat saluran membranosa yang mengandung ujung-ujung akhir saraf pendengaran. Cairan dalam labirin membranosa

disebut endolimfe, cairan di luar labirin membranosa dan di dalam labirin tulang tersebut disebut perilimfe (Pearce, 2002).


(35)

Ada 2 tingkap dalam ruang melingkar, yaitu ; (1) Tingkap jorong (fenestra vestibuli atau fenestra ovalis) ditutup oleh tulang stapes, (2) Tingkap bundar (fenestra cochlea atau fenestra rotunda) ditutup oleh membran. Kedua-duanya menghadap ke telinga dalam, adanya tingkap-tingkap ini dalam labirin tulang bertujuan agar dapat dialihkan dari rongga telinga tengah, guna dilangsungkan dalam perilimfe. Getaran dalam perilimfe dialihkan menuju endolimfe, dengan demikian merangsang ujung-ujung akhir saraf pendengaran (Pearce, 2002).

Nervus auditorius (saraf pendengaran) terdiri dari 2 bagian salah satu dari padanya pengumpulan sensibilitas dari bagian vestibuler rongga telinga dalam yang mempunyai bagian yang berada pada titik pertemuan antara pons dan medulla oblongata, lantas kemudian bergerak terus menuju serebelum. Bagian cochlearis

pada nervus auditorius adalah saraf pendengar yang sebenarnya. Serabut-serabut sarafnya mula-mula dipencarkan pada sebuah nukleus khusus yang berada tepat di belakang thalamus, kemudian dipancarkan lagi menuju pusat penerima akhir dalam korteks otak yang terletak pada bagian bawah lobustemporalis (Pearce, 2002).


(36)

2.3.2 Mekanisme Mendengar Bunyi

Gambar 2.2. Anatomi Penampang Telinga Tengah (Syaifuddin, 1996) Proses pendengaran ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara dimana kecepatan volumenya berbeda-beda. Gelombang suara bergerak melalui rongga telinga luar (auris eksterna) yang menyebabkan membran tympani bergetar. Getaran-getaran tersebut diteruskan menuju incus dan stapes

melalui malleus yang terkait pada membran itu. Karena getaran yang timbul dalam setiap tulang itu sendiri maka tulang akan memperbesar getaran yang kemudian disalurkan ke fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe dialihkan


(37)

melalui membran menuju endolimfe dalam saluran kokhleadan rangsangan mencapai ujung-ujung akhir syaraf dalam organ korti selanjutnya dihantarkan menuju otak oleh

nervus auditorius (Pearce, 2002).

Perasaan pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang enak atau tidak enak, hingar bingar atau musikal. Gelombang suara yang tidak teratur menghasilkan keributan atau kehingarbingaran, sementara gelombang suara berirama teratur menghasilkan bunyi musikal enak. Suara merambat dengan kecepatan 343 m/detik dalam udara tenang pada suhu 15,50 o

Menurut Budiono (2003) apabila telinga memperoleh rangsang suara, sesuai dengan besarnya rangsangan, maka akan terjadi proses:

C, (Suyono, 1995).

a. Adaptasi, yang berlangsung 0-3 menit, yakni berupa kenaikan ambang dengar sesaat. Jika rangsangan berhenti, ambang dengar akan kembali seperti semula. Pergeseran ambang dengar sementara (temporary threshold shift), sebagai kelanjutan proses adaptasi akibat rangsang suara yang lebih kuat dan dapat dibedakan dalam dua tahap yakni kelelahan (fatigue) dan tuli sementara terhadap rangsangan (temporary stimulation deafness). Kelelahan tersebut, akan pulih kembali secara lambat dan akan semakin bertambah lambat lagi jika tingkat kelelahan semakin tinggi. Sedang tuli sementara akibat rangsang suara terjadi akibat pengaruh mekanisme vibrasi pada kokhlea yang mengalami rangsang suara dengan intensitas tinggi dan berlangsung lama.

b. Pergeseran ambang dengar yang persisten (persistent treshold shift), yang masih ada setelah 40 jam rangsang suara berhenti.


(38)

c. Pergeseran ambang suara yang menetap (permanent threshold shift), meskipun rangsang suara sudah tidak ada. Pada keadaan ini sudah terjadi kelainan patologis yang permanen pada koklea, umumnya pada kasus trauma akustik dan akibat kebisingan di tempat kerja.

Getaran sumber bunyi dihantarkan melalui media udara menggetarkan gendang dan tulang-tulang kecil yang terletak dalam rongga telinga bagian tengah, yang kemudian menghantarkan getaran ke dalam suatu sistem cairan yang terletak dalam putaran rongga bangunan menyerupai rumah siput atau lebih dikenal sebagai kokhlea, yang terletak bersebelahan dengan alat keseimbangan di dalam tulang temporalis. Di dalam telinga bagian tengah juga terdapat sebuah otot terkecil dalam tubuh manusia, yaitu tensor timpani, yang bertugas membuat tegang rangkaian tulang pendengaran pada saat bunyi yang mencapai sistem pendengaran kita berkekuatan lebih dari 70 dB, untuk meredam getaran yang mencapai sel-sel rambut reseptor pendengaran manusia. Namun, jika otot ini yang bekerja terus menerus juga tak mampu bertahan pada keadaan bising yang terlalu kuat dan kontinu, dan terjadilah stimulasi berlebih yang merusak fungsi sel-sel rambut. Kerusakan sel rambut dapat bersifat sementara saja pada awalnya sehingga dapat terjadi ketulian sementara. Akan tetapi, kemudian bila terjadi rangsangan terus menerus, terjadi kerusakan permanen, sel rambut berkurang sampai menghilang dan terjadi ketulian menetap (Pearce, 2002).

Ketulian akan terjadi pada kedua telinga secara simetris dengan mengenai nada tinggi terlebih dahulu, terutama dalam frekuensi 3000 sampai 6000 Hz.Sering


(39)

kali juga terjadi penurunan tajam hanya pada frekuensi 4000 Hz, yang sangat khas untuk gangguan pendengaran akibat bising. Karena yang terkena adalah nada yang lebih tinggi dari nada percakapan manusia, sering kali pada awalnya sama sekali tidak dirasakan oleh penderitanya karena belum begitu jelas gangguan pada saat berkomunikasi dengan sesama, (Suyono, 1995).

2.4. Gangguan Akibat Kebisingan

Di tempat kerja tingkat kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin dapat merusak pendengaran dan dapat pula menimbulkan gangguan kesehatan. Gangguan yang ditimbulkan akibat kebisingan pada tenaga kerja bermacam-macam, mulai dari gangguan fisiologis dan gangguan psikologis sampai gangguan permanen sampai kehilangan pendengaran (Siswanto, 1990). Pengaruh-pengaruh negatif demikian adalah sebagai berikut.

2.4.1. Gangguan Auditorial

Dampak auditorial cukup banyak jenisnya dengan tingkat keparahan yang beragam, mulai bersifat sementara dan dapat disembuhkan atau sembuh dengan sendirinya (temporary threshold shift atau TTS) hingga permanen (permanent threshold shift atau PTS). Manusia yang mengalami gangguan pendengaran (hearing loss) umumnya mengalami kesulitan ringan sampai berat untuk membedakan kata-kata yang memiliki kemiripan dan atau mengandung konsonan-konsonan pada rentang frekuensi agak tinggi, seperti konsonan S, F, SH, CH, H dan C lembut. Gangguan auditorial merupakan faktor yang diduga lebih peka terhadap penurunan


(40)

ketajaman pendengaran akibat paparan bising (Suyono, 1995). Gangguan auditorial

dapat diklasifikasikan berdasarkan letak atau posisi gangguan pendengaran pada sistem pendengaran manusia. Dikenal tiga jenis gangguan (hearing loss), yaitu:

2.4.1.1. Sensorineural Hearing Loss

Sesuai dengan namanya, Sensorineural hearing loss diklasifikasikan sebagai masalah pada sistem sensor dan bukan masalah mekanis. Berbeda dengan conductive hearing loss disebabkan oleh ketidakberesan pada bagian luar dan tengah telinga,

sensorineural Hearing Loss disebabkan oleh ketidakberesan pada bagian dalam telinga, khususnya kokhlea(Rambe, 2003).

Gangguan telinga dalam dapat menyebabkan tuli saraf, yang mana kelainan terdapat pada kokhlea, nervus VIII atau di pusat pendengaran. Tuli sensorineural

dapat timbul sejak lahir sampai lanjut usia dan dapat mengenai satu telinga saja (unilateral) atau kedua telinga (bilateral) (Corwin, 2000).

Ketulian sensorineural ini biasanya tidak dapat pulih kembali (irreversibel)

dan tidak dapat dikoreksi, sehingga dengan pendengaran tidak dapat mengerti akan kata-kata seratus persen. Karenanya penderita tuli sensori neural harus dilatih untuk membaca suara atau gerakan bibir (Rambe, 2003).

Umumnya tidak ada perawatan khusus untuk mengobati tuli sesnsorineural, tetapi dapat dilakukan upaya pencegahan dan penggunaan alat-alat bantu bila diperlukan (Bashiruddin, 2008). Ada berbagai penyebab tuli sensorineural, dan beberapa diantaranya yang sering ditemukan adalah tuli turunan, tuli rubella (campak Jerman), tuli pada kelahiran prematur dan tuli karena usia lanjut (Bashiruddin, 2008).


(41)

2.4.1.2 Conductive Hearing Loss

Jenis gangguan ini diklasifikasikan sebagai masalah mekanis (mechanical hearing loss) karena menyerang bagian luar dan tengah telinga pekerja, tepatnya selaput gendang telinga dan ketiga tulang utama (malleolus, incus, stapes) menjadi sulit atau tidak bisa bergetar. Akibatnya, pekerja menjadi agak sulit mendengar (Rambe, 2003).

Gangguan telinga luar dan tengah dapat menyebabkan tuli konduktif, yang mana terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan oleh kelainan atau penyakit telinga luar atau telinga tengah (Suyono, 1995). Pada tuli konduktif tantangannya adalah mencari perawatan medis atau operasi untuk memperbaiki atau sekurang-kurangnya mempertajam pendengaran. Alasan hal ini adalah bahwa pada tuli konduktif, saraf pendengarantetap normal, dan bila cacat pada mekanisme konduktif dapat diperbaiki, maka pendengaran akan kembali normal (Bashiruddin, 2008). Penyebab tuli konduktif yang paling sering adalah tuli konduktif congenital, otitis media, perforasi akibat traumatik pada gendang telinga, perforasi akibat infeksi di gendang telinga, dan osteosklerosis (Rambe, 2003).

Penyumbatan benda asing pada liang telinga dapat memengaruhi terjadinya tuli konduktif. Penyumbatan sebagian tidak akan mengurangi pendengaran asal gelombang suara masih dapat menyentuh gendang telinga. Benda asing ini dapat berupa benda padat dengan macam-macam konsistensi maupun benda cair, dan yang sering dijumpai adalah serumen (kotoran telinga). Serumen tersebut dapat keras sekali seperti batu atau lunak dengan berbagai konsistensi sampai cair, yang dapat


(42)

menyumbat liang telinga, sehingga menghalangi gelombang suara untuk dapat menyentuh membran timpani. Serumen dapat berwarna hitam, coklat, kuning sampai putih. Keberadaan serumen dapat memengaruhi hasil pemeriksaan fungsi pendengaran pada penderita tuli konduktif. Sedangkan bagi penderita tuli saraf, banyaknya serumen tidak begitu memengaruhi hasil pemeriksaan fungsi pendengaran, (Soepardjo dan Soetomo, 1985).

2.4.1.3. Mixed Hearing Loss

Mixed hearing loss adalah apabila kedua threshold konduksi menunjukkan adanya kehilangan atau gangguan pendengaran, namun porsi kehilangan lebih besar pada konduksi udara (Rambe, 2003).

2.4.2. Gangguan Nonauditorial

Selain menimbulkan dampak negatif (permanen atau sementara) terhadap sistem pendengaran, kebisingan juga dapat menyebabkan gangguan fisiologis (gangguan terhadap sistim jantung dan peredaran darah), gangguan psikologis (kejengkelan, kecemasan dan ketakutan), gangguan komunikasi, dan gangguan tidur.

2.5. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tuli Akibat Bising

Menurut Suma’mur (1996), tidak semua kebisingan dapat mengganggu para pekerja, hal tersebut tergantung dari beberapa faktor, diantaranya:

a. Intensitas

Intensitas kebisingan adalah besarnya tekanan (energi) yang dipancarkan oleh suatu sumber bunyi yang diukur dengan menggunakan peralatan logging noise


(43)

analyzer dengan satuan dB (decibel). Nada 1000 Hz dengan intensitas 85dB, jika diperdengarkan selama 4 jam tidak akan membahayakan. Intensitas menentukan

derajat kebisingan. b. Frekuensi bising

Frekuensi bising adalah jumlah gelombang yang merambat per satuan waktu, dan dinyatakan dalam getaran per detik (cps = cycle per second) atau dalam Hertz (Hz). Besarnya frekuensi akan menentukan nada suara. Bising dengan frekuensi tinggi lebih berbahaya dibandingkan bising dengan frekuensi rendah.

c. Lamanya pajanan

Menurut Budiono (2003), lama kerja adalah sebagai durasi waktu pekerja terpapar risiko faktor fisika atau faktor kimia dalam melakukan pekerjaannya (time exposure) setiap harinya yang dinyatakan dalam satuan jam.

d. Masa Kerja

Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di suatu tempat (Tulus, 1992). Menurut Suma’mur (1994) semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.

e. Umur

Sensitivitas pendengaran seseorang akan turun mulai usia 40 tahun. Seiring dengan bertambahnya usia maka degenerasi organ pendengaran dapat terjadi dan fungsinya juga mengalami penurunan. Dengan adanya kebisingan, seseorang


(44)

akan lebih cepat mengalami degradasi pada indera pendengarannya (Bashiruddin, 2008).

f. Keadaan kesehatan

Keadaan telinga menyebabkan pengaruh pendengaran yang berbeda. Pekerja yang memiliki riwayat penyakit tuli konduktif yaitu mengalami gangguan telinga luar atau telinga tengah yang mengakibatkan pekerja menjadi agak sulit mendengar. Penyebab tuli konduktif yang paling sering adalah tuli konduktif

congenital, otitis media, perforasi akibat traumatik pada gendang telinga,

perforasi akibat infeksi di gendang telinga, dan osteosklerosis (Rambe, 2003). g. Alat pelindung telinga

Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka yang dalam kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah utama kerusakan akibat kebisingan pada manusia adalah pendengaran (telinga bagian dalam), maka metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam (Sasongko, 2000)

2.6. Nilai Ambang Batas Kebisingan

Nilai ambang batas (NAB) kebisingan di tempat kerja adalah intensitas suara tertinggi yang merupakan nilai rata-rata, yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang menetap untuk waktu kerja terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (Suma’mur, 1996).


(45)

Tabel 2.1. Nilai Ambang Batas Kebisingan

Waktu pemajanan per hari Intensitas Kebisingan dalam dBA

8

Jam

85

4 88

2 91

1 94

30

Menit

97

15 100

7,5 103

3,75 106

1,88 109

0,94 112

28,12

Detik

115

14,06 118

7,03 121

3,52 124

1,76 127

0,88 130

0,44 133

0,22 136

0,11 139

Sumber : Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51/ MEN/ 1999 tentang NAB Fisika di Tempat Kerja

Manajemen perusahaan perlu mengusahakan agar kebisingan di tempat kerja lebih rendah dari NAB melalui tindakan teknis, dan apabila tidak mungkin dilakukan, pemakaian alat pelindung diri yang memenuhi syarat harus diadakan (Suma’mur, 1996).

2.7. Landasan Teori

Telinga manusia terus menerus bekerja sebagai pintu masuk komunikasi dan informasi melalui proses transformasi yang rumit dan kompleks untuk menginterpretasikan getaran suara dan bunyi lingkungan (Pearce, 2002). Kebisingan


(46)

didefinisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki. Intensitas bising yang tinggi akan dapat mengganggu kesehatan khususnya gangguan organ telinga berupa penurunan daya dengar atau sering disebut sebagai ketulian. Ketulian dapat bersifat permanen maupun sementara (Azwar, 1990). Kebisingan merupakan bunyi yang tidak dikehendaki sehingga dapat menimbulkan gangguan konsentrasi, komunikasi, kenikmatan kerja dan ketulian menetap (Siswanto, 1990).

Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan di tempat kerja adalah intensitas suara tertinggi yang merupakan nilai rata-rata, yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang menetap untuk waktu kerja terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (Suma’mur, 1996). NAB kebisingan adalah 85 db (A) (Keputusan Menteri Tenaga Kerja no 51/ MEN/ 1999).

Faktor-faktor yang dapat memengaruhi ketulian adalah intensitas bising, frekuensi kebisingan, lama paparan, masa kerja, umur dan alat pelindung diri (Suma’mur, 1996). Penelitian Suyanto (2006) menunjukkan bahwa intensitas bising, frekuensi bising, masa kerja, dan umur memiliki pengaruh terhadap terjadinya penurunan daya dengar.


(47)

2.8. Kerangka Konsep Penelitian

Terpajan kebisingan (intensitas bising, frekwensi kebisingan, masa kerja, alat pelindung diri dan umur) memengaruhi daya dengar pada pekerja di PT. Atmindo

Variabel independen Variabel dependen

Terpajan kebisingan

Daya dengar

Gambar 2.3. Kerangka konsep penelitian - Intensitas Bising

- Frekwensi kebisingan - Masa kerja

- Alat pelindung diri - Umur


(48)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan pendekatan cross sectional.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di PT. Atmindo yang berlokasi Jalan K.L. Yos Sudarso, Nomor 100, Glugur Kota. Ada 7 lokasi bagian proses di pabrik boiler tersebut yang memiliki nilai ambang batas kebisingan diatas 85 dB, berkisar diantara 86-90 dB yaitu bagian membrane, drum boiler, rool, press, bubut, pipa, maintenance.

Waktu pelaksanaan penelitian berlangsung selama 12 bulan, yaitu Januari 2010 – Januari 2011.

3. 3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh tenaga kerja di bagian proses yang berumur dibawah 40 tahun dan berjumlah 35 orang. Alasan pembatasan umur tersebut adalah untuk menghindarkan presbiakusis yang dapat menyebakan bias hasil. Presbiakusis adalah kehilangan daya dengar secara gradual yang terjadi pada usia lanjut. Presbyacusis diasumsikan menyebabkan kenaikan ambang dengar 0,5 dB tiap tahun dan dimulai dari usia 40 tahun ( Dewan K3).


(49)

3. 3.2. Sampel penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi yang berjumlah 35 orang.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini di peroleh dengan cara sebagai berikut:

a. Pengukuran frekuensi dan intensitas kebisingan di tempat kerja dengan menggunakan Sound Level Meter.

b. Pengukuran ambang pendengaran tenaga kerja dengan menggunakan

audiometer.

c. Pengukuran faktor kebisingan (masa kerja, alat pelindung diri dan umur) dengan menggunakan kuesioner. Peneliti melakukan wawancara langsung pada responden dengan berpedoman pada kuesioner.

Data sekunder dalam penelitian ini berupa daftar nama pekerja, masa kerja dan data-data lain yang diperlukan untuk menunjang penelitian.

3. 5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel

Variabel merupakan objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2002). Menurut Sugiyono (2004), variabel bebas atau variabel independen adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel dependen (terikat). Jadi variabel independen adalah variabel yang


(50)

memengaruhi. Variabel terikat (dependen) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.

Dalam penelitian ini:

a. Variabel bebas yaitu faktor risiko kebisingan yang meliputi intensitas bising, frekwensi kebisingan, masa kerja, alat pelindung diri dan usia.

b. Variabel terikat yaitu daya dengar.

Tabel 3.1 Variabel Terikat dan Variabel Bebas Faktor Risiko Kebisingan (X) Daya Dengar (Y)

Intensitas bising (X1) X1Y

Frekwensi kebisingan (X2) X2

Masa kerja (X

Y

3) X3

Alat Pelindung Diri (X

Y

4) X4

Umur (X

Y

5) X5Y

3.5.2. Definisi Operasional a. Daya dengar

Yaitu kemampuan mendengar seseorang dari nilai normal (ambang dengar) melalui pengukuran audiometer, dinyatakan dalam bentuk skala pengukuran rasio:

0 = normal; apabila hasil pemeriksaan audiometrik dibawah atau sama dengan 25 dB pada salah satu telinga atau kedua telinga

1 = Tuli ringan; apabila hasil pemeriksaan audiometrik antara 25,1 dB - 40 dB pada salah satu telinga atau kedua telinga


(51)

2 = Tuli sedang; apabila hasil pemeriksaan audiometrik antara 40,1 dB - 60 dB pada salah satu telinga atau kedua telinga

3 = Tuli berat; apabila hasil pemeriksaan audiometrik antara 60,1 dB - 90 dB pada salah satu telinga atau kedua telinga

b. Intensitas Bising

Yaitu besarnya tekanan (energi) yang dipancarkan oleh suatu sumber bunyi yang diukur dengan menggunakan peralatan Sound Level Meter dengan satuan dB (decibel), dinyatakan dalam bentuk skala pengukuran rasio:

1 = intensitas kebisingan lingkungan kerja 86 dB 2 = intensitas kebisingan lingkungan kerja 87 dB 3 = intensitas kebisingan lingkungan kerja 88 dB 4 = intensitas kebisingan lingkungan kerja 90 dB c. Frekuensi Kebisingan

Yaitu jumlah gelombang yang merambat per satuan waktu, dan dinyatakan dalam getaran per detik (cps = cycle per second) atau dalam Hertz (Hz), dinyatakan dalam bentuk skala pengukuran rasio :

1 = rendah, jika frekuensi kebisingan lingkungan kerja sebesar 1000 Hz 2 = sedang, jika frekuensi kebisingan lingkungan kerja sebesar 2000 Hz 3 = tinggi, jika frekuensi kebisingan lingkungan kerja sebesar 4000 Hz 4 = sangat tinggi, jika frekuensi kebisingan lingkungan kerja sebesar 6000 Hz


(52)

d. Masa Kerja

Yaitu masa dimulainya seseorang bekerja di perusahaan sampai dilakukannya penelitian, dinyatakan dalam bentuk skala pengukuran ordinal :

0 = 5 – 9 tahun, jika tenaga kerja mempunyai masa kerja antara 5 - 9 tahun 1 = 10 - 14 tahun, jika tenaga kerja mempunyai masa kerja antara 11 – 14 tahun 2 = 15 – 19 tahun, jika tenaga kerja mempunyai masa kerja antara 15 – 19 tahun e. Usia

Yaitu usia tenaga kerja sejak lahir sampai dilakukannya penelitian (sekarang), dinyatakan dalam bentuk skala pengukuran ordinal :

0 = 20 - 29 tahun, jika tenaga kerja mempunyai umur antara 20 - 29 tahun 1 = 30 – 39 tahun, jika tenaga kerja mempunyai umur antara 30 - 39 tahun f. Penggunaan APD

Yaitu pemakaian alat pelindung diri, dinyatakan dalam bentuk skala pengukuran nominal:

0 = Memakai APD, jika tenaga kerja memakai ear plug atau ear muff selama bekerja atau selama berada di lingkungan kerja

1 = Tidak memakai APD, jika tenaga kerja tidak memakai ear plug atau ear muff

selama bekerja atau selama berada di lingkungan kerja.

3.6. Metode Pengukuran

Pengukuran variabel dalam penelitian ini dengan menggunakan kuesioner,


(53)

1. Kuesioner

Pengukuran faktor risiko kebisingan( masa kerja, alat pelindung diri dan umur) menggunakan alat ukur kuesioner.

2. Sound Level Meter

Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas dan frekuensi kebisingan (faktor risiko kebisingan) adalah sound level meter. Alat ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekuensi antara 20 – 20. 000 Hz (A. M. Sugeng Budiono, dkk, 2003). Dalam penelitian ini, pengukuran kebisingan dilakukan pada bagian

membrane, drum boiler, rool, press, bubut, pipa, maintenance.

Prosedur pengoperasian:

1. Chek Batterey.

2. Kalibrasi dengan kalibrator dan apabila ada penyimpangan stel tombol kalibrasi dan sesuaikan dengan angka pada kalibrator yang ada sehingga pada pengukuran akan diperoleh ketelitian yang maksimal.


(54)

3. Geser A/C weightingselector ke posisi “A” atau “C” untuk menentukan tingkat bunyi yang diukur.

4. Menentukan range (rentang) pengukuran dengan memilih range selector hingga ke toleransi angka tampilan minimum. Bila pada sudut kiri display menunjukan “?” ini berarti tempat pilihan rentang terlalu tinggi atau rendah.

5. Pegang alat pada tangan dan arahkan microphone pada sumber bising yang diukur, tingkat intensitas dan frekuensi bunyi akan ditampilkan pada display

dalam satuan decibel (dB) untuk intensitas dan hertz (Hz) untuk frekuensi.

Letakkan alatnya setinggi telinga pekerja yang diperiksa. Tekan on setelah angkanya di display mencapai maksimal lalu tekan enter untuk menghentikan gerakan angkanya.

3. Audiometer

Alat yang digunakan untuk mengukur daya dengar adalah audiometer. Hasil pemeriksaan audiometer berupa gambar disebut audiogram (Budiono, dkk, 1991).

Persyaratan penunjang pemeriksaan pendengaran agar mendapatkan hasil yang benar-benar menggambarkan keadaan ambang pendengaran sebenarnya adalah (1) Pemeriksaan harus dilakukan dalam ruang kedap suara, (2) Alat

audiometer yang digunakan terjamin reliabilitas pengukurannya, (3) Sebelum dilakukan pemeriksaan, pekerja dihindarkan dari kebisingan selama 8-12 jam (Darmanto, 1999).


(55)

Prosedur pengoperasian Screening Audiometer Model QH 10 :

a. Subjek memakai earphone, yang merah menutupi telinga kanan dan biru menutupi telinga kiri, yakinkan bahwa earphone berada tepat pada tempatnya.

b. Bila salah satu telinga diketahui lebih bagus, mulailah pemeriksaan telinga tersebut, jika tidak ada perbedaan diantara kedua telinga, mulailah dengan telinga kanan dan mulai tombol 1000Hz.

c. Tekan tombol bunyi dan tahan, naikan level intensitas bunyi hingga subjek memberi respon kemudian tombol bunyi dilepas.

- Kurangi level intensitas bunyi 10 dB dan timbulkan bunyi sekitar 1 detik. - Jika subjek memberi respon kurangi level bunyi berikutnya dengan 10

dB. Ulangi prosedur ini hingga subjek gagal memberikan respon. Gambar 3.2 Audiometer


(56)

d. Saat subjek gagal memberi respon naikkan level intensitas bunyi sebesar 5 dB dan test lagi dengan 3 kali semburan bunyi. Jika respon subjek hanya 1 dari 3 kali semburan bunyi, naikkan level bunyi sebanyak 5 dB dan ulangi.

e. Jika subjek gagal memberi respon 2 dari 3 kali semburan bunyi, turunkan

level bunyi dengan 5 dB dan kembali timbulkan 3 kali semburan bunyi. Level

terendah adalah dimana subjek memberikan respon 2 dari 3 kali semburan bunyi yang diberikan, diambil sebagai batas terendah level pendengaran. f. Test frekuensi diatas 1000Hz dengan cara yang sama kemudian test kembali

1000Hz untuk menjamin kemampuan pengulangan dari alat. Jika hasil yang didapat tidak sesuai, ulangi test hingga hasilnya sama. Akhirnya lakukan test pada frekuensi 500 Hz.

3.6.1. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Wawancara dengan Manager HRD PT. Atmindo untuk penyaringan sampel b. Pada tanggal 15 Juli 2010 dilakukan wawancara terhadap 35 sampel yang

memenuhi kriteria penelitian dengan merujuk pada kuesioner. Pengukuran intensitas kebisingan dan frekuensi kebisingan dengan mengambil 1 sampel di setiap work station.

c. Pengukuran ambang pendengaran sampel dilakukan dalam dua tahap yaitu pada tanggal 16 Juli 2010 jam 07.00 – 09.30 WIB bagi pekerja shift I yang (16 sampel) dan tanggal 17 Juli 2010 jam 07.00 – 10.00 WIB bagi pekerja shift II


(57)

(19 sampel). Pengkuran dilakukan 1 hari setelah off dari shift malam sehingga pada saat pengukuran dilakukan sampel sudah terbebas dari paparan bising selama 24 jam agar didapatkan gambaran audiogram yang dapat dipercaya. Jarak lokasi pengukuran dari lingkungan kerja yang terpajan bising adalah 20 meter. Pengukuran intensitas kebisingan dan ambang pendengaran dilaksanakan oleh tenaga teknis dari Balai K3 Medan.

3.7. Metode Analisis Data 1. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan 3 tahapan analisis yaitu analisis univariat, bivariat, dan multivariat.

a. Analisis Univariat

Analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase masing-masing kelompok dalam skala nominal dan ordinal disertai dengan narasi.

b. Analisis Bivariat

Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat adalah uji statistik chi square (χ2). Apabila dalam penelitian ini menunjukkan ada hubungan, maka untuk mencari pengaruh dapat diteruskan, apabila menunjukkan tidak ada hubungan, maka analisis pengaruh tidak dapat diteruskan.


(58)

c. Analisis Multivariat

Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh antar dua variabel atau lebih, yaitu variabel bebas dan variabel luar secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Uji statistik yang akan digunakan adalah regresi linear ganda dengan model :

Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + b5 X5 + e Keterangan :

Y = Daya dengar a = Konstanta X1

X

= intensitas bising 2

X

= frekuensi kebisingan 3

X

= masa kerja 4

X

= penggunaan APD 5

e = error (galat) = umur


(59)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT. Atmindo Medan, dengan pertimbangan ada 7 lokasi bagian proses produksi di pabrik tersebut yang memiliki nilai ambang batas kebisingan diatas 85 dB, berkisar diantara 86-90 dB yaitu bagian membrane, drum boiler, rool, press, bubut, pipa, maintenance.

PT. Atmindo adalah sebuah perusahaan swasta PMA (Penanaman Modal Asing) yang memproduksi boiler. Pabrik ini memiliki 58 karyawan terpapar bising, dan berproduksi selama 24 jam yang menerapkan sistem shift. Pekerja dikelompokkan dalam 2 shift yaitu shift pagi, dimulai dari jam 08.00 – 20.00 WIB dan shift malam, dimulai dari jam 20.00 – 08.00 WIB. Total jam istirahat pada setiap

shift adalah 90 menit, yaitu jam 12.00-13.00 WIB dan jam 17.00-17.30 WIB untuk

shift pagi dan jam 24.00-01.00 WIB dan 05.00-05.30 WIB untuk shift malam.

PT. Atmindo sudah menerapkan program K3, diantaranya adalah pelatihan P3K setiap tahun, pelatihan petugas penanggulangan kebakaran setiap tahun, pemasangan rambu-rambu K3, dan penyediaan APD.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa jumlah sampel adalah 35 pekerja dengan masa kerja yang berkisar diantara 5 – 19 tahun. Hasil wawancara dengan pihak personalia menunjukkan bahwa dalam proses rekrutmen pekerja selalu


(60)

dilakukan tes pemeriksaan kesehatan dan hanya calon pekerja yang memiliki telinga normal yang lulus tes.

4.2. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel independen terhadap variabel dependen yaitu pengukuran terpajan kebisingan terhadap daya dengar.

4.2.1. Variabel Independen: Terpajan Kebisingan

Terpajan kebisingan dalam penelitian ini meliputi intensitas bising, frekwensi kebisingan, masa kerja, APD, dan umur. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Terpajan Kebisingan pada Pekerja PT. Atmindo

Medan Tahun 2010

No Terpajan Kebisingan Jumlah (n) Persentase (%) 1 Intensitas Bising

a. 86 dB b. 87 dB c. 88 dB d. 90 dB

8 13 3 11 22,9 37,1 8,6 31,4

Total 35 100,0

2 Frekuensi Kebisingan a. Rendah (1000 Hz) b. Sedang (2000 Hz) c. Tingi (4000 Hz)

d. Sangat Tinggi (6000 Hz)

8 13 3 11 22,9 37,1 8,6 31,4

Total 35 100,0

3 Masa Kerja a. 5-9 Tahun b. 10-14 Tahun c. 15-19 Tahun

14 20 1 40,0 57,1 2,9


(61)

Tabel 4.1. (Lanjutan) 4 Alat Pelindung Diri

a. Memakai APD b. Tidak Memakai APD

4 31

11,4 88,6

Total 35 100,0

5 Umur

a. 20-29 Tahun b. 30-39 Tahun

4 31

11,4 88,6

Total 35 100,0

Berdasarkan Tabel 4.1. diatas diketahui bahwa mayoritas pekerja bekerja di lingkungan kerja dengan intensitas bising 87 dB sebanyak 13 pekerja (37,1%) dan yang bekerja pada frekuensi kebisingan 2000 Hz sebanyak 13 pekerja (37,1%).

Berdasarkan masa kerja, mayoritas pekerja mempunyai masa kerja 10-14 tahun sebanyak 20 pekerja (57,1%), dengan mayoritas pekerja tidak menggunakan APD ketika sedang bekerja sebanyak 31 pekerja (88,6%), dan mayoritas umur pekerja berkisar pada 30-39 tahun sebanyak 31 pekerja (88,6%)

4.2.2. Variabel Dependen: Daya Dengar Pekerja

Hasil penelitian daya dengar pekerja dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Daya Dengar Pekerja PT. Atmindo Medan Tahun 2010

No Daya Dengar Jumlah (n) Persentase (%) 1 Daya Dengar Telinga Kiri

a. Normal b. Tuli Ringan c. Tuli Sedang

2 27 6 5,7 77,1 17,1


(62)

Tabel 4.2. (lanjutan) 2 Daya Dengar Telinga Kanan

a. Normal b. Tuli Ringan c. Tuli Sedang

3 20 12

8,6 57,1 34,3

Total 35 100,0

Tabel 4.2. diatas menunjukan mayoritas pekerja mengalami penurunan daya dengar telinga kiri dengan kategori tuli ringan sebanyak 27 pekerja (77,1%) dan jumlah pekerja yang mengalami penurunan daya dengar telinga kanan dengan kategori tuli ringan sebanyak 20 (57,1%) pekerja.

4.3. Analisis Bivariat

Analisis Bivariat bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang bermakna antara variabel independen dengan variabel dependen di PT. Atmindo Medan Tahun 2010. Pengujian analisis Bivariat dilakukan dengan menggunakan uji

Crosstabs (tabulasi silang) untuk menunjukan suatu distribusi bersama dan uji Chi Square. Analisis ini dikatakan bermakna (signifikan) apabila hasil analisis menunjukkan nilai P value < 0,05.


(63)

Tabel 4.3. Tabulasi Silang Terpajan Kebisingan Terhadap Daya Dengar Telinga Kiri pada Pekerja PT. Atmindo Medan Tahun 2010

Variabel Independen

Variabel Dependen

Total

P Daya Dengar Telinga Kiri

Normal Tuli Ringan Tuli Sedang

N % N % N % N %

Umur Responden 0.041

20-29 Tahun 0 0 4 100 0 0 4 11,4

30-39 Tahun 2 6,5 23 74,2 6 19,4 31 88,6

Total 2 5,7 27 77,2 6 17,1 35 100

Masa Kerja 0,037

5-9 Tahun 2 14,3 10 71,4 2 14,3 14 40

10-14 Tahun 0 0 16 80,0 4 20,0 20 57,1

15-19 Tahun 0 0 1 100 0 0 1 2,9

Total 2 5,7 27 77,2 6 17,1 35 100

Alat Pelindung Diri 0,020

Menggunakan APD 1 25,0 3 75,0 0 0 4 11,4

Tidak Menggunakan APD 1 3,2 24 77,4 6 19,4 31 88,6

Total 2 5,7 27 77,1 6 17,1 35 100

Intensitas Kebisingan 0,017

86 dB 1 12,5 6 75 1 12,5 8 22,9

87 dB 1 7,7 9 69,2 3 23,1 13 37,1

88 dB 0 0 3 100 0 0 3 8,6

90 dB 0 0 9 81,8 2 18,2 11 31,4

Total 2 5,8 27 77,1 6 17,1 35 100

Frekuensi Bising 0,017

Rendah 1 12,5 6 75 1 12,5 8 22,9

Sedang 1 7,7 9 69,2 3 23,1 13 37,1

Tinggi 0 0 3 100 0 0 3 8,6

Sangat Tinggi 0 0 9 81,8 2 18,2 11 31,4

Total 2 5,7 27 77,1 6 17,1 35 100

Tabulasi silang antara umur responden dan daya dengar telinga kiri menunjukan bahwa: (1) sebanyak 23 (74,2 %) pekerja yang berusia antara 30-39 tahun menderita tuli ringan, (2) sebanyak 16 (80%) pekerja yang memiliki masa kerja berkisar antara 10-14 tahun menderita tuli ringan, (3) sebanyak 24 (77,4%) pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung telinga menderita tuli ringan, (4) sebanyak 9 (69,2 %) pekerja yang bekerja di lingkungan kerja dengan intensitas bising 87 dB dan sebanyak 9 (81,8%) pekerja yang bekerja di lingkungan kerja dengan intensitas bising 90 dB menderita tuli ringan,


(64)

(5) sebanyak 9 (81,8%) pekerja yang bekerja dilingkungan kerja dengan frekuensi bising kategori sangat tinggi menderita tuli ringan.

Tabel 4.3 juga menunjukan bahwa variabel umur responden memperoleh nilai

Pvalue = 0,041, variabel masa kerja memperoleh nilai Pvalue = 0,037, variabel alat

pelindung diri memperoleh nilai Pvalue = 0,020, variabel intensitas bising memperoleh nilai Pvalue = 0,017, variabel frekuensi bising memperoleh nilai Pvalue = 0,017. Hal ini menunjukan secara statistik bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara variabel terpajan bising ( umur, masa kerja, alat pelindung diri, intesitas bising, dan frekuensi bising ) terhadap penurunan daya dengar telinga kiri (Pvalue

Tabel 4.4. Tabulasi Silang Terpajan Kebisingan Terhadap Daya Dengar Telinga Kanan pada Pekerja PT. Atmindo Medan Tahun 2010.

< 0,05).

Variabel Independen

Variabel Dependen

Total

P Daya Dengar Telinga Kanan

Normal Tuli Ringan Tuli Sedang

N % N % N % N %

Umur Responden 0,005

20-29 Tahun 2 50 2 50 0 0 4 11,4 30-39 Tahun 1 3,2 18 58,1 12 38,7 31 88,6

Total 3 8,6 20 57,1 12 34,3 35 100

Masa Kerja 0,043

5-9 Tahun 3 21,4 8 57,1 3 21,4 22 40 10-14 Tahun 0 0 11 55 9 45 12 57,1 15-19 Tahun 0 0 1 100 0 0 1 2,9

Total 3 8,6 20 57,1 12 34,3 35 100

Alat Pelindung Diri 0,001

Menggunakan APD 3 75 1 25 0 0 4 11,4 Tidak Menggunakan APD 0 0 19 61,3 12 38,7 31 88,6

Total 3 8,6 20 57,1 12 34,3 35 100

Intensitas Kebisingan 0,011

0.011 86 dB 2 25,0 4 50,0 2 25 8 22,9

87 dB 0 0 9 69,2 4 30,8 13 37,1

88 dB 0 0 2 66,7 1 33,3 3 8,6

90 dB 1 9,0 5 45,5 5 45,5 11 31,4

Total 3 8,6 20 57,1 12 34,3 35 100

Frekuensi Bising

Rendah 2 25,0 4 50,0 2 25 8 22,9

Sedang 0 0 9 69,2 4 30,8 13 37,1

Tinggi 0 0 2 66,7 1 33,3 3 8,6

Sangat Tinggi 1 9,0 5 45,5 5 45,5 11 31,4


(65)

Tabulasi silang antara umur responden dan daya dengar telinga kanan menunjukan bahwa: (1) sebanyak 18 (58,1 %) pekerja yang berusia antara 30-39 tahun menderita tuli ringan, (2) sebanyak 11 (55%) pekerja yang memiliki masa kerja berkisar antara 10-14 tahun menderita tuli ringan, (3) sebanyak 19 (61,3) pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung telinga menderita tuli ringan, (4) sebanyak 9 (69,2 %) pekerja yang bekerja di lingkungan kerja dengan intensitas bising 87 dB menderita tuli ringan, (5) sebanyak 9 (69,2%) pekerja yang bekerja di lingkungan kerja dengan frekuensi bising kategori sedang menderita tuli ringan,.

Tabel 4.4 juga menunjukan bahwa variabel umur responden memperoleh nilai Pvalue = 0,005, variabel masa kerja memperoleh nilai Pvalue = 0,043, variabel alat pelindung diri memperoleh nilai Pvalue = 0,001, variabel intensitas bising memperoleh nilai Pvalue = 0,011, variabel frekuensi bising memperoleh nilai Pvalue = 0,011. Hal ini menunjukan secara statistik bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara variabel terpajan bising ( umur, masa kerja, alat pelindung diri, intesitas bising, dan frekuensi bising ) terhadap penurunan daya dengar telinga kanan (Pvalue < 0,05).

4.4. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen (terpajan kebisingan) terhadap varibel dependen ( daya dengar). Dalam uji ini, semua variabel yang berhubungan (signifikan) pada uji bivariat α = 95% (0,05) akan dimasukan secara bersama-sama kedalam uji multivariat. Uji yang digunakan dalam analisis multivariat ini adalah uji regresi linear ganda.


(66)

Alasan pemilihan uji regresi linear ganda, disebabkan variabel independennya kategorik dan numerik sedangkan variabel dependennya numerik. Tabel 4.5 dan Tabel 4.6 berikut ini merupakan hasil uji regresi linier ganda.

Tabel. 4.5. Hasil Uji Regresi Variabel Terpajan Bising terhadap Daya Dengar Telinga Kiri

Variabel Bebas Koefisien B Beta Koefisien Determinasi

R Tingkat Signifikasi

Kostanta 1,883

0,605 0,753 0,022

Umur 0,140 0,096

Masa Kerja 0,051 0,059

Intensitas Bising 0,068 0,232

APD 0,287 0,426

Frekuensi Bising 0,117 0,243

Angka koefisien determinasi (R Square) dari hasil uji regresi pada kotak model summary menunjukan nilai sebesar 0,605 (60,5%), artinya bahwa model regresi yang diperoleh menunjukkan variabel terpajan bising hanya dapat menjelaskan variasi variabel penurunan daya dengar telinga kiri sebesar 60,5% . Atau dengan kata lain variabel terpajan bising mampu menjelaskan terjadinya penurunan daya dengar telinga kiri sebesar 60,5% sedangkan 39,5% lagi dijelaskan (dipengaruhi) oleh faktor atau variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Dari uji Anova didapat tingkat signifikasi 0,022. Karena Probabilitas (0,022) jauh lebih kecil dari 0,05, maka dapat dinyatakan model regresi cocok dengan data yang ada. Atau dapat diartikan variabel terpajan bising (umur, masa kerja, intensitas bising, alat pelindung diri, dan frekuensi bising) secara signifikan dapat dipakai untuk melihat penurunan daya dengar telinga kiri.


(1)

5.4 . Keterbatasan Penelitian

1. Berdasarkan jenis penelitian, yaitu cross sectionalstudy, dimana penyebab (faktor risiko) dan akibat (efek) diperoleh sekaligus dan pada saat itu juga (bersamaan), artinya peneliti tidak mengikuti perjalanan terjadinya penurunan daya dengar pekerja karena keterbatasan waktu dan biaya.

2. Berdasarkan pemilihan sampel, peneliti mengganggap sampel benar-benar memiliki telinga yang sehat pada awal bekerja, tidak mempunyai riwayat penyakit telinga dan tidak menggunakan obat-obatan ototoksik hanya berdasarkan informasi dari Manager HRD PT. Atmindo saja.

3. Berdasarkan telaah teori, peneliti terbatas untuk membandingkan kualitas ear plug yang digunakan setiap pekerja, sehingga peneliti hanya membandingkan antara yang menggunakan ear plug dan yang tidak menggunakan ear plug.


(2)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Hasil pengukuran audiometri ambang dengar pekerja menunjukkan penurunan daya dengar telinga kiri sebanyak 27 pekerja (77,1%) dengan kategori tuli ringan, 6 (17,1%) dengan kategori tuli sedang dan jumlah pekerja yang mengalami penurunan daya dengar telinga kanan sebanyak 20 (57,1%) pekerja dengan kategori tuli ringan, 12 (34,3%) dengan kategori tuli sedang.

2. Penelitian ini menunjukan terdapat hubungan yang bermakna antara variabel terpajan kebisingan (intensitas bising, frekwensi bising, masa kerja, alat pelindung diri dan umur) terhadap penurunan daya dengar pekerja .

3. Pada penelitian ini ditemukan bahwa pengaruh variabel APD terhadap penurunan daya dengar pekerja adalah paling kuat.

6.2. Saran

Dengan diketahuinya variabel-variabel yang mempengaruhi terpajan kebisingan terhadap daya dengar pekerja, maka dapat disarankan kepada manajemen PT. Atmindo Medan sebagai berikut:

1. Meningkatkan kesadaran pekerja untuk menggunakan alat pelindung telinga sebagai salah satu program konservasi pendengaran dengan mengadakan pelatihan dan penyuluhan tentang APD kepada pekerja.


(3)

2. Membuat pembagian shif kerja sesuai standart yaitu 3 shif.

3. Meningkatkan pengawasan pihak managemen terhadap kedisiplinan pekerja dalam memakai APD, bila perlu memberi sanksi.

4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan metode kohort sehingga dapat diidentifikasi secara komprehensif bagaimana pengaruh terpajan bising terhadap daya dengar.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Annie, Yusuf. 2000., Bising Bisa Timbulkan Tuli. diakses tanggal 20 Desember 2009;

Anggreini, Dian., 2006. Hubungan Lama Paparan Kebisingan Terhadap Penurunan Daya Dengar Tenaga Kerja Bagian Produksi PT. Sinar Sosro Ungaran Semarang. Universitas Negeri Semarang.

Arikunto, Suharsimi., 1998. Prosedur Penelitian Edisi Revisi 5. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Arini, dkk., 2005. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran Tipe Sensorineural Tenaga Kerja Unit Produksi PT.Kurnia Jati Utama Semarang. Jurnal Kesehatan Lingkung Indonesia, Vol.4 No.1 April 2005. Astuti, Yuli Mudhi., 2005. Perbedaan Nilai Ambang Pendengaran Operator Mesin

yang Bekerja pada Intensitas Bising Yang Berbeda di Bagian Produksi PT. Pharos, Tbk Semarang. Univesrsitas Negeri Diponegoro.

Azwar, Azrul.,1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, cetakan ke lima. Jakarta: Mutiara sumber Widya.

Bashiruddin, J Soetirto., 2008. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noice Induced Hearing Loss). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga hidung Tenggorok Kepala dan Leher, ed VI, hlm 49-53.

Budiarto, Eko., 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.

Budiono, Sugeng A.M., 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan KK. Semarang: Universitas Diponegoro.

Cholidah, 2006. Perbedaan Ambang Pendengaran Tenaga Kerja Setelah Terpapar Kebisingan dan Sesudah Bekerja pada Lingkungan Bising Departemen Ring Frame Unit Spinning I PT. Apac Inti Corpora. Universitas Negeri Semarang. Corwin, Elizabeth J., 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Departemen Kesehatan RI., 1990. Upaya Kesehatan Kerja Sektor Informal Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat.


(5)

_____________________, 2004, Indonesia termasuk 4 negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian 4,6%. diakses tanggal 20 Desember 2009;

Departemen Tenaga Kerja RI., 1995. Petunjuk Pelaksanaan Pengawas Kebisingan. Jakarta : Ditjen PPM dan PLP.

Dwi P. Sasongko. 2000. Kebisingan Lingkungan. Semarang: Universitas Diponegoro. Grantham D, 1992. Occopational Health And Hygiene Guidebook For The WHSO.

The Australian Occupational Haealth And Safety Trust.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : KEP-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.

Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul akibat Hubungan Kerja.

Mulyadi, H., 2003. Studi Tentang Hubungan Antara Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran di Petrochina tahun 2002, Tesis S2 UI.

Nugroho, 2009. Osha Panduan untuk Kebisingan dan Mendengar Keselamatan, Kesehatan dan Konservasi. diakses tanggal 25 Desember 2009;

Pearce, Evelyn C., 2002. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia.

Rambe, Andriani., 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. diakses tanggal 25 Desember 2009;

Salim, Emil., 2002. Green Company. Jakarta: PT. Astra International Tbk.

Siswanto., 1991. Kebisingan dan Alat Pelindung Diri. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Jawa Timur.

Soepardjo dan Soetomo, 1985. Sebab-sebab Ketulian Dipandang Dari Sudut THT. Majalah Cermin Dunia kedokteran, Nomor 39198, Halaman 5.

Sudigdo,Sastroasmoro., 1995. Dasar –Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.


(6)

_______ . 2004. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV. ALFABETA. Suharsimi, Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.

Suma’mur P. K.1989. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.

___________ .1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja.Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.

Suyanto, 2006. Analisis Penurunan Ambang Dengar Akibat Pemajanan Bising pada Karyawan PT. Sumber Teknik di Makasar. Thesis S2. Universitas Hasanuddin.

Suyono, Joko., 1995. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: EGC.

Wasphada, Sunu., 2005. Pengaruh Masa Kerja Terhadap Penurunan Daya Dengar di Lingkungan Mesin Assembling PT. Kubota Indonesia. Universitas Negeri Semarang.

Wijadja, M., 1996. Pengalaman Penatalaksanaan Kebisingan di Perusahaan. Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Volume XXIX, No. 3, Juli-September 1996.


Dokumen yang terkait

PENGARUH INTENSITAS KEBISINGAN TERHADAP PENURUNAN DAYA DENGAR TENAGA KERJA BAGIAN WEAVING DI PT. Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Penurunan Daya Dengar Tenaga Kerja Bagian Weaving Di PT. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta.

0 2 16

PENGARUH INTENSITAS KEBISINGAN TERHADAP PENURUNAN DAYA DENGAR TENAGA KERJA BAGIAN WEAVING DI PT Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Penurunan Daya Dengar Tenaga Kerja Bagian Weaving Di PT. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta.

0 3 22

HUBUNGAN ANTARA UMUR DAN LAMA PAPARAN DENGAN PENURUNAN DAYA DENGAR PADA PEKERJA TERPAPAR KEBISINGAN IMPULSIF Hubungan Antara Umur dan Lama Paparan Dengan Penurunan Daya Dengar Pada Pekerja Terpapar Kebisingan Impulsif Berulang di Sentra Industri Pande Be

0 4 12

HUBUNGAN ANTARA UMUR DAN LAMA PAPARAN DENGAN PENURUNAN DAYA DENGAR PADA PEKERJA TERPAPAR KEBISINGAN IMPULSIF Hubungan Antara Umur dan Lama Paparan Dengan Penurunan Daya Dengar Pada Pekerja Terpapar Kebisingan Impulsif Berulang di Sentra Industri Pande Be

0 3 15

PENGARUH PAPARAN KEBISINGAN TERHADAP PENURUNAN DAYA DENGAR PADA TENAGA KERJA BAGIAN PRODUKSI Pengaruh Paparan Kebisingan Terhadap Penurunan Daya Dengar Pada Tenaga Kerja Bagian Produksi Pengolahan Kayu di Pt.Albasia Sejahtera Mandiri Kabupaten Semarang.

1 3 18

PENGARUH PAPARAN KEBISINGAN TERHADAP PENURUNAN DAYA DENGAR PADA TENAGA KERJA BAGIAN PRODUKSI Pengaruh Paparan Kebisingan Terhadap Penurunan Daya Dengar Pada Tenaga Kerja Bagian Produksi Pengolahan Kayu di Pt.Albasia Sejahtera Mandiri Kabupaten Semarang.

0 3 11

PENGARUH INTENSITAS KEBISINGAN TERHADAP PENURUNAN DAYA DENGAR PADA PEKERJA Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Penurunan Daya Dengar Pada Pekerja Di PG. Poerwodadie Magetan.

0 1 17

PENDAHULUAN Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Penurunan Daya Dengar Pada Pekerja Di PG. Poerwodadie Magetan.

0 0 4

PENGARUH INTENSITAS KEBISINGAN TERHADAP PENURUNAN DAYA DENGAR PADA PEKERJA Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Penurunan Daya Dengar Pada Pekerja Di PG. Poerwodadie Magetan.

0 2 18

Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Penurunan Daya Dengar Pada Pekerja Penggilingan Padi Di Desa Bangun Asri Karang Malang Sragen.

0 0 11