Bentuk-Bentuk Gharar TINJAUAN TEORITIS GHARAR

Dan hadis Rasullulah yang melarang transaksi yang mengandung unsur gharar adalah: ﺮﺮﻐ ا ﻴﺒ ﻦ ﷲ ﻮﺴﺮ ﻰﻬ ﺎ ةﺮﻴﺮه ﻲﺒا ﻦ ﺪﻤﺣأ اور Artinya: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar” HR Ahmad . Dengan melihat dalil-dalil di atas maka cara-cara yang haram termasuk segala cara yang keliru yang tidak sesuai dengan hukum-hukum Islam serta ajarannya dilakukan dengan salah dan tak bermoral. “Bisnis” mencakup semua transaksi yang dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan seperti perdagangan, komersial, industri, dan sebagainya. Bahkan ada sebagian ulama menyatakan bahwa semua transaksi yang mengandung gharar termasuk dalam perjudian, dimana dalam perjudian itu setiap peserta diperdaya oleh harapan-harapan yang menyesatkan akan “kemenangan”. Tak seorangpun menyetujui judi jika mereka tahu bahwa mereka akan diperdaya. Sama halnya pada setiap transaksi yang tidakpasti dan tidakjelas di mana di dalamnya adanya kecurangan, maka orang tersebut akan menolak dan membatalkan transaksi tersebut. Hal ini memberikan keyakinan bahwa sesuatu yang dikerjakan dengan maksud untuk merugikan pihak lain dalam transaksi bisnis adalah dilarang oleh Allah dan Rasullulah SAW.

D. Bentuk-Bentuk Gharar

Ulama dari golongan mazhab Imam Maliki membahas lebih spesifik permasalahan tentang gharar dengan berbagai ragamnya, sehingga jenis-jenis gharar yang ada dapat di bagi menjadi dua, yang pertama gharar dalam sighat akad Kalimat Transaksi dan yang kedua gharar dalam objek transaksi. Adapun pembagian sub keduanya akan dipaparkan dibawah ini. 1 Gharar dalam sighat akad meliputi 5 : a. Bai’ataini fii ba’iah Bai’ataini fii ba’iah adalah merupakan satu kesepakatan dengan dua transaksi, baik dengan terlaksananya salah satu dari dua transaksi tersebut atau dari segi harganya. Sebagai contoh ketika seorang penjual mengatakan “Saya jual komoditi ini kepada anda seharga seratus secara tunai dan seratus sepuluh dengan cara kredit” jawab pembeli ia saya terima. Atau juga transaksi bai’ataini fii ba’iah dapat berlaku dengan terlaksananya kedua kesepakatan atau harga tersebut, seperti : “Saya jual rumahku kepada anda seharga sekian dengan syarat anda menjual mobil anda kepada saya dengan harga sekian”. Jadi unsur gharar dalam kedua komoditi tersebut relative ada, baik dalam penentuan transaksi seperti contoh yang pertama, maupun contoh komoditi yang 5 Husain Syahatah, Siddiq Muhamad, dll., Transaksi dan Etika Bisnis Islam., hal 152-162 kedua, dengan begitu transaksi bisnis dalam bai’ataini fii bai’dah jelas mengandung unsur gharar, hal ini karena kalimat transaksi yang disepakati dan bukan objeknya yang disepakati.

b. Bai’ urbun

Bai’ urbun adalah seseorang membeli sebuah komoditi dan sebagian pembayaran diserahkan kepada penjual DPuang muka. Jika sipembeli jadi mengambil komoditi tersebut maka uang pembayaran tersebut termasuk dalam perhitungan harga, akan tetapi, jika calon pembeli tidak mengambil komoditi tersebut maka uang muka tersebut menjadi milik penjual dan pembeli tidak mendapatkan apa- apa. Akan tetapi dalam urbun ini ada dua pendapat yang memberikan keterangan, baik golongan pertama yang mengharamkan urbun ataupun golongan kedua yang membolehkan urbun, kedua golongan ini memiliki penjelasan masing-masing mengenai hal ini, sebagaimana hadis yang mereka pegang dalam berpendapat. عن عمر ﻦ ﻰه و ﻴ ﷲا ﻰ ﺻ ﷲا لﻮ ر نأ ﺪﺟ ﻦ ﻴ أ ﻦ ﻴ ﺷ ﻦ نﺎ ﺮ ا ﻴ . Artinya: “Dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bawasanya Rasullulah saw. Melarang jual beli urbun”. Adapun hadis yang membolehkan adalah yang dikeluarkan oleh Abdul Razak dalam musnafnya sebagaimana berikut: ﺣ ﺄﻓ ﻴﺒ ا ﻲﻓ نﺎ ﺮ ا ﻦ و ﻴ ﷲا ﻰ ﺻ ﷲا لﻮ ر ﺌ أ أ ﻦ ﺪ ز ﻦ Artinya: “Dari Zaid Ibn Aslam bahwasanya ia telah bertanya kepada Rasullulah SAW. Tentang jual beli urbun maka Rasullulah saw. Membolehkannya”. Adapun letak unsur gharar pada uang muka ini menurut ulama yang mengharamkannya, bahwa dalam urbun terletak unsur gharar dan resiko serta memakan harta tanpa adanya ‘iwadh pengganti yang sepadan dalam pandangan syariah.

c. Bai’ al hashah, al-mulamasah, dan al-munabadzah

Bai’ al hashah adalah suatu transaksi bisnis dimana penjual dan pembeli bersepakat atas jual beli suatu komoditi pada harga tertentu dengan lemparan hashah batu kecil yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain yang dijadikan pedoman atas berlangsung tidaknya transaksi tersebut. Bai al-mulamasah adalah ketika kedua belah pihak penjual dan pembeli melakukan aktivitas tawar menawar atas suatu komoditi, kemudian apabila calon pembeli menyentuh komoditi tersebut baik sengaja maupun tidak, maka dia harus membelinya baik sang pemilik komoditi tersebut rela atau tidak. Bai’ al-munabadzah adalah seorang penjual berkata kepada seorang pembeli, ”Jika saya lemparkan sesuatu kepada anda maka transaksi jual beli harus berlangsung diantara kita. Sebagaimana hadis riwayat Bukhari yang melarang bai’alhashah, bai’al- mulamasah, dan bai al-munabadzah 6 . 6 Qadir, Hasan, Imron AM, dll. Terjemahan Nailul Authar Himpunan hadis-hadis hukum, Bina Ilmu., Surabaya: 2007.cet ke-4, jilid 4. Hal 1655 لﺎ أ ﻦ و : م ص ﻲﺒ ا ﻰﻬ . ةﺮﺿ ﺎﺨﻤ او ﺔ ﺎ ﻤ ا ﻦ , ةﺰ ﺎ ﻤ او , ﻤ او ﺴ , ﺔ اﺰﻤ او . اور ىرﺎﺨﺒ ا Artinya : “Dan dari Anas ia berkata: Nabi saw melarang muhaaqalah, mukhaadlarah, mulamasah dan muzaabana”. HR Bukhari. Dari hadis dan penjelasan diatas tersebut maka ketiga macam transaksi ini relatif mengandung unsur dalam kalimat transaksinya, hal ini karena pernyataan penjual tentang lemparan batu kecil, sentuhan terhadap baju, dan lemparan komoditi dijadikan dasar berlangsungnya transaksi, maka sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi tersebut termasuk jenis Qimar perjudian.

d. Bai al-Muallaq

Bai al-Muallaq adalah suatu transaksi jual beli dimana keberlangsungannya tergantung pada transaksi lainnya yang disyaratkan. Keberhasilan transaksi dapat terjadi dengan mengikuti instrument-instrumen yang ada dalam ta’liq persyaratan dalam akad yang berbeda. Sebagai contoh adalah tatkala seorang penjual mengatakan kepada calon pembeli , “Saya akan menjual rumahku kepada anda dengan harga sekian jika si fulan menjual rumahnya kepada saya”. Jadi dengan melihat penjelasan diatas bahwa unsur gharar pada akad jual beli al-muallaq ini terdapat pada ketidak jelasan transaksi yang akan dilaksanakan, jika salah satu pihak berubah pikiran maka transaksi tersebut tidak akan dapat dilaksanakan sehingga ini akan merusak transaksi yang akan dilaksanakan.

e. Bai’ al-mudhaf

Bai’ al-mudhaf adalah kesepakatan untuk melakukan transaksi jual beli untuk waktu yang akan datang, contoh dari transaksi ini adalah perkataan seseorang penjual kepada pihak lain, “Saya jual rumahku kepada anda dengan harga sekian pada awal tahun depan”. Unsur gharar yang ada dalam akad mudhaf adalah dari sisi pelaku akadnya. Ketika mereka tidak dapat mengetahui kondisi pasar dan harga dimasa yang akan datang jika dibandingkan dengan kondisi pada waktu transaksi disepakati. Dan bagaimana pula kerelaan dan maslahah antara keduanya terbangun di saat mekanisme kesepakatan dalam transaksi akan dilaksanakan, padahal keduanya tidak mengetahui kondisi komoditi pada masa yang akan datang. 2 Gharar dalam Objek transaksi meliputi 7 : a. Ketidak jelasan jenis objek transaksi Ketidakjelasan atas jenis objek transaksi merupakan klasifikasi ketidakjelasan yang paling besar dampaknya, hal ini disebabkan karena ketidakjelasan atas dzat, macam, dan sifat atau karakteristik objek. Jadi dalam transaksi ini unsur gharar yang terkandung didalamnya transaksi ini harus jelas dan diketahui barang yang menjadi objek transaksi sehingga tidak menimbulkan gharar.

b. Ketidakjelasan dalam macam Objek transaksi

Ketidakjelasan terhadap macam objek transaksi dapat menghalangi sahnya jual beli sebagaimana ketidakjelasan atas jenisnya. Ketidak absahan tersebut karena 7 Husain Syahatah, Siddiq Muhamad, dll., Transaksi dan Etika Bisnis Islam.,hal 165-188 mengandung unsur gharar yang banyak. Salah satu contoh yaitu, “Saya jual kepada anda binatang dengan harga sekian tanpa menjelaskan jenis dari binatang yang ditawarkan, apakah ia termasuk jenis onta atau kambing, maka transaksi semacam ini rusak karena adanya unsur gharar dalam hal macam objek transaksinya.

c. Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter objek transaksi

Para ulama fikih berselisih pendapat dalam mensyaratkan penyebutan sifat- sifat dari objek transaksi agar sebuah transaksi menjadi sah, akan tetapi menurut mazhab Hanafiah berpendapat bahwa jika objek transaksinya terlihat dalam transaksinya, baik itu komoditi ataupun uang, maka tidak perlu untuk mengetahui sifat dan karakternya. Berbeda halnya dengan ulama mazhab Syafi’I, mazhab ini mempunyai perincian dalam pensyaratan atas penyebutan sifat dan karakter objek transaksi, supaya transaksi tersebut menjadi sah diantaranya adalah: dalam transaksi pesanan salam maka harus adanya kejelasan sifat dan karakter barang, dan harus adanya hiyar ruyah dalam transaksi sehingga dapat mengurangi penipuan.

d. Ketidakjelasan dalam waktu

Ketidakjelasan dalam waktu hampir semua ulama fikih tidak ada yang berselisih, jika transaksi tersebut dilakukan secara adanya pertangguhan waktu dan waktu pembayarannya jelas maka transaksi tersebut sah dan dapat dilaksanakan. Beda halnya dengan transaksi yang tidak adanya kejelasan dalam waktu pembayarannya. Hal ini karena transaksi tersebut tidak adanya kejelasan yang pasti dan dapat merugikan salah satu pihak.

e. Ketidakmampuan dalam penyerahan objek transaksi

Para ulama ahli fiqih sepakat, bahwa kemampuan penyerahan objek transaksi merupakan syarat sahnya transaksi ini, maka jika objek transaksi tidak dapat diserahkan maka transaksi secara otomatis tidak sah batal. Seperti layaknya ikan yang masih didalam air, tidak diketahui jumlah dan sifat, zat objek transaksi tersebut.. Bahkan ada hadis yang meriwayatkan tentang transaksi seperti ini: دﻮ ﺴ ﻦ ا ﻦ ,, م ص ﻲﺒ ا نا . لﺎ : رﺮ ﺎﻓ ء ﺎﻤ ا ﻲﻓ ﻚﻤﺴ ااوﺮ ﺴ ,, . _ ﺪﻤﺣأ ﻩاور Artinya :“Dan dari ibnu Mas’ud, bahwa Nabi saw. Bersabda : janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena yang demikian itu termasuk gharar”. HR Ahmad. Maka dalam hal ini dapat kita katakana bahwa transaksi semacam ini mengandung unsur gharar karena tidak dapatnya salah satu pihak menyerahkan objek transaksi pada saat terjadinya transaksi tersebut.

f. Objek Transaksi yang spekulatif keberadaannya

Bentuk lain dari gharar yang dapat mempengaruhi sahnya transaksi adalah apa yang ditujukan pada ketidak adaan objek transaksi, yaitu objek transaksi yang tidak ada pada waktu transaksi dilakukan. Ataupun keberadaan objek tidak jelas pada masa yang akan datang bisa bersifat spekulatif dimana mungkin objek ada dan kemungkinan juga tidak ada. Telah diriwayatkan oleh sebagian ulama fiqih mengenai kesepakatan atas batalnya transaksi bisnis dengan objek transaksi yang sfekulatif keberadaannya. Dan sebagian ulama mengungkapkan bahwa setiap komoditi yang spekulatif keberadaannya tidak diperkenankan untuk dilaksanakan transaksinya. Dan hadis yang membahasa tentang itu adalah: لﺎ ﺮﻤ ﻦ ا ﻦ و : ,, ر ﻰﻬ م ص ﷲا لﻮ . ﺔ ﺒ ا ﺒﺣ ﻴ ﻦ . ﺪﻤﺣأ اور , ﺴ , ئﺰ ﺮ ا Artinya: “Dan dari Ibnu Umar r.a. ia berkata : Nabi saw. Melarang menjual binatang yang sekarang sedang dikandung”. HR.Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi

E. Jenis Gharar