kasus yang perlu dipahami adalah ratio decidendi,
29
yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk samapai kepada putusannya yang dalam hal ini alasan-
alasan hukum yang di gunakan oleh hakim untuk mengabulkan peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa tersebut.
3. Sumber Data
Sumber data penelitian yang digunakan merupakan data sekunder yang terdiri dari:
a Bahan Hukum Primer.
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan perundang-
undangan yang diurut berdasarkan hirarki dan putusan pengadilan
30
seperti yang terdapat dalam KUHAP dan UU No Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman dan UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan . b
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen resmi, seperti: buku-buku teks, hasil-hasil penelitian, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, artikel, majalah dan
jurnal ilmiah hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini
c Bahan Hukum Tersier.
29
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2007,hal 119
30
Ibid hal 141
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan hukum primer, sekunder dan tersier di luar hukum yang relevan dan
dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. Penggunaan secara layak fair use terhadap bahan-bahan hukum yang
diperoleh dari internet untuk tujuan ilmiah.
31
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan teknik kepustakaan libraray research, dengan meneliti sember bacaan yang berhubungan dengan topik
tesis ini, seperti: buku-buku hukum, makalah hukum, artikel dan bahan penunjang lainnya.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan, diurutkan, dan diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar.
32
Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan cara kualitatif yakni dengan mempelajari,
menganalisis dan memperhatikan kualitas serta kedalaman data yang diperoleh sehingga memperoleh data yang dapat menjawab permasalahaan dalam penelitian ini.
31
Joni Ibrahim op cit hal 340.
32
Lexy Moleong.1999.Metode Penelitian Kualitatif.Bandung:Remaja Rosdakarya Cetakan Ke 10, hal 103
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
BAB II KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM UNTUK MELAKUKAN
PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA
A. Latar Belakang Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali
Lahirnya bab XVIII ini dalam upaya hukum luar biasa khususnya bagian kedua tentang peninjauan kembali yang terdapat dalam pasal 263 sampai dengan
pasal 269 KUHAP yaitu merupakan sejarah baru dilapangan hukum khususnya hukum acara pidana. Sebab ini merupakan suatu kenyataan bahwa seorang terpidana
merasa bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak adil kemudian ingin memintakan kembali pemeriksaan atas perkaranya tersebut dan ini tidak mungkin
karna jalan atau acara formal untuk meminta perkaranya yang telah putus untuk diperiksa kembali tidak mungkin karna upaya hukum untuk itu tidak ada lagi.
33
Maka kini dengan adanya upaya hukum peninjauan kembali ini, maka terbukalah jalan bagi setiap terpidana untuk meminta pemeriksaan ulang atas
perkaranya. Ini muncul bukan dengan tiba-tiba tetapi terjadi pada tahun 1980 yang mana terkenal dengan kasus sengkon dan karta. Dua terpidana yang telah menjalani
hukumannya sejak tahun 1977 tapi sudah di tahan sejak tahun 1974. Kasus tersebut yaitu sengkon dan karta ditahan dan diperksa oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan
tuduhan telah merampok dan membunuh suami istri suleman. Berdasarkan alat bukti
33
Hadari Djenawi Tahir, Bab Tentang Heirzening di dalam KUHAP, Bandung: Alumni,1982,hal 5
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
yang dianggap sah oleh Pengadilan Negeri Bekasi keduanya dijatuhi hukuman masing-masing 10 tahun dan 7 bulan penjara.
Jelas disini telah terjadi kesalahan didalam penjatuhan putusan terhadap sengkon dan karta.Para aparat hukum juga tidak menjadi tenang dengan adanya kasus
ini, dan para ahli hukum juga mencari suatu modus yang tepat agar sengkon dan karta dapat dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan. Jika diteliti kasus sengkon dan karta
ini bukanlah telah terjadi kesalahan tuduhan terhadap orang yang melakukan pembunuhan atas sulaiman suami istri tetapi juga telah terjadi kelalaian yang
dilakukan oleh pengadilan negeri bekasi. Pengadilan negeri bekasi jelas mengetahui bahwa sengkon dan karta tidak
bersalah sewaktu menjatuhkan putusan terhadap Gunel Cs maka seharusnya pada putusan yang sama didalam amarnya Pengadilan Negeri Bekasi memutuskan juga
pembatalan atas putusan terdahulu yang dikenakan tehadap sengkon dan karta. Maka dengan seketika itu juga pada saat yang sama sengkon dan karta bebas dari pidana
yang telah dijatuhkan terhadapnya. Pernyataan ini juga dikatakan oleh Ketua Mahkamah Agung terdahulu yang
mengatakan apabila ini dilakukan oleh Pengadilan Negeri Bekasi maka ini telah terjadi suatu revolusi dalam hukum indonesia dan ini tidak terjadi dan Pengadilan
Negeri Bekasi hanya menyatakan bahwa tuduhan terhadap sengkon dan karta tidak
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
terbukti. Mahkamah Agung membatalkan putusan dalam sidang Majelis Mahkamah Agung tertanggal 31 Januari 1981.
34
Lembaga herziening ini dalam hukum diartikan sebagai suatu upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
35
. Mengingat sangat dibutuhkannya lembaga heirzening tersebut maka berbagai upaya telah dilakukan
agar lembaga tersebut dapat diberlakukan. Upaya tersebut dapat terlihat ketika lahirnya PERMA No 1 Tahun 1969 yang menetapkan tentang peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengaturan disini adalah tidak saja mengenai masalah herziening tetapi juga
diatur kembali lembaga request civil yaitu suatu lembaga peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap didalam hukum perdata.
Tetapi peraturan Mahkamah Agung tersebut tidak berlaku lama sebab pada tahun 1971 berlaku PERMA No 1 Tahun 1971yang mencabut PERMA No 1 Tahun 1969
maka dengan demikian terjadi kekosongan hukum dalam hal permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pencabutan PERMA No 1 Tahun 1969 ini didasarkan pada pendapat bahwa pada tahun 1970 telah dikeluarkan Undang-undang No 14 tahun 1970 yaitu Undang-
undang pokok kekuasaan kehakiman. Dimana dalam pasal 21 telah terdapat pasal
34
Ibid hal 8
35
Lembaga ini dikenal dalam Reglement op de Strafvordering Staatsblad nomor 40 jo no 57 tahun 1847 yang tercantum dalam titel 18 dan dilam KUHAP juga diatur dalam hal yang sama yaitu
dalam Bab XVIII
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dimana dikatakan: apabila terhadap hal-hal atau keadaan yang
ditentukan dengan Undang-undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung dalam perkara perdata maupun pidana.
36
Ketentuan Pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 ini semula bermaksud untuk menggantikan PERMA No 1 tahun 1969 tapi ternyata Pasal 21 dari Undang-undang
No 14 Tahun 1970 ini tidak dilengkapi oleh peraturan pelaksananya. Sehingga apabila dilakukan peninjauan kembali dengan menggunakan dasar ini tidak
mempunyai kekuatan hukum tetap. Maka kasus Sengkon dan Karta tidak bisa diajukan peninjauan kembali dengan menggunakan dasar Pasal 21 UU No 14 Tahun
1970 ini. Dimana pada saat itu lembaga peninjauan kembali heirzening belum ada karena telah dicabut dengan PERMA No 1 Tahun 1971.
Jalan pintas yang ditempuh pada waktu itu yaitu dengan mengeluarkan kembali PERMA. Pada saat itu Perpu ingin dikeluarkan untuk mengatur lembaga
heirzening ini karena situasi tidak genting oleh kasus sengkon dan karta ini. Maka oleh Mahkamah Agung hanya mengeleuarkan PERMA saja untuk menjadi dasar
lahirnya lembaga Heirzening ini. Dasar hukum lahirnya lembaga Heirzening ini adalah pasal 21 Undang-undang No 14 Tahun 1970 yang mungkin dapat diterima
yang menjadi dasar peraturan pelaksana dari suatu undang-undang. Peraturan pelaksana yang dimaksud disini adalah perturan pemerintah yang derajatnya setingkat
36
Hadari Dejenawi Tahir, op cit, hal 10
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
lebih rendah dari Undang-undang yaitu dalam hal ini yaitu Undang-Undang No 14 Tahun 1970.
Prosedur untuk dikeluarkannya Peraturan Pemerintah memang akan memakan waktu lama maka. Apabila prosedur ini ditempuh maka akan lama sengkon
dan karta menanti pembebasannya. Maka dianggap beralasan apabila Mahkamah Agung menempuh suatu jalan pintas dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung No 1 Tahun 1980 tentang “ Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap”dimana dalam PERMA tersebut diatur
mengenai peninjauan kembali dalam perkara pidana dan perdata. Peraturan Mahkamah Agung PERMA No 1 Tahun 1980 ini sebenarnya
hampir sama dengan peraturan yang pernah dikeluarkan sebelumnya yaitu PERMA No 1 tahun 1969 yang kemudian dicabut dengan PERMA No 1 Tahun 1971.
Perbedaan PERMA tersebut yaitu terletak pada PERMA No 1 Tahun 1980 yang tidak mencantum “kekhilafan hakim” dan “kekeliruan yang menyolok” sebagai salah satu
alasan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta peninjauan kembali. Alasan peninjauan kembali yang terdapat dalam PERMA No 1 tahun 1980
yaitu : a
Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi satu sama lain bertentangan.
b Apabila terdapat suatu kedaan sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat,
bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu masih sidang berlangsung.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari segala tuntutan hukum. atas dasar bahwa perbuatan yang
dituduhkan itu tidak dapat dipidana. Pernyataan tidak dapat diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara kepersidangan pengadilan atau penetapan
ketentuan-ketentuan pidana yang lebih ringan. Tidak dicantumkannya kekhilafan hakim dan kekeliruan yang menyolok
sebagai suatu alasan yang menjadi dasar untuk meminta peninjauan kembali, maka berkembanglah suatu anggapan dikalangan ahli hukum bahwa Mahkamah Agung
menganut asas bahwa hakim tidak dapat diganggu gugat atas putusannya itu. Anggapan itu cenderung untuk mengatakan bahwa hakim bebas dari segala
kesalahannya dalam memeriksa dan memutus perkara. hal ini tentu telah menyalahi kodrat dimana dianut asas bahwa manusia tidak luput dari kesalahan begitu juga
dengan hakim dalam memeriksa suatu perkara. Jika diperbandingkan antara Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1980
dengan ketentuan yang terdapat didalam Reglement op de strafvordering tahun 1847 khususnya pasal 356 maka alasan atau dasar untuk meminta peninjauan kembali yaitu
putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, dengan demikian tidak ada perbedaan pada saat Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No 1 Tahun 1980
dengan mengambil alih pasal 356 dengan alasan yang menjadi dasar peninjauan kembali. Maka apa yang diatur didalam PERMA No 1 Tahun 1969 ini pengaturannya
khususnya mengenai lembaga Herzeining lebih luas dari pada PERMA No 1 Tahun
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
1980 maupun yang terdapat dalam Reglement op de Strafvordering pasal 356-360. dengan anggapan bahwa dengan dikeluarkannya Perma No 1 Tahun 1980 ini masalah
sengkon dan karta dapat terselesaikan. Keluarnya PERMA No 1 Tahun 1980 ini mendapat reaksi dan tanggapan dari
para ahli hukum dan bisa menimbulkan kegoncangan diantara para ahli hukum. Pada umumnya lahirnya PERMA No 1 Tahun 1980 ini dihargai dengan itikad baik dimana
ini dapat mencakup lembaga herziening dan request civil. itikad baik itu nampak dalam pertimbangannya dikeluarkan PERMA No 1 Tahun 1980 yang menyatakan
bahwa dikeluarkannya peraturan tersebut didasarkan adanya dengar pendapat dengan anggota DPR yang menyatakan dikeluarkannya peraturan tersebut sambil menunggu
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peninjauan kembali karena telah sempat terjadi kekosongan hukum.
PERMA No 1 Tahun 1971 ini yang mencabut PERMA No 1 Tahun 1969. Dimana masyarakat sangat membutuhkan lembaga ini ditambah lagi dengan adanya
kasus sengkon dan karta yang khusus untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan. Masalah yang dipersoalkan dalam pembentukan PERMA No 1
Tahun 1980 yaitu: bahwa pembuatan PERMA No 1 Tahun 1980 ini dianggap agak aneh dengan PERMA sebelumnya yang mana PERMA No 1 Tahun 1969 didasarkan
pada pasal 31 UU No 13 Tahun 1965. Dikatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
PERMA No 1 Tahun 1980 ini mendasarkannya pada ketentuan yang terdapat dalam pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 dan pasal 131 UU No 1 Tahun 1950 tentang
MA.hal ini dirasa kurang tepat karena dengan berdasarkan pasal 70 UU NO 13 Tahun 1965 ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku, karena UU No 1 Tahun 1950
tentang Mahkamah Agung ini mempunyai kaitan secara langsung dengan UU Darurat No 1 Tahun 1951 dengan demikian yang dipersoalkan disini adalah apa dasar hukum
dikeluarkannya PERMA No 1 Tahun 1980 tersebut. Masalah lain yang banyak dipersoalkan adalah masalah wewenang
Mahkamah Agung untuk mengeluarkan suatu peraturan seperti PERMA No 1 Tahun 1980 tersebut. Mahkamah Agung disini dianggap berdiri sendiri disini sebagai kursi
legislatif, sebagai pembuat peraturan perundang-undangan yang sebenarnya bukan wewenang Mahkamah Agung.
Pendasaran ini didasarkan pada suatu pola pemikiran yang legalistik dimana segala sesuatu harus didasarkan pada suatu ketentuan yang yuridis formal dan
konstitusional. Hal tersebut memang ideal tapi disatu pihak dalam menghadapi situasi kasus sengkon dan karta ini apabila kita hanya mengikuti saluran formal normatif
mungkin sudah akan terhambat, maka suatu hal yang bijaksana Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan tersebut dengan tujuan memberikan keadilan.
Munculnya kasus sengkon dan karta yang seakan memaksa hadirnya lembaga peninjauan kembali di negri ini, maka hingga kini persepsi kalangan berbagai pihak
yang terutama kalangan para pakar hukum mengalami perkembangan mendasar.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Sengkon bin yakin dan karta als karung als encep bin salam dimana keduanya dihukum masing-masing 12 Tahun dan 7 tahun oleh masing-masing Pengadilan
Negeri Bekasi tanggal 20 oktober 2007 atas suatu perbuatan pidana pembunuhan. Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya tanggal 25 Mei 1978 menguatkan
putusan pengadilan tingkat pertama dan terhukum tidak mengajukan hak nya untuk kasasi. Atas dasar kejanggalan dan ketidakadilan tersebutlah kuasa hukum kedua
terpidana mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dan kasus itu terangkat ke tengah permukaan secara luas.
37
Berlakunya lembaga hukum peninjauan kembali berdasarkan PERMA No 1 Tahun 1980 yang diterapkan baik bagi perkara pidana maupun perdata. Meskipun
kehadirannya mengalami masalah yang kontroversial dikalangan para ahli hukum pada waktu itu, karena tidak mencerminkan asas-asas yang digariskan UUD 1945 dan
UU No 14 Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman, namun tetap dipandang sebagai suatu solusi yuridis untuk menampung berbagai suatu masalah terhadap
munculnya kesilapan dan kekeliruan aparat peradilan seperti dalam fakta yang dialami oleh sengkon dan karta.
Diberlakukannya KUHAP UU No 8 Tahun 1981 yang menampung lembaga peninjauan kembali dan sekaligus mencabut PERMA No 1 Tahun 1980 maka kasus
demi kasus yang dimintakan peninjauan kembali dan diselesaikan oleh Mahkamah Agung Telah memperlihatkan suatu benang merah dalam kaitannya dengan pencari
37
Parman Soeparman, Pengaturan Hak Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan,Bandung:PT Refika Aditama, 2007,Hal 5
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
keadilan. Benang merah yang dapat dilihat dari sisi kepentingan pencari keadilan. Disamping terpidana yang merasa tidak berdosa melakukan tindak pidana yang
selanjutnya berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali, tercuat adanya keinginan pihak lain diluar terdakwa untuk melakukan hal yang sama. Pihak tersebut
adalah jaksa, korban, keluarga korban dan pihak ketiga yang berkepentingan yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa adalah suatu putusan
pengadilan yang salah.
38
Pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa, korban, keluarga korban, pihak ketiga yang berkepentingan masih menimbulkan pertanyaaan, apa yang
menjadi dasar hukum bagi mereka yang mengajukan upaya hukum tersebut karna hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali berdasarkan Undang-Undang
No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya dimiliki oleh terpidana atau ahli warisnya. Dimana terlepas dari penafsiran dan kontroversi yang ada sekarang muncul
kepermukaan adanya kasus yang sedemikian yang menghiasi cakrawala praktik peradilan. Hal ini ditandai dengan munculnya putusan-putusan Mahkamah Agung
yang cukup menarik masyarakat yaitu Kasus Muchtar Pakpahan, Gandhi Memorial School dan kasus Pollycarpus Budiharipriyatno.
Praktek peninjauan kembali kemudian melangkah jauh, seakan meninggalkan tujuan yang hakiki, itulah yang terjadi dalam praktek yaitu pengajuan peninjauan
kembali oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas. Praktik penerapan
38
Ibid hal 14
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
ketentuan tentang peninjauan kembali perlu dikaji secara mendalam dari sudut ilmu hukum pidana dengan pertimbangan 2 faktor yakni:
39
1. Dilihat dari sudut pengaturan hukum acara pidana yang ada terutama KUHAP
yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tidak memberikan kesempatan mengajukan peninjauan kembali bagi Jaksa penuntut umum atau pihak korban
dirasakan tidak memuaskan 2.
Munculnya kasus-kasus peninjauan kembali yang secara jurisprudensial secara tidak langsung telah membuka pintu bagi pihak kejaksaan mengajukan
Peninjauan Kembali atas berbagai kasus yang diputus secara bebas atau bahkan setiap putusan yang oleh kejaksaan atau pihak korban dirasakan tidak
memuaskan. Ketiga kasus tersebut memunculkan pandangan bahwa tidak diaturnya suatu
masalah dalam undang bukan berarti tidak dimungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali. Karena bila dilihat dari sisi kepentingan korban, hak untuk
mengajukan peninjauan kembali sudah sepantasnya pula diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. Dalam praktek hukum acara pidana masih memungkinkan bahwa
korban kejahatan dapat diberi kesempatan untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali karena didalam hukum acara pidana memang belum bahkan
mengaturnya. Namun apabila dilihat dari praktik hukum acara pidana masih memungkinkan untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali sehingga
dalam peraturan hukum positif dapat dipertimbangkan untuk diatur.
39
Ibid, hal 7
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Pengaturan dalam hukum positif sebenarnya sudah tersirat didalam pasal 263 ayat 3 KUHAP yang mana didalamnya disebutkan bahwa terhadap suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam suatu putusan itu suatu perbuatan yang
didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Sedangkan dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP yang diperbolehkan mengajukan
peninjauan kembali yaitu hanya terpidana kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Mengenai orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali ditegaskan dalam pasal 263 ayat 1 yakini Terpidana atau Ahli warisnya. Berdasarkan ketentuan
ini jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali sebab undang-undang tidak memberikan hak kepada penuntut umum karena upaya
hukum ini hanya untuk melindunggi kepentingan terpidana. Untuk kepentingan terpidana Undang-Undang membuka kemungkinan untuk
meninjau kembali putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, karena itu selayaknya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Lagi pula sisi lain dari
upaya hukum luar biasa ini yakni pada upaya kasasi demi kepentingan hukum. Undang-Undang telah membuka kesempatan kepada Jaksa Agung untuk membela
kepentingan umum. Seandainya penuntut umum berpendapat suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merugikan kepentingan umum atau
bertentangan dengan tujuan penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan. Undang-
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Undang telah membuka upaya hukum bagi Jaksa Agung untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum.
Hak mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan
hak untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang kepada penuntut umum melalui Jaksa Agung. Maka melalui
upaya hukum luar biasa sisi kepentingan terpidana dan kepentingan umum telah terpenuhi secara berimbang.
Isi pasal dari 263 ayat 1 yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya. Maka sekalipun ada pihak yang merasa
dirugikan dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan hukum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Hal ini
ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 20 Februari 1984 Reg No 1 PKPid1984. Pemohon telah mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap
putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Juli 1983 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemohon merasa keberatan atas rampasan untuk negara barang bukti
yang bukan milik terpidana, tetapi milik pemohon. Sedang pemohon tidak terlibat maupun tersangkut dalam tindak pidana yang dilakukan terpidana. Oleh karena itu
tidak adil apabila milik pemohon dirampas untuk negara sekalipun kapal itu telah dipergunakan terpidana sebagai alat melakukan tindak pidana.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Tanggapan dan putusan Mahkamah Agung atas permohonan dan keberatan yang diajukan pemohon berbunyi: bahwa meskipun terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung akan tetapi karena pemohon peninjauan kembali bukan
terpidana atau ahli warisnya sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP maka permohonan peninjauan kembali harus dapat dinyatakan tidak dapat
diterima.
40
Sehubungan dengan masalah orang yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali ada beberapa hal yang perlu dijelaskan yaitu:
41
a. Hak prioritas antara terpidana dengan ahli warisnya
Untuk mengetahui kedudukan prioritas antara terpidana dengan ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali yang artinya apakah ahli
waris terpidana dapat melangkahi terpidana untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Undang-undang tidak menentukan kedudukan anatara terpidana
dengan ahli waris. Sekalipun terpidana masih hidup dan sedang mengalami human, maka ahli waris dapat langsung mengajukan permintaan peninjauan kembali
sekalipun terpidana masih hidup. Hak ahli waris untuk mengajukan peninjauan kembali bukan merupakan
hak subsistusi yang diperoleh setelah terpidana meningga dunia. Hak tersebut adalah hak “hak orisinil” yang diberikan oleh Undang-undang kepada mereka demi untuk
40
Op cit M.Yahya Harahap. Hal 616.
41
Ibid,hal 617
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
kepentingan terpidana dan ini berasalah sekalipun terpidana masih hidup kemungkinan besar ahli waris lebih mampu dan lebih dapat leluasa berdaya upaya
untuk memikirkan dan menanggani pengajuan permintaan peninjauan kembali. Berdasarkan alasan dilakukan diatas hak untuk mengajukan permintaan peninjauan
kembali dapat dilakukan oleh terpidana maupun ahli waris telah dilekatkan oleh undang-undang.
b. Ahli Waris Meneruskan Permintaan Terpidana
Sudah dijelaskan, baik terpidana maupun ahli waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah
terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi jika yang mengajukan permintaan itu terpidana, kemudian sebelum peninjauan kembali diputus oleh Mahkamah Agung
terpidana meninggal dunia, menurut pasal 268 ayat 2, hak untuk meneruskan permintaan peninjauan kembali “diteruskan” oleh ahli waris. Dalam peristiwa yang
seperti inilah kedudukan ahli waris menduduki “ hak substitusi” dari terpidana. Kentuan pasal 268 ayat 2 dapat kita ringkaskan sebagai berikut :
1 Yang mengajukan permintaan peninjauan kembali ialah terpidana sendiri,
2 Sementara peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung tapi belum
diputus, terpidana meninggal dunia, 3
Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali, sepenuhnya menjadi hak ahli waris.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Atau keadaannya bisa juga : 1
Terpidana telah meninggal dunia, dan permohonan peninjauan kembali diajukan oleh ahli waris.
2 Sementara itu ahli waris yang mengajukan permohonan meninggal dunia
sebelum Mahkamah Agung memutus. 3
Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali dilanjutkan oleh ahli waris yang meninggal tersebut.
Apa yang diatur pada pasal 268 ayat 2 jika permintaan peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung. Bagaimana halnya jika terpidana yang
mengajukan permohonan peninjauan kembali meninggal dunia sebelum permintaan peninjauan kembali dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung
Permintaan peninjauan kembali dapat diteruskan ahli waris Tentang hal ini undang-undang tidak mengatur. Akan tetapi secara konsisten dapat dipedomani
ketentuan Pasal 268 ayat 2. Apabila terpidana meninggal dunia sebelum permohonan peninjauan kembali dikirimkan kepada Mahkamah Agung, ahli waris
dapat meneruskan atau tidak peninjauan kembali. Dengan demikian, ketentuan pasal 263 ayat 2, bukan saja berlaku pada taraf permohonan peninjauan kembali berada di
Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali berada di Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali masih berada
pada taraf pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri atau pada taraf permohonan peninjauan kembali belum dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung.
c. Permintaan Peninjauan Kembali oleh Kuasa
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Sebagaimana yang sudah dijelaskan, Pasal 263 ayat 1 hanya memberikan kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan
kembali. Apakah ketentuan ini melarang penasehat hukum atau seorang yang dikuasakan terpidana atau ahliwarisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan
kembali Memang kalau secara ketat berpegang pada ketentuan pasal 263 ayat 1, undang-undang tidak memberi hak kepada kuasa mengajukan permintaan peninjauan
kembali. Harus langsung terpidana atau ahli waris. Ketentuan yang seperti ini dijumpai dalam pasal 244 KUHAP. Yang menentukan permohonan kasasi hanya
dapat dilakukan oleh terdakwa yang bersangkutan tidak dapat dikuasakan kapada penasehat hukum atau orang lain.
Ketentuan pasal 244 tersebut diperlunak oleh angka 24 Lampiran Keputusan Metenteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983, tanggal 10 Desember 1983.
oleh angka 24 lampiran tadi yang merupakan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP, telah memperkenankan dibuat terdakwa “secara khusus”. Artinya
penunjukkan kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi harus dibuat terdakwa dalam surat kuasa yang khusus untuk tujuan permintaan permohonan kasasi.
Peninjauan kembali dapat diminta oleh seorang kuasa, dasar hukumnya diterapkan “secara konsisten” pedoman yang terdapat pada angka 24 lampiran
Menteri Kehakiman tersebut. Alasan penerapan pedoman petunjuk yang terdapat pada angka 24 ini ke dalam proses permohonan itu sendiri. Motivasi
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
memperbolehkan seorang kuasa mengajukan permintaan kasasi, tiada lain demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terdakwa. Kalau begitu dengan motivasi
yang sama, pedoman petunjuk angka 24 tadi dapat diterapkan dalam permintaan peninjauan kembali, demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terpidana.
Bukankah setiap orang berhak menunjuk penasehat hukum atau kuasa yang dapat diharapkan membela kepentingan dan memperlindungi hak asasi.
B. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum
Fungsi dan kewenangan jaksa didalam KUHAP Pasal 1 angka 6 huruf a ditetapkan hanya meliputi dan bertindak sebagai penuntut umum dan melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. KUHAP merumuskan demikian karena berkaitan dengan rangkaian ketentuan-ketentuan
lainnya dalam KUHAP.
Sesuai dengan ketentuan pasal 284 ayat 2 KUHAP Jo Pasal 17 PP No 27 Tahun 1983 Jaksa berwenang untuk melakukan penyidikan menurut ketentuan
khusus acara pidana seperti dalam tindak pidan korupsi dan dalam tindak pidana Subversi dan dalam tindak pidana ekonomi. Dengan adanya pasal ini jaksa
berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Maka dengan kewenangan penyidik yang dimiliki oleh jaksa diletakkan diatas corak khusus
ketentuan acara pidana dalam undang-undang yang bersangkutan.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Pelaksanaan sistem peradilan pidana ini Criminal Justice System dalam sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan
persepsi tentang keadilan dan pola penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan pelaksaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidik,
penuntutan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, dan semua lembaga ini berusaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut agar peradilan berjalan
sesuai dengan yang dicita-citakan.
Maka dengan fungsi dan kewenangan masing-masing instansi penegak hukum itu terdapat pembedaan fungsi dan wewenang secara tegas tetapi hal tersebut
bukanlah pemisahan fungsi dan wewenang masing-masing instansi penegak hukum. Dalam hubungannya dengan sistim peradilan perkara pidana terpadu tersebut, untuk
menangani hasil-hasil penyidikan yang yang telah dilaksanakan oleh penyidik maka dalam tahap penuntutan kepada penuntut umum.
Ketentuan Pasal 14 KUHAP yang menyatakan penuntut umum mempunyai wewenang yaitu:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu b.
Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, dengan memberikan
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melaksanakan penahanan atau
penahanan lanjutan dana atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.
d. Membuat surat dakwaan
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
e. Melimpahkan perkara kepengadilan
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan
waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.
g. Melakukan penuntutan.
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum.
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-undang. j.
Melaksanakan penetapan hakim.
Pengertian dari penuntutan itu menurut Andi hamzah yaitu tindakan penuntut umum untuk memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh
penyidik. Sedangkan Harun.M.Husein mengatakan pengertian yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan prapenuntutan itu yaitu harus dihubungkan dengan pasal
8 ayat 3 huruf a, pasal 14 huruf a dan b, pasal 110 dan pasal 138 KUHAP dari rangkaian pasal tersebut nampak hal-hal sebagai berikut:
42
a Pada tahap pertama pertama penyidik hanya meyerahkan berkas perkara.
b Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih
belumkurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan,
penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan.
c Penyidikan dianggap selesai apabila dalam batas waktu 14 hari penuntut umum
tidak mengembalikan berkas perkara atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada
penyidik.
d Penuntut umum setelah menerima berkas perkara segera mempelajari dan
meneliti berkas perkara dan dalam waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum.
e Apakah hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas
perkara dengan petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi dan dalam batas waktu 14 hari sejak penerimaan kembali berkas perkara, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.
42
Harun.M.Husein, Penyidikan dan penuntutan dalam proses pidana, Jakarta:PT Rineka Cipta,hal 234
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Berdasarkan pengertian yang diatas yang dimaksud dengan penuntutan ialah kewenangan penuntutan umum untuk mempersiapkan penuntutan yang akan
dilakukannya dalam suatu perkara, yaitu dengan cara mempelajarimeneliti berkas perkara hasil penyidikan yang diserahkan penyidik kepadanya guna menentukan
apakah persyaratan yang di perlukan guna melakukan penuntutan sudah terpenuhi atau belum oleh hasil penyidikan tersebut.
Ada beberapa bidang tugas dan wewenang kejaksaan berdasar undang-undang No. 5 Tahun 1991 Pasal 27, 28, dan 29 yaitu sebagai berikut :
43
a. Di bidang Pidana
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : 1.
Melakukan penuntutan dalam perkara pidana; 2.
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan; 3.
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat; 4.
Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya
dikoordinasikan dengan penyidik.
b. Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Datun
Di bidang Datun, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
c. Di bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum
Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
1.
Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; 2.
Pengamanan kebijakan penegakan hukum; 3.
Pengamanan peredaran barang cetakan; 4.
Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
5. Pencegahan penyalahgunaan danatau penodaan agama;
6. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Kejaksaan dapat meminta hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena yang
43
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, Hal 58.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.
Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Mencermati
tugas dan wewenang diatas ternyata kewenangan melakukan pengawasan keputusan lepas bersyarat diabaikan oleh pembentuk Undang-undang nomor 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan. Untuk itu, dalam penyusunan peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang kemasyarakatan maka kewenangan kejaksaan perlu
diangkat kembali. Dengan demikian tidak ada kesan saling bertentangan atau tumpang tindih, hal itu perlu diperhatikan pula dalam penyusunan RUU KUHAP baru
sebagai ius constituendum. Dalam rangka pemantapan tugas dan fungsi kejaksaan dan sekaligus dalam
rangka menemukan kebenaran materiil, kiranya pemeriksaan tambahan lebih diefektifkan dan didayagunakan.
Kewenangan penuntut umum secara normatif dirumuskan oleh KUHAP melalui Pasal 14 yaitu :
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari Penyidik atau penyidik
pembantu; b.
Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan dengan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, dengan
memberi membentuk petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan danatau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang ke sidang yang telah ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j.
Melaksanakan penetapan hakim Hal ini cukup urgen untuk dibahas berkaitan dengan kewenangan di atas,
diantaranya adalah prapenuntutan. Prapenuntutan muncul bersamaan dengan diundangkannya KUHAP melalui UU No.8 Tahun 1981.
Istilah ” prapenuntutan” tidak diberi pengertian melalui Pasal 1 KUHAP, dan
hampir sama pengertiannya dengan penyidikan lanjutan dalam HIR, juga dalam praktek Penuntut Umum sering menemui kendala. Kendala yang dimaksud antara
lain: 1
Penyidik sering tidak dapat memenuhi petunjuk Penunut Umum ataupun petunjuknya sulit dimengerti Penyidik, sehingga menyebabkan berkas perkara
bolak-balik Penuntut Umum ke Penyidik dan sebaliknya. 2
Banyak berkas perkara yang dikembalikan Penuntut Umum untuk disempurnakan Penyidik, tidak dikembalikan lagi ke Penuntut Umum.
Prapenuntutan ini merupakan tahap yang amat penting bagi Penuntut Umum, yang menginginkan tugas penuntutan berhasil baik. Kenyataan membuktikan bahwa
keberhasilan Penuntut Umum dalam prapenuntutan akan sangat mempengaruhi
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan dan keberhasilan pembuktian di persidangan.
Agar prapenuntutan dapat berdaya guna dan berhasil guna, kiranya perlu diperhatikan faktor-faktor tertentu yang pada pokoknya:
a. Pembinaan hubungan kerjasama antara Penyidik dengan Penuntut Umum, baik
sebelum atau lebih sesudah adanya pemberitahuan penyidikan kepada Penuntut umum. Pembinaan hubungan kerjasama dan koordinasi ini dimaksudkan untuk
terarahnya penyidikan oleh Penyidik, baik mengenai diri tersangka, perbuatan yang disangkakan maupun pembuktian sehingga dapat menghindarkan hasil
penyidikan yang berlarut-larut dan mondar-mandirnya berkas perkara antara Penyidik dengan Penuntut Umum.
b. Kewajiban penelitian kelengkapan hasil kelengkapan meliputi antara lain
kelengkapan berita acara, keabsahan berita acara, tindakan Penyidik, kesempurnaan alat bukti yang sah, alasan dan dasar penahanan tersangka,
kecocokan benda sitaanbarang bukti dengan daftar yang tercantum dalam berkas perkara dan faktor-faktor lain yang dinilai perlu.
c. Apabila jaksa menelitijaksa penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan
belum lengkap, dalam waktu 7 hari harus memberitahukan kepada Penyidik di sertai petunjuk-petunjuk yang terperinci.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Selain hal-hal diutarakan di muka, ternyata ada beberapa kelemahan pelaksanaan prapenuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu sebagai berikut :
44
1. Penguasaan teknis yuridis
Sejak diterimanya P-16 Jaksa Penuntut Umum tidak mempelajari secara seksama dan sungguh-sungguh serta tidak melakukan kegiatan apa-apa setelah
menerima laporan polisi jadi yang memuat uraian singkat perkara pidana. Tidak jarang terjadi bahwa Penyidik keliru menempatkan pasal-pasal yang disangkakan.
2. Penguasaan teknis administratif
Jaksa Penuntut Umum setelah P-16 tidak tau apa yang harus diperbuat, tidak melakukan kewajiban administrasi seperti sudah diatur dalam keputusan jaksa agung
kepja sehingga banyak sekali dijumpai SPDP yang tidak disusul dengan penyerahan berkas perkara tahap pertama tanpa diketahui sebab-sebabnya.
3. Penunjukan Jaksa Penuntut Umum dalam P-16
Untuk melaksanakan tugas prapenuntutan masih banyak ditemukan hanya ditunjuk satu orang jaksa bahkan dijumpai jaksa yang bertugas melakukan tugas
prapenuntutan bukan menjadi jaksa Penuntut Umum disidang pengadilan sehingga dalam keadaan seperti tersebut tidak pernah dilakukan kegiatan dinamika kelompok.
4. Pemberian Petunjuk untuk Melengkapi Berkas Perkara
Oleh karena jaksa penuntut umum yang bertugas melaksanakan tugas prapenuntutan tidak melakukan tugas dengan baik sejak menerima SPDP maka
44
Ibid, hal 62
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
pemberian petunjuk yang diperlukan untuk melengkapi berkas perkara tidak jarang dapat dilaksanakan penyidik karna tidak jelas.
Tugas dan wewenangan kejaksaan RI adalah sebagai berikut :
45
1. Di bidang Pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang
a Melakukan penuntutan;
b Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap; c
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang; e
Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaanya dikoordinasikan dengan Penyidik 2.
Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan usaha khusus dapat bertindak didalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara dan
pemerintah. 3.
Dalam Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum, kejaksaan turut menyelenggarkan kegiatan :
a Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
45
Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi Dan Fingsinya Dari Perpekstif Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, Hal 128
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
b Pengamanan kebijakan penegak hukum;
c Pengamanan peredaran barang cetakan;
d Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara; e
Pencegahan penyalahgunaan danatau penodaan agama; f
Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. 4.
Dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak;
5. Membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan negara lainnya;
6. Dapat memberi pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah
lainnya. Tugas dan wewenang jaksa agung menurut Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004
yaitu:
46
1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam
ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; 2.
Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; 3.
Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; 4.
Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
5. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam
pemeriksaan kasasi perkara pidana;
46
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
6. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah
kekuasaan negara RI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya Pasal 36 UU No.16 Tahun 2004 mengatur bahwa :
47
1. Jaksa Agung memberikan ijin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau
menjalani perawatan di rumah sakit dalam luar negeri, kecuali dalam 2.
Keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri 3.
Ijin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepada Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung,
sedangkan untuk berobat atau menjalani rumah sakit diluar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung
4. Ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2, hanya diberikan atas dasar
rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang
dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri.
Kemudian pasal 37 UU No.16 Tahun 2004 menegaskan bahwa :
48
1. Jaksa agung bertanggungjawab atas penununtutan yang dilaksanakan secara
independent demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. 2.
Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas
.
Menurut UU No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI diatur tugas dan wewenang kejaksaan RI, dalam Pasal 27 menegaskan bahwa:
49
1. Di bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a Melakukan penuntutan dalam perkara pidana;
b Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan;
c Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan bebas bersyarat;
d Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik
47
Ibid
48
Ibid
49
Opcit, Kejaksaan RI Posisi Dan Fingsinya Dari Perpekstif Hukum, hal 131
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
2. Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan usaha khusus dapat
bertindak didalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara dan pemerintah
3. Dalam Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan : a
Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b
Pengamanan kebijakan penegak hukum; c
Pengamanan peredaran barang cetakan; d
Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e Pencegahan penyalahgunaan danatau penodaan agama;
f Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Undang-undang No 5 Tahun 1991 Pasal 28 menetapkan bahwa kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit
atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang
lain, lingkungan atau diri sendiri. Sementara itu, Pasal 29 Undang-undang No 5 Tahun 1991 tersebut
menetapkan bahwa disamping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-undang.
Selanjutnya, Pasal 30 Undang-undang No 5 Tahun 1991 menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan-badan penegak hukum dan keadilan serta badan Negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 31
mengatur bahwa kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi Pemerintah lainnya.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Mengenai tugas dan wewenang Jaksa Agung diatur dalam beberapa pasal di bawah ini. Pasal 32 Undang-undang No. 5 tahun 1991 mengatur bahwa Jaksa Agung
mempunyai tugas wewenang:
50
a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan
dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan; b.
Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan institusi terkait berdasarkan Undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh
Presiden. c.
Menyampingkan perkara demi kepentingan Umum. d.
Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara;
e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam
pemeriksaan kasasi perkara pidana; f.
Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan negara RI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai
peraturan perundang-undangan Kemudian pasal 33 menegaskan bahwa:
51
1. Jaksa Agung memberikan ijin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam luar negeri.
2. Ijin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepala Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung,
sedangkan untuk berobat atau menjalani rumah sakit diluar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung.
50
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
51
Ibid
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
3. Ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2, hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri
rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam
negeri.
Tugas dan wewenang Kejsaksaan Republik Indonesia diatur juga dalam Undang-undang No. 15 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kejaksaan RI.
Dalam pasal 2 Undang-undang itu ditetapkan bahwa dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1, kejaksaan mempunyai tugas:
52
1. Mengadakan penuntutan perkara-perkara pidana pada pengadilan yang
berwenang, menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana. 2.
Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang hukum acara pidana dan lain-lain peraturan negara.
3. Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara. 4.
Melaksanakan tugas-tugas khusus lainya yang diberikan kepadanya oleh sesuatu peraturan negara.
Disamping pengaturan tugas kejaksaan diatas, Undang-undang No 15 Tahun 1961 mengatur wewenang dan kewajiban Jaksa Agung. Pasal 7 ayat 2 menegaskan
bahwa untuk kepentingan penuntutan perkara, jaksa agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam lingkungan daerah hukumnya memberikan petunjuk-petunjuk
mengkoordinasikan dan mengawasi alat-alat Penyidik dengan mengindahkan hierarki. Ayat 3 mengatur bahwa jaksa agung memimpin dan mengawasi para jaksa
dalam melaksanakan tugasnya. Selanjutnya dalam pasal 8 undang-undang itu ditegaskan bahwa jaksa agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan
kepentingan umum. Kemudian pasal 9, mengatur bahwa jaksa agung dan jaksa-jaksa
52
Opcit, Kejaksaan RI Posisi Dan Fingsinya Dari Perpekstif Hukum, Hal 135
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
lainnya dalam lingkungan daerah hukumnya menjaga agar menahan dan perlakuan terhadap orang yang di tahan oleh pejabat-pejabat lain dilakukan berdasarkan hukum.
Ketiga undang-undang kejaksaan itu menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan
penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Dalam Undang-undang No 16 Tahun 2004 dan Undang-undang No 5 Tahun 1991 ditegaskan
bahwa kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Disamping itu, Undang-undang No 16 Tahun 2004 dan Undang-undang No 5 Tahun 1991 mengatur tugas dan wewenang jaksa agung yaitu:
53
a. Menetapakan serta mengendalikan kebijakan menegakkan hukum dan keadilan
dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; b.
Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; c.
Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana institusi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh presiden;
d. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
e. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada mahkamah agung dalam
perkara pidana, perdata dan tata usaha negara; f.
Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada mahkamah agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
53
Ibid, hal 140
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
g. Menyampaikan pertimbangan kepada presiden mengenai permohonan grasi
dalam hal pidana mati. h.
Mencegah atau menangkal orang tertentu un tuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara
pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini sangat relevan untuk mendapat perhatian khusus tentang pentingnya upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa. Dimana
Jaksa disini mewakili korban dalam melakukan Upaya Hukum Peninjauan kembali dalam hal bidang Penuntutan Sesuai dengan wewenangnya. Korban yang merasa
tidak puas atas putusan pengadilan yang tidak adil diwakili oleh jaksa untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali.
C. Korban yang diwakili oleh Jaksa
Pengertian korban kejahatan berkaitan erat dengan sifat kejahatan itu sendiri. Korban kejahatan pada mulanya hanya diartikan sebagai korban dari kejahatan yang
bersifat konvensional, misalnya pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, dan pencurian. Kemudian diperluas pengertiannya menjadi kejahatan yang bersifat non
konvensional seperti terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika, kejahatan terorganisir, kejahatan terhadap kemanusiaan crime againts humanity,
penyalahgunaan kekuasaan. Sedangkan Mardjono mengatakan mengenai korban ini
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
meliputi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, yang bersumber dari illegal abuses of economic power dan illegal abuses of public power.
54
Korban kejahatan dalam hukum pidana sangat sulit diberikan batasan secara pasti karena kejahatan atau pelanggaran hukum pidana dapat menimbulkan dampak
yang luas materil dan immateril baik langsung maupun tidak langsung. Hukum pidana tidak memberikan penjelasan tentang siapa yang menjadi korban dari suatu
kejahatan atau pelanggaran hukum pidana. Batasan tentang korban kejahatan itu dapat ditemukan dalam disiplin non hukum pidana misalnya viktimologi dan
kriminologi. Pasal dalam hukum pidana secara tidak langsung ada juga yang memberikan pengertian yang ditujukan terhadap korban kejahatan dalam konteks
yang beragam seperti pengadu, pelapor, saksi atau saksi korban dan pihak ketiga yang berkepentingan dan pihak yang dirugikan sebagai penggabung dalam prosedur
pidana
55
Penentuan batasan pengertian korban kejahatan atau dampak kejahatan terhadap korbannya merupakan bagian yang tidak mudah untuk dirumuskan karena
menjangkau pada aspek-aspek kehidupan yang bersifat tidak terbatas dan tidak terhitung. Maka lebih mudah untuk menentukan batasan kejahatan dari pada
merumuskan batasan dampak kejahatan terhadap korbannya. Penjelasan mengenai
54
Mardjono Reksodiputro,Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban di dalam JE. Sahetapy Viktimologi:Sebuah Bunga rampai, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta , 1987, hal 96
55
Istilah pihak yang dirugikan disini ditujukan kepada korban kejahatan sebagai mana dalam penjelasan pasal 98 ayat 1 tetapi ketentuan ini dalam konteks keperdataan dalam rangka penggabungan
perkara perdata dalam prosedur acara pidana.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
korban kejahatan paling tidak mencukup 3 hak yaitu siapa yang menjadi korban kejahatan, penderitaan dan kerugian apa yang dialami oleh korban kejahatan dan
siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana penderitaan atau kerugian yang dialami oleh korban tersebut setelah dipulihkan. Atas pertimbangan tersebut pengkajian
tentang posisi hukum korban kejahatan dalam lingkupnya ini dipulihkan melalui upaya hukum peninjauan kembali.
Korban kejahatan dikelompokkan dalam beberapa kelompok antara lain yaitu: korban kejahatan bersifat abstrak, misalnya negara atau masyarakat, korban
kelompok, misalnya organisasi atau kelompok berdasarkan ras, agama, etnis, suku, warna kulit atau karena adanya persamaan kepentingan dan korban yang nyata.
Misalnya individu dan individu.
Kajian terhadap korban yang nyata ini memiliki ciri-ciri yang mudah diamati dan paling sering terjadi dalam masyarakat seperti kejahatan terhadap badan atau
nyawa dan kejahatan terhadap kesusilaan. Ini disebut sebagai korban kejahatan konvensional yang mana korban kejahatannya konvensional dan korban kejahatannya
bersifat langsung dan nyata yang menimbulkan kerugian kepada korbannya.
Posisi hukum dari korban kejahatan diartikan sebagai kedudukan hukum korban dalam hukum pidana. Posisi hukum korban tersebut dapat diketahui melalui
kajian tentang konsep kejahatan atau pelanggaran hukum pidana yaitu hak atau kepentingan siapakah yang dilanggar oleh pelanggar hukum pidana, konsep kejahatan
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
menjadi pokok pangkal pengkajian posisi hukum korban kejahatan dalam sistim peradilan pidana, karena dalam pelaksanaanya hak-hak yang telah dimiliki dan akan
dimiliki oleh korban kejahatan akan memiliki dasar hukum yang lebih kuat jika eksistensi dan posisi hukumnya diakui oleh hukum pidana. Posisi hukum korban
kejahatan dalam sistem peradilan pidana dilakukan pada peraturan hukum pidana formil dan materil yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan sistem peradilan
pidana.
Hukum itu adalah suatu sistem yaitu sistem norma-norma
56
. Sebagai sistem hukum memiliki sifat umum dari suatu sistem. Paling tidak ada memiliki tiga ciri
umum yaitu menyeluruh Wholes, memiliki beberapa elemen Elements, semua element saling terkait Relations, kemudian membentuk struktur. Maka sistem
hukum memiliki cara kerja sendiri untuk mengukur vadilitas suatu norma dalam suatu sisitem hukum tersebut. Sedangkan Lawrence W Friedman memberi konsep
suatu sistem hukum dalam arti yang lebih luas yang meliputi 3 elemen yaitu element struktural, substansi, budaya hukum
57
dan elemen ke empat yaitu dampak
58
.
56
Hukum dikatakan sebagai suatu sistem karena memiliki ciri-ciri umum suatu sistem hukum, tetapi batasan yang diberikan berbeda karena melihyat dari sudut pandang yang berbeda sebagaimana
dikatakan hans kelsen yaitu melihat sistem hukum dari sudut hukum positif dikaitkan dengn teorinya yang terkenal dengn norma dasar.
57
Budaya Hukum menurut Lawrence M.Friedman yaitu sikap orang terhadap hukum yang dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai,ide, dan pengharapan-pengharapan.maka dengan adanya empat
element tersebut secara implisit Friedman mengakui bahwa masalah hukum tidak bisa digeneralisasikan pada lintas sistem hukum, karena budaya hukum itu adalah khas dari masing-masing
masyarakat.
58
Element keempat ini ditujukan kepada dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi kajian para peneliti.Pandangan Friedman tentang tentang sistem hukum tersebut dilatarbelakangi oleh
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Perlindungan saksi
korban disini berasaskan pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, kepastian hukum. Perlindungan terhadap korban
ini beertujuan: memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban dalam memberikan setiap keterangan dalam proses peradilan pidana.
Perlindungan terhadap para saksi dan korban ini berasaskan pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminasi, dan
kepastian hukum. Perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses
peradilan pidana saksi dan korban berhak untuk mendapat:
59
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,
serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksiaan yang akan sedang atau tela diberikannya.
2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan 3.
Memberikan keterangan tanpa tekanan.
sistem hukum amerika yang bercorak common law system. Untuk menjelaskan civil law system atau hukum kontinental hukum indonesia memiliki karakter civil law system hukum kontinental perlu ada
penekannan bagian tertentu yang relevan dengan ciri umumnya, yaitu hukum dipahami sebagai peraturan perundang-undangan yang tertulis ditetapkan oleh pembentuk hukum yang berkompeten,
oleh sebab itu kajian ini difokuskan kepada dua aspek yaitu aspek substansi dajn struktural.
59
UU No 13 Tahun 2008 Tentang Saksi Dan Korban
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
4. Mendapat penerjemah.
5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
6. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
7. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
8. Mendapat identitas baru.
9. Mendapatkan tempat kediaman baru
10. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
11. Mendapat nasihat hukum
12. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.
Pengertian korban menurut Arif hwa Gosita yaitu: Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Dari pengetian ini diuraikan secara rinci bahwa korban
kejahatan ada yang bersifat individual dan kolektif.
Korban individual ini dapat diidentifikasi sehingga perlindungan korban dilakukan secara nyata akan tetapi korban kolektif sangat sulit diidentifikasi.
Sedangkan dalam Pasal 37 Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup diberikan jalan keluar terhadap korban kolektif berupa hak
melakukan upaya hukum menuntut ganti rugi atau pemulihan lingkungan hidup
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
melalui gugatan perwakilan kelompok class action. Dikaji dari perspektif jenisnya, koraban kejahatan ada yang bersifat langsung yaitu korban kejahatan itu sendiri, dan
tidak langsung korban semua abstrak yaitu masyarakat
60
.
Selin Dan Wolfgang mengklasifikasikan secara eksplisit jenis korban sebagai berikut:
a. Primary Victimization adalah korban individual. Korbannya merupakan orang
perorangan atau bukan kelompok. b.
Secondary Victimization. Korban merupkan kelompok seperti badan hukum. c.
Tertiary vctimazation korban merupakan seperti kelompok badan hukum. d.
Tertiary victimiation korban merupakan masyarakat luas e.
Mutual victimazation korban merupakan pelaku, misalnya pelacuran, perzinahan,narkotika.
f. Novictimazation Korban tidak segera dapat diketahui, misalnya konsumen yang
tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.
Apabila dikaji lebih jauh dari persektif kerugian, korban dapat diderita oleh seorang, kelompok masyarakat, maupun masyarakat luas. Selain itu kerugian korban
juga dapat bersifat materil yang lazimnya dinilai dengan uang dan immateril yakni
60
Lilik Mulyadi , Kapita Selekta Hukum Pidana kriminologi dan Viktimologi, Jakarta: PT Djambatan, 2004,hal 120
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
peerasaan takut, kejutan, psikis.
61
Sedangkan dalam sistim peradilan indonesia ternyata kedudukan korban relatif kurang diperhatikan karena ketentuan hukumnya
masih bertumpu pada perlindungan bagi pelaku.
Sistim peradilan indonesia yang memberikan kewenangan jaksa untuk mewakili kepentingan korban kejahatan. Hal ini merupakan bagian dari perlindungan
masyarakat sebagai konsekuensi logis dari teori kontrak sosial dan teori solidaritas sosial
62
. Model perlindungan terhadap korban kejahatan ini yaitu model hak-hak prosedural. Secara singkat model ini menekankan agar korban berperan aktif dalam
proses peradilan pidana seperti membantu jaksa penuntut umum dilibatkan dalam setiap pemeriksaan perkara yang didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas
bersyarat. Begitu juga dengan korban bisa mendapatkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya. Keterlibatan korban dalam proses peradilan tentunya
mempunyai dampak positif dan negatif.
Partisipasi korban dalam pelaksanaan proses peradilan pidana dapat menyebabkan kepentingan pribadi terletak diatas kepentingan umum. Secara historis
teori tersebut merupakan latar belakang terhadap terbebtuknya lambaga kejaksaan sebagaiamana yang dikatakan oleh Jan JM Van Dijk, The Hague, bahwa secara
61
Mardjono Reksodiputro,Kriminologi dan Sistim Peradilan Pidana,Universitas Indonesia: Jakarta,1994, hal 78
62
Muladi Dan Barda Nawai Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung:PT Alumni,1992 hal 78
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
historis, argumen inilah yang melatarbelakangi atau sebagai justifikasi terhadap terbentuknya jaksa penuntut umum.
Sedangkan alasan yang diberikan oleh orang yang menolak hak korban diberikan untuk melakukan peninjauan kembali yaitu dengan diberikannya peran
individual kepada korban dalam proses persidangan atau penuntutan terhadap pelaku, berarti membuatnya ikut bertanggung jawab atas jalannya persidangan serta dari hasil
proses persidangan tersebut. Tanggung jawab ini akan menjadi tekanan yang cukup berat bagi korban dalam berbagai segi. Tekanan bisa muncul dari pihak dengan siapa
korban melakukan kontak dan atau disebabkan oleh pihak polisi atau jaksa yang memanfaatkan hak-haknya untuk kepentingan umum.
Model hak-hak prosedural ini dapat menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan individual sikorban, disamping suasana peradilan yang bebas
dan dilandasi asas praduga tidak bersalah presumption of innocence dapat terganggu oleh pendpat korban tentang hukuman yang dijatuhkan karena didasarkan atas
pemikiran emosional sebagai upaya untuk mengadakan pembalasan. Selain itu menetapkan jaksa penuntut umum sebagai yang mewakili korban sering kali dalam
prakteknya aspirasi korban kurang diperhatikan sehingga menimbulkan ketidak puaasan atas tuntutan jaksa dan putusan hakim. Aspek inilah merupakan salah satu
yang dipicu karena secara prosedural korban tidak mempunyai peluang untuk menyatakan ketidak puasannya terhadap tuntutan jaksa dan putusan hakim.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Jaksa penuntut umum sebagai lembaga yang mewakili korban dalam tuntutan pidananya lebih banyak menguraikan penderitaan korban akibat tindak pidana yng
dilakukan oleh pelaku. Dengan tolak ukur tersebut, pengajuan tuntutan pidana hendaknya harus didasarkan pada keadilan yang ditinjau dari kaca mata korban.
Dengan demikian jaksa penuntut umum cenderung menuntut hukuman yang relatif tinggi, sedangkan terdakwa atau penasehat hukumnya berhak memohon hukuman
yang seringan-ringannya. Bahkan kalau memungkinkan mohon agar terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan jaksa penuntut umum. Putusan hakim yang berupa
pemidanaan veroordeling sebagaimana dikatakan Barda Nawawi Arief dari
simposium pembaharuan hukum pidana nasional tahun 1980, yaitu sebagai berikut:
63
1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa persidangan tersebut menjunjung tinggi harkat
dan martabat seseorang. 2.
Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai
sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan. 3.
Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil, baik oleh terhukum, korban, maupun masyarakat.
63
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan kejahatan dengan pidana penjara, Semarang:Undip,1996.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Apabila dijabarkan, ketentuan pasal 100 ayat 2 KUHAP telah membatasi korban dalam hal berikut:
a. Ditinjau dari anasir prosesnya, maka tidak ada aturan atau pedoman yang
harus dilakukan korban apabila merasa tidak puas atas putusan hakim tentang besarnya ganti kerugian yang dijatuhkan. Konkertnya, korban tidak mempunyai
proses langsung untuk melakukan upaya hukum banding. Karena itu, berdasarkan ketentuan pasal 100 ayat 2 KUHAP maka permintaan banding
putusan ganti kerugian baru dapat dijalankan apabila perkar pidananya dilakukan upaya hukum banding. Konkretnya, jika korban berkeinginan untuk
mengajukan banding, jalurnya hanya melalui penuntut umum yang belum tentu menyetujui kehendak korban. Hal ini dikarenakan jalur tersebut bukan
merupakan ketentuan undang-undang, melainkan berdasarkan pendekatan persuasif antara korban dan penuntut umum. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa perlindungan korban yang diberikan melalui ketentuan dimaksut belum sepenuhnya dapat menjamin kepentingan korban dalam upaya untuk mencari
keadilan.
b. Perlindungan korban melalui upaya hukum banding tergantung kepada
penuntut umum. Tegasnya, besar kemungkinan terjadi perbedaan pandang dan kepentingan antara korban dan penuntut umum. Jika korban berkeinginan
mengajukan banding sedangkan penuntut umum menerima putusan, maka keinginan korban untuk melakukan upaya hukum banding telah tertutup.
Aspek ini merupakan konsekuensi logis dari sistem peradilan pidana indonesia yang menempatkan eksistensi lembaga kejaksaan sebagai wakil
kepentingan korban kejahatan. Disatu sisi sebagai lembaga yang mewakili korban, idealnya kejaksaan lebih mementingkan korban. Akan tetapi, penuntut umum masih
mengacu kepada pelaku tindak pidana. Untuk itu, pada masa mendatang ius constituendum sebagai reorientasi, revaluasi KUHAP guna menghilangkan aspek
negatif perlu diatur eksistensi lembaga kejaksaan yang mewakili korban atau
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
masyarakat secara tegas, atau korban dapat secara langsung menggunakan sendiri suatu upaya hukum.
Pembatasan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 100 ayat 2 KUHAP, perlindungan kepada korban melalui ketentuan Pasal 99 ayat 1 KUHAP teryata
relatif kurang sempurna. Berdasarkan ketentuan ini, apabila terjadi penggabungan gugatan ganti kerugian, untuk memeriksanya harus bermuara pada hukum acara
perdata. Terlebih lagi khususnya kewanangan bersifat absolut yang harus diajukan kepada pengadilan negeri dimana tergugat bertempat tinggal.
Terdakwa yang diadili perkara pidananya disidangkan diluar wilayah tempat tinggal atau tempat kediamannya, tentu pangadilan negeri tersebut tidak akan
memeriksa dan tidak akan mengadilinya karena salah satu asas dalam hukum pedana menyatakan bahwa terdakwa akan diadili dimana perbuatan tersebut dilakukan. Oleh
karena itu, jika hukum acara pidana benar-benar hendak memperhatikan kepentingan korban, diperlukan adanya penyempurnaan dalam KUHAP itu sendiri dengan
memberikan peran lebih besar kepada korban dalam mengajukan upaya hukum banding.
Korban dapat mengajukan banding jika tidak merasa puas atas putusan hakim, baik menyangkut pemidanaan maupun terhadap tuntutan ganti kerugian. Demikian
pula halnya mengenai kewenangan mengadili sepanjang hal yang menyangkut
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
kerugian materil tidaklah memerlukan pemisahan antara kompetensi peradilan pidana dan perkara perdata terkait dengan gugatan ganti kerugian.
Kitab undang-undang hukum acara pidana sebagai peraturan perundang- undangan di indonesia yang mengatur mengenai upaya hukum peninjaauan kembali
sebagaimana yang terdapat didalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Mengatakan bahwa yang berhak untuk melakukan permohonan peninjauan kemabli menurut pasal 263
ayat 1 KUHAP yaitu hanya terpidana dan ahli warisnya, mengenai jaksa diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali dalam KUHAP tidak ada diatur. Pasal 263
KUHAP tersebut juga, memberi celah kepada Jaksa Penuntut Umum Untuk mengajukan peninjauan kembali sebagaiamana yang terdapat dalam Pasal 263 ayat 3
KUHAP.
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan
yang dinyatakan terbukti namun tidak diikuti pemidanaan. Maka disini lah celah bagi jaksa penuntut umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Upaya
hukum peninjauan kembali sebagaiamana dimaksud dalam pasal 263 ayat 3 KUHAP ini tidak memungkinkan Terpidana mengajukan Upaya Hukum Peninjauaan kembali
terhadap suatu putusan bebas yang mana ini akan merugikan bagi dia untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Jaksa dalam hal ini dianggap perlu untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap walaupun KUHAP
sebagai peraturan perundang-undangan diindonesia tidak mengatur mengenai upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa, dimana yang diatur hanya
terpidana saja.
Jaksa sebagai mengatas namakan negara demi kepentingan umum berhak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali walaupun KUHAP tidak
mengaturnya, namun dalam prakteknya. Jaksa diperbolehkan melakukan peninjauan kembali,apabila menyangkut mengenai kepentingan umum. Pengajuan uapaya hukum
peninjauan kembali ini sebagai terobosan hukum untuk menerobos legalistik ,sebagaiaman asas perundang-undangan indonesia berdasarkan peraturan yang ada.
Teori keseimbangan hukum ini sebagai mana dikatakan Alvi Syahrin dalam bukunya beberapa masalah hukum, bahwa hukum mengendalikan keadilan law
wants justice . Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan equality, hak asasi individu individual right, kebenaran truth, kepatuhan
fairnes, dan melindungi masyarakat protection public interest. Hukum yang mampu menegakkan nilai-nilai tersebut, jika dapat menjawab :
64
a. Kenyataan relita yang dihadapi masyarakat.
b. Yang mampu menciptakan ketertiban.
64
Alvi Syahrin,2009, Beberapa Masalah Hukum, Medan:PT Sofmedia, hal 3.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
c. Yang hendak ditertibkan adalah masyarakat, oleh karena itu orde yang
dikehendaki adalah ketertiban sosial yang mampu berperan. Berdasarkan teori keseimbangan yang dikatakan Alvi Syahrin bahwa keadilan
yang dikehendaki oleh hukum itu harus mempunyai persamaan equality. Dalam penelitian ini penulis merasa peninjaun kembali yang terdapat didalam KUHAP Pasal
263 Ayat 1 KUHAP bahwa yang diperbolehkan mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana, atau ahli warisnya. Maka muncul pertanyaan mengapa kuhap juga
tidak mengatur peninjaun kembali yang dilakukan oleh korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Yang mana dalam hal ini korban dan terpidana, mempunyai
kedudukan yang sama didalam hukum.
Dalam hal konteks putusan pengadilan, yang memutus peninjauan kembali adalah disni hakim, bukan jaksa, jadi menurut penulis putusan yang tidak adil
menurut terdakwa disni adalah putusan hakim bukan putusan jaksa jadi tidak wajar apabila hak nya tidak diakui oleh KUHAP karena sama-sama mereka tidak mendapat
putusan yang adil. Namun timbul pertanyaan, Bagaimana dengan hak korban, yang tidak puas dengan putusan hakim, apabila tidak diatur didalam Undang-undang
mengenai haknya untuk melakukan peninjaun kembali, sedangkan terpidana apabila tidak puas dengan putusan Mahkamah Agung dapat melakukan peninjauan kembali.
Maka dalam hal ini adalah tidak adil menurut penulis, apabila korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum tidak diperbolehkan melakukan peninjauan kembali.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Sementara terpidana dalam hal ini diakui oleh Undang-undang untuk melakukan peninjauan kembali.
Maka berdasarkan teori keseimbangan diatas keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan adalah tidak berjalan semana mestinya,
karena hak antara terpidana dan korban tidak dipersamakan dalam undang-undang untuk mencari keadilan terhadap suatu putusan hakim yang tidak adil. Maka menurut
penulis untuk Rancangan KUHAP yang akan datang supaya hak korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum diberikan wewenang untuk melakukan upaya
hukum peninjaun kembali sehingga tercipta kepastian hukum dan keadilan diantara kedua belah pihak.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
BAB III PRAKTEK PERADILAN INDONESIA YANG MEMBENARKAN JAKSA
PENUNTUT UMUM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG BERKEKUATAN
HUKUM TETAP
Upaya hukum peninjauan kembali dalam praktek peradilan indonesia pada masa akhir-akhir ini telah menimbulkan perdebatan hukum diantara wewenang dua
belah pihak dalam mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Upaya hukum peninjauan kembali ini yang mana menurut pasal 263 KUHAP yang diatur hanya
wewenang dari terpidana dan ahli warisnya yang melakukan peninjauan kembali, sementara dari pihak korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum tidak diatur
untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Peninjauan kembali yang merupakan hak dari terpidana, dalam belakangan ini muncul keinginan pihak lain di luar terdakwa untuk melakukan peninjauan kembali.
Pihak tersebut ialah Jaksa Penuntut Umum yang mewakili korban yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa itu adalah salah. Hal ini menimbulkan
pertanyaan, apa yang menjadi dasar hukum bagi jaksa untuk mengajukan upaya hukum tersebut karena hak untuk mengajukan upaya hukum peninjaun kembali
berdasarkan undang-undang No 8 Tahun 1981 itu adalaha hak dari terpidana atau ahli warisnya.
Kontroversi ini memberikan jawaban bahwa dalam perkembangannya upaya hukum peninjauan kembali ini dalam praktek pradilan memberikan hak atau
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
wewenang bagi jaksa penuntut umum untuk melakukan peninjauan kembali. Lahirnya kewenangan bagi jaksa untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali
ini yaitu dengan adanya kasus muchtar pakpahan, sebagai awal Mulanya Jaksa diberikan kewenangan untuk melakukan peninjauan kembali, dan diikuti oleh kasus-
kasus bertikutnya yaitu kasus Gandhi Memorial School, dr Linus Waworuntu dan Pollycarpus Budiharipriyatno.
Putusan terhadap Muchtar Pakpahan ini dijadikan acuan bagi hakim untuk memutus perkara peninjauan kembali, yang dilakukan oleh jaksa. Mengenai syarat
formil dari diterimanya peninjauan kembali tersebut. Dan ini merupakan suatu penemuan hukum.
65
Sebagaimana yang dikatakan oleh Bambang Sutiyoso mengenai pembentukan hukum Rechtsvorming yaitu merumuskan peraturan-peraturan yang
berlaku secara umum bagi setiap orang dan ini lazimnya dilakukan oleh pembentuk Undang-undang. Hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum Judge Made
Law kalau putusannya menjadi yurisprudensi tetap Vaste Jurisprudance.
A. Kasus Muchtar Pakpahan
Adapun pertimbangan Mahkamah Agung dalam mengabulkan permohonan dari Jaksa Penuntut Umum Yaitu: Hukum terbentuk antara lain melalui putusan-
putusan Hakim, sepeti halnya, dalam masalah permohonan kasasi pasal 244 KUHAP yang berbunyi : “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat
65
Bambang Sutiyoso , Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press, 2006, hal 84
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
terakhir oleh Pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung
kecuali terhadap putusan bebas”.
Menegaskan bahwa permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan kecuali putusan bebas dapat dimintakan kasasi, atau dengan perkataan lain putusan bebas
dengan tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Melalui penafsiran pasal 244 KUHAP tersebut Hakim menentkan bahwa terdapat 2 macam putusan bebas, yakni bebas
murni dan bebas tidak murni, putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, sedangkan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi.
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 menentukan : Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang,
terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan PK kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana
oleh pihak-pihak yang berkepentingan”. Dalam perkara pidana terdapat 2 pihak yang berkepentingan yakni yang satu adalah terdakwa dan yang lainnya Jaksa Penuntut
Umum yang mewakili kepentingan Umum negara. Menurut pasal 21 Undang- Undang Nomor 14 tahun 1970 tersebut disebutkan “pihak-pihak yang
berkepentingan, jadi pihak-pihak yang dimaksud disini yang dapat megajukan permohonan peninjauan kembali yaitu Jaksa Penuntut Umum.
Pasal 263 ayat 3 KUHAP menentukan: “ atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2 terhadap putusan pengadilan yang telah
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan permohonan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu sudah dinyatakan terbukti tapi tidak
diikuti suatu pemidanaan”. Maka oleh Mahkamah Agung berdasarkan pasal 263 ayat 3 KUHAP tersebut ditujukan kepada Jaksa Penuntut Umum. Dimana Jaksa disini
adalah pihak yang paling berkepentingan. Jaksa penuntut umum telah berhasil membuktikan dakwaannya dimuka sidang
dan Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi tidak diikuti oleh suatu
pemutusan pemidanaan oleh hakim. Jaksa dalam hal ini yang paling berkepentingan agar putusan pengadilan tersebut dirubah sehingga putusan yang berisi pernyataan
kesalahan terdakwa tersebut diikuti dengan pemidanaan atas diri terpidana. Berdasarkan asas legislitas dan dalam rangka menerapkan asas keseimbangan
antara hak asasi dari Temohon peninjauan kembali sebagai perseorangan atau sebagai manusia seutuhya berwujud kepentingan perseorangan atau golongan tertentu
sebagai satu pihak dan kepentingan umum, bangsa masyarakat luas termasuk kepentingan “Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia’ sebagai
kepentingan masyarakat Indonesia seluruhnya pada pihak lainnya yang tidak terpisah dari Kejaksanaan Republik Indoensia yang dipimpin oleh Jaksa Agung RI.
Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali ini selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua
hukum dan Undang-Undang diseluruh wilayah Negara diterapan secara tepat dan
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
adil, lagi pula mengenai dapat tidaknya diajukan permohonan peninjauan kembali perkara ini masih menjadi masalah hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini Ingin menciptakan Hukum Acara Sendiri guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau
wewenang Jaksa Penuntut Umum tersebut dengan menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dari Pemohon peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum secara
formal dapat diterima, sehingga dapat diperiksa apakah pihak yang memohon peninjauan dapat membuktikan apakah putusan bebas tersebut sudah tepat dan adil.
Mengenai putusan bebas Hadari Djenawi tahrir mengemukakan pasal 263 ayat 1 terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum, merupakan putusan
pengadilan yang dikecualikan oleh pasal 263 ayat 1 untuk dapat diadakan Peninjauan Kembali, artinya bahwa atas kedua putusan Pengadilan tersebut tidak
dapat dimintakan PK , menurut Hadari, Pembuat Undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang arti kata putusan bebas maupun putusan lepas dari segala tuntutan
hukum, tetapi dari pasal 191 ayat 1 dan 2 pengertian Istilah-istilah tersebut dapat disimpulkan.
66
Mengenai pengertian pada ayat 1 pasal 263 KUHAP yang disebut putusan bebas didalam praktek dikenal dengan istilah Vrijsprak Sedangkan yang
dimaksud dari istilah lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut dalam ayat 2 pasal 263 KUHAP, identik dengan istilah onstlag van
rechtsvervolging
67
. Dalam praktek kedua istilah tersebut sudah berkembang
66
Hadari Djenawi Tahir Loc it Hal 26-29.
67
Harun M. Husein, 1992, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Jakarta :Sinar Grafika, hal 111.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
sehingga tidak dapat dikatakan secara tegas apakah suatu putusan pengadilan itu benar-benar merupakan suatu putusan vrijspraak atau ontslag van rechtvervolging.
Menurut Adi Andjoyo, pengajuan dan pengabulan permohonan PK kasus Muchtar Pakpahan merupakan penyimpangan penafsiran peraturan perundang-
undangan, sebab KUHAP telah membatasi bahwa putusan bebas tidak dapat lagi dibanding di tingkat apapun, apalagi untuk diajukan ketingkat PK. Putusan kasasi
dalam kasus Muchtar Pakpahan ditegaskan Adi Andojo juga mengemukakan KUHAP secara tegas menggariskan bahwa putusan bebas itu merupakan hak yang
melekat pada terpidana dan tidak dapat diajukan banding ataupun PK, yang ada adalah Jurisprudensi yang menerima pengajuan kasasi bagi putusan bebas tidak
murni. Andi Andojo mengatakan sekalipun hukum itu merupakan penafsiran akan
tetapi tidak dapat ditafsirkan terlalu jauh, bisa-bisa hukum menjadi menyimpang. Penafsiran terhadap rumusan-rumusan hukum tidak boleh mengada-ada, harus ada
relevansi menurut hukum pidana.
68
Albert Hasibuan juga mengomentari diterimanya PK terhadap putusan bebas. Albert menyatakan suatu hal yang juga perlu dibahas lebih dalam adalah mengapa PK
Membuat kriteria pembebasan murni dan pembebasan tidak murni, Yaitu: a.
Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang tidak murni apabila pembebasan itu didasarkan pada kekeliruan penafsiran atau istilah dalam surat dakwaan, atau apabila
putusan bebas itu merupakan pelepasan dari segala tuntutan hukum atau apabila dalam putusan bebas itu pengadilan telah bertindak melampaui batas wewenangnya
b. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni, apabila pembebasan itu
didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur tindak pidana.
68
Suara Pembaharuan, 21 November 1996, Adi Andojo: Putusan Bebas Murni Tidak Boleh dibanding.”
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
dilangsungkan terhadap putusan bebas terhadap bagi Muchtar Pakpahan. KUHAP menggariskan terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan PK. Sekalipun ada
ketentuan pandangan yang lain, MA sepatutnya tidak menggunakan dasar hukum yang bertentangan dengan KUHAP.
69
M.kholidin mengemukakan
Putusan PK kasus Muchtar Pakpahan ini
melanggar pasal 263 ayat 1 KUHAP yang menentukan bahwa putusan bebas vrijspraak dan lepas dari segala tuntutan tidak dapat dimintakan PK. Majelis hakim
kasasi pimpinan Adi Andojo telah membebaskan Muchtar Pakpahan, tapi kemudian dipidana kembali oleh Soerjono melalui lembaga PK.
Kenyataan ini jelas merupakan pelanggaran yang nyata atas pasal 263 ayat 1 KUHAP. Kholidin melanjutkan bahwa kesepakatan Majelis Hakim PK yang
mempidana Muchtar Pakpahan empat tahun penjara juga melanggar Pasal 263 ayat 3 KUHAP. Pasal tersebut menyatakan pidana yang dijatuhkan dalam putuan PK tidak
boleh melebihi pidana yang dijatuhkan dalam putusan semula. Kholidin menyatakan bahwa maksud dari pasal tersebut adalah melindungi terpidana.
70
B. Kasus Gandhi Memorial School
Berkenaan dengan kewenangan Kejaksaan dalam mengajukan peninjauan kembali, putusan ini memberikan pertimbangan sebagai berikut ;
a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum
berhak mengajukan peninjauan kembali, sebab logikanya tidak mungkin
69
Kompas, 21 November 1996, Putusan Bebas Murni Hak Yang tidak Bisa Digugat.
70
M.Kholidin, Kasus Muchtar Pakpahan, kemandirian MA, Media Indonesia,29 November 1996.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
terpidana atau ahli warisnya akan mengajukan peninjauan kembali dalam hal vrijspraak Onslag van Rechtvervolging. Dalam hal yang berkepentingan
adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan-alasan tersebut pada pasal 263 ayat 2 KUHAP
b. Pasal 263 ayat 3 KUHAP juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana
atau ahli warisannya, sebab cenderung akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis apabila Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk
peninjauan kembali melalui pasal ini pernah diatur dalam RO dan Perma No. 1 Tahun 1969 dan Perma No. 1 tahun 1989 Jaksa Agung untuk
memelihara keseragaman putusan consistency in court decision, sekalipun tidak menganut asas “stare decisis” the binding orce of precendent, maka
majelis cenderung untuk mengikuti pendapat Majelis Hakim dalam Keputusan Mahkamah Agung No. 55 PK1996 kasus Dr. Mukhtar Pakpahan SH., MA
di atas yang logika hukumnya bisa dipertanggugjawabkan reasonable” Pertimbangan-pertimbangan tersebut menegaskan bahwa Pasal 263 tidak
melarang secara tegas pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. Selain itu, peninjauan kembali oleh terpidana dan ahli warisnya justru
merugikan mereka. Penegasan ini merupakan bentuk konsistensi Mahkamah Agung mengenai
kewenangan Jaksa Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali. Dengan demikian adalah suatu hal yang sangat wajar jika Jaksa Penuntut Umum dapat
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
mengajukan Peninjauan kembali, karena telah sesuai dengan praktek hukum yang berlaku di negara ini.
C. Kasus Eddy Linus Waworuntu
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan dalam mengajukan permintaan Peninjauan kembali adalah dalam kapasitasnya sebagai penuntut Umum yang mewakili negara
dan kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian permintaan peninjauan kembali ini bukan karena kepentingan pribadi Jaksa Penuntut
Umum dan Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum negara. Sebelum adanya pengaturan yang tegas dalam KUHAP mengenai hak jaksa
mengajukan permintaan peninjauan kembali, memerlukan suatu tindakan hukum untuk memperjelas hak Jaksa Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali yang
tersirat di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu juga terdapat dari dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-
Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung RI yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan
Negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Ketetapan MPR nomor IIMPR1993 tentang Garis-Garis Besar haluan
Negara di jelaskan bahwa pembangunan materi hukum ialah antara lain pembentukan hukum. Sebagaimana dimaklumi pembentukan hukum tidak hanya membentuk suatu
Perundang-udangan yang baru tetapi juga menciptakan hukum melalui Yurisprudensi. Hal ini dipertegas dalam Lampiran Keputusan Presiden Nomor 17
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Tahun 1994 tentang Repelita VI, bidang hukum yang antara lain memberikan peranan yang lebih besar kepada peradilan dalam menentukan arah perkembangan hukum
yang dianggap penting bagi perwujudan keadilan sosial dalam masyarakat melalui putusan hakim yurisprudensi.
Diterimanya pemerintah peninjauan kembali itu merupakan langkah positif dari Mahkamah Agung dalama mengisi kemungkinan adanya kekosongan hukum
atau kekurang jelasan dalam peraturan. Garis besarnya Peninjauan Kembai PK yang diatur dalam KUHAP
merupakan lanjutan yang ditransfer dari PERMA No. 1 tahun 1969 dan PERMA No. 1 tahun 1980; serta kedua Peraturan Mahkamah Agung ini bermuara dari ketentuan
Pasal 356 dan Pasal 357 Rv. Perbedaanya adalah pada pasal 263 tidak ada hak wewenang Penuntut Umum mengajukan PK Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan kembali. Jarak Sinar Grafika, hal. 625
Pembentuk UU hanya mengadopsi begitu saja, tanpa melihat esensi yang terkandung dalam Pasal 356 dan pasal 357 SV. Hal ini dipengaruhi oleh pemikiran
yang bersifat linier yang simplisitk. Implikasinya, konstruksi Pasal 263 tersebut menimgulkan ketidakjelasan dalam pengaturan peninjauan kembali khususnya
wewenang Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Hal ini diakui oleh Mahkamah Agung sebagaimana pertimbangan dalam
kasus Muchatar Pakpahan yaitu pertama, kekurang pengaturan mengenai hak atau
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
wewenang JaksaPenutut Umum dalam maslah peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dan kedua, hak atau wewenang JaksaPenutut Umum dalam melakukan
penijauan kembali terhadap putusan bebas masih menjadi masalah yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Ketidakjelasan ini menimbulkan pertanyaan yang signifikan : Apakah Penuntut Umum berwenang mengajukan Peninjauan Kembali. Bila kembali kepada
sejarah dari pasal 356 dan Pasal 357 CV, adalah suatu keniscayaan untuk memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk mengajukan. Pasal 356 dan
Pasal 357 CV memberikan keseimbangan baik terhadap ahli waris dan terpidana maupun terhadap Jaksa Penutut Umum. Ahli waris dan terpidana berhak mengajukan
penijauan kembali terhadap putusan pemidanaan sedang Penuntut Umum berhak mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas.
Bahwa Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas menyatakan larangannya terhadap Penuntut Umum untuk mengajukan peninjauan kembali. Ketentuan ini
hanya menyatkan bahwa terpidana dan ahli waris berhak mengajukan peninjauan kembali. Walaupun di dalam ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas
menyatakan bahwa Jaksa Penutut Umum Kejaksaan berhak untuk mengajukan permintaan penijauan kembali kepada Mahkamah Agung, namun yang jelas
ketentuan pasal ini tidak melarang Penutut Umum Kejaksaan untuk melakanakan hal tersebut. Adalah wajar apabila permintaan peninjauan kembali terhadap putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
dikecualikan karena putusan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya dikecualikan karena putusan tersebut adalah menguntungkan bagi terpidana. Demi tegaknya
hukum dan keadilan terhadap putusan pengadilan yang dikecualikan Putusan bebas dan lepas dari segala tuntuan hukum adalah menjadi hak Jaksa Penuntut Umum
Kejaksaan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagai pihak yang berkepentingan sepanjang terhadap dasar atau alasan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 263
ayat 2 KUHAP. Bahwa pasal 263 ayat 1 juga tidak dapat membatasi subyek yang berhak
mengajukan peninjauan kembali berdasarkan Pasal 263 ayat 3 KUHAP. Karena sejatinya, keberadaan Pasal 263 ayat 3 KUHAP untuk melindungi kepentingan
umum. Dalam hal ini hanya dapat diwakili oleh Penuntut Umum. Bahwa pasal 263 ayat 3 KUHAP memberi peluang kepada Penuntut Umum
mengajukan peninjauan kembali, karena yang berkepentingan dengan putusan yang diikuti dengan sutau pemidanana adalah Penuntut Umum, bagaimana mungkin
terpidana akan mengajukan PK untuk meminta dirinya supaya dipidana, substansi Pasal 263 ayat 3, ini adalah merupakan hak Penuntut Umum mengajukan
peninjauan kembali, karena tidaklah mungkin Peninjauan kembali diajukan oleh terpidana yang belum memperoleh gelar terpidana sebab belum pernah dieksekusi
oleh Penuntut Umum, kita semua mengetahui bahwa seorang Terdakwa akan memperoleh gelar terpidana sejak ia pertama kali dieksekusi oleh Penuntut Umum,
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
bagaimana mungkin mengeksekusi Terdakwa yang tidak diikuti oleh suatu pemidanaan vide pasal 263 ayat 3 KUHAP
Memperhatikan ketentuan Paal 263 ayat 1 KUHAP ini tentunya tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya akan menggunakan ketentuan pasal ini sebagai
dasar untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali, mengingat tidak akan menguntungkan bagi dirinya. Kalau memang perumusan Pasal 263 ayat 3 KUHAP
adalah untuk terpidana atau ahli warisnya, sebenarnya sudah cukup tertampung oleh ketentuan Pasal 263 ayat 2 huruf c KUHAP. Jelas tampak bahwa pengaturan
berlebihan. Dengan demikian menjadi pertanyaan mengapa ketentuan pasal ini diatur dalam ayat tersendiri, dan untuk siapa ketentuan pasal ini dibuat disiapkan
pengaturannya. Jawaban yang paling tepat, tiada lain kecuali untuk Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang berkepentingan di luar terpidana atau ahli warisnya
Berkaitan dengan ketentuan tersebut Andi Hamzah dalam bukunya ”Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana” yang menyatakan bahwa adalah kurang adil apabila
dalam keputusan itu Jaksa Penuntut Umum Kejakasaan tidak diberikan hak dan wewenang mengajukan permintaan peninjauan kembali.
D. Kasus Pollycarpus Budi Hari Priyatno
Adapun pertimbangan Mahkamah Agung Dalam Memberikan Jaksa melakukan peninjauan kembali adalah Dalam mengahadapi problema yuridis hukum
acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
pidana tersendiri, guna menampung hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dalam perkara pidana.
Mahkamah Agung dalam menyelesaikan problema yuridis tersebut melakukan penafsiran beberapa peraturan perundang-undangan dengan dasar pertimbangan
yuridisnya yaitu:
1 Pasal 244 KUHAP menegaskan Putusan bebas tidak dapat dimintakan kasasi ,
Namun melalui Pasal 244 KUHAP tersebut telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi dan
penafsiran ini menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. 2
Pasal 23 UU ayat 1 UU No 4 Tahun 2004 dimana ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa dalam perkara pidana selalu terdapat dua belah pihak yang
berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepengtingan umumnegara. Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut
dalam pasal 23 ayat 1 UU No 4 Tahun 2004 tersebut ditafsirkan adalah kejaksaan tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali
ke Mahkamah Agung. 3
Pasal 263 ayat 3 KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh Karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak
yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
yang berisikan pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti oleh pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa.
Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan Termohon PK dengan kepentingan umum, Bangsa dan
Negara dilain pihak disamping perseoranganterdakwa Juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan Kembali PK.
Mahkmah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang
diterapkan secara tepat,adil.
Mahkamah Agung dalam mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada
hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri yurisprudensi demi untuk adanya kepastian hukum. Berdasarkan
argumentasi yuridis tersebut Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal permohonan kejaksaan untuk Peninjauan Kembali diakui oleh Mahkamah Agung.
Pendirian Mahkamah Agung dalam memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung tersebut, menurut pendapat Mahkamah Agung dalam putusan-
putusan Mahkamah Agung Tersebut, terkandung penemuan hukum yang selaras
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
dengan jiwa ketentuan perundang-undangan, doktrin, azas-azas hukum sebagimana dapat disimpulkan dalam hal-hal sebagai berikut:
71
1 Pasal 23 ayat 1 Undang-undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang berbunyi Terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang, tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pihak-
pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali tersebut. demikian dengan pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 sebagaiman diubah dengan UU
No 4 Tahun 2004 yaitu yang berbunyi: apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan perkara pidana oleh pihak-pihak
yang berkepentingan, dan tidak menjelaskan dengan siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan peninjauan kembali. Dan
terhadap kejelaan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 oktober 1996 dengan No 55 PKPid1996, dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus
2001 No 3 PKPid2001 telah memberikan jawaban dengan menggunakan
71
Majalah Varia Peradilan No 268, hal 69-74
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
penafsiran ekstensif
72
yang mana yang dimaksud dalam kasus ini adalah fihak- fihak yang berkepentingan dalam perkara pidana, selain terpidana atau ahli
warisnya adalah Jaksa. 2
Pasal 263 KUHAP merupakan pelaksanaan dari pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU No 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
yang mengandung hal-hal yang tidak jelas itu:
a Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, sebab logikanya terpidana atau ahli warisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan
bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam konteks ini maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar dan alasan dalam
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat 2 KUHAP b
Konsekuensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan atas dasar alasan yang sama sebagaiamana tersebut
pada ayat 2 terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam
putusan itu suatu perbuatan yang diakwakan telah dinyatakan tebukti namun tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Dan tidak mungkin dimanfaatkan oleh
72
Penafsiran Ekstensif adalah metode penafsiran yang membuat penafsiran melebihi batas- batas hasil penafsiran gramatikal. Jadi penafsiraan ekstensif digunakan untuk menjelaskan suatu
ketentuan Unadang-undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal. Contoh dalam Hal Ini pasal 263 KUHAP ini yang mana dimaksud fihak-fihak yang
berkepentingan dalam perkara pidana ini ialah bukan hanya Terpidana Atau ahli warisny untuk dapat melakukan peninjauan kembali,,namun juga Jaksa bisa berdasarkan penafsiran ini.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
3 Sehubungan ketidakjelasan yang terdapat dalam pasal 263 KUHAP tersebut
dikemukakan pendapat-pendapat yaitu:
a Penganut doktrin Sen Clair la doctrine du sensclar berpendapat bahwa
“penemuan hukum oleh Hakim “ hanya dibutuhkan jika: peraturannya belum ada untuk suatu kasus dan peraturannya sudah ada tapi belum jelas.
b Lie OEN HOCK berpendapat, Apabila kita memperhatikan Undang-undang,
ternyata bagi kita, bahwa undang-undang tidak saja menunjukan banyak kekurangan-kekurangan, tapi sering kali juga tidak jelas, walaupu demikian
hakim harus melakuak peradilan, teranglah bahwa dalam hal sedemikian undang-undang memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan sendiri
maknanya ketentuan undang-undang ini artinya suatau kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang-undang, dan hakim boleh menafsirkan suatu
ketentuan undang-undang secara gramatikal atau historis
73
. c
M.Yahya Harahap berpendapat: Akan tetapi sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum public yang bersifat imperatif,
73
Penafsiran gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam perundang-undangan sesuai kaidah bahasa yang berlaku.
Contohnya menggelapkan dalam pasal 41 KUHP ditafsirkan meghilangkan. Penafsiran historis adalah: Penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan
jalan meneliti sejarah baik sejarah hukumnya maupun sejarah terjadinya undang-undang.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari
aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi. Bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan: tanpa
penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik,penuntut umum dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara
pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan hukum public memang diakui imperative tetapi tidak seluruhya absolute. Ada ketentuan yang yang dapat
dilenturkan, dikembangkan, bahkan disingkirkan sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dana kemanusiaan dalam satu konsep to improve
the equality of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, kasus natalegawa
dalam perkara 275 KPid1983. Dalam perkara ini Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi stare decis melalui extensive
interpretation. Dalam kasus ini, walaupun pasal 244 KUHAP tidak memberikan hak kepada penuntut umum mengajukan kasasi terhadap putusan
bebas terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecualai putusan bebas akan tetapi, dalam kasus
natalegawa ini sifat imperative yang melekat pada ketentuan ini dilenturkan bahkan disingkirkan dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan
bukan putusan pembebasan murni. Sejak saat itu kasasi yang diajukan
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
penuntut umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung, bebarti penerimaan kasasi yang diajukan penuntut umum
terhadap putusan bebas, merupakan penafsiran luas, maka dengan bertituk tolak dari itu mendorong majelis PK dalam kasus Muchtar Pakpahan
melenturkan atau mengembangkan ketentuan pasal 263 KUHAP ,demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal
harus diberi hak kepada penuntut umum mengajukan PK terhadap putusan bebas , dengan cara memberikan kesempatan pada penuntut umum
membuktikan bahwa pembebasan yang dijatuhkan pengadilan “tidak adil” in justice karena didasarkan ada alasan non yuridis .
74
Hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Perlu
dikemukakan bahwa dalam rangka menemukan hukum ini isi ketentuan pasal 16 ayat 1 tersebut harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat 1
Undang-undang No.4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat. Hal ini dalam yurisprudensi tersebut dapat disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang berbunyi “Berdasarkan asas legalitas serta
penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perorangan
74
Op cit M.Yahya Harahap, Hal 642-643
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
termohon peninjauan kembali dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya dilain pihak disamping perseorangan terdakwa juga kepentingan
umum yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali PK.
4 Bahwa pertimbangan tersebut di atas adalah sesuai dengan Model yang tertumpu
pada konsep “daad – dader – strafrecht” yang oleh Muladi disebut Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan
berbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak
pidana dan kepentingan korban kejahatan Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm.5 dan selaras pula dengan tujuan
hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana
maupun korban tindak pidana. 5
Bahwa selain itu pertimbangan hukum tersebut adalah sejalan dengan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch, dimana “keadilan”
selalu diprioritaskan. Ketika Hakim harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan, demikian juga ketika harus
memilih antara kemanfaatan atau dan kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran “ prioritas baku” tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU
KUHP yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 19911992 yang
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
berbunyi “Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal
tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkannya hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.
6 Bahwa karena berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan
Menteri Kehakiman hukum, “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran meteriil
ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan
untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”, maka
KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-
ketentuannya, dan dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan peninjauan
kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Upaya Hukum peninjauan kembali oleh jaksa dalam praktek peradilan indonesia telah diakui oleh Mahkamah Agung yang mana beberapa kasus
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
permohonan PK jaksa telah diterima oleh Mahkamah Agung Seperti Kasus Muctar Pakpahan, Gandhi Memorial School, Lenus Waworuntu, Pollycarpus
Budiharipriyatno. Mahkamah Agung sebagai tombak peradilan tertinggi di indonesia membuat penemuan hukum dengan menafsirkan pasal 263 KUHAP dan pasal 23 ayat
1 UU No 4 Tahun 2004 yang mana disitu dikatakan ada pihak-pihak, maka oleh Mahkamah Agung ditafsirkan pihak tersebut salah satu adalah Jaksa Penuntut Umum
Untuk melakukan Upaya Hukum peninjauan kembali, karena berdasarkan asas legalitas dan dalam menerapkan Teori Keseimbangan antara hak asasi dari termohon
peninjauan kembali kembali sebagai perseorangan atau sebagai manusia seutuhnya berwujud kepentingan perseorangan atau golongan tertentu sebagai salah satu pihak
dan kepentingan umum, bangsa masyarakat luas, termasuk kepentingan Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai kepentingan masyarakat
indonesia diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dari Kejaksaan republik Indonesia yang dipimpin oleh Jaksa Agung
Republik Indonesia, Mahkamah agung dalam tingkat peninjauan kembali ini selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas dan membina dan menjaga agar
semua hukum dan Undang-undang diseluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil.
Lagi pula mengenai dapat tidaknya diajukan permohonan peninjauan kembali oleh jaksa dalam perkara pidana masih menjadi masalah hukum yang menimbulkan
ketidakpastian, hukum maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
pidana ingin menciptakan hukum acara sendiri guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang JPU untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
BAB IV ALASAN-ALASAN YANG DIGUNAKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM
MELAKUKAN PENININJAUAN KEMBALI DALAM PRAKTEK PERADILAN
A. Adanya Kekhilafan Hakim
1.Kasus Muchtar Pakpahan
Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan. Kekhilafan dan kekeliruan itu bisa terjadi dalam semua tingkat peradilan. Kekhilafan
yang dibuat oleh pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama, bisa berlanjut pada tingkat banding, dan kekhilafan pada tingkat pertama dan tingkat banding itu
tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung. Padahal tujuan tingkat banding maupun tingkat kasasi untuk meluruskan dan memperbaiki sertra
membenarkan kembali kekeliruan yang dibuat pengadilan yang lebih rendah.
75
Kekeliruan hakim ini bisa dilihat dalam putusan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dalam tingkat kasasi yang mana termohon
peninjauan kembali semula sebagai terdakwa dan pemohon kasasi yaitu Muchtar Pakpahan tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh jaksa
dalam pasal 160 dan pasal 161 KUHP. Unsur menghasut dilakukan oleh Muchtar Pakpahan disini telah terbukti yaitu
mengadakan latihan kepemimpinan di Aula Gereja Kristen Protestan Simalungun Pematang Siantar Sejak Tanggal 9 sd 11 April 1994 yang dihadiri lebih kurang
seratus orang utusan pekerja dan pengurus DPC SBSI Sesumatera Utara. Muchtar
75
Loc it M.Yahya Harahap, Hal 622
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Pakpahan disitu memberikan ceramah dengan mengatakan SBSI merupakan wadah yang legal, dan apabila musyawarah tidak tercapai maka buruh berhak mogokunjuk
rasa. Setelah pelatihan tersebut kepada setiap peserta diberikan uang saku oleh Muchtar Pakpahan sebesar Rp 30.000 tiga puluh ribu rupiah. Kemudian selanjutnya
terdakwa mengadakan pertemuan lagi 20 orang yaitu menuntut supaya agar buruh berunjuk rasa tanpa meminta ijin kepada polisi. Upah gaji Rp 3.100 tidak cukup lagi
untuk hidup yang layak seharusnya menjadi Rp 7.000 per hari dan muchtar pakpahan disini telah berulang kali melakukan kegiatan untuk melakukan aktivitas menghasut
buruh. Majelis hakim agung dalam pertimbangannya yang mengatakan bahwa
undang-undang bukan merupakan satu-satunya sumber hukum yang paling penting, teapi ada lagi sumber yang paling penting untuk menyelesaikan masalah, dimana
menurut penulis dalam pertimbangannya ini majelis hakim kasasi Mahkamah Agung tidak secara tegas menyebutkan sumber-sumber hukum lainnya yang digunakan
sebagai dasar Majelis Hakim agung sehingga putusan tersebut menggambang. Hal ini menurut M Yahya Harahap sebaiknya putusan hakim itu harus disusun secara terurai
dengan fakta-fakta hukum dan alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan persidangan dan dipertimbangkansecara argumentatif sehingga terbaca jalan pikiran
yang logis dan resoning yang mantap, yang mendukung kesimpulan hakim sehingga putusan tersebut tidak mengambang.
76
76
Ibid hal 361
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Menurut penulis pertimbangan Mahkamah Agung yang tidak mempunyai alasan yang menyatakan bahwa perbuatan dari Muchtar Pakpahan yang tidak bisa
dikatakan bertangung jawab. Hal ini kurang tepat dan ini merupakan suatu kekhilafan dari majelis hakim agung. Dalam persidangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi terungkap bahwa adanya korban jiwa dan harta benda akibat dari perbuatan Muchtar Pakpahan yang menghasut para buruh untuk mogok kerja.
Istilah menghasut disini artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu, dan menghasut ini bukan berarti
memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu. Menghasut disini dapat dilakukan baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Dilakukan dengan lisan menghasut itu telah
selesai jika telah diucapkan. Sehingga suatu percobaan dalam delik ini tidak mungkin terjadi. Beda halnya dengan tulisan karangan yang sifatnya menghasut harus ditulis
dulu baru tulisan itu disiarkan dan dipertontonkan pada publik dan baru lah delik ini dianggap selesai dan ini telah dapat di hukum.
77
Maka yang menjadi alasan bahwa adanya kekhilafan majelis hakim kasasi disni yaitu, bahwa akses unjuk rasa yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda
adalh diluar tanggung jawab Muchtar Pakpahan. Ini memperlihatkan kekhilafan Majelis Hakim Agung atau kekeliruan yang nyata karena perbuatan materil Muchtar
Pakpahan menimbulkan korban jiwa dan harta benda adalah sebagai akibat dari tindakan dari muchtar pakpahan. Hal ini terlihat pada saat Muchtar Pakpahan
menghasut karyawan-karyawan perusahan swasta di Medan, Pematang siantar, Lubuk
77
Penjelasan Pasal 160 KUHP R.Soesilo.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Pakamm dan belawan agar melakukan aksi mogok dan unjuk rasa tanpa seizin atau setidak-tidaknya Muchtar Pakpahan disini sebagai orang yang berpendidikan dapat
diharapkan bahkan dipercaya mengantisipasi yang terjadi sebagai akibat dari unjuk rasa tersebut.
Mahkamah Agung dalam Hal ini memperkuat alasan jaksa dalam melakukan peninjauan kembali dengan alasan adanya kekhlifan hakim Mahkamah Agung dalam
tingkat kasasi terhadap Muchtar Pakpahan. Muchtar Pakpahan sebagai orang yang berpendidikan dianggap mengetahui dan mengharapkan serta dapat mengantisipasi
perbuatan-perbuatan menghasut yang berkelanjutan. Perbuatan menghasut disini mengakibatkan terjadinya aksi mogok liar dan unjuk rasa dan arak-arakan, tanpa izin
dari pemerintah dengan akibatnya menimbulkan korban jiwa manusia dan harta benda.
Perbuatan Muchtar pakpahan yang mengahasut ini dapat membahayakan masyarakat dan bangsa Republik indonesia dan juga perbuatan dari Muchtar
Pakpahan ini tidak menaati persturann perundang-undangan yang berlaku dan tidak menjunjung pemerintahan dan hukum yang mengatur kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Dan juga Muchtar Pakpahan Disini sebgai yang mendirikan SBSI tidak mendapatkan izin dari
pemerintah. Permohonan peninjauan kembali jaksa ini dikabulkan sesuai dengan pasal 263 ayat 2 KUHAP.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
2. Kasus Gandhi Memorial School
Kasus gandhi memorial school ini dalam putusan Kasasinya membebaskan terdakwa dari segala dakwaan penuntut umum yang menyatakan terdakwa Ram
Gulumal al.V.Ram terbukti melakukan keterangan palsu kedalam akta autentik secara berlanjutn, namum majelis hakim kasasi disni mengambil alih pertimbangan
Pertmbangan Pengadilan Tinggi yang mana Pengadilan Tinggi Disni mengambil Alih Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menyatakan Menyuruh melakukan
keterangan palsu kedalam Akta Otentik . Surat kuasa palsu yang dijadikan dasar oleh Ram Gulumal. V.Ram dari
pemilik sekolah Bombay Merchants Assiciation yang memberikan Hak Kepada Ram Gulumal,V.Ram sebagai kepala sekolah di sekolah Gandhi memorial School tersebut.
Surat kuasa ini disalahgunakan oleh Ram Gulumal Vram pada saat peralihan gedung baru sekolah The Gandhi Memorial School yang oleh Gubernur DKI pada saat itu
diberikan lahan baru untuk pengembangan pembangunan sekolah yang oleh Pemda saat itu dipakai untuk keperluan umum.
Ram Gulumal V.Ram menyalah gunakan surat kuasa tersebut pada saat pembangunan gedung baru Gandhi Memorial School tersebut dengan membuat akte
penirian Gandhi memorial School tersebut.Surat Kuasa tersebut dibuat sendiri oleh Ram Gulimal V ram tanpa dihadiri oleh pemilik sekolah tersebut Gopal Gagandas
Lalmalani. Selanjutnya V.Ram menyerahkan kepada Notaris surat Kuasa tersebut, dan disitulah dia mendirikan The Gandi Memorial School dengan memakai akta
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
notaris tersebut dan mengrusi lahan yang diberikan oleh Gubernur untuk pembangunan lahan tersebut. V.Ram memberi nama baru di lahan sekolah tersebut
dengan nama The Gandhi Memorial Fundation School. V.Ram Mengatakan bahwa sekolah The Gandhi Memorial Fundation School tidak ada kaitannya dengan The
Gandhi Memorial School pada hal Gubernur DKI memberikan lahan diancol tersebut untuk perluasan The Gandhi Memorial School. Dikarenakan ditempat lama terdapat
perluasan jalan. Sehingga aset tanah yang diberi itu, masih kepunyaan The gandi Memorial School.
Mendengar pernyataan Ram Gulumal V. Ram Yang menyatakan bahwa sekolah yang dibangunnya itu terpisah dari sekolah yang lama yaitu Gandhi
Memorial School. Maka pemilik dari Gandhi Memorial School ini mengambil alih sekolah yang dibentuk V.ram tersebut, dan oleh pemilik The Gandhi memorial
School yaitu melaporakan Ram gulumal Vram telah memalsukan keterangan palsu kedalam akta outentik dengan berdasarkan surat kuasa yang diperbuatnya dan
diasahkn oleh Notaris dengan Akta No 72 Tahun 1974 tentang pendirian The Gandhi Memorial Foundation.
Berdasarkan kasus diatas penulis menganalisis bahwa dalam putusan Pengadilan Negeri menyatakan terdakewa Ram Gulumal Als Vram terbukti
menggunakan surat kuasa palsu yang menggantikan pemilik The Gandhi Memorial school dengan nama istri terdakwa dan keponakan terdakwa.dan perbuatan terdakwa
ini telah dilakukan bebrapa kali.maka oleh Pengadilan Negri dinyatakan terbukti
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Menyuruh Memasukkan keterangan Palsu kedalam Akta outentik secara berlanjut pasal 266 ayat 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. dan Pengadilan Tinggi juga
mengguatkan putusan Pengadilan Negeri dan Oleh Mahkamah Agung dini membatalkan putusan Judex Factie, namun mengambil alih pertimbangan hukum
Judex Factie, hal ini merupakan telah bertentangan dimana Pertimbangan dan amar putusan merupakan satu kesatuan, dan hal ini merupkan suatu kekhilafan dan suatu
kekeliruan yang nyata sebagaimana dikatakan dalam Pasal 263 ayat 2 KUHAP maka oleh mahkamah Agung menerima PK Jaksa yang terdapat pertentanga
diputusan kasasi Mahkamah Agung tersebut. Yang mana oleh Judex Factie telah dipertimabangkan dengan benar mengenai Surat Kuasa yang dipalsukan dan oleh
Mahkamah Agung pertimbangan Judex Factie tersebut sebagai pertimbangan Mahkamah Agung sendiri, namun dalam amar putusannya menyatakan tidak terbukti
memasukkan keterangan palsu kedalam akta outentik.
3. Eddy Linus Waworuntu
Mahkamah Agung dalam kasus ini telah melakuakan suatu kehilafan atau kekelirun yang nyata dalam putusan a quo yang dalam pertimbangannya menyatakan
: ”Bahwa para terdakwa secara hukum tidak dapat mempertanggungkan secara pidana terhadap perbuatan yang dilakukan” Terdakwa dalam hal ini hanyalah sebagai
penerima Kuasa yang telah diberi kuasa oleh 17 orang peserta rapat 7 Juli 2001 untuk notulen rapat kepada saksi notaris Iwam Halimy, SH. Dengan demikian kapasitas
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
terdakwa I hanyalah sebagai penerima kuasa rapat tersebut. Sedangkan terdakwa II dan III secara kenyataan pada waktu itu tidak hadir di depan Notaris tersebut
Akte yang terdapat dalam No 18 tahun 2001 mengenai pengurusan Yayasan Tarumanegara bukanlah kehendak para terdakwa, melainkan kehendak para pemberi
kuasa. Maka menurut penulis bila ditinjau dari fakta yuridis, bahwa pertimbangan Mahkamah Agung tersebut telah mengingkari fakta persidangan yang sebenarnya
telah terungkap di muka persidangan di Pengadilan Negeri. Yang isinya Bahwa rapat pada tanggal 7 Juli 2001 dihadiri oleh para Terdakwa saja, bukan yang lain sehingga
kalau ada penyerahan pemberian tanggung jawab antara penerima dan pemberi kuasa adalah mereka para Terdakwa sendiri pelakunya, hal ini jelas menujukkan
adanya fakta kesepakatan jahat di antara para terdakwa dalam memberikan keterangan palsu dalam suatu akta outentik.
Rapat tersebut seolah-olah terjadi dengan dihadiri oleh 17 orang peserta rapat. Selanjutnya para terdakwa sepakat untuk menghadap kepada Notaris Iwan
Halimy, SH sehigga melahirkan Akte : No. 18 tahun 2001. Isi dari akte tersebut adalah Susunan badan kepengurusan yayasan, susunan dewan pengawas yayasan dan
susunan dewan pembina yayasan tarumanegara yang isinya akte ini berbeda dengan akte yang terdapat dalam No 142 tanggal 17 Mei 1993 yang secara yuridis formal
masih berlaku. Penandatanganan yang dilakukan oleh Edy Linus Waworuntu ini tidak sesuai dengan yang terdapat dalam akte No 142 tanggal 17 Mei 1993 yang secra
yuridis formal masih berlaku.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Lahirnya putusan Mahkamah Agung dalam perkara perdata Nomor : 871 K PDT 2003 tanggal 3 Februari 2004 yang memenangkan pengurus yayasan
tarumanegara. Berdasarkan akte No 142 tanggal 17 Mei 1993 dan mengalahkan tergugat dalam hal ini Edy Linus Waworuntu sehingga sehingga akte No 18 Tahun
2001 itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.
Menurut penulis adanya putusan Mahkamah Agung tersebut di atas pada pokoknya telah menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Akte No. 18
pernyataan Keputusan Rapat Perubahan Anggaran Yayasan Tarumanegara tanggal 31 Agustus 2001 di hadapan Notaris Iwan Halimy, SH Notaris di Jakarta. Maka
berdasarkan putusan itu Edy Linus waworuntu tidak mmempunyai hak lagi diyayasan tarumanegara dan yang berlaku adalah anggaran dasar yang lama berdasarkan akte
No 142 tanggal 17 Mei 1993.
4. Pollycarpus Budi Hari Priyatno