Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Eddy Linus Waworuntu

kasus yang perlu dipahami adalah ratio decidendi, 29 yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk samapai kepada putusannya yang dalam hal ini alasan- alasan hukum yang di gunakan oleh hakim untuk mengabulkan peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa tersebut.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian yang digunakan merupakan data sekunder yang terdiri dari: a Bahan Hukum Primer. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan perundang- undangan yang diurut berdasarkan hirarki dan putusan pengadilan 30 seperti yang terdapat dalam KUHAP dan UU No Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan . b Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, seperti: buku-buku teks, hasil-hasil penelitian, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, artikel, majalah dan jurnal ilmiah hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini c Bahan Hukum Tersier. 29 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2007,hal 119 30 Ibid hal 141 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan hukum primer, sekunder dan tersier di luar hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. Penggunaan secara layak fair use terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh dari internet untuk tujuan ilmiah. 31

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan teknik kepustakaan libraray research, dengan meneliti sember bacaan yang berhubungan dengan topik tesis ini, seperti: buku-buku hukum, makalah hukum, artikel dan bahan penunjang lainnya.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan, diurutkan, dan diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar. 32 Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan cara kualitatif yakni dengan mempelajari, menganalisis dan memperhatikan kualitas serta kedalaman data yang diperoleh sehingga memperoleh data yang dapat menjawab permasalahaan dalam penelitian ini. 31 Joni Ibrahim op cit hal 340. 32 Lexy Moleong.1999.Metode Penelitian Kualitatif.Bandung:Remaja Rosdakarya Cetakan Ke 10, hal 103 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009

BAB II KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM UNTUK MELAKUKAN

PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

A. Latar Belakang Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali

Lahirnya bab XVIII ini dalam upaya hukum luar biasa khususnya bagian kedua tentang peninjauan kembali yang terdapat dalam pasal 263 sampai dengan pasal 269 KUHAP yaitu merupakan sejarah baru dilapangan hukum khususnya hukum acara pidana. Sebab ini merupakan suatu kenyataan bahwa seorang terpidana merasa bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak adil kemudian ingin memintakan kembali pemeriksaan atas perkaranya tersebut dan ini tidak mungkin karna jalan atau acara formal untuk meminta perkaranya yang telah putus untuk diperiksa kembali tidak mungkin karna upaya hukum untuk itu tidak ada lagi. 33 Maka kini dengan adanya upaya hukum peninjauan kembali ini, maka terbukalah jalan bagi setiap terpidana untuk meminta pemeriksaan ulang atas perkaranya. Ini muncul bukan dengan tiba-tiba tetapi terjadi pada tahun 1980 yang mana terkenal dengan kasus sengkon dan karta. Dua terpidana yang telah menjalani hukumannya sejak tahun 1977 tapi sudah di tahan sejak tahun 1974. Kasus tersebut yaitu sengkon dan karta ditahan dan diperksa oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan tuduhan telah merampok dan membunuh suami istri suleman. Berdasarkan alat bukti 33 Hadari Djenawi Tahir, Bab Tentang Heirzening di dalam KUHAP, Bandung: Alumni,1982,hal 5 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 yang dianggap sah oleh Pengadilan Negeri Bekasi keduanya dijatuhi hukuman masing-masing 10 tahun dan 7 bulan penjara. Jelas disini telah terjadi kesalahan didalam penjatuhan putusan terhadap sengkon dan karta.Para aparat hukum juga tidak menjadi tenang dengan adanya kasus ini, dan para ahli hukum juga mencari suatu modus yang tepat agar sengkon dan karta dapat dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan. Jika diteliti kasus sengkon dan karta ini bukanlah telah terjadi kesalahan tuduhan terhadap orang yang melakukan pembunuhan atas sulaiman suami istri tetapi juga telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh pengadilan negeri bekasi. Pengadilan negeri bekasi jelas mengetahui bahwa sengkon dan karta tidak bersalah sewaktu menjatuhkan putusan terhadap Gunel Cs maka seharusnya pada putusan yang sama didalam amarnya Pengadilan Negeri Bekasi memutuskan juga pembatalan atas putusan terdahulu yang dikenakan tehadap sengkon dan karta. Maka dengan seketika itu juga pada saat yang sama sengkon dan karta bebas dari pidana yang telah dijatuhkan terhadapnya. Pernyataan ini juga dikatakan oleh Ketua Mahkamah Agung terdahulu yang mengatakan apabila ini dilakukan oleh Pengadilan Negeri Bekasi maka ini telah terjadi suatu revolusi dalam hukum indonesia dan ini tidak terjadi dan Pengadilan Negeri Bekasi hanya menyatakan bahwa tuduhan terhadap sengkon dan karta tidak Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 terbukti. Mahkamah Agung membatalkan putusan dalam sidang Majelis Mahkamah Agung tertanggal 31 Januari 1981. 34 Lembaga herziening ini dalam hukum diartikan sebagai suatu upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap 35 . Mengingat sangat dibutuhkannya lembaga heirzening tersebut maka berbagai upaya telah dilakukan agar lembaga tersebut dapat diberlakukan. Upaya tersebut dapat terlihat ketika lahirnya PERMA No 1 Tahun 1969 yang menetapkan tentang peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengaturan disini adalah tidak saja mengenai masalah herziening tetapi juga diatur kembali lembaga request civil yaitu suatu lembaga peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap didalam hukum perdata. Tetapi peraturan Mahkamah Agung tersebut tidak berlaku lama sebab pada tahun 1971 berlaku PERMA No 1 Tahun 1971yang mencabut PERMA No 1 Tahun 1969 maka dengan demikian terjadi kekosongan hukum dalam hal permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pencabutan PERMA No 1 Tahun 1969 ini didasarkan pada pendapat bahwa pada tahun 1970 telah dikeluarkan Undang-undang No 14 tahun 1970 yaitu Undang- undang pokok kekuasaan kehakiman. Dimana dalam pasal 21 telah terdapat pasal 34 Ibid hal 8 35 Lembaga ini dikenal dalam Reglement op de Strafvordering Staatsblad nomor 40 jo no 57 tahun 1847 yang tercantum dalam titel 18 dan dilam KUHAP juga diatur dalam hal yang sama yaitu dalam Bab XVIII Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dimana dikatakan: apabila terhadap hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata maupun pidana. 36 Ketentuan Pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 ini semula bermaksud untuk menggantikan PERMA No 1 tahun 1969 tapi ternyata Pasal 21 dari Undang-undang No 14 Tahun 1970 ini tidak dilengkapi oleh peraturan pelaksananya. Sehingga apabila dilakukan peninjauan kembali dengan menggunakan dasar ini tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Maka kasus Sengkon dan Karta tidak bisa diajukan peninjauan kembali dengan menggunakan dasar Pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 ini. Dimana pada saat itu lembaga peninjauan kembali heirzening belum ada karena telah dicabut dengan PERMA No 1 Tahun 1971. Jalan pintas yang ditempuh pada waktu itu yaitu dengan mengeluarkan kembali PERMA. Pada saat itu Perpu ingin dikeluarkan untuk mengatur lembaga heirzening ini karena situasi tidak genting oleh kasus sengkon dan karta ini. Maka oleh Mahkamah Agung hanya mengeleuarkan PERMA saja untuk menjadi dasar lahirnya lembaga Heirzening ini. Dasar hukum lahirnya lembaga Heirzening ini adalah pasal 21 Undang-undang No 14 Tahun 1970 yang mungkin dapat diterima yang menjadi dasar peraturan pelaksana dari suatu undang-undang. Peraturan pelaksana yang dimaksud disini adalah perturan pemerintah yang derajatnya setingkat 36 Hadari Dejenawi Tahir, op cit, hal 10 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 lebih rendah dari Undang-undang yaitu dalam hal ini yaitu Undang-Undang No 14 Tahun 1970. Prosedur untuk dikeluarkannya Peraturan Pemerintah memang akan memakan waktu lama maka. Apabila prosedur ini ditempuh maka akan lama sengkon dan karta menanti pembebasannya. Maka dianggap beralasan apabila Mahkamah Agung menempuh suatu jalan pintas dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1980 tentang “ Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap”dimana dalam PERMA tersebut diatur mengenai peninjauan kembali dalam perkara pidana dan perdata. Peraturan Mahkamah Agung PERMA No 1 Tahun 1980 ini sebenarnya hampir sama dengan peraturan yang pernah dikeluarkan sebelumnya yaitu PERMA No 1 tahun 1969 yang kemudian dicabut dengan PERMA No 1 Tahun 1971. Perbedaan PERMA tersebut yaitu terletak pada PERMA No 1 Tahun 1980 yang tidak mencantum “kekhilafan hakim” dan “kekeliruan yang menyolok” sebagai salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta peninjauan kembali. Alasan peninjauan kembali yang terdapat dalam PERMA No 1 tahun 1980 yaitu : a Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi satu sama lain bertentangan. b Apabila terdapat suatu kedaan sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu masih sidang berlangsung. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari segala tuntutan hukum. atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana. Pernyataan tidak dapat diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara kepersidangan pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana yang lebih ringan. Tidak dicantumkannya kekhilafan hakim dan kekeliruan yang menyolok sebagai suatu alasan yang menjadi dasar untuk meminta peninjauan kembali, maka berkembanglah suatu anggapan dikalangan ahli hukum bahwa Mahkamah Agung menganut asas bahwa hakim tidak dapat diganggu gugat atas putusannya itu. Anggapan itu cenderung untuk mengatakan bahwa hakim bebas dari segala kesalahannya dalam memeriksa dan memutus perkara. hal ini tentu telah menyalahi kodrat dimana dianut asas bahwa manusia tidak luput dari kesalahan begitu juga dengan hakim dalam memeriksa suatu perkara. Jika diperbandingkan antara Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1980 dengan ketentuan yang terdapat didalam Reglement op de strafvordering tahun 1847 khususnya pasal 356 maka alasan atau dasar untuk meminta peninjauan kembali yaitu putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, dengan demikian tidak ada perbedaan pada saat Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No 1 Tahun 1980 dengan mengambil alih pasal 356 dengan alasan yang menjadi dasar peninjauan kembali. Maka apa yang diatur didalam PERMA No 1 Tahun 1969 ini pengaturannya khususnya mengenai lembaga Herzeining lebih luas dari pada PERMA No 1 Tahun Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 1980 maupun yang terdapat dalam Reglement op de Strafvordering pasal 356-360. dengan anggapan bahwa dengan dikeluarkannya Perma No 1 Tahun 1980 ini masalah sengkon dan karta dapat terselesaikan. Keluarnya PERMA No 1 Tahun 1980 ini mendapat reaksi dan tanggapan dari para ahli hukum dan bisa menimbulkan kegoncangan diantara para ahli hukum. Pada umumnya lahirnya PERMA No 1 Tahun 1980 ini dihargai dengan itikad baik dimana ini dapat mencakup lembaga herziening dan request civil. itikad baik itu nampak dalam pertimbangannya dikeluarkan PERMA No 1 Tahun 1980 yang menyatakan bahwa dikeluarkannya peraturan tersebut didasarkan adanya dengar pendapat dengan anggota DPR yang menyatakan dikeluarkannya peraturan tersebut sambil menunggu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peninjauan kembali karena telah sempat terjadi kekosongan hukum. PERMA No 1 Tahun 1971 ini yang mencabut PERMA No 1 Tahun 1969. Dimana masyarakat sangat membutuhkan lembaga ini ditambah lagi dengan adanya kasus sengkon dan karta yang khusus untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan. Masalah yang dipersoalkan dalam pembentukan PERMA No 1 Tahun 1980 yaitu: bahwa pembuatan PERMA No 1 Tahun 1980 ini dianggap agak aneh dengan PERMA sebelumnya yang mana PERMA No 1 Tahun 1969 didasarkan pada pasal 31 UU No 13 Tahun 1965. Dikatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 PERMA No 1 Tahun 1980 ini mendasarkannya pada ketentuan yang terdapat dalam pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 dan pasal 131 UU No 1 Tahun 1950 tentang MA.hal ini dirasa kurang tepat karena dengan berdasarkan pasal 70 UU NO 13 Tahun 1965 ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku, karena UU No 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung ini mempunyai kaitan secara langsung dengan UU Darurat No 1 Tahun 1951 dengan demikian yang dipersoalkan disini adalah apa dasar hukum dikeluarkannya PERMA No 1 Tahun 1980 tersebut. Masalah lain yang banyak dipersoalkan adalah masalah wewenang Mahkamah Agung untuk mengeluarkan suatu peraturan seperti PERMA No 1 Tahun 1980 tersebut. Mahkamah Agung disini dianggap berdiri sendiri disini sebagai kursi legislatif, sebagai pembuat peraturan perundang-undangan yang sebenarnya bukan wewenang Mahkamah Agung. Pendasaran ini didasarkan pada suatu pola pemikiran yang legalistik dimana segala sesuatu harus didasarkan pada suatu ketentuan yang yuridis formal dan konstitusional. Hal tersebut memang ideal tapi disatu pihak dalam menghadapi situasi kasus sengkon dan karta ini apabila kita hanya mengikuti saluran formal normatif mungkin sudah akan terhambat, maka suatu hal yang bijaksana Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan tersebut dengan tujuan memberikan keadilan. Munculnya kasus sengkon dan karta yang seakan memaksa hadirnya lembaga peninjauan kembali di negri ini, maka hingga kini persepsi kalangan berbagai pihak yang terutama kalangan para pakar hukum mengalami perkembangan mendasar. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Sengkon bin yakin dan karta als karung als encep bin salam dimana keduanya dihukum masing-masing 12 Tahun dan 7 tahun oleh masing-masing Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 20 oktober 2007 atas suatu perbuatan pidana pembunuhan. Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya tanggal 25 Mei 1978 menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan terhukum tidak mengajukan hak nya untuk kasasi. Atas dasar kejanggalan dan ketidakadilan tersebutlah kuasa hukum kedua terpidana mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dan kasus itu terangkat ke tengah permukaan secara luas. 37 Berlakunya lembaga hukum peninjauan kembali berdasarkan PERMA No 1 Tahun 1980 yang diterapkan baik bagi perkara pidana maupun perdata. Meskipun kehadirannya mengalami masalah yang kontroversial dikalangan para ahli hukum pada waktu itu, karena tidak mencerminkan asas-asas yang digariskan UUD 1945 dan UU No 14 Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman, namun tetap dipandang sebagai suatu solusi yuridis untuk menampung berbagai suatu masalah terhadap munculnya kesilapan dan kekeliruan aparat peradilan seperti dalam fakta yang dialami oleh sengkon dan karta. Diberlakukannya KUHAP UU No 8 Tahun 1981 yang menampung lembaga peninjauan kembali dan sekaligus mencabut PERMA No 1 Tahun 1980 maka kasus demi kasus yang dimintakan peninjauan kembali dan diselesaikan oleh Mahkamah Agung Telah memperlihatkan suatu benang merah dalam kaitannya dengan pencari 37 Parman Soeparman, Pengaturan Hak Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan,Bandung:PT Refika Aditama, 2007,Hal 5 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 keadilan. Benang merah yang dapat dilihat dari sisi kepentingan pencari keadilan. Disamping terpidana yang merasa tidak berdosa melakukan tindak pidana yang selanjutnya berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali, tercuat adanya keinginan pihak lain diluar terdakwa untuk melakukan hal yang sama. Pihak tersebut adalah jaksa, korban, keluarga korban dan pihak ketiga yang berkepentingan yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa adalah suatu putusan pengadilan yang salah. 38 Pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa, korban, keluarga korban, pihak ketiga yang berkepentingan masih menimbulkan pertanyaaan, apa yang menjadi dasar hukum bagi mereka yang mengajukan upaya hukum tersebut karna hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya dimiliki oleh terpidana atau ahli warisnya. Dimana terlepas dari penafsiran dan kontroversi yang ada sekarang muncul kepermukaan adanya kasus yang sedemikian yang menghiasi cakrawala praktik peradilan. Hal ini ditandai dengan munculnya putusan-putusan Mahkamah Agung yang cukup menarik masyarakat yaitu Kasus Muchtar Pakpahan, Gandhi Memorial School dan kasus Pollycarpus Budiharipriyatno. Praktek peninjauan kembali kemudian melangkah jauh, seakan meninggalkan tujuan yang hakiki, itulah yang terjadi dalam praktek yaitu pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas. Praktik penerapan 38 Ibid hal 14 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 ketentuan tentang peninjauan kembali perlu dikaji secara mendalam dari sudut ilmu hukum pidana dengan pertimbangan 2 faktor yakni: 39 1. Dilihat dari sudut pengaturan hukum acara pidana yang ada terutama KUHAP yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tidak memberikan kesempatan mengajukan peninjauan kembali bagi Jaksa penuntut umum atau pihak korban dirasakan tidak memuaskan 2. Munculnya kasus-kasus peninjauan kembali yang secara jurisprudensial secara tidak langsung telah membuka pintu bagi pihak kejaksaan mengajukan Peninjauan Kembali atas berbagai kasus yang diputus secara bebas atau bahkan setiap putusan yang oleh kejaksaan atau pihak korban dirasakan tidak memuaskan. Ketiga kasus tersebut memunculkan pandangan bahwa tidak diaturnya suatu masalah dalam undang bukan berarti tidak dimungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali. Karena bila dilihat dari sisi kepentingan korban, hak untuk mengajukan peninjauan kembali sudah sepantasnya pula diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. Dalam praktek hukum acara pidana masih memungkinkan bahwa korban kejahatan dapat diberi kesempatan untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali karena didalam hukum acara pidana memang belum bahkan mengaturnya. Namun apabila dilihat dari praktik hukum acara pidana masih memungkinkan untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali sehingga dalam peraturan hukum positif dapat dipertimbangkan untuk diatur. 39 Ibid, hal 7 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Pengaturan dalam hukum positif sebenarnya sudah tersirat didalam pasal 263 ayat 3 KUHAP yang mana didalamnya disebutkan bahwa terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam suatu putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Sedangkan dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP yang diperbolehkan mengajukan peninjauan kembali yaitu hanya terpidana kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Mengenai orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali ditegaskan dalam pasal 263 ayat 1 yakini Terpidana atau Ahli warisnya. Berdasarkan ketentuan ini jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali sebab undang-undang tidak memberikan hak kepada penuntut umum karena upaya hukum ini hanya untuk melindunggi kepentingan terpidana. Untuk kepentingan terpidana Undang-Undang membuka kemungkinan untuk meninjau kembali putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, karena itu selayaknya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Lagi pula sisi lain dari upaya hukum luar biasa ini yakni pada upaya kasasi demi kepentingan hukum. Undang-Undang telah membuka kesempatan kepada Jaksa Agung untuk membela kepentingan umum. Seandainya penuntut umum berpendapat suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan tujuan penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan. Undang- Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Undang telah membuka upaya hukum bagi Jaksa Agung untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum. Hak mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan hak untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang kepada penuntut umum melalui Jaksa Agung. Maka melalui upaya hukum luar biasa sisi kepentingan terpidana dan kepentingan umum telah terpenuhi secara berimbang. Isi pasal dari 263 ayat 1 yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya. Maka sekalipun ada pihak yang merasa dirugikan dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan hukum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 20 Februari 1984 Reg No 1 PKPid1984. Pemohon telah mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Juli 1983 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemohon merasa keberatan atas rampasan untuk negara barang bukti yang bukan milik terpidana, tetapi milik pemohon. Sedang pemohon tidak terlibat maupun tersangkut dalam tindak pidana yang dilakukan terpidana. Oleh karena itu tidak adil apabila milik pemohon dirampas untuk negara sekalipun kapal itu telah dipergunakan terpidana sebagai alat melakukan tindak pidana. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Tanggapan dan putusan Mahkamah Agung atas permohonan dan keberatan yang diajukan pemohon berbunyi: bahwa meskipun terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung akan tetapi karena pemohon peninjauan kembali bukan terpidana atau ahli warisnya sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP maka permohonan peninjauan kembali harus dapat dinyatakan tidak dapat diterima. 40 Sehubungan dengan masalah orang yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali ada beberapa hal yang perlu dijelaskan yaitu: 41 a. Hak prioritas antara terpidana dengan ahli warisnya Untuk mengetahui kedudukan prioritas antara terpidana dengan ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali yang artinya apakah ahli waris terpidana dapat melangkahi terpidana untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Undang-undang tidak menentukan kedudukan anatara terpidana dengan ahli waris. Sekalipun terpidana masih hidup dan sedang mengalami human, maka ahli waris dapat langsung mengajukan permintaan peninjauan kembali sekalipun terpidana masih hidup. Hak ahli waris untuk mengajukan peninjauan kembali bukan merupakan hak subsistusi yang diperoleh setelah terpidana meningga dunia. Hak tersebut adalah hak “hak orisinil” yang diberikan oleh Undang-undang kepada mereka demi untuk 40 Op cit M.Yahya Harahap. Hal 616. 41 Ibid,hal 617 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 kepentingan terpidana dan ini berasalah sekalipun terpidana masih hidup kemungkinan besar ahli waris lebih mampu dan lebih dapat leluasa berdaya upaya untuk memikirkan dan menanggani pengajuan permintaan peninjauan kembali. Berdasarkan alasan dilakukan diatas hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan oleh terpidana maupun ahli waris telah dilekatkan oleh undang-undang. b. Ahli Waris Meneruskan Permintaan Terpidana Sudah dijelaskan, baik terpidana maupun ahli waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi jika yang mengajukan permintaan itu terpidana, kemudian sebelum peninjauan kembali diputus oleh Mahkamah Agung terpidana meninggal dunia, menurut pasal 268 ayat 2, hak untuk meneruskan permintaan peninjauan kembali “diteruskan” oleh ahli waris. Dalam peristiwa yang seperti inilah kedudukan ahli waris menduduki “ hak substitusi” dari terpidana. Kentuan pasal 268 ayat 2 dapat kita ringkaskan sebagai berikut : 1 Yang mengajukan permintaan peninjauan kembali ialah terpidana sendiri, 2 Sementara peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung tapi belum diputus, terpidana meninggal dunia, 3 Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali, sepenuhnya menjadi hak ahli waris. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Atau keadaannya bisa juga : 1 Terpidana telah meninggal dunia, dan permohonan peninjauan kembali diajukan oleh ahli waris. 2 Sementara itu ahli waris yang mengajukan permohonan meninggal dunia sebelum Mahkamah Agung memutus. 3 Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali dilanjutkan oleh ahli waris yang meninggal tersebut. Apa yang diatur pada pasal 268 ayat 2 jika permintaan peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung. Bagaimana halnya jika terpidana yang mengajukan permohonan peninjauan kembali meninggal dunia sebelum permintaan peninjauan kembali dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung Permintaan peninjauan kembali dapat diteruskan ahli waris Tentang hal ini undang-undang tidak mengatur. Akan tetapi secara konsisten dapat dipedomani ketentuan Pasal 268 ayat 2. Apabila terpidana meninggal dunia sebelum permohonan peninjauan kembali dikirimkan kepada Mahkamah Agung, ahli waris dapat meneruskan atau tidak peninjauan kembali. Dengan demikian, ketentuan pasal 263 ayat 2, bukan saja berlaku pada taraf permohonan peninjauan kembali berada di Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali berada di Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali masih berada pada taraf pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri atau pada taraf permohonan peninjauan kembali belum dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung. c. Permintaan Peninjauan Kembali oleh Kuasa Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Sebagaimana yang sudah dijelaskan, Pasal 263 ayat 1 hanya memberikan kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Apakah ketentuan ini melarang penasehat hukum atau seorang yang dikuasakan terpidana atau ahliwarisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali Memang kalau secara ketat berpegang pada ketentuan pasal 263 ayat 1, undang-undang tidak memberi hak kepada kuasa mengajukan permintaan peninjauan kembali. Harus langsung terpidana atau ahli waris. Ketentuan yang seperti ini dijumpai dalam pasal 244 KUHAP. Yang menentukan permohonan kasasi hanya dapat dilakukan oleh terdakwa yang bersangkutan tidak dapat dikuasakan kapada penasehat hukum atau orang lain. Ketentuan pasal 244 tersebut diperlunak oleh angka 24 Lampiran Keputusan Metenteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983, tanggal 10 Desember 1983. oleh angka 24 lampiran tadi yang merupakan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP, telah memperkenankan dibuat terdakwa “secara khusus”. Artinya penunjukkan kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi harus dibuat terdakwa dalam surat kuasa yang khusus untuk tujuan permintaan permohonan kasasi. Peninjauan kembali dapat diminta oleh seorang kuasa, dasar hukumnya diterapkan “secara konsisten” pedoman yang terdapat pada angka 24 lampiran Menteri Kehakiman tersebut. Alasan penerapan pedoman petunjuk yang terdapat pada angka 24 ini ke dalam proses permohonan itu sendiri. Motivasi Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 memperbolehkan seorang kuasa mengajukan permintaan kasasi, tiada lain demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terdakwa. Kalau begitu dengan motivasi yang sama, pedoman petunjuk angka 24 tadi dapat diterapkan dalam permintaan peninjauan kembali, demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terpidana. Bukankah setiap orang berhak menunjuk penasehat hukum atau kuasa yang dapat diharapkan membela kepentingan dan memperlindungi hak asasi.

B. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum

Fungsi dan kewenangan jaksa didalam KUHAP Pasal 1 angka 6 huruf a ditetapkan hanya meliputi dan bertindak sebagai penuntut umum dan melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. KUHAP merumuskan demikian karena berkaitan dengan rangkaian ketentuan-ketentuan lainnya dalam KUHAP. Sesuai dengan ketentuan pasal 284 ayat 2 KUHAP Jo Pasal 17 PP No 27 Tahun 1983 Jaksa berwenang untuk melakukan penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana seperti dalam tindak pidan korupsi dan dalam tindak pidana Subversi dan dalam tindak pidana ekonomi. Dengan adanya pasal ini jaksa berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Maka dengan kewenangan penyidik yang dimiliki oleh jaksa diletakkan diatas corak khusus ketentuan acara pidana dalam undang-undang yang bersangkutan. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Pelaksanaan sistem peradilan pidana ini Criminal Justice System dalam sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan pola penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan pelaksaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidik, penuntutan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, dan semua lembaga ini berusaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut agar peradilan berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. Maka dengan fungsi dan kewenangan masing-masing instansi penegak hukum itu terdapat pembedaan fungsi dan wewenang secara tegas tetapi hal tersebut bukanlah pemisahan fungsi dan wewenang masing-masing instansi penegak hukum. Dalam hubungannya dengan sistim peradilan perkara pidana terpadu tersebut, untuk menangani hasil-hasil penyidikan yang yang telah dilaksanakan oleh penyidik maka dalam tahap penuntutan kepada penuntut umum. Ketentuan Pasal 14 KUHAP yang menyatakan penuntut umum mempunyai wewenang yaitu: a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. c. Memberikan perpanjangan penahanan, melaksanakan penahanan atau penahanan lanjutan dana atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik. d. Membuat surat dakwaan Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 e. Melimpahkan perkara kepengadilan f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. g. Melakukan penuntutan. h. Menutup perkara demi kepentingan hukum. i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang. j. Melaksanakan penetapan hakim. Pengertian dari penuntutan itu menurut Andi hamzah yaitu tindakan penuntut umum untuk memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Sedangkan Harun.M.Husein mengatakan pengertian yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan prapenuntutan itu yaitu harus dihubungkan dengan pasal 8 ayat 3 huruf a, pasal 14 huruf a dan b, pasal 110 dan pasal 138 KUHAP dari rangkaian pasal tersebut nampak hal-hal sebagai berikut: 42 a Pada tahap pertama pertama penyidik hanya meyerahkan berkas perkara. b Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih belumkurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan. c Penyidikan dianggap selesai apabila dalam batas waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. d Penuntut umum setelah menerima berkas perkara segera mempelajari dan meneliti berkas perkara dan dalam waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum. e Apakah hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara dengan petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi dan dalam batas waktu 14 hari sejak penerimaan kembali berkas perkara, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. 42 Harun.M.Husein, Penyidikan dan penuntutan dalam proses pidana, Jakarta:PT Rineka Cipta,hal 234 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Berdasarkan pengertian yang diatas yang dimaksud dengan penuntutan ialah kewenangan penuntutan umum untuk mempersiapkan penuntutan yang akan dilakukannya dalam suatu perkara, yaitu dengan cara mempelajarimeneliti berkas perkara hasil penyidikan yang diserahkan penyidik kepadanya guna menentukan apakah persyaratan yang di perlukan guna melakukan penuntutan sudah terpenuhi atau belum oleh hasil penyidikan tersebut. Ada beberapa bidang tugas dan wewenang kejaksaan berdasar undang-undang No. 5 Tahun 1991 Pasal 27, 28, dan 29 yaitu sebagai berikut : 43 a. Di bidang Pidana Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : 1. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana; 2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan; 3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat; 4. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan penyidik. b. Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Datun Di bidang Datun, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. c. Di bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : 1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; 2. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; 3. Pengamanan peredaran barang cetakan; 4. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; 5. Pencegahan penyalahgunaan danatau penodaan agama; 6. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Kejaksaan dapat meminta hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena yang 43 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, Hal 58. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Mencermati tugas dan wewenang diatas ternyata kewenangan melakukan pengawasan keputusan lepas bersyarat diabaikan oleh pembentuk Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untuk itu, dalam penyusunan peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang kemasyarakatan maka kewenangan kejaksaan perlu diangkat kembali. Dengan demikian tidak ada kesan saling bertentangan atau tumpang tindih, hal itu perlu diperhatikan pula dalam penyusunan RUU KUHAP baru sebagai ius constituendum. Dalam rangka pemantapan tugas dan fungsi kejaksaan dan sekaligus dalam rangka menemukan kebenaran materiil, kiranya pemeriksaan tambahan lebih diefektifkan dan didayagunakan. Kewenangan penuntut umum secara normatif dirumuskan oleh KUHAP melalui Pasal 14 yaitu : a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari Penyidik atau penyidik pembantu; b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan dengan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, dengan memberi membentuk petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik; c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan danatau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. Membuat surat dakwaan; Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 e. Melimpahkan perkara ke pengadilan; f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang ke sidang yang telah ditentukan; g. Melakukan penuntutan; h. Menutup perkara demi kepentingan hukum; i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j. Melaksanakan penetapan hakim Hal ini cukup urgen untuk dibahas berkaitan dengan kewenangan di atas, diantaranya adalah prapenuntutan. Prapenuntutan muncul bersamaan dengan diundangkannya KUHAP melalui UU No.8 Tahun 1981. Istilah ” prapenuntutan” tidak diberi pengertian melalui Pasal 1 KUHAP, dan hampir sama pengertiannya dengan penyidikan lanjutan dalam HIR, juga dalam praktek Penuntut Umum sering menemui kendala. Kendala yang dimaksud antara lain: 1 Penyidik sering tidak dapat memenuhi petunjuk Penunut Umum ataupun petunjuknya sulit dimengerti Penyidik, sehingga menyebabkan berkas perkara bolak-balik Penuntut Umum ke Penyidik dan sebaliknya. 2 Banyak berkas perkara yang dikembalikan Penuntut Umum untuk disempurnakan Penyidik, tidak dikembalikan lagi ke Penuntut Umum. Prapenuntutan ini merupakan tahap yang amat penting bagi Penuntut Umum, yang menginginkan tugas penuntutan berhasil baik. Kenyataan membuktikan bahwa keberhasilan Penuntut Umum dalam prapenuntutan akan sangat mempengaruhi Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan dan keberhasilan pembuktian di persidangan. Agar prapenuntutan dapat berdaya guna dan berhasil guna, kiranya perlu diperhatikan faktor-faktor tertentu yang pada pokoknya: a. Pembinaan hubungan kerjasama antara Penyidik dengan Penuntut Umum, baik sebelum atau lebih sesudah adanya pemberitahuan penyidikan kepada Penuntut umum. Pembinaan hubungan kerjasama dan koordinasi ini dimaksudkan untuk terarahnya penyidikan oleh Penyidik, baik mengenai diri tersangka, perbuatan yang disangkakan maupun pembuktian sehingga dapat menghindarkan hasil penyidikan yang berlarut-larut dan mondar-mandirnya berkas perkara antara Penyidik dengan Penuntut Umum. b. Kewajiban penelitian kelengkapan hasil kelengkapan meliputi antara lain kelengkapan berita acara, keabsahan berita acara, tindakan Penyidik, kesempurnaan alat bukti yang sah, alasan dan dasar penahanan tersangka, kecocokan benda sitaanbarang bukti dengan daftar yang tercantum dalam berkas perkara dan faktor-faktor lain yang dinilai perlu. c. Apabila jaksa menelitijaksa penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan belum lengkap, dalam waktu 7 hari harus memberitahukan kepada Penyidik di sertai petunjuk-petunjuk yang terperinci. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Selain hal-hal diutarakan di muka, ternyata ada beberapa kelemahan pelaksanaan prapenuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu sebagai berikut : 44 1. Penguasaan teknis yuridis Sejak diterimanya P-16 Jaksa Penuntut Umum tidak mempelajari secara seksama dan sungguh-sungguh serta tidak melakukan kegiatan apa-apa setelah menerima laporan polisi jadi yang memuat uraian singkat perkara pidana. Tidak jarang terjadi bahwa Penyidik keliru menempatkan pasal-pasal yang disangkakan. 2. Penguasaan teknis administratif Jaksa Penuntut Umum setelah P-16 tidak tau apa yang harus diperbuat, tidak melakukan kewajiban administrasi seperti sudah diatur dalam keputusan jaksa agung kepja sehingga banyak sekali dijumpai SPDP yang tidak disusul dengan penyerahan berkas perkara tahap pertama tanpa diketahui sebab-sebabnya. 3. Penunjukan Jaksa Penuntut Umum dalam P-16 Untuk melaksanakan tugas prapenuntutan masih banyak ditemukan hanya ditunjuk satu orang jaksa bahkan dijumpai jaksa yang bertugas melakukan tugas prapenuntutan bukan menjadi jaksa Penuntut Umum disidang pengadilan sehingga dalam keadaan seperti tersebut tidak pernah dilakukan kegiatan dinamika kelompok. 4. Pemberian Petunjuk untuk Melengkapi Berkas Perkara Oleh karena jaksa penuntut umum yang bertugas melaksanakan tugas prapenuntutan tidak melakukan tugas dengan baik sejak menerima SPDP maka 44 Ibid, hal 62 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 pemberian petunjuk yang diperlukan untuk melengkapi berkas perkara tidak jarang dapat dilaksanakan penyidik karna tidak jelas. Tugas dan wewenangan kejaksaan RI adalah sebagai berikut : 45 1. Di bidang Pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang a Melakukan penuntutan; b Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang; e Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan Penyidik 2. Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan usaha khusus dapat bertindak didalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara dan pemerintah. 3. Dalam Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum, kejaksaan turut menyelenggarkan kegiatan : a Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; 45 Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi Dan Fingsinya Dari Perpekstif Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, Hal 128 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 b Pengamanan kebijakan penegak hukum; c Pengamanan peredaran barang cetakan; d Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e Pencegahan penyalahgunaan danatau penodaan agama; f Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. 4. Dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak; 5. Membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan negara lainnya; 6. Dapat memberi pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Tugas dan wewenang jaksa agung menurut Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 yaitu: 46 1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; 2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; 3. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; 4. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara; 5. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; 46 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 6. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan negara RI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Pasal 36 UU No.16 Tahun 2004 mengatur bahwa : 47 1. Jaksa Agung memberikan ijin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam luar negeri, kecuali dalam 2. Keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri 3. Ijin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepada Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani rumah sakit diluar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung 4. Ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2, hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri. Kemudian pasal 37 UU No.16 Tahun 2004 menegaskan bahwa : 48 1. Jaksa agung bertanggungjawab atas penununtutan yang dilaksanakan secara independent demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. 2. Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas . Menurut UU No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI diatur tugas dan wewenang kejaksaan RI, dalam Pasal 27 menegaskan bahwa: 49 1. Di bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a Melakukan penuntutan dalam perkara pidana; b Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan; c Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan bebas bersyarat; d Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik 47 Ibid 48 Ibid 49 Opcit, Kejaksaan RI Posisi Dan Fingsinya Dari Perpekstif Hukum, hal 131 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 2. Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan usaha khusus dapat bertindak didalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara dan pemerintah 3. Dalam Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : a Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b Pengamanan kebijakan penegak hukum; c Pengamanan peredaran barang cetakan; d Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e Pencegahan penyalahgunaan danatau penodaan agama; f Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Undang-undang No 5 Tahun 1991 Pasal 28 menetapkan bahwa kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau diri sendiri. Sementara itu, Pasal 29 Undang-undang No 5 Tahun 1991 tersebut menetapkan bahwa disamping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-undang. Selanjutnya, Pasal 30 Undang-undang No 5 Tahun 1991 menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan-badan penegak hukum dan keadilan serta badan Negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 31 mengatur bahwa kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi Pemerintah lainnya. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Mengenai tugas dan wewenang Jaksa Agung diatur dalam beberapa pasal di bawah ini. Pasal 32 Undang-undang No. 5 tahun 1991 mengatur bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas wewenang: 50 a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan; b. Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan institusi terkait berdasarkan Undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden. c. Menyampingkan perkara demi kepentingan Umum. d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara; e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; f. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan negara RI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai peraturan perundang-undangan Kemudian pasal 33 menegaskan bahwa: 51 1. Jaksa Agung memberikan ijin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam luar negeri. 2. Ijin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepala Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani rumah sakit diluar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung. 50 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 51 Ibid Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 3. Ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2, hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri. Tugas dan wewenang Kejsaksaan Republik Indonesia diatur juga dalam Undang-undang No. 15 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kejaksaan RI. Dalam pasal 2 Undang-undang itu ditetapkan bahwa dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1, kejaksaan mempunyai tugas: 52 1. Mengadakan penuntutan perkara-perkara pidana pada pengadilan yang berwenang, menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana. 2. Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang hukum acara pidana dan lain-lain peraturan negara. 3. Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. 4. Melaksanakan tugas-tugas khusus lainya yang diberikan kepadanya oleh sesuatu peraturan negara. Disamping pengaturan tugas kejaksaan diatas, Undang-undang No 15 Tahun 1961 mengatur wewenang dan kewajiban Jaksa Agung. Pasal 7 ayat 2 menegaskan bahwa untuk kepentingan penuntutan perkara, jaksa agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam lingkungan daerah hukumnya memberikan petunjuk-petunjuk mengkoordinasikan dan mengawasi alat-alat Penyidik dengan mengindahkan hierarki. Ayat 3 mengatur bahwa jaksa agung memimpin dan mengawasi para jaksa dalam melaksanakan tugasnya. Selanjutnya dalam pasal 8 undang-undang itu ditegaskan bahwa jaksa agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum. Kemudian pasal 9, mengatur bahwa jaksa agung dan jaksa-jaksa 52 Opcit, Kejaksaan RI Posisi Dan Fingsinya Dari Perpekstif Hukum, Hal 135 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 lainnya dalam lingkungan daerah hukumnya menjaga agar menahan dan perlakuan terhadap orang yang di tahan oleh pejabat-pejabat lain dilakukan berdasarkan hukum. Ketiga undang-undang kejaksaan itu menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Dalam Undang-undang No 16 Tahun 2004 dan Undang-undang No 5 Tahun 1991 ditegaskan bahwa kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Disamping itu, Undang-undang No 16 Tahun 2004 dan Undang-undang No 5 Tahun 1991 mengatur tugas dan wewenang jaksa agung yaitu: 53 a. Menetapakan serta mengendalikan kebijakan menegakkan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; c. Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana institusi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh presiden; d. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; e. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada mahkamah agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara; f. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada mahkamah agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; 53 Ibid, hal 140 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 g. Menyampaikan pertimbangan kepada presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati. h. Mencegah atau menangkal orang tertentu un tuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini sangat relevan untuk mendapat perhatian khusus tentang pentingnya upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa. Dimana Jaksa disini mewakili korban dalam melakukan Upaya Hukum Peninjauan kembali dalam hal bidang Penuntutan Sesuai dengan wewenangnya. Korban yang merasa tidak puas atas putusan pengadilan yang tidak adil diwakili oleh jaksa untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali.

C. Korban yang diwakili oleh Jaksa

Pengertian korban kejahatan berkaitan erat dengan sifat kejahatan itu sendiri. Korban kejahatan pada mulanya hanya diartikan sebagai korban dari kejahatan yang bersifat konvensional, misalnya pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, dan pencurian. Kemudian diperluas pengertiannya menjadi kejahatan yang bersifat non konvensional seperti terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika, kejahatan terorganisir, kejahatan terhadap kemanusiaan crime againts humanity, penyalahgunaan kekuasaan. Sedangkan Mardjono mengatakan mengenai korban ini Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 meliputi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, yang bersumber dari illegal abuses of economic power dan illegal abuses of public power. 54 Korban kejahatan dalam hukum pidana sangat sulit diberikan batasan secara pasti karena kejahatan atau pelanggaran hukum pidana dapat menimbulkan dampak yang luas materil dan immateril baik langsung maupun tidak langsung. Hukum pidana tidak memberikan penjelasan tentang siapa yang menjadi korban dari suatu kejahatan atau pelanggaran hukum pidana. Batasan tentang korban kejahatan itu dapat ditemukan dalam disiplin non hukum pidana misalnya viktimologi dan kriminologi. Pasal dalam hukum pidana secara tidak langsung ada juga yang memberikan pengertian yang ditujukan terhadap korban kejahatan dalam konteks yang beragam seperti pengadu, pelapor, saksi atau saksi korban dan pihak ketiga yang berkepentingan dan pihak yang dirugikan sebagai penggabung dalam prosedur pidana 55 Penentuan batasan pengertian korban kejahatan atau dampak kejahatan terhadap korbannya merupakan bagian yang tidak mudah untuk dirumuskan karena menjangkau pada aspek-aspek kehidupan yang bersifat tidak terbatas dan tidak terhitung. Maka lebih mudah untuk menentukan batasan kejahatan dari pada merumuskan batasan dampak kejahatan terhadap korbannya. Penjelasan mengenai 54 Mardjono Reksodiputro,Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban di dalam JE. Sahetapy Viktimologi:Sebuah Bunga rampai, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta , 1987, hal 96 55 Istilah pihak yang dirugikan disini ditujukan kepada korban kejahatan sebagai mana dalam penjelasan pasal 98 ayat 1 tetapi ketentuan ini dalam konteks keperdataan dalam rangka penggabungan perkara perdata dalam prosedur acara pidana. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 korban kejahatan paling tidak mencukup 3 hak yaitu siapa yang menjadi korban kejahatan, penderitaan dan kerugian apa yang dialami oleh korban kejahatan dan siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana penderitaan atau kerugian yang dialami oleh korban tersebut setelah dipulihkan. Atas pertimbangan tersebut pengkajian tentang posisi hukum korban kejahatan dalam lingkupnya ini dipulihkan melalui upaya hukum peninjauan kembali. Korban kejahatan dikelompokkan dalam beberapa kelompok antara lain yaitu: korban kejahatan bersifat abstrak, misalnya negara atau masyarakat, korban kelompok, misalnya organisasi atau kelompok berdasarkan ras, agama, etnis, suku, warna kulit atau karena adanya persamaan kepentingan dan korban yang nyata. Misalnya individu dan individu. Kajian terhadap korban yang nyata ini memiliki ciri-ciri yang mudah diamati dan paling sering terjadi dalam masyarakat seperti kejahatan terhadap badan atau nyawa dan kejahatan terhadap kesusilaan. Ini disebut sebagai korban kejahatan konvensional yang mana korban kejahatannya konvensional dan korban kejahatannya bersifat langsung dan nyata yang menimbulkan kerugian kepada korbannya. Posisi hukum dari korban kejahatan diartikan sebagai kedudukan hukum korban dalam hukum pidana. Posisi hukum korban tersebut dapat diketahui melalui kajian tentang konsep kejahatan atau pelanggaran hukum pidana yaitu hak atau kepentingan siapakah yang dilanggar oleh pelanggar hukum pidana, konsep kejahatan Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 menjadi pokok pangkal pengkajian posisi hukum korban kejahatan dalam sistim peradilan pidana, karena dalam pelaksanaanya hak-hak yang telah dimiliki dan akan dimiliki oleh korban kejahatan akan memiliki dasar hukum yang lebih kuat jika eksistensi dan posisi hukumnya diakui oleh hukum pidana. Posisi hukum korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana dilakukan pada peraturan hukum pidana formil dan materil yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Hukum itu adalah suatu sistem yaitu sistem norma-norma 56 . Sebagai sistem hukum memiliki sifat umum dari suatu sistem. Paling tidak ada memiliki tiga ciri umum yaitu menyeluruh Wholes, memiliki beberapa elemen Elements, semua element saling terkait Relations, kemudian membentuk struktur. Maka sistem hukum memiliki cara kerja sendiri untuk mengukur vadilitas suatu norma dalam suatu sisitem hukum tersebut. Sedangkan Lawrence W Friedman memberi konsep suatu sistem hukum dalam arti yang lebih luas yang meliputi 3 elemen yaitu element struktural, substansi, budaya hukum 57 dan elemen ke empat yaitu dampak 58 . 56 Hukum dikatakan sebagai suatu sistem karena memiliki ciri-ciri umum suatu sistem hukum, tetapi batasan yang diberikan berbeda karena melihyat dari sudut pandang yang berbeda sebagaimana dikatakan hans kelsen yaitu melihat sistem hukum dari sudut hukum positif dikaitkan dengn teorinya yang terkenal dengn norma dasar. 57 Budaya Hukum menurut Lawrence M.Friedman yaitu sikap orang terhadap hukum yang dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai,ide, dan pengharapan-pengharapan.maka dengan adanya empat element tersebut secara implisit Friedman mengakui bahwa masalah hukum tidak bisa digeneralisasikan pada lintas sistem hukum, karena budaya hukum itu adalah khas dari masing-masing masyarakat. 58 Element keempat ini ditujukan kepada dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi kajian para peneliti.Pandangan Friedman tentang tentang sistem hukum tersebut dilatarbelakangi oleh Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Perlindungan saksi korban disini berasaskan pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, kepastian hukum. Perlindungan terhadap korban ini beertujuan: memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban dalam memberikan setiap keterangan dalam proses peradilan pidana. Perlindungan terhadap para saksi dan korban ini berasaskan pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminasi, dan kepastian hukum. Perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana saksi dan korban berhak untuk mendapat: 59 1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksiaan yang akan sedang atau tela diberikannya. 2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan 3. Memberikan keterangan tanpa tekanan. sistem hukum amerika yang bercorak common law system. Untuk menjelaskan civil law system atau hukum kontinental hukum indonesia memiliki karakter civil law system hukum kontinental perlu ada penekannan bagian tertentu yang relevan dengan ciri umumnya, yaitu hukum dipahami sebagai peraturan perundang-undangan yang tertulis ditetapkan oleh pembentuk hukum yang berkompeten, oleh sebab itu kajian ini difokuskan kepada dua aspek yaitu aspek substansi dajn struktural. 59 UU No 13 Tahun 2008 Tentang Saksi Dan Korban Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 4. Mendapat penerjemah. 5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat. 6. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan 7. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan 8. Mendapat identitas baru. 9. Mendapatkan tempat kediaman baru 10. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan 11. Mendapat nasihat hukum 12. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Pengertian korban menurut Arif hwa Gosita yaitu: Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Dari pengetian ini diuraikan secara rinci bahwa korban kejahatan ada yang bersifat individual dan kolektif. Korban individual ini dapat diidentifikasi sehingga perlindungan korban dilakukan secara nyata akan tetapi korban kolektif sangat sulit diidentifikasi. Sedangkan dalam Pasal 37 Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup diberikan jalan keluar terhadap korban kolektif berupa hak melakukan upaya hukum menuntut ganti rugi atau pemulihan lingkungan hidup Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 melalui gugatan perwakilan kelompok class action. Dikaji dari perspektif jenisnya, koraban kejahatan ada yang bersifat langsung yaitu korban kejahatan itu sendiri, dan tidak langsung korban semua abstrak yaitu masyarakat 60 . Selin Dan Wolfgang mengklasifikasikan secara eksplisit jenis korban sebagai berikut: a. Primary Victimization adalah korban individual. Korbannya merupakan orang perorangan atau bukan kelompok. b. Secondary Victimization. Korban merupkan kelompok seperti badan hukum. c. Tertiary vctimazation korban merupakan seperti kelompok badan hukum. d. Tertiary victimiation korban merupakan masyarakat luas e. Mutual victimazation korban merupakan pelaku, misalnya pelacuran, perzinahan,narkotika. f. Novictimazation Korban tidak segera dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi. Apabila dikaji lebih jauh dari persektif kerugian, korban dapat diderita oleh seorang, kelompok masyarakat, maupun masyarakat luas. Selain itu kerugian korban juga dapat bersifat materil yang lazimnya dinilai dengan uang dan immateril yakni 60 Lilik Mulyadi , Kapita Selekta Hukum Pidana kriminologi dan Viktimologi, Jakarta: PT Djambatan, 2004,hal 120 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 peerasaan takut, kejutan, psikis. 61 Sedangkan dalam sistim peradilan indonesia ternyata kedudukan korban relatif kurang diperhatikan karena ketentuan hukumnya masih bertumpu pada perlindungan bagi pelaku. Sistim peradilan indonesia yang memberikan kewenangan jaksa untuk mewakili kepentingan korban kejahatan. Hal ini merupakan bagian dari perlindungan masyarakat sebagai konsekuensi logis dari teori kontrak sosial dan teori solidaritas sosial 62 . Model perlindungan terhadap korban kejahatan ini yaitu model hak-hak prosedural. Secara singkat model ini menekankan agar korban berperan aktif dalam proses peradilan pidana seperti membantu jaksa penuntut umum dilibatkan dalam setiap pemeriksaan perkara yang didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat. Begitu juga dengan korban bisa mendapatkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya. Keterlibatan korban dalam proses peradilan tentunya mempunyai dampak positif dan negatif. Partisipasi korban dalam pelaksanaan proses peradilan pidana dapat menyebabkan kepentingan pribadi terletak diatas kepentingan umum. Secara historis teori tersebut merupakan latar belakang terhadap terbebtuknya lambaga kejaksaan sebagaiamana yang dikatakan oleh Jan JM Van Dijk, The Hague, bahwa secara 61 Mardjono Reksodiputro,Kriminologi dan Sistim Peradilan Pidana,Universitas Indonesia: Jakarta,1994, hal 78 62 Muladi Dan Barda Nawai Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung:PT Alumni,1992 hal 78 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 historis, argumen inilah yang melatarbelakangi atau sebagai justifikasi terhadap terbentuknya jaksa penuntut umum. Sedangkan alasan yang diberikan oleh orang yang menolak hak korban diberikan untuk melakukan peninjauan kembali yaitu dengan diberikannya peran individual kepada korban dalam proses persidangan atau penuntutan terhadap pelaku, berarti membuatnya ikut bertanggung jawab atas jalannya persidangan serta dari hasil proses persidangan tersebut. Tanggung jawab ini akan menjadi tekanan yang cukup berat bagi korban dalam berbagai segi. Tekanan bisa muncul dari pihak dengan siapa korban melakukan kontak dan atau disebabkan oleh pihak polisi atau jaksa yang memanfaatkan hak-haknya untuk kepentingan umum. Model hak-hak prosedural ini dapat menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan individual sikorban, disamping suasana peradilan yang bebas dan dilandasi asas praduga tidak bersalah presumption of innocence dapat terganggu oleh pendpat korban tentang hukuman yang dijatuhkan karena didasarkan atas pemikiran emosional sebagai upaya untuk mengadakan pembalasan. Selain itu menetapkan jaksa penuntut umum sebagai yang mewakili korban sering kali dalam prakteknya aspirasi korban kurang diperhatikan sehingga menimbulkan ketidak puaasan atas tuntutan jaksa dan putusan hakim. Aspek inilah merupakan salah satu yang dipicu karena secara prosedural korban tidak mempunyai peluang untuk menyatakan ketidak puasannya terhadap tuntutan jaksa dan putusan hakim. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Jaksa penuntut umum sebagai lembaga yang mewakili korban dalam tuntutan pidananya lebih banyak menguraikan penderitaan korban akibat tindak pidana yng dilakukan oleh pelaku. Dengan tolak ukur tersebut, pengajuan tuntutan pidana hendaknya harus didasarkan pada keadilan yang ditinjau dari kaca mata korban. Dengan demikian jaksa penuntut umum cenderung menuntut hukuman yang relatif tinggi, sedangkan terdakwa atau penasehat hukumnya berhak memohon hukuman yang seringan-ringannya. Bahkan kalau memungkinkan mohon agar terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan jaksa penuntut umum. Putusan hakim yang berupa pemidanaan veroordeling sebagaimana dikatakan Barda Nawawi Arief dari simposium pembaharuan hukum pidana nasional tahun 1980, yaitu sebagai berikut: 63 1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa persidangan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang. 2. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan. 3. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil, baik oleh terhukum, korban, maupun masyarakat. 63 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan kejahatan dengan pidana penjara, Semarang:Undip,1996. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Apabila dijabarkan, ketentuan pasal 100 ayat 2 KUHAP telah membatasi korban dalam hal berikut: a. Ditinjau dari anasir prosesnya, maka tidak ada aturan atau pedoman yang harus dilakukan korban apabila merasa tidak puas atas putusan hakim tentang besarnya ganti kerugian yang dijatuhkan. Konkertnya, korban tidak mempunyai proses langsung untuk melakukan upaya hukum banding. Karena itu, berdasarkan ketentuan pasal 100 ayat 2 KUHAP maka permintaan banding putusan ganti kerugian baru dapat dijalankan apabila perkar pidananya dilakukan upaya hukum banding. Konkretnya, jika korban berkeinginan untuk mengajukan banding, jalurnya hanya melalui penuntut umum yang belum tentu menyetujui kehendak korban. Hal ini dikarenakan jalur tersebut bukan merupakan ketentuan undang-undang, melainkan berdasarkan pendekatan persuasif antara korban dan penuntut umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlindungan korban yang diberikan melalui ketentuan dimaksut belum sepenuhnya dapat menjamin kepentingan korban dalam upaya untuk mencari keadilan. b. Perlindungan korban melalui upaya hukum banding tergantung kepada penuntut umum. Tegasnya, besar kemungkinan terjadi perbedaan pandang dan kepentingan antara korban dan penuntut umum. Jika korban berkeinginan mengajukan banding sedangkan penuntut umum menerima putusan, maka keinginan korban untuk melakukan upaya hukum banding telah tertutup. Aspek ini merupakan konsekuensi logis dari sistem peradilan pidana indonesia yang menempatkan eksistensi lembaga kejaksaan sebagai wakil kepentingan korban kejahatan. Disatu sisi sebagai lembaga yang mewakili korban, idealnya kejaksaan lebih mementingkan korban. Akan tetapi, penuntut umum masih mengacu kepada pelaku tindak pidana. Untuk itu, pada masa mendatang ius constituendum sebagai reorientasi, revaluasi KUHAP guna menghilangkan aspek negatif perlu diatur eksistensi lembaga kejaksaan yang mewakili korban atau Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 masyarakat secara tegas, atau korban dapat secara langsung menggunakan sendiri suatu upaya hukum. Pembatasan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 100 ayat 2 KUHAP, perlindungan kepada korban melalui ketentuan Pasal 99 ayat 1 KUHAP teryata relatif kurang sempurna. Berdasarkan ketentuan ini, apabila terjadi penggabungan gugatan ganti kerugian, untuk memeriksanya harus bermuara pada hukum acara perdata. Terlebih lagi khususnya kewanangan bersifat absolut yang harus diajukan kepada pengadilan negeri dimana tergugat bertempat tinggal. Terdakwa yang diadili perkara pidananya disidangkan diluar wilayah tempat tinggal atau tempat kediamannya, tentu pangadilan negeri tersebut tidak akan memeriksa dan tidak akan mengadilinya karena salah satu asas dalam hukum pedana menyatakan bahwa terdakwa akan diadili dimana perbuatan tersebut dilakukan. Oleh karena itu, jika hukum acara pidana benar-benar hendak memperhatikan kepentingan korban, diperlukan adanya penyempurnaan dalam KUHAP itu sendiri dengan memberikan peran lebih besar kepada korban dalam mengajukan upaya hukum banding. Korban dapat mengajukan banding jika tidak merasa puas atas putusan hakim, baik menyangkut pemidanaan maupun terhadap tuntutan ganti kerugian. Demikian pula halnya mengenai kewenangan mengadili sepanjang hal yang menyangkut Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 kerugian materil tidaklah memerlukan pemisahan antara kompetensi peradilan pidana dan perkara perdata terkait dengan gugatan ganti kerugian. Kitab undang-undang hukum acara pidana sebagai peraturan perundang- undangan di indonesia yang mengatur mengenai upaya hukum peninjaauan kembali sebagaimana yang terdapat didalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Mengatakan bahwa yang berhak untuk melakukan permohonan peninjauan kemabli menurut pasal 263 ayat 1 KUHAP yaitu hanya terpidana dan ahli warisnya, mengenai jaksa diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali dalam KUHAP tidak ada diatur. Pasal 263 KUHAP tersebut juga, memberi celah kepada Jaksa Penuntut Umum Untuk mengajukan peninjauan kembali sebagaiamana yang terdapat dalam Pasal 263 ayat 3 KUHAP. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dinyatakan terbukti namun tidak diikuti pemidanaan. Maka disini lah celah bagi jaksa penuntut umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Upaya hukum peninjauan kembali sebagaiamana dimaksud dalam pasal 263 ayat 3 KUHAP ini tidak memungkinkan Terpidana mengajukan Upaya Hukum Peninjauaan kembali terhadap suatu putusan bebas yang mana ini akan merugikan bagi dia untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Jaksa dalam hal ini dianggap perlu untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap walaupun KUHAP sebagai peraturan perundang-undangan diindonesia tidak mengatur mengenai upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa, dimana yang diatur hanya terpidana saja. Jaksa sebagai mengatas namakan negara demi kepentingan umum berhak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali walaupun KUHAP tidak mengaturnya, namun dalam prakteknya. Jaksa diperbolehkan melakukan peninjauan kembali,apabila menyangkut mengenai kepentingan umum. Pengajuan uapaya hukum peninjauan kembali ini sebagai terobosan hukum untuk menerobos legalistik ,sebagaiaman asas perundang-undangan indonesia berdasarkan peraturan yang ada. Teori keseimbangan hukum ini sebagai mana dikatakan Alvi Syahrin dalam bukunya beberapa masalah hukum, bahwa hukum mengendalikan keadilan law wants justice . Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan equality, hak asasi individu individual right, kebenaran truth, kepatuhan fairnes, dan melindungi masyarakat protection public interest. Hukum yang mampu menegakkan nilai-nilai tersebut, jika dapat menjawab : 64 a. Kenyataan relita yang dihadapi masyarakat. b. Yang mampu menciptakan ketertiban. 64 Alvi Syahrin,2009, Beberapa Masalah Hukum, Medan:PT Sofmedia, hal 3. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 c. Yang hendak ditertibkan adalah masyarakat, oleh karena itu orde yang dikehendaki adalah ketertiban sosial yang mampu berperan. Berdasarkan teori keseimbangan yang dikatakan Alvi Syahrin bahwa keadilan yang dikehendaki oleh hukum itu harus mempunyai persamaan equality. Dalam penelitian ini penulis merasa peninjaun kembali yang terdapat didalam KUHAP Pasal 263 Ayat 1 KUHAP bahwa yang diperbolehkan mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana, atau ahli warisnya. Maka muncul pertanyaan mengapa kuhap juga tidak mengatur peninjaun kembali yang dilakukan oleh korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Yang mana dalam hal ini korban dan terpidana, mempunyai kedudukan yang sama didalam hukum. Dalam hal konteks putusan pengadilan, yang memutus peninjauan kembali adalah disni hakim, bukan jaksa, jadi menurut penulis putusan yang tidak adil menurut terdakwa disni adalah putusan hakim bukan putusan jaksa jadi tidak wajar apabila hak nya tidak diakui oleh KUHAP karena sama-sama mereka tidak mendapat putusan yang adil. Namun timbul pertanyaan, Bagaimana dengan hak korban, yang tidak puas dengan putusan hakim, apabila tidak diatur didalam Undang-undang mengenai haknya untuk melakukan peninjaun kembali, sedangkan terpidana apabila tidak puas dengan putusan Mahkamah Agung dapat melakukan peninjauan kembali. Maka dalam hal ini adalah tidak adil menurut penulis, apabila korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum tidak diperbolehkan melakukan peninjauan kembali. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Sementara terpidana dalam hal ini diakui oleh Undang-undang untuk melakukan peninjauan kembali. Maka berdasarkan teori keseimbangan diatas keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan adalah tidak berjalan semana mestinya, karena hak antara terpidana dan korban tidak dipersamakan dalam undang-undang untuk mencari keadilan terhadap suatu putusan hakim yang tidak adil. Maka menurut penulis untuk Rancangan KUHAP yang akan datang supaya hak korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum diberikan wewenang untuk melakukan upaya hukum peninjaun kembali sehingga tercipta kepastian hukum dan keadilan diantara kedua belah pihak. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009

BAB III PRAKTEK PERADILAN INDONESIA YANG MEMBENARKAN JAKSA

PENUNTUT UMUM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP Upaya hukum peninjauan kembali dalam praktek peradilan indonesia pada masa akhir-akhir ini telah menimbulkan perdebatan hukum diantara wewenang dua belah pihak dalam mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Upaya hukum peninjauan kembali ini yang mana menurut pasal 263 KUHAP yang diatur hanya wewenang dari terpidana dan ahli warisnya yang melakukan peninjauan kembali, sementara dari pihak korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum tidak diatur untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Peninjauan kembali yang merupakan hak dari terpidana, dalam belakangan ini muncul keinginan pihak lain di luar terdakwa untuk melakukan peninjauan kembali. Pihak tersebut ialah Jaksa Penuntut Umum yang mewakili korban yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa itu adalah salah. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi dasar hukum bagi jaksa untuk mengajukan upaya hukum tersebut karena hak untuk mengajukan upaya hukum peninjaun kembali berdasarkan undang-undang No 8 Tahun 1981 itu adalaha hak dari terpidana atau ahli warisnya. Kontroversi ini memberikan jawaban bahwa dalam perkembangannya upaya hukum peninjauan kembali ini dalam praktek pradilan memberikan hak atau Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 wewenang bagi jaksa penuntut umum untuk melakukan peninjauan kembali. Lahirnya kewenangan bagi jaksa untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali ini yaitu dengan adanya kasus muchtar pakpahan, sebagai awal Mulanya Jaksa diberikan kewenangan untuk melakukan peninjauan kembali, dan diikuti oleh kasus- kasus bertikutnya yaitu kasus Gandhi Memorial School, dr Linus Waworuntu dan Pollycarpus Budiharipriyatno. Putusan terhadap Muchtar Pakpahan ini dijadikan acuan bagi hakim untuk memutus perkara peninjauan kembali, yang dilakukan oleh jaksa. Mengenai syarat formil dari diterimanya peninjauan kembali tersebut. Dan ini merupakan suatu penemuan hukum. 65 Sebagaimana yang dikatakan oleh Bambang Sutiyoso mengenai pembentukan hukum Rechtsvorming yaitu merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang dan ini lazimnya dilakukan oleh pembentuk Undang-undang. Hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum Judge Made Law kalau putusannya menjadi yurisprudensi tetap Vaste Jurisprudance.

A. Kasus Muchtar Pakpahan

Adapun pertimbangan Mahkamah Agung dalam mengabulkan permohonan dari Jaksa Penuntut Umum Yaitu: Hukum terbentuk antara lain melalui putusan- putusan Hakim, sepeti halnya, dalam masalah permohonan kasasi pasal 244 KUHAP yang berbunyi : “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat 65 Bambang Sutiyoso , Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press, 2006, hal 84 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 terakhir oleh Pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Menegaskan bahwa permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan kecuali putusan bebas dapat dimintakan kasasi, atau dengan perkataan lain putusan bebas dengan tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Melalui penafsiran pasal 244 KUHAP tersebut Hakim menentkan bahwa terdapat 2 macam putusan bebas, yakni bebas murni dan bebas tidak murni, putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, sedangkan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 menentukan : Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan PK kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan”. Dalam perkara pidana terdapat 2 pihak yang berkepentingan yakni yang satu adalah terdakwa dan yang lainnya Jaksa Penuntut Umum yang mewakili kepentingan Umum negara. Menurut pasal 21 Undang- Undang Nomor 14 tahun 1970 tersebut disebutkan “pihak-pihak yang berkepentingan, jadi pihak-pihak yang dimaksud disini yang dapat megajukan permohonan peninjauan kembali yaitu Jaksa Penuntut Umum. Pasal 263 ayat 3 KUHAP menentukan: “ atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2 terhadap putusan pengadilan yang telah Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan permohonan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu sudah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti suatu pemidanaan”. Maka oleh Mahkamah Agung berdasarkan pasal 263 ayat 3 KUHAP tersebut ditujukan kepada Jaksa Penuntut Umum. Dimana Jaksa disini adalah pihak yang paling berkepentingan. Jaksa penuntut umum telah berhasil membuktikan dakwaannya dimuka sidang dan Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemutusan pemidanaan oleh hakim. Jaksa dalam hal ini yang paling berkepentingan agar putusan pengadilan tersebut dirubah sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tersebut diikuti dengan pemidanaan atas diri terpidana. Berdasarkan asas legislitas dan dalam rangka menerapkan asas keseimbangan antara hak asasi dari Temohon peninjauan kembali sebagai perseorangan atau sebagai manusia seutuhya berwujud kepentingan perseorangan atau golongan tertentu sebagai satu pihak dan kepentingan umum, bangsa masyarakat luas termasuk kepentingan “Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia’ sebagai kepentingan masyarakat Indonesia seluruhnya pada pihak lainnya yang tidak terpisah dari Kejaksanaan Republik Indoensia yang dipimpin oleh Jaksa Agung RI. Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali ini selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan Undang-Undang diseluruh wilayah Negara diterapan secara tepat dan Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 adil, lagi pula mengenai dapat tidaknya diajukan permohonan peninjauan kembali perkara ini masih menjadi masalah hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini Ingin menciptakan Hukum Acara Sendiri guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum tersebut dengan menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dari Pemohon peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum secara formal dapat diterima, sehingga dapat diperiksa apakah pihak yang memohon peninjauan dapat membuktikan apakah putusan bebas tersebut sudah tepat dan adil. Mengenai putusan bebas Hadari Djenawi tahrir mengemukakan pasal 263 ayat 1 terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum, merupakan putusan pengadilan yang dikecualikan oleh pasal 263 ayat 1 untuk dapat diadakan Peninjauan Kembali, artinya bahwa atas kedua putusan Pengadilan tersebut tidak dapat dimintakan PK , menurut Hadari, Pembuat Undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang arti kata putusan bebas maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum, tetapi dari pasal 191 ayat 1 dan 2 pengertian Istilah-istilah tersebut dapat disimpulkan. 66 Mengenai pengertian pada ayat 1 pasal 263 KUHAP yang disebut putusan bebas didalam praktek dikenal dengan istilah Vrijsprak Sedangkan yang dimaksud dari istilah lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut dalam ayat 2 pasal 263 KUHAP, identik dengan istilah onstlag van rechtsvervolging 67 . Dalam praktek kedua istilah tersebut sudah berkembang 66 Hadari Djenawi Tahir Loc it Hal 26-29. 67 Harun M. Husein, 1992, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Jakarta :Sinar Grafika, hal 111. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 sehingga tidak dapat dikatakan secara tegas apakah suatu putusan pengadilan itu benar-benar merupakan suatu putusan vrijspraak atau ontslag van rechtvervolging. Menurut Adi Andjoyo, pengajuan dan pengabulan permohonan PK kasus Muchtar Pakpahan merupakan penyimpangan penafsiran peraturan perundang- undangan, sebab KUHAP telah membatasi bahwa putusan bebas tidak dapat lagi dibanding di tingkat apapun, apalagi untuk diajukan ketingkat PK. Putusan kasasi dalam kasus Muchtar Pakpahan ditegaskan Adi Andojo juga mengemukakan KUHAP secara tegas menggariskan bahwa putusan bebas itu merupakan hak yang melekat pada terpidana dan tidak dapat diajukan banding ataupun PK, yang ada adalah Jurisprudensi yang menerima pengajuan kasasi bagi putusan bebas tidak murni. Andi Andojo mengatakan sekalipun hukum itu merupakan penafsiran akan tetapi tidak dapat ditafsirkan terlalu jauh, bisa-bisa hukum menjadi menyimpang. Penafsiran terhadap rumusan-rumusan hukum tidak boleh mengada-ada, harus ada relevansi menurut hukum pidana. 68 Albert Hasibuan juga mengomentari diterimanya PK terhadap putusan bebas. Albert menyatakan suatu hal yang juga perlu dibahas lebih dalam adalah mengapa PK Membuat kriteria pembebasan murni dan pembebasan tidak murni, Yaitu: a. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang tidak murni apabila pembebasan itu didasarkan pada kekeliruan penafsiran atau istilah dalam surat dakwaan, atau apabila putusan bebas itu merupakan pelepasan dari segala tuntutan hukum atau apabila dalam putusan bebas itu pengadilan telah bertindak melampaui batas wewenangnya b. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni, apabila pembebasan itu didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur tindak pidana. 68 Suara Pembaharuan, 21 November 1996, Adi Andojo: Putusan Bebas Murni Tidak Boleh dibanding.” Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 dilangsungkan terhadap putusan bebas terhadap bagi Muchtar Pakpahan. KUHAP menggariskan terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan PK. Sekalipun ada ketentuan pandangan yang lain, MA sepatutnya tidak menggunakan dasar hukum yang bertentangan dengan KUHAP. 69 M.kholidin mengemukakan Putusan PK kasus Muchtar Pakpahan ini melanggar pasal 263 ayat 1 KUHAP yang menentukan bahwa putusan bebas vrijspraak dan lepas dari segala tuntutan tidak dapat dimintakan PK. Majelis hakim kasasi pimpinan Adi Andojo telah membebaskan Muchtar Pakpahan, tapi kemudian dipidana kembali oleh Soerjono melalui lembaga PK. Kenyataan ini jelas merupakan pelanggaran yang nyata atas pasal 263 ayat 1 KUHAP. Kholidin melanjutkan bahwa kesepakatan Majelis Hakim PK yang mempidana Muchtar Pakpahan empat tahun penjara juga melanggar Pasal 263 ayat 3 KUHAP. Pasal tersebut menyatakan pidana yang dijatuhkan dalam putuan PK tidak boleh melebihi pidana yang dijatuhkan dalam putusan semula. Kholidin menyatakan bahwa maksud dari pasal tersebut adalah melindungi terpidana. 70

B. Kasus Gandhi Memorial School

Berkenaan dengan kewenangan Kejaksaan dalam mengajukan peninjauan kembali, putusan ini memberikan pertimbangan sebagai berikut ; a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum berhak mengajukan peninjauan kembali, sebab logikanya tidak mungkin 69 Kompas, 21 November 1996, Putusan Bebas Murni Hak Yang tidak Bisa Digugat. 70 M.Kholidin, Kasus Muchtar Pakpahan, kemandirian MA, Media Indonesia,29 November 1996. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 terpidana atau ahli warisnya akan mengajukan peninjauan kembali dalam hal vrijspraak Onslag van Rechtvervolging. Dalam hal yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan-alasan tersebut pada pasal 263 ayat 2 KUHAP b. Pasal 263 ayat 3 KUHAP juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisannya, sebab cenderung akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis apabila Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk peninjauan kembali melalui pasal ini pernah diatur dalam RO dan Perma No. 1 Tahun 1969 dan Perma No. 1 tahun 1989 Jaksa Agung untuk memelihara keseragaman putusan consistency in court decision, sekalipun tidak menganut asas “stare decisis” the binding orce of precendent, maka majelis cenderung untuk mengikuti pendapat Majelis Hakim dalam Keputusan Mahkamah Agung No. 55 PK1996 kasus Dr. Mukhtar Pakpahan SH., MA di atas yang logika hukumnya bisa dipertanggugjawabkan reasonable” Pertimbangan-pertimbangan tersebut menegaskan bahwa Pasal 263 tidak melarang secara tegas pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. Selain itu, peninjauan kembali oleh terpidana dan ahli warisnya justru merugikan mereka. Penegasan ini merupakan bentuk konsistensi Mahkamah Agung mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali. Dengan demikian adalah suatu hal yang sangat wajar jika Jaksa Penuntut Umum dapat Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 mengajukan Peninjauan kembali, karena telah sesuai dengan praktek hukum yang berlaku di negara ini.

C. Kasus Eddy Linus Waworuntu

Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan dalam mengajukan permintaan Peninjauan kembali adalah dalam kapasitasnya sebagai penuntut Umum yang mewakili negara dan kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian permintaan peninjauan kembali ini bukan karena kepentingan pribadi Jaksa Penuntut Umum dan Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum negara. Sebelum adanya pengaturan yang tegas dalam KUHAP mengenai hak jaksa mengajukan permintaan peninjauan kembali, memerlukan suatu tindakan hukum untuk memperjelas hak Jaksa Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali yang tersirat di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu juga terdapat dari dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang- Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung RI yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Ketetapan MPR nomor IIMPR1993 tentang Garis-Garis Besar haluan Negara di jelaskan bahwa pembangunan materi hukum ialah antara lain pembentukan hukum. Sebagaimana dimaklumi pembentukan hukum tidak hanya membentuk suatu Perundang-udangan yang baru tetapi juga menciptakan hukum melalui Yurisprudensi. Hal ini dipertegas dalam Lampiran Keputusan Presiden Nomor 17 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Tahun 1994 tentang Repelita VI, bidang hukum yang antara lain memberikan peranan yang lebih besar kepada peradilan dalam menentukan arah perkembangan hukum yang dianggap penting bagi perwujudan keadilan sosial dalam masyarakat melalui putusan hakim yurisprudensi. Diterimanya pemerintah peninjauan kembali itu merupakan langkah positif dari Mahkamah Agung dalama mengisi kemungkinan adanya kekosongan hukum atau kekurang jelasan dalam peraturan. Garis besarnya Peninjauan Kembai PK yang diatur dalam KUHAP merupakan lanjutan yang ditransfer dari PERMA No. 1 tahun 1969 dan PERMA No. 1 tahun 1980; serta kedua Peraturan Mahkamah Agung ini bermuara dari ketentuan Pasal 356 dan Pasal 357 Rv. Perbedaanya adalah pada pasal 263 tidak ada hak wewenang Penuntut Umum mengajukan PK Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan kembali. Jarak Sinar Grafika, hal. 625 Pembentuk UU hanya mengadopsi begitu saja, tanpa melihat esensi yang terkandung dalam Pasal 356 dan pasal 357 SV. Hal ini dipengaruhi oleh pemikiran yang bersifat linier yang simplisitk. Implikasinya, konstruksi Pasal 263 tersebut menimgulkan ketidakjelasan dalam pengaturan peninjauan kembali khususnya wewenang Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Hal ini diakui oleh Mahkamah Agung sebagaimana pertimbangan dalam kasus Muchatar Pakpahan yaitu pertama, kekurang pengaturan mengenai hak atau Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 wewenang JaksaPenutut Umum dalam maslah peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dan kedua, hak atau wewenang JaksaPenutut Umum dalam melakukan penijauan kembali terhadap putusan bebas masih menjadi masalah yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketidakjelasan ini menimbulkan pertanyaan yang signifikan : Apakah Penuntut Umum berwenang mengajukan Peninjauan Kembali. Bila kembali kepada sejarah dari pasal 356 dan Pasal 357 CV, adalah suatu keniscayaan untuk memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk mengajukan. Pasal 356 dan Pasal 357 CV memberikan keseimbangan baik terhadap ahli waris dan terpidana maupun terhadap Jaksa Penutut Umum. Ahli waris dan terpidana berhak mengajukan penijauan kembali terhadap putusan pemidanaan sedang Penuntut Umum berhak mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas. Bahwa Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas menyatakan larangannya terhadap Penuntut Umum untuk mengajukan peninjauan kembali. Ketentuan ini hanya menyatkan bahwa terpidana dan ahli waris berhak mengajukan peninjauan kembali. Walaupun di dalam ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas menyatakan bahwa Jaksa Penutut Umum Kejaksaan berhak untuk mengajukan permintaan penijauan kembali kepada Mahkamah Agung, namun yang jelas ketentuan pasal ini tidak melarang Penutut Umum Kejaksaan untuk melakanakan hal tersebut. Adalah wajar apabila permintaan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 dikecualikan karena putusan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya dikecualikan karena putusan tersebut adalah menguntungkan bagi terpidana. Demi tegaknya hukum dan keadilan terhadap putusan pengadilan yang dikecualikan Putusan bebas dan lepas dari segala tuntuan hukum adalah menjadi hak Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagai pihak yang berkepentingan sepanjang terhadap dasar atau alasan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat 2 KUHAP. Bahwa pasal 263 ayat 1 juga tidak dapat membatasi subyek yang berhak mengajukan peninjauan kembali berdasarkan Pasal 263 ayat 3 KUHAP. Karena sejatinya, keberadaan Pasal 263 ayat 3 KUHAP untuk melindungi kepentingan umum. Dalam hal ini hanya dapat diwakili oleh Penuntut Umum. Bahwa pasal 263 ayat 3 KUHAP memberi peluang kepada Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali, karena yang berkepentingan dengan putusan yang diikuti dengan sutau pemidanana adalah Penuntut Umum, bagaimana mungkin terpidana akan mengajukan PK untuk meminta dirinya supaya dipidana, substansi Pasal 263 ayat 3, ini adalah merupakan hak Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali, karena tidaklah mungkin Peninjauan kembali diajukan oleh terpidana yang belum memperoleh gelar terpidana sebab belum pernah dieksekusi oleh Penuntut Umum, kita semua mengetahui bahwa seorang Terdakwa akan memperoleh gelar terpidana sejak ia pertama kali dieksekusi oleh Penuntut Umum, Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 bagaimana mungkin mengeksekusi Terdakwa yang tidak diikuti oleh suatu pemidanaan vide pasal 263 ayat 3 KUHAP Memperhatikan ketentuan Paal 263 ayat 1 KUHAP ini tentunya tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya akan menggunakan ketentuan pasal ini sebagai dasar untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali, mengingat tidak akan menguntungkan bagi dirinya. Kalau memang perumusan Pasal 263 ayat 3 KUHAP adalah untuk terpidana atau ahli warisnya, sebenarnya sudah cukup tertampung oleh ketentuan Pasal 263 ayat 2 huruf c KUHAP. Jelas tampak bahwa pengaturan berlebihan. Dengan demikian menjadi pertanyaan mengapa ketentuan pasal ini diatur dalam ayat tersendiri, dan untuk siapa ketentuan pasal ini dibuat disiapkan pengaturannya. Jawaban yang paling tepat, tiada lain kecuali untuk Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang berkepentingan di luar terpidana atau ahli warisnya Berkaitan dengan ketentuan tersebut Andi Hamzah dalam bukunya ”Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana” yang menyatakan bahwa adalah kurang adil apabila dalam keputusan itu Jaksa Penuntut Umum Kejakasaan tidak diberikan hak dan wewenang mengajukan permintaan peninjauan kembali.

D. Kasus Pollycarpus Budi Hari Priyatno

Adapun pertimbangan Mahkamah Agung Dalam Memberikan Jaksa melakukan peninjauan kembali adalah Dalam mengahadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 pidana tersendiri, guna menampung hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dalam perkara pidana. Mahkamah Agung dalam menyelesaikan problema yuridis tersebut melakukan penafsiran beberapa peraturan perundang-undangan dengan dasar pertimbangan yuridisnya yaitu: 1 Pasal 244 KUHAP menegaskan Putusan bebas tidak dapat dimintakan kasasi , Namun melalui Pasal 244 KUHAP tersebut telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. 2 Pasal 23 UU ayat 1 UU No 4 Tahun 2004 dimana ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa dalam perkara pidana selalu terdapat dua belah pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepengtingan umumnegara. Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam pasal 23 ayat 1 UU No 4 Tahun 2004 tersebut ditafsirkan adalah kejaksaan tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. 3 Pasal 263 ayat 3 KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh Karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 yang berisikan pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti oleh pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa. Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan Termohon PK dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping perseoranganterdakwa Juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan Kembali PK. Mahkmah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat,adil. Mahkamah Agung dalam mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri yurisprudensi demi untuk adanya kepastian hukum. Berdasarkan argumentasi yuridis tersebut Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal permohonan kejaksaan untuk Peninjauan Kembali diakui oleh Mahkamah Agung. Pendirian Mahkamah Agung dalam memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung tersebut, menurut pendapat Mahkamah Agung dalam putusan- putusan Mahkamah Agung Tersebut, terkandung penemuan hukum yang selaras Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 dengan jiwa ketentuan perundang-undangan, doktrin, azas-azas hukum sebagimana dapat disimpulkan dalam hal-hal sebagai berikut: 71 1 Pasal 23 ayat 1 Undang-undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi Terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang, tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pihak- pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali tersebut. demikian dengan pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 sebagaiman diubah dengan UU No 4 Tahun 2004 yaitu yang berbunyi: apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan perkara pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan tidak menjelaskan dengan siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan peninjauan kembali. Dan terhadap kejelaan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 oktober 1996 dengan No 55 PKPid1996, dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No 3 PKPid2001 telah memberikan jawaban dengan menggunakan 71 Majalah Varia Peradilan No 268, hal 69-74 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 penafsiran ekstensif 72 yang mana yang dimaksud dalam kasus ini adalah fihak- fihak yang berkepentingan dalam perkara pidana, selain terpidana atau ahli warisnya adalah Jaksa. 2 Pasal 263 KUHAP merupakan pelaksanaan dari pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU No 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang mengandung hal-hal yang tidak jelas itu: a Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, sebab logikanya terpidana atau ahli warisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam konteks ini maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar dan alasan dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat 2 KUHAP b Konsekuensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan atas dasar alasan yang sama sebagaiamana tersebut pada ayat 2 terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang diakwakan telah dinyatakan tebukti namun tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Dan tidak mungkin dimanfaatkan oleh 72 Penafsiran Ekstensif adalah metode penafsiran yang membuat penafsiran melebihi batas- batas hasil penafsiran gramatikal. Jadi penafsiraan ekstensif digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan Unadang-undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal. Contoh dalam Hal Ini pasal 263 KUHAP ini yang mana dimaksud fihak-fihak yang berkepentingan dalam perkara pidana ini ialah bukan hanya Terpidana Atau ahli warisny untuk dapat melakukan peninjauan kembali,,namun juga Jaksa bisa berdasarkan penafsiran ini. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. 3 Sehubungan ketidakjelasan yang terdapat dalam pasal 263 KUHAP tersebut dikemukakan pendapat-pendapat yaitu: a Penganut doktrin Sen Clair la doctrine du sensclar berpendapat bahwa “penemuan hukum oleh Hakim “ hanya dibutuhkan jika: peraturannya belum ada untuk suatu kasus dan peraturannya sudah ada tapi belum jelas. b Lie OEN HOCK berpendapat, Apabila kita memperhatikan Undang-undang, ternyata bagi kita, bahwa undang-undang tidak saja menunjukan banyak kekurangan-kekurangan, tapi sering kali juga tidak jelas, walaupu demikian hakim harus melakuak peradilan, teranglah bahwa dalam hal sedemikian undang-undang memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan undang-undang ini artinya suatau kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang-undang, dan hakim boleh menafsirkan suatu ketentuan undang-undang secara gramatikal atau historis 73 . c M.Yahya Harahap berpendapat: Akan tetapi sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum public yang bersifat imperatif, 73 Penafsiran gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam perundang-undangan sesuai kaidah bahasa yang berlaku. Contohnya menggelapkan dalam pasal 41 KUHP ditafsirkan meghilangkan. Penafsiran historis adalah: Penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah baik sejarah hukumnya maupun sejarah terjadinya undang-undang. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi. Bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan: tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik,penuntut umum dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan hukum public memang diakui imperative tetapi tidak seluruhya absolute. Ada ketentuan yang yang dapat dilenturkan, dikembangkan, bahkan disingkirkan sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dana kemanusiaan dalam satu konsep to improve the equality of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, kasus natalegawa dalam perkara 275 KPid1983. Dalam perkara ini Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi stare decis melalui extensive interpretation. Dalam kasus ini, walaupun pasal 244 KUHAP tidak memberikan hak kepada penuntut umum mengajukan kasasi terhadap putusan bebas terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecualai putusan bebas akan tetapi, dalam kasus natalegawa ini sifat imperative yang melekat pada ketentuan ini dilenturkan bahkan disingkirkan dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan bukan putusan pembebasan murni. Sejak saat itu kasasi yang diajukan Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 penuntut umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung, bebarti penerimaan kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas, merupakan penafsiran luas, maka dengan bertituk tolak dari itu mendorong majelis PK dalam kasus Muchtar Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan pasal 263 KUHAP ,demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal harus diberi hak kepada penuntut umum mengajukan PK terhadap putusan bebas , dengan cara memberikan kesempatan pada penuntut umum membuktikan bahwa pembebasan yang dijatuhkan pengadilan “tidak adil” in justice karena didasarkan ada alasan non yuridis . 74 Hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Perlu dikemukakan bahwa dalam rangka menemukan hukum ini isi ketentuan pasal 16 ayat 1 tersebut harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat 1 Undang-undang No.4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal ini dalam yurisprudensi tersebut dapat disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang berbunyi “Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perorangan 74 Op cit M.Yahya Harahap, Hal 642-643 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 termohon peninjauan kembali dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya dilain pihak disamping perseorangan terdakwa juga kepentingan umum yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali PK. 4 Bahwa pertimbangan tersebut di atas adalah sesuai dengan Model yang tertumpu pada konsep “daad – dader – strafrecht” yang oleh Muladi disebut Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm.5 dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana maupun korban tindak pidana. 5 Bahwa selain itu pertimbangan hukum tersebut adalah sejalan dengan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch, dimana “keadilan” selalu diprioritaskan. Ketika Hakim harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan atau dan kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran “ prioritas baku” tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 19911992 yang Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 berbunyi “Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkannya hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”. 6 Bahwa karena berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman hukum, “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran meteriil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”, maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan- ketentuannya, dan dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Upaya Hukum peninjauan kembali oleh jaksa dalam praktek peradilan indonesia telah diakui oleh Mahkamah Agung yang mana beberapa kasus Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 permohonan PK jaksa telah diterima oleh Mahkamah Agung Seperti Kasus Muctar Pakpahan, Gandhi Memorial School, Lenus Waworuntu, Pollycarpus Budiharipriyatno. Mahkamah Agung sebagai tombak peradilan tertinggi di indonesia membuat penemuan hukum dengan menafsirkan pasal 263 KUHAP dan pasal 23 ayat 1 UU No 4 Tahun 2004 yang mana disitu dikatakan ada pihak-pihak, maka oleh Mahkamah Agung ditafsirkan pihak tersebut salah satu adalah Jaksa Penuntut Umum Untuk melakukan Upaya Hukum peninjauan kembali, karena berdasarkan asas legalitas dan dalam menerapkan Teori Keseimbangan antara hak asasi dari termohon peninjauan kembali kembali sebagai perseorangan atau sebagai manusia seutuhnya berwujud kepentingan perseorangan atau golongan tertentu sebagai salah satu pihak dan kepentingan umum, bangsa masyarakat luas, termasuk kepentingan Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai kepentingan masyarakat indonesia diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dari Kejaksaan republik Indonesia yang dipimpin oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, Mahkamah agung dalam tingkat peninjauan kembali ini selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas dan membina dan menjaga agar semua hukum dan Undang-undang diseluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil. Lagi pula mengenai dapat tidaknya diajukan permohonan peninjauan kembali oleh jaksa dalam perkara pidana masih menjadi masalah hukum yang menimbulkan ketidakpastian, hukum maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 pidana ingin menciptakan hukum acara sendiri guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang JPU untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009

BAB IV ALASAN-ALASAN YANG DIGUNAKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

MELAKUKAN PENININJAUAN KEMBALI DALAM PRAKTEK PERADILAN

A. Adanya Kekhilafan Hakim

1.Kasus Muchtar Pakpahan Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan. Kekhilafan dan kekeliruan itu bisa terjadi dalam semua tingkat peradilan. Kekhilafan yang dibuat oleh pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama, bisa berlanjut pada tingkat banding, dan kekhilafan pada tingkat pertama dan tingkat banding itu tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung. Padahal tujuan tingkat banding maupun tingkat kasasi untuk meluruskan dan memperbaiki sertra membenarkan kembali kekeliruan yang dibuat pengadilan yang lebih rendah. 75 Kekeliruan hakim ini bisa dilihat dalam putusan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dalam tingkat kasasi yang mana termohon peninjauan kembali semula sebagai terdakwa dan pemohon kasasi yaitu Muchtar Pakpahan tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh jaksa dalam pasal 160 dan pasal 161 KUHP. Unsur menghasut dilakukan oleh Muchtar Pakpahan disini telah terbukti yaitu mengadakan latihan kepemimpinan di Aula Gereja Kristen Protestan Simalungun Pematang Siantar Sejak Tanggal 9 sd 11 April 1994 yang dihadiri lebih kurang seratus orang utusan pekerja dan pengurus DPC SBSI Sesumatera Utara. Muchtar 75 Loc it M.Yahya Harahap, Hal 622 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Pakpahan disitu memberikan ceramah dengan mengatakan SBSI merupakan wadah yang legal, dan apabila musyawarah tidak tercapai maka buruh berhak mogokunjuk rasa. Setelah pelatihan tersebut kepada setiap peserta diberikan uang saku oleh Muchtar Pakpahan sebesar Rp 30.000 tiga puluh ribu rupiah. Kemudian selanjutnya terdakwa mengadakan pertemuan lagi 20 orang yaitu menuntut supaya agar buruh berunjuk rasa tanpa meminta ijin kepada polisi. Upah gaji Rp 3.100 tidak cukup lagi untuk hidup yang layak seharusnya menjadi Rp 7.000 per hari dan muchtar pakpahan disini telah berulang kali melakukan kegiatan untuk melakukan aktivitas menghasut buruh. Majelis hakim agung dalam pertimbangannya yang mengatakan bahwa undang-undang bukan merupakan satu-satunya sumber hukum yang paling penting, teapi ada lagi sumber yang paling penting untuk menyelesaikan masalah, dimana menurut penulis dalam pertimbangannya ini majelis hakim kasasi Mahkamah Agung tidak secara tegas menyebutkan sumber-sumber hukum lainnya yang digunakan sebagai dasar Majelis Hakim agung sehingga putusan tersebut menggambang. Hal ini menurut M Yahya Harahap sebaiknya putusan hakim itu harus disusun secara terurai dengan fakta-fakta hukum dan alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan persidangan dan dipertimbangkansecara argumentatif sehingga terbaca jalan pikiran yang logis dan resoning yang mantap, yang mendukung kesimpulan hakim sehingga putusan tersebut tidak mengambang. 76 76 Ibid hal 361 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Menurut penulis pertimbangan Mahkamah Agung yang tidak mempunyai alasan yang menyatakan bahwa perbuatan dari Muchtar Pakpahan yang tidak bisa dikatakan bertangung jawab. Hal ini kurang tepat dan ini merupakan suatu kekhilafan dari majelis hakim agung. Dalam persidangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi terungkap bahwa adanya korban jiwa dan harta benda akibat dari perbuatan Muchtar Pakpahan yang menghasut para buruh untuk mogok kerja. Istilah menghasut disini artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu, dan menghasut ini bukan berarti memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu. Menghasut disini dapat dilakukan baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Dilakukan dengan lisan menghasut itu telah selesai jika telah diucapkan. Sehingga suatu percobaan dalam delik ini tidak mungkin terjadi. Beda halnya dengan tulisan karangan yang sifatnya menghasut harus ditulis dulu baru tulisan itu disiarkan dan dipertontonkan pada publik dan baru lah delik ini dianggap selesai dan ini telah dapat di hukum. 77 Maka yang menjadi alasan bahwa adanya kekhilafan majelis hakim kasasi disni yaitu, bahwa akses unjuk rasa yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda adalh diluar tanggung jawab Muchtar Pakpahan. Ini memperlihatkan kekhilafan Majelis Hakim Agung atau kekeliruan yang nyata karena perbuatan materil Muchtar Pakpahan menimbulkan korban jiwa dan harta benda adalah sebagai akibat dari tindakan dari muchtar pakpahan. Hal ini terlihat pada saat Muchtar Pakpahan menghasut karyawan-karyawan perusahan swasta di Medan, Pematang siantar, Lubuk 77 Penjelasan Pasal 160 KUHP R.Soesilo. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Pakamm dan belawan agar melakukan aksi mogok dan unjuk rasa tanpa seizin atau setidak-tidaknya Muchtar Pakpahan disini sebagai orang yang berpendidikan dapat diharapkan bahkan dipercaya mengantisipasi yang terjadi sebagai akibat dari unjuk rasa tersebut. Mahkamah Agung dalam Hal ini memperkuat alasan jaksa dalam melakukan peninjauan kembali dengan alasan adanya kekhlifan hakim Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi terhadap Muchtar Pakpahan. Muchtar Pakpahan sebagai orang yang berpendidikan dianggap mengetahui dan mengharapkan serta dapat mengantisipasi perbuatan-perbuatan menghasut yang berkelanjutan. Perbuatan menghasut disini mengakibatkan terjadinya aksi mogok liar dan unjuk rasa dan arak-arakan, tanpa izin dari pemerintah dengan akibatnya menimbulkan korban jiwa manusia dan harta benda. Perbuatan Muchtar pakpahan yang mengahasut ini dapat membahayakan masyarakat dan bangsa Republik indonesia dan juga perbuatan dari Muchtar Pakpahan ini tidak menaati persturann perundang-undangan yang berlaku dan tidak menjunjung pemerintahan dan hukum yang mengatur kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Dan juga Muchtar Pakpahan Disini sebgai yang mendirikan SBSI tidak mendapatkan izin dari pemerintah. Permohonan peninjauan kembali jaksa ini dikabulkan sesuai dengan pasal 263 ayat 2 KUHAP. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 2. Kasus Gandhi Memorial School Kasus gandhi memorial school ini dalam putusan Kasasinya membebaskan terdakwa dari segala dakwaan penuntut umum yang menyatakan terdakwa Ram Gulumal al.V.Ram terbukti melakukan keterangan palsu kedalam akta autentik secara berlanjutn, namum majelis hakim kasasi disni mengambil alih pertimbangan Pertmbangan Pengadilan Tinggi yang mana Pengadilan Tinggi Disni mengambil Alih Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menyatakan Menyuruh melakukan keterangan palsu kedalam Akta Otentik . Surat kuasa palsu yang dijadikan dasar oleh Ram Gulumal. V.Ram dari pemilik sekolah Bombay Merchants Assiciation yang memberikan Hak Kepada Ram Gulumal,V.Ram sebagai kepala sekolah di sekolah Gandhi memorial School tersebut. Surat kuasa ini disalahgunakan oleh Ram Gulumal Vram pada saat peralihan gedung baru sekolah The Gandhi Memorial School yang oleh Gubernur DKI pada saat itu diberikan lahan baru untuk pengembangan pembangunan sekolah yang oleh Pemda saat itu dipakai untuk keperluan umum. Ram Gulumal V.Ram menyalah gunakan surat kuasa tersebut pada saat pembangunan gedung baru Gandhi Memorial School tersebut dengan membuat akte penirian Gandhi memorial School tersebut.Surat Kuasa tersebut dibuat sendiri oleh Ram Gulimal V ram tanpa dihadiri oleh pemilik sekolah tersebut Gopal Gagandas Lalmalani. Selanjutnya V.Ram menyerahkan kepada Notaris surat Kuasa tersebut, dan disitulah dia mendirikan The Gandi Memorial School dengan memakai akta Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 notaris tersebut dan mengrusi lahan yang diberikan oleh Gubernur untuk pembangunan lahan tersebut. V.Ram memberi nama baru di lahan sekolah tersebut dengan nama The Gandhi Memorial Fundation School. V.Ram Mengatakan bahwa sekolah The Gandhi Memorial Fundation School tidak ada kaitannya dengan The Gandhi Memorial School pada hal Gubernur DKI memberikan lahan diancol tersebut untuk perluasan The Gandhi Memorial School. Dikarenakan ditempat lama terdapat perluasan jalan. Sehingga aset tanah yang diberi itu, masih kepunyaan The gandi Memorial School. Mendengar pernyataan Ram Gulumal V. Ram Yang menyatakan bahwa sekolah yang dibangunnya itu terpisah dari sekolah yang lama yaitu Gandhi Memorial School. Maka pemilik dari Gandhi Memorial School ini mengambil alih sekolah yang dibentuk V.ram tersebut, dan oleh pemilik The Gandhi memorial School yaitu melaporakan Ram gulumal Vram telah memalsukan keterangan palsu kedalam akta outentik dengan berdasarkan surat kuasa yang diperbuatnya dan diasahkn oleh Notaris dengan Akta No 72 Tahun 1974 tentang pendirian The Gandhi Memorial Foundation. Berdasarkan kasus diatas penulis menganalisis bahwa dalam putusan Pengadilan Negeri menyatakan terdakewa Ram Gulumal Als Vram terbukti menggunakan surat kuasa palsu yang menggantikan pemilik The Gandhi Memorial school dengan nama istri terdakwa dan keponakan terdakwa.dan perbuatan terdakwa ini telah dilakukan bebrapa kali.maka oleh Pengadilan Negri dinyatakan terbukti Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Menyuruh Memasukkan keterangan Palsu kedalam Akta outentik secara berlanjut pasal 266 ayat 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. dan Pengadilan Tinggi juga mengguatkan putusan Pengadilan Negeri dan Oleh Mahkamah Agung dini membatalkan putusan Judex Factie, namun mengambil alih pertimbangan hukum Judex Factie, hal ini merupakan telah bertentangan dimana Pertimbangan dan amar putusan merupakan satu kesatuan, dan hal ini merupkan suatu kekhilafan dan suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dikatakan dalam Pasal 263 ayat 2 KUHAP maka oleh mahkamah Agung menerima PK Jaksa yang terdapat pertentanga diputusan kasasi Mahkamah Agung tersebut. Yang mana oleh Judex Factie telah dipertimabangkan dengan benar mengenai Surat Kuasa yang dipalsukan dan oleh Mahkamah Agung pertimbangan Judex Factie tersebut sebagai pertimbangan Mahkamah Agung sendiri, namun dalam amar putusannya menyatakan tidak terbukti memasukkan keterangan palsu kedalam akta outentik.

3. Eddy Linus Waworuntu

Mahkamah Agung dalam kasus ini telah melakuakan suatu kehilafan atau kekelirun yang nyata dalam putusan a quo yang dalam pertimbangannya menyatakan : ”Bahwa para terdakwa secara hukum tidak dapat mempertanggungkan secara pidana terhadap perbuatan yang dilakukan” Terdakwa dalam hal ini hanyalah sebagai penerima Kuasa yang telah diberi kuasa oleh 17 orang peserta rapat 7 Juli 2001 untuk notulen rapat kepada saksi notaris Iwam Halimy, SH. Dengan demikian kapasitas Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 terdakwa I hanyalah sebagai penerima kuasa rapat tersebut. Sedangkan terdakwa II dan III secara kenyataan pada waktu itu tidak hadir di depan Notaris tersebut Akte yang terdapat dalam No 18 tahun 2001 mengenai pengurusan Yayasan Tarumanegara bukanlah kehendak para terdakwa, melainkan kehendak para pemberi kuasa. Maka menurut penulis bila ditinjau dari fakta yuridis, bahwa pertimbangan Mahkamah Agung tersebut telah mengingkari fakta persidangan yang sebenarnya telah terungkap di muka persidangan di Pengadilan Negeri. Yang isinya Bahwa rapat pada tanggal 7 Juli 2001 dihadiri oleh para Terdakwa saja, bukan yang lain sehingga kalau ada penyerahan pemberian tanggung jawab antara penerima dan pemberi kuasa adalah mereka para Terdakwa sendiri pelakunya, hal ini jelas menujukkan adanya fakta kesepakatan jahat di antara para terdakwa dalam memberikan keterangan palsu dalam suatu akta outentik. Rapat tersebut seolah-olah terjadi dengan dihadiri oleh 17 orang peserta rapat. Selanjutnya para terdakwa sepakat untuk menghadap kepada Notaris Iwan Halimy, SH sehigga melahirkan Akte : No. 18 tahun 2001. Isi dari akte tersebut adalah Susunan badan kepengurusan yayasan, susunan dewan pengawas yayasan dan susunan dewan pembina yayasan tarumanegara yang isinya akte ini berbeda dengan akte yang terdapat dalam No 142 tanggal 17 Mei 1993 yang secara yuridis formal masih berlaku. Penandatanganan yang dilakukan oleh Edy Linus Waworuntu ini tidak sesuai dengan yang terdapat dalam akte No 142 tanggal 17 Mei 1993 yang secra yuridis formal masih berlaku. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Lahirnya putusan Mahkamah Agung dalam perkara perdata Nomor : 871 K PDT 2003 tanggal 3 Februari 2004 yang memenangkan pengurus yayasan tarumanegara. Berdasarkan akte No 142 tanggal 17 Mei 1993 dan mengalahkan tergugat dalam hal ini Edy Linus Waworuntu sehingga sehingga akte No 18 Tahun 2001 itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut penulis adanya putusan Mahkamah Agung tersebut di atas pada pokoknya telah menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Akte No. 18 pernyataan Keputusan Rapat Perubahan Anggaran Yayasan Tarumanegara tanggal 31 Agustus 2001 di hadapan Notaris Iwan Halimy, SH Notaris di Jakarta. Maka berdasarkan putusan itu Edy Linus waworuntu tidak mmempunyai hak lagi diyayasan tarumanegara dan yang berlaku adalah anggaran dasar yang lama berdasarkan akte No 142 tanggal 17 Mei 1993.

4. Pollycarpus Budi Hari Priyatno