Latar Belakang Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali

BAB II KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM UNTUK MELAKUKAN

PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

A. Latar Belakang Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali

Lahirnya bab XVIII ini dalam upaya hukum luar biasa khususnya bagian kedua tentang peninjauan kembali yang terdapat dalam pasal 263 sampai dengan pasal 269 KUHAP yaitu merupakan sejarah baru dilapangan hukum khususnya hukum acara pidana. Sebab ini merupakan suatu kenyataan bahwa seorang terpidana merasa bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak adil kemudian ingin memintakan kembali pemeriksaan atas perkaranya tersebut dan ini tidak mungkin karna jalan atau acara formal untuk meminta perkaranya yang telah putus untuk diperiksa kembali tidak mungkin karna upaya hukum untuk itu tidak ada lagi. 33 Maka kini dengan adanya upaya hukum peninjauan kembali ini, maka terbukalah jalan bagi setiap terpidana untuk meminta pemeriksaan ulang atas perkaranya. Ini muncul bukan dengan tiba-tiba tetapi terjadi pada tahun 1980 yang mana terkenal dengan kasus sengkon dan karta. Dua terpidana yang telah menjalani hukumannya sejak tahun 1977 tapi sudah di tahan sejak tahun 1974. Kasus tersebut yaitu sengkon dan karta ditahan dan diperksa oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan tuduhan telah merampok dan membunuh suami istri suleman. Berdasarkan alat bukti 33 Hadari Djenawi Tahir, Bab Tentang Heirzening di dalam KUHAP, Bandung: Alumni,1982,hal 5 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 yang dianggap sah oleh Pengadilan Negeri Bekasi keduanya dijatuhi hukuman masing-masing 10 tahun dan 7 bulan penjara. Jelas disini telah terjadi kesalahan didalam penjatuhan putusan terhadap sengkon dan karta.Para aparat hukum juga tidak menjadi tenang dengan adanya kasus ini, dan para ahli hukum juga mencari suatu modus yang tepat agar sengkon dan karta dapat dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan. Jika diteliti kasus sengkon dan karta ini bukanlah telah terjadi kesalahan tuduhan terhadap orang yang melakukan pembunuhan atas sulaiman suami istri tetapi juga telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh pengadilan negeri bekasi. Pengadilan negeri bekasi jelas mengetahui bahwa sengkon dan karta tidak bersalah sewaktu menjatuhkan putusan terhadap Gunel Cs maka seharusnya pada putusan yang sama didalam amarnya Pengadilan Negeri Bekasi memutuskan juga pembatalan atas putusan terdahulu yang dikenakan tehadap sengkon dan karta. Maka dengan seketika itu juga pada saat yang sama sengkon dan karta bebas dari pidana yang telah dijatuhkan terhadapnya. Pernyataan ini juga dikatakan oleh Ketua Mahkamah Agung terdahulu yang mengatakan apabila ini dilakukan oleh Pengadilan Negeri Bekasi maka ini telah terjadi suatu revolusi dalam hukum indonesia dan ini tidak terjadi dan Pengadilan Negeri Bekasi hanya menyatakan bahwa tuduhan terhadap sengkon dan karta tidak Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 terbukti. Mahkamah Agung membatalkan putusan dalam sidang Majelis Mahkamah Agung tertanggal 31 Januari 1981. 34 Lembaga herziening ini dalam hukum diartikan sebagai suatu upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap 35 . Mengingat sangat dibutuhkannya lembaga heirzening tersebut maka berbagai upaya telah dilakukan agar lembaga tersebut dapat diberlakukan. Upaya tersebut dapat terlihat ketika lahirnya PERMA No 1 Tahun 1969 yang menetapkan tentang peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengaturan disini adalah tidak saja mengenai masalah herziening tetapi juga diatur kembali lembaga request civil yaitu suatu lembaga peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap didalam hukum perdata. Tetapi peraturan Mahkamah Agung tersebut tidak berlaku lama sebab pada tahun 1971 berlaku PERMA No 1 Tahun 1971yang mencabut PERMA No 1 Tahun 1969 maka dengan demikian terjadi kekosongan hukum dalam hal permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pencabutan PERMA No 1 Tahun 1969 ini didasarkan pada pendapat bahwa pada tahun 1970 telah dikeluarkan Undang-undang No 14 tahun 1970 yaitu Undang- undang pokok kekuasaan kehakiman. Dimana dalam pasal 21 telah terdapat pasal 34 Ibid hal 8 35 Lembaga ini dikenal dalam Reglement op de Strafvordering Staatsblad nomor 40 jo no 57 tahun 1847 yang tercantum dalam titel 18 dan dilam KUHAP juga diatur dalam hal yang sama yaitu dalam Bab XVIII Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dimana dikatakan: apabila terhadap hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata maupun pidana. 36 Ketentuan Pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 ini semula bermaksud untuk menggantikan PERMA No 1 tahun 1969 tapi ternyata Pasal 21 dari Undang-undang No 14 Tahun 1970 ini tidak dilengkapi oleh peraturan pelaksananya. Sehingga apabila dilakukan peninjauan kembali dengan menggunakan dasar ini tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Maka kasus Sengkon dan Karta tidak bisa diajukan peninjauan kembali dengan menggunakan dasar Pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 ini. Dimana pada saat itu lembaga peninjauan kembali heirzening belum ada karena telah dicabut dengan PERMA No 1 Tahun 1971. Jalan pintas yang ditempuh pada waktu itu yaitu dengan mengeluarkan kembali PERMA. Pada saat itu Perpu ingin dikeluarkan untuk mengatur lembaga heirzening ini karena situasi tidak genting oleh kasus sengkon dan karta ini. Maka oleh Mahkamah Agung hanya mengeleuarkan PERMA saja untuk menjadi dasar lahirnya lembaga Heirzening ini. Dasar hukum lahirnya lembaga Heirzening ini adalah pasal 21 Undang-undang No 14 Tahun 1970 yang mungkin dapat diterima yang menjadi dasar peraturan pelaksana dari suatu undang-undang. Peraturan pelaksana yang dimaksud disini adalah perturan pemerintah yang derajatnya setingkat 36 Hadari Dejenawi Tahir, op cit, hal 10 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 lebih rendah dari Undang-undang yaitu dalam hal ini yaitu Undang-Undang No 14 Tahun 1970. Prosedur untuk dikeluarkannya Peraturan Pemerintah memang akan memakan waktu lama maka. Apabila prosedur ini ditempuh maka akan lama sengkon dan karta menanti pembebasannya. Maka dianggap beralasan apabila Mahkamah Agung menempuh suatu jalan pintas dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1980 tentang “ Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap”dimana dalam PERMA tersebut diatur mengenai peninjauan kembali dalam perkara pidana dan perdata. Peraturan Mahkamah Agung PERMA No 1 Tahun 1980 ini sebenarnya hampir sama dengan peraturan yang pernah dikeluarkan sebelumnya yaitu PERMA No 1 tahun 1969 yang kemudian dicabut dengan PERMA No 1 Tahun 1971. Perbedaan PERMA tersebut yaitu terletak pada PERMA No 1 Tahun 1980 yang tidak mencantum “kekhilafan hakim” dan “kekeliruan yang menyolok” sebagai salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta peninjauan kembali. Alasan peninjauan kembali yang terdapat dalam PERMA No 1 tahun 1980 yaitu : a Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi satu sama lain bertentangan. b Apabila terdapat suatu kedaan sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu masih sidang berlangsung. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari segala tuntutan hukum. atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana. Pernyataan tidak dapat diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara kepersidangan pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana yang lebih ringan. Tidak dicantumkannya kekhilafan hakim dan kekeliruan yang menyolok sebagai suatu alasan yang menjadi dasar untuk meminta peninjauan kembali, maka berkembanglah suatu anggapan dikalangan ahli hukum bahwa Mahkamah Agung menganut asas bahwa hakim tidak dapat diganggu gugat atas putusannya itu. Anggapan itu cenderung untuk mengatakan bahwa hakim bebas dari segala kesalahannya dalam memeriksa dan memutus perkara. hal ini tentu telah menyalahi kodrat dimana dianut asas bahwa manusia tidak luput dari kesalahan begitu juga dengan hakim dalam memeriksa suatu perkara. Jika diperbandingkan antara Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1980 dengan ketentuan yang terdapat didalam Reglement op de strafvordering tahun 1847 khususnya pasal 356 maka alasan atau dasar untuk meminta peninjauan kembali yaitu putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, dengan demikian tidak ada perbedaan pada saat Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No 1 Tahun 1980 dengan mengambil alih pasal 356 dengan alasan yang menjadi dasar peninjauan kembali. Maka apa yang diatur didalam PERMA No 1 Tahun 1969 ini pengaturannya khususnya mengenai lembaga Herzeining lebih luas dari pada PERMA No 1 Tahun Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 1980 maupun yang terdapat dalam Reglement op de Strafvordering pasal 356-360. dengan anggapan bahwa dengan dikeluarkannya Perma No 1 Tahun 1980 ini masalah sengkon dan karta dapat terselesaikan. Keluarnya PERMA No 1 Tahun 1980 ini mendapat reaksi dan tanggapan dari para ahli hukum dan bisa menimbulkan kegoncangan diantara para ahli hukum. Pada umumnya lahirnya PERMA No 1 Tahun 1980 ini dihargai dengan itikad baik dimana ini dapat mencakup lembaga herziening dan request civil. itikad baik itu nampak dalam pertimbangannya dikeluarkan PERMA No 1 Tahun 1980 yang menyatakan bahwa dikeluarkannya peraturan tersebut didasarkan adanya dengar pendapat dengan anggota DPR yang menyatakan dikeluarkannya peraturan tersebut sambil menunggu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peninjauan kembali karena telah sempat terjadi kekosongan hukum. PERMA No 1 Tahun 1971 ini yang mencabut PERMA No 1 Tahun 1969. Dimana masyarakat sangat membutuhkan lembaga ini ditambah lagi dengan adanya kasus sengkon dan karta yang khusus untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan. Masalah yang dipersoalkan dalam pembentukan PERMA No 1 Tahun 1980 yaitu: bahwa pembuatan PERMA No 1 Tahun 1980 ini dianggap agak aneh dengan PERMA sebelumnya yang mana PERMA No 1 Tahun 1969 didasarkan pada pasal 31 UU No 13 Tahun 1965. Dikatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 PERMA No 1 Tahun 1980 ini mendasarkannya pada ketentuan yang terdapat dalam pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 dan pasal 131 UU No 1 Tahun 1950 tentang MA.hal ini dirasa kurang tepat karena dengan berdasarkan pasal 70 UU NO 13 Tahun 1965 ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku, karena UU No 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung ini mempunyai kaitan secara langsung dengan UU Darurat No 1 Tahun 1951 dengan demikian yang dipersoalkan disini adalah apa dasar hukum dikeluarkannya PERMA No 1 Tahun 1980 tersebut. Masalah lain yang banyak dipersoalkan adalah masalah wewenang Mahkamah Agung untuk mengeluarkan suatu peraturan seperti PERMA No 1 Tahun 1980 tersebut. Mahkamah Agung disini dianggap berdiri sendiri disini sebagai kursi legislatif, sebagai pembuat peraturan perundang-undangan yang sebenarnya bukan wewenang Mahkamah Agung. Pendasaran ini didasarkan pada suatu pola pemikiran yang legalistik dimana segala sesuatu harus didasarkan pada suatu ketentuan yang yuridis formal dan konstitusional. Hal tersebut memang ideal tapi disatu pihak dalam menghadapi situasi kasus sengkon dan karta ini apabila kita hanya mengikuti saluran formal normatif mungkin sudah akan terhambat, maka suatu hal yang bijaksana Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan tersebut dengan tujuan memberikan keadilan. Munculnya kasus sengkon dan karta yang seakan memaksa hadirnya lembaga peninjauan kembali di negri ini, maka hingga kini persepsi kalangan berbagai pihak yang terutama kalangan para pakar hukum mengalami perkembangan mendasar. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Sengkon bin yakin dan karta als karung als encep bin salam dimana keduanya dihukum masing-masing 12 Tahun dan 7 tahun oleh masing-masing Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 20 oktober 2007 atas suatu perbuatan pidana pembunuhan. Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya tanggal 25 Mei 1978 menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan terhukum tidak mengajukan hak nya untuk kasasi. Atas dasar kejanggalan dan ketidakadilan tersebutlah kuasa hukum kedua terpidana mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dan kasus itu terangkat ke tengah permukaan secara luas. 37 Berlakunya lembaga hukum peninjauan kembali berdasarkan PERMA No 1 Tahun 1980 yang diterapkan baik bagi perkara pidana maupun perdata. Meskipun kehadirannya mengalami masalah yang kontroversial dikalangan para ahli hukum pada waktu itu, karena tidak mencerminkan asas-asas yang digariskan UUD 1945 dan UU No 14 Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman, namun tetap dipandang sebagai suatu solusi yuridis untuk menampung berbagai suatu masalah terhadap munculnya kesilapan dan kekeliruan aparat peradilan seperti dalam fakta yang dialami oleh sengkon dan karta. Diberlakukannya KUHAP UU No 8 Tahun 1981 yang menampung lembaga peninjauan kembali dan sekaligus mencabut PERMA No 1 Tahun 1980 maka kasus demi kasus yang dimintakan peninjauan kembali dan diselesaikan oleh Mahkamah Agung Telah memperlihatkan suatu benang merah dalam kaitannya dengan pencari 37 Parman Soeparman, Pengaturan Hak Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan,Bandung:PT Refika Aditama, 2007,Hal 5 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 keadilan. Benang merah yang dapat dilihat dari sisi kepentingan pencari keadilan. Disamping terpidana yang merasa tidak berdosa melakukan tindak pidana yang selanjutnya berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali, tercuat adanya keinginan pihak lain diluar terdakwa untuk melakukan hal yang sama. Pihak tersebut adalah jaksa, korban, keluarga korban dan pihak ketiga yang berkepentingan yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa adalah suatu putusan pengadilan yang salah. 38 Pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa, korban, keluarga korban, pihak ketiga yang berkepentingan masih menimbulkan pertanyaaan, apa yang menjadi dasar hukum bagi mereka yang mengajukan upaya hukum tersebut karna hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya dimiliki oleh terpidana atau ahli warisnya. Dimana terlepas dari penafsiran dan kontroversi yang ada sekarang muncul kepermukaan adanya kasus yang sedemikian yang menghiasi cakrawala praktik peradilan. Hal ini ditandai dengan munculnya putusan-putusan Mahkamah Agung yang cukup menarik masyarakat yaitu Kasus Muchtar Pakpahan, Gandhi Memorial School dan kasus Pollycarpus Budiharipriyatno. Praktek peninjauan kembali kemudian melangkah jauh, seakan meninggalkan tujuan yang hakiki, itulah yang terjadi dalam praktek yaitu pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas. Praktik penerapan 38 Ibid hal 14 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 ketentuan tentang peninjauan kembali perlu dikaji secara mendalam dari sudut ilmu hukum pidana dengan pertimbangan 2 faktor yakni: 39 1. Dilihat dari sudut pengaturan hukum acara pidana yang ada terutama KUHAP yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tidak memberikan kesempatan mengajukan peninjauan kembali bagi Jaksa penuntut umum atau pihak korban dirasakan tidak memuaskan 2. Munculnya kasus-kasus peninjauan kembali yang secara jurisprudensial secara tidak langsung telah membuka pintu bagi pihak kejaksaan mengajukan Peninjauan Kembali atas berbagai kasus yang diputus secara bebas atau bahkan setiap putusan yang oleh kejaksaan atau pihak korban dirasakan tidak memuaskan. Ketiga kasus tersebut memunculkan pandangan bahwa tidak diaturnya suatu masalah dalam undang bukan berarti tidak dimungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali. Karena bila dilihat dari sisi kepentingan korban, hak untuk mengajukan peninjauan kembali sudah sepantasnya pula diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. Dalam praktek hukum acara pidana masih memungkinkan bahwa korban kejahatan dapat diberi kesempatan untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali karena didalam hukum acara pidana memang belum bahkan mengaturnya. Namun apabila dilihat dari praktik hukum acara pidana masih memungkinkan untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali sehingga dalam peraturan hukum positif dapat dipertimbangkan untuk diatur. 39 Ibid, hal 7 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Pengaturan dalam hukum positif sebenarnya sudah tersirat didalam pasal 263 ayat 3 KUHAP yang mana didalamnya disebutkan bahwa terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam suatu putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Sedangkan dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP yang diperbolehkan mengajukan peninjauan kembali yaitu hanya terpidana kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Mengenai orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali ditegaskan dalam pasal 263 ayat 1 yakini Terpidana atau Ahli warisnya. Berdasarkan ketentuan ini jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali sebab undang-undang tidak memberikan hak kepada penuntut umum karena upaya hukum ini hanya untuk melindunggi kepentingan terpidana. Untuk kepentingan terpidana Undang-Undang membuka kemungkinan untuk meninjau kembali putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, karena itu selayaknya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Lagi pula sisi lain dari upaya hukum luar biasa ini yakni pada upaya kasasi demi kepentingan hukum. Undang-Undang telah membuka kesempatan kepada Jaksa Agung untuk membela kepentingan umum. Seandainya penuntut umum berpendapat suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan tujuan penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan. Undang- Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Undang telah membuka upaya hukum bagi Jaksa Agung untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum. Hak mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan hak untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang kepada penuntut umum melalui Jaksa Agung. Maka melalui upaya hukum luar biasa sisi kepentingan terpidana dan kepentingan umum telah terpenuhi secara berimbang. Isi pasal dari 263 ayat 1 yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya. Maka sekalipun ada pihak yang merasa dirugikan dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan hukum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 20 Februari 1984 Reg No 1 PKPid1984. Pemohon telah mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Juli 1983 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemohon merasa keberatan atas rampasan untuk negara barang bukti yang bukan milik terpidana, tetapi milik pemohon. Sedang pemohon tidak terlibat maupun tersangkut dalam tindak pidana yang dilakukan terpidana. Oleh karena itu tidak adil apabila milik pemohon dirampas untuk negara sekalipun kapal itu telah dipergunakan terpidana sebagai alat melakukan tindak pidana. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Tanggapan dan putusan Mahkamah Agung atas permohonan dan keberatan yang diajukan pemohon berbunyi: bahwa meskipun terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung akan tetapi karena pemohon peninjauan kembali bukan terpidana atau ahli warisnya sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP maka permohonan peninjauan kembali harus dapat dinyatakan tidak dapat diterima. 40 Sehubungan dengan masalah orang yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali ada beberapa hal yang perlu dijelaskan yaitu: 41 a. Hak prioritas antara terpidana dengan ahli warisnya Untuk mengetahui kedudukan prioritas antara terpidana dengan ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali yang artinya apakah ahli waris terpidana dapat melangkahi terpidana untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Undang-undang tidak menentukan kedudukan anatara terpidana dengan ahli waris. Sekalipun terpidana masih hidup dan sedang mengalami human, maka ahli waris dapat langsung mengajukan permintaan peninjauan kembali sekalipun terpidana masih hidup. Hak ahli waris untuk mengajukan peninjauan kembali bukan merupakan hak subsistusi yang diperoleh setelah terpidana meningga dunia. Hak tersebut adalah hak “hak orisinil” yang diberikan oleh Undang-undang kepada mereka demi untuk 40 Op cit M.Yahya Harahap. Hal 616. 41 Ibid,hal 617 Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 kepentingan terpidana dan ini berasalah sekalipun terpidana masih hidup kemungkinan besar ahli waris lebih mampu dan lebih dapat leluasa berdaya upaya untuk memikirkan dan menanggani pengajuan permintaan peninjauan kembali. Berdasarkan alasan dilakukan diatas hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan oleh terpidana maupun ahli waris telah dilekatkan oleh undang-undang. b. Ahli Waris Meneruskan Permintaan Terpidana Sudah dijelaskan, baik terpidana maupun ahli waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi jika yang mengajukan permintaan itu terpidana, kemudian sebelum peninjauan kembali diputus oleh Mahkamah Agung terpidana meninggal dunia, menurut pasal 268 ayat 2, hak untuk meneruskan permintaan peninjauan kembali “diteruskan” oleh ahli waris. Dalam peristiwa yang seperti inilah kedudukan ahli waris menduduki “ hak substitusi” dari terpidana. Kentuan pasal 268 ayat 2 dapat kita ringkaskan sebagai berikut : 1 Yang mengajukan permintaan peninjauan kembali ialah terpidana sendiri, 2 Sementara peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung tapi belum diputus, terpidana meninggal dunia, 3 Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali, sepenuhnya menjadi hak ahli waris. Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Atau keadaannya bisa juga : 1 Terpidana telah meninggal dunia, dan permohonan peninjauan kembali diajukan oleh ahli waris. 2 Sementara itu ahli waris yang mengajukan permohonan meninggal dunia sebelum Mahkamah Agung memutus. 3 Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali dilanjutkan oleh ahli waris yang meninggal tersebut. Apa yang diatur pada pasal 268 ayat 2 jika permintaan peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung. Bagaimana halnya jika terpidana yang mengajukan permohonan peninjauan kembali meninggal dunia sebelum permintaan peninjauan kembali dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung Permintaan peninjauan kembali dapat diteruskan ahli waris Tentang hal ini undang-undang tidak mengatur. Akan tetapi secara konsisten dapat dipedomani ketentuan Pasal 268 ayat 2. Apabila terpidana meninggal dunia sebelum permohonan peninjauan kembali dikirimkan kepada Mahkamah Agung, ahli waris dapat meneruskan atau tidak peninjauan kembali. Dengan demikian, ketentuan pasal 263 ayat 2, bukan saja berlaku pada taraf permohonan peninjauan kembali berada di Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali berada di Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali masih berada pada taraf pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri atau pada taraf permohonan peninjauan kembali belum dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung. c. Permintaan Peninjauan Kembali oleh Kuasa Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 Sebagaimana yang sudah dijelaskan, Pasal 263 ayat 1 hanya memberikan kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Apakah ketentuan ini melarang penasehat hukum atau seorang yang dikuasakan terpidana atau ahliwarisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali Memang kalau secara ketat berpegang pada ketentuan pasal 263 ayat 1, undang-undang tidak memberi hak kepada kuasa mengajukan permintaan peninjauan kembali. Harus langsung terpidana atau ahli waris. Ketentuan yang seperti ini dijumpai dalam pasal 244 KUHAP. Yang menentukan permohonan kasasi hanya dapat dilakukan oleh terdakwa yang bersangkutan tidak dapat dikuasakan kapada penasehat hukum atau orang lain. Ketentuan pasal 244 tersebut diperlunak oleh angka 24 Lampiran Keputusan Metenteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983, tanggal 10 Desember 1983. oleh angka 24 lampiran tadi yang merupakan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP, telah memperkenankan dibuat terdakwa “secara khusus”. Artinya penunjukkan kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi harus dibuat terdakwa dalam surat kuasa yang khusus untuk tujuan permintaan permohonan kasasi. Peninjauan kembali dapat diminta oleh seorang kuasa, dasar hukumnya diterapkan “secara konsisten” pedoman yang terdapat pada angka 24 lampiran Menteri Kehakiman tersebut. Alasan penerapan pedoman petunjuk yang terdapat pada angka 24 ini ke dalam proses permohonan itu sendiri. Motivasi Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009 memperbolehkan seorang kuasa mengajukan permintaan kasasi, tiada lain demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terdakwa. Kalau begitu dengan motivasi yang sama, pedoman petunjuk angka 24 tadi dapat diterapkan dalam permintaan peninjauan kembali, demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terpidana. Bukankah setiap orang berhak menunjuk penasehat hukum atau kuasa yang dapat diharapkan membela kepentingan dan memperlindungi hak asasi.

B. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum