mengajukan Peninjauan kembali, karena telah sesuai dengan praktek hukum yang berlaku di negara ini.
C. Kasus Eddy Linus Waworuntu
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan dalam mengajukan permintaan Peninjauan kembali adalah dalam kapasitasnya sebagai penuntut Umum yang mewakili negara
dan kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian permintaan peninjauan kembali ini bukan karena kepentingan pribadi Jaksa Penuntut
Umum dan Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum negara. Sebelum adanya pengaturan yang tegas dalam KUHAP mengenai hak jaksa
mengajukan permintaan peninjauan kembali, memerlukan suatu tindakan hukum untuk memperjelas hak Jaksa Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali yang
tersirat di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu juga terdapat dari dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-
Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung RI yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan
Negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Ketetapan MPR nomor IIMPR1993 tentang Garis-Garis Besar haluan
Negara di jelaskan bahwa pembangunan materi hukum ialah antara lain pembentukan hukum. Sebagaimana dimaklumi pembentukan hukum tidak hanya membentuk suatu
Perundang-udangan yang baru tetapi juga menciptakan hukum melalui Yurisprudensi. Hal ini dipertegas dalam Lampiran Keputusan Presiden Nomor 17
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Tahun 1994 tentang Repelita VI, bidang hukum yang antara lain memberikan peranan yang lebih besar kepada peradilan dalam menentukan arah perkembangan hukum
yang dianggap penting bagi perwujudan keadilan sosial dalam masyarakat melalui putusan hakim yurisprudensi.
Diterimanya pemerintah peninjauan kembali itu merupakan langkah positif dari Mahkamah Agung dalama mengisi kemungkinan adanya kekosongan hukum
atau kekurang jelasan dalam peraturan. Garis besarnya Peninjauan Kembai PK yang diatur dalam KUHAP
merupakan lanjutan yang ditransfer dari PERMA No. 1 tahun 1969 dan PERMA No. 1 tahun 1980; serta kedua Peraturan Mahkamah Agung ini bermuara dari ketentuan
Pasal 356 dan Pasal 357 Rv. Perbedaanya adalah pada pasal 263 tidak ada hak wewenang Penuntut Umum mengajukan PK Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan kembali. Jarak Sinar Grafika, hal. 625
Pembentuk UU hanya mengadopsi begitu saja, tanpa melihat esensi yang terkandung dalam Pasal 356 dan pasal 357 SV. Hal ini dipengaruhi oleh pemikiran
yang bersifat linier yang simplisitk. Implikasinya, konstruksi Pasal 263 tersebut menimgulkan ketidakjelasan dalam pengaturan peninjauan kembali khususnya
wewenang Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Hal ini diakui oleh Mahkamah Agung sebagaimana pertimbangan dalam
kasus Muchatar Pakpahan yaitu pertama, kekurang pengaturan mengenai hak atau
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
wewenang JaksaPenutut Umum dalam maslah peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dan kedua, hak atau wewenang JaksaPenutut Umum dalam melakukan
penijauan kembali terhadap putusan bebas masih menjadi masalah yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Ketidakjelasan ini menimbulkan pertanyaan yang signifikan : Apakah Penuntut Umum berwenang mengajukan Peninjauan Kembali. Bila kembali kepada
sejarah dari pasal 356 dan Pasal 357 CV, adalah suatu keniscayaan untuk memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk mengajukan. Pasal 356 dan
Pasal 357 CV memberikan keseimbangan baik terhadap ahli waris dan terpidana maupun terhadap Jaksa Penutut Umum. Ahli waris dan terpidana berhak mengajukan
penijauan kembali terhadap putusan pemidanaan sedang Penuntut Umum berhak mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas.
Bahwa Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas menyatakan larangannya terhadap Penuntut Umum untuk mengajukan peninjauan kembali. Ketentuan ini
hanya menyatkan bahwa terpidana dan ahli waris berhak mengajukan peninjauan kembali. Walaupun di dalam ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas
menyatakan bahwa Jaksa Penutut Umum Kejaksaan berhak untuk mengajukan permintaan penijauan kembali kepada Mahkamah Agung, namun yang jelas
ketentuan pasal ini tidak melarang Penutut Umum Kejaksaan untuk melakanakan hal tersebut. Adalah wajar apabila permintaan peninjauan kembali terhadap putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
dikecualikan karena putusan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya dikecualikan karena putusan tersebut adalah menguntungkan bagi terpidana. Demi tegaknya
hukum dan keadilan terhadap putusan pengadilan yang dikecualikan Putusan bebas dan lepas dari segala tuntuan hukum adalah menjadi hak Jaksa Penuntut Umum
Kejaksaan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagai pihak yang berkepentingan sepanjang terhadap dasar atau alasan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 263
ayat 2 KUHAP. Bahwa pasal 263 ayat 1 juga tidak dapat membatasi subyek yang berhak
mengajukan peninjauan kembali berdasarkan Pasal 263 ayat 3 KUHAP. Karena sejatinya, keberadaan Pasal 263 ayat 3 KUHAP untuk melindungi kepentingan
umum. Dalam hal ini hanya dapat diwakili oleh Penuntut Umum. Bahwa pasal 263 ayat 3 KUHAP memberi peluang kepada Penuntut Umum
mengajukan peninjauan kembali, karena yang berkepentingan dengan putusan yang diikuti dengan sutau pemidanana adalah Penuntut Umum, bagaimana mungkin
terpidana akan mengajukan PK untuk meminta dirinya supaya dipidana, substansi Pasal 263 ayat 3, ini adalah merupakan hak Penuntut Umum mengajukan
peninjauan kembali, karena tidaklah mungkin Peninjauan kembali diajukan oleh terpidana yang belum memperoleh gelar terpidana sebab belum pernah dieksekusi
oleh Penuntut Umum, kita semua mengetahui bahwa seorang Terdakwa akan memperoleh gelar terpidana sejak ia pertama kali dieksekusi oleh Penuntut Umum,
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
bagaimana mungkin mengeksekusi Terdakwa yang tidak diikuti oleh suatu pemidanaan vide pasal 263 ayat 3 KUHAP
Memperhatikan ketentuan Paal 263 ayat 1 KUHAP ini tentunya tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya akan menggunakan ketentuan pasal ini sebagai
dasar untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali, mengingat tidak akan menguntungkan bagi dirinya. Kalau memang perumusan Pasal 263 ayat 3 KUHAP
adalah untuk terpidana atau ahli warisnya, sebenarnya sudah cukup tertampung oleh ketentuan Pasal 263 ayat 2 huruf c KUHAP. Jelas tampak bahwa pengaturan
berlebihan. Dengan demikian menjadi pertanyaan mengapa ketentuan pasal ini diatur dalam ayat tersendiri, dan untuk siapa ketentuan pasal ini dibuat disiapkan
pengaturannya. Jawaban yang paling tepat, tiada lain kecuali untuk Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang berkepentingan di luar terpidana atau ahli warisnya
Berkaitan dengan ketentuan tersebut Andi Hamzah dalam bukunya ”Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana” yang menyatakan bahwa adalah kurang adil apabila
dalam keputusan itu Jaksa Penuntut Umum Kejakasaan tidak diberikan hak dan wewenang mengajukan permintaan peninjauan kembali.
D. Kasus Pollycarpus Budi Hari Priyatno