Hubungan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya

(1)

HUBUNGAN BEBAN LALU LINTAS DAN STRUCTURAL NUMBER

TERHADAP PREDIKSI MULAINYA RETAK DAN

PERKEMBANGANNYA

(KAJIAN LITERATUR)

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi syarat penyelesaian Pendidikan sarjana teknik sipil

06 0404 113

OLIM S.M. PURBA

BIDANG STUDI TRANSPORTASI

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK USU

2011


(2)

ABSTRAK

Hubungan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya

Olim S.M. Purba 06 0404 113

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

Setelah jalan dibuka dan dilalui beban lalu lintas, tingkat pelayanan jalan akan mengalami penurunan fungsi dan struktur. Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan perkerasan jalan, kerusakan yang terjadi juga bervariasi, salah satunya adalah retak. Diperlukan suatu pemodelan untuk memprediksi kerusakan tersebut agar usaha pemeliharaan dan rehabilitasi jalan sesuai dengan biaya yang ada. Pemodelan tersebut dapat bersifat empiris, yaitu berdasarkan beban lalu lintas, kondisi iklim, struktur perkerasan, dan kondisi perkerasan di masa lalu. Pemodelan HDM-4 (Highway Development and Management) dan Sugeng Wiyono merupakan beberapa pemodelan yang bersifat empiris.

Tujuan studi ini adalah untuk mencari hubungan beban lalu lintas dan indeks tebal perkerasan terhadap prediksi mulainya retak dan perkembangannya serta membandingkan hasil prediksi antara pemodelan HDM-4 dan Sugeng Wiyono. Hasil aplikasi pemodelan menunjukkan bahwa beban lalu lintas terhadap prediksi mulainya retak dan perkembangannya berbanding lurus, sedangkan indeks tebal perkerasan berbanding terbalik.

Hasil perhitungan memperlihatkan dalam memprediksi mulainya retak pemodelan Sugeng Wiyono dalam memprediksi mulainya retak lebih cepat dibanding HDM-4. Sedangkan di dalam memprediksi perkembangan retak pada pemodelan HDM-4 jauh lebih cepat dibandingkan pemodelan Sugeng Wiyono. Dengan melakukan analisis regresi pada hasil prediksi, didapat persamaan mulainya retak, ICT = 6.44 + 1.41 SN – 4.088 YE4, dengan R2= 0.999. Begitu juga perkembangan retak dACA = 0.717 t 1.929 dengan R2 = 0.999.

Kata kunci:


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini dengan baik. Tugas akhir ini disusun untuk melengkapi persyaratan menempuh ujian sarjana pada Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Adapun judul tugas akhir ini adalah “Hubungan Beban Lalu Lintas dan Indeks Tebal Perkerasan terhadap Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama penulisan Tugas Akhir ini banyak sekali bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Tuhan Yang Maha Esa, untuk segala rahmat dan berkat-Nya.

2. Bapak Medis S Surbakti ST, MT sebagai dosen pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktu dan pikiran ataupun masukan yang sangat berharga dalam penyusunan/penulisan Tugas Akhir ini hingga selesai.

3. Bapak Prof.Dr.Ing. Johannes Tarigan sebagai ketua Departemen Teknik

Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Ir. Syahrizal, MT sebagai sekretaris Departemen Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Dosen Pembanding yang telah memberikan masukan dan waktunya

dalam penyelesaian Tugas akhir ini.

6. Istimewa untuk orang tua tercinta, Ir. G. Purba dan Dra. R. Sitanggang yang senantiasa mencurahkan segenap kasih sayang dan segala dukungan yang tidak dapat terbalas oleh penulis.


(4)

7. Untuk adik-adik penulis di dalam keluarga besar, Naria F.S Purba, Samuel R.M Purba, dan Ramos J.M Purba, terima kasih atas cinta, doa dan dukungannya kepada penulis.

8. Buat semua sahabat penulis (Gabe, Mi’un, Alexpolalo, Rikikemalauan,

Dion, Muek, Erckon, Guntur, Raymond, Paulus, VerTig, Attha, Afif, Opung, Helmet, Dina, Boin, Gom2, Saud, Wale, Meiman, Lastri, Lae Lamson, RicoMSi, RoSi, Josep, Sinar, Ajirbrother, AjirMyNameIsKhan, TioMilanistiCopo) terkhususnya semua anak sub-jurusan Transportasi beserta semua teman-teman dari stambuk yang lain yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, terimakasih atas segala doa dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta referensi yang penulis miliki. Untuk itu penulis mengharapkan saran-saran dan kritik demi perbaikan pada masa-masa yang akan datang.

Medan, 2011

06 0404 113


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR NOTASI ... viii

BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum ... 1

I.2 Latar Belakang ... 2

I.3 Tujuna ... 3

I.4 Pembatasan Masalah ... 3

I.5 Metodologi ... 4

I.6 Sistematika Penulisan ... 6

BAB II RETAK PADA PERKERASAN JALAN RAYA II.1 Kerusakan pada Jalan Raya... 7

II.2 Retak II.2.1 Umum ... 10

II.2.2 Jenis-jenis Retak II.2.2.1 Berdasarkan Bentuk Retak ... 19

II.2.2.2 Berdasarkan Penyebab Retak ... 23

II.2.2.3 Berdasarkan Tingkat Keparahan (Severity) ... 22

II.2.2.4 Berdasarkan Lokasi Retak ... 23

II.2.2.5 Berdasarkan Cara Berkembang Retak ... 23

II.3 Beban Lalu Lintas ... 24

II.4 Structural Number ... 27

BAB III PREDIKSI MULAINYA RETAK DAN PERKEMBANGANNYA III.1 Umum ... 33


(6)

III.3 Pemodelan Sugeng Wiyono ... 43

III.4 RTIM2 Model ... 46

III.3 Queiros – Geipot Model ... 47

III.3 Arizona DOT ... 48

III.3 Texas Flexible Pavement Design System ... 48

BAB IV APLIKASI PEMODELAN IV.1 Perencanaan Perkerasan Jalan Baru ... 50

IV.2 Pemodelan HDM-4 ... 54

IV.3 Hubugan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Mulainya Retak dan Perkembangannya ... 56

IV.4 Perbandingan Hasil Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya Antara HDM-4 dan Persamaan Regresi ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan ... 59

V.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Structural Number dan Indeks Tebal

Perkerasan ... 35

Tabel 3.1 Jenis Retak dan Variabel Parameter ... 37

Tabel 3.2 Kondisi Cacat Permukaan ... 39

Tabel 3.3 Faktor Kalibrasi Retak ... 39

Tabel 3.4 Koefisien Pemodelan pada Time-base models ... 42

Tabel 3.5 Koefisien Pemodelan pada Traffic-base models ... 45

Tabel 3.6 Nilai Parameter Mulainya Retak ... 47

Tabel 3.7 Nilai Parameter untuk Perkembangan Retak ... 48

Tabel 4.1 Hasil Prediksi Mulainya Retak Menurut HDM-4 ... 54

Tabel 4.2 Hubungan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Mulainya Retak dan Perkembangannya ... 55

Tabel 4.3 Grafik Perbandingan Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya Antara HDM-4 dan Persamaan Regresi ... 58


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Bagan Alir Penelitian ... 5

Gambar 2.1 Retak Halus (Hair Cracks) ... 11

Gambar 2.2 Retak Tepi (Edge Cracks) ... 12

Gambar 2.3 Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks) ... 14

Gambar 2.4 Retak Sambungan Pelebaran (Widening Cracks) ... 15

Gambar 2.5 Retak Refleksi (Reflection Cracks) ... 16

Gambar 2.6 Retak Susut (Shrinkage Cracks) ... 17

Gambar 2.7 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks) ... 18

Gambar 2.8 Retak Selip (Slipage Cracks) ... 19

Gambar 2.9 Retak Struktural (Fatigue Cracking) ... 20

Gambar 2.10 Retak Melintang Akibat Suhu (Transverse Thermal Cracks) . 21 Gambar 2.11 Retak Refleksi (Reflection Cracking) ... 21

Gambar 2.12 Retak dengan Tingkat Keparahan Rendah... 22

Gambar 2.13 Retak dengan Tingkat Keparahan Sedang ... 22

Gambar 2.14 Retak dengan Tingkat Keparahan Tinggi ... 23

Gambar 2.15 Penyebaran Beban Roda ... 24

Gambar 2.16 Konfigurasi Beban As Standar ... 25

Gambar 2.17 Grafik kinerja perkerasan menurut jenis-jenis lapisan perkerasan ... 31

Gambar 3.1 Hubungan Mulainya Retak dan Perkembangannya ... 34

Gambar 4.1 Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya ... 55

Gambar 4.2 Hubungan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Mulainya Retak dan Perkembangannya ... 55

Gambar 4.3 Grafik Perbandingan Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya Antara HDM-4 dan Persamaan Regresi .... 58


(9)

DAFTAR NOTASI

a0,a1,a2 a

= Koefisien pemodelan 01

ACA = Luas retak yang berkembang (%) = koefisien pada Structural Number

CDS = Surface Condition Defect/ Kondisi cacat permukaan

CRP = Penghambat perkembangan retak selama adanya pemeliharaan CRT = Cracking Retardation Time/ Lamanya hambatan retak akibat adanya

pemeliharaan

CRXt = Bertambahnya luasan retak pada waktu t

dACA = Perubahan bertahap pada area retak ICA = Waktu mulainya retak (tahun) ICX = Waktu mulai terjadinya retak (tahun) IPt

IP

= Indeks permukaan jalan hancur (minimum 1,5)

= Perbedaan antara initial design serviceability index (IP0

Kcia = Faktor kalibrasi mulainya retak

) dan design terminal serviceability index (IPt)

Kcpa = Kalibrasi perkembangan retak Kicx = Faktor mulai terjadinya retak MR

NEci = Jumlah ESA sejak mulai terjadinya retak = Modulus resilien

S0

SCA = Minimum (ACA(100-ACA))

= Gabungan standard error untuk perkiraan lalu lintas dan kinerja


(10)

SNP = Structural Number of Pavement

t50

TCI = Waktu sejak terjadinya retak,dalam tahun = Waktu untuk 50 persen area retak

W18

8,16 kN

= Perkiraan jumlah beban lalu lintas dari beban sumbu standar ekivalen

YE4 = Beban lalu lintas (juta ESAL/lajur) z = 1, jika TCI < t50

Za = 1, jika ACA < 50 persen, demikian juga sebaliknya ; lainnya z = -1

ZR

IP

= Deviasi normal standar

= Perbedaan antara initial design serviceability index (IP0 terminal serviceability index (IPt)

) dan design

A t

δ = Fraksi tahun analisis


(11)

ABSTRAK

Hubungan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya

Olim S.M. Purba 06 0404 113

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

Setelah jalan dibuka dan dilalui beban lalu lintas, tingkat pelayanan jalan akan mengalami penurunan fungsi dan struktur. Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan perkerasan jalan, kerusakan yang terjadi juga bervariasi, salah satunya adalah retak. Diperlukan suatu pemodelan untuk memprediksi kerusakan tersebut agar usaha pemeliharaan dan rehabilitasi jalan sesuai dengan biaya yang ada. Pemodelan tersebut dapat bersifat empiris, yaitu berdasarkan beban lalu lintas, kondisi iklim, struktur perkerasan, dan kondisi perkerasan di masa lalu. Pemodelan HDM-4 (Highway Development and Management) dan Sugeng Wiyono merupakan beberapa pemodelan yang bersifat empiris.

Tujuan studi ini adalah untuk mencari hubungan beban lalu lintas dan indeks tebal perkerasan terhadap prediksi mulainya retak dan perkembangannya serta membandingkan hasil prediksi antara pemodelan HDM-4 dan Sugeng Wiyono. Hasil aplikasi pemodelan menunjukkan bahwa beban lalu lintas terhadap prediksi mulainya retak dan perkembangannya berbanding lurus, sedangkan indeks tebal perkerasan berbanding terbalik.

Hasil perhitungan memperlihatkan dalam memprediksi mulainya retak pemodelan Sugeng Wiyono dalam memprediksi mulainya retak lebih cepat dibanding HDM-4. Sedangkan di dalam memprediksi perkembangan retak pada pemodelan HDM-4 jauh lebih cepat dibandingkan pemodelan Sugeng Wiyono. Dengan melakukan analisis regresi pada hasil prediksi, didapat persamaan mulainya retak, ICT = 6.44 + 1.41 SN – 4.088 YE4, dengan R2= 0.999. Begitu juga perkembangan retak dACA = 0.717 t 1.929 dengan R2 = 0.999.

Kata kunci:


(12)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Umum

Letak geografis, jumlah penduduk, dan tingkat pertumbuhannya yang tinggi di Indonesia menyebabkan tingkat kebutuhan masyarakat juga meningkat serta akan diikuti dengan berkembangnya kawasan baru hampir disetiap provinsi, bahkan sampai ke kabupaten/kota. Hal ini selayaknya diikuti oleh pengembangan jaringan transportasi yang memadai, baik darat, laut, maupun udara. Namun kenyataannya dengan segala keterbatasan, hal tersebut belum bisa dipenuhi oleh pemerintah. Dalam kenyataannya, alokasi dana untuk pemeliharaan jalan saja cukup besar dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya, belum lagi penambahan dan peningkatan ruas-ruas jalan baru dan prasarana transportasi lainnya.

Jalan raya adalah salah satu prasarana yang akan mempercepat pertumbuhan dan pengembangan suatu daerah serta akan membuka hubungan sosial, ekonomi dan budaya antar daerah. Didalam undang-undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2004 tentang jalan, disebutkan bahwa jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan. Maka jalan ini sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat di dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.

Setelah jalan raya dibuka dan dilalui beban lalu lintas, tingkat pelayanan jalan akan mengalami penurunan fungsi dan struktur sampai batas minimum yang bisa diterima. Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan perkerasan jalan, kerusakan yang terjadi juga bervariasi di setiap segmen jalan.

Kerusakan jalan dengan berbagai tingkatan sangat sering dijumpai pada berbagai daerah saat ini. Permukaan jalan yang retak, amblas, beralur, bergelombang dan berlubang seperti kubangan kerbau adalah merupakan pemandangan yang nyata. Masyarakat pengguna


(13)

jalan sangat merasakan dampak kerusakan ini dalam bentuk naiknya biaya operasi kenderaan, ketidaknyamanan berkendara, banyaknya kecelakaan lalu lintas yang terjadi dan lain lain. Kerugian yang diderita individu masyarakat tersebut pada akhirnya akan terakumulasi menjadi kerugian ekonomi yang menyeluruh pada suatu daerah.

Penyebab utama kerusakan jalan secara umum dapat dikatakan antara lain: beban kenderaan yang berlebih (overloading), mutu pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai, drainase yang tidak/kurang berfungsi dan perencanaan yang tidak tepat. Selain itu minimnya biaya pemeliharaan jalan, keterlambatan pengeluaran anggaran serta prioritas penanganan yang kurang tepat juga menjadi penyebab (Muis, 2010).

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2007), kerusakan yang terjadi pada perkerasan lentur adalah mencakup semua kerusakan seperti: retak (cracking), distorsi (distortion), cacat permukaan (disintegration), pengausan (polished aggregate), kegemukan (bleeding or flushing), dan penurunan pada bekas penanaman utilitas (utility cut depression).

Permukaan perkerasan aspal cenderung untuk retak pada beberapa tahap umurnya di bawah kombinasi beban lalu lintas dan lingkungan melalui satu atau lebih mekanisme yang berbeda. Retak adalah suatu cacat permukaan yang memperlemah perkerasan dan memungkinkan air meresap ke dalamnya sehingga meningkatkan perlemahan. Bila retak mulai terjadi akibat kombinasi beban lalu lintas dan lingkungannya, maka penyebaran, keparahan, dan intensitas dari retak tersebut akan berkembang cepat dan akhirnya dapat menyebabkan disintegrasi pada lapis permukaan (Wiyono, 2010).

I.2 Latar Belakang

Keretakan pada lapis perkerasan merupakan suatu kriteria penting untuk penanganan pemeliharaan jalan. Ketepatan dalam memprediksi mulainya retak serta perkembangannya


(14)

merupakan hal yang penting dalam keefektifan pada penentuan waktu dan biaya dalam pemeliharaan jalan (Wiyono, 2010).

HDM-4 (Highway Development dan Management) yang diprakarsai Paterson (1987) merupakan salah satu pemodelan memprediksi mulainya retak dan perkembangannya yang didasarkan pada analisis empirik yang menggunakan beban lalu lintas dan structural number sebagai variabel yang dapat diprediksi.

Bertolak dari pemodelan HDM-4 dalam memprediksikan retak yang menggunakan beban lalu lintas dan structural number sebagai variabel yang mempengaruhinya, maka dibuat suatu pemakaian dari pemodelan HDM-4 dengan memakai beberapa data dari perencanaan perkerasan baru. Sehingga nantinya dapat dianalisis bagaimana bentuk hubungan dan sensitivitas beban lalu lintas dan structural number terhadap prediksi mulainya retak dan perkembangannya.

I.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui hubungan beban lalu lintas dan structural number terhadap mulainya retak dan perkembangannya dari hasil prediksi HDM-4.

2. Mengetahui sensitivitas beban lalu lintas dan structural number pada keretakan jalan yang terjadi.

I.4 Pembatasan Masalah

Agar penulisan ini dapat terarah dan sesuai dengan tujuan, maka diperlukan pembatasan masalah. Dalam penelitian ini, permasalahan dibatasi pada :


(15)

1. Pemodelan prediksi retak berdasarkan analisis empirik dimana variabel yang berpotensi untuk diprediksi adalah beban lalu lintas, kondisi iklim, struktur perkerasan, dan kondisi perkerasan di masa lalu.

2. Pemodelan prediksi retak yang digunakan adalah pemodelan dari HDM-4.

3. Beban lalu lintas yang digunakan telah dikonversikan ke dalam beban gandar standar yaitu 8.16 ton.

4. Structural number menggunankan acuan AASHTO.

5. Retak yang diprediksikan merupakan retak yang terjadi pada perkerasan lentur dengan model perkerasan Asphalt Mix on Granular Base.

6. Retak yang diprediksi adalah retak struktural, retak yang terjadi akibat akumulasi beban lalu lintas yang melewatinya.

7. Pada retak struktural yang dimodelkan adalah All Cracking, retak yang memiliki lebar minimum 1 mm.

I.5 Metodologi

Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah studi literatur yaitu mengumpulkan data - data yang berhubungan dengan tugas akhir ini yang bersumberkan buku-buku dan referensi jurnal sebagai pendekatan teori maupun sebagai perbandingan untuk mengkaji penelitian ini. Sehingga tingkat hasil akhir yang diperoleh tergantung dari kelengkapan literatur yang ada.

Direncanakan suatu perkerasan baru untuk memprediksikan mulainya retak dan perkembangan retak dengan rumus yang telah dimodelkan HDM-4. Metode perencanaan perkerasan dilakukan dengan perhitungan langsung berdasarkan AASHTO dan memprediksi mulainya retak dan perkembangannya dengan menggunakan program HDM, kemudian dari


(16)

hasil perhitungan dapat disimpulkan bagaimana hubungan beban lalu lintas dan structural number terhadap mulainya retak dan perkembangannya.

Adapun sistematika penelitian digambarkan seperti bagan alir dibawah ini:

Gambar 1.1 Bagan Alir Penelitian Parameter Prediksi

Mulai

Perencanaan Perkerasan Baru

Analisis:

• Hubungan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Hasil Prediksi

• Sensitivitas Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap retak yang terjadi

Selesai Hasil Prediksi Pemodelan HDM-4


(17)

I.6 Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada perlu dilakukan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang, tujuan, pembatasan masalah, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II Retak Pada Perkerasan Jalan Raya

Bab ini menguraikan teori tentang kerusakan pada perkerasan jalan raya, khususnya retak. Pada bagian ini juga menjelaskan definisi retak, jenis - jenis retak, dan penyebabnya. Serta membahas teori tentang beban lalu lintas dan structural number.

Bab III Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya

Bab ini memaparkan model-model prediksi retak dan perkembangannya dari HDM-4, Wiyono Sugeng, RTIM2, Queiroz, Arizona DOT, dan Texas DOT serta parameter-parameter yang dibutuhkan dalam memprediksi terjadinya retak.

Bab IV Aplikasi Pemodelan

Bab ini menganalisa pemakaian model prediksi retak dan perkembangannya dengan program HDM sehingga didapat bagaimana hubungan dan sensitivitas beban lalu lintas dan structural number terhadap prediksi mulainya retak dan perkembangannya.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan bab-bab sebelumnya dan saran mengenai temuan-temuan penting untuk dijadikan pertimbangan serta saran tindak lanjut terhadap hasil yang diperoleh dari penulisan ini.


(18)

BAB II

RETAK PADA PERKERASAN JALAN RAYA

II.1 Kerusakan Pada Jalan Raya

Lapisan perkerasan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum mencapai umur rencana. Kerusakan pada perkerasan dapat dilihat dari kegagalan fungsional dan struktural.

Kegagalan fungsional adalah apabila perkerasan tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan yang direncanakan dan menyebabkan ketidaknyamanan bagi pengguna jalan. Sedangkan kegagalan struktural terjadi ditandai dengan adanya rusak pada satu atau lebih bagian dari struktur perkerasan jalan yang disebabkan lapisan tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan pengaruh kondisi lingkungan sekitar (Yoder, 1975).

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2007), kerusakan pada konstruksi jalan (demikian juga dengan bahu beraspal) dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

a. Air, yang dapat berasal dari hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik, atau naiknya air berdasarkan sifat kapilaritas air bawah tanah.

b. Iklim, di Indonesia yang termasuk beriklim tropis dimana suhu dan curah hujan yang umumnya tinggi.

c. Lalu lintas, yang diakibatkan dari peningkatan beban (sumbu kendaraan) yang melebihi beban rencana, atau juga repetisi beban (volume kendaraan) yang melebihi volume rencana sehingga umur rencana jalan tersebut tidak tercapai.

d. Material konstruksi perkerasan, yang dapat disebabkan baik oleh sifat/ mutu material yang digunakan ataupun dapat juga akibat cara pelaksanaan yang tidak sesuai.


(19)

e. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil, yang mungkin disebabkan karena cara pemadatan tanah dasar yang kurang baik, ataupun juga memang sifat tanah dasarnya yang memang jelek.

Kerusakan yang terjadi pada perkerasan lentur adalah mencakup semua kerusakan seperti:

1. Retak (cracks)

Berdasarkan bentuknya retak dibagi menjadi: meander, garis, blok, kulit buaya dan parabola.

2. Perubahan bentuk (deformation)

Dikenal juga dengan istilah Distorsion. Kerusakan ini menyebabkan perubahan bentuk permukaan perkerasan dari bentuk aslinya. Deformasi dapat dibedakan atas: alur (rutting), keriting (corrugation), sungkur (shoving), amblas (depression), dan jembul (upheaval).

3. Cacat permukaan (surface defect)

Kerusakan ini sering disebut dengan Disintegration. Kerusakan ini ditimbulkan akibat pecahnya lapisan permukaan menjadi fragmen-fragmen kecil yang jika dibiarkan akan menyebabkan kehancuran total seluruh perkerasan. Kerusakan ini dikelompokan menjadi: delaminasi (delamination), kegemukan (bleeding), pengausan (polishing), pelepasan butir (raveling), pengelupasan lapis perkerasan (stripping), dan tambalan (patches).

4. Cacat tepi (edge defect)

Kerusakan ini terjadi pada pertemuan tepi permukaan perkerasan dengan bahu jalan tanah (bahu tidak beraspal) atau juga pada tepi bahu jalan beraspal dengan tanah sekitarnya. Bentuk kerusakan cacat tepi permukaan dibedakan atas gerusan tepi (edge break) dan penurunan tepi (edge drop).


(20)

Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi dapat merupakan gabungan dari penyebab yang saling kait-mengait. Sebagai contoh adalah retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan dari damping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke lapis di lubang-lubang disamping melemahkan daya dukung lapisan dibawahnya (Departemen Pekerjaan Umum, 2007). Adapun gambar-gambar kerusakan jalan dapat dilihat pada lampiran.

Sedangkan menurut Highway Development and Management (2001), kerusakan pada perkerasan jalan terbagi ke dalam beberapa kategori, yaitu:

1. Kerusakan permukaan jalan

Pada kategori kerusakan permukaan jalan dibagi menjadi tiga bagian: • Retak (cracking)

• Lubang (potholing) • Pelepasan butir (raveling)

• Cacat tepi perkerasan (edge break) 2. Kerusakan deformasi

Pada kategori kerusakan deformasi dibagi menjadi dua bagian: • Alur (rutting)

• Ketidakrataan (roughness) 3. Kerusakan tekstur permukaan jalan

Pada kategori tekstur permukaan jalan dibagi menjadi dua bagian: • Kedalaman tekstur (texture depth)

• Kekesatan (skid resistance)


(21)

II.2 Retak II.2.1 Umum

Retak adalah suatu gejala kerusakan/ pecahnya permukaan perkerasan sehingga akan menyebabkan air pada permukaan perkerasan masuk ke lapisan dibawahnya dan hal ini merupakan salah satu faktor yang akan membuat luas/ parah suatu kerusakan (Departemen Pekerjaan Umum, 2007).

Di dalam pendekatan mekanika retak diasumsikan ada bagian yang lemah pada setiap material. Ketika pembebanan terjadi, ada konsentrasi tegangan yang lebih tinggi di sekitar bagian tersebut, sehingga material tersebut tidak lagi memiliki distribusi tegangan yang seragam dan terjadilah kerusakan/ retak pada bagian tersebut dan berkembang ke bagian yang lainnya. Mekanika retak juga menggambarkan perkembangan retak tergantung pada sifat material tersebut (Roque, 2010).

II.2.2 Jenis - jenis retak

Pengelompokan jenis-jenis kerusakan yang terjadi pada retak bermacam-macam, seperti jenis retak berdasarkan bentuk retak, penyebab terjadinya kerusakan retak, tingkat keparahan retak, lokasi retak, dan cara berkembangnya.

II.2.2.1 Berdasarkan bentuk retak

Departemen Pekerjaan Umum (2007) mengelompokkan jenis kerusakan retak berdasarkan bentuknya menjadi:

1. Meander (meandering)

Yaitu retak yang terjadi berbentuk seperti sungai yang berkelok-kelok (meander). Jenis retak yang termasuk dalam kerusakan ini adalah: retak halus (hair cracks).


(22)

Yang dimaksud retak halus adalah retak yang terjadi mempunyai lebar celah ≤ 3 mm. Sifat penyebarannya dapat setempat atau luas pada permukaan jalan.

Kemungkinan penyebab:

1. Bahan perkerasan/ kualitas material kurang baik. 2. Pelapukan permukaan.

3. Air tanah pada badan perkerasan jalan.

4. Tanah dasar/ lapisan dibawah permukaan kurang stabil.

Akibat lanjutan:

a. Meresapnya air pada badan jalan sehingga mempercepat kerusakan dan menimbulkan ketidak-nyamanan berkendaraan.

b. Berkembang menjadi retak buaya (alligator cracks).

Gambar 2.1 Retak Halus (Hair Cracks) 2. Garis (line)

Yaitu retak yang terjadi berbentuk garis dan dapat berupa memanjang (longitudinal), melintang (transverse), dan diagonal. Jenis kerusakan retak yang termasuk dalam kerusakan ini adalah: retak tepi (edge cracks), retak pertemuan perkerasan dan bahu (edge joint cracks), retak sambungan jalan (lane joint cracks), dan retak sambungan pelebaran (widening cracks).


(23)

Retak tepi (edge cracks)

Retak ini disebut juga dengan retak garis (lane cracks) dimana terjadi pada sisi tepi perkerasan/ dekat bahu dan berbentuk retak memanjang (longitudinal cracks) dengan atau tanpa cabang yang mengarah ke bahu. Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar.

Kemungkinan penyebab:

1. Bahan dibawah retak pinggir kurang baik atau perubahan volume akibat jenis ekspansif clay pada tanah dasar .

2. Sokongan bahu samping kurang baik. 3. Drainase kurang baik.

4. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab terjadinya retak tepi.

Akibat lanjutan:

a. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan sehingga mengganggu kenyamanan berkendaraan.

b. Retak akan berkembang menjadi besar yang diikuti oleh pelepasan butir pada tepi retak.


(24)

Retak pertemuan perkerasan bahu (edge joint cracks)

Sesuai dengan namanya retak ini umumnya terjadi pada daerah sambungan perkerasan dengan bahu yang beraspal. Retak ini berbentuk retak memanjang (longitudinal cracks) dan biasanya terbentuknya pada permukaan bahu beraspal. Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar.

Kemungkinan penyebab:

1. Perbedaan ketinggian antara bahu beraspal dengan perkerasan, akibat penurunan bahu.

2. Penyusutan material bahu/ badan perkerasan jalan. 3. Drainase kurang baik.

4. Roda kendaraan berat yang menginjak bahu beraspal. 5. Material pada bahu yang kurang baik/ kurang memadai.

Akibat lanjutan:

a. Menimbulkan kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan akibat meresapnya air pada badan jalan dan mengganggu kenyamanan berkendaraan.

b. Berkembang menjadi besar yang diikuti oleh pelepasan butir pada tepi retak.

Retak sambungan jalan (lane joint cracks)

Sesuai dengan namanya retak ini terjadi pada sambungan dua jalur lalu lintas dan berbentuk retak memanjang (longitudinal cracks). Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar.


(25)

1. Ikatan sambungan kedua jalur yang kurang baik.

Akibat lanjutan:

a. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan mengganggu kenyamanan berkendaraan.

b. Lepasnya butir pada tepi retak dan bertambah lebar.

Gambar 2.3 Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks)

Retak sambungan pelebaran (widening cracks)

Bentuk retak ini adalah retak memanjang (longitudinal cracks) yang akan terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan pelebaran. Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar dan akan meresapkan air pada lapisan perkerasan.

Kemungkinan penyebab:

1. Ikatan sambungan yang kurang baik.

2. Perbedaan kekuatan/ daya dukung perkerasan pada jalan pelebaran dengan jalan lama.


(26)

a. Menimbulkan kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan mengganggu kenyamanan berkendaraan.

b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga kerusakan akan bertambah parah.

Gambar 2.4 Retak Sambungan Pelebaran (Widening Cracks)

3. Blok (block)

Yaitu retak yang saling berhubungan membentuk serangkaian blok, dengan bentuk menyerupai persegi empat. Jenis kerusakan retak yang termasuk dalam kerusakan ini adalah: retak refleksi (reflection cracks), dan retak susut (shrinkage cracks).

Retak refleksi (reflection cracks)

Kerusakan ini terjadi pada lapisan tambahan (overlay), dapat berbentuk memanjang (longitudinal cracks), diagonal (diagonal cracks), melintang (transverse cracks), ataupun kotak (blocks cracks) yang menggambarkan pola retakan perkerasan dibawahnya. Retak ini dapat terjadi bila retak pada perkerasan lama tidak diperbaiki secara benar sebelum pekerjaan pelapisan ulang (overlay) dilakukan.


(27)

1. Pergerakan vertikal/ horizontal di bawah lapis tambahan (lapisan overlay) sebagai akibat perubahan kadar air pada tanah dasar yang ekspansif .

2. Perbedaan penurunan (settlement) dari timbunan/ pemotongan badan jalan dengan struktur perkerasan.

Akibat lanjutan:

a. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan mengganggu kenyamanan berkendaraan.

b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga kerusakan akan bertambah parah.

Gambar 2.5 Retak Refleksi (Reflection Cracks)

Retak susut (shrinkage cracks)

Retak yang terjadi tersebut saling bersambungan membentuk kotak besar dengan sudut tajam atau dapat dikatakan suatu interconnected cracks yang membentuk suatu seri blocks cracks. Umumnya penyebaran retak ini menyeluruh pada perkerasan jalan. Kemungkinan penyebab:

1. Perubahan volume perkerasan yang mengandung terlalu banyak aspal dengan penetrasi rendah.


(28)

Akibat lanjutan:

a. Retak ini akan menyebabkan meresapnya air pada badan jalan sehingga akan menimbulkan kerusakan setempat atau menyeluruh pada perkerasan jalan dan mengganggu kenyamanan berkendaraan.

b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga timbul lubang (potholes).

Gambar 2.6 Retak Susut (Shrinkage Cracks)

4. Kulit buaya (crocodile)

Yaitu retak yang berbentuk kulit buaya. Jenis yang termasuk dalam kerusakan ini adalah: retak kulit buaya (alligator cracks).

Retak kulit buaya (crocodile cracks)

Istilah lain adalah chickenwire cracks, alligator cracks, polygonal cracks, dan crazing. Lebar celah retak ≥ 3 mm dan saling berangkai membentuk serangkaian kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit buaya atau kawat untuk kandang ayam. Umumnya daerah dimana terjadi retak kulit buaya tidak luas. Jika daerah dimana terjadi retak kulit buaya luas, mungkin hal ini disebabkan oleh repetisi beban lalulintas yang melampaui beban yang dapat dipikul oleh lapisan permukaan tersebut. Kemungkinan penyebab:


(29)

1. Bahan perkerasan/ kualitas material kurang baik. 2. Pelapukan permukaan.

3. Air tanah pada badan perkerasan jalan.

4. Tanah dasar/ lapisan dibawah permukaan kurang stabil.

Akibat lanjutan:

a. Kerusakan setempat/ menyeluruh pada perkerasan.

b. Berkembang menjadi lubang akibat dari pelepasan butir-butir.

Gambar 2.7 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks)

5. Parabola (crescent)

Yaitu retak yang berbentuk parabola. Jenis yang termasuk dalam kerusakan ini adalah: retak selip (slipage cracks).

Retak selip (slipage cracks)

Kerusakan ini sering disebut dengan parabolic cracks, shear cracks, atau crescent shaped cracks. Bentuk retak lengkung menyerupai bulan sabit atau berbentuk seperti jejak mobil disertai dengan beberapa retak. Kadang-kadang terjadi bersama dengan terbentuknya sungkur (shoving).


(30)

1. Ikatan antar lapisan aspal dengan lapisan dibawahnya tidak baik yang disebabkan kurangnya aspal/ permukaan berdebu

2. Pengunaan agregat halus terlalu banyak. 3. Lapis permukaan kurang padat/ kurang tebal

4. Penghamparan pada temperature aspal rendah atau tertarik roda penggerak oleh mesin penghampar aspal/ mesin lainnya.

Akibat lanjutan:

a. Kerusakan setempat atau menyeluruh pada perkerasan jalan dan akan mengganggu kenyamanan berkendaraan.

b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga timbul lubang (potholes).

Gambar 2.8 Retak Selip (Slipage Cracks)

II.2.2.2 Berdasarkan penyebab retak

Menurut Mamlouk (2006) berdasarkan penyebab terjadinya kerusakan retak, retak dibagi menjadi 3 bagian:

1. Retak struktural (structural cracking)

Retak struktural yang disebut juga sebagai retak lelah (fatigue cracking) adalah serangkaian retak memanjang dan saling berhubungan pada permukaan jalan yang


(31)

disebabkan oleh pembebanan yang berulang dari roda kendaraan. Jenis retak ini umumnya dimulai sebagai retak longitudinal pendek di jalan dan berkembang menjadi retak berpola kulit buaya (retak saling berhubungan). Jenis retak ini terjadi karena aksi lentur yang berulang pada perkerasan saat beban diberikan. Hal ini menghasilkan tegangan tarik yang akhirnya membuat retak pada bagian bawah lapisan aspal. Retak secara bertahap merambat ke bagian atas lapisan dan kemudian berkembang dan saling berhubungan. Jenis kerusakan ini akhirnya akan menyebabkan hilangnya integritas struktural dari sistem perkerasan.

Gambar 2.9 Retak Struktural (Fatigue Cracking)

2. Retak melintang akibat suhu ( transverse thermal cracking)

Retak ini terjadi karena perubahan suhu pada material perkerasan jalan. Karena material ini digerus berulang akibat gaya gesekan dengan material lain, tegangan tarik berkembang dalam material perkerasan. Jika tegangan tarik melebihi kekuatan tegangan tarik material, maka retak thermal akan berkembang seperti Gambar 2.10. Retak thermal biasanya terjadi dalam arah melintang dan tegak lurus dari arah arus lalu lintas. Jenis retak ini biasanya memiliki jarak yang sama. Retak ini adalah jenis retak yang tidak berhubungan dengan beban lalu lintas dan retak ini dimulai saat musim dingin. Lebar retak thermal biasanya mengalami perubahan dari musim panas


(32)

ke musim dingin. Dalam beberapa kasus, retak yang kecil dapat tertutup selama musim panas. Dalam kasus lain, lebarnya retak meningkat dari tahun ke tahun.

Gambar 2.10 Retak Thermal (Transverse Thermal Cracking)

3. Retak refleksi (reflection cracking)

Retak refleksi merupakan retak di bawah lapisan yang bisa terjadi overlay. Retak refleksi sering terjadi di aspal overlay pada perkerasan beton dan cement treated basis. Mereka juga terjadi ketika retak pada lapisan aspal yang lama tidak benar diperbaiki sebelum dioverlay. Retak refleksi memiliki beberapa bentuk tergantung pada pola retak di lapisan bawahnya.


(33)

II.2.2.3 Berdasarkan tingkat keparahan (severity)

Menurut Metropolitan Transportation Commission (1986) berdasarkan tingkat keparahan, retak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

Ringan (low)

Kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak halus yang saling terhubung tanpa ada retakan yang pecah.

Gambar 2.12 Retak dengan Tingkat Keparahan Rendah • Sedang (medium)

Kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak yang terhubung membentuk kotak-kotak kecil dan pola retak sudah cukup kelihatan jelas karena sudah terdapat retak yang mulai pecah.


(34)

Berat (high)

Kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak menyerupai kulit buaya yang keseluruhan retaknya sudah pecah sehingga jika dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya alur bahkan lubang pada jalan.

Gambar 2.14 Retak dengan Tingkat Keparahan Berat

II.2.2.4 Berdasarkan lokasi retak

Berdasarkan lokasi retak, NDLI (1995) membagi retak menjadi dua bagian, yaitu:

• Retak pada tepi

Retak pada tepi ini sama halnya dengan edge break, retak ini terjadi pada pertemuan tepi permukaan perkerasan dengan bahu jalan tanah (bahu tidak beraspal) atau juga pada tepi bahu jalan beraspal dengan tanah sekitarnya.

• Retak pada wheel path

Retak yang terjadi pada lintasan roda (wheel path), yang umumnya retak akibat pembebanan berulang dari kendaraan yang melintasi jalan tersebut.

II.2.2.5 Berdasarkan cara berkembang retak

Berdasarkan cara berkembangnya, NDLI (1995) membagi dibagi menjadi dua bagian, yaitu:


(35)

Top-down cracks (TDC) adalah retak memanjang dan/ atau melintang yang dimulai pada permukaan perkerasan aspal dan berkembang ke bawah. Menurut Kuennen (2009), retak ini biasanya terjadi akibat segregasi campuran aspal dan sifat viscoelastic aspal sebagai pengikat yang rentan terhadap perubahan suhu yang ekstrim.

 Retak dari bawah ke atas (bottom-up cracking)

Kuennen (2009) menyebutkan bahwa bottom-up cracking atau fatigue cracking adalah hasil dari perkembangan tegangan pada lapis pondasi perkerasan aspal yang menyebabkan lapis pondasi retak dan merambat ke atas. Retak ini diakibatkan repetisi beban lalu lintas dan bisa berupa kumpulan retak kecil yang saling berhubungan.

II.3 Beban Lalu Lintas

Suatu lapisan lentur yang terdiri dari beberapa lapis yaitu lapisan permukaan berasal dari aspal hotmix, base dan sub-base, dan sub-grade. Pada saat menerima beban roda lapisan perkerasan melentur dan pada lapisan bekerja tegangan-tegangan tekan maupun tarik. Karena beban roda tersebut terjadi berulang-ulang, maka tegangan-tegangan tersebut juga berulang.


(36)

Lapisan permukaan merupakan suatu lapisan yang bound (terikat), sehingga lapisan tersebut dapat menahan gaya tekan tarik. Umumnya karena lapisan permukaan ini dapat mendukung tegangan tekan yang lebih besar daripada tegangan tarik, maka tegangan tarik di bagian bawah lapisan biasanya lebih menentukan dalam umur tekanan terhadap beban berulang.

Pada lapisan base, sub-base, dan sub-grade, lapisan umumnya terdiri dari bahan granular (berbutir) yang lepas. Bahan seperti ini dapat menahan tekan tetapi dapat dianggap praktis tidak dapat menahan tegangan tarik. Jadi lapisan ini hanya menahan beban tekan saja dan deformasi yang terjadi dianggap hanya akibat beban tekan pada permukaan lapisan saja.

Pada AASHO Road Test di Negara bagian Illinois USA, telah dilakukan pengujian bermacam-macam jenis dan struktur perkerasan jalan, lentur maupun kaku, untuk diketahui kekuatannya. Pengujian tersebut dilakukan dengan menggunakan as 18.000 lbs (8,16 ton) pada as beroda tunggal ganda pada Gambar 2.14. Dengan beban tersebut dapat diketahui jumlah repetisi yang dapat ditanggung oleh bermacam-macam struktur perkerasan sampai pada tingkat kerusakan yang ditinjau.

Gambar 2.16 Konfigurasi Beban As Standar

Beban as standar pada Gambar 2.16 dikenal dengan nama Standard Single Axle Load. Untuk beban-beban as lain yang besarnya 18.000 lbs maka digunakan prinsip beban ekivalen dan damage factor.


(37)

Untuk menghitung tebal perkerasan, umumnya digunakan unit (satuan) beban as standar 8,16 ton di atas melintas satu kali menghasilkan DF = 1. Biasanya satuan untuk perancangan tidak disebut dalam Damage Factor tetapi dalam Equivalent Standard Axle Load (ESAL).

Di Indonesia Muatan Sumbu Terberat (MST) yang resmi diberlakukan adalah 8,0 ton tekanan sumbu gandar tunggal. Diambilnya besaran (angka) 8,0 ton sebagai batasan muatan sumbu terberat untuk sumbu tunggal tersebut didasarkan atas daya pengrusak (damage factor) terhadap perkerasan yang bernilai satu (1); sebagai akibat yang ditimbulkan muatan sumbu tadi. Sebagaimana diketahui bahwa tekanan gandar tunggal sebesar 8,16 ton atau 18.000 lbs (dibulatkan menjadi 8,0 ton) mempunyai nilai daya pengrusak perkerasan (damage factor) sebesar satu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besarnya batasan muatan ganda ditentukan berdasarkan ketentuan nilai damage factor harus = 1 untuk standar muatan gandar yang dimaksud.

Ketentuan muatan sumbu terberat yang sudah ditetapkan masih terbatas pada sumbu tunggal saja (MST 8000 kg). Meskipun demikian untuk jenis sumbu yang lain, yaitu sumbu ganda dan sumbu tiga (triple), besarnya muatan maksimum dapat dihitung dengan pedoman bahwa nilai damage factor dari beban sumbu yang bersangkutan harus sama dengan satu.

Untuk menghitung besarnya damage factor tiap-tiap jenis muatan sumbu kendaraan dapat dipergunakan rumus sebagai berikut:

Damage factor sumbu tunggal : DF-tgl =

4

16 , 8 

 

P

(2.1)

Damage factor sumbu ganda : DF-tdm = 0,086

4

16 , 8 

 

P

(2.2)

Damage factor sumbu triple : DF-trpl = 0,053

4

16 , 8 

 

P


(38)

Dengan menggunakan rumus-rumus di atas serta batasan nilai damage factor = 1, maka akan diperoleh batasan beban maksimum untuk setiap jenis sumbu sebagai berikut:

• MST sumbu tunggal = 8,15 ton, dibulatkan menjadi 8 ton. • MST sumbu tandem = 15,09 ton, dibulatkan menjadi 15 ton. • MST sumbu triple = 20,34 ton, dibulatkan menjadi 20 ton.

Ketentuan MST tersebut di atas berlaku untuk dual wheel atau ban dobel. Untuk single wheel atau ban tunggal yang biasanya terdapat pada sumbu tunggal saja, besarnya MST sumbu tunggal- ban tunggal adalah sekitar 5,5 ton (Muis, 1993). Beberapa contoh perhitungan beban lalu lintas dapat dilihat pada lampiran.

II.4 Structural Number

Structural Number (SN) adalah indeks yang diturunkan dari analisis lalu lintas, kondisi tanah dasar, dan lingkungan yang dapat dikonversi menjadi tebal lapisan perkerasan dengan menggunakan koefisien relatif yang sesuai untuk tiap-tiap jenis material masing-masing lapis struktur perkerasan (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002).

Nilai structural number (SN) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

( )

(

)

(

)

( )

8.07 log 32 . 2 1 1094 40 . 0 log 20 . 0 1 log 36 . 9 log 10 19 . 5 0 10 10 0 18

10 + × −

+ +       − ∆ + − + × × × = R t R M SN IP IP PSI SN S Z W (2.4) Dimana: W18 Z

= Perkiraan jumlah beban lalu lintas dari beban sumbu standar ekivalen 8,16 kN


(39)

S0

PSI

= Gabungan standard error untuk perkiraan lalu lintas dan kinerja = Perbedaan antara initial design serviceability index (IP0

M

) dan design terminal serviceability index (IPt)

R

IP

= Modulus resilien

t

Structural number (SN) juga dapat ditentukan dengan nomogram di bagian lampiran. = Indeks permukaan jalan hancur (minimum 1,5)

Structural number (SN) berbeda dengan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) yang umumnya dipakai di Indonesia, berikut adalah beberapa perbedaan antara structural number dan Indeks Tebal Perkerasan:

Persamaan nilai structural number (SN) adalah persamaan 2.4, yaitu:

( )

(

)

(

)

( )

8.07 log 32 . 2 1 1094 40 . 0 log 20 . 0 1 log 36 . 9 log 10 19 . 5 0 10 10 0 18

10 + × −

+ +       − ∆ + − + × × × = R t R M SN IP IP PSI SN S Z W

Sedangkan untuk persamaan nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP) adalah:

( )

(

)

(

)

(

3.0

)

372 . 0 log 1 1094 40 . 0 log 20 . 0 1 log 36 . 9 log 19 . 5 0 10 10 18

10 + + −

+ +       − ∆ + − + ×

= FR DDT

ITP IP IP PSI ITP W t (2.5) Dimana: W18

ITP = Indeks Tebal Perkerasan

= Perkiraan jumlah beban lalu lintas dari beban sumbu standar ekivalen 8,16 kN

FR = Faktor Regional yang besarnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana jalan tersebut berada

PSI

∆ = Perbedaan antara initial design serviceability index (IP0) dan design terminal


(40)

DDT = Daya Dukung Tanah Dasar yang besarnya merupakan nilai korelasi dengan nilai CBR.

Tabel 2.1 Perbandingan Structural Number dan Indeks Tebal Perkerasan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) Structural Number (SN) Parameter daya dukung tanah dasar

dinyatakan dalam DDT, yang dikonversikan terhadap nilai CBR.

Parameter daya dukung tanah dasar dinyatakan dalam modulus resilien (Mr) yang dapat diperoleh dengan pemeriksaan AASHTO T-274 atau korelasi dengan CBR Faktor regional, adalah parameter yang

dipergunakan untuk perbedaan kondisi lokasi

Parameter ini tidak dipergunakan lagi, diganti dengan parameter yang lain.

Ada beberapa parameter baru: - Reliabilitas

- Simpangan baku - Koefisien Drainase

ITP= a1D1 + a2D2 + a3D3 SN= a1D1 + a2D2m2 + a3D3m3

Tebal perkerasan dalam satuan centimeter (cm)

Tebal perkerasan dalam satuan inci (inch)

Didesain untuk umur rencana 10 tahun Didesain untuk umur rencana 20 tahun

Pada pemodelan prediksi HDM-4 (2001) dan Wiyono (2010), nilai structural number (SN) yang dipakai untuk memprediksi kerusakan jalan merupakan modified structural number (SNC) yaitu structural number yang dimodifikasi dengan adanya penambahan structural number dari sub-grade, yang merupakan fungsi dari CBR sub-grade. Berikut adalah persamaan structural number modified (SNC):


(41)

P

erfor

m

anc

e

SNC = SN + SNSG (2.6)

SN = a1 D1 + a2 D2 m2 + a3 D3 m3

SNSG = 3.51 (log

(2.7)

10 CBR) – 0.85 (log10 CBR)2

Dimana:

– 1.43 (2.8)

SNC = Modified structural number SN = Structural number dari AASHTO a1,a2,a3

D

= Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan

1, D2, D3

m

= Tebal masing-masing perkerasan

2, m3

SNSG = Structural number of Sub-grade = Koefisien drainase

Adapun nilai koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan dan koefisien drainase dapat dilihat pada lampiran.

Walaupun nilai structural number (SN) pada perkerasan sama, bukan berarti perlakuan atau kinerja perkerasan juga sama. Kinerja perkerasan, dalam hal ini retak (crack) dan alur (rut) yang terjadi juga tergantung pada jenis-jenis lapisan perkerasan yang ada. Di bawah ini adalah beberapa kinerja perkerasan menurut jenis-jenis lapisan perkerasan:

a.

Riding Quality (RQ) Thin seal

Base

Rut

Sub-base Crack


(42)

P

erfor

m

anc

e

P

erfor

m

anc

e

P

erfor

m

anc

e

P

erfor

m

anc

e

b.

RQ

Thin seal Concrete base

Rut Cement Treatment Sub-base (CTSB) Crack

Time c.

RQ

Thin seal CTB Crack

CTSB Rut

Time d.

AC > 100 mm RQ

Rut Sub-base

Crack

Time e.

RQ Concrete

Sub-base

Crack

Rut

Time


(43)

Sesuai pada pembatasan masalah, untuk prediksi mulainya retak dan perkembangannya dipakai jenis perkerasan tipe a pada gambar di atas.


(44)

BAB III

PREDIKSI MULAINYA RETAK DAN PERKEMBANGANNYA

III.1 Umum

Salah satu tantangan yang paling mendalam yang dihadapi para manajemen dan teknisi perkerasan adalah pengembangan dari kinerja atau pemodelan prediksi kerusakan. Beberapa model prediksi kinerja yang telah diajukan selama bertahun-tahun, beberapa diantaranya adalah model yang sederhana dan model yang lebih kompleks. Ralph Haas dalam NordFou (2010) mengelompokan banyaknya pemodelan prediksi kinerja ke dalam kelas-kelas yang mengindikasikan teori dasar mereka sebagai berikut

a.

:

Empiris, di mana variabel tertentu yang diukur atau diperkirakan seperti lendutan, akumulasi beban lalu lintas dan sebagainya yang berhubungan dengan pengurangannya nilai layanan (serviceability) atau beberapa ukuran lainnya dari kerusakan jalan dan usia perkerasan, biasanya dilakukan melalui pendekatan analisis regresi

b.

.

Mekanistik - Empiris, di mana respon tertentu dihitung, seperti regangan tanah dasar, tegangan dan regangan lapisan perkerasan dan lain-lain, bersama dengan variabel lain seperti akumulasi beban lalu lintas, yang berhubungan dengan pengurangannya nilai layanan atau beberapa ukuran lainnya dari kerusakan jalan dengan melalui pendekatan analisis regresi atau model yang dikalibrasi (yaitu koefisien yang ditentukan) dengan analisis regresi

c.

.

Subjektif, berdasarkan pengalaman di mana pengurangan nilai layanan atau ukuran kerusakan lainnya dibandingkan dengan umur perkerasan jalan yang diperkirakan, dan dengan kombinasi variabel yang berbeda menggunakan model proses transisi Markov, model Bayesian dan lain-lain


(45)

Paterson (1987) melakukan prediksi kinerja perkerasan dan kerusakan jalan dengan pendekatan analisis empirik dimana variabel yang berpotensi untuk diprediksi adalah beban lalu lintas, kondisi iklim, struktur perkerasan, dan kondisi perkerasan di masa lalu. Retak yang merupakan salah satu jenis kerusakan, dimana di dalam prediksinya dibagi menjadi dua fase yaitu retak inisiasi (crack initiation) dan perkembangannya (crack progression)

Retak inisiasi dan retak progres memiliki perbedaan fisik dan perlu dimodelkan secara terpisah. Retak inisiasi adalah suatu proses yang menunjukkan mulainya retak pada suatu bagian perkerasan jalan, sementara retak progress adalah suatu proses kelanjutan retak inisiasi yang terjadi sampai berkembang dan melebarnya retak tersebut (Wiyono, 2005). Gambar di bawah menunjukkan hubungan mulainya retak dan perkembangannya.

Gambar 3.1 Grafik Hubungan Mulainya Retak (Initiation) dan Perkembangannya (Progression)

Sumber: HDM-4 (2001)

Di dalam memprediksi retak, Paterson (1987) dan Wiyono (2010) membagi prediksi retak menjadi tiga kategori berdasarkan penyebabnya seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, yaitu:


(46)

1. Retak Struktural (Structural cracking)

2. Retak Melintang Akibat Suhu (Transverse thermal cracking) 3. Retak Refleksi (Reflection cracking)

Pada pembatasan masalah, aplikasi pemodelan prediksi retak yang hanya dipakai adalah retak struktural karena retak struktural memiliki parameter-parameter yang lebih banyak dan lebih kompleks dibanding jenis retak yang lainnya seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.1 Jenis Retak dan Variabel Parameter Distress

mode

Distress Type

Pavement strength

Materials properties

Traffic loading

Environment

Cracking

Structural    

Reflection  

Transverse Thermal  

Sumber: HDM-4 (2001)

III.2 Pemodelan HDM-4 (Highway Development and Management)

HDM-4 (Highway Development and Management) merupakan suatu sistem manajemen perkerasan yang digunakan Bank Dunia dalam membantu pengembangan dan rehabilitasi jalan di beberapa negara. HDM-4 membuat pemodelan prediksi kerusakan jalan untuk menentukan kapan dan bagaimana mereka melakukan rehabilitasi pada kerusakan yang telah terjadi sesuai dengan biaya yang ada. Salah satu pemodelan kerusakan tersebut adalah retak. HDM-4 membaginya menjadi dua model yaitu mulainya retak (inisiasi) dan perkembangan retak (progress).


(47)

Di dalam HDM-4, mulainya retak dan perkembangannya dibagi dua kelas, yaitu All cracking (lebar retak minimum 1 mm) dan Wide cracking (lebar retak lebih besar 3mm atau terjadinya spalling atau pecahan) (Paterson, 2001). Di dalam aplikasi pemodelan HDM-4 yang dipakai hanyalah retak dengan kelas All cracking.

Prediksi mulainya retak

HDM-4 (2001) mendefinisikan inisiasi sebagai waktu dimana retak mulai berkembang melebihi 0.5 persen dari area jalan. Persamaan yang digunakan HDM-4 untuk memprediksikan mulainya retak sebagai berikut:

   

+

  

  

  + ×

= CRT

SNP YE a SNP a a

CDS K

ICA cia 0 1 2 2

2 4

exp (3.1)

ICA = Waktu mulainya retak (tahun)

CDS = Surface Condition Defect/ Kondisi cacat permukaan SNP = Modified structural number

YE4 = Beban lalu lintas (juta ESAL/lajur) Kcia = Faktor kalibrasi

CRT = Cracking Retardation Time/ Lamanya hambatan retak akibat adanya pemeliharaan ( umumnya 3 tahun)


(48)

Tabel 3.2 Kondisi Cacat Permukaan

Surface Condition Defect CDS

Dry (brittle)

Normally 10% less than optimum binder content

0.5

Normal Optimum binder content 1.0

Rich (soft)

Normally 10% more than optimum binder content

1.5

Sumber: HDM-4 (2001)

Tabel 3.3 Faktor Kalibrasi Retak

Route

Crack Initiation – Kcia Crack Progression – Kcpa Avg Min Max avg min Max Cirebon – Kuningan 0.5 0.3 0.7 1.1 0.6 1.6

Cirebon – Losari 0.8 0.8 0.8 Tangerang – Merak 0.7 0.5 0.9

Sumber: Morosiuk (1997)

Di beberapa negera telah melakukan studi dan menerapkan pemodelan HDM-4 dengan beberapa nilai kalibrasi (Kcia) dan koefisien pemodelan (a0,a1,a2

a

). Seperti di Amerika Serikat dengan studi di Washington State Transportation Center (Li, 2004), India (Shankar, 2007), dan Malaysia (Morosiuk, 1999). Di dalam pemodelan prediksi mulainya retak ketiga negara tersebut sama-sama memakai koefisien pemodelan yang sama yaitu:

0 = 4.21, a1 = 0.14, dan a2

Sehingga persamaan tersebut menjadi seperti berikut: = -0.17       +          − × = CRT SNP YE SNP CDS K

ICA cia 2

2 4 17 . 0 14 . 0 exp 21 .


(49)

Prediksi perkembangan retak

Secara umum persamaan yang digunakan untuk memprediksikan besarnya perkembangan retak yang terjadi adalah sebagai berikut:

(

)

   × × × × × +      

= z z a a t YE SNP SCA SCA

CDS CRP K

dACA a a a

A A A cpa 1 1 1 2 1

0 δ 4 (3.3)

ACA = Luas retak yang berkembang (%) a0,a1,a2

CRP = Penghambat perkembangan retak selama adanya pemeliharaan = Koefisien pemodelan

SCA = minimum (ACA(100-ACA)) Kcpa = Kalibrasi perkembangan retak

A t

δ

= Pertambahan waktu (tahun) dalam time-base models atau

Pertambahan beban lalu lintas (juta ESAL) pada traffic-base models.

Perkembangan retak dimulai pada saat

δ

tA >0 atauACAA >0

Paterson (1987) membagi prediksi perkembangan retak menjadi dua model, yaitu time-base models dan traffic-base models. Time-base models merupakan fungsi dari waktu dan varibel bebas structural number atau beban lalu lintas, sedangkan traffic-base models merupakan fungsi beban lalu lintas dan structural number. Umumnya kedua model ini memiliki perbedaan yang kecil, dan time-base models lebih banyak dipakai karena dapat diaplikasi pada beberapa jenis permukaan jalan.

Time-base models

Luas area retak pada awal mulainya retak, CRit atau ACA adalah

[

b b

]

b

ci

it z z zabt z z

CR =(1− )50+ . . . + 0.5 +(1− )50 1 (3.4)

b a

t b b

. / ) 5 . 0 50 (


(50)

Dimana: CRit

a

= Luas retak pada awal mulainya retak

0,a1

t

= Koefisien permodelan pada tabel 3.4

ci

z = 1, jika tci < t

= Waktu mulainya retak (tahun)

50

t

, demikian juga sebaliknya

50

Pertambahan luas retak pada pertambahan

= Waktu pada saat mencapai 50% luas area retak

A t

∆ adalah

[

]

it

b b it

it zz zzab t SCR SCR

CR = ∆ + −

∆ . . . 1 (3.6)

Dimana:

it CR

∆ = Pertambahan luas retak selama pertambahan ∆tA A

t

∆ = Pertambahan waktu (tahun) SCRit = Minimum (CRit , 100- CRit

zz = 1, jika CR

)


(51)

Tabel 3.4 Koefisien Pemodelan pada Time-base models

Cracking class and surfacing

Model Estimates

a0 a1

All Cracking Asphalt Concrete Surface Treatment

Cemented Base Asphalt Overlays Reseals and Slurry Seals

1.84 1.76 2.13 1.07 2.41

0.45 0.32 0.36 0.28 0.34 Wide Cracking

Asphalt Concrete Surface Treatment

Cemented Base Asphalt Overlays Reseals and Slurry Seals

2.94 2.50 3.67 2.58 3.4

0.56 0.25 0.38 0.45 0.35 Sumber: Paterson (1987)

Berikut ini adalah beberapa pemodelan memprediksi perkembangan retak berdasarkan time-base models di beberapa negara, Amerika Serikat dengan studi di Washington State Transportation Center (Li, 2004), India (Shankar, 2007), dan Malaysia (Morosiuk, 1999).

a. Amerika Serikat

(Li, 2004) telah mengaplikasikan HDM-4 dengan menyesuaikannya dengan beberapa ketentuan-ketentuan WSDOT (Washington State of Department Transportation). Seperti, WSDOT menentukan retak dari jalan yang dilintasi roda kendaraan, tetapi HDM-4 menentukannya dari total luas jalan. Sehingga (Li, 2004)


(52)

mengasumsikan luas jalan yang dilintasi roda adalah 50 persen dari total luas jalan. Karena definisi WSDOT, ACA tidak pernah lebih besar dari 100 persen, ACA di HDM-4 tidak pernah lebih besar dari 50 persen, sehingga:

SCA = ACAa

Dan rumus perkembangan retak menurut WSDOT yang telah disesuaikan dengan HDM-4 menjadi:

(

)





+

=k ACAa ACAa

dACA cpa 0,28

1 28 , 0 2996 ,

0 (3.7)

Dimana:

ACAa = maksimal (ACA, 0.5)

dACA = perubahan bertahap dari ACA (%)

ACA = luas area retak pada saat mulainya retak(%) Kcpa = factor kalibrasi untuk All cracking

b. India

Di India (Shankar, 2007) telah melakukan studi kasus pada beberapa jalan di India, dengan memakai pemodelan perkembangan retak sebagai berikut:

(

)

   × × + ×      

= t SCA SCA

CDS CRP k

dACA cpa A 0,45

1 45 , 0 45 , 0 84 ,

1 δ (3.8)

Dimana:

dACA = perubahan bertahap pada area retak kcpa = faktor kalibrasi untuk retak progress

CRP = hambatan perkembangan retak karena adanya pemeliharaan

A t


(53)

SCA = minimum (ACAa, (100-ACAa) ACAa = area retak pada tahun analisis c. Malaysia

Di Malaysia (Morosiuk, 1999) model yang digunakan untuk memprediksi perkembangan retak adalah sebagai berikut:

(

)

[

z t SCA SCA

]

z k

dACA= cpa× a 0,3× a × a + 0,28 3,57 − (3.9) Dimana:

dACA = perubahan bertahap pada area retak selama waktu t t

a

a

ACAa = area retak pada saat mulainya tahun analisis (%) = fraksi tahun analisis

Kcpa = factor kalibrasi

SCA = minimum (ACAa, (100-ACAa)

Za = 1, jika ACA < 50 persen, demikian juga sebaliknya

Traffic-base models

Sama halnya dengan time-base models, traffic-base models juga memakai persamaan yang sama tetapi variabel waktu mulainya retak (tci) disubstitusikan dengan jumlah

ESAL pada mulainya retak (NEci). Dan koefisien pemodelan (a0,a1) juga berbeda,

koefisien ini memakai structural number untuk menentukan nilai a0.

[

b b

]

b

ci

it z zzabNE z z

CR =(1− )50+ . . . + 0.5 +(1− )50 1

Adapun persamaan tersebut menjadi:

(3.10)

Dimana: CRit

a

= Luas retak pada awal mulainya retak


(54)

NEci

z = 1, jika tci < t

= Jumlah ESAL pada mulainya retak (juta ESAL)

50

t

, demikian juga sebaliknya

50

Pertambahan luas retak pada pertambahan

= Waktu pada saat mencapai 50% luas area retak

A t

∆ adalah

[

]

it

b b it

it zz zzab t SCR SCR

CR = ∆ + −

∆ . . . 1 (3.11)

Dimana:

it CR

∆ = Pertambahan luas retak selama pertambahan ∆tA A

t

∆ = Pertambahan jumlah ESAL (juta ESAL) SCRit = Minimum (CRit , 100- CRit

zz = 1, jika CR

)

it 50; demikian juga sebaliknya ≤

Tabel 3.5 Koefisien Pemodelan pada Traffic-base models

Type of pavement surface

Model Estimates

a0 a1

Asphalt Surfacing Surface Treatments

3330 SN 1530 SN

-4.65

0.25

-2.51

0.25 Sumber: Paterson (1987)

III.3 Pemodelan Sugeng Wiyono

Sugeng Wiyono memprediksi mulainya retak dan perkembangannya menggunakan suatu aplikasi model simulasi lalu lintas. Metode simulasi lalu lintas yang dipakai adalah metode “cellular automata” yang didasarkan pada pendekatan individual kendaraan.

Dalam metode ini jalan dibagi dalam cel-cel, setiap lajur/lane terisi 2 cel. Panjang kendaraan, jarak antar kendaraan, jarak pandang menggunakan satuan cel. Kecepatan


(55)

kendaraan menggunanakan satuan cel/dt, sedangkan sifat-sifat lalulintas yang lain seperti reaction time, agresivitas sopir, inspection, overtaking, avoiding crashes dan lain-lain berdasarkan hasil study. Setiap kendaraan yang melalui titik pengamatan (Observation Point/OP) akan dihitung ESA-nya berdasarkan rumus, selanjutnya ESA setiap kendaraan tersebut akan diakumulasikan sebagai CESA. Dari simulasi secara empiris kerusakan jalan khususnya keretakan perkerasan jalan lentur didapatkan :

Prediksi mulainya retak

Persamaan prediksi mulainya retak menurut studi Sugeng Wiyono hampir sama dengan HDM-4 tetapi Sugeng Wiyono tidak memakai variabel cacat permukaan (CDS) dan penghambat mulainya retak (CRT) serta memiliki nilai kalibrasi yang berbeda.

   

  ×

= 2

1 0

4 SNC

YE a e a K

ICX ICX (3.12)

Dimana:

ICX = waktu mulai terjadinya retak, YE4 = ESA per tahun,

SNC = nilai struktur perkerasan, KICX

a

= faktor mulai terjadinya retak,

0, a1

Adapun beberapan parameter kalibrasi untuk mulainya retak seperti tabel berikut: = paremeter kalibrasi.


(56)

Tabel 3.6 Nilai Parameter Mulainya Retak

Tipe Perkerasan

a0 a1 Kicx

Hasil Studi Paterson (1987) Hasil Studi Paterson (1987) Hasil Studi Paterson (1987) Asphalt Mix on

Asphalt Pavement

(AMAP)

9.48 8.61 -25.8 -24.4 0.75 to 2 0.5 to 2.5

Asphalt Mix on Stabilisation Base (AMSB)

9.17 8.61 -25.1 -24.4 0.43 0.5 to 1.3 Asphalt Mix on

Granular Base (AMGB)

8.8 8.61 -24.8 -24.4 0.49 - Sumber: Wiyono (2005)

Prediksi perkembangan retak

Demikian juga prediksi perkembangan retak studi Sugeng Wiyono sama dengan HDM-4 yang berdasarkan traffic-base models. Tetapi pada faktor kalibrasi memiliki nilai yang berbeda.

( )

[

1

( )

1

]

1

1 1

0 0.5 1 50

50

1 a a a

ci

t z z za a NE z z

CRX = − + + + − ( 3.13)

Dimana:

CRXt = bertambahnya luasan retak pada waktu t, TCI = waktu sejak terjadinya retak,dalam tahun NEci = jumlah ESA sejak mulai terjadinya retak z = 1, jika TCI < t50

t

; lainnya z = -1,

50 = 50a2 - 0.5a2/a01 a1

a

; i.e., waktu untuk 50 persen area retak.

01 = a0 SNCa1 dengan a0 and a1

a

pada Tabel 3.7,

2

Beberapa nilai kalibrasi untuk perkembangan retak adalah sebagai berikut: = parameter kalibrasi,


(57)

Tabel 3.7 Nilai Parameter untuk Perkembangan Retak

Tipe Perkerasan

Faktor Kalibrasi

a0 a1 a2

Hasil Studi

Paterson (1987)

Hasil Studi

Paterson (1987)

Hasil Studi

Paterson (1987) AMAP 1895 3330 -5.22 -4.25 0.27 0.25 AMGB 2855 3330 -4.65 -4.25 0.26 0.25 AMSB 2650 3330 -4.24 -4.25 0.25 0.25 Sumber: Wiyono (2005)

III.4 RTIM2 Model

Model ini diperoleh dari hasil studi TRRL di Kenya (Hodges, 1975). Pemodelan ini mengkombinasikan mulainya retak dan perkembangannya dalam satu hubungan yang juga dikondisikan dengan adanya patching. Berikut pemodelan dari TRRL:

Untuk SNC < 4.0, C + P ≥ 0 ;

(C + P)i = 21600 NEs SNC-SNC

Model ini adalah model linier dimana dalam bentuk pertambahan untuk perkembangan retak menjadi:

(3.14)

∆(C + P)i = 21600 SNC-SNC ∆NEs

Dan mulainya retak merupakan fungsi dari kumulatif ESA seperti berikut:

(3.15)

NCA = max {[(4 / SNC) – 1] [SNC(1+SNC)

Dimana (C + P) = jumlah area retak dan patching (m2/km/lane)

] / 72; 0} (3.16)

SNC = modified structural number


(58)

(juta ESA)

NCA = kumulatif ESA yang digunakan selama periode sebelum mulainya retak

III.5 Queiroz- Geipot Models

Queiroz (1981) mengembangkan hubungan prediksi jumlah beban gandar standar 80 kN terhadap mulainya retak (lebar retak 1 mm), dan perkembangan retak dalam persentase area retak sebagai berikut:

• Mulainya retak

Log10 Nc = 1.205 + 5.96 log10

Dimana Nc = jumlah ESA sejak mulainya retak

SNC (3.17)

SNC = modified structural number • Perkembangan retak

CR = - 18.53 + 0.0456 B LN + 0.00501 B AGE LN (3.18) (R2

CR = - 14.10 + 2.84 D LN + 0.395 D AGE LN (3.19) = 0.64)

(R2

CR = -57.7 + 53.5 LN/SNC + 0.313 AGE LN (3.20) = 0.44)

(R2

Dimana CR = luas retak, dalam persentase dari area jalan = 0.35)

B = rata-rata lendutan permukaan dari Benkelman Beam (0.01 mm)

LN = logaritma 10 dari kumulatif beban gandar (ESA) AGE = umur perkerasan sejak adanya dilapis ulang (tahun)


(59)

SNC = modified structural number

III.6 Arizona DOT Models

Sistem manajemen perkerasan di Arizona memiliki model untuk perkembangan retak dan nilai yang telah ditabulasikan untuk mulainya retak (Way and Eisenberg, 1980). Adapun pemodelannya sebagai berikut:

• Perkerasan baru

∆CRi = ∆CRi-1 (1 + 0.031 CRi) – 0.0059 CRi2 + 0.05 CRi RG + 0.01 RG

+ 0.186 (3.21)

2

• Overlay

∆Cri = 0.52 ∆CRi-1 + 0.068 CR∆ i-12 + 0.069 CRi – 0.003 CRi2

- 0.0034 HO

2

Dimana:

+ 0.51 (3.22)

∆CRi = pertambahan indeks retak pada i tahun (persen)

∆CRi-1

CRi = indeks retak pada saat mulainya tahun ke-i (persen)

= pertambahan indeks retak sebelumnya, (i-1) tahun (persen)

RG = faktor regional

HO = ketebalan lapis ulang aspal (inch)

III.7 Texas Flexible Pavement Design System

Pemodelan ini dikhususkan untuk retak kulit buaya pada permukaan aspal yang telah diperbaiki (Lytton, 1982). Persamaan pemodelan tersebut adalah sebgai berikut:

ρ = [-0.97 + 0.039 T + 0.0034 TI + 0.018 H2 – 0.0046 LL + 0.0056 PI


(60)

β = 0.39 PI-0.63 DMD0.54 T1.02 (3.24) Dimana

T = rata-rata suhu udara kurang dari 500 F; (0 LL = batas cair tanah subgrade (%)

F)

Berikut adalah perbandingan parameter prediksi pada masing-masing model: Tabel 3.8 Perbandingan Pemodelan Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya

Model

Parameter Prediksi Beban Lalu

Lintas

Kekuatan Perkerasan

Material Perkerasan

Faktor Lingkungan

Faktor Kalibrasi

HDM-4     

Sugeng Wiyono   

RTIM2   

Queiroz   

Arizona DOT   


(61)

BAB IV

APLIKASI PEMODELAN

IV.1 Perencanaan Perkerasan Jalan Baru

Untuk aplikasi permodelan digunakan suatu perencanaan perkerasan baru untuk umur rencana 20 tahun dengan data-data dan kondisi sebagai berikut:

Reliability (R) = 95 %, ZR

Standar Deviasi (S

= -1.645

0

) = 0.35 PSI = 1.9

Tingkat pertumbuhan lalu lintas = 3% per tahun.

Untuk beban lalu lintas dibagi menjadi beberapa kategori (Li, 2004), yaitu:

• High: > 500.000 (ESAL/ lajur/ tahun)

Untuk kategori high beban lalu lintas pada tahun pertama 600.000 ESAL dan (W18

• Medium: 250.000 – 500.000 (ESAL/ lajur/ tahun)

) = 16.1222.225 ESAL, atau sekitar 826.051 ESAL/lajur/tahun.

Untuk kategori medium beban lalu lintas pada tahun pertama 250.000 ESAL dan (W18

• Low: 0 – 250.000 (ESAL/ lajur/ tahun)

) = 6.717.594 ESAL, atau sekitar 344.188 ESAL/lajur/tahun.

Untuk kategori low beban lalu lintas pada tahun pertama 100.000 ESAL (W18

Modulus resilien tanah dasar efektif : M

) = 2.687.057 ESAL, atau sekitar 137.675 ESAL/lajur/tahun.

R

Aspal beton : E

= 6.000 psi

AC

Lapis pondasi atas granular : E

= 400.000 psi

BS

Lapis pondasi bawah granular : E

= 30.000 psi


(62)

Koefisien kekuatan relative (ai

Aspal beton : a

) untuk masing-masing lapisan perkerasan adalah sebagai berikut:

1

Lapis pondasi atas granular : a

= 0.42

2

Lapis pondasi bawah granular : a

= 0.14

3

Koefisien drainase (m

= 0.08

i

Lapis pondasi atas granular : m

) untuk masing-masing lapis pondasi adalah sebgai berikut:

1

Lapis pondasi bawah granular : m

= 1.20

2

Penyelesaian

= 1.20

Kategori high (W18

Tentukan SN yang diperlukan pada lapis aspal beton dengan modulus resilien dibawahnya (lapis pondasi atas) dengan nilai E

) = 16.122.225 ESAL

BS = 30.000 psi. Kemudian diperoleh nilai

SN1 42 . 0 2 . 3 1 1

1 = =

a SN D

= 3.2 dari persamaan 2.4. Sehingga tebal lapis permukaan aspal beton yang diperlukan adalah:

= 7.8 (diambil 8 inci)

SN1 = a1D1

Seperti untuk lapis aspal beton, dengan menggunakan modulus lapis pondasi bawah E = 0.42 x 8 = 3.36

SB

= 11.000 psi, didapat nilai SN2

      × − =     − = 20 . 1 14 . 0 36 . 3 6 . 4 2 2 1 2 2 m a SN SN D

= 4.5 dan tebal lapis pondasi atas yang diperlukan adalah:

= 7.3 (diambil 7.5 inci)

SN2 = a2D2m2

Dan untuk lapis pondasi bawah dengan menggunakan modulus resilien tanah dasar M = 0.42 x 7.5 x 1.20 = 1.26

R =


(63)

(

)

(

)

    × + − =       − + = 20 . 1 08 . 0 26 . 1 36 . 3 6 . 5 3 3 2 1 3 3 m a SN SN SN

D = 10.2 (diambil 10.5 inci)

SN3 = a3D3m2

Jadi, structural number (SN) pada beban lalu lintas high (W = 0.42 x 10.5 x 1.20 = 1.008

18

SN = a

) = 16.122.225 ESAL adalah sebagai berikut:

1D1 + a2D2m2 + a3D3m

SN = 5.628

2

≈ 5.6  Kategori medium (W18

Tentukan SN yang diperlukan pada lapis aspal beton dengan modulus resilien dibawahnya (lapis pondasi atas) dengan nilai E

) = 6.717.594 ESAL

BS = 30.000 psi. Kemudian diperoleh nilai

SN1 42 . 0 8 . 2 1 1

1 = =

a SN D

= 2.8 dari persamaan 2.4. Sehingga tebal lapis permukaan aspal beton yang diperlukan adalah:

= 6.6 (diambil 7 inci)

SN1 = a1D1

Seperti untuk lapis aspal beton, dengan menggunakan modulus lapis pondasi bawah E = 0.42 x 7 = 2.94

SB

= 11.000 psi, didapat nilai SN2

      × − =     − = 20 . 1 14 . 0 94 . 2 0 . 4 2 2 1 2 2 m a SN SN D

= 4 dan tebal lapis pondasi atas yang diperlukan adalah:

= 6.3 (diambil 6.5 inci)

SN2 = a2D2m2

Dan untuk lapis pondasi bawah dengan menggunakan modulus resilien tanah dasar M = 0.42 x 6.5 x 1.20 = 1.092

R =

6.000 psi, didapat nilai SN3 = 4.9 dan tebal yang diperlukan adalah:

(

)

(

)

    × + − =       − + = 20 . 1 08 . 0 092 . 1 94 . 2 9 . 4 3 3 2 1 3 3 m a SN SN SN


(64)

SN3 = a3D3m2

Jadi, structural number (SN) pada beban lalu lintas high (W = 0.42 x 9.5 x 1.20 = 0.912

18

SN = a

) = 6.717.594 ESAL adalah sebagai berikut:

1D1 + a2D2m2 + a3D3m

SN = 4.944

2

≈ 4.9  Kategori low (W18

Tentukan SN yang diperlukan pada lapis aspal beton dengan modulus resilien dibawahnya (lapis pondasi atas) dengan nilai E

) = 2.687.057 ESAL

BS = 30.000 psi. Kemudian diperoleh nilai

SN1 42 . 0 4 . 2 1 1

1 = =

a SN D

= 2.4 dari persamaan 2.4. Sehingga tebal lapis permukaan aspal beton yang diperlukan adalah:

= 5.7 (diambil 6 inci)

SN1 = a1D1

Seperti untuk lapis aspal beton, dengan menggunakan modulus lapis pondasi bawah E = 0.42 x 6 = 2.52

SB

= 11.000 psi, didapat nilai SN2

      × − =     − = 20 . 1 14 . 0 52 . 2 5 . 3 2 2 1 2 2 m a SN SN D

= 3.5 dan tebal lapis pondasi atas yang diperlukan adalah:

= 5.83 (diambil 6 inci)

SN2 = a2D2m2

Dan untuk lapis pondasi bawah dengan menggunakan modulus resilien tanah dasar M = 0.42 x 6 x 1.20 = 1.008

R =

6.000 psi, didapat nilai SN3 = 4.3 dan tebal yang diperlukan adalah:

(

)

(

)

    × + − =       − + = 20 . 1 08 . 0 008 . 1 52 . 2 3 . 4 3 3 2 1 3 3 m a SN SN SN

D = 8.04 (diambil 8.5 inci)

SN3 = a3D3m2

Jadi, structural number (SN) pada beban lalu lintas high (W = 0.42 x 8.5 x 1.20 = 0.816


(65)

SN = a1D1 + a2D2m2 + a3D3m

SN = 4.344

2

≈ 4.3 IV.2 Pemodelan HDM-4

Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya dianalisis dengan program HDM dengan kombinasi beban lalu lintas dan structural number seperti berikut:

• Untuk beban lalu lintas 16.122.225 ESAL, dengan structural number (SN)= 5.2 • Untuk beban lalu lintas 6.717.594 ESAL, dengan structural number (SN)= 4.7 • Untk beban lalu lintas 2.687.057 ESAL, dengan structural number (SN)= 4.3

Dan hasil prediksi mulainya retak dan perkembangannya dapat dilihat pada tabel dibawah:

Tabel 4.1 Hasil Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya menurut HDM-4 Tahun Luas Retak (%)

ke- SN= 5.6 SN= 4.9 SN=4.3

1 0 0 0

2 0 0 0

3 0 0 0

4 0 0 0

5 0 0 0

6 0 0 0

7 0 0 0

8 0 0 0

9 0 0 0

10 0 0 0

11 0.84 0 0

12 2.77 1.2 0.77

13 5.9 3.41 2.63

14 10.3 6.84 5.69

15 16.02 11.55 10.01

16 23.11 17.59 15.66

17 31.61 25.01 22.67

18 41.61 33.85 31.08

19 52.6 44.15 40.95


(1)

dACA = 0.717 t 1.929 , R2 Dimana:

= 0.999

dACA = Luas area retak pada waktu t (%) t = waktu setelah munculnya retak (tahun)

IV.4 Perbandingan Hasil Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya Antara HDM-4 dan Persamaan Regresi

Hasil prediksi mulainya retak dan perkembangannya menurut HDM-4 lebih cepat dari pada persamaan regresi structural number (SN) = 5.3, sedangkan pada SN = 4.3 dan 4.9 persamaan regresi lebih cepat dibanding HDM-4.

Gambar 4.3 Grafik Perbandingan Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya Antara HDM-4 dan Persamaan Regresi

0 10 20 30 40 50 60 70

0 5 10 15 20 25

Lu as R e tak (% ) Umur Rencana (tahun)

Perbandingan Prediksi Mulainya Retak dan

Perkembangannya

Regresi HDM-4 SN= 5.6 SN= 4.9 SN= 4.3


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Dari hasil analisis aplikasi pemodelan prediksi mulainya retak dan perkembangannya berdasarkan HDM-4 dan studi Sugeng Wiyono dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil regresi dari hasil prediksi didapat hubungannya seperti berikut:

Untuk prediksi mulainya retak, ICT = 6.44 + 1.41 SN – 4.088 YE4 Dimana: ICT = waktu mulainya retak (tahun)

SN = Structural number

YE4 = Beban lalu lintas (juta ESAL/lajur/tahun)

Untuk prediksi perkembangan retak,

• Untuk SNC= 4.3, dACA = 42.34 NEt2 R² = 0.999

– 2.518 NEt – 0.438

• Untuk SNC= 4.9, dACA = 6.641 NEt2 R² = 0.999

– 0.7 NEt - 0.879

• Untuk SNC= 5.6, dACA = 1.04 NEt2 R² = 0.998

– 0.554 NEt + 1.447

Dimana:

dACA = Luas area retak pada waktu t (%)


(3)

2. Hasil prediksi mulainya retak dan perkembangannya menurut HDM-4 lebih cepat dari pada persamaan regresi structural number (SN) = 5.3, sedangkan pada SN = 4.3 dan 4.9 persamaan regresi lebih cepat dibanding HDM-4.

3. Perubahan nilai pada structural number memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibanding dengan lalu lintas terhadap retak yang terjadi.

V.2 Saran

1. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut pada prediksi mulainya retak dan perkembangannya pada perkerasan secara empiris yang didasarkan pada geometrik jalan (tikungan, naik/datar, datar).

2. Disarankan untuk melakukan penelitian langsung ke lapangan untuk menguji tingkat keandalan dari masing-masing pemodelan baik menurut HDM-4 dan studi Sugeng Wiyono.

3. Perlu dikaji prediksi retak pada pemodelan retak thermal (transverse thermal cracking) dan retak refleksi (reflection cracking), sehingga dapat dicari hubungan jenis-jenis retak pada perkerasan jalan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (1986), Pavement Condition Index Distress Identification Manual for Asphalt and Surface Treatment Pavements, Metropolitan Transportation Commission, Oakland. United States.

Anonim, (2001), Deterioration of Bituminous Roads, Highway Development and Management, World Bank, United States.

Anonim, (2002), Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta.

Anonim, (2004), Jalan, Undang-undang Republik Indonesia No.38, Jakarta.

Anonim, (2007). Kerusakan pada Perkerasan Lentur dan Perbaikannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan & Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Anonim, (2010), Performance Prediction Models for Flexible Pavement, Nordic Countries. Hodges, J.W.,et al, (1975), The Kenya Road Transport Cost Study: Research on Road

Deterioration, Transport and Road Research Laboratory, Crowthorne, England.

Kuennen, T., (2009), Taming Disruptive Cracks to Preserve Pavements, Road Science Tutorial, United States.

Li, J., et al, (2004), Application of HDM-4 in The WSDOT Highway System, Washington State Transportation Center, Washington, United States.

Lytton, R.L., et al, (1982), The Texas Flexible Pavement System, University of Michigan and Delft University of Technology, Ann Arbor, United States.

Mamlouk, M.S., (2006), Chapter 8: Design of Flexible Pavement, Arizona State University, United States.

Manurung, M.A., (2010), Evaluasi Tingkat Kerusakan Jalan Sebagai Dasar Penentuan Perbaikan Jalan, Skripsi Sarjana, Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Medan.


(5)

Morosiuk, G., (1997), Modelling The Deterioration of Bituminous Pavements in Indonesia Within A HDM-4 Framework, RRDP, IRE Bandung.

Morosiuk, G., (1999). Peformance of Asphaltic Concrete Overlays in Malaysia, Transport and Research Laboratory, Crowthorne, United Kingdom.

Muis, Z.A., (1993), Perencanaan Tebal Perkerasan Lanjutan Bahagian I, Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Muis, Z.A., dan Rasidi, S., (2010), Deep-Lift Insitu Pavement Recycling sebagai Alternatif Teknik Rehabilitasi Jalan di Provinsi Sumatera Utara, Seminar Perkembangan Terkini Teknologi Bahan, Universitas Sumatera Utara, Medan.

NDLI, (1995), Modelling Road Deterioration and Maintenance Effects in HDM-4, Final Report Asian Development Bank Project RETA 5549, ND Lea International, Vancouver, United States

Paterson, W.D.O., (1987), The Highway Design and Maintenance Standards Model (HDM-III), Volume III, Road Deterioration and Maintenance Effects: Models for Planning and Management, Washignton, D.C.,: Transportation Department, World Bank, United States.

Quieroz, C.A.V., (1981), Performance Prediction Models for Pavement Management in Brazil, University of Texas, Austin, United States.

Rohde, G.T., (1998), The Calibration and Use of HDM-IV Performance Models in a Pavement Management System, Conference in Durban, South Africa.

Roque, R., et al., (2010), Top-Down Cracking of Hot Mix Asphalt Layers: Models for Initiation and Propagation, National Cooperative Highway Research Program.

Shankar. S., Bhasakr. B., dan Prasad. C.S.R.K., (2007), Rural Road Pavement Performance Evaluation – A Case Study, National Institute of Technology Warangal, India.


(6)

Wiyono, H.S., (2010), Aplikasi Model Simulasi Lalu-lintas untuk Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangan Retak, Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

Way, G.B., and Eisenberg, J., (1980),Pavement Management System for Arizona Phase II: Verification of Performance Prediction Models and Development of Data base, Arizona Department of Transportation, United States.

Yoder, E.J., (1975), Principles of Pavement Design, John Wiley & Sons, Inc., New York, United States.