5.2 Diskusi
Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab 4, dapat dipahami bahwa IQ, self efficacy dan motivasi yang secara konsisten memengaruhi prestasi belajar
statistika 1 dan 2. Bahkan korelasi kelima variabel tersebut bersifat positif, hal ini sesuai dengan koefisien regresi IQ, self efficacy dan motivasi pada kedua DV tersebut
yang bernilai postif. Artinya jika semakin tinggi IQ seorang mahasiswa, maka semakin tinggi pula prestasi belajar statistika 1 dan 2 mahasiswa tersebut. Begitupun
juga pada variabel self efficacy dan motivasi. Sumbangan varians IQ pun hampir tidak jauh berbeda terhadap kedua DV, yaitu 5,5 pada prestasi belajar statistika 1 dan 6,9
pada prestasi belajar statistika 2. Hal ini sesuai dengan teori dari Walberg 1981 yang mengatakan salah satu
variabel yang memengaruhi prestasi belajar siswa adalah variabel personal, termasuk didalamnya intelegensi siswa. Artinya seseorang dengan IQ tinggi cenderung lebih
mudah dalam belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sedangkan seseorang dengan IQ rendah cenderung kesulitan dalam transfer belajar dan hasilnya pun cenderung
kurang bagus. Bahkan dalam penelitian Laidra, Pullmann dan Allik 2007 menunjukkan bahwa ada hubungan yang linear antara academic achievement dengan
cognitive factors dalam hal ini intelegensi. Namun, bukan berarti menjadi jaminan
bahwa mahasiswa yang memiliki IQ yang tinggi akan selalu menjamin prestasi yang tinggi pula, hanya saja jika dikatakan bahwa mahasiswa yang memiliki IQ yang
tinggi memiliki peluang meraih prestasi bagus lebih besar adalah benar. Oleh karena itu tidak hanya IQ saja yang memengaruhi prestasi belajar, tetapi juga terdapat
variabel lain yang memengaruhinya. Seperti pada prestasi belajar statistika 1, selain
IQ ada faktor psikologis lainnya yang ikut memengaruhi prestasi belajar statistika 1, yaitu motivasi belajar. Dari hasil analisis data, bahwa motivasi memberikan
sumbangan varians sebesar 2,9 terhadap prestasi belajar statistika 1, bahkan koefisien regresinya bermuatan positif. Hal ini sesuai dengan model performance
dari Heider 1958 yaitu P’ = Motivasi X Ability. Artinya kedua variabel tersebut yaitu motivasi dan ability saling memengaruhi performa seseorang yang dalam
penelitian ini adalah prestasi belajar mahasiswa. Motivasi sendiri dalam penelitian ini diukur melalui dua aspek yaitu ekspektansi dan valensi, yang mana model ini
merupakan model dari Vroomian 1964. Menurutnya seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu karena ia memliki keinginan tertentu yang selanjutnya disebut
valensi, kemudian ia memiliki subjective probability tentang keinginannya tersebut. Mudahnya, jika A memiliki keinginan menjadi asisten dosen, maka dengan giat
belajar statistika ia melihat adanya subjective probability yang besar pula. Oleh karenanya si A termotivasi untuk giat belajar statistika.
Berlanjut pada prestasi belajar statistika 2, salah satu variabel yang signifikan sumbangan variansnya dan juga paling besar sumbangannya sebesar 18,9 yaitu
prestasi belajar statistika 1. Pada hasil penelitian ini, jika seorang mahasiswa memiliki prestasi belajar statistika 1 yang bagus, maka akan diikuti dengan hasil
prestasi belajar statistika 2 yang bagus pula. Hubungan antara keduanya bersifat linear dan juga arah hubungannnya positif. Dengan analisis regresi pula dapat
disimpulkan bahwa prestasi belajar statistika 1 menjadi predictor paling akurat dan besar pengaruhnya terhadap prestasi belajar statistika 2.
Hal ini sesuai dengan model performance dari Anderson dan Butzin 1974, dimana mereka mengatakan bahwa future performance merupakan hasil penjumlahan
past performance dengan hasil interaksi antara motivasi dengan kemampuan.
Sehingga bentuk modelnya menjadi, future performance = past performance + motivasi x ability . Tentunya antara future performance dengan past performance
merupakan sebuah criteria performa yang sama. Jika seseorang ingin memprediksi prestasi belajar mahasiswa dibidang statistika 2, maka harus diketahui lebih dahulu
prestasi belajar statistika 1. Tentunya antara prestasi belajar statistika 1 dan prestasi belajar statistika 2 merupakan sebuah related performance. Seperti halnya penelitian
Jahja Umar 1988 tentang “studi daya ramal nilai ujian masuk, ebtanas, dan rapor terhadap prestasi belajar di perguruan tinggi”, pada penelitian ini salah satu
kesimpulan yang dipaparkan bahwa :
“…suatu prestasi awal yang baik bagi seorang mahasiswa tampaknya lebih penting untuk diupayakan daripada memercayakan pada hasil ujian saringan ataupun ujian akhir sekolah
menengah…”
Artinya, pada konteks perguruan tinggi, prestasi belajar yang baik dalam hal ini prestasi belajar statistika 1 merupakan predictor yang dapat diandalkan untuk
prestasi belajar statistika selanjutnya dan juga predictor ini cenderung bertahan lama. Jika awal perkuliahan mendapatkan nilai prestasi belajar statistika yang baik maka
kecenderungan prestasi belajar selanjutnya akan baik pula. Dengan demikian ulasan bahwa past performance memengaruhi future
performance, sangat sesuai dengan prestasi belajar statistika 1 memengaruhi
signifikan secara statistic terhadap prestasi belajar statistika 2.
Variabel lain yang secara konsisten memengaruhi prestasi belajar statistika 1 2 yaitu self efficacy. Menurut Bandura dalam Lane, 2005 self efficacy merupakan
level tentang keyakinan diri yang dimiliki oleh individu untuk memperoleh tujuan tertentu yang ingin dicapainya. Self efficacy inilah yang menentukan seberapa besar
usaha seseorang untuk meraih tujuannya. Pada penelitian ini, terdapat korelasi positif antara self efficacy dengan prestasi belajar statistika 1 2 sebagai performance. Hal
ini juga sesuai dengan hasil penelitian Lane 2005 tentang self efficacy sebagai predictor untuk academic performance. Dalam hasil penelitian yang dilakukan pada
mahasiswa pascasarjana sebanyak 208 responden tersebut, disimpulkan bahwa mahasiswa yang memiliki prestasi akademis yang baik maka diikuti pula dengan skor
self efficacy yang tinggi pula. Bahkan penelitian Swingler 2008 menemukan hasil
yang tidak jauh berbeda dengan Lane. Hasil penelitian Swingler menemukan bahwa self efficacy
meningkatkan prestasi akademik mahasiswa dibidang statistika. Penelitian lain yang sering dikutip jika berkaitan dengan self efficacy dan prestasi
belajar adalah penelitian Pajeres dan Graham 1999. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa self efficacy secara signifikan memengaruhi prestasi belajar siswa dibidang
matematika baik di tingkat SMP maupun SMA. Pada penelitian Ramdass dan Zimmerman 2008 dikatakan juga bahwa self efficacy secara konsisten memengaruhi
prestasi belajar siswa. Dengan demikian, self efficacy memengaruhi mahasiswa untuk mendapatkan
specific outcomes mereka dengan kemampuan yang mereka miliki. Dengan self
efficacy pula mereka di arahkan untuk mempelajari skill – skill komputasi yang sulit.
Yang paling penting adalah self efficacy menentukan niat atau kemauan seorang
mahasiswa untuk mencapai tujuannya dengan cara melakukan tugas – tugas perkuliahan.
Variabel yang tidak konsisten memengaruhi prestasi belajar statistika 1 2 adalah kebutuhan berprestasi. Pada prestasi belajar statistika 1, kebutuhan berprestasi
tidak berpengaruh secara signifikan, sedangkan pada prestasi belajar statistika 2 justru kebutuhan berprestasi belajar berpengaruh signifikan. Bahkan pada prestasi belajar
statistika 2, kebutuhan berprestasi memberikan sumbangan varians sebesar 2,8 dan sumbangan tersebut signifikan. Namun pada prestasi belajar statistika 1, kebutuhan
berprestasi tidak memberikan sumbangan sama sekali atau 0 . Menurut Atkinson dan Feather 1966 dalam research paper Thomas, 2002
motivasi berprestasi istilah lain yang biasa digunakan untuk need for achievement adalah motivasi berprestasi, need to achieve, fear of failure terdiri dari tiga
komponen, yaitu yang pertama predisposisi individu terhadap prestasi ; kedua, probabilitas individu untuk meraih sukses ; ketiga, persepsi individu dalam menilai
tugas – tugas yang ada. Lebih lanjut lagi ia mengatakan,
“…the strength of motivation to perform some act is assumed to be a multiplicative function of the strength of the motive, the ecpectancy subjective probability that the act will have a
consequence the attainment of an incentive and the value of the incentive : Motivation = f Motive X Expectancy X Incentive..”.
Menurut hemat peneliti mahasiswa yang mengikuti perkuliahan statistika 1 belum melihat dengan jelas fungsi keterkaitan antara mata kuliah statistika 1 dengan
harapan expextancy yang akan ia dapatkan dari belajar statistika 1. Mereka melihat statistika hanya sebagai mata kuliah yang tidak jauh berbeda dengan matematika
SMA. Oleh sebab itu korelasi antara motivasi berprestasi dengan statistika 1 sangat
kecil sekali yaitu 0.049 dan tidak signifikan. Namun pada prestasi belajar statistika 2 justru mereka sudah mengetahui benar fungsi pentingnya mata kuliah statistika.
Terlebih lagi mata kuliah statistika erat kaitannya dengan mata kuliah pokok lainnya, misalnya metodologi penelitian. Oleh sebab itu korelasi antara motivasi berprestasi
dengan prestasi belajar statistika 2 signifikan dengan besaran korelasi yang cukup, yaitu 0.209. Pada persamaan regresi yang dihasilkan, kebutuhan berprestasi tidak
signifikan pada prestasi belajar statistika 1, sedangkan pada prestasi belajar statistika 2 dihasilkan koefisien regresi yang signifikan.
Variabel yang sama sekali tidak memengaruhi prestasi belajar statistika 1 dan 2 yaitu sikap terhadap statistika dan kecemasan terhadap statistika. Namun peneliti
akan membahasnya satu persatu. Pada hasil penelitian ini, ditemukan korelasi yang negative antara sikap
terhadap statistika dengan prestasi belajar statistika 1 2, besaran korelasi tersebut tidak terlalu besar, yaitu - 0.012 dan - 0.058. Namun demikian korelasi tersebut tidak
signifikan. Koefisien regresi yang dihasilkan dari variabel sikap pada prestasi belajar statistika 1 bermuatan positif, sedangkan pada prestasi belajar statistika 2 koefisien
regresi yang dihasilkan bermuatan negative. Namun korelasi antara sikap terhadap statistika, prestasi belajar statistika 1 2 menghasilkan arah yang negative. Dengan
demikian hasil antara koefisien regresi dengan korelasinya sedikit berbeda, padahal koefisien regresi umumnya dapat menggambarkan arah hubungannya. Seperti yang
peneliti katakan di bab 4, penelitian tentang sikap dengan perilaku sebagai kriterianya dalam hal ini performance atau prestasi belajar masih belum begitu jelas arah dan
hubungannya. Ada yang menemukan bahwa sikap menjadi predictor yang signifikan
terhadap prestasi belajar, dan sebaliknya. Seperti hasil penelitian Sorge dan Schau 2002, 45 varians dari prestasi belajar statistika di jelaskan oleh variabel sikap.
Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Nasser 2004 bahwa sikap terhadap statistika meningkatkan performance dibidang statistika. Sedangkan pada hasil
penelitian Min Liu 2007 sikap sama sekali tidak memengaruhi prestasi belajar siswa, bahkan memiliki korelasi yang negative terhadap prestasi belajar. Kemudian
penelitian Adams dan Holcomb 1986 menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap statistika dan matematika dengan prestasi belajar
statistika. Sebagai gambaran dari hasil data penelitian pada item sikap terhadap
statistika, item “saya lebih menyukai mata kuliah statistika ketimbang mata kuliah lainnya”
pilihan respon jawaban tidak setuju dijawab sebanyak 164 mahasiswa. Artinya lebih dari setengah total sampel tidak menyukai mata kuliah statistika.
Oleh sebab itu, tidak menjadi jaminan apabila siswa yang menyukai mata pelajaran tertentu akan meraih prestasi yang tinggi pula, dan sebaliknya. Namun
apabila perasaan suka tersebut dibarengi dengan self efficacy yang tinggi kemudian dibarengi dengan IQ yang tinggi pula serta dukungan orang tua dan guru maka akan
menghasilkan jaminan prestasi yang lebih baik. Seperti yang dituliskan oleh Umar 2007 bahwa sikap tidak hanya menjadi predictor tunggal yang langsung
berpengaruh terhadap prestasi belajar. Tetapi justru ia saling berkaitan dengan variabel psikologis lainnya, seperti self efficacy, aspirasi, persepsi siswa tentang
penting atau tidaknya mata pelajaran tersebut, dukungan orang tua.
Variabel lain yang tidak memengaruhi prestasi belajar statistika 1 2 yaitu kecemasan terhadap statistika. Pada prestasi belajar statistika 1, kecemasan hanya
memberikan varians sebesar 0,3 , pada prestasi belajar statistika 2 kecemasan hanya memberikan 0 atas bervariasinya prestasi belajar statistika 2. Tentunya kedua
sumbangan iv tersebut tidak signifikan. Pada koefisien regresi yang dihasilkan dari variabel kecemasan terhadap statistika 2 berbeda dengan arah korelasi antara
kecemasan dengan statistika 2. Hasil korelasi menunjukkan arah hubungan yang positif antara kecemasan dengan statistika 2 p 0.05, sedangkan dari koefisien
regresi yang dihasilkan, variabel kecemasan pada statistika 2 menunjukkan nilai yang negatif p 0.05. Untuk melihat nilai murni korelasi kecemasan dengan statistika 2,
peneliti menghitung korelasi parsial antara keduanya dengan mengontrol semua variabel penelitian lainnya. Dari hasil yang didapat, korelasi keduanya bernilai –
0.032 p 0.05. Dengan demikian korelasi awal bivariate keduanya dipengaruhi oleh variabel lain yang menyebabkan hasil korelasi positif, namun setelah dikontrol
variabel lain, hasil korelasi keduanya bernilai negative. Hasil penelitian Onwuegbuzie dan Seaman 1995 menemukan hubungan
korelasi yang negative antara kecemasan statistika dengan skor ujian akhir statistika. Menurut Zeidner 1998 kecemasan terhadap statistika akan memengaruhi
performance siswa jika tingkat kesulitan soal pada ujian statistika ikut dianalisis.
Menurutnya, kecemasan tinggi memengaruhi poor performance apabila tingkat kesulitan soal ujian tersebut terlalu sulit. Sedangkan kecemasan rendah akan
memengaruhi good performance apabila tingkat kesulitan soal pada tingkat yang mudah atau sedang.
Umar 2010 mengatakan bahwa hubungan antara kecemasan dengan prestasi belajar akan berbentuk garis parabola. Pada titik tertentu kecemasan akan memicu
performance dengan baik, namun pada titik tertentu pula kecemasan justru akan
menurunkan performance seseorang.
5.3 Saran