Pengertian Prestasi Belajar Pengukuran Prestasi Belajar Statistika

BAB 2 KAJIAN TEORI

Pada bab ini akan dipaparkan tentang Pengertian Prestasi Belajar, Teori Prestasi Belajar, Teori Prestasi Belajar Statistika, Faktor-faktor yang Memengaruhi Prestasi Belajar Statistika, Pengukuran Prestasi Belajar Statistika, Hipotesis Penelitian.

2.1 Pengertian Prestasi Belajar

Prestasi belajar dalam Chaplin 2002 merupakan satu tingkat khusus perolehan atau hasil keahlian dalam karya akademis yang dinilai oleh guru-guru, lewat tes-tes yang dibakukan atau lewat kombinasi ke dua hal tersebut. Sumadi Suryabrata 2005 berpendapat bahwa prestasi belajar sebagai hasil dari suatu proses yang biasanya dinyatakan dalam bentuk kuantitatif angka yang khusus diberikan untuk proses evaluasi, misalnya rapor, hasil ini dibagikan kepada siswa pada akhir semester setelah pelaksanaan ujian akhir. Di dalam bidang pendidikan, siswa dikatakan memiliki prestasi baik bila menjadi juara kelas ataupun memperoleh nilai yang baik. Pengertian prestasi belajar didalam kamus balai pustaka nasional, yaitu penguasaan pengetahuan dan keterampilan terhadap mata kuliah yang diberikan melalui hasil tes Dhona, 2004. Dengan demikian, dari pengertian prestasi belajar yang peneliti kutip dari beberapa sumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah skor pencapaian hasil tes atau ujian yang diperoleh siswa, dimana tes atau ujian sebagai pengukuran kemampuan serta pemahaman belajar siswa atas pembelajaran yang telah dilakukan Umar, 2010. Atau singkatnya, prestasi belajar lebih berkaitan dengan pengukuran pencapaian hasil belajar.

2.2 Teori Prestasi Belajar

Dalam penelitian ini, yang peneliti maksud dari teori prestasi belajar adalah variabel-variabel psikologis yang memengaruhi prestasi belajar yang mampu menyebabkan naik turunnya prestasi belajar siswa. Dengan demikian focus dari teori prestasi belajar berkaitan dengan variabel-variabel psikologis apa sajakah yang mampu memengaruhi prestasi belajar. Peneliti kutip dari penelitian Umar 2007 yang menuliskan bahwa menurut Wahlberg 1981 ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi prestasi siswa yaitu: 1 Variabel personal seperti prestasi sebelumnya, umur, motivasi, self concept, dsb; 2 Variabel instruksional seperti intensitas dan kualitas serta metode pengajaran dan 3 Variabel lingkungan environmental yang terkait dengan keadaan di rumah, kondisi guru, kelas, dan sekolah, teman belajar, media belajar, dsb. Pada beberapa penelitian yang menggunakan ketiga variabel ini, ternyata ditemukan hasil yang berbeda-beda. Larry Sutter 2000 dalam Umar, 2007 misalnya, mengutip hasil penelitian James Coleman di tahun 1960an di mana kesimpulannya adalah mengatakan bahwa “…student performance was determined more by family background than by school characteristics…” . Namun demikian, dalam studinya yang membandingkan prestasi matematika dan IPA secara internasional dengan menggunakan data TIMSS, Sutter 2000 menyimpulkan bahwa perbedaan prestasi belajar antar negara lebih banyak ditentukan oleh variabel-variabel kurikuler dan pengajaran. Ia juga mengutip kesimpulan penelitian Gustafsson dan Undheim 1996 yang mengatakan bahwa “…that results of international-level studies might be accounted for by differences in curriculum rather than intellectual differences among students…” . Sebaliknya, Heyneman 1997 menemukan bahwa student personal variable yang lebih menentukan, terutama sekali motivasi spirit belajar. Berikut adalah kutipan tulisannya Heyneman, 1997 dalam Umar, 2007 : “What differentiates American children from other children in the world – and the explanation of poor performance among minorities and the poor – is the American public policy toward children. “In general, children in the United States are provided with too much opportunity and too few obligations; too much choice and too few responsibilities.” In addition, “U.S. school children are influenced by a common assumption that curriculum has to be entertaining”,…… “It isn’t poverty which drives scores of U.S. students down,” I said, “or race, or even minority status, but rather impoverish spirit”. ….. ”… It is the general lack of a desire to learn and this, in turn, is affected by public policy. …...” page 29. Selanjutnya penelitian mengenai pengaruh variabel psikologis, yang secara konsisten ditemukan pengaruhnya terhadap prestasi belajar antara lain adalah “self efficacy ” misalnya Ramdass and Zimmerman 2008. Sedangkan variabel yang umumnya tak berpengaruh terhadap prestasi adalah sikap terhadap mata pelajaran. Reiss 2009 menemukan ada enam “personality needs” yang erat kaitannya dengan “low achievement in school” yaitu “high need for acceptance”, “low need for cognition”, “lack of ambition”, “low need for order”, “low need for honor” , dan “high need for vengeance” . Variabel lingkungan belajar yang ditemukan berpengaruh misalnya adanya standard kelulusan Cavanagh, 2009; Mc Neil, 2009. Penguasaan guru terhadap materi pelajaran misalnya, ditemukan lebih berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa dari pada penguasaan metode mengajar Telese, 2005; Viadero, 2009. Penelitian yang relatif baru Moon dan Lee, 2009 tentang predictors dari prestasi anak di sekolah, menemukan bahwa yang signifikan pengaruhnya adalah “family factors especially parent education level and income” , “parent-child home activity” , dan “parental psychological well-being”. Selanjutnya, ia menemukan bahwa “parent school involvement” tak berkaitan dengan prestasi anaknya di sekolah. Teori prestasi belajar dari Dalyono 2001 dalam Donna, 2004 , teori tersebut mengatakan bahwa berhasil atau tidaknya seseorang dalam belajar ditentukan oleh faktor-faktor berikut ini : 1. Faktor internal, yang terdiri dari : a. Intelegensi dan bakat. Seseorang dengan IQ yang lebih tinggi umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya orang dengan IQ rendah biasanya lebih sulit dalam belajar, sehingga prestasinya pun cenderung rendah. Selain itu bakat juga berpengaruh terhadap prestasi belajar. b. Motivasi dan minat. Menurut teori ini minat dapat timbul karena adanya daya tarik dari luar dan bisa juga datang dari dalam diri sendiri. Minat yang besar merupakan modal awal yang besar untuk mencapai tujuannya. Dengan adanya minat maka timbul motivasi. Motivasi sendiri adalah pendorong untuk melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan. Kuat atau lemahnya motivasi seseorang dapat memengaruhi tinggi rendahnya prestasi seseorang. c. Cara belajar. Cara belajar seseorang dapat menentukan prestasi belajar orang pula. Cara belajar disini maksudnya adalah berapa lama waktu belajarnya, tempat, fasilitas dan penggunaan media pengajaran yang digunakan siswa. d. Kondisi jasmani. Seperti keadaan fisik tubuh untuk mendukung pembelajaran, tentunya murid yang memiliki fisik yang baik maka akan lebih mudah memahami pelajaran dengan baik daripada murid yang memiliki keterbatasan fisik. 2. Faktor Eksternal dari luar diri. a. Keluarga. Tinggi rendahnya status pendidikan orang tua, tinggi rendahnya penghasilan orang tua, perhatian orang tua terhadap anak, hal-hal tersebut juga bisa memengaruhi prestasi belajar siswa. b. Sekolah. Seperti kualitas guru, tingkat pendidikan guru, metode mengajar, kurikulum yang digunakan, juga memengaruhi prestasi belajar. c. Masyarakat. Dalam hal ini masyarakat yang dimaksud ialah keadaan sosio-kultural dimana siswa tinggal. Siswa yang tinggal di lingkungan masyarakat yang ber-pendidikan tinggi maka akan mendorong untuk giat belajar sehingga menyebabkan prestasi belajar tsb menjadi tinggi. d. Lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar yang dimaksud seperti lokasi belajar yang terlalu ramai, kondisi kelas yang pengap dan panas, akan memengaruhi proses kegiatan belajar yang pada akhirnya berdampak pada prestasi belajar. Selanjutnya, peneliti juga berasumsi bahwa prestasi belajar juga dapat diartikan sebagai performance siswa atas pengukuran tingkah laku siswa dalam belajar, sehingga ia menghasilkan sesuatu yang telah menjadi tujuannya diadaptasi dari pengertian teori job performance dalam Umar, 1978. Peneliti analogikan bahwa prestasi belajar dengan job performance sama-sama melihat hasil, hanya saja dalam konteks yang berbeda, prestasi belajar pada konteks pendidikan, job performance pada konteks pekerjaan. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa antara prestasi belajar dan job performance dapat berbeda-beda antar individu, kedua hal ini bergantung pada karakteristik individu dan situasi-situasi sekitar. Adapun beberapa teori yang berkaitan dengan performance dalam Umar, 1979 yaitu : Teori atribusi: Pertama kali dikemukakan pada tahun 1958 oleh Heider dikutip dari Anderson dan Butzin, 1974, di mana melalui pendekatan teori atribusi ia mengajukan rumusan matematis untuk “performance”, yaitu : Performance = Motivation x Ability disingkat: P = M x A. 1 Menurut teori ini “performance” adalah hasil interaksi antara motivasi dengan abiliti. Dengan demikian, orang yang tinggi motivasinya tetapi memiliki abiliti yang rendah akan menghasilkan “performance” yang rendah. Begitu pula halnya dengan orang yang memiliki abiliti tinggi tetapi rendah motivasinya maka akan tetap menghasilkan performance yang kecil pula. Namun teori performansi dari Heider ini tidak semudah seperti rumus perkalian yang peneliti kutip tersebut. Sebab dalam semua pengukuran psikologis tidak dapat didefinisikan secara tunggal saja tetapi harus pula menampakkan hubungan antara konstruk atau fenomena lain yang dapat diamati. Seperti yang dikatakan oelh Lord dan Novick, 1968 peneliti kutip dari Azwar, 1999, yang juga mengutip dari Crocker Algina, 1986 “…tentang pengukuran konstruk psikologis yang menekankan pentingnya konstruk yang mendasari pengukuran psikologis dalam dua level. Pertama, konstruk psikologis harus didefinisikan secara operasional dalam bentuk indikator perilaku yang dapat diamati. Definisi ini akan menentukan bagaimana pengukuran harusnya dilakukan. Kedua, konstruk psikologis harus didefinisikan dalam bentuk hubungan logis dan matematis dengan konstruk lain yang sama-sama berada dalam system teoritiknya. Bila hubungan semacam itu tidak dapat diperlihatkan secara empiris, maka hasil pengukuran yang diperoleh adalah tidak berguna…” hal 17 Oleh karena itu, dari model matematis performance Heider tersebut, terdapat variasi model tambahan tentang performance. Salah satunya, Umar 1979 dalam skripsinya membuat variasi dari model tersebut. Adapun variasi model performance yang dibuatnya yaitu :

1. Model Vroomian, yaitu yang diinspirasikan oleh pendapat Vroom 1964

tentang motivasi dan abiliti. Menurut model ini, rumusan motivasi untuk perbuatan i Mi adalah: 2 Penjelasannya yaitu dimana V j adalah valensi dari “outcome” j sedangkan E ij adalah “expectancy” “subjective probability”, yaitu besarnya keyakinan bahwa perbuatan i akan benar-benar menghasilkan “outcome” j. Penjumlahan di sini, ∑ , adalah untuk semua jenis “outcome” j. Sebagai contoh jika seorang siswa memiliki motivasi belajar statistika Mi, maka hubungannya bisa dilihat dengan, valensi j desirability atau outcome dari j apa. Misalnya siswa tersebut ingin mendapatkan beasiswa, maka ia diminta untuk menskoring berapa valensi yang ia miliki untuk outcome beasiswa tersebut, kemudian diukur subjective probability bahwa dengan ia belajar statistika i bagaimana ia akan mendapatkan outcome beasiswa j. jika dituliskan akan menjadi: M bi = f V bs x E bi.bs 3 Ket : bi belajar statistika ; bs beasiswa Dikarenakan setiap orang berbeda-beda jumlah outcomenya maka jika ada tiga outcome, maka total penjumlahan dari ketiga hasil pengukuran outcome tersebut yang dijadikan skor motivasi siswa. Untuk selanjutnya menghitung prediksi performance mahasiswa tersebut, maka diperlukan skor ability terlebih dahulu. Baru kemudian dimasukkan sesuai rumus P’ = M x A. dengan kata lain hasil dari perkalian ini adalah prediksi untuk performance.

2. Model dari Anderson dan Butzin 1974 Umar, 1979. Mereka

mengajukan formula baru, yang ada perkalian dan pertambahannya, yaitu : Future Performance = Past Performance + Motivation × Ability 4 Model ini tidak jauh berbeda dengan model Vroom, hanya saja mereka menambahkan past performance, yang mana peneliti asumsikan bahwa performance sebelumnya akan memengaruhi performance selanjutnya, namun tentunya kedua hal ini harusnya sesuatu yang bersifat related performance. Sebagai ilustrasi, jika ingin memprediksi prestasi seorang mahasiswa dibidang statistika 2, selain diukur motivasi dan ability-nya, tetapi diukur juga prestasi mahasiswa tersebut ketika menempuh statistika 1. Artinya, besar kecil prestasi selanjutnya dipengaruhi juga oleh besar kecil prestasi sebelumnya. Kemudian salah satu penelitian yang secara khusus meneliti prestasi belajar di perguruan tinggi, yaitu penelitian Umar 1988. Hasil penelitiannya mengenai daya ramal UTUL ujian tulis, EBTANAS sekarang Ujian Negara Ujian Akhir Nasional, RAPOR SEKOLAH, serta SES Sosio-Economic Status terhadap Prestasi Belajar di Perguruan Tinggi, bahwasannya UTUL di UIN dikenal Ujian Mandiri lebih dapat diandalkan walaupun hanya dua semester pertama saja. Namun demikian ada indikasi pada sampel UNPAD dan UGM bahwa pengetahuan bahasa inggris yang telah dimiliki ketika SMA ternyata berpengaruh positif terhadap prestasi belajar di Perguruan Tinggi. Pada salah satu model, ditemukan bahwa jika nilai Rapor ketika SMA baik maka akan diikuti nilai rapor selanjutnya yang baik pula, namun tidak demikian ketika di Perguruan Tinggi, ditemukan bahwa terjadi diskontinuitas antara rapor yang baik tidak memengaruhi IP yang baik pula. Meskipun begitu, yang jelas dari model tersebut, baik Rapor maupun IP awal yang baik maka selanjutnya akan cenderung bertahan lama. Artinya, prestasi awal diperguruan tinggi yaitu IP semester pertama dan kedua lebih mampu menjadi predictor yang konsisten terhadap prestasi belajar selanjutnya ketimbang variabel predictor lainnya, seperti rapor SMA, nilai EBTANAS, dsb. Dengan demikian, meskipun terdapat siswa berprestasi di sekolah ketika SMA, maka belum tentu dapat diasumsikan bahwa ia akan berprestasi juga di perguruan tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, prestasi awal yang baik bagi seorang mahasiswa lebih penting diupayakan daripada memercayakan pada hasil ujian saringan ataupun ujian akhir sekolah menengah. Semua teori prestasi belajar yang peneliti paparkan diatas, tentu berbeda-beda variabel psikologis yang menentukannnya, dan juga dapat dipastikan bahwa penentu pada prestasi belajar umum akan berbeda ketika menjadi predictor dibidang mata kuliah statistika. Oleh karena itu, peneliti akan meneruskan secara spesifik prestasi belajar dibidang statistika, yang mana maksudnya sama yaitu mengidentifikasi variabel psikologis apa sajakah yang menjadi predictor yang menyebabkan naik turunnya prestasi belajar statistika.

2.2.1 Prestasi Belajar Statistika

Kuliah statistika menjadi bagian penting dalam berbagai macam program studi di semua perguruan tinggi. Rasionalisasi mengajar Statistika pada tingkatan mahasiswa adalah memudahkan mahasiswa untuk mengatur, menggunakan dan mengintrepretasikan penelitian atau data statistik pada studi mereka Nasser, M. Fadia, 2004. Selain itu, tujuan tambahan mengajarkan Statistika kepada mahasiswa adalah untuk menyelesaikan secara efektif seluruh aspek statistik ketika mereka berada diluar kelas Gal and Ginsburg 1994 ; Gal and Garfield 1997 . Artinya statistika tidak hanya diperlukan ketika berada didalam kelas saja yaitu statistika sebagai mata kuliah, tetapi juga ketika mahasiswa berada diluar kelas, dimana statistika bisa bermanfaat untuk semua hal yang berkaitan dengan aspek-aspek statistik. Secara khusus variabel predictor yang menentukan prestasi belajar statistika kemungkinan akan berbeda dengan predictor prestasi belajar dibidang yang lain, misal IPA, BAHASA,dsb Umar, 2010. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian Umar 2007 dibidang Bahasa dan IPA serta Matematika. Misalnya untuk bidang bahasa dan matematika, variabel yang konsisten memengaruhi prestasi belajar matematika adalah tingkat Sosial Ekonomi Keluarga SES, dukungan terhadap sekolah, sikap terhadap matematika ; sedangkan pada reading literacy yang konsisten justru self efficacy, pr membaca, high reading kemudian diikuti oleh vocabulary, metode mengajar, seringnya waktu membaca dan terakhir, after reading. Tentunya bagi peneliti interpretasi seperti ini tidaklah mudah, namun setidaknya dapat diidentifikasikan bahwa untuk bidang yang berbeda seperti bahasa dan matematika akan berbeda variabel predictor-nya, sehingga berbeda pula hasil penelitian dan interpretasinya. Mengenai prestasi belajar Statistika, ada banyak hasil penelitian yang mengindikasikan beberapa variabel yang berkaitan dengan model prestasi belajar Statistika. Seperti Cruise, et al. 1985 yang mengatakan bahwa “that anxious student’s image of statistics is generally not a very positive one”. Menurut Cruise, kecemasan mahasiswa bukanlah hal yang positif terhadap statistika. Ia mendefinisikan bahwa statistics anxiety as the feeling of anxiety encountered when taking a statistics course or doing statistics course, that is, when gathering, processing and interpreting data”. Hal ini dapat dipahami dengan logika sederhana, dimana kecemasan statistika itu terjadi pada mahasiswa yang misalnya ketika SMA belum mendapatkan bekal yang cukup untuk matematika tingkat lanjutan, sehingga ketika mereka kuliah dan mendapatkan mata kuliah introductory statistics maka timbul kecemasan. Selain itu juga masih banyak mahasiswa yang beranggapan bahwa ketika mereka berada dibangku kuliah tidak akan lagi mendapati mata kuliah yang sifatnya memerlukan skill komputasi, yang padahal tidak demikian. Biasanya pendapat tersebut ditemukan pada mahasiswa yang berada pada fakultas ilmu social, seperti psikologi, sosiologi, dsb. Dikarenakan sudah adanya kecemasan mahasiswa terhadap statistika, harapan tidak adanya mata kuliah hitung-hitungan, maka selanjutnya prestasi belajar di bidang statistika bisa dipengaruhi oleh kecemasan dan expectancy tersebut. Dari penelitian Nasser, 2004 dikatakan bahwa efek kecemasan terhadap performance prestasi tidak disetujui dalam literature. Sebagai contoh pada konteks kecemasan matematika, Liabre and Suarez 1985 menyatakan bahwa “…stated that mathematics anxiety had little to do with performance once anxious students were already enrolled in the course…” . Artinya bahwa kecemasan terhadap Matematika hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap performance meskipun kecemasan tersebut telah ada ketika menempuh mata kuliah tersebut. Kemudian studi yang dilakukan oleh Adams and Holcomb 1986 menemukan bahwa, mathematics anxiety was negatively related to performance in statistics, there was no significant relationship between performance in statistics and traditional measures of state and trait anxiety. Artinya, kecemasan terhadap Matematika berkorelasi negative terhadap performance di bidang Statistika. Ada juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Lalonde and Gardner 1993 menunjukkan hasil yang sedikit berbeda yaitu, an indirect negative relationship between what they referred to as “situational anxiety” and performance in statistics. Artinya terdapat dampak negative tetapi secara tidak langsung dari situasi yang mahasiswa anggap sebagai kecemasan terhadap performance di bidang Statistika. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Onwuegbuzie 1998, 2000 menunjukkan bahwa low achievement of college student was related to higher levels of statistics anxiety and low computation self-concept. Artinya kurang lebih sama dengan penelitian sebelumnya, yaitu kecemasan berpengaruh negative terhadap performance. Selanjutnya, model prestasi belajar Statistika dan Matematika yang dikaitkan dengan variabel sikap. Seperti yang dilakukan oleh, Adams and Holcomb 1986 , mereka menguji kaitan antara prestasi belajar Statistika dan Matematika dengan variabel sikap. Hasilnya adalah no significant relationship between attitudes toward mathematics and achievement in statistics. Artinya, tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap Matematika dengan prestasi di bidang Statistika. Sementara itu studi dari Feinberg and Halprin 1978 justru menemukan hasil sebaliknya yaitu bahwa ada korelasi antara variabel sikap dengan performance pada matematika dan statistika. Salah satu model prestasi belajar Statistika adalah Gardner’s model Lalonde, 1993. Model ini memiliki dua pandangan mengenai Statistika. Pertama, “the conceptualization of statistics learning as language learning is both meaningful and fruitful”. Kemudian yang kedua, “many of the measures developed by Gardner, and his colleagues can be adapted to the statistics learning situation with some minor modification, thus facilitating a test of the model that is to be proposed”. Model prestasi belajar Statistika menurut Gardner 1979 terdapat empat variable individu yang diharapkan memengaruhi secara langsung derajat keberhasilan seseorang pada mata kuliah Statistika, yaitu : intelligence, language aptitude, situational anxiety, and motivation . Intelegensi sangatlah penting dalam memengaruhi tingkatan pemahaman setiap mata kuliah apapun yang dipelajari, baik bahasa maupun statistika. Kecerdasan berbahasa mewakili kemampuan spesifik yang dilibatkan kedalam pembelajaran bahasa, sama halnya seperti kecerdasan matematika akan menjadi kemampuan utama yang seharusnya memengaruhi secara langsung pemahaman skill komputasi dari statistika. Pengukuran kemampuan matematika dasar telah ditemukan berkorelasi positif dengan performa pada Statistika. Nasser, 2004. Masih peneliti kutip pada sumber yang sama, Gardner juga mengatakan math anxiety adalah bentuk dari situasi kecemasan yang diharapkan menjadi pendorong mahasiswa ketika menghadapi tuntutan skill komputasi pada Statistika. Penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa math anxiety berkorelasi negative dengan performa dalam statistika. Selain variabel afektif ada juga variabel yang bersifat kognitif, yang berkaitan dengan prestasi belajar statistika, seperti mathematical ability, meskipun pemahaman dan penggunaan statistika dalam penelitian empiris tidak memerlukan level matematika advance, namun kenyataannya dari hasil literature penelitian bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara keduanya. Seperti yang terdapat pada Galagedera 1998 menemukan bahwa, first-year business mathematics and statistics students who were successful in mathematics at the university entry-level examination were more likely to do better in elementary statistics than poor performers at matriculation level”. Kemudian diperkuat lagi dari hasil penelitian Wisenbaker, et al. 2000 yang menyatakan bahwa, “mathematical ability affects the acquisition of statistical skills and the two share a negative relationship with mathematics anxiety”. Terakhir, model prestasi belajar statistika yang berkaitan dengan statistics dan math anxiety, mathematical aptitude, attitudes toward statistics telah diuji secara bersamaan dalam beberapa penelitian Lalonde and Gardner 1993 ; Nasser 1998, 1999 ; Wisenbaker et al. 1998 , kendatipun begitu hubungan semua variabel tersebut tidak dapat dipastikan arah dan bentuk hubungannya, artinya ditemukan hasil penelitian yang berbeda-beda. Seperti yang telah dilakukan Wisenbaker 1998 dan beberapa assistant – nya, yang melakukan penelitian path analysis untuk memprediksi prestasi mahasiswa dibidang statistika. Hasil temuan utamanya yaitu : ”…students’ attitudes toward statistics at the end of the statistics course were predictive of their achievement, while students’ attitudes toward statistics at the beginning of the course were not. Furthermore, they found a moderately positive relationship between mathematical aptitude and achievement in statistics. The correlation between mathematics anxiety and achievement in statistics was also moderate but negative…”.hal. 189 Namun sayangnya, Wisenbaker tidak mengikutsertakan variabel statistics anxiety dalam penelitian tersebut. Kemudian Lalonde dan Gardner 1993 menggunakan model structural socio-educational tentang kemahiran statistics as a second language untuk memprediksi prestasi dibidang statistika. Model penelitian mereka mengikutsertakan variabel situational anxiety statistics and number anxiety, attitudes, motivation intensity, mathematical aptitude, and efforts. Semuanya dijadikan predictor terhadap prestasi dibidang statistika. Hasil penelitian Lalonde dan Gardner menemukan bahwa, “…a direct path between situational anxiety and achievement was not significant when the path between mathematical aptitude and achievement was present. Their results also suggested that the level of anxiety and the combination of attitudes and motivation could have indirect effects on achievement through effort…”.

2.2.2 Faktor yang Memengaruhi Prestasi Belajar Statistika

Terdapat banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menemukan model prestasi belajar Statistika. Pada table 2.1 ini peneliti membuat matrikulasi hasil penelitian prestasi belajar dibidang statistika. Tabel 2.1 Hasil Penelitian tentang Prestasi Belajar Statistika. No Nama Temuan 1 Anthony J Onwuegbuzie 2004 • Hasil menunjukkan bahwa kurang lebih 40 sd 60 mahasiswa melaporkan bahwa mereka hampir selalu atau selalu menunda-nunda dalam menulis makalah, belajar untuk menghadapi ujian, serta menunda untuk mengikuti tugas membaca mingguan. • Sekitar 20 sd 45 melaporkan bahwa mereka bermasalah dengan menunda-nunda terhadap ketiga tugas akademik tersebut. ` • Selain itu juga, 65 -75 mahasiswa ingin mengurangi kebiasaan menunda-nunda dalam ketiga tugas akademik tersebut. • Temuan pokok yang kedua, akademik prokrastinasi yang merupakan hasil dari fear of failure dan task aversiveness menampakkan korelasi canonical yang positif dan signifikan dengan statistics anxiety Rc1=.51. 2 Lalonde dan Gardner 1993 • Peneltian ini menggunakan causal modeling yang mana ditemukan bahwa mathematical aptitude sebagai predictor yang negative terhadap situational anxiety, tetapi mathematical aptitude merupakan predictor yang positif terhadap statistics achievement. • Situational anxiety berpengaruh negative terhadap individual’s attitude-motivation index namun selanjutnya memiliki pengaruh yang positif terhadap effort yang pada gilirannya menuju kepada achievement. • Kemudian hasil yang konsisten yaitu, course evaluation secara signifikan berkorelasi dengan semua pengukuran dari performance mis : assignments, quizzes, final grade. Sedangkan instructor evaluation tidak satupun berkorelasi secara signifikan terhadap semua pengukuran performance statistika. 3 Sorge dan Schau 2002 • Sekitar 55 variance dari achievement dipengaruhi oleh previous success terdiri dari 3 hal, yaitu : prestasi matematika di SMA, skor self-concept terhadap matematika, yang ketiga IP sebelumnya dan sisanya 45 variance dari achievement dipengaruhi oleh keempat komponen sikap value, cognitive competence, affect, difficulty. • Beberapa variabel dalam saturated structural model memengaruhi variabel lain melalui multiple path. Menguji bentuk dari pengaruh tersebut menghasilkan informasi yang penting dari semua model. Contohnya, pada komponen attitudes misalnya : difficulty memengaruhi value secara langsung seperti difficulty juga memngaruhi value secara tidak langsung melalui cognitive competence dan affect. Total efek yang dimiliki difficulty terhadap value merupakan jumlah dari dua efek yakni langsung dan tidak langsung. Difficulty berpengaruh langsung yang negative sebesar – .495 dan pengaruh tidak langsung yang positif sebesar .512, sehingga difficulty memiliki total efek terhadap value sebesar .017. yang mana angka tsb menunjukkan pengaruh yang bersih dari difficulty terhadap value. Namun total efek dapat diabaikan ketika pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung menunjukkan angka yang besar. • Dari hasil direct dan indirect effect terhadap achievement , maka yang memiliki pengaruh direct paling besar yaitu previous success sebesar .682 dan signifikan. Dan pengaruh secara tidak langsung tetap positif sebesar .118, sehingga menunjukkan hasil yang konsisten ketimbang variabel lain. 4 Fidia M. Nasser 2004 • Dari hasil penelitian Nasser ini didapatkan bahwa memiliki kemampuan matematika yang memadai dan sikap positif terhadap statistika maka akan meningkatkan prestasi dibidang statistika. Meskipun efek keduanya signifikan, namun efek dari kemampuan matematika yang memadai secara substantial lebih besar efeknya daripada variabel sikap dibidang statistika. • Hasil juga mengindikasikan bahwa motivasi yang kuat untuk sukses dan mathematics anxiety yang rendah maka akan memperkuat sikap yang positif terhadap statistika. • Variance total dari mathematical aptitude, mathematics anxiety, attitudes toward mathematics, attitudes toward statistics dan motivation secara bersamaan memengaruhi prestasi belajar statistika sebesar 36. Secara terpisah, mathematical aptitude memengaruhi sebesar 22 dari prestasi belajar statistika ; sedangkan variable kognitif dan afektif sebesar 14. • Kemudian Nasser mengatakan penting untuk dicatat bahwa kombinasi antara mathematical aptitude, mathematics anxiety, attitudes toward mathematics dan motivation memiliki varians sebesar 51 dalam sikap terhadap statistika. 5 Galli S, Ciancaleoni , Chiesi F, Primi C 2007 • Fokus terhadap latar belakang nilai matematika ketika SMA, maka ditemukan ada perbedaan yang signifikan antara mahasiswa yang lulus ujian statistika dan mahasiswa yang tidak lulus ujian statistika, dimana mahasiswa yang tidak gagal ujian statistika memiliki nilai prestasi matematika lebih tinggi M=6,92, SD=1,13 daripada mahasiswa yang gagal ujian statistika M=6,48; SD=1,25 ketika mereka SMA. Selanjutnya ada hubungan yang signifikan antara learning debts utang belajar pada matematika dengan kegagalan chi-square 1,n=311 = 13,96, p 0,01, mahasiswa yang memilki learning debts yang tinggi maka lebih memungkinkan gagal ketika ujian statistika. • Kemudian masih pada aspek kompetensi bidang matematika, bahwasannya mahasiswa yang tidak gagal ujian statistika memiliki kompetensi matematika yang lebih tinggi M=23,71; SD=4,6 dibandingkan dengan kompetensi matematika mahasiswa yang gagal ujian M=20,48; SD=5,9, perbedaanya secara statistic juga signifikant 323 = 5,39, p0,01. • Kemudian pada aspek sikap, ditemukan bahwa ada perbedaan sikap yang signifikan t 350 = 2,96, p0.01 antara sikap mahasiswa yang tidak gagal ujian statistika dimana sikap mereka lebih positif M=117,40; SD=17,24 dengan sikap mahasiswa yang gagal ujian statistika M=111,83; SD=16,35. Hasil yang sama juga ditemukan pada saat pengukuran di akhir perkuliahan yang juga signifikan secara statistic t 256 = 5,41, p0,01. • Selanjutnya tentang kecemasan terhadap statistika, yang juga berbeda signifikan secara statistic, t 248 = -5,48, p0,01, mahasiswa yang tidak gagal ujian statistika memiliki skor kecemasan statistika yang rendah M=109,15; SD=24,25 sedangkan mahasiswa yang gagal ujian memiliki skor kecemasan statistika yang lebih tinggi M=126,32; SD=15,41. • Terakhir, menguji beda pada performance atau prestasi belajar dibidang statistika. Hasil yang ditemukan berbeda signfikan secara statistic t 440 = 8,96, p 0,01, dimana mahasiswa yang lulus statistika pertama kali memiliki nilai statistika yang lebih tinggi M=24,43; SD=4,06 dibandingkan dengan mahasiswa yang harus mengulang ujian agar lulus M=21,15; SD=2,97. 6 Candace Schau 2003 • Mahasiswa ketika berbicara tentang sikap terhadap Statistika lebih negative ketimbang ketika mereka merespon SATS. • Mahasiswa mengatribusikan sikap berkaitan dengan prestasi mereka sebelumnya dan terkait dengan instructor juga. • Secara rata-rata, sikap cognitive competence dan value terhadap statistika mendapatkan nilai yang paling tinggi dan positif, sedangkan affect mendapatkan skor yang netral, kemudian difficulty agak negative. Perbedaan mean pada empat aspek sikap ini besar. • Pada class section berbeda sangat besar pada mean diawal perkuliahan dengan mean diakhir perkuliahan. • Mahasiswa dan mahasiswi, begitupun juga keturunan kulit putih dan keturunan spanyol, memiliki skor pre-test yang sama. Namun, mahasiswa kulit putih memilki skor sikap yang lebih tinggi daripada mahasiswi keturunan spanyol pada beberapa komponen sikap. • Secara keseluruhan sikap mahasiswa berubah dari awal perkuliahan sampai akhir perkuliahan menjadi kecil dan negative. • Sikap mahasiswa dan prestasi terhadap statistic berkorelasi secara positif. 7 Fadia Nasser 2004 • Analisis yang digunakan menggunakan path analysis. • Meskipun memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motive to avoid failure, namun sikap terhadap matematika dan kecemasan matematika hanya memprediksi sekitar 10 dari variance motive to avoid failure. • Sikap terhadap matematika berkorelasi positif dengan sikap terhadap statistika .31, sedangkan motive to avoid failure berkorelasi negative dengan sikap terhadap statistika - .33. Sikap terhadap matematika dan motive to avoid failure memiliki pengaruh varian sebesar 37 pada sikap terhadap statistika. • Ketiga exogenous variable sikap terhadap matematika, kecemasan matematika, kemampuan matematika dan dua endogenous variable sikap terhadap statistika, motive to avoid failure secara signifikan berkorelasi dengan kecemasan statistika, dengan varians sebesar 67. Sedangkan korelasi negative terbesar terdapat pada korelasi antara kecemasan statistika dengan sikap terhadap statistika -.57. Korelasi positif terbesar terdapat pada sikap terhadap statistika dengan prestasi dibidang statistika .50. 8 Brian Evans 2007 • Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pre-test dan post-test tentang sikap dan konsep mahasiswa pada masing- masing departemen sosiologi,psikologi dan matematika F 1,228= 0,166 p=.684. sehingga mahasiswa menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti baik ketika awal perkuliahan maupun pada saat akhir perkuliahan. Sedangkan ketika dilakukan analisis uji F ketiganya untuk melihat apakah ada perbedaan, maka ditemukan secara statistic bahwa ada perbedaan signifkan antara ketiganya F 2,227, = 9,913 p=.000. kemudian dilakukan tukey test untuk menguji manakah yang paling berbeda signifkan terhadap sikap dan konseptual terhadap statistika, ternyata ditemukan bahwa mahasiswa sosiologi menunjukkan sikap yang lebih positif ketimbang mahasiswa psikologi dan matematika p = .000 , dan juga mahasiswa sosiologi menunjukkan konseptual yang lebih benar daripada mahasiswa matematika p=.002. • Selanjutnya yang kedua, menguji hubungan antara sikap positif terhadap statistika dengan keakuratan konsep tentang statistika baik sebelum maupun sesudah perkuliahan pre post. Dari hasil menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara keduanya pada pre-test r= .143; n=115; p= .127 . sedangkan pada post-test, meskipun signifikan secara statistic namun korelasi keduanya hanya menunjukkan tingkat korelasi yang rendah r= .197; n=115; p= .035. Namun ketika dilakukan analisis per departemen masing- masing untuk dibandingkan pre post-test, ternyata hanya departemen matematika saja yang menunjukkan ada korelasi yang signifikan baik pre post-test, dengan r = .451; n=30; p= .012 dan r = .431; n=30; p = 018. • Kemudian yang terakhir memprediksi prestasi belajar statistika, dimana prediktornya variabel sikap dan konsep tentang Statistika dengan menggunakan regresi linear. Dari analisis ini didapatkan korelasi yang signifikan hanya variabel antara sikap ketika awal dan akhir perkuliahan statistika terhadap nilai ujian statistika. r= .203,n = 115; R2 = .04 p = .03 dan r = .247; R2 = .06; n = 115; p = .008. persamaan regresi sederhana antara sikap awal perkuliahan dengan prestasi statistika yaitu, y’ = 76.045 + 4.324 x. dimana y adalah prestasi belajar, sedangkan x adalah skor sikap ketika awal perkuliahan. Untuk persamaan regresi sederhana antara sikap ketika akhir perkuliahan terhadap prestasi statistika yaitu, y’ = 75.526 + 4.574 x. dimana y adalah prestasi belajar statistika, x skor sikap ketika akhir perkuliahan. Namun meskipun persamaan ini signifikan, hanya menghasilkan R 2 yang kecil, sehingga menginterpretasikannya perlu kehati-hatian, atau dengan kata lain memprediksikan prestasi dibidang statistika tidak cukup dengan sikap diawal dan akhir perkuliahan statistika saja. Dari tabel yang telah dibuat peneliti bisa menyimpulkan beberapa hal, diantaranya yaitu : 1. Prestasi dibidang statistika di temukan berkorelasi positif dengan variabel mathematical aptitude Lalonde Gardner, 1993 ; Nasser, 2004 ; Galli, Ciancaleoni, Chiesi, Primi, 2007. Tetapi mathematical aptitude merupakan predictor yang negative terhadap statistics anxiety Lalonde Gardner, 1993. 2. Prestasi dibidang statistika juga berkaitan dengan prestasi matematika sewaktu SMA, self-concept terhadap matematika dan IP sebelumnya atau hal ini dikenal dengan previous success Sorge Schau, 2002 ; Galli, Ciancaleoni, Chiesi, Primi, 2007. Sebagai contoh, previous success bisa juga dikaitkan dengan prestasi dibidang statistika sebelumnya yaitu nilai statistika 1 menjadi predictor untuk nilai statistika 2 Nasser, 2004. Bahkan bisa juga nilai hasil kuis dan nilai mid-term yang dijadikan predictor bagi nilai akhir statistika Nasser, 2004 ; Galli, Ciancaleoni, Chiesi, Primi, 2007. 3. Kemudian variabel sikap attitudes pada beberapa penelitian Galli, Ciancaleoni, Chiesi, Primi, 2007 ; Schau, 2003 ; Nasser, 2004 menunjukkan hasil bahwa mahasiswa yang memiliki skor sikap yang positif terhadap statistika maka mendapatkan prestasi statistitka yang tinggi pula, artinya keduanya memiliki korelasi yang positif. Namun demikian, Pada penelitian Evans 2007 sikap terhadap statistika hanya memengaruhi prestasi belajar statistika sebesar 4 pada awal perkuliahan statistika, sedangkan 6 pada akhir perkuliahan Statistika. Dengan demikian sikap terhadap statistika memengaruhi prestasi belajar statistika relative kecil. 4. Prestasi belajar statistika masih menyisakan pola yang belum pasti jika dihubungkan dengan variabel statistics anxiety. Pada penelitian Lalonde dan Gardner 1993 statistics anxiety berpengaruh positif terhadap effort, hanya saja bersifat tidak langsung, ia harus melalui variabel sikap dan motivasi, yang selanjutnya effort tsb akan berpengaruh positif terhadap achievement. Selanjutnya pada penelitian Galli, Ciancaleoni, Chiesi, Primi, 2007, menunjukkan bahwa mahasiswa yang tidak gagal ujian statistika memiliki skor kecemasan statistika rendah dibandingkan dengan mahasiswa yang gagal ujian memiliki skor kecemasan statisstika yang lebih tinggi. Sedangkan pada peneltian Nasser 2004, statistics anxiety memiliki pengaruh yang positif dan signifikan, bahkan memengaruhi secara langsung terhadap prestasi dibidang statistika. 5. Selanjutnya dari hasil penelitian Onwuegbuzie 2004, disimpulkan bahwa statistics anxiety berpengaruh negative terhadap prestasi belajar statistika secara tidak langsung, namun statistics anxiety terlebih dahulu menyebabkan atau memengaruhi penundaan tugas-tugas akademik academic procrastination yang selanjutnya akan berkorelasi negative terhadap prestasi belajar. Artinya semakin tinggi mahasiswa menunda-nunda untuk melakukan tugas-tugas akademik dibidang statistika, maka semakin rendah prestasi belajar statistika-nya. 6. Terakhir, Nasser 2004 secara simultan menjadikan mathematical aptitude, mathematics anxiety, attitudes toward mathematics, attitudes toward statistics, dan motivation sebagai predictor terhadap prestasi belajar statistika, menghasilkan varians sebesar 36. Dalam analisis psikologi dengan varians sebesar ini, sudah cukup diasumsikan bahwa semua predictor tersebut memiliki pengaruh yang cukup berarti. Dari pembahasan hasil penelitian diatas, tampaklah bahwa cukup banyak variabel yang memengaruhi prestasi belajar statistika. Namun secara garis besar, peneliti membatasi ada dua variabel utama yang memengaruhi prestasi belajar statistika, yaitu variabel kognitif mis : inteligence dan variabel afektif mis : statistics anxiety ; attitudes toward statistics .

2.3 Pengukuran Prestasi Belajar Statistika

Pengukuran disini yang peneliti maksudkan adalah prosedur pemberian angka pengkuantifikasian terhadap atribut atau variabel sepanjang suatu kontinum Azwar, 1999. Namun secara lebih spesifik lagi bahwa pengukuran pada penelitian ini adalah dalam bidang prestasi belajar, dengan demikian prosedur pengkuantifikasian atau pengukuran tersebut selain bersifat kontinum yang dinyatakan dengan kuantitatif, dan juga haruslah dapat dibandingkan antara hasil ukur tsb dengan suatu penormaannya atau hasilnya dinyatakan secara evaluative peneliti adaptasi dari karakteristik evaluasi dalam “Dasar-dasar Psikometri, Azwar, 1999. Kontinum disini maksudnya adalah bervariasi menurut besarannya magnitude Umar, 2010, sedangkan evaluative yang dimaksud adalah hasil angka tersebut dapat diinterpretasikan sesuai dengan norma atau criteria yang telah dibuat. Pengertian norma adalah harga rata-rata bagi suatu kelompok subjek Azwar, 1999. Misal, skor tes prestasi belajar seorang mahasiswa dari rentangan nilai 0 – 100, ia mendapatkan nilai 86 kontinum, dengan skor tersebut, dapat diinterpretasikan berdasarkan nilai tengah yaitu 50, ia dinyatakan diatas rata-rata, kemudian jika disyaratkan untuk ujian kenaikan tingkat adalah nilai yang diatas rata-rata, maka dengan nilai tsb mahasiswa dinyatakan lulus dan dapat mengikuti tingkat selanjutnya Umar, 2010. Oleh karenanya seluruh penelitian pengukuran prestasi belajar dibidang statistika menggunakan bilangan kontinum seperti, hasil ujian akhir Statistika final examination, ada juga yang menggunakan hasil kuis dan hasil ujian tengah semester mid-term examination, namun ada juga yang mengukur prestasi belajar statistika dengan tes lisan. Berikut peneliti berikan pengukuran prestasi belajar pada beberapa penelitian terdahulu : 1. Lalonde dan Gardner 2003 mengukur prestasi belajar dengan tiga pengukuran, yaitu dua kali 2 ujian tertulis seperti biasa dan dengan kuis. 2. Nasser 2004 ia mengukur prestasi belajar dengan menggunakan tiga komponen, yaitu : skor pada kuis, skor uts mid-term, dan terakhir ujian akhir UAS final exam. 3. Galli, Ciancaleoni, Chiesi, Primi 2007, menggunakan pengukuran yang agak berbeda yaitu dengan tes tertulis dimana didalamnya ada tiga pertanyaan pemecahan masalah tidak dicontohkan oleh mereka beserta enam pertanyaan terbuka dan tertutup tentang konsep statistika; dan juga menggunakan verbal test seperti tanya jawab lisan keduanya dijadikan nilai akhir prestasi belajar statistika. 4. Schau 2003 justru lebih simple pengukuran yang digunakannya, yaitu untuk prestasi statistika, dalam instrument sampel diminta untuk menuliskan nilai akhir grade final pada mata kuliah statistika sebelumnya, sedangkan prestasi secara umum ia menggunakan IP GPA. 5. Sedangkan Nasser 2004, mengukur prestasi belajar statistika dengan menggunakan skor harapan dan skor actual dari ujian akhir statistika. Namun tidak diketahui maksud skor harapan disitu apakah skor dari prediksi berdasarkan regresi atau skor harapan yang diinginkan oleh mahasiswa. 6. Evans 2007 mengukur prestasi belajar statistika dengan total nilai akhir statistika, rentangan skala mulai dari 0 – 100. Meskipun penelitian ini pada sampel yang berbeda, namun telah ditetapkan bahwa nilai tsb didapatkan dari hasil tes tertulis. Dari sini terlihat bahwa meskipun instrument pengukuran prestasi belajar berbeda-beda, tidak ada satupun pendekatan tunggal yang digunakan untuk alat ukur prestasi belajar statistika, namun secara skala pengukuran, bahwa alat ukur tersebut sama yaitu menggunakan skala kontinum. Sehingga menurut hemat peneliti tidak perlu lagi untuk menyusun secara baku alat ukur prestasi belajar statistika sebab tentu alat ukur tersebut dibuat sesuai dengan materi perkuliahan statistika yang diberikan, namun sejauh pengukuran tersebut menggunakan skala kontinum maka dapat diterima. Untuk lebih lengkap tentang instrument pengukuran prestasi belajar statistika, maka akan peneliti paparkan di Bab 3 pada sub-bab instrument pengumpulan data. 2.4 Hipotesis Penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat pengaruh independent variable yang diketahui terhadap dependent variable. Dalam penelitian ini dependent variable yaitu prestasi belajar statistika 1 dan 2, sedangkan variabel yang di teorikan peneliti sebagai Independent Variable berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya tentang prestasi belajar statistika, yaitu sikap terhadap statistika, kecemasan terhadap statistika, motivasi belajar statistika, kebutuhan untuk berprestasi, self efficacy terhadap statistika, intelegensi dan prestasi belajar statistika 1. Bunyi hipotesis utamanya yaitu : “ada pengaruh yang signifikan dari faktor psikologis seperti sikap terhadap statistika, self efficacy terhadap statistika, kecemasan terhadap statistika, motivasi belajar statistika, intelegensi dan kebutuhan berprestasi terhadap prestasi belajar Statistika 1 dan 2”. Selanjutnya hipotesis minor penelitian ini yaitu : • Sikap terhadap statistika berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 1. • Self efficacy terhadap statistika berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 1. • Kecemasan terhadap statistika berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 1. • Motivasi belajar statistika berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 1. • Intelegensi berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 1. • Kebutuhan berprestasi berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 1. Selanjutnya pada analisis statistic yang kedua bunyi hipotesis minor juga sama seperti diatas, hanya saja hipotesis minor penelitian bertambah satu yaitu : • Prestasi belajar statistika 1 berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 2. Kemudian dikarenakan adanya analisis statistik, maka hipotesis utama tersebut dibalik menjadi hipotesis nihil, yang berbunyi bahwa “tidak ada pengaruh yang signifikan dari faktor psikologis yaitu sikap terhadap statistika, self efficacy terhadap statistika, kecemasan terhadap statistika, motivasi belajar statistika, intelegensi dan kebutuhan berprestasi terhadap prestasi belajar Statistika 1 dan 2”. Adapun hipotesis nihil minor penelitian yaitu : • Sikap terhadap statistika tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 1. • Self efficacy terhadap statistika tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 1. • Kecemasan terhadap statistika tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 1. • Motivasi belajar statistika tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 1. • Intelegensi berpengaruh tidak signifikan terhadap prestasi belajar statistika 1. • Kebutuhan berprestasi tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 1. Pada analisis yang kedua, hipotesis nihil penelitian bertambah satu mengikuti ditambahnya pula satu independen variabel yaitu : • Prestasi belajar statistika 1 tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar statistika 2. Dengan demikian semua hipotesis nihil inilah yang akan diujikan pada analisis statistik penelitian. Jika digambarkan dengan model, maka hipotesis utama dan kerangka berpikir akan tampak seperti : Gambar 2.1 kerangka berpikir Sikap Statistika Kecemasan Statistika Prestasi belajar Statistika 1 Motivasi Statistika Prestasi belajar Statistika 2 Kebutuhan Berprestasi Self Efficacy Intelegensi Keterangan : Kotak yang memiliki arah panah menuju kotak tersebut sebagai dependen variabel, sedangkan kotak yang tidak ada arah panah menuju kotak tersebut sebagai independen variabel. Namun prestasi belajar statistika 1 juga menjadi independen variabel untuk prestasi belajar statistika 2.

BAB 3 METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dipaparkan tentang Populasi dan Sampel, Variabel Penelitian, Definisi Operasional, Instrumen Pengumpulan data, Prosedur Pengumpulan Data, dan Metode Analisis Data.

3.1. Populasi Sampel

Populasi pada penelitian ini yaitu Mahasiswai Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun akademik 20092010 yang berjumlah kurang lebih 208 mahasiswa. Seluruh anggota populasi tersebut peneliti jadikan sampel seluruhnya, dikarenakan pertimbangan jumlah anggota populasi yang tidak terlalu banyak.

3.2 Variabel Penelitian

Adapun variabel penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu : 1. Prestasi Belajar Statistika 1 2 2. Sikap terhadap Statistika Attitudes Toward Statistics 3. Kecemasan terhadap Statistika Statistics Anxiety 4. Motivasi Belajar Statistika 5. Kebutuhan untuk Berprestasi Need for Achievement 6. Self efficacy terhadap Statistika 7. Intelegensi IQ Dependent variabel outcome variable dalam penelitian ini adalah prestasi belajar statistika 1 2, sedangkan variabel lainnya merupakan variabel independen