PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS SELAKU PEJABAT UMUM YANG

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS SELAKU PEJABAT UMUM YANG

TERLIBAT DALAM PERKARA PIDANA Sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat 1 Amandemen Undang- Undang Dasar 1945 yaitu : “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ini artinya bahwa hukum diberlakukan dengan tidak memandang orangnya. Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dipertimbangan pada huruf a menerangkan : “Bahwa Negara Republik Indonesia ialah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya denga tiada kecualinya”. Dengan perkataan lain bahwa semua warga Negara tanpa kecuali wajib menjunjung hukum dan menjunjung pemerintahan. Tidak terkecuali aparat Universitas Sumatera Utara pemerintah, Polisi, Jaksa, Hakim, maupun Notaris-PPAT. Pasal 3 ayat 2 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan : “Setiap warga berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”. Menjunjung hukum dapat diartikan dengan mematuhi hukum. Terhadap warga Negara yang tidak mematuhi hukum tersebut “melakukan pelanggaran hukum”. Dalam realita sehari-hari, adanya warga Negara yang tidak menjunjung hukum maka terhadap warga Negara tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran hukum. 102 Namun demikian adanya anggapan bahwa seseorang itu telah melakukan perbuatan melanggar hukum, tidak tepat jika orang tersebut secara cermat dan teliti belum diketahui tentang kebenaran anggapan tersebut karena adanya asas praduga tidak besalah “presumption of innosence 103 ”. Bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah dalam putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap, dan berlaku bagi setiap orang tanpa ada pengecualian. Termasuk aparat penegak hukum yang melakukan penyidikan, haruslah 102 Artsianto Daramawan, Reserse Kriminal Polda SUMUT., Wawancara, Op.Cit 103 Praduga Tak Bersalah atau Presumption of Innocence adalah asas di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah. Asas ini sangat penting pada demokrasi modern dengan banyak negara memasukannya kedalam konstitusinya. id.wikipedia.org, tanggal 13 Januari 2010 Universitas Sumatera Utara menghormati asas tersebut, sehingga dalam pembuktian yang dilakukan seseorang harus berdasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku. Asas legalitas yang dirumuskan dalam bahasa latin Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali 104 , seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana “tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”, atau dengan perkataan lain “peristiwa pidana tidak akan ada jika ketentuan pidana dalam Undang-undang tidak ada terlebih dahulu”. Roeslan Saleh berpendapat, bahwa asas legalitas itu merupakan dasar yang pokok tentang perbuatan pidana, karena tanpa adanya ketentuan hukum pidana lebih dahulu mengenai apa yang dilarang dan apa yang diperintahkan untuk dilakukan maka tidaklah diketahui adanya perbuatan pidana. 105 104 Nullum crimen, nulla poena sine praevia Lege poenali Latin, lit. Tidak ada kejahatan, tidak ada hukuman tanpa hukum pidana sebelumnya adalah sebuah dasar pepatah di Eropa kontinental pemikiran hukum. Ditulis oleh Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach, sebagai bagian dari Bavarian KUHP tahun 1813. Pepatah menyatakan bahwa tidak ada kejahatan yang dilakukan, dan tidak ada hukuman dijatuhkan, tanpa melanggar hukum pidana sebagaimana yang ada pada waktu itu. Konsekuensi lain dari prinsip ini adalah bahwa hanya orang-orang hukuman yang sudah ditetapkan untuk pelanggaran dalam waktu ketika perbuatan tersebut dilakukan dapat dipaksakan. Jadi, bukan hanya keberadaan kejahatan yang tergantung di sana sebelumnya menyatakan ketentuan hukum itu menjadi pelanggaran pidana nullum crimen sine praevia Lege, tetapi juga, untuk hukuman tertentu yang akan dikenakan dalam kasus tertentu, juga diperlukan bahwa undang-undang pidana yang berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan peringkat hukuman yang akan dijatuhkan sebagai salah satu kemungkinan sanksi kepada bahwa kejahatan nulla poena sine praevia Lege. en.wikipedia.org, tanggal 13 Januari 2010 105 Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung, 1987, Hal. 54 Universitas Sumatera Utara Bahwa sesuatu peristiwa tidak dapat dikenai hukuman atas kekuatan hukum kebiasaan. Jadi hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas sesuatu peristiwa yang dengan tidak tegas disebut dan tidak diuraikan dalam Undang-undang. Pasal 263 KUHPidana “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian kewajiban atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, …” 106 Dengan unsur-unsurnya sebagai berikut: 1. Adanya “surat”, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis dengan mesin tik. 2. Surat yang dipalsukan itu harus dapat menerbitkan hak, dapat menerbitkan suatu perjanjian, dapat menerbitkan pembebasan utang, dan yang menerangkan suatu peristiwa. 3. Saat memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau suruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli. 4. Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian, baik materil maupun kerugian dalam masyarakat. 106 R. Susilo,. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Op. Cit. Universitas Sumatera Utara Hal-hal yang berkaitan dengan pemalsuan diatur dalam pasal 263 KUHP R. Soesilo, KUHP serta Komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Politeia, Bogor. Dari ketentuan tersebut, timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan surat dan apakah yang dimaksud dengan memalsukan. R. Soesilo menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan surat adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis dengan mesin tik dan lainnya. surat yang dimaksud adalah harus surat : a. Dapat memberikan suatu hak b. Dapat menerbitkan suatu perjanjian c. Dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang d. Suatu surat yang boleh digunakan sebagai suatu keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa. Dalam ketentuan ini jelas yang dilarang adalah MEMBUAT SURAT PALSU ATAU MEMALSUKAN SURAT Selanjutnya adalah, yang dimaksud dengan MEMBUAT SURAT PALSU atau MEMALSUKAN SURAT. R. Soesilo memberi penjelasan bahwa yang dimaksud dengan membuat surat palsu adalah membuat sesuatu surat yang isinya bukan semestinya tidak benar, atau membuat surat yang sedemikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Menurut R. Soesilo proses verbal yang Universitas Sumatera Utara dilakukan oleh polisi berisi suatu cerita yang tidak benar dari orang yang menerangkan kepadanya, tidak masuk proses verbal palsu. Ia membuat proses verbal palsu apabilah polisi menulis hal yang lain dari yang diceritakan kepadanya. sedangkan yang dimaksud dengan memalsu surat berarti mengubah sedemikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain daripada yang asli. adapun caranya adalah bermacam-macam, tidak senantiasa perlu bahwa surat itu diganti dengan yang lain. Dapat pula dilakukan dengan cara MENGURANGKAN, MENAMBAH, atau MERUBAH sesuatu dari surat itu. Tidak dipidana karena suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik. Ini berarti bahwa dipidana kalau perbuatan itu tercantum dalam rumusan delik. Seperti halnya hukum kebiasaan yang dikenal dalam Hukum Adat, yang hanya berlaku terhadap masyarakat adat dan orang-orang yang berada dalam masyarakat adat itu sendiri atau telah terjadi pergeseran budaya dan perkembangan zaman. Peristiwa hukum tersebut dapat disebut juga sebagai pengeculian dari asas legalitas, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana “Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”, maksudnya apabila perkara pidana dilakukan sebelum ketentuan pidana yang mengenai perkara pidana itu diubah, sehingga terdapat dua ketentuan pidana Universitas Sumatera Utara terhadap perkara pidana tersebut, maka hakim akan menggunakan ketentuan pidana mana yang lebih menguntungkan terdakwa, apakah yang lama ataukah yang baru. Pasal 332 ayat 1 sub 1 KUHPidana “Dihukum, barangsiapa melarikan perempuan yang belum dewasa tidak dengan kemauan orang tuanya atau walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan nikah, maupun tidak dengan nikah”. 107 Pasal 332 ayat 1 sub 2 KUHPidana “Dihukum, barangsiapa melarikan perempuan dengan tipu, kekerasan atau ancaman dengan kekerasan dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan nikah, maupun tidak dengan nikah”. 108 Ketentuan dalam Pasal 332 KUHPidana tersebut tegas menyebutkan bahwa sesorang dapat dipidana karena membawa lari anak perempuan baik telah dewasa maupun belum dewasa. Dan hal ini tidak berlaku dalam perkawinan tanpa pinangan atau dikenal dengan “Kawin Lari”, yang dikenal dalam hukum Adat, khususnya Adat pesisiranpepinggiran dan daerah Lampung, dimana dalam hukum adat tersebut si 107 R. Susilo,. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Ibid 108 R. Susilo,. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Ibid Universitas Sumatera Utara perempuan yang datang ketempat laki-laki untuk diminta dinikahi ToeLoop Huwelijk 109 . Pasal 283 ayat 1 KUHPidana “Dihukum, barangsiapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan ditangan atau mempertunjukkan kepada orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya bahwa orang itu belum cukup umurnya 17 tahun sesuatu tulisan, sesuatu gambar atau sesuatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan, atau sesuatu cara yang dipergunakan untuk mencegah atau mengganggu hamil…” 110 Pasal 534 KUHPidana ”Dihukum, barangsiapa dengan terang-terangan melakukan sesuatu ikhtiar untuk mencegah hamil, atau dengan terang-terangan atau dengan tidak diminta menawarkan ikhtiar demikian atau pertolongan pekerjaan untuk mencegah hamil itu, …” 111 Pasal 535 KUHPidana “Dihukum, barangsiapa dengan terang-terangan mempertunjukkan ikhtiar untuk menggugurkan hamil, …” 112 Pasal 283 Jo. Pasal 534 dan 535 KUHPidana telah nyata-nyata menyebutkan melarang mempertontonkan alat untuk mencegah atau mengganggu kehamilan. Tapi dalam kenyataannya yang telah mengikuti perkembangan zaman dan kebijakan pemerintah yang menggalakkan program Keluarga Berencana KB serta demi 109 perempuan lari ketempat sang pemuda untuk kawin lari karena sang pemuda tidak berani datang ke kampung si gadis sebab ketatnya penjagaan juga disebabkan orangtua sang gadis tak mau menerima pemuda tersebut menjadi menantunya ataupun karena jujur terlalu tinggi. Atau mungkin saja kehormatan perempuan telah tercemar. www.kamushukum.com , tanggal 13 Januari 2010 110 R. Susilo,. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Op. Cit. 111 R. Susilo,. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Ibid 112 R. Susilo,. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Ibid Universitas Sumatera Utara mencegah penularan HIV AIDS, alat-alat kontrasepsi dipertontonkan di mana-mana, bahkan grup band Slank ada menyelipkan kondom di CD-CD mereka. 113 Pasal 295 sub 2 KUHPidana “Dihukum, barangsiapa yang dengan sengaja, …menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya bahwa ia belum dewasa. 114 Seorang terdakwa lepas dari segala tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 sub 2 KUHPidana sebagaimana ternyata dalam Keputusan Hoge Raad tanggal 03 Desember tahun 1906 Wet No. 8468 yang memuat yakni “Dalam bulan Desember 1904 seorang mucikari memberi kepada seorang wanita yang berumur 22 tahun kesempatan untuk menjalankan pelacuran di rumahnya dimana disediakan suatu kamar dengan satu tempat tidur dimana wanita pelacur itu dapat mengasingkan diri dengan seorang lelaki. Ia dituntut berdasar Pasal 295 sub 2 KUHPidana karena pada tahun 1904 batas umur dewasa adalah 23 tahun, sebagaimana termaktub dalam Pasal 330 KUHPerdata. Dalam tahun 1905 perkara itu masih dalam proses sidang di Pengadilan, Pasal 330 KUHPerdata mendapat perubahan, dimana yang menjadi batas umur dewasa diturunkan menjadi 21 tahun. Dengan dimikian menurut redaksi baru Pasal 330 KUHPerdata, maka pasal 295 sub 2 digunakan sebagai dasar penuntutan atas peristiwa pidana tersebut, dan terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan. 115 113 Yopi Mariadi, Advocat Yopi Friends, Wawancara, tanggal 09 Januari 2010 114 R. Susilo,. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Op. Cit 115 Berlin Nainggolan, Kuliah Hukum Pidana I, Tanggal Tahun 1999, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

A. Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana