Proses Penanganan Akhir Limbah Medis Padat

misalnya infeksi virus pada darah Pruss. A, 2005: 22. Sampah medis hendaknya diangkut sesering mungkin sesuai dengan kebutuhan Depkes RI, 2004.

5.2.6 Proses Penanganan Akhir Limbah Medis Padat

Apabila limbah di TPS sudah penuh, maka dilakukan penganganan akhir yaitu pemusnahan.

5.2.6.1 Puskesmas A

Pada saat survai awal penelitian pada bulan Oktober 2012, Puskesmas A masih memisahkan limbah medis dan non medis dengan pemisahan manual memiliki satu tempat sampah di tiap unit tanpa pemisahan sampah medis dan sampah non medis dan melakukan penanganan akhir tanpa menggunakan incinerator, padahal hal ini tidak sesuai dengan Kepmenkes Nomor 1428MenkesSKXII2006 tentang standar dan persyaratan kesehatan lingkungan puskesmas. Semenjak bulan Januari 2013, Puskesmas A sudah mulai menggunakan kembali incinerator, namun dilakukan setelah 6 bulan pengumpulan karena untuk alasan efisiensi bahan bakar.

5.2.6.2 Puskesmas B

Pada saat penanganan akhir limbah medis padat tidak dilakukan pemisahan, baik limbah medis dan non medis dibakar di tempat pembakaran yang sama pada saat yang sama, yaitu pada tanah seluas 4 m x 3 m dengan kedalaman 2 m. Sisa abu pembakaran ditanam kembali kedalam tanah.

5.2.6.3 Puskesmas C

Puskesmas C memisahkan limbah medis dan non medis, yaitu limbah medis dimusnahkan dengan cara dibakar di tempat pembakaran berupa tong dengan diameter 40 cm dan ketinggian 50 cm, sisa abu ditanam kedalam tanah galian. Untuk limbah non medis dingkut oleh DPU ke TPA.

5.2.6.4 Analisis Proses Penanganan Akhir Limbah Medis Padat di Puskesmas

Proses akhir penanganan akhir limbah medis baik di Puskesmas A, Puskesmas B dan Puskesmas C secara umum belum sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.1428MenkesSKXII2006 tentang standar dan persyaratan kesehatan lingkungan puskesmas, karena di Puskesmas B limbah medis padat dan non medis dimusnahkan dengan cara dan di tempat yang sama pada waktu yang sama. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1428MenkesSKXII2006, pengelolaan limbah padat dibedakan, di mana untuk limbah infeksius harus dimusnahkan dalam incinerator, sedangkan limbah non medis dapat dikubur, dibakar ataupun diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir TPA. Limbah medis yang dihasilkan oleh puskesmas memberikan dampak negatif terhadap makhluk hidup dan alam sekitarnya, karena pembuangan limbah medis yang dikumpulkan dan kemudian dibakar dengan incenerator atau pembakaran biasa. Limbah medis yang dibakar ditempat pembakaran sampah atau di dalam incenerator akan menyebabkan atau menimbulkan polusi udara. Asap dari pembakaran limbah medis tersebut dapat terhirup oleh pasien, keluarga pasien, dan petugas kesehatan yang bekerja di puskesmas atau oleh masyarakat yang bertempat tinggal disekitar puskesmas. Selain itu, limbah medis dibakar belum tentu langsung hancur, maka limbah tersebut akan tersisa dan terkumpul atau menumpuk dalam tanah yang menyebabkan tanah di sekitar incinerator atau puskesmas dapat terkena bahan kimia dari limbah medis tersebut misalnya tanah yang subur menjadi tandus, atau bau yang tidak sedap. Apalagi incinerator atau tempat pembakaran sampah dekat dengan dapur untuk memasak makanan untuk pasien atau rumah masyarakat sekitar puskesmas, tentu ini akan mengganggu. Di samping itu pembakaran yang dilakukan oleh Puskesmas A dan Puskesmas C baik dengan incinerator ataupun pembakaran biasa merupakan pembakaran yang tidak sempurna, karena limbah infeksius tidak musnah. Pembakaran yang tidak sempurna akan menghasilkan abu hasil pembakaran yang mempunyai kadar logam berat yang cukup tinggi karena abu tersebut mengandung unsur-unsur kimia dan logam sehingga tidak terjadi sublimasi. Berdasarkan uji laboratorium terhadap abu hasil pembakaran limbah medis menunjukkan tingginya kandungan logam berat dalam abu hasil pembakaran. Pada pembakaran yang menggunakan incinerator, kandungan gas NO2, CO2,SO2, CO2 dan Pb dalam udara ambien lebih dominan berasal dari pembakaran solar yang digunakan sebagai bahan bakar pengumpan dalam pembakaran limbah medis. Gas NO2 memiliki sifat beracun. Konsentrasi NO2 antara 50-100 ppm dapatmenyebabkan radang paru-paru, konsentrasi 150-200 ppm dapat menyebabkan pemampatan bronchioli bronchiolitis fbrosis obliterans sehingga bisa menyebabkan orang meninggal dalam waktu 3-5 minggu setelah pemaparan Aris, 2008.

5.2.7 Kendala Proses Pengoprasian Incinerator