Pemeriksaan Senyawa Boraks Pada Bakso Secara Kualitatif

(1)

PEMERIKSAAN SENYAWA BORAKS PADA BAKSO

SECARA KUALITATIF

TUGAS AKHIR

OLEH:

HINDRI SYAHPUTRI

NIM 122410119

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “PEMERIKSAAN SENYAWA BORAKS PADA BAKSO SECARA KUALITATIF”. Tugas akhir ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya Analis Farmasi dan Makanan pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak antara lain:

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. sebagai Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. selaku Wakil Dekan I Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt. selaku Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan.

4. Ibu Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., Apt. selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir yang memberikan bimbingan dan pengarahan dengan penuh perhatian hingga Tugas Akhir ini selesai.

5. Ibu Hj. Ernawati, Apt. selaku Kepala Instalasi beserta pegawai dan staf yang telah memberikan bimbingan dalam melaksanakan PKL di Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Sumatera Utara.

6. Dosen dan Pegawai Fakultas Farmasi Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan yang mendukung kegiatan mahasiswa.


(4)

7. Sahabat-sahabat penulis yang selalu memberikan semangat, keceriaan, saling bertukar pikiran dan dukungan dalam suka maupun duka, khususnya kepada Sofyan Zuhri., SE, Rachma, Fanny, Selvy, Selly, Linda, Wilda, dan teman-teman Analis Farmasi Dan Makanan stambuk 2012 tanpa terkecuali, adik-adik stambuk 2013 dan 2014 yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih buat kebersamaan dan semangatnya selama ini, serta masukan dalam penyusunan tugas akhir ini.

Terakhir dan teristimewa, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda Zulkifli Hendri., SE. dan Ibunda Syamsiar yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang, cinta kasih serta selalu menyediakan kebutuhan penulis baik moril maupun materil sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi dari Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan Tugas Akhir ini dan demi peningkatan mutu penulisan Tugas Akhir di masa yang akan datang.

Akhir kata, penulis sangat berharap semoga Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang memerlukan. Amin.

Medan, Mei 2015 Penulis,

Hindri Syahputri 122410119


(5)

PEMERIKSAAN SENYAWA BORAKS PADA BAKSO SECARA KUALITATIF

ABSTRAK

Bahan tambahan pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi di tambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat dan bentuk pangan, seperti; pewarna, pengawet, penyedap rasa, pemanis, antioksidan, antikempal, dan pemutih. Boraks termasuk ke dalam daftar bahan pengawet yang dilarang penggunaannya untuk ditambahkan pada makanan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 dikarenakan bersifat karsinogenik. Bakso merupakan salah satu dari contoh makanan yang menggunakan boraks sebagai bahan pengawetnya. Pemeriksaan boraks pada bakso dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan dua metode yaitu reaksi kurkumin dan reaksi nyala api. Selanjutnya hasil dapat dilihat dari perubahan warna kertas kurkumin dari warna kuning menjadi merah kecoklatan dan ditandai dengan adanya nyala api yang berwarna hijau.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 2

1.1.1 Tujuan penelitian ... 2

1.1.2 Manfaat penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Bahan tambahan pangan (BTP) ... 4

2.1.1 Fungsi bahan tambahan pangan ... 5

2.2 Bahan pengawet ... 6

2.3 Boraks ... 9

2.3.1 Karakteristik boraks ... 9

2.3.2 Asam borat ... 10

2.3.3 Identifikasi boraks dan asam borat ... 10

2.3.4 Fungsi boraks dan asam borat ... 11

2.3.5 Penyalahgunaan boraks boraks ... 12

2.4 Bakso ... 14

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 18

3.1 Tempat ... 18


(7)

3.3 Alat ... 18

3.4 Bahan ... 19

3.5 Prosedur kerja ... 19

3.5.1 Reaksi kurkumin ... 19

3.5.2 Reaksi nyala api ... 20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Hasil ... 21

4.2 Pembahasan ... 21

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 24

5.1 Kesimpulan ... 24

5.2 Saran ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 25


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Bahan yang digunakan untuk pembuatan bakso ... 14 Tabel 4.1 Pemeriksaan senyawa boraks pada bakso secara kualitatif ... 21


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Struktur kimia boraks ... 9 Gambar 2.2 Bagan pembuatan bakso ... 15


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Larutan amoniak (NH4OH) 2N ... 27

Lampiran 2. Larutan asam borat (H3BO3) ... 28

Lampiran 3. Larutan asam klorida (HCl) 2N ... 29

Lampiran 4. Metanol ... 30

Lampiran 5. Larutan asam sulfat (H2SO4) pekat ... 31

Lampiran 6. Kristal boraks ... 32

Lampiran 7. Kertas kurkumin ... 33

Lampiran 8. Cawan porselen... 34

Lampiran 9. Sampel bakso ... 35

Lampiran 10. Tanur ... 36

Lampiran 11. Sampel yang telah diabukan ... 37

Lampiran 12. Hasil reaksi kurkumin ... 38

Lampiran 13. Hasil reaksi kurkumin setelah penambahan NH4OH 2N... 39

Lampiran 14. Hasil reaksi nyala api negatif... 40


(11)

PEMERIKSAAN SENYAWA BORAKS PADA BAKSO SECARA KUALITATIF

ABSTRAK

Bahan tambahan pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi di tambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat dan bentuk pangan, seperti; pewarna, pengawet, penyedap rasa, pemanis, antioksidan, antikempal, dan pemutih. Boraks termasuk ke dalam daftar bahan pengawet yang dilarang penggunaannya untuk ditambahkan pada makanan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 dikarenakan bersifat karsinogenik. Bakso merupakan salah satu dari contoh makanan yang menggunakan boraks sebagai bahan pengawetnya. Pemeriksaan boraks pada bakso dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan dua metode yaitu reaksi kurkumin dan reaksi nyala api. Selanjutnya hasil dapat dilihat dari perubahan warna kertas kurkumin dari warna kuning menjadi merah kecoklatan dan ditandai dengan adanya nyala api yang berwarna hijau.


(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar belakang

Makanan dan minuman yang tidak sehat sangat merugikan kesehatan, karena manusia dapat terinfeksi atau sakit bahkan keracunan dengan gejala antara lain mual, sakit perut, muntah, diare bahkan dapat menyebabkan kejang dan berakibat fatal bila tidak segera mendapatkan pertolongan. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP), seperti bahan pengawet kimia yang diperbolehkan dengan mematuhi persyaratan ambang batas, dan bahan pengawet yang tidak diperbolehkan bahkan sangat dilarang penggunaannya sebagai bahan tambahan pangan telah dicantumkan pada peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Surianti, 2008).

Dalam makanan sehari-hari bahan pengawet sering ditambahkan pada pembuatan makanan jajanan. Kenyataan di lapangan masih sangat banyak produsen makanan yang menggunakan bahan pengawet yang dilarang sehingga dapat mengakibatkan keracunan dan merusak sistem organ tubuh seperti; susunan syaraf pusat (SSP), ginjal, dan hati (Fadillah, 2006).

Boraks sering disalahgunakan oleh beberapa produsen dalam produksi berbagai jenis makanan seperti: kerupuk, mie, lontong (sebagai pengeras), ketupat (sebagai pengeras), tahu, bakso tahu, bakso (sebagai pengenyal dan pengawet), dan kecap (sebagai pengawet). Dosis paling fatal untuk dewasa adalah 15-20 gram dan untuk anak-anak 3-6 gram (Suhanda, 2012).


(13)

Boraks merupakan senyawa berbentuk kristal putih tidak berbau dan stabil pada suhu dan tekanan normal. Boraks atau natrium tetraborat (NaB4O7.10H2O)

jika larut dalam air akan membentuk asam borat (H3BO3). Di bidang farmasi,

boraks digunakan sebagai antimikroba dan bahan emulsi pada sediaan kosmetik seperti; krim dan salep (Depkes RI, 1995).

Tugas akhir yang berjudul “Pemeriksaan Senyawa Boraks pada Bakso secara Kualitatif” ini diangkat penulis untuk memberikan pengetahuan tentang bahaya boraks dan diharapkan untuk lebih berhati-hati dalam pemilihan makanan yang akan di konsumsi agar terhindar dari senyawa kimia yang membahayakan kesehatan.

Adapun pemeriksaan ini dilakukan penulis saat melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Balai Laboratorium Kesehatan Daerah (LabKesDa) kota Medan.

Pemeriksaan senyawa boraks pada bakso dilakukan secara Kualitatif dengan memakai 2 metode yaitu dengan reaksi kurkumin dan nyala api untuk memperkuat hasil pemeriksaan.

1.2Tujuan dan Manfaat 1.2.1 Tujuan penelitian

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya boraks pada sampel bakso yang diuji.


(14)

1.2.2 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan bermanfaat untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat agar terhindar dari makanan yang mengandung boraks yang merusak kesehatan.


(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan tambahan pangan (BTP)

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi di tambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat dan bentuk pangan, seperti; pewarna, pengawet, penyedap rasa, pemanis, antioksidan, antikempal, dan pemutih (Cahyadi, 2006).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1168/Menkes/PER/X/1999 pengertian bahan tambahan pangan (BTP) secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan. Penggunaan bahan tambahan pangan bertujuan agar dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan agar lebih menarik untuk dihidangkan (Cahyadi, 2006).

Dalam penggunaan bahan tambahan pangan, para produsen harus mematuhi Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 pasal 9, yakni setiap orang yang memproduksi makanan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun yang dinyatakan terlarang sebagai bahan tambahan pangan, dan wajib


(16)

menggunakan bahan tambahan pangan yang diizinkan (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 mencantumkan bahan tambahan pangan yang dilarang untuk ditambahkan di dalam makanan, seperti; formalin, natrium tetraborat (boraks), minyak nabati yang dibrominasi (brominanted vegetable oils), kloramfenikol (chlorampenicol), dan kalium klorat (pottasium chlorate) (Cahyadi, 2006).

2.1.1 Fungsi bahan tambahan pangan

Fungsi dasar bahan tambahan pangan yaitu;

- mengembangkan nilai gizi suatu makanan, biasanya untuk makanan diet dengan jumlah secukupnya. Di banyak negara, termasuk Amerika dan Inggris, nutrisi tertentu harus ditambahkan ke dalam makanan pokok berdasarkan peraturan masing-masing negara

- mengawetkan dan memproduksi makanan demi kesehatan kita dan mencegah penggunaan bumbu dengan masa singkat dan faktor harga, sangatlah penting makanan itu dibuat mampu menahan pengaruh racun dalam jangka waktu selama mungkin

- menolong produksi, fungsi ini memiliki peranan yang penting untuk menjamin bahwa makanan di proses seefisien mungkin dan juga dapat menjaga keadaan makanan selama penyimpanan

- memodifikasi pandangan konsumen, bahan tambahan ini mengubah cara kita memandang, mengecap, mencium, merasa dan bahkan mendengar


(17)

bunyi makanan yang kita makan (kerenyahan). Ada dua alasan utama mengapa menggunakan bahan tambahan ini, pertama karena ekonomi, misalnya makanan dengan bahan dan bentuk yang kurang bagus dapat dibuat lebih menarik dengan meniru produksi yang lebih berkualitas. Kedua, adalah karena permintaan publik, misalnya dalam masakan modern dimana bahan makanan dasar dimodifikasi (Norman, 2008).

2.2 Bahan pengawet

Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Biasanya bahan tambahan pangan ini ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur, misalnya pada produk olahan daging, dan buah-buahan (Cahyadi, 2008).

Zat pengawet terdiri dari senyawa anorganik dan organik dalam bentuk asam dan garamnya. Contoh zat pengawet anorganik yang masih sering digunakan adalah sulfit, nitrit dan nitrat, sedangkan zat pengawet organik yang sering digunakan sebagai pengawet adalah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, dan asam asetat. Zat pengawet organik lebih banyak digunakan dibandingkan pengawet anorganik karena bahan ini lebih mudah diperoleh (Cahyadi, 2008). Secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, Generally Recognized as Safe (GRAS) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun. Kedua, Acceptable Daily Intake (ADI), yang telah


(18)

ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen. Ketiga, zat pengawet yang tidak layak dikonsumsi karena tidak diizinkan penggunaannya pada makanan alias berbahaya seperti boraks dan formalin (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Bahan pengawet yang diperbolehkan untuk dikonsumsi mempunyai karateristik sebagai berikut;

1. tidak spesifik, artinya sifat antimikrobanya berspektrum luas 2. termasuk golongan bahan pengawet GRAS

3. ekonomis (murah dan mudah diperoleh) 4. tidak berpengaruh terhadap citarasa

5. tidak berkurang aktivitasnya selama penyimpanan 6. tidak menimbulkan strain (galur) yang resisten

7. pengawet yang bersifat mematikan (lethal/mikosidal) lebih efektif dibandingkan pengawet yang hanya menghambat pertumbuhan (non-lethal/mikostatik) (Nurwantoro dan Djarijah, 1997).

Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena setiap pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda (Cahyadi, 2008).

Pemakaian bahan pengawet akan menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya


(19)

maupun mikrobial yang nonpatogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan (Cahyadi, 2006).

Tanpa bahan tambahan pangan khususnya bahan pengawet, bahan yang tersedia di pasar atau di swalayan menjadi kurang menarik, tidak dapat dinikmati secara layak, dan tidak awet. Bahan pengawet yang ditambahkan umumnya sama dengan bahan pengawet pangan yang pada dasarnya sudah terdapat dalam bahan pangan, tetapi jumlahnya sangat kecil sehingga kemampuan mengawetkannya sangat rendah (Cahyadi, 2006).

Jumlah zat pengawet yang ditambahkan kedalam bahan pangan tidak berpengaruh pada pernyataan bahwa zat pengawet kimia telah ditambahkan dan standard identitasnya ditetapkan untuk produk bahan pangan tersebut. Bila penambahan zat pengawet kimia tidak terdaftar sebagai suatu bahan campuran yang ada, zat kimia tersebut tidak boleh ditambahkan pada bahan pangan yang dipasarkan (Norman, 2008).

Penggunaan bahan pengawet kimia pada bahan pangan bagi keuntungan konsumen dapat dibenarkan secara teknologis apabila bahan pengawet tersebut memenuhi persyaratan sebagai berikut;

1. menjaga kualitas gizi bahan pangan 2. meningkatkan stabilitas penyimpanan

3. menjadikan bahan pangan lebih menarik namun tidak mengarah kepada penipuan terhadap konsumen


(20)

Penambahan bahan pengawet kimia pada bahan pangan yang tidak memperhatikan kepentingan konsumen tidak diperkenankan pemakaiannya apabila; menutupi adanya teknik pengolahan yang salah, merugikan konsumen, dan menyebabkan pengurangan nilai gizi makanan (Norman, 2008).

2.3 Boraks

Boraks yang berasal dari bahasa Arab yaitu Bouraq merupakan kristal lunak yang mengandung mineral boron yang memiliki senyawa kimia yang kompleks. Senyawa ini dipercaya dapat memperbaiki tekstur makanan sehingga menghasilkan rupa yang bagus, misalnya bakso dan ketupat yang jika digigit akan terasa lebih kenyal, atau kerupuk yang bila digigit akan lebih rapuh dan renyah (Efendi, 2012).

Boraks yang dijual dipasaran biasanya berbentuk kristal putih seperti gula pasir. Di Jawa Barat, larutan boraks dikenal dengan dengan sebutan “bleng”. Hanya saja orang mendapatkannya dari sejenis tanah liat yang mengandung mineral boron yang kemudian disaring (Effendi, 2012).

2.3.1 Karakteristik boraks

Boraks mempunyai rumus bangun seperti yang tertera pada Gambar 2.1.


(21)

Boraks mempunyai rumus molekul Na2B4O7 yang setara dengan tidak

kurang 99,0% dan tidak lebih dari 105,0% Na2B4O7.10H2O. Larutan boraks

bersifat basa terhadap fenolftalein, mudah larut dalam air mendidih dan dalam gliserin, tidak larut dalam etanol (Depkes RI, 1984).

Boraks jika terlarut dalam air akan membentuk natrium hidroksida dan asam borat. Boraks berupa serbuk kristal putih, tidak berbau, rasa asin dan basa, mudah larut dalam air, dan tidak dapat larut dalam alkohol. Daya pengawet yang kuat dari boraks berasal dari kandungan asam borat didalamnya. Dengan demikian bahaya boraks identik dengan bahaya asam borat (Depkes RI, 1984).

2.3.2 Asam borat

Asam borat mempunyai rumus molekul H3BO3 yang setara dan tidak

kurang dari 99,5%. Asam borat berupa serbuk hablur putih atau sisik mengkilap tidak berwarna, kasar, tidak berbau, dan rasanya sedikit asam dan pahit kemudian manis. Asam borat larut dalam 20 bagian air dingin, 3 bagian air mendidih, 5 bagian gliserol pekat, dan 16 bagian etanol 95% (Depkes RI, 1984).

Kelarutan dalam air bertambah dengan penambahan asam klorida, asam sitrat atau asam tartrat. Mudah menguap dengan pemanasan dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu 1000oC yang secara perlahan berubah menjadi asam metaborat (HBO2) (Khamid, 1993).

2.3.3 Identifikasi boraks dan asam borat

Identifikasi boraks atau natrium tetraborat dan asam borat dapat dilakukan dengan membasahkan kertas kurkuma ke dalam larutan 5% yang telah diasamkan dengan asam klorida encer yang kemudian dikeringkan akan terjadi perubahan


(22)

warna pada kertas kurkuma menjadi warna merah kecoklatan. Jika dikeringkan warna coklat akan menjadi intensif dan jika dibasakan dengan amonia encer akan berubah menjadi hitam kehijauan (Depkes RI, 1984).

Boraks dan asam borat juga dapat diidentifikasi dengan reaksi nyala api, yaitu dengan memanaskan sejumlah zat di dalam cawan porselen hingga melebur, lalu ditambahkan asam sulfat pekat dan metanol pekat kemudian dibakar dengan api langsung, adanya boraks ditandai dengan nyala api yang berwana hijau.

2.3.4 Fungsi boraks dan asam borat

Boraks dan asam borat memiliki khasiat sebagai antiseptika, yaitu zat yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme. Boraks digunakan sebagai bahan pembersih, pengawet kayu dan antiseptik kayu. Di bidang farmasi, boraks digunakan sebagai antimikroba dan bahan emulsi pada sediaan kosmetik seperti; krim dan salep (Depkes RI, 1995).

Asam borat dapat dibuat dengan menambahkan asam sulfat atau asam klorida pada boraks. Asam borat bila dilarutkan dalam air dapat digunakan sebagai obat pencuci mata yang dikenal sebagai boorwater. Asam borat juga digunakan sebagai obat kumur, semprot hidung. Tetapi larutan ini tidak boleh diminum atau diusapkan pada bekas luka luas, karena bersifat racun jika terserap oleh tubuh (Winarno, 1994).

2.3.5 Penyalahgunaan boraks

Boraks bukan merupakan pengawet makanan, namun beberapa produsen makanan masih ada yang menggunakan boraks sebagai pengawet makanan.


(23)

Boraks sering disalahgunakan untuk mengawetkan berbagai makanan seperti bakso, mie basah, pisang molen, siomay, lontong, ketupat, dan pangsit. Selain bertujuan untuk mengawetkan, boraks juga dapat membuat tekstur makanan menjadi lebih kenyal dan memperbaiki penampilan makanan. Akan tetapi boraks telah dinyatakan sebagai bahan yang dilarang penggunaannya dalam makanan sesuai Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 karena sangat berbahaya bagi kesehatan (Effendi, 2012).

Dengan adanya boraks adonan dapat lebih liat dan elastis sehingga tetap menarik. Boraks banyak digunakan pada industri kecil atau industri rumah tangga. Kasus keracunan boraks terjadi karena absorpsi yang berlangsung dengan segera dari saluran pencernaan makanan, kulit yang terluka, lecet, atau terbakar yang mendapat pengobatan secara berulang-ulang dengan serbuk atau larutan asam borat. Selain itu, eksresi boraks yang lambat juga memperbesar terjadinya akumulasi akibat penggunaan berulang (Winarno, 1994).

Sering mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks secara terus menerus dalam jumlah banyak akan menyebabkan keracunan dan merusak sistem organ tubuh seperti; susunan syaraf pusat (SSP), ginjal, dan hati dan berujung pada kematian (Nasution, 2009).

Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis toksis. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan hal-hal berikut;

a. sakit perut sebelah atas, muntah dan mencret b. sakit kepala, gelisah


(24)

c. penyakit kulit berat

d. muka pucat dan kulit kebiruan

e. sesak nafas dan terganggunya sirkulasi darah f. hilangnya cairan dalam tubuh

g. degenerasi lemak hati dan ginjal

h. otot-otot muka dan anggota badan bergetar diikuti dengan kejang-kejang i. tidak bisa buang air kecil

j. tidak memiliki nafsu makan

k. kematian (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Gejala keracunan muncul antara 3-5 hari yaitu rasa mual, muntah, diare berlendir dan berdarah, kejang, bercak-bercak pada kulit/selaput lendir terkelupas dan kerusakan ginjal. Penggunaan boraks sering kali tidak disengaja karena tanpa diketahui terkandung di dalam bahan makanan seperti pijer atau bleng yang sering digunakan dalam pembuatan krupuk, bakso, mie basah, lontong, dan ketupat (Effendi, 2012).

Pada bayi dan anak- anak keracunan lebih mudah terjadi dibanding orang dewasa, dan kematian dapat terjadi setelah penggunaan topikal dari serbuk boraks untuk mengobati ruam. Keracunan dapat bersifat akut ataupun kronis dengan gejala yang utama adalah kulit mengelupas, demam, dan anuria (Winarno, 1994).

2.4 Bakso

Bakso adalah produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang digiling dengan bahan tambahan berupa garam dapur, tepung tapioka, dan bumbu


(25)

yang kemudian dibentuk bulat seperti kelereng dengan berat 25-30 gram per butir, dan selanjutnya direbus. Kualitas bakso bervariasi karena perbedaan bahan baku dan bahan tambahan pangan yang digunakan, proporsi daging dengan tepung, dan proses pembuatannya (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Bahan yang biasanya digunakan dalam pembuatan bakso dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Bahan yang digunakan pada pembuatan bakso

Bahan Persen (%) Jumlah (gram)

Daging 100 1000

Tepung tapioka 10 – 20 100 - 200

Sodium Tri Poli Phospat (STPP) 0,25 2,5

Garam 4 4,0

Merica bubuk 0,25 2,5

Bawang putih 1,5 15

Es 20-30 200 - 300

Proses pembuatan bakso ada beberapa tahapan, yaitu; 1. pemotongan daging

2. penggilingan

3. pencampuran bahan 4. pencetakan bakso 5. perebusan


(26)

Gambar 2.2 Bagan pembuatan bakso (Widayat, 2011).

Tahap pertama daging segar yang telah dipilih, dipotong-potong kecil untuk memudahkan proses penggilingan. Es dimasukkan pada waktu penggilingan untuk menjaga elastisitas daging. Daging yang sudah lumat kemudian dicampur dengan tapioka dan bumbu yang telah dihaluskan. Adonan tersebut kemudian dituang kedalam wadah dan dicetak berbentuk bulatan kecil. Bulatan-bulatan bakso yang telah terbentuk kemudian langsung direbus di dalam panci yang berisi air mendidih. Perebusan dilakukan sampai bakso matang yang ditandai dengan mengapungnya bakso ke permukaan. Bakso yang telah matang ditiriskan, setelah dingin bakso dapat dikemas atau dipasarkan (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Kualitas bakso yang disukai konsumen dilihat dari tekstur, warna, dan rasa. Tekstur yang biasanya disukai adalah yang halus, kompak, kenyal, dan empuk. Halus dimana permukaan irisannya rata, seragam, dan serat dagingnya tidak tampak. Kekenyalan bakso dapat ditentukan dengan melempar bakso ke permukaan meja dan lantai, dimana bakso yang kenyal akan memantul, sedangkan


(27)

keempukan diketahui saat menggigitnya, dimana bakso yang empuk akan mudan pecah (Effendi, 2012).

Bakso yang beredar dipasaran ada beberapa jenis antara lain bakso ikan, bakso ayam, dan bakso sapi. Selain itu dikenal juga bakso daging, bakso urat, dan bakso aci. Bakso daging dibuat dari daging yang sedikit mengandung urat, misalnya daging penutup, dengan penambahan tepung lebih sedikit dibandingkan berat daging yang digunakan (Effendi, 2012).

Bakso urat adalah bakso yang dibuat dari daging yang banyak mengandung jaringan ikat atau urat, misalnya daging iga. Penambahan tepung pada bakso urat lebih sedikit daripada jumlah daging yang digunakan. Bakso aci adalah bakso yang jumlah penambahan tepungnya lebih banyak dibandingkan dengan jumlah daging yang digunakan (Effendi, 2012).

Komponen daging yang terpenting dalam pembuatan bakso adalah protein. Protein daging berperan dalam pengikatan hancuran daging selama pemasakan dan pengemulsi lemak sehingga produk menjadi empuk, kompak, dan kenyal (Effendi, 2012).

Tekstur dan keempukan bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya. Penambahan air dingin atau es bertujuan agar suhu adonan selama penggilingan tetap rendah. Dalam adonan, air berfungsi untuk melarutkan garam dan menyebarkannya secara merata ke seluruh bagian daging, memudahkan ekstraksi protein dari daging dan membantu dalam pembentukan emulsi (Effendi, 2012).


(28)

Dalam penyajiannya, bakso umumnya disajikan panas-panas dengan kuah kaldu sapi bening, dicampur mi bihun, tauge, tahu, lalu ditaburi bawang goreng dan seledri. Bakso sangat populer dan dapat ditemukan di seluruh Indonesia; dari gerobak pedagang kaki lima hingga restoran. Berbagai jenis bakso sekarang banyak di tawarkan dalam bentuk makanan beku yang dijual di pasar swalayan dan mall-mall. Irisan bakso dapat juga dijadikan pelengkap jenis makanan lain seperti; mi goreng, nasi goreng, dan cap cai.

Bahan pengawet yang biasa digunakan pada pembuatan bakso adalah asam benzoat. Penambahan asam benzoat dilakukan dengan cara mencampurkannya ke dalam adonan bakso, sebanyak 0,1-0,5% dari berat adonan (Effendi, 2012).

Boraks sering digunakan oleh pengolah bakso dengan maksud menghasilkan produk yang kering (kesat dan tidak lengket). Tetapi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, boraks termasuk salah satu bahan kimia yang dilarang penggunaannya dalam produk pangan (Effendi, 2012).

Bakso yang mengandung boraks cenderung lebih kenyal, bila digigit akan kembali kebentuk semula. Ciri lain dari bakso yang menggunakan boraks adalah warnanya yang tampah lebih putih. Ini berbeda dengan bakso yang baik, yang biasanya berwarna abu-abu segar merata di semua bagian, baik di pinggir maupun tengah. Untuk bakso yang berwarna abu-abu tua, kemungkinan bakso tersebut dibuat dengan tambahan “obat bakso” yang berlebihan (Widyaningsih dan Martini, 2006).


(29)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat

Pemeriksaan senyawa boraks pada bakso secara kualitatif dilakukan di Balai Laboratorium Dinas Kesehatan Daerah Provinsi Sumatera Utara yang bertempat di Jl. Williem Iskandar Pasar V Barat I No.4 Medan-Estate.

3.2 Metode pengumpulan data

Data diperoleh dengan cara pemeriksaan langsung. Pemeriksaan dilakukan melalui pengamatan dari hasil visual adanya boraks pada sampel yang diperiksa di Balai Laboratorium Kesehatan Dinas Kesehatan Daerah Provinsi Sumatera Utara.

3.3 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam pemeriksaan senyawa boraks pada bakso secara kualitatif adalah:

- Api bunsen - Batang pengaduk - Cawan porselen - Pipet tetes - Pipet volume - Tabung reaksi - Tanur


(30)

3.4 Bahan

Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan senyawa boraks pada bakso secara kualitatif adalah:

- H2SO4 pekat

- HCl 2N

- Kertas kurkumin - Metanol

- NH4OH 2N

3.5 Prosedur kerja

-Ditimbang 50 gram sampel kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen

-Diabukan dengan menggunakan tanur (di dalam lemari asam) atau bakar di atas api langsung sampai menjadi abu

-Setelah menjadi abu, abu dibagi 2 dan dilakukan reaksi identifikasi

3.5.1 Reaksi kurkumin

- Sebagian abu dilarutkan di dalam HCl 2N

- Dimasukkan kertas kurkumin, bila boraks (+), akan terjadi perubahan warna pada kertas kurkumin dari kuning menjadi merah coklat


(31)

3.5.2 Reaksi nyala api

- Sebagian lagi dari abu yang ada di dalam cawan porselen ditambahkan 10 ml H2SO4 p lalu ditambahkan 1 ml metanol


(32)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

Pemeriksaan senyawa boraks pada bakso secara kualitatif pada 3 sampel yaitu bakso ayam tanpa merek, bakso ikan tanpa merek, bakso tahu tanpa merek, dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Pemeriksaan senyawa boraks pada bakso secara kualitatif

Keterangan :

( + ) = mengandung boraks ( _ ) = tidak mengandung boraks

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 sampel (bakso ayam tanpa merek, bakso ikan tanpa merek, bakso tahu tanpa merek), pada uji menggunakan reaksi kurkumin pada sampel yang telah diabukan yang kemudian dilarutkan dengan HCL 2N dan di celupkan kertas kurkumin menunjukkan reaksi identifikasi boraks yang negatif pada 2 sampel bakso yang diperiksa yaitu bakso ikan tanpa merek dan bakso tahu tanpa merek. Untuk sampel bakso ayam tanpa

No Sampel

Hasil pengamatan Reaksi kertas

kurkumin

Reaksi nyala api

1 Bakso Ayam Tanpa Merek + +

2 Bakso Ikan Tanpa Merek - -


(33)

merek menunjukkan hasil positif mengandung boraks karena terjadi perubahan warna pada kertas kurkumin dari kuning menjadi merah coklat.

Pemeriksaan boraks menggunakan metode reaksi nyala api dengan membakar sampel abu yang ada di dalam cawan porselin dan ditambahkan H2SO4

pekat dan metanol, tidak terdapat reaksi nyala hijau yang spesifik pada 2 sampel bakso yang diperiksa yaitu bakso ikan tanpa merek dan bakso tahu tanpa merek. Sedangkan untuk sampel bakso ayam tanpa merek menunjukkan hasil positif mengandung boraks karena adanya nyala api hijau yang spesifik saat sampel tersebut diperiksa.

Dari hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa 2 sampel bakso yang diperiksa (bakso ikan tanpa merek dan bakso tahu tanpa merek) tidak mengandung boraks dan aman dikonsumsi. Sedangkan sampel bakso ayam tanpa merek menunjukkan hasil positif pada reaksi kurkumin dan nyala api. Bakso ayam tanpa merek yang diperiksa tidak memenuhi persyaratan Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 yang melarang penggunaan bahan senyawa berbahaya salah satunya boraks untuk digunakan pada makanan. Dengan demikian sampel bakso ayam tanpa merek yang diperiksa harus ditarik peredarannya di masyarakat karena dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya (Cahyadi, 2006).

Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Karena kadar tertinggi tercapai pada saat ekskresi maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan dengan organ yang lain. Dosis tertinggi yaitu 10-20


(34)

gr/kg berat badan orang dewasa dan 5 gr/kg berat badan anak-anak akan menyebabkan keracunan bahkan kematian. Sedangkan dosis terendah yaitu dibawah 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan kurang dari 5 gr/kg berat badan anak-anak (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Kasus keracunan boraks terjadi karena absorpsi yang berlangsung dengan segera dari saluran pencernaan makanan, kulit yang terluka, lecet, atau terbakar yang mendapat pengobatan secara berulang-ulang dengan serbuk atau larutan asam borat. Selain itu, eksresi boraks yang lambat juga memperbesar terjadinya akumulasi akibat penggunaan berulang (Winarno, 1994).

Keracunan kronis dapat disebabkan oleh absorpsi dalam waktu lama. Akibat yang timbul diantaranya berat badan turun, muntah, diare, ruam kulit, dan anemia. Penggunaan boraks apabila dikonsumsi secara terus-menerus dapat mengganggu gerak pencernaan usus, kelainan pada susunan saraf, depresi dan kekacauan mental. Dalam jumlah dan dosis tertentu, boraks mengakibatkan degradasi mental, serta rusaknya saluran pencernaan, ginjal, hati dan kulit. Hal ini disebabkan boraks cepat diabsorbsi oleh saluran pernapasan dan pencernaan, kulit yang luka atau membran mukosa (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Pada bayi dan anak- anak keracunan lebih mudah terjadi dibanding orang dewasa, dan kematian dapat terjadi setelah penggunaan topical dari serbuk boraks untuk mengobati ruam. Keracunan dapat bersifat akut ataupun kronis dengan manifestasi yang utama adalah kulit mengelupas, demam, dan anuria (Winarno, 1994).


(35)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapatkan dari pemeriksaan senyawa boraks pada 3 sampel yang telah diuji (bakso ayam tanpa merek, bakso ikan tanpa merek, bakso tahu tanpa merek), sampel yang mengandung senyawa boraks adalah bakso ayam tanpa merek. Sedangkan untuk 2 sampel lainnya (bakso ikan tanpa merek, bakso tahu tanpa merek) tidak mengandung senyawa boraks.

5.2 Saran

Saran penulis untuk penelitian berikutnya, mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan senyawa boraks secara kualitatif pada sampel lain, seperti: mi basah, kecap dan tahu.


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi, W. (2006). Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara. Hal 4-7, 9-15.

Cahyadi, W. (2008). Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Edisi 2. Cetakan I. Jakarta: Bumi Aksara. Hal 6-12, 393.

Depkes RI., dan Dirjen POM. (1995). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. (1984). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal 49, 427.

Effendi, S. (2012). Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Cetakan II. Bandung: Penerbit Alfabeta. Hal 155-157, 160-162.

Fadillah. (2006). Identifikasi Kandungan Bahan Tambahan Makanan (BTM) Pada Makanan Jajanan Anak SDN Kompleks Kota Palopo Tahun 2006. Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin. Hal 83-89.

Khamid. (1993). Bahaya Boraks Bagi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Kompas. Hal 96-98.

Nasution, A. (2009). Analisa Kandungan Boraks pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Hal 66.

Nurwantoro., dan Djarijah A.S. (1997). Mikrobiologi Hewani-Nabati. Yogyakarta: Kanisius. Hal 73, 76, 88.

Norman, W.D. (2008). Teknologi Pengawetan Pangan. Edisi III. Penerjemah: Muchji Mulijohardjo. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hal 380, 382-383.

Saparinto, C., dan Hidayati, D. (2006). Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Hal 60-68.

Suhanda, R. (2012). Higiene Sanitasi Pengolahan dan Analisa Boraks pada Bubur Ayam yang Dijual di Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2012. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Hal 67-73.


(37)

Surianti. (2008). Studi Mutu Minuman Jajanan pada Anak Sekolah di SD Islam

Athirah Kota Makassar Tahun 2008. Skripsi. Makasar: Universitas

Hasanuddin. Hal 42-47.

Widayat, D. (2011). UJI KANDUNGAN BORAKS PADA BAKSO (Studi pada

Warung Bakso di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember). Skripsi.

Jember: Universitas Jember. Hal 17, 23.

Widyaningsih, T.D., dan Murtini, E.S. (2006). Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Jakarta: Trubus Agrisarana. Hal 34-35, 38-41. Winarno F.G., dan Rahayu T.S. (1994). Bahan Tamabahan Untuk Makanan dan

Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar. Hal 78-79.

Yuliarti, N. (2007). Awas Bahaya Dibalik Lezatnya Makanan. Yogyakarta: Penerbit Andi. Hal 31-33, 49-51.


(38)

LAMPIRAN


(39)

(40)

(41)

(42)

(43)

(44)

(45)

(46)

(47)

Lampiran 10. Tanur


(48)

Lampiran 11. Sampel yang telah diabukan


(49)

Lampiran 12. Hasil reaksi kurkumin

Keterangan:

Kuning = tidak terdapat boraks Merah bata = terdapat boraks


(50)

Lampiran 13. Hasil reaksi kurkumin setelah penambahan NH4OH 2N

Keterangan:

Kuning = tidak terdapat boraks Hijau kecoklatan = terdapat boraks


(51)

(52)

Lampiran 15. Hasil reaksi nyala api positif

Keterangan :


(1)

Lampiran 10. Tanur


(2)

Lampiran 11. Sampel yang telah diabukan


(3)

Lampiran 12. Hasil reaksi kurkumin

Keterangan:

Kuning = tidak terdapat boraks Merah bata = terdapat boraks


(4)

Lampiran 13. Hasil reaksi kurkumin setelah penambahan NH4OH 2N

Keterangan:

Kuning = tidak terdapat boraks Hijau kecoklatan = terdapat boraks


(5)

(6)

Lampiran 15. Hasil reaksi nyala api positif

Keterangan :