Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Dalam Larutan Sodium Hipoklorit 0,5% dan Glutaraldehid 2% Terhadap Jumlah Koloni Bakteri

(1)

PENGARUH PERENDAMAN CETAKAN ALGINAT

DALAM LARUTAN SODIUM HIPOKLORIT 0,5%

DAN GLUTARALDEHID 2% TERHADAP

JUMLAH KOLONI BAKTERI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

JASMIN KAUR A/P HARJENDER SINGH NIM : 110600163

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Prostodonsia

Tahun 2015

Jasmin Kaur A/P Harjender Singh

Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Dalam Larutan Sodium Hipoklorit 0,5% dan Glutaraldehid 2% Terhadap Jumlah Koloni Bakteri.

xii + 65 Halaman

Bahan cetak yang paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi untuk pencetakan adalah alginat. Namun bahan cetak alginat ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain mempunyai sifat imbibisi yaitu menyerap air dan juga mempunyai retensi mikroba lebih kuat dibanding bahan cetak lainnya karena terjadi penyerapan cairan rongga mulut saat dilakukan pencetakan. Faktor yang harus diperhatikan saat melakukan pencetakan gigi adalah kontrol dari penularan infeksi silang yang berasal dari hasil cetakan karena saliva, darah, debris dan pus dapat menempel pada hasil cetakan sehingga menjadi agen penyebab infeksi dan menjadi pencetus penularan penyakit antara dokter gigi, staf, perawat dan teknisi laboratorium. Menurut American Dental Association (ADA) dan International Dental Federation (IDF) hasil cetakan seharusnya dicuci terlebih dahulu dengan air mengalir dan kemudian dilakukan desinfektan untuk menghindari terjadinya kontaminasi sebelum dikirim ke laboratorium, sehingga peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh perendaman cetakan alginat dalam dua jenis larutan desinfektan yaitu sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% terhadap penurunan jumlah koloni bakteri. Kedua larutan tersebut mempunyai sifat antibakteri yang luas dimana sodium hipoklorit 0,5% mengandung senyawa toksik yaitu N-chloro dan glutaraldehid 2% mengandung senyawa gugus aldehid (COH), senyawa


(3)

yang terkandung dalam kedua larutan tersebut aktif dalam menurunkan jumlah koloni bakteri. Rancangan penelitian ini adalah eksperimental laboratoris dengan desain pre test and post test control group design. Penelitian ini dilakukan pada sampel hasil cetakan alginat yang diperoleh dari pasien edentulus sebagian pada rahang atas dengan total 30 sampel. Setiap sampel dilakukan pengujian sesuai kelompoknya masing-masing yaitu 15 sampel pada kelompok larutan sodium hipoklorit 0,5% dan 15 sampel pada kelompok larutan glutaraldehid 2% kemudian dianalisis dengan menggunakan uji t-independent untuk mengetahui perbedaan pengaruh perendaman cetakan alginat dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% terhadap penurunan jumlah koloni bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sodium hipoklorit 0,5% telah mengelimiasi 43,33% koloni bakteri dan glutaraldehid 2% telah mengeliminasi 46,74% koloni bakteri. Hasil uji t-independent menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0,05) perendaman cetakan alginat dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% selama 10 menit terhadap penurunan jumlah koloni bakteri.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perendaman cetakan alginat dalam larutan glutaraldehid 2% lebih efektif dari larutan sodium hipoklorit 0,5% terhadap penurunan jumlah koloni bakteri pada cetakan alginat, walaupun perbedaannya tidak signifikan (p>0,05).


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 3 Juni 2015

Pembimbing Tanda tangan

Eddy Dahar, drg., M.Kes ...


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal 3 Juni 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Syafrinani, drg., Sp.Pros (K)

ANGGOTA : 1. Eddy Dahar, drg., M.Kes

2. M. Zulkarnain, drg., M.Kes


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, yaitu Ayahanda (Harjender Singh) dan Ibunda (Ranjit Kaur) yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang yang tidak terbalas, doa, nasehat, semangat, dan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada abang penulis Vikram Singh, Manpreet Singh, kakak penulis dr. Harbinder Kaur dan kedua adik penulis Nirmal Singh dan Karen Kaur yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, serta saran dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Eddy Dahar, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, saran, nasehat, dorongan, serta meluangkan waktu, tenaga, pemikiran dan kesabaran kepada penulis selama penelitian dan penulisan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Prof. H. Nazruddin, drg., Ph.D., C.Ort, Sp.Ort selaku dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Haslinda Z. Tamin, drg., M.Kes, Sp.Pros (K) selaku koordinator skripsi Departemen Prostodonsia yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Syafrinani, drg., Sp.Pros (K) selaku Ketua Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan selaku ketua tim penguji


(7)

skripsi yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ricca Chairunnisa, drg., Sp.Pros dan M. Zulkarnain, drg., M.Kes sebagai anggota tim penguji yang telah banyak membantu serta memberikan saran dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Putri Welda Utami Ritonga, drg., MDSc selaku penasehat akademik yang telah memberikan saran dan motivasi selama masa pendidikan maupun selama penulisan skripsi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar serta pegawai Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara atas motivasi dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini hingga selesai.

8. Dra, Nunuk Priyani, M.Sc selaku kepala laboratorium Mikrobiologi dan seluruh karyawan Unit FMIPA Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam pembuatan sampel penelitian dan memberikan dukungan kepada penulis.

9. Maya Fitria, SKM., M.Kes dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam analisis statistik.

10. Teman-teman seperjuangan yang melaksanakan penulisan skripsi di Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara: Tiffany, Tineshraj, Yoges, Lulu Fanty Caroline, Dytha Debrina, Vandersun Lestari, Michiko, Augina Era Pangestika, Yunishara Pratiwi, Maria Lisna Rawaty S, Yulindia Pitri, Citra Purnamasari, Oktia Kiki Triana, Ribka Julia, Grace Asima Siahaan, Garry Beta Gunawan, Dina Fachriza, Rahmi Husni, Sarah Zulaikha,Khalilah, Jefferson, Thinagan, Khairina Atyqa dan para residen PPDGS Departemen Prostodonsia atas dukungan dan bantuannya selama penulisan skripsi.

11. Teman-teman terdekat terutama Inderjeet Kaur, Vinoshinie, Brindavana Saisa, Elangkeswary, Janani, Harween Kaur, Ashwit Kaur, dan juga teman-teman angkatan 2011 yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala bantuan,


(8)

perhatian, dukungan, dan dorongan semangat yang diberikan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat berguna bagi pengembangan disiplin ilmu Departemen Prostodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, dan bagi kita semua.

Medan, 3 Juni 2015 Penulis

(Jasmin Kaur) NIM : 110600163


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ...

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 5

1.3 Rumusan Masalah ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Rongga Mulut ... 8

2.2 Infeksi Silang ... 10

2.2.1 Definisi dan Pengertian ... 10

2.2.2 Perjalanan Penyakit pada Infeksi Silang ... 13

2.2.2.1 Dari Pasien ke Dokter Gigi ... 13

2.2.2.2 Dari Dokter Gigi ke Pasien ... 14

2.2.2.3 Dari Pasien ke Pasien Lainnya ... 14

2.2.2.4 Dari Pasien ke Perawat dan Teknisi Laboratorium. 14

2.2.2.5 Dari Saluran Air Dental Unit ke Pasien ... 15

2.2.3 Cara Penularan Penyakit pada Infeksi Silang ... 15

2.2.3.1 Kontak Langsung ... 15


(10)

2.2.3.3 Inhalasi Aerosol atau Droplet... 16

2.2.3.4 Kontak Tidak Langsung ... 17

2.3 Kontrol Infeksi ... 18

2.3.1 Prosedur Kontrol Infeksi ... 19

2.3.1.1 Evaluasi Pasien ... 19

2.3.1.2 Perlindungan Diri ... 19

2.3.1.3 Sterilisasi Alat dan Bahan. ... 19

2.3.1.4 Pembuangan Sampah Bekas Praktek ... 21

2.3.1.5 Desinfeksi ... 21

2.3.1.6 Desinfektan ... 22

2.3.1.6.1 Klasifikasi Bahan Desinfektan. ... 22

2.3.1.6.2 Metode ... 25

2.4 Bahan Cetak ... 27

2.4.1 Klasifikasi Bahan Cetak ... 27

2.4.1.1 Bahan Cetak Non Elastis ... 28

2.4.1.2 Bahan Cetak Elastis ... 29

2.4.2 Pensyaratan Bahan Cetak ... 29

2.4.3 Hasil Cetakan Alginat ... 30

2.4.3.1 Komponen Alginat ... 31

2.4.3.2 Pemanipulasian Alginat ... 32

2.5 Kerangka Teori ... 34

2.6 Kerangka Konsep ... 35

2.7 Hipotesis Penelitian ... 36

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 37

3.2 Populasi Penelitian ... 37

3.3 Sampel dan Besar Sampel Penelitian ... 37

3.3.1 Sampel Penelitian ... 37

3.3.2 Besar Sampel ... 37

3.4 Variabel Penelitian ... 38

3.4.1 Klasifikasi Variabel Penelitian ... 38

3.4.1.1 Variabel Bebas ... 38

3.4.1.2 Variabel Terikat ... 38

3.4.1.3 Variabel Terkendali ... 38

3.4.1.4 Variabel Tidak Terkendali ... 39

3.4.2 Definisi Operasional ... 39

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

3.5.1 Tempat Penelitian... 40

3.5.1.1 Tempat Pembuatan Sampel ... 40

3.5.1.2 Tempat Pengujian Sampel... 40

3.5.2 Waktu Penelitian ... 40

3.6 Alat dan Bahan Penelitian ... 41

3.6.1 Alat Penelitian ... 41


(11)

3.7 Cara Penelitian ... 44 3.8 Analisis Data ... 49 3.9 Kerangka Operasional ... 50

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1 Jumlah Koloni Bakteri pada Cetakan Alginat Sebelum dan Sesudah Direndam dalam Larutan Sodium Hipoklorit 0,5% dan

Larutan Glutaraldehid 2% Selama 10 Menit ... 51 4.2 Perbedaan Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat dalam

Larutan Sodium Hipoklorit 0,5% dan Glutaraldehid 2% Selama

10 Menit Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Bakteri... 53

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Jumlah Koloni Bakteri pada Cetakan Alginat Sebelum dan Sesudah Direndan dalam Larutan Sodium Hipoklroti 0,5%

dan Glutaraldehid 2% Selama 10 Menit ... 55 5.2 Perbedaan Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat dalam Larutan

Sodium Hipoklorit 0,5% dan Glutaradehid 2% Selama 10 menit

Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Bakteri ... . 58

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 60 6.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Keuntungan dan kerugian metode penyemprotan dan perendaman ... 27

2 Komposisi bahan cetak alginat dan fungsinya ... 31

3 Definisi operasional variabel bebas ... 39

4 Definisi operasional variabel terikat ... 39

5 Definisi operasional variabel terkendali ... 39

6 Definisi operasional variabel tidak terkendali ... 40

7 Jumlah koloni bakteri (CFU/ml) sebelum dan sesudah perendaman dan persentase rata-rata penurunan koloni bakteri pada cetakan alginat dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% selama 10 menit ... 52

8 Hasil uji t-independent untuk menentukan perbedaan pengaruh perendaman cetakan alginat dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% terhadap jumlah koloni bakteri ... 53


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Cara penularan infeksi melalui kontak langsung ... 16

2 Cara penularan infeksi melalui perkutaneus ... 16

3 Cara penularan infeksi melalui inhalasi aerosol atau droplet ... 17

4 Cara penularan infeksi melalui kontak tidak langsung ... 17

5 Autoclave ... 20

6 Dry heat ... 21

7 Desinfeksi dengan cara penyemprotan ... 25

8 Desinfeksi dengan cara perendaman ... 26

9 Aluminium foil ... 41

10 Vortex ... 42

11 Inkubator ... 42

12 Colony counter ... 43

13 Nutrient Broths……… 43

14 Hasil cetakan alginat di dalam beker gelas yang diisi aquades ... 45

15 Transfer bakteri menggunakan stainless steel wires ... 46

16 Nutrient broths di vortex ... 46

17 10 ul dari setiap nutrient broths diinulasikan kedalam nutrient agar 47 18 Koloni bakteri pada nutrient agar setelah diinkubasi ... 48

19 Grafik presentase penurunan jumlah koloni bakteri pada kelompok sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% ( Rerata CFU/ml) .. 54


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1 Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian

2 Lembar persetujuan setelah penjelasan (Informed consent) 3 Surat persetujuan komisi etik penelitian

4 Surat Permohonan Izin Penelitian di Departemen Prostodonsia USU 5 Surat Permohonan Izin Penelitian di Lab. Mikrobiologi FMIPA USU 6 Surat Keterangan

7 Hasil Perhitungan Jumlah Koloni Bakteri 8 Hasil Uji Statistik


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Didalam rongga mulut manusia terdapat banyak mikroorganisme baik flora normal maupun yang pathogen. Mikroorganisme terdiri dari bakteri, virus, jamur dan lain-lain. Masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang berasal dari tubuh pasien sendiri, atau berasal dari lingkungan, peralatan rumah sakit yang terkontaminasi, pegawai kesehatan, pengunjung atau dari pasien lain dapat menyebabkan terjadinya infeksi silang. Penularan penyakit pada infeksi silang dapat terjadi melalui kontak langsung, perkutaneus, inhalasi aerosol atau droplet yang patogen dan melalui kontak tidak langsung. Pada bidang kedokteran gigi, sangat rawan untuk terjadinya kontaminasi infeksi silang. Dokter gigi, stafnya dan juga pasien memiliki resiko tinggi berkontak dengan mikroorganisme patogen selama perawatan gigi. Banyak penyakit infeksi dapat ditularkan selama perawatan gigi, antara lain TBC, sifilis, hepatitis A, B, C, AIDS, AIDS related complex (ARC), herpes, dan lain-lain.1-3

Dokter gigi harus menganggap pasiennya adalah carrier dari hepatitis B, acquired immuno defficiency syndrome (AIDS) atau tuberculosis (TBC), dan harus selalu mengikuti prosedur tindakan pencegahan.1,2 Tindakan pencegahan infeksi dapat mencegah terjadinya infeksi yang berbahaya, bahkan dapat mencegah terjadinya kematian. Sumber infeksi yang potensial pada praktek dokter gigi termasuk tangan, saliva, darah, sekresi hidung, baju, rambut juga alat-alat atau instrumen dan perlengkapan praktek lainnya harus dijaga tetap steril untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi.1,3

Kontaminasi dari rongga mulut dan luka terbuka dapat disebarkan oleh udara, air, debu, aerosol, percikan atau droplets, sekresi saluran pernafasan, plak, kalkulus, bahan tumpatan gigi dan debris. Flora mulut yang patogen dari pasien dapat ditransmisikan pada jaringan atau organ seperti katup jantung, sendi artifisial, dan


(16)

jaringan lunak sekitarnya, serta tulang. Prosedur pencegahan penularan penyakit infeksi antara lain adalah evaluasi pasien, perlindungan diri, sterilisasi dan desinfeksi, pembuangan sampah yang aman dan tindakan asepsis termasuk juga dalam laboratorium teknik gigi.1

Salah satu perawatan di bidang prostodonsia adalah pembuatan gigitiruan, tahap awal dalam pembuatan gigitiruan adalah membuat pencetakan pada rahang pasien untuk mendapatkan hasil cetakan negatif yang selanjutnya diisi dengan gips untuk mendapatkan model studi maupun model kerja. Faktor yang harus diperhatikan saat melakukan pencetakan gigi adalah kontrol dari penularan infeksi silang yang berasal dari hasil cetakan. Menurut berbagai penelitian, hasil cetakan merupakan salah satu agen penularan infeksi pada dokter gigi, perawat, staf dan teknisi laboratorium.2 Saliva, debris, darah dan pus dapat menempel pada hasil cetakan saat pencetakan dan mikroorganisme dapat berinteraksi dengan hasil cetakan sehingga menjadi agen penyebab infeksi dan menjadi pencetus penularan penyakit.4 Powell G. L, Runnells R. D dkk (1990) telah menyatakan bahwa 67% dari hasil cetakan yang di kirim dokter gigi ke laboratorium kedokteran gigi terkontaminasi oleh bakteri patogen.5-7

Hasil cetakan dapat diperoleh dari dua jenis bahan cetak yaitu elastis dan non elastis. Bahan yang bersifat non-elastis antara lain adalah impression compound, impression wax, impression plaster dan zinc oxide eugenol. Bahan cetak elastis terdiri dari hidrokoloid dan elastomer.8 Sampai saat ini, salah satu bahan cetak yang paling sering digunakan untuk pencetakan anatomis adalah alginat. Alginat merupakan bahan cetak hidrokoloid bersifat ireversibel yang telah diperkenalkan pada tahun 1940.9 Dokter gigi menggunakan bahan cetak alginat karena memiliki banyak kelebihan, diantaranya manipulasi mudah dan tidak memerlukan banyak peralatan, relatif tidak mahal, dan nyaman bagi pasien. Bahan cetak ini juga mudah ditolerir oleh pasien, cepat mengeras dan terdapat aroma yang menyegarkan seperti permen karet untuk mengurangi reflek muntah. Kekurangan dari bahan cetak alginat ini adalah mempunyai sifat sineresis dan sifat imbibisi yaitu menyerap air dan mempunyai potensi retensi mikroba lebih kuat dibanding bahan cetak lainnya.4,8,10,11


(17)

Menurut American Dental Association (ADA) dan International Dental Federation (IDF) hasil cetakan seharusnya dicuci terlebih dahulu dengan air mengalir untuk menghilangkan saliva dan darah yang melekat pada hasil cetakan, kemudian direndam dalam larutan desinfektan untuk menghindari terjadinya kontaminasi sebelum dikirim ke laboratorium.5,7 Dalam praktek sehari-hari, dokter gigi hanya mencuci hasil cetakan dengan air mengalir tetapi tidak banyak yang menggunakan bahan desinfektan pada hasil cetakan. Desinfektan merupakan suatu bahan yang mengandung agen antimikrobial yang efektif untuk membunuh mikroorganisme. Terdapat beberapa jenis desinfektan yang beredar di pasaran diantaranya sodium hipoklorit, iodophor (biocide), glutaraldehid, fenol, dan klorheksidin.12-14 Sodium hipoklorit dan aldehid (glutaraldehid dan formaldehid) merupakan desinfektan yang paling sering digunakan. Sodium hipoklorit merupakan larutan desinfektan yang paling banyak digunakan, tersedia dalam bentuk cairan dan memiliki efek antimikroba dan termasuk dalam kategori disinfektan yang ideal. Desinfektan ini adalah larutan yang berbahan dasar klorin. Cairan klorin sangat aktif pada semua bakteri, virus, fungi, parasit, dan berbagai spora. Selain sodium hipoklorit, penggunaan glutaraldehid juga merupakan salah satu desinfektan yang populer di bidang kedokteran gigi dan merupakan desinfektan tingkat tinggi. Selain itu, aldehid juga efektif dalam membunuh bakteri, jamur, virus, mikroba dan spora. Glutaraldehid digunakan untuk mensterilkan bahan cair dan peralatan yang tidak dapat disterilkan dengan pemanasan. Glutaraldehid juga mempunyai aktifitas sporosidal yang tinggi, lebih baik bila dibandingkan dengan formaldehyde dalam hal bakterisidal, virusidal dan sporosidal. Merupakan zat yang mempunyai spektrum anti bakteri yang luas dan aktif. Senyawa ini mempunyai keuntungan karena tidak berbau dan efek iritasi terhadap kulit dan mata lebih rendah dibanding formalin. Larutan glutaraldehid 2% efektif sebagai antibakteri dan spora pada pH 7,5 – 8,5 dan juga efektif terhadap bakteri seperti M.tuberculosis, fungi, dan virus akan mati dalam waktu 10-20 menit.3,12,15

Terdapat dua metode yang digunakan untuk desinfeksi hasil cetakan yaitu dengan cara perendaman dan penyemprotan.3,5,8 Desinfeksi dengan cara perendaman


(18)

merupakan cara yang lebih efektif karena seluruh permukaan hasil cetakan akan terdesinfeksi dengan sempurna dan dapat mengurangi resiko terhirupnya partikel-partikel larutan desinfektan. Namun, desinfeksi dengan cara perendaman diduga dapat menyebabkan distorsi pada hasil cetakan jika perendaman dilakukan terlalu lama. Selain itu, desinfeksi dengan cara penyemprotan merupakan cara yang lebih sederhana dan cepat tetapi tidak semua permukaan hasil cetakan terdesinfeksi dengan sempurna dan juga partikel-partikel larutan desinfektan yang ada di udara dapat terhirup oleh staf atau pasien.2,14 Menurut Silva dan Salvador (2004) dan Saber FS, dkk (2010), desinfeksi dengan cara penyemprotan menunjukkan aktivitas antimikrobial yang sama dengan cara desinfeksi dengan cara perendaman.12 Panza dkk (2006) telah mengevaluasi kestabilan dimensi cetakan yang diberikan desinfektan baik dengan cara penyemprotan maupun perendaman. Peneliti tersebut telah melakukan perendaman bahan cetak elastomer polyether, polysulfide dan alginat dengan larutan desinfektan glutaraldehid 2% dan sodium hipoklorit 1% selama 10 dan 15 menit. Peneliti telah mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada bahan cetak elastomer polyether maupun polysulfide setelah direndam dengan kedua larutan desinfektan dibanding kelompok kontrol.16 Oderinu dkk (2007) dengan mempergunakan bahan cetak irreversible hidrokoloid alginat, telah menyatakan bahwa tidak terjadi perubahan dimensi hasil cetakan yang direndam dalam larutan sodium hipoklorit 1% selama 10 menit. Pada perendaman selama 20 dan 30 menit terlihat perubahan yang signifikan.16 Wala M. Amin, Muna H. Al-Ali dkk (2009) telah menyatakan bahwa penggunaan sodium hipoklorit 0,5% sebagai larutan desinfektan telah menyebabkan perubahan dimensi yang paling sedikit dibanding sodium hipoklorit 1% pada hasil cetakan alginat yang direndam selama 10 menit.15 Ghahramanloo (2009) telah melakukan penelitian efek antimikroba dengan menggunakan sodium hipoklorit 0,525% , deconex dan sanosil dan menyimpulkan bahwa penggunaan sodium hipoklorit 0,525% dengan cara penyemprotan selama 10 menit pada bahan cetak alginat sangat efektif dan telah mendisinfeksi 96,6% dari total sampel.4 Sukhija U, Rathee M dkk (2009) telah melaporkan bahwa peracitic acid merupakan desinfektan yang paling efektif dalam menurunkan jumlah bakteri pada


(19)

bahan cetak alginat dengan metode perendaman dan juga penyemprotan selama 10 menit.17 Carmen Dolores V. Soares de Moura dkk (2010) telah melakukan penelitian untuk mengevaluasi efek antimikrobial dengan menggunakan larutan sodium hipoklorit 2,5% dan 5,25% selama 10 menit terhadap bahan cetak alginat dan telah menyimpulkan bahwa penggunaan sodium hipoklorit 5,25% ternyata lebih efektif terhadap penurunan jumlah mikroba.18 Himanshu Aeran, Sunit Kr. Jurel dkk (2010) telah menyatakan bahwa penggunaan sodium hipoklorit 0,5% ternyata lebih efektif dibanding glutareldehid 2% terhadap penurunan jumlah bakteri pada hasil cetakan alginat dengan cara penyemprotan selama 10 menit yang telah mengeliminasi sebanyak 92% - 99,97% koloni bakteri.19 Hamid Badrian, Ehsan Ghasemi dkk (2012) melaporkan bahwa penggunaan epimax sebagai desinfektan mempunyai efek yang paling tinggi dan telah mengeliminasi 100% koloni bakteri dibanding deconex yaitu 95,39% dan sodium hipoklorit 0,525% mengeliminasi 97,12% koloni bakteri pada bahan cetak alginat yang direndam selama 10 menit.5 Satheesh B. Haralur, Omir S. Al-Dowah dkk (2012) telah menyatakan bahwa penggunaan sodium hipoklorit dengan metode penyemprotan selama 10 menit merupakan desinfektan yang efektif pada bahan cetak alginat terhadap penurunan jumlah koloni bakteri.6

1.2 Permasalahan

Tahap awal pembuatan gigitiruan adalah melakukan pencetakan rahang pasien, dimana hasil cetakan kemudian diisi dengan gips untuk mendapatkan model kerja maupun model studi. Bahan cetak yang paling sering digunakan untuk pencetakan anatomis diantaranya adalah alginat. Salah satu kekurangan dari bahan cetak alginat adalah hasil cetakannya berpotensi untuk terjadinya infeksi silang karena bahan cetak alginat dapat menyerap cairan dari rongga mulut pasien dan mempunyai potensi retensi mikroba lebih kuat dibanding bahan cetak lainnya. Pada umumnya hasil cetakan seharusnya dicuci terlebih dahulu dengan air mengalir untuk menghilangkan saliva dan darah yang melekat pada hasil cetakan, kemudian direndam dalam larutan desinfektan untuk menghindari terjadinya kontaminasi sebelum dikirim ke laboratorium namun dalam praktek sehari-hari, dokter gigi hanya mencuci hasil


(20)

cetakan dengan air mengalir tetapi tidak banyak yang menggunakan bahan desinfektan pada hasil cetakan. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa pembilasan hasil cetakan dengan air mengalir saja tidak begitu efektif karena tidak cukup untuk mengeliminasikan semua mikroorganisme. Mikroorganisme yang tidak disingkirkan dari hasil cetakan berpotensi untuk menyebabkan infeksi silang antara pasien, dokter gigi dan stafnya.

Penggunaan desinfektan dapat meminimalkan jumlah mikroorganisme pada hasil cetakan. Hal ini terbukti dari beberapa hasil penelitian, antaranya penelitian Himanshu Aeran, Sunit Kr. Jurel dkk (2010) yang telah menyatakan bahwa penggunaan sodium hipoklorit 0.5% ternyata lebih efektif dibanding glutareldehid 2% terhadap penurunan jumlah koloni bakteri pada cetakan alginat dengan cara penyemprotan selama 10 menit yang telah mengeliminasi sebanyak 92% - 99,97% koloni bakteri.19 Joana Correia-Sousa, Ana Margarida Tabaio dkk (2013) telah melaporkan bahwa perendaman hasil cetakan alginat dalam larutan sodium hipoklorit selama 10 menit lebih efektif dibanding aquades dalam penurunan jumlah mikroba sebanyak 99,99%.2 Hingga saat ini, belum ada penelitian yang dilakukan untuk melihat perbedaan penggunaan sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% terhadap penurunan jumlah koloni bakteri dengan cara perendaman. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin meneliti apakah ada pengaruh perendaman cetakan alginat dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% terhadap jumlah koloni bakteri.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemasalahan di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana jumlah koloni bakteri pada cetakan alginat sebelum dan sesudah direndam dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan larutan glutaraldehid 2% selama 10 menit?

2. Apakah ada perbedaan pengaruh perendaman cetakan alginat dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% selama 10 menit terhadap penurunan jumlah koloni bakteri?


(21)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui jumlah koloni bakteri pada cetakan alginat sebelum dan sesudah direndam dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan larutan glutaraldehid 2% selama 10 menit

2. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh perendaman cetakan alginat dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% selama 10 menit terhadap penurunan jumlah koloni bakteri.

1.5 Manfaat penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dokter gigi, perawat dan teknisi laboratorium sebagai suatu pertimbangan dalam memilih jenis desinfektan yang lebih efektif dalam menurunkan jumlah koloni bakteri pada hasil cetakan alginat agar dapat mencegah terjadinya infeksi silang.

2. Sebagai bahan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Prostodonsia.

3. Sebagai bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut tentang desinfektan bahan cetak alginat.


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikroorganisme Rongga Mulut

Mikroorganisme terdiri dari bakteri, virus, jamur dan lain-lain. Didalam rongga mulut manusia terdapat banyak mikroorganisme baik flora normal maupun yang patogen. Menurut Miller dan Cottone yang dikutip oleh Ghahramanloo, setetes saliva mengandung 50.000 bakteri yang berpotensi patogen dan bakteri patogen ini dapat dengan mudah menyebar melalui bahan cetak, terutama bahan cetak alginat yang menjadi tempat berkumpul bakteri lebih banyak dibanding bahan cetak lainnya.20 Kondisi rongga mulut yang berhubungan langsung dengan saluran nafas bagian atas dan rongga hidung (nasal cavity) memungkinkan mikroorganisme dari organ tersebut dapat masuk ke rongga mulut dengan penetrasi maupun kontaminasi lewat dahak (sputum) dan bercampur dengan saliva. Hasil cetakan mengandung mikroba dalam jumlah yang sangat banyak, di antaranya streptococci (100%), staphylococci (65.4%) dan P.aeruginosa (7.7%) yang semuanya telah diketahui bersifat patogen, mengakibatkan nosokomial dan merupakan infeksi yang mengancam nyawa bagi orang yang mempunyai sistem imunitas yang rendah.20

Tipe mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: 21,22

1. Bakteri

Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat. Keberadaan bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme. Bakteri patogen lebih berbahaya dan dapat menyebabkan infeksi baik secara sporadik maupun endemik. Contohnya :


(23)

Bakteri aerob dan fakultatif anaerob yang dapat berada dirongga mulut :

a) Golongan Gram-negatif : (Escherichia coli, Proteus vulgaris, Klebsiella pneumonia, Eikenella corrodens, Bordetellapertussis, Haemophilus influenza, Actinobacillus actinomycetemcomitannc, Campylobacter rectus).

b) Golongan Gram negatif diplococcic:(Moraxella catarrhalis, Neisseriameninggitis, Neisseria flavescens, Neisseria gonorrhoeae)

c) Golongan Gram-positif dan coryneform bacteria

(Lactobacillusacidophilus, Corynebacterium diphteriae)

d) Golongan Staphylococci : (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermis, Staphyloccocus spp.)

e) Golongan Streptococci : ( Streptococcus mutans, Streptococcus salivarius, Streptococcus milleri, Streptococcus sangius, Streptococcus pyogenes, Streptpcoccus pneumonia, Streptococcus Spp. Enterococcus faecalis)

f) Golongan Enterococcus spp : Spirochetes (Treponema pallidum) Mycoplasmas ( Mycoplasma pneumonia)

Bakteri anaerob dirongga mulut meliputi:

a) Golongan Gram-negatif : (Prophyromonas Gingivalis, Prevotella Intermedia, Prevotella Melaninogenica, Prevotella Oralis, Prevotella Spp, Fusobacterium Nucleatum, Fusobacterium Spp, Bacteroides Spp, Verillonella Spp)

b) Golongan Gram-positif : (Arachnia Spp, Bifidobacterium Spp, Eubacterium Spp,Propionibacterium Spp, Peptostreotococcus Micros, Peptostreptococcus Spp)

c) Golongan yang membentuk spora :Actinomycetes( Actinomysesviscosus, Actinomyces Israelii, Actinomyses Spp)

d) Bakteri yang terdapat dirongga mulut akibat penyakit gigi dan periodontal :


(24)

• Bakteri penyebab karies : Streotococcus Mutans, Lactobacillus Acidophilus Dan Actinomyces Viscosus.

• Bakteri anaerob yang menyebabkan periodontitis : Porphyromonas Gingivalis, Prevotella Intermedia Dan Peptostreptococcus Micros.

2. Virus

Banyak kemungkinan infeksi disebabkan oleh berbagai macam virus, termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi, suntikan dan endoskopi. Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enteroviruses yang dapat ditularkan dari kontak tangan ke mulut. Hepatitis dan HIV ditularkan melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Perjalanan penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme lainnya. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga dapat ditularkan.

3. Protozoa dan Jamur

Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke orang dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat antibiotika bakteri dan obat immunosupresan, contohnya infeksi dari Candida albicans, Aspergillus spp, Cryptococcus neoformans, Cryptosporidium.

2.2 Infeksi Silang

2.2.1 Definisi dan Pengertian

Banyak mikroorganisme penyebab penyakit yang hidup dalam tubuh kita secara harmonis tanpa menimbulkan gangguan, kita memiliki jutaan tipe bakteri yang berbeda yang hidup pada kulit, dalam saluran pernafasan dan usus besar. Banyak diantara bakteri tersebut menguntungkan kita karena bersifat melindungi dan mencegah bakteri dari luar yang dapat menyebabkan penyakit. Meskipun bakteri ini bersifat menguntungkan, tetapi dapat menimbulkan bahaya jika berada pada tempat yang tidak seharusnya. Sebagai contoh bakteri yang seharusnya tidak berbahaya pada


(25)

kulit dapat menyebabkan masalah jika memasuki luka. Begitu juga beberapa mikroorganisme yang sudah menimbulkan bahaya pada orang lain dapat menularkan penyakit tersebut ke orang lain, seperti contohnya bakteri yang menyebabkan meningitis. Perpindahan bakteri yang terjadi dari satu orang ke orang lain disebut sebagai infeksi silang. Selain daripada itu, tubuh kita juga memiliki berbagai jenis virus yang hidup tanpa menimbulkan gangguan. Seperti misalnya, virus herpes yang berasal dari sel tubuh akan menjadi aktif apabila sistem imun tubuh menurun.22

Kulit, saluran pernafasan dan usus besar merupakan pertahan pertama tubuh terhadap infeksi, apabila pertahan pertama ini ditembus oleh bakteri maka pertahan berikutnya berupa proses fagositosis oleh sel darah putih dan antibodi akan menjadi aktif untuk membunuh bakteri. Apabila sistem imun tubuh rendah maka seseorang itu akan mengalami infeksi.22

Infeksi silang merupakan perpindahan bakteri yang berbahaya dari satu orang, objek, atau dari suatu tempat ke tempat lain, atau dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lain, seperti misalnya kontak tangan yang terkena infeksi dengan mata. Apabila infeksi silang ini terjadi di rumah sakit atau fasilitas perawatan dalam jangka waktu yang panjang maka infeksi silang ini disebut sebagai infeksi nosokomial. Infeksi silang yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau parasit dapat berasal dari tubuh pasien sendiri, atau berasal dari lingkungan, peralatan rumah sakit yang terkontaminasi, pegawai kesehatan, pengunjung atau dari pasien lain. Infeksi lokal terbatas pada bagian tertentu dari tubuh dan memiliki gejala lokal, sebagai contoh infeksi yang terjadi dari tempat pembedahan akan muncul daerah berwarna merah, panas dan terasa sakit pada daerah bekas pembedahan, sedangkan infeksi umum yang masuk melalui pembuluh darah akan menyebabkan gejala sistemik umum seperti misalnya demam, tekanan darah yang rendah, kekacauan mental atau bisul (boils) di atas tubuh.22

Sejumlah ahli telah mendefinisikan infeksi silang, diantaranya Williams G. Kohn dkk (2003) menyatakan bahwa infeksi silang adalah penularan infeksi dari satu pasien di rumah sakit atau di lingkungan pelayanan kesehatan ke pasien lain dengan mikroorganisme patogen yang berbeda dalam lingkungan yang sama. Hal ini sering


(26)

dilihat pada penyakit autoimun. Infeksi adalah invasi multiplikasi mikroorganisme di dalam jaringan tubuh, seperti pada penyakit menular.23,24 Caroline L. Pankhurst dan Wilson A. Coulter (2009) telah menyatakan bahwa transmisi agen infeksi dari manusia atau benda mati dalam lingkungan klinis sehingga dapat mengakibatkan terjadinya infeksi dikenal sebagai infeksi silang,25 sedangkan menurut Kristeen Cherney (2013) infeksi silang adalah pemindahan mikroorganisme berbahaya seperti bakteri dan virus. Selanjutnya Kristeen Cherney mengatakan bahwa penyebaran infeksi dapat terjadi di antara manusia, peralatan, atau di dalam tubuh, oleh karena itu tenaga medis harus senantiasa memastikan bahwa peralatan dan lingkungannya bersih dan aman. Infeksi silang dapat berasal dari bakteri, jamur, parasit dan virus yang berasal dari peralatan medis yang tidak steril, bakteri dari batuk dan bersin, transmisi, menyentuh benda yang terkontaminasi dan tempat tidur yang kotor. Infeksi dapat menyebar dalam kondisi apapun dan di tempat seperti sekolah, bank, toko, gedung-gedung pemerintah dan sebagainya.26

Dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa yang dimaksudkan dengan infeksi silang adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang berasal dari tubuh pasien sendiri, atau berasal dari lingkungan, peralatan rumah sakit yang terkontaminasi, pegawai kesehatan, pengunjung atau dari pasien lain. Infeksi silang yang terjadi dapat menggangu fungsi normal tubuh dan dapat berakibat luka kronik, kehilangan organ tubuh, dan bahkan kematian.

Pada profesi kedokteran gigi, dokter gigi tidak terlepas dari kemungkinan untuk berkontak secara langsung ataupun tidak langsung dengan mikroorganisme yang berasal dari saliva dan darah pasien. Penyebaran infeksi dapat terjadi secara inhalasi yaitu melalui proses pernafasan atau secara inokulasi atau melalui transmisi mikroorganisme dari serum dan berbagai substansi lain yang telah terinfeksi.Infeksi silang sering terjadi di praktek dokter gigi karena kemungkinan pasien, dokter gigi maupun stafnya memang sudah membawa suatu penyakit infeksi. Banyak sumber penularan infeksi pada praktek dokter gigi antara lain tangan, saliva, sekresi saluran pernafasan, darah, pakaian, dan rambut, demikian pula instrumen gigi serta peralatan lainnya harus diperhatikan untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi.1


(27)

Penyebaran infeksi terjadi disebabkan karena adanya sumber infeksi, yang paling banyak didapat dari pasien saat melakukan perawatan gigi. Pasien dengan infeksi akut biasanya sangat menular dan dapat melepaskan sejumlah besar mikroba ke lingkungan. Selain itu, pasien yang menderita penyakit infeksi serius seperti Hepatitis A, B, C, D, Human Immunodeficiency Virus (HIV), tuberculosis dan sebagainya jarang melakukan pemeriksaan rutin ke dokter gigi, namun dokter gigi harus tetap mampu dan bersedia untuk memberikan perawatan kepada pasien tersebut dengan cara yang dapat menjamin keselamatan dokter gigi, staf maupun pasien dengan melakukan prosedur pencegahan infeksi yang tepat.24

2.2.2 Perjalanan Penyakit pada Infeksi Silang

Ditinjau dari perjalanan penyakit, maka infeksi silang dapat terjadi dari pasien ke dokter gigi, dari dokter gigi ke pasien, dari pasien ke pasien lainnya, dari pasien ke perawat dan teknisi laboratorium dan dari saluran air dental unit ke pasien.

2.2.2.1 Dari Pasien ke Dokter Gigi

Mikroorganisme dari mulut pasien dapat menyebar ke dokter gigi yang merawatnya baik melalui kontak langsung atau tidak langsung, inhalasi, atau dengan inokulasi. Dokter gigi menghadapi resiko tinggi terkena infeksi terutama melalui jarum suntik dan kecelakaan dari benda tajam yang terkontaminasi lainnya. Pada saat ini, tindakan pencegahan universal yang dilakukan seperti evaluasi pasien, perlindungan diri, sterilisasi instrument, asepsis dan desinfeksi permukaan, penggunaan alat sekali pakai dan pembuangan sampah medis teryata efektif terhadap pencegahan infeksi silang selama melakukan perawatan pada pasien. Prosedur kontrol infeksi silang direkomendasikan harus cukup baik untuk melindungi dokter gigi, pasien dan perawat.27

2.2.2.2 Dari Dokter Gigi ke Pasien

Infeksi silang jarang menyebar dari dokter gigi kepada pasien, tetapi hal ini dapat saja terjadi jika prosedur pencegahan yang tepat tidak diikuti. Langkah-langkah


(28)

yang direkomendasikan untuk pencegahan infeksi silang dalam kedokteran gigi berasal dari epidemi AIDS. Dalam banyak studi kohort transmisi saliva HIV tidak terbukti sedangkan transmisi darah penderita HIV tidak mungkin terjadi dalam jumlah kecil kecuali dalam jumlah besar yang dapat menyebabkan infeksi silang. Terdapat laporan bahwa enam pasien di Florida telah terinfeksi HIV dari seorang dokter gigi di prakteknya saat melakukan perawatan. Selain itu, tidak ada kasus lain yang terdokumentasi tentang penularan infeksi dari dokter gigi ke pasien.27

2.2.2.3 Dari Pasien ke Pasien Lainnya

Mikroorganisme dari rongga mulut dapat ditularkan antara pasien yang satu dengan pasien yang lainnya melalui infeksi silang. Terdapat laporan tentang penyebaran HIV dari satu pasien ke pasien yang lain dalam praktek bedah umum swasta di New South Wales, Australia. Lima dari sembilan pasien berada di praktek pada hari yang sama, menjadi positif sementara ahli bedah tetap HIV-negatif. Empat dari lima pasien HIV-positif tidak memiliki faktor risiko yang jelas untuk tertular penyakit. Pasien kelima mengaku memiliki pasangan pria dengan status HIV yang tidak diketahui menjadi sumber kemungkinan HIV yang menyebabkan kematiannya setahun kemudian. Ini menunjukkan bahwa pasien tersebut sudah terinfeksi dan merupakan sumber penularan HIV ke pasien yang lain.27

2.2.2.4 Dari Pasien ke Perawat dan Teknisi Laboratorium

Kontrol infeksi silang adalah tanggungjawab seluruh tim kesehatan gigi dan efektifitas secara keseluruhan dapat dibatasi oleh setiap anggotanya serta sejauh mana mereka dapat bekerjasama. Rekomendasi umum adalah bahwa peralatan di praktek dokter gigi seperti hasil cetakan, gypsum, dan gigitiruan harus didesinfeksi di praktek dokter gigi oleh perawat atau assistan dokter gigi sebelum dikirim ke laboratorium. Kontaminasi di laboratorium dapat terjadi jika kontrol infeksi tidak dilakukan. Dokter gigi harus bekerja sama dengan teknisi laboratorium tentang prosedur infeksi yang efektif dan praktis.27


(29)

2.2.2.5 Dari Saluran Air Dental Unit ke Pasien

Air yang digunakan selama perawatan gigi dapat menjadi salah satu faktor dalam penularan penyakit. Kolonisasi bakteri pada saluran air di dental unit terjadi dengan pembentukan biofilm, yang melepaskan mikroorganisme planktonik dalam jumlah yang tinggi. Mikroorganisme planktonik ini dapat masuk ke dalam mulut pasien melalui air dari turbin atau melalui semprotan air dari dental unit dan air kumur. Dalam sebuah studi yang dilakukan di Jerman pada tahun 1995 telah menunjukkan bahwa terdapat jumlah yang tinggi mikrobakteri non-tuberculosis (Mycobecterium gordonae, flavescens, chelonae, simiae) yang dapat tertelan, terhirup atau diinokulasi ke dalam luka pada rongga mulut pasien selama perawatan gigi melalui semprotan air atau air pendigin dari dental unit.23,27,28

2.2.3 Cara Penularan Penyakit pada Infeksi Silang

Di bidang kedokteran gigi, menurut Kohli dan Puttaiah (2007), terdapat beberapa cara penularan penyakit berdasarkan keparahannya antara lain: 27,28

2.2.3.1 Kontak Langsung

Penularan infeksi melalui kontak langsung dapat terjadi apabila tersentuh atau terpaparnya kulit yang tidak utuh terhadap lesi oral yang menginfeksi, permukaan jaringan yang terinfeksi, atau cairan yang terinfeksi dan percikan cairan yang terinfeksi. Selain itu, dapat terjadi penularan secara langsung melalui hasil cetakan yang mengandung saliva yang terinfeksi. Penularan melalui kontak langsung merupakan penularan dengan resiko yang tinggi. (Gambar 1)


(30)

Gambar 1.Cara penularan infeksi melalui kontak langsung.26

2.2.3.2 Perkutaneus

Inokulasi mikroba dari darah dan saliva dapat ditularkan melalui jarum, pisau bedah atau benda tajam lainnya. Penularan melalui perkutaneus merupakan penularan dengan resiko yang tinggi. (Gambar 2)

Gambar 2. Cara penularan infeksi melalui Perkutaneus. 26

2.2.3.3 Inhalasi aerosol atau droplet yang patogen

Menghirup bioaerosol yang mengandung material infektif saat menggunakan handpiece dan scaler atau droplet nuclei yang berasal dari batuk dapat menyebabkan terjadinya penularan infeksi. Penularan melalui inhalasi aerosol atau droplet yang patogen merupakan penularan dengan resiko sedang.(Gambar 3)


(31)

Gambar 3. Cara penularan infeksi melalui inhalasi aerosol atau droplet yang

patogen.26

2.2.3.4 Kontak Tidak Langsung

Penularan melalui kontak tidak langsung dapat terjadi apabila seseorang menyentuh permukaan benda mati yang terkontaminasi pada ruangan perawatan, dental unit atau pada ruang operasi. (Gambar 4)

(A) (B)

Gambar 4. Cara penularan infeksi melalui kontak tidak langsung. (A) Tersentuh meja yang terkontaminasi. (B) Dental unit yang terkontaminasi (tanda panah).8,26

Resiko transmisi penyakit bervariasi tergantung dari daya tahan tubuh host, virulensi, infektivitas organisme, dosis atau jumlah mikroorganisme, waktu pemaparan, dan cara transmisi. Kontrol terhadap virulensi organisme patogen atau mengurangi kerentanan pasien hampir tidak mungkin dilakukan. Petugas klinis harus


(32)

mengerti tentang proses penyakit, route transmisi, metode mengontrol transmisi, dan mengimplementasikan proteksi diri selama praktek sebagai pencegahan terhadap infeksi silang.29

2.3 Kontrol Infeksi

Dasar pemikiran untuk kontrol infeksi adalah untuk “mengkontrol” infeksi iatrogenik, nosokomial diantara pasien dan paparan potensial pada petugas kesehatan terhadap penyakit selama perawatan. Istilah kontrol infeksi tidak berarti pencegahan total terhadap infeksi iatrogenic dan nosokomial diantara pasien, paparan selama perawatan terhadap darah dan material yang berpotensi menginfeksi lainnya, namun istilah tersebut memiliki pengertian mengurangi resiko transmisi penyakit. Resiko transmisi penyakit bervariasi tergantung dari daya tahan tubuh, virulensi, infektivitas organisme, dosis atau jumlah mikroorganisme, waktu pemaparan, dan cara transmisi. Kontrol terhadap virulensi organisme patogen atau mengurangi kerentanan pasien adalah hampir tidak mungkin. Petugas klinis harus mengerti tentang proses penyakit, route transmisi, metode mengkontrol transmisi, dan mengimplementasikan kontrol infeksi selama perawatan untuk memutus rantai infeksi. Imunisasi terhadap penyakit, penggunaan peralatan pelindung, pengawasan pada teknik dan tempat kerja, desinfeksi permukaan atau peralatan, sterilisasi instrumen, dan penggunaan protokol aspetik selama perawatan harus selalu dilakukan.29

Di bidang kedokteran gigi, protokol dan prosedur yang terlibat dalam pencegahan dan pengendalian infeksi adalah untuk mengurangi kemungkinan risiko atau infeksi silang yang terjadi di prakek dokter gigi, sehingga dapat menghasilkan lingkungan yang aman bagi dokter gigi, staf dan pasien.22 Dokter gigi tidak mungkin yakin bahwa pasien yang datang untuk perawatan giginya adalah carrier mikroorganisme infektif atau bukan, oleh karena itu semua pasien yang datang harus dianggap merupakan carrier dari mikroorganisme patogen. Semua prosedur klinis yang dilakukan pada pasien harus menggunakan kontrol infeksi yang umum.1


(33)

2.3.1 Prosedur Kontrol Infeksi

Dalam praktek kedokteran gigi, kontrol infeksi meliputi beberapa prosedur penting yaitu : evaluasi pasien, perlindungan diri, sterilisasi, pembuangan sampah bekas praktek dan desinfeksi. 1,29,30

2.3.1.1 Evaluasi Pasien

Pasien yang datang berobat harus dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui riwayat kesehatan yang lengkap dan data hasil pemeriksaan tersebut harus diperbaiki pada tiap kunjungan berikutnya, hal ini dimaksudkan agar dapat diketahui adanya kemungkinan terjadinya infeksi silang pada praktek dokter gigi.1,28,29

2.3.1.2 Perlindungan Diri

Terdapat beberapa perlindungan diri di praktek dokter gigi antaranya kebersihan diri, pemakaian baju praktek, proteksi misalnya penggunaan sarung tangan, kacamata, masker, dan imunisasi. Kebersihan diri yang baik dapat mengurangi terjadinya infeksi silang di praktek dokter gigi. Secara umum seorang dokter gigi harus menghindari memegang sesuatu yang tidak dibutuhkan pada waktu merawat pasien, hindari kontak tangan dengan mata, hidung, mulut, dan rambut serta hindari memegang luka. Selain itu, dokter gigi juga harus menutupi luka atau lecet-lecet pada jari dengan plester karena luka tersebut dapat merupakan tempat masuknya mikroorganisme pathogen dan mencuci tangan baik sebelum dan sesudah merawat pasien.1,28,29

2.3.1.3 Sterilisasi Alat dan Bahan

Sterilisasi adalah proses yang dapat membunuh semua jenis mikroorganisme dan dilakukan dalam empat tahap yaitu pembersihan sebelum sterilisasi, pembungkusan, proses sterilisasi dan penyimpanan yang aseptik. Disamping itu, sistem dental unit air juga harus dibersihkan dan bebas dari biofilm dan kontaminan


(34)

anorganik lainnya, juga melakukan pembersihan secara berkala. Air atau bahan irigasi yang digunakan untuk perawatan pasien harus bebas dari mikroba.1,28,31

Dalam bidang kedokteran gigi, sterilisasi dapat dicapai melalui beberapa tahap yaitu:

a) Autoclave

Di antara metode sterilisasi, sterilisasi uap adalah yang paling diandalkan dan ekonomis. Sterilisasi uap digunakan untuk barang-barang kritis dan semikritis yang tidak sensitif terhadap panas dan kelembaban. Sterilisasi uap memerlukan pemaparan langsung dari setiap item untuk langsung menguapnya pada suhu dan tekanan dalam jangka waktu yang tertentu untuk membunuh mikroorganisme.(Gambar 5)

Gambar 5. Autoclave 26

b) Dry Heat

Strerilisasi dry heat digunakan untuk sterilisasi material yang dapat rusak oleh sterilisasi panas yang lembab (misalnya, bur dan beberapa instrumen ortodontik). Walaupun dry heat memiliki keuntungan biaya operasional yang rendah dan tidak korosif, namum penggunaan alat ini membutuhkan waktu proses yang lama dan temperatur yang tinggi sehingga tidak cocok untuk beberapa barang dan instrumen.(Gambar 6)


(35)

Gambar 6. Dry Heat.26

c) Unsaturated chemical vapor

Sterilisasi unsaturated chemical vapor melibatkan pemanasan larutan kimia alkohol primer dengan 0.23% formaldehyde pada ruangan tertutup bertekanan. Unsaturated chemical vapor mensterilisasi instrumen carbon steel (misal bur dental) dan menghasilkan korosi yang lebih sedikit dibandingkan sterilisasi uap karena rendahnya tingkat air yang terdapat selama siklus. Instrumen harus dalam keadaan kering sebelum melakukan sterilisasi.

2.3.1.4 Pembuangan Sampah Bekas Praktek

Pembuangan barang-barang bekas pakai seperti sarung tangan, masker, tisu bekas dan penutup permukaan yang terkontaminasi darah atau cairan tubuh harus ditangani secara hati-hati dan dimasukkan dalam kantung plastik yang kuat dan tertutup rapat untuk mengurangi kemungkinan orang kontak dengan benda-benda tersebut. Benda-benda tajam seperti jarum atau pisau skalpel harus dimasukkan dalam tempat yang tahan terhadap tusukan sebelum dimasukkan ke dalam kantung plastik.1,28

2.3.1.5 Desinfeksi

Desinfeksi adalah proses membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dengan bahan kimia atau secara fisik, hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadi


(36)

infeksi. Kebanyakan laboratorium teknik gigi tidak akan menerima hasil cetakan kecuali ada garansi dari dokter gigi bahwa hasil cetakan itu telah dilakukan desinfeksi. Hasil cetakan alginat yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi mempunyai potensi kontaminasi mikroorganisme patogen rongga mulut. Berdasarkan hal tersebut, dianjurkan untuk melakukan desinfeksi pada hasil cetakan alginat dengan menggunakan bahan desinfektan.6,22,31

2.3.1.6 Desinfektan

Pemakaian desinfektan pada hasil cetakan sangat dianjurkan untuk mencegah terjadinya infeksi silang. Terdapat beberapa jenis bahan desinfektan yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi diantaranya alkohol, aldehid, biguanid, senyawa halogen, fenol, dan klorsilenol. Desinfektan umumnya digunakan untuk benda mati, karena terlalu berbahaya bagi jaringan hidup. Keefektifan dari desinfektan tergantung pada beberapa faktor yaitu konsentrasi dan sifat mikroorganisme yang menyebabkan kontaminasi, konsentrasi larutan kimia dan lamanya waktu perendaman. Kriteria suatu desinfektan yang ideal adalah bekerja dengan cepat untuk menginaktivasi mikroorganisme pada suhu kamar, harus mempunyai spectrum antimikrobial yang seluas mungkin, aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh bahan organik, tidak toksik pada hewan dan manusia, tidak bersifat korosif, memiliki kemampuan menghilangkan bau yang kurang sedap, tidak meninggalkan noda, mudah digunakan, dan ekonomis.29 Metode dan lamanya perendaman atau penyemprotan larutan desinfektan pada hasil cetakan bergantung kepada kadar penyerapan air hasil cetakan tersebut dan waktu setelah cetakan dibuat. Lama perendaman hasil cetakan dengan larutan desinfaktan dianjurkan tidak lebih dari 10 menit.6,31,32


(37)

2.3.1.6.1 Klasifikasi Bahan Desinfektan

Terdapat beberapa klasifikasi bahan desinfektan, antaranya:32,33

a) Low Level Disinfectant

Desinfektan ini mengeliminasi hampir semua mikroorganisme patogen tetapi tidak dapat mengeliminasi spora. Desinfektan ini digunakan untuk alat-alat seperti dental unit, X-ray heads. Bahan yang termasuk low level disinfectant adalah golongan alkohol dan quats (quaternary ammonium compounds).

b) Intermediate Level Disinfectant

Desinfektan ini mengeliminasi semua mikroorganisme patogen tetapi tidak dapat mengeliminasi spora. Desinfektan ini juga digunakan untuk alat-alat seperti kaca mulut, sendok cetak. Bahan yang termasuk intermediate level disinfectant adalah golongan fenol dan halogen.

Sodium hipoklorit termasuk golongan halogen dan merupakan bahan gemisidal yang kuat dan dapat membunuh sebagian besar bakteri.Sodium hipoklorit berupa larutan berwarna putih agak kekuningan berbau khas. Selain itu, sodium hipoklorit merupakan larutan desinfektan yang paling banyak digunakan dan tersedia dalam bentuk cairan dan memiliki efek anti-mikroba.33 Sodium hipoklorit adalah larutan yang berbahan dasar klorin (CI2). Cairan klorin merupakan desinfektan tingkat tinggi karena sangat aktif pada semua bakteri, virus, fungi, parasit dan berbagai spora. Kemampuan desinfeksi sodium hipoklorit terletak pada kemampuannya membentuk asam hipoklorit (HOCI). Asam hipoklorit akan terbentuk apabila sodium hipoklorit dilarutkan dengan air, setelah itu asam hipoklorit akan melepaskan klorin yang akan menempel pada lipoprotein dinding sel bakteri kemudian membentuk senyawa toksik yaitu N-chloro yang dapat mengganggu pembelahan sel, menghentikan regenerasi sel dan mengakibatkan kematian bakteri.34 Savio Marcelo Leite Moreira da Silva (2004) telah melakukan perendaman hasil cetakan silikon dengan larutan desinfektan sodium hipoklorit 1% selama 10 dan 20 menit dan telah menyatakan bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap stabilitas dimensi cetakan silikon.12 Sukhija U, Rathee M dkk (2009) telah melakukan


(38)

perendaman hasil cetakan alginat dan zinc oxide eugenol dengan menggunakan larutan peracitic acid, sodium hipoklorit 5.25% dan glutaraldehid 2% selama 10 menit dan telah menyatakan bahwa peracitic acid merupakan desinfektan yang paling efektif dibanding sodium hipoklorit 5.25% dan glutaraldehid 2% .17 Wala M. Amin (2009) telah melakukan desinfektan hasil cetakan jenis zinc oxide eugenol, silicon dan juga alginat dengan larutan sodium hipoklorit 0.5% dan 1% selama 10 menit terhadap perubahan dimensi dan telah menyimpulkan bahwa sodium hipoklorit 0.5% telah menghasilkan perubahan dimensi yang paling sedikit pada semua jenis bahan cetak.15 Carmen Dolores V.Soares de Moura dkk (2010) juga telah melakukan perendaman hasil cetakan alginat dengan larutan sodium hipoklorit 2.5% dan 5.25% selama 10 menit terhadap jumlah bakteri.18 Distrina Fitrian Sari,R (2013) telah melakukan desinfektan hasil cetakan alginat dengan larutan sodium hipoklorit 0.5% dengan cara perendaman dan penyemprotan, masing-masing teknik perlakuan dilakukan selama 10 menit untuk melihat pengaruhnya terhadap stabilitas dimensi.4

c) High Level Disinfectant

Desinfektan ini mengeliminasi semua mikroorganisme patogen dan mengurangi spora tetapi untuk jumlah yang besar tidak dapat mengeliminasi secara sempurna. Desinfektan ini digunakan untuk alat-alat seperti kaca mulut dan sendok cetak. Bahan yang termasuk high level disinfectant adalah golongan etilen oksida, glutaraldehid dan formaldehid.

Aldehida adalah golongan desinfektan yang sangat efektif dan agen yang paling sering digunakan adalah formaldehid dan gluteraldehid. Aldehida adalah bahan efektif terhadap bakteri, jamur, virus, mikroba dan spora. Senyawa turunan aldehid memiliki gugus aldehid (COH) pada struktur kimianya, misalnya formaldehid, paraformaldehid, dan glutaraldehid. Glutaraldehid 2% digunakan sebagai desinfektan untuk alat-alat medis dan larutan desinfektan ini tersedia baik dalam bentuk cairan maupun bubuk. Glutaraldehid digunakan untuk desinfeksikan bahan cair dan peralatan yang tidak dapat disterilkan dengan pemanasan. Glutaraldehid juga mempunyai aktifitas sporosidal yang tinggi, lebih baik bila


(39)

dibandingkan dengan formaldehyde dalam hal bakterisidal, virusidal dan sporosidal. Merupakan zat yang mempunyai spektrum anti bakteri yang luas dan aktif. Senyawa ini mempunyai keuntungan karena tidak berbau dan efek iritasi terhadap kulit dan mata lebih rendah dibanding formalin. Larutan glutaraldehid 2% efektif sebagai antibakteri dan spora pada pH 7,5 – 8,5.32 Larutan glutaraldehid 2% efektif terhadap bakteri seperti M.tuberculosis, fungi, dan virus akan mati dalam waktu 10-20 menit.1 Savio Marcelo Leite Moreira da Silva dkk (2004) telah melakukan perendaman hasil cetakan silicon dengan larutan desinfektan glutaraldehid 2% selama 10 menit dan 20 menit terhadap stabilitas dimensi.12 Fiona M. Collins dan Bal et al (2007) telah menganjurkan perendaman hasil cetakan dengan larutan desinfektan dilakukan selama 10 menit.8,17 Wala M. Amin dkk (2009) telah melakukan perendaman hasil cetakan alginat, silicon dan zinc oxide eugenol dengan larutan desinfektan glutaraldehid 2% selama 10 menit terhadap perubahan dimensi.15

2.3.1.6.2 Metode Desinfektan

Terdapat 2 metode desinfeksi secara kemis yang sering digunakan yaitu :2,5,8,14 a) Penyemprotan

Metode penyemprotan dapat dilakukan dengan cara menyemprot larutan desinfektan pada hasil cetakan alginat yang akan didesinfeksi kemudian dimasukkan ke dalam tempat yang tertutup dan dibiarkan dalam waktu tertentu sebelum diisi. Metode penyemprotan merupakan metode pilihan untuk mendesinfeksi beberapa jenis alat kedokteran gigi, oleh karena methode penyemprotan hanya menggunakan volume larutan desinfektan yang sedikit. (Gambar 7)


(40)

Gambar 7. Desinfeksi dengan cara penyemprotan.35

b) Perendaman

Metode perendaman dapat dilakukan dengan cara merendam hasil cetakan alginat pada larutan desinfektan yang disediakan dengan waktu tertentu. Metode perendaman merupakan metode desinfeksi yang paling dipilih oleh karena metode ini memungkinkan larutan desinfektan untuk mencapai seluruh permukaan terutama pada daerah undercut pada hasil cetakan alginat. (Gambar 8)

Gambar 8. Desinfeksi dengan cara perendaman.36


(41)

Lamanya perendaman atau penyemprotan tergantung dari jenis desinfektan yang digunakan. Durasi dan metode pengaplikasian desinfektan bergantung pada potensi bahan cetak dalam mengabsorbsi air.

Keuntungan dan kerugian masing-masing metode akan ditunjukkan pada table yang diberikan berikut ini :

Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian Metode Penyemprotan dan Perendaman

Metode Keuntungan Kerugian

Penyemprotan • Lebih sederhana dan cepat

• Memiliki probabilitas terjadinya distorsi yang lebih rendah terutama pada bahan cetak alginat dan polyeter

• Tidak semua permukaan hasil cetakan terdesinfeksi dengan sempurna

• Partikel-partikel dari

larutan desinfektan yang ada di udara dapat terhirup oleh staf atau pasien

Perendaman • Lebih efektif

• Seluruh permukaan

hasil cetakan akan terdesinfeksi dengan sempurna

• Mengurangi resiko

terhirupnya

partikel-partikel larutan desinfektan

• Dapat menyebabkan distorsi pada hasil cetakan jika desinfektan dilakukan terlalu lama


(42)

2.4 Bahan Cetak

2.4.1 Klasifikasi Bahan Cetak

Salah satu perawatan di bidang prostodonsia adalah pembuatan gigitiruan, tahap awal dalam pembuatan gigitiruan adalah membuat pencetakan pada rahang pasien untuk mendapatkan hasil cetakan negatif yang selanjutnya diisi dengan gips untuk mendapatkan model studi maupun model kerja. Secara garis besar, bahan yang digunakan untuk melakukan pencetakan dapat diklasifikasikan atas dua jenis yaitu bahan cetak non-elastis dan bahan cetak elastis. Bahan cetak yang bersifat non-elastis adalah impression compound, impression wax, plaster of paris dan zinc oxide eugenol. Bahan cetak elastis terdiri dari reversibel hidrokoloid, irreversibel hidrokoloid(alginat) dan elastomer.37,38

2.4.1.1 Bahan Cetak Non-elastis

1. Impression Compound

Impression compound adalah bahan cetak yang terdiri dari campuran malam, resin termoplastik, bahan pengisi dan bahan pewarna. Bahan ini digunakan pada suhu dalam keadaan panas dan kemudian akan kembali keras pada suhu pendinginan sesuai dengan temperatur rongga mulut. Indikasi utama penggunaannya adalah untuk mencetak linggir tanpa gigi dan daerah yang tidak mempunyai undercut.

2. Impression Wax

Bahan cetak wax biasa digunakan untuk menghasilkan cetakan yang memerlukan tekanan dalam pembuatan gigitiruan. Bahan ini juga dapat digunakan untuk memperbaiki kesalahan cetakan yang disebabkan karena ukuran sendok cetak yang terlalu kecil sehingga wax dapat ditambahkan pada ujung sendok cetak yang disesuaikan dengan rahang pasien.

3. Impression Plaster

Impression plaster atau yang lebih dikenal dengan plaster of paris atau gips cetak merupakan bahan cetak yang berbahan dasar gipsum. Bahan cetak ini bersifat


(43)

rigid dan lebih mudah patah. Dalam bidang kedokteran gigi bahan ini digunakan untuk membuat model studi. Gips ini harus disimpan dalam kantung kedap udara karena akan menyerap air dari udara dan akan mempengaruhi waktu pengerasan.

4. Zinc Oxide Eugenol

Bahan cetak zinc oxide eugenol merupakan bahan cetak berbentuk pasta. Bahan ini dikemas dalam 2 bentuk pasta yang berbeda pada masing-masing tube aselerator yaitu base (basis) dan aselerator. Pada base mengandung zinc oxide eugenol dan minyak mineral sedangkan pada tube aselerator mengandung eugenol dan rosin. Bahan cetak zinc oxide eugenol terutama digunakan sebagai bahan cetak untuk gigitiruan pada linggir edentulus dengan undercut kecil atau tanpa undercut. Bahan ini memiliki keuntungan yaitu mampu mengisi pada bagian yang akurat dari hasil cetakan jaringan lunak oleh karena sifat daya alirnya rendah.

2.4.1.2 Bahan Cetak Elastis

1. Reversibel Hidrokoloid (agar)

Komponen dasar bahan cetak hidrokoloid adalah agar. Agar adalah koloid hidrofilik organik yang diekstrak dari rumput laut jenis tertentu. Kandungan utama dalam bahan cetak hidrokoloid berdasarlan berat adalah air. Reversible hydrocolloid merupakan salah satu bahan cetak terakurat. Bahan ini juga sering digunakan untuk mendapatkan hasil cetakan model pada pembuatan gigituran.

2. Irreversible Hidrokoloid (alginat)

Alginat merupakan bahan cetak yang penggunannya paling luas dalam bidang kedokteran gigi. Manipulasi bahan ini sangat mudah dan tanpa menggunakan alat khusus yaitu dengan cara mengaduk bahan cetak alginat dengan p/w ratio sesuai dengan petunjuk pabrik. Bahan ini biasa dipakai sebagai cetakan pendahuluan untuk mambuat studi model pada perawatan konservasi, prostodonsia dan orthodonti.


(44)

3. Elastomer

Elastomer adalah bahan cetak fleksibel dan menyerupai karet setelah proses pengerasan berlangsung. Kebanyakan bahan cetak ini adalah system dua komponen yang dikemas dalam bentuk pasta. Bahan ini terdiri atas empat jenis yaitu polisulfida, polieter, silikon polimerisasi adisi dan silikon polimerisasi kondensasi.

2.4.2 Persyaratan Bahan Cetak

Menurut Powers JM, dkk (2008), bahan cetak yang ideal adalah bahan cetak yang memenuhi pensyaratan yaitu :38

1. Mempunyai aroma dan rasa yang menyenangkan serta warna yang baik 2. Tidak mengandung bahan yang beracun dan tidak mengiritasi jaringan 3. Mudah dimanipulasikan dan tidak mempergunakan alat-alat yang rumit 4. Setting time yang tidak terlalu lama

5. Konsistensi (daya alir) yang baik dan permukaan yang halus 6. Tidak terjadi deformasi sesudah dicetak

7. Cukup kuat agar tidak pecah atau koyak sewaktu dikeluarkan dari mulut 8. Tidak terjadi perubahan dimensi

9. Relatif tidak mahal

Tidak ada satupun bahan cetak yang memenuhi seluruh pensyaratan diatas, sehingga pemilihan bahan cetak tersebut tergantung pada keadaan klinis dan pilihan masing-masing dokter gigi.

2.4.3 Hasil Cetakan Alginat

Alginat merupakan bahan cetak hidrokoloid bersifat ireversibel yang telah diperkenalkan sejak 1940 dan merupakan salah satu bahan cetak gigi yang paling sering digunakan di bidang kedokteran gigi.9 Bahan dasar alginat didapat dari alginat acid yang diambil dari tumbuh-tumbuhan laut dimana substansi alami ini diidentifikasi sebagai suatu polimer linier dengan berbagai kelompok asam karboksil dan dinamakan asam alginik.37,38 Bahan cetak ini memiliki banyak kelebihan,


(45)

diantaranya manipulasi mudah dan tidak memerlukan banyak peralatan, relatif tidak mahal, dan nyaman bagi pasien. Bahan cetak ini juga mudah ditolerir oleh pasien karena cepat mengeras dan terdapat aroma yang menyegarkan seperti permen karet untuk mengurangi reflek muntah. Kekurangan dari bahan cetak alginat ini adalah mempunyai sifat sineresis dan sifat imbibisi yaitu menyerap air sehingga dapat mengakibatkan perubahan dimensi pada hasil cetakan, selain itu bahan cetak alginat juga mempunyai potensi retensi mikroba lebih kuat dibanding bahan cetak lainnya karena terjadi penyerapan cairan rongga mulut saat dilakukan pencetakan.4,6,8,10

2.4.3.1 Komponen Alginat

Komponen aktif utama dari bahan cetak alginat adalah komponen yang larut air, seperti natrium dan kalium. Bila komponen alginat dicampur dengan air, bahan tersebut akan membentuk sol. Sol tersebut sangat kental meskipun dalam konsentrasi rendah. Alginat dapat larut membentuk sol dengan cepat bila bubuk alginat dan air diaduk dengan kuat.

Menurut ANSI-American Dental Association (ADA) Specification NO.18 komposisi alginat dan fungsinya dapat dilihat dalam table berikut.37,38

Tabel 2. Komposisi Bahan Cetak Alginat dan Fungsinya.

KOMPONEN FUNGSI

Sodium atau Potassium alginat salt

Untuk melarutkan bubuk dalam air dan bereaksi dengan ion kalsium

Calcium Sulfate Untuk bereaksi melarutkan bubuk alginat dari bentuk kalsium alginat yang tidak larut

Sodium Phospate Untuk bereaksi dengan kalsium sulfat dan memperlambat setting time.

Diatomaceous earth atau silicate powder

Untuk kontrol konsistensi pencampuran dan fleksibilitas setting time


(46)

Potassium sulfate atau potassium zinc fluoride

Untuk menetralkan efek penghambat kekerasan selama pembuatan model gips Quaternary ammonium

compounds atau klorhexidin

Sebagai self desinfeksi

Organis glycol Sebagai pelapis partikel-partikel powder untuk meminimalkan debu selama pengadukkan

Pigments Untuk memberikan warna

Phenylalaine Untuk bahan pemanis

Wintergreen, peppermint,anise Untuk memberikan rasa yang nyaman

2.4.3.2 Pemanipulasian Alginat

Bubuk alginat dan air harus diukur sesuai dengan yang dianjurkan oleh pabrik dan apabila alginat dan air dicampur akan menghasilkan bentuk pasta. Jumlah relatif air dan bubuk alginat mempengaruhi fleksibilitas alginat dan campuran yang kental akan menghasilkan fleksibilitas yang lebih rendah. Pengadukan dilakukan dengan cepat dan terus-menerus, spatula bersinggungan sempurna dengan dinding rubber bowl serta membentuk angka 8 hingga sepenuhnya homogen. Bila pengadukan tidak sempurna, kekuatan gel akan berkurang sampai 50%. Demikian juga bila pengadukan terlalu lama, gel akan rusak dan kekuatannya akan menurun, sehingga mudah koyak pada saat pencetakan. Waktu pengadukan yang umum adalah 30 detik sampai 1 menit, tergantung tipe alginat yang digunakan. Berdasarkan spesifikasi American Dental Association (ADA) nomor 18 terdapat dua jenis alginat yaitu jenis alginat yang mengeras dengan cepat (1-2 menit) dan yang mengeras dengan kecepatan yang normal (2-5 menit).37,38

Lebih dari 100 tahun yang lalu Professor W.C.Barret dari Buffalo Dentistry School USA menitik beratkan tentang bahaya penularan penyakit infeksi dari rongga mulut pasien semasa proses perawatan gigi. Saat dilakukan prosedur pencetakan, terutama pada pasien yang mempunyai kesehatan rongga mulut yang kurang baik, membran mukosa dan gusi dapat mengalami cedera maka saliva dan darah dengan


(47)

mudah akan terdapat pada hasil cetakan. Hal ini menyebabkan bakteri dan virus yang berada pada rongga mulut melekat pada hasil cetakan tersebut. Apabila hasil cetakan ini diisi dengan gips maka mikroorganisme ini akan berpindah pula pada permukaan gips dan keadaan ini akan memberi resiko yang tinggi kepada dokter gigi, perawat dan laboran untuk terkontaminasi infeksi melalui sentuhan tangan.39 Menurut beberapa penelitian, hasil cetakan yang terkontaminasi bakteri dapat menularkan penyakit atau menjadi sumber infeksi silang yang dapat menyebar ke dokter gigi, perawat maupun teknisi laboratorium. Untuk mencegah terjadi infeksi silang maka hasil cetakan harus dicuci dibawah air mengalir selama 15 detik dan setelah itu dilakukan desinfeksi supaya dapat meminimalkan jumlah bakteri pada hasil cetakan dan juga dapat mencegah terjadinya infeksi silang.4,8 Desinfeksi pada hasil cetakan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu direndam atau disemprot, namun kedua metode ini mempunyai keuntungan dan kerugiannya tersendiri. Metode yang paling sering digunakan adalah metode perendaman karena metode ini memungkinkan larutan desinfektan mencapai seluruh permukaan hasil cetakan terutama pada daerah undercut hasil cetakan alginat dan juga dapat mengurangi resiko terhirupnya partikel-partikel larutan desinfektan. Lama perendaman hasil cetakan harus sesuai dengan jenis larutan desinfektan yang digunakan supaya tidak terjadi distorsi pada hasil cetakan. Perendaman hasil cetakan alginat dalam larutan sodium hipoklorit 0.5% dan glutaraldehid 2% dilakukan selama 10 menit.


(48)

2.5 Kerangka Teori Infeksi Silang Definisi dan Pengertian Kontrol Infeksi Perjalanan Penyakit Cara Penularan Penyakit

Prosedur Kontrol Infeksi

Evaluasi Pasien Metode Perkutaneus Perlindungan Diri Sterilisasi Alat dan Bahan Desinfeksi Inhalasi aerosol atau droplet Kontak Tidak Langsung

Pembuangan Sampah Bekas Praktek Klasifikasi Kontak Langsung Penyemprotan Perendaman Low Level Disinfectant Intermediate Level Disinfectant High Level Disinfectant Pencegahan Alkohol Quats Fenol

Halogen ( Sodium Hipoklorit)

Etilen Oksida

Formaldehid

Glutaraldehid Mikroorganisme

Bakteri Virus Protozoa dan Jamur


(49)

2.6 Kerangka Konsep

Cetakan Alginat

Perendaman dalam larutan desinfektan

Sodium Hipoklorit 0.5% (Intermediate Level Desinfektant)

Glutaraldehid 2% (High Level Desinfektant)

Memiliki gugus aldehid (COH), merupakan zat yang mempunyai spektrum anti bakteri yang luas dan aktif terhadap bakteri, jamur, virus, mikroba dan spora.

Memiliki bahan dasar klorin (CI2) yang dibentuk oleh asam hipoklorit, dan akan menempel pada lipoprotein dinding sel bakteri sehingga akan membentuk senyawa toksik yaitu N-chloro.

Pembelahan sel terganggu, menghentikan regenerasi sel dan mengakibatkan menurunnya jumlah koloni bakteri.

Jumlah koloni bakteri pada cetakan alginat menurun


(50)

2.7 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut :

1. Terdapat penurunan jumlah koloni bakteri pada cetakan alginat sesudah direndam dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% selama 10 menit.

2. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara perendaman cetakan alginat dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% selama 10 menit terhadap penurunan jumlah koloni bakteri


(51)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan menggunakan pre test and post test control group design.

3.2 Populasi Penelitian

Pasien di Klinik Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara ( FKG USU )

3.3 Sampel dan Besar Sampel Penelitian

3.3.1 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah hasil cetakan alginat yang didapat dari cetakan rahang atas pasien, untuk menghindari terjadinya bias maka ditetapkan area swabbing di area molar.

Kriteria inklusi,yaitu : a. Pasien edentulus sebagian

b. Pasien yang koperatif dan bersedia menjadi subjek Kriteria eksklusi,yaitu :

a. Pasien yang mengkonsumsi obat antibiotik

3.3.2 Besar Sampel

Jenis penelitian dan sampel yang disarankan menurut Frankel dan Wallen adalah sebanyak 15 subjek per kelompok untuk penelitian eksperimen. Peneliti ingin melakukan penelitian eksperimental laboratoris dengan jumlah sampel sebanyak 30


(52)

karena terdapat 2 kelompok yaitu kelompok sodium hipoklorit 0,5% dan kelompok glutaraldehid 2%.

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Klasifikasi Variabel

3.4.1.1 Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah hasil cetakan alginat yang direndam dalam larutan desinfektan sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2%.

3.4.1.2 Variabel Terikat

Presentase penurunan jumlah koloni bakteri pada hasil cetakan alginat.

3.4.1.3 Variabel Terkendali

a. Pasien edentulus sebagian

b. Rasio alginat dan air (sesuai petunjuk pabrik) c. Waktu pengadukan alginat

d. Lama dan cara pembilasan hasil cetakan alginat e. Jenis larutan desinfektan

f. Konsentrasi larutan desinfektan

g. Lama perendaman sampel dalam desinfektan h. Waktu vortex

i. Suhu dan waktu inkubator

j. Teknik pengisolasian dan pengkulturan k. Daerah swabbing


(53)

3.4.1.4 Variabel Tidak Terkendali

a. Kecepatan pengadukan bahan cetak alginat

3.4.2 Definisi Operasional

Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Bebas

Variabel Bebas Definisi operasional Skala Ukur

Alat Ukur

Cetakan alginat Cetakan alginat adalah cetakan negatif dari rahang atas rongga mulut pasien yang selanjutnya dibilas dengan air dan direndam dalam larutan sodium hipoklorit 0,5%, glutaraldehid 2%.

- -

Tabel 3. Definisi Operasional Variabel Terikat

Variabel Terikat Definisi Operasional Skala Ukur

Alat Ukur

Penurunan jumlah koloni bakteri pada hasil cetakan

Penurunan jumlah koloni bakteri sebelum dan sesudah perlakuan yang dihitung dengan menggunakan alat colony counter.

CFU/ml Colony Counter

Tabel 4. Definisi Operasional Variabel Terkendali

Variabel Terkendali Definisi operasional Skala Ukur Alat Ukur

Pasien edentulus sebagian Orang yang kehilangan gigi satu atau lebih di regio mana saja di rahang atas

- -

Rasio alginat dan air Perbandingan jumlah bubuk : air yang digunakan (sesuai petunjuk pabrik)

- Sendok takar

alginat dan sendok takar air

Waktu pengadukan alginat Waktu yang diperlukan untuk mengaduk alginat dengan menggunakan spatula dan rubber bowl yaitu selama 1,5 menit.

Menit Stopwatch

Lama dan cara pembilasan hasil cetakan alginat

Hasil cetakan dibilas dibawah air mengalir selama 15 detik.

Detik Stopwatch Jenis dan konsentrasi

larutan desinfektan

Larutan desinfektan yang digunakan adalah sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2%

- -

Waktu perendaman sampel dalam desinfektan

Waktu yang diperlukan untuk merendam sampel masing-masing 10 menit dalam desinfektan.

Menit Stopwatch

Waktu vortex Setiap nutrient broths divortex selama 30 detik.


(54)

Suhu dan waktu inkubasi Suhu dan waktu yang dibutuhkan untuk inkubasi sampel adalah pada suhu 37⁰C selama 24 jam.

Derajat celcius

-

Teknik isolasi dan pengkulturan

Teknik isolasi yang dilakukan yaitu dengan menggunakan stainless steel wire dan pengkulturan pada nutrien agar dengan teknik yang sama pada semua sampel dan kelompok.

- -

Daerah swabbing Swabbing dilakukan pada daerah molar untuk menghindari terjadinya bias

Peneliti yang sama Peneliti yang sama untuk setiap tindakan dan bertanggungjawab pada manipulasi dan kerja alat saat melakukan pencetakan dan perhitungan jumlah koloni bakteri.

- -

Tabel 5. Definisi Operasional Variabel Tidak Terkendali Variabel Tidak

Terkendali

Definisi Operasional Skala Ukur

Alat Ukur

Kecepatan pengadukan bahan cetak alginat

Kecepatan pengadukan tidak dapat dikendalikan.

- -

3.5 Tempat dan Waktu penelitian

3.5.1 Tempat Penelitian

3.5.1.1 Tempat Pembuatan Sampel :

Klinik Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara (FKG USU)

3.5.1.2 Tempat Pengujian Sampel

Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU

3.5.2 Waktu Penelitian


(55)

3.6 Alat dan Bahan Penelitian 3.6.1 Alat Penelitian

a. Masker b. Sarung tangan c. Sendok cetak

d. Rubber bowl dan spatula

e. Sendok takar alginat dan sendok takar air f. Stopwatch

g. Gelas beker (Pyrex, Jepang) h. Benang

i. Aluminium foil (Gambar 9)

Gambar 9. Aluminium foil

j. Sterile needle wire k. Spiritus


(56)

Gambar 10.Vortex

m. Mikropipet

o. Inkubator (Heraeus, Jerman) (Gambar 11)

Gambar 11. Inkubator


(57)

Gambar 12. Colony counter

3.6.2 Bahan Penelitian

a. Bahan cetak alginat (Aroma Fine Plus Normal Set, Tokyo-Japan) b. Sodium hipoklorit 0.5%

c. Glutaraldehid 2% d. Aquades

e. Nutrient Agar

f. Nutrient Broths (Gambar 13)


(1)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Terjadi penurunan jumlah koloni bakteri pada cetakan alginat sesudah direndam dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan larutan glutaraldehid 2% selama 10 menit sebesar 43,33% untuk kelompok sodium hipoklorit 0,5% dan sebesar 46,74% untuk kelompok yang direndam dalam larutan glutaraldehid 2%.

2. Tidak ada perbedaan yang signifikan perendaman cetakan alginat dalam larutan sodium hipoklorit 0,5% dan dalam larutan glutaraldehid 2% terhadap penurunan jumlah koloni bakteri (p>0,05), meskipun berdasarkan nilai rerata, larutan glutaraldehid 2% (81,47 x 102 ± 23,99 x 102) menunjukkan pengaruh yang lebih baik dalam menurunkan jumlah koloni bakteri pada cetakan setelah direndam selama 10 menit daripada larutan sodium hipoklorit 0,5% (75,47 x 102 ± 1,50 x 102).

Dapat disimpulkan bahwa kedua larutan tersebut yaitu sodium hipoklorit 0,5% dan glutaraldehid 2% dapat digunakan sebagai desinfektan pada cetakan alginat dalam menurunkan jumlah koloni bakteri dan hal ini dapat mengurangi resiko dari terjadinya infeksi silang.

6.2 Saran

1. Dokter gigi dapat memilih jenis larutan desinfektan yang lebih efektif dalam menurunkan jumlah koloni bakteri pada cetakan alginat supaya dapat mencegah dari terjadinya infeksi silang.


(2)

2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai penurunan jumlah koloni bakteri pada cetakan alginat dengan menggunakan larutan sodium hipoklorit dan glutaraldehid dengan konsentrasi yang lebih tinggi.

3. Penelitian yang lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui penurunan jumlah koloni bakteri pada cetakan alginat dengan menggunakan larutan desinfektan yang berbeda.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sunoto Ratna I. Tindakan Pencegahan Penularan Penyakit Infeksi Pada Praktek Dokter Gigi. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti. Jakarta, 2011; 4: 2-16.

2. Sousa CJ, Tabaio MA, Silva A,dkk. The effect of water and sodium hypochlorite disinfection on alginate impressions. Elsevier Doyma 2013; 54(1): 8-12.

3. Ahsan MR, Islam KZ, Begum J. Study on antimicrobial effect of disinfecting solutions on alginate impression materials. Dent Coll J 2013; 3(1): 18-23. 4. Sari RF, Parnaadji R, Sumono A. Pengaruh Teknik Desinfeksi dengan

Berbagai Macam Larutan Desinfektan pada Hasil Cetakan Alginat terhadap Stabilitas Dimensional. Jurnal Pustaka Kesehatan 2013; 1(1): 29-34.

5. Badrian H, Ghasemi E, Hosseini N dkk. The Effect of Three Different Disinfection Materials on Alginate Impression by Spray Method. ISRN Dentistry 2012; 1-5.

6. Haralur BS, Al-Dowah OS, Gana SN, Al-Hytham A. Effect of alginate chemical disinfection on bacterial count over gypsum cast. 4 th ed., J Adv Prostodont 2012 : 84-8.

7. Kollu S, Hedge V, Pentapati CK. Efficacy of Chlorhexidine in Reduction of Microbial Contamination in Commercially Available Alginate Materis-In-Vitro Study. Global Journals Inc 2013; 13(2).

8. Collins FM. Disinfecting Impressions for Infection Prevention. A Peer Reviewed 2013; 16-8.

9. Nallammuthu NA, Braden M, Patel MP. Some aspects of the formulation of alginate dental impresson materials- Setting characteristics and mechanical properties. 28 th ed., Elsevier 2012 : 756-762.

10.Boksman L, Tousignant G. Alginate Substitutes Rionale for Their Use. CDT: Dentistry Today 2009; 28(4) : 57-60.


(4)

11.Gambardella GE, Johnson JR. Alginate Impression and Diagnostic Study ModelTechniques.http://www.dentalcare.com/enUS/dentaleducation/continuin g-education/ce378/ce378.aspx. (February 3,2014)

12.Silva SM, Salvador MC. Effect of the disinfection technique on the linear dimensional stability of dental impression materials. A Appl Oral Sci 2004; 12(3): 244-9.

13.Ferreira FM, Novais V, Sinomoto PC, Soares C, Fernandes A. Evaluation of Knowledge About Disinfection of Dental Impressions in Several dental Schools. Rev Odontol Bras Central 2010; 19(51): 285-9

14.PalenikCJ.DentalLaboratoryAsepsis.http://www.dentistrytoday.com/infection -control/1325 (31 December 2004).

15.Amin W, Al-Ali M, Tarawneh S, Taha S dkk. The Effects of Disinfectants on Dimensional Accurary and Surface Quality of Impression Materials and Gypsum Casts. J Clin Med Res 2009; 1(2): 81-9.

16.Sumadhi S. Perubahan Dimensi Hasil Cetakan Gigi dan Mulut.USU Press 2010; 71-81.

17.U Sukhija, M Rathee, N Kukreja, Khindria S dkk. Efficacy of Various Disinfectants on Dental Impression Materials. The Internet Journal of Dental Science 2009; 9(1).

18. Moura C, Moura WL, Franca F, Martins G dkk. Disinfection of irreversible hydrocolloid impressions with sodium hypochlorite steam : Assesment of antimicrobial efficacy. Rev Odonto 2010; 25(2) : 182-7.

19.Aeran H, Jurel S, Dhobhal A. Antimicrobial efficacy of spray disinfectants on dental impressions. Indian Journal of Dental Science 2010; 2(6) 10-3.

20.Szymanska j. Microbiological risk factors in dentistry. Current status of knowledge. Ann agric environ med 2005; 12, 157-163

21.Slots J, Slots H. Bacterial and viral pathogens in saliva. : disease relationship and infectious risk. Periodontology 2000; vol 55 2011, 48-69.

22.Roberts JR. The Causes of Infection.


(5)

23.Kohn W, Collins A, Cleveland J, Harte J, Eklund K dkk. Guidelines for Infection Control in Dental Health-Care Settings. MMWR 2003; 52(17) : 1-29.

24.MifflinH.CrossInfection

25.Pankhurst CL, Coulter WA. Infection Prevention and Control In Dentistry.

New Delhi,India: Aptara., 2009: 1-15.

26.Cherney K. Cross Infection

( 5 June 2013).

27.Georgescu CE, Skaug N, Patrascu I. Cross Infection in Dentistry. Roum Biotechnol. Lett 2002; 7(4) : 861-8.

28.Royal College of Dental Surgeons of Ontario. Infection Prevention and Control in the Dental Office, 2010: 4-37.

29.Kohli A, Puttaiah R. Infection Control And Occupational Safety Recommendations For Oral Health Professionals. Dental Council of India, 2007: 1-12.

30.Rampal N, Pawah S, Kaushik P. Infection Control In Prostodontics. J Oral Health Comm Dent 2010; 4(1) : 7-11.

31.Malone B. Good Practice in Infection Prevention and Control. Royal College of Nursing 2005; 4-8.

32.DvorakG.Disinfection101.http://www.cfsph.iastate.edu/Disinfection/index.ph p ( February 2005).

33.Gamage B. A Guide to Selection and Use of Disinfectants. BC Centre for Disease Control,2003; 1-10.

34.David, Munadziroh E. Perubahan warna lempeng rin akrilik yang direndam dalam larutan desinfektan sodium hipoklorit dan klorhexidin. Maj. Ked. Gigi (Dent. J) 2005; 38(1) : 36-40.

35.BA Mary. Combating Cross Contamination. Inside Dental Technology. 2013. 36.M Belinda. Protocols regarding Infection Control. Associated Dental


(6)

37.Hatrick CD, Eakle WS, Bird W. Dental Materials Clinical Applications for Dental Assistants and Dental Hygienists. 2 nd ed. Elsevier 2011; 179-182. 38.Powers JM, Wataha JC. Dental Materials properties and Manipulation. 9 th

ed. Mosby Elsevier 2008; 172-180.

39.Junevicius J, Pavilonis A, Surna A. Trasnmission of Microorganisms from Dentist to Dental Laboratory Technicians through Contaminated Dental Impressions. Baltic Dental and Maxillofacial Journal 2004; 6(1) : 20-23.