Struktur Komunitas Burung .1 K

Burunggereja Erasia ditemukan paling melimpah di lokasi dengan tingkat gangguan tinggi, dan merupakan jenis burung dominan dalam penelitian ini. Pembahasan mengenai Burunggereja Erasia akan disajikan dalam bagian tersendiri dalam bagian “jenis burung dominan”. Kesamaan Komunitas Indeks kesamaan jenis tertinggi adalah antara lokasi dengan gangguan habitat sedang dan tinggi. Sebanyak 20 jenis burung yang terdapat di lokasi dengan gangguan tinggi juga terdapat di lokasi dengan gangguan sedang. Namun jenis dominan yang terdapat di lokasi dengan gangguan tinggi yaitu Burunggereja Erasia tidak ditemukan sama sekali di lokasi dengan gangguan sedang. Kesamaan jenis yang tinggi 69.20 tersebut tersebut dikarenakan pada kedua lokasi ini memiliki kemiripan berupa banyaknya semak belukar serta kebun yang menjadi habitat bagi jenis-jenis burung tersebut. Adapun jenis tumbuhan bawah yang memiliki kesamaan adalah putri malu dan sentro buah polong-polongan. Lokasi dengan tingkat gangguan rendah memiliki kesamaan komunitas burung paling rendah dengan dua lokasi lainnya. Sebanyak 22 jenis burung yang terdapat di lokasi dengan gangguan rendah, tidak ditemukan di kedua lokasi yang lainnya. Perbedaan komposisi jenis tersebut dikarenakan lokasi ini memiliki tutupan tajuk yang rapat dan pohon-pohon tinggi serta sedikit memiliki semak belukar dan daerah terbuka. Selain itu, lokasi ini mengalami sedikit gangguan baik darikegiatan pembangunan maupun aktivitas manusia sehingga burung- burung tertentu yang pemalu atau sangat sensitif dengan keberadaan manusia masih dapat hidup di lokasi gangguan rendah ini. Komposisi Guild Komposisi guild tidak berbeda di semua lokasi penelitian, yaitu terdapat sebanyak 5 guild di masing-masing lokasi. Walaupun demikian, jumlah jenis untuk masing-masing guild berbeda lihat Tabel 3.5. Hal ini diduga semua lokasi yang diteliti masih menyediakan pakan dan tempat berlindung untuk jenis-jenis burung dalam guild tersebut. Perrins dan Birkhead 1983 menyatakan bahwa salah satu faktor yang mendorong burung untuk melakukan bertahan hidup dan berkembangbiak adalah ketersediaan pakan yang cukup. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan van Balen 1987 yang menyatakan bahwa area Darmaga bisa jadi contoh bagaimana burung dapat bertahan dengan adanya pembangunan yang merusak habitat. Guild pemakan serangga secara umum mendominasi di Kampus IPB Darmaga. Pada lokasi dengan gangguan rendah guild terdiri atas 19 jenis burung 70.37. Vegetasi yang terdiri dari pohon - pohon tinggi dan berbunga serta adanya semak belukar berbunga membuat lokasi ini juga dihuni berbagai macam serangga yang menjadi sumber pakan burung-burung pemakan serangga ini. Selain burung pemakan serangga, di lokasi dengan gangguan rendah ini juga tercatat guild pemakan buah 7.41, pemakan biji 7.41, pemakan daging dan vertebrata lain 11.11 dan pemakan campuran 3.70. Kelompok burung pemakan daging dan vertebrata lain di lokasi dengan gangguan sedang merupakan kelompok terbanyak dibandingkan lokasi lain. Terdapat dua jenis dalam guild ini yang tidak ditemukan di lokasi lain yaitu Celepuk Reban dan Cabak Maling . Kedua jenis ini merupakan jenis yang sangat sensitif terhadap keberadaan manusia dan merupakan jenis nokturnal. Pada saat penelitian, Celepuk Reban terjaring jala kabut pada pagi hari sekitar pukul 07.00 sedangkan Cabak Maling teridentifikasi melalui suara pada sore hari sekitar pukul 17.00. Penemuan jenis burung pemakan daging dan vertebrata lain ini merupakan indikasi bahwa lokasi ini masih layak untuk habitat burung bahkan untuk konsumen tingkat tinggi. Lokasi dengan gangguan sedang memiliki jenis pemakan serangga terbanyak dibandingkan lokasi lain yaitu sebanyak 21 jenis 75.00. Selain itu, burung pemakan buah juga paling banyak ditemukan di lokasi ini 10.71 dibandingkan di lokasi lain. Habitat yang bervariasi seperti adanya kebun, padang rumput, semak belukar, habitat perairan sungai dan banyaknya edge di lokasi ini membuat sumber pakan berupa buah, biji dan serangga cukup melimpah. Pada saat penelitian terlihat banyak tumbuhan berbunga dan berbuah di lokasi ini. Hal ini memungkinkan berbagai jenis burung dapat bertahan hidup di lokasi ini. Selain itu, lokasi yang jauh dari keramaian dan aktivitas manusia membuat lokasi ini cukup ideal untuk habitat burung. Guild di lokasi dengan gangguan tinggi yang paling banyak ditemukan adalah burung pemakan serangga 66.67, disusul oleh burung pemakan biji dan pemakan campuran masing-masing sebesar 12.50. Habitat terbuka, banyaknya padang rumput dan kebun-kebun milik warga sekitar membuat jenis-jenis burung ini mudah mencari sumber pakan. Sebagian besar burung di lokasi ini sudah terbiasa dengan keberadaan manusia karena walaupun aktivitas manusia sangat banyak, namun jenis-jenis burung tertentu tetap beraktivitas tanpa terganggu. Bobot Tubuh Sebagian besar burung yang tertangkap memiliki bobot antara 11 −20 gr 44.44. Bobot tubuh mempengaruhi tertangkap atau tidaknya burung pada jala kabut Jenni et al. 1996. Selain itu mata jaring akan mempengaruhi spesies dan individu yang tertangkap Pardieck dan Waide 1992. Dalam penelitian ini, jaring yang digunakan memiliki ukuran mata jaring 25 mm dan 30 mm dan bobot tubuh yang tertangkap dibawah 50 g sebanyak 248 individu, sedangkan bobot di atas 50 g sebanyak 8 individu. Hal ini senada dengan pernyataan Pardieck dan Waide 1992 yang menyatakan bahwa burung dengan bobot tubuh dibawah 50 g akan banyak tertangkap pada jaring dengan ukuran mata jaring 25 mm dan 30 mm. Jumlah jenis burung yang tertangkap dengan jala kabut mist net di semua lokasi penelitian hanya enam jenis lihat Tabel 3.8. Cekakak Jawa dan Cucak Kutilang tercatat memiliki bobot tubuh lebih tinggi di lokasi dengan gangguan rendah dibandingkan dengan lokasi pengamatan lain. Berbeda dengan Cinenen Jawa dan Cabai Jawa yang justru memiliki bobot tubuh lebih berat di lokasi dengan gangguan tinggi. Secara ekologi Cekakak Jawa merupakan jenis burung berwarna cerah, pemakan serangga, dan jenis ini umumnya hidup di lahan terbuka di dekat air bersih, memiliki kebiasaan bertengger di cabang rendah pohon-pohon pada lahan terbuka MacKinnon et al. 2010. Cucak Kutilang merupakan jenis burung pemakan serangga dan buah-buah berukuran kecil, dapat ditemukan di taman dan pekarangan MacKinnon et al. 2010. Ukuran dan bobot tubuh kedua jenis ini lebih besar di lokasi dengan tingkat gangguan rendah dibanding lokasi lain. Perbedaan bobot tubuh diduga disebabkan oleh perbedaan ketersediaan sumber pakan yang ada cukup melimpah dan tidak terjadi persaingan dalam mendapatkan sumber pakan. Pelanduk Topi-hitam, Cinenen Jawa dan Cabai Jawa merupakan jenis- jenis burung yang memiliki bobot tubuh tertinggi di lokasi dengan gangguan tinggi. Pelanduk Topi-hitam menghuni tumbuhan bawah di hutan primer atau sekunder dan rumpun bambu atau palem MacKinnon et al. 2010. Lokasi dengan tingkat gangguan tinggi memiliki banyak tumbuhan bawah serta berbatasan langsung dengan rumpun bambu. Lokasi tersebut sesuai untuk habitat Pelanduk Topi-hitam, selain itu tumbuhan bawah yang banyak serta tumbuhan-tumbuhan berbunga yang dapat mendatangkan serangga menjadi faktor penting dalam menyediakan pakan melimpah bagi jenis ini. Cinenen Jawa merupakan burung lincah dan beraktivitas di semak bawah dan tajuk pohon, pemakan serangga dan umumnya menempati habitat berupa hutan terbuka, pinggiran hutan dan rumpun bambu MacKinnon et al. 2010. Semak belukar dan pohon-pohon rendah yang terdapat di lokasi dengan tingkat gangguan tinggi menjadikan lokasi ini menjadi tempat yang cocok untuk habitat Cinenen Jawa. Habitat yang sesuai serta pakan yang melimpah diduga menjadi faktor penting yang membuat bobot tubuh jenis ini menjadi lebih berat dibandingkan lokasi lain. Selain itu jumlah individu Cinenen Jawa di lokasi ini merupakan individu terbanyak dibandingkan dengan lokasi lain. Cabai Jawa merupakan jenis burung yang sangat lincah, pakan utama berupa buah benalu yang lengket, namun jenis ini juga memakan serangga kecil dan buah-buahan kecil MacKinnon et al. 2010. Individu yang tertangkap di lokasi dengan tingkat gangguan tinggi ini hanya satu ekor, namun memiliki bobot tertinggi dibandingkan dengan lokasi yang lain. Ketersediaan pakan berupa benalu diduga menjadi faktor yang menyebabkan bobot tubuh Cabai Jawa menjadi besar di lokasi ini. Analisis Jenis Dominan Burunggereja Erasia Burunggereja Erasia di Kampus IPB Darmaga lebih banyak tertangkap pada awal musim hujan 56. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktivitas burung secara umum akan berkurang pada saat cuaca hujan Novarino 2008. Namun Novarino 2008 juga menambahkan bahwa ada beberapa jenis burung yang dapat beradaptasi pada kondisi hujan. Burunggereja Erasia mampu beradaptasi untuk tetap beraktivitas dalam kondisi yang tidak baik seperti pakan yang terbatas dan adanya predator Tobolka 2011. Selain itu, pada saat penelitian hujan turun pada sore hari pukul 15.00 sehingga aktivitas burung pada pagi dan siang hari tidak terganggu oleh cuaca hujan. Jumlah tangkapan pada akhir musim hujan cenderung lebih sedikit 44. MacKinnon et al. 2010 yang menyatakan bahwa pada jenis-jenis burung pemakan biji, akhir musim hujan merupakan musim berbiak terbanyak karena ketersediaan pakan yang cukup. Pada saat penelitian, Burunggereja Erasia yang tertangkap justru lebih sedikit pada akhir musim hujan. Hal ini diduga berkaitan dengan komposisi struktur umur pada kedua musim. Pada awal musim hujan jumlah tangkapan melimpah karena jumlah anak lebih banyak 62 dibandingkan individu dewasa 38. Hal tersebut membuat individu banyak tertangkap karena individu anak belum mahir terbang ataupun berpengalaman dengan adanya mist net sehingga mudah untuk tertangkap akrena tidak dapat menghindari jaring. Burunggereja Erasia banyak tertangkap pada pagi hari antara pukul 06.00- 09.00 49. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan burung yang banyak beraktivitas di pagi hari Bibby et al. 2000; MacKinnon et al. 2010. Hasil serupa juga tercatat pada penelitian Deslauries dan Francis 1991 yang menyatakan bahwa jumlah spesies dan individu lebih banyak tertangkap pada empat jam pertama pengoperasian jala kabut. Selain itu, faktor makanan juga berpengaruh, Bautista dan Alonso 2013 menyatakan bahwa puncak burung mencari makan adalah pagi saat matahari baru terbit dan petang sebelum matahari tenggelam. Bobot tubuh Burunggereja Erasia yang tertangkap adalah antara 7.0–31.0 g, dan didominasi oleh individu dengan bobot tubuh antara 15.5 −21.5 g 112 individu; 88. Penelitian lain mencatat bobot tubuh Burunggereja Erasia sebesar 24 g BTO 2009, dan 18 −28 g Barlow dan Leckie 2000. Bobot tubuh mempengaruhi tertangkap atau tidaknya burung pada jala kabut Jenni et al. 1996. Selain itu mata jaring akan mempengaruhi spesies dan individu yang tertangkap Pardieck dan Waide 1992. Dalam penelitian ini, jaring yang digunakan memiliki ukuran mata jaring 25 mm dan 30 mm dan bobot tubuh yang tertangkap berkisar antara 7.0– 31.0 g. Hal ini senada dengan pernyataan Pardieck dan Waide 1992 yang menyatakan bahwa burung dengan bobot tubuh dibawah 50 g akan banyak tertangkap pada jaring dengan ukuran mata jaring 30 mm. Hal tersebut dikarenakan mata jaring yang kecil akan menjerat burung-burung kecil yang memiliki kaki kecil. Tidak adanya perbedaan yang nyata antara bobot tubuh rata-rata pada awal dan akhir musim hujan dapat disebabkan karena ketersediaan pakan cukup melimpah di kedua musim. Bobot tubuh burung sangat ditentukan oleh ketersediaan pakan, jika pakan melimpah maka persaingan akan sedikit sehingga burung-burung dapat memenuhi kebutuhan pakannya. Terdapat perbedaan yang nyata antara bobot tubuh pada pagi, siang dan sore hari baik pada awal maupun akhir musim hujan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas burung dalam mencari makan dan senada dengan pernyataan MacKinnon et al. 2010 bahwa puncak burung mencari makan adalah pada pagi hari, kemudian menurun pada siang hari, dan meningkat lagi pada sore hari. Uji ANOVA menunjukkan bahwa bobot tubuh pada kelas umur anak dan dewasa tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena individu muda juga mengkonsumsi pakan yang banyak, karena memerlukan energi yang lebih banyak untuk tahap latihan terbang dan masa pertumbuhan pembentukan organ-organ tubuh dan bulu. Sebagian besar burung yang tertangkap oleh jala kabut merupakan individu muda. Secara ekologis, jika jumlah individu muda lebih banyak dibandingkan individu dewasa maka jenis tersebut memiliki peluang kelestarian yang tinggi. Tingginya jumlah individu muda yang tertangkap jala kabut dapat diinterpretasikan sebagai tingginya angka kelahiran jenis yang bersangkutan, namun masih diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan data tersebut karena ada kemungkinan sebenarnya individu dewasa lebih banyak jumlahnya. Menurut Domenech dan Senar 1997 metode jala kabut cenderung lebih banyak menangkap individu burung umur muda daripada individu dewasa jika dibandingkan dengan metode tangkap lain seperti metode clap net dan trap. Hal ini dikarenakan fakta bahwa individu muda belum memiliki pengalaman seperti individu dewasa. Kemungkinan bagi individu yang pernah tertangkap sewaktu muda, akan lebih hati-hati untuk mendekati jala kabut, sedangkan individu muda mudah terjerat karena belum menegtahui adanya jaring yang dipasang. Jumlah tangkapan individu muda anak di Kampus IPB Darmaga berbeda dengan penelitian Fogden 1972 di Kalimantan yang juga menggunakan metode mist net menyatakan bahwa individu muda paling banyak ditemukan antara Januari-Maret akhir musim penghujan. Pada penelitian ini, individu muda justru paling banyak tertangkap pada bulan Oktober awal musim penghujan. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan bukanlah satu-satunya penentu aktivitas berbiak, tetapi faktor lain seperti ketersediaan pakan maupun suhu juga mempengaruhi musim berbiak dari Burunggereja Erasia. Pada musim hujan, di lokasi penelitian terlihat banyak serangga. Serangga merupakan sumber protein yang diperlukan oleh Burunggereja Erasiauntuk masa berbiak.Sehingga pada musim ini digunakan oleh Burunggereja Erasiauntuk berbiak dan menghasilkan individu-individu muda.Hal ini berbeda dengan pernyataan MacKinnon et al. 2010 yang menyatakan bahwa musim berbiak burung-burung pemakan biji adalah pada bulan yang lebih kering curah hujan rendah. 4 SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan 1. Lokasi dengan tingkat gangguan sedang memiliki strata tajuk yang paling lengkap 5 strata, kerapatan pohon tertinggi tercatat di lokasi dengan gangguan rendah. 2. Semakin rendah tingkat gangguan, komunitas burung semakin baik, ditandai dengan H’ dan D Mg yang semakin tinggi Hipotesis 2 diterima. Kesamaan komunitas tertinggi adalah antara lokasi dengan tingkat gangguan sedang dan tinggi 69.20. Lokasi dengan tingkat gangguan rendah memiliki kesamaan jenis yang rendah dengan dua lokasi yang lainnya. Sebanyak 22 jenis burung di lokasi gangguan rendah, tidak ditemukan di lokasi dengan gangguan sedang dan tinggi. 3. Lokasi dengan tingkat gangguan sedang memiliki guild yang paling lengkap dibanding kedua lokasi lainnya Hipotesis 3 tidak terbukti 4. Khusus untuk Cekakak Jawa dan Cucak Kutilang bobot tubuh burung makin rendah dengan adanya gangguan habitat Hipotesis 4 diterima, namun untuk Cinenen Jawa bobot tubuh justru semakin berat seiring bertambahnya tingkat gangguan Hipotesis 4 tidak diterima. Untuk jenis-jenis lain tidak dapat dianalisis karena sampel masih kurang.

4.2 Saran

Keanekaragaman hayati yang tinggi di Kampus IPB Darmaga telah menjadi perhatian civitas akademika IPB sehingga Rektor IPB mencanangkan Kampus IPB Darmaga sebagai “Kampus Biodiversitas” pada bulan Mei 2011 yang lalu. Konsekuensi dari pencanangan tersebut adalah diperlukannya tindak lanjut pengelolaan kampus untuk pelestarian keanekaragaman hayati termasuk keanekaragaman burung. Diperlukan monitoring berkala setiap bulan mengenai jumlah individu atau kelimpahan setiap jenis, sebaran, struktur umur, kondisi kesehatan satwa, dan status perkembangbiakan dari jenis-jenis tersebut. Pengelolaan habitat juga menjadi penting untuk menjamin komunitas burung agar tidak terganggu seperti perlindungan pohon-pohon yang dijadikan tempat bersarang bagi burung; tidak melakukan pembangunan atau kegiatan dengan intensitas tinggi di habitat-habitat yang menjadi tempat hidup burung. Daftar Pustaka Adhikerana AS, Prawiradilaga DM. 1991. Laju metabolisme basal dan ekologi beberapa burung Passerine di Indonesia. Media Konservasi 33: 11-19. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika ID. 2012. Data curah hujan tahun 2012 dan data curah hujan harian pada bulan Maret dan Oktober 2012. tidak dipublikasikan. Barlow JC, Leckie SN. 2000. Eurasian tree sparrow Passer montanus in the Birds of North Amerika. The Birds of North America no 566: Philadephia. Bautista LM, Alonso JC. 2013. Factors influencing daily food-intake patterns in birds: A case study with wintering common cranes. The Condor 1152:330–339. Bibby C, Martin J, Stuart M. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survei Burung . Bogor ID: Birdlife Indonesia Programme. Bierregaard RO, Lovejoy TE. 1989. Effect of forest fragmentation on Amazonian Understory Bird Communities. Acta Amazonica 19 Unico: 215-241. [BTO] British Trust of Ornithologist UK. 2009. Tree sparrow Passer montanus. http:www.bto.orgabout-birdsnnbwnesting-birdstree-sparrow Diunduh pada 27 Januari 2014. Bokma F. 2004. Why most birds are small-a macro-ecological approach to the evolution of avian body size. [Disertasi]. Oulu: Departement of Biology, University of Oulu. Coates BJ, Bishop KD, Gardner D. 1997. A Field Guide to The Birds of Wallacea. Dove Publications, Alderley, Australia. Deslauries JV, Francis JM. 1991. The effect of time of day on mist-net captures of Passerine on spring migration. Journal of Field Ornithology 62: 107-116. Domenech J, Senar JC. 1997. Trapping methods can bias age ratio in samples of passerine populations. Bird Study 44:348–354. Fogden MPL. 1972. The Seasonality and population dynamics of equatorial forest birds in Sarawak. Ibis 114:307-343. Fowler J, Cohen L. 1986. Statistics for ornithologist. Hertfordshire GB: Birish Trust for Ornithologist. Haugaasen T, Barlow J, Peres CA. 2003. Effects of surface fires on understorey insectivorous bird and terrestrial arthropods in Central Brazilian Amazone. Animal Conservation 6: 299-306. Hernowo JB, Prasetyo LB. 1989. Konsep ruang terbuka hijau di kota sebagai pendukung pelestarian burung. Media Konservasi 24: 61-71. Hernowo JB, Soekmadi R, Ekarelawan. 1991. Kajian pelestarian satwaliar di Kampus IPB Darmaga [catatan penelitian]. Media Konservasi 3:43-65. HIMAKOVA. 2012. Buku Panduan Lapang Burung Kampus IPB Darmaga. Bogor ID: IPB Pr. Imanuddin. 2009. Komunitas burung di bawah tajuk pada hutan primer dan hutan sekunder di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [tesis]. Bogor ID: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [IPB] Institut Pertanian Bogor ID. 2013. http:ipb.ac.idaboutcampus-location diunduh 27 Juli 2013. Jenni L, Leuenberger M, Rampazzi F. 1996. Capture efficiency of mist nets with comments on their role in the assessment of Passerine habitat use. Journal of Field Ornithology 67:263-274. Johnson DM. 2007. Measuring habitat quality: A Review. The Condor 109:489- 504. Karr JR, Schemske DW, Brokaw NJ. 1982. Temporal variation in the understory bird community of a tropical forest. Di dalam: Leight Jr. EG, Rand AS, Windsor DM, editor. The ecologi of a tropical forest seasonal rhytms and long-term changes . Washington DC US: Smithsonians Institution: 441- 453. Koepff C, Romagnano A. 2001. The Finch Handbook. Barron’s Educational Series , New York US. Kosmaryandi N. 1991. Studi tata letak pohon di ruang terbuka danau Kampus IPB Darmaga ditinjau dari segi konservasi. [Skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Kurnianto AS, Kurniawan N. 2013. The predicted distribution of javan munia Lonchura leucogastroides in Indonesia based of behavior analysis in Kalibaru, Banyuwangi, East Java. Biotropika 11: 1-5. Kurnia I. 2003. Studi Keanekaragaman jenis burung untuk pengembangan wisata birdwatching di Kampus IPB Darmaga [Skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Lambert FR, Collar NJ. 2002. The future for Sundaic lowland forest birds: long- term effects of commercial logging and fragmentation. Forktail 18: 127- 146. Lind J, Gustin M, Sorace A. 2004. Compensatory bodily changes during moult in Tree sparros Passer montanus in Italy. Ornis Fenica 81: 1-9. MacKinnon J, Phillips K. 1993. Field Guide to the Birds of Sumatera, Borneo, Java and Bali. The Greater Sunda Islands . Oxford GB: Oxford University Press. MacKinnon J, Phillips K, van Balen B. 1998. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan . Puslitbang Biologi LIPI dan Birdlife International. MacKinnon J, Phillipps K, van Balen B. 2010. Burung-burung di Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan . Bogor ID: Burung Indonesia. Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. Blackwell Publishing. Mardiastuti A, Mranata B. 1996. Biology and distribution of Indonesia Swiftlet with a special reference to Collocalia fuciphaga and Collocalia maxima. Technical workshop on conservation priorities and action for the sustainability of harvesting and trade in nest of swiftlet of the genus Collolalia that feature prominently in the bird nest trade, Surabaya, Indonesia. November 4-7 1996. Mulyani YA. 1985. Studi keanekaragaman burung di lingkungan Kampus Darmaga. [Skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Mulyani YA, Pakpahan AM. 1995. Studi pendahuluan tentang keanekaragaman burung di Kota Baru Bandar Kemayoran Jakarta. Media Konservasi 42: 59-63. Mulyani YA, Ulfah M, Sutopo. 2013. Bird use of several habitat types in an academic campus of Institut Pertanian Bogor in Darmaga, Bogor, West Java. Media Konservasi 181 :18-27. Novarino W. 2008. Dinamika Jangka Panjang Komunitas Burung Strata Bawah di Sipisang, Sumatera Barat. [Disertasi] Sekolah Pascasarjana IPB. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Yogyakarta ID Gajah Mada University Press. Ontario J, Hernowo JB, Putro HR, Ekarelawan. 1990. Pola Pembinaan Habitat Burung di Kawasan Pemukiman terutama Perkotaan. Kerjasama DIKTI – Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. Media Konservasi 31: 15-28. Pardieck K, Waide RB. 1992. Mesh Size as a factor in avian community studies using mist nets. Journal of Field Ornithology 63: 250-255. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. http:bksdadiy.dephut.go.idimagesdataPP_7_1999.pdf. diunduh tanggal 5 September 2012. Remsen Jr. JV, Good DA. 1996. Misuse of data from mist-net capture to assess relative abundance in bird populations. Auk 113: 381-398. Robson C. 2000. A Field Guide to the Birds of South-East Asia. London GB: New Holland Publishers. Root RB. 2001. Guilds. Encyclopedia of biodiversity. Vol 3. Academic Press. 295-302. Sheshnarayan MS. 2009. Breeding ecology of the Edible-nest Swiftlet Aerodramus fuciphaga and the Glossy Swiftlet Collocalia esculenta in the Andaman Islands, India. [Disertation]. Coimbatore IN: Bharathiar University. Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan konvensi CITES di Indonesia. Jakarta ID: Japan International Coorporation Agaency JICA. Soerianegara I, Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor ID: IPB Pr. Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan, F, Kemp N, Muchtar M. 2007. Burung Indonesia No.2. Bogor ID: Indonesian Ornithologists’ Union Tobolka M. 2011. Roosting of Tree sparrow Passer montanus and House sparrow Passer domesticus in White stork Ciconia ciconia nests during winter. Tubitak. 356: 879-882 van Balen S, Hernowo JB, Mulyani YA, Putro HR. 1986 The birds of Darmaga. Media Konservasi 12:1-5. van Balen S. 1987. Measure to increase wil bird population in urban area in Java 1. Nest site management. Media Konservasi 1: 17-20. van Helvoort B. 1981. Bird Population in The Rural Ecosystem of West Java. Wageningen NL: University Wageningen- The Nederland. Wiens. 1989. The Ecology of Bird Communities II. Cambridge: Cambridge University Press. Willson MF, Comet TA. 1996. Bird communities of northern forest: ecological correlates of diversity and abundance in the understory. Condor 98: 358- 362. Wong M. 1986. Trophic organization of understory birds in a Malaysian dipterocarp forest. Auk 103: 100-116.