Analisis Pemanfaatan Pengetahuan Ekologi Lokal Dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (Kkpd) Pesisir Timur Pulau Weh (Ptpw) Sabang

(1)

EKOWISATA DAN PEMBANGUNAN WILAYAH: ANALISIS

KEBERLANJUTAN NAFKAH DI WAKATOBI SULAWESI

TENGGARA

KASMIATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ekowisata dan Pembangunan Wilayah : Analisis Keberlanjutan Nafkah di Wakatobi Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016 Kasmiati NIM H152120261


(4)

RINGKASAN

KASMIATI. Ekowisata dan Pembangunan Wilayah : Analisis Keberlanjutan Nafkah di Wakatobi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan DEDDY S BARTAKUSUMAH.

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara keseluruhan wilayah adminstrasi Wakatobi merupakan taman nasional yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No.7651/KPTS-II/2002 tanggal 19 Agustus tahun 2002.Taman Nasional Wakatobi merupakan taman laut terbesar kedua yang di miliki Indonesia dan menjadi salah satu Daerah Tujuan Wisata nasional. Merupakan cagar Biosfer terbaru Indonesia yang ditetapkan oleh UNESCO melalui sidang ke-24 ICC-MAB program pada tahun 2012 di Paris. Posisi Geostrategis Wakatobi di tengah pusat karang dunia, menyebabkan daerah ini sebagai wilayah yang memiliki keanekaragamn hayati yang sangat tinggi dan mempunyai pemandangan alam bawah laut yang indah dan eksotik. Keunggulan lokasi (geographical advantage) menjadi alasan Pemerintah Daerah menetapkan Ekowisata sebagai paradigma pembangunan wilayah Wakatobi.

Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak ekowisata bagi perekonomian pada tingkatan makro (ekonomi wilayah setempat) dan mikro (ekonomi rumahtangga) melalui sistem penghidupan dan tingkat resiliensi rumahtangga setelah ekowisata dikembangkan di Wakatobi menggunakan pendekatan “Sustainable Livelihood aproach”. Hasil kesimpulan penelitian ini adalah pada aras makro variabel yang mewakili aktivitas wisata yaitu hotel dan homestay serta jumlah wisatawan berkorelasi positif dan sangat kuat terhadap beberapa variabel ekonomi makro seperti PDRB, PDRB perkapita dan PAD, namun bekorelasi negatif terhadap penduduk miskin. Artinya kegiatan wisata belum dapat mengurangi tingkat kemiskinan yang terjadi di Wakatobi. Secara keseluruhan struktur nafkah masyarakat tidak menjadi lebih baik karena adanya pengembangan kegiatan ekowisata. Sektor pertanian masih menjadi sumber penghidupan utama. Selain itu tingkat pendapatan perkapita masyarakat diseluruh lapisan rumahtangga masih rendah, terutama pendapatan lapisan menengah bawah masih sangat jauh dari garis kemiskinan. Namun aktivitas ekowisata dapat meningkatkan resiliensi ekonomi rumahtangga. Hal ini terlihat dari lapisan rumahtangga atas memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan menengah dan bawah.

Ekowisata belum berkontribusi besar dalam pembangunan wilayah karena terjadi persoalan ”Decoupling Sustainability”, hal ini menghambat tercapainya tujuan pembangunan wilayah yang berbasiskan ekowisata yaitu kelesetarian alam terjaga dan masyarakat lokal memperoleh manfaat. Tetapi yang terjadi adalah pembangunan ekowisata yang belum inklusif sehingga hanya lapisan rumahtangga atas yang mampu mengakses peluang yang tersedia. Ekowisata pada dasarnya dapat meningkatkan resiliensi ekonomi rumahtangga.

Kata kunci : pembangunan wilayah, ekowisata, livilihood, resiliensi, decoupling sustainability


(5)

SUMMARY

KASMIATI. Ecotourism and Regional Development: Sustainable Livelihood Analysis in Wakatobi, Southeast Sulawesi. Supervised oleh ARYA HADI DHARMAWAN and DEDDY S BRATAKUSUMAH.

This study was conducted in Wakatobi Southeast Sulawesi Province. Overall, Wakatobi administrative region is a national park given by Ministry of Forestry in the decree No.7651/KPTS-II/2002 on 19 agustus 2002. Wakatobi national park is the second largest marine park and become one of the national tourism destinations. Wakatobi was also established as the latest biosphere reserevs by UNESCO in the 24th session of the ICC-MAB program in Paris, in 2012. Wakatobi geostrategic position amid the world’s coral triangel, causing this area have a very high biodiversity, beautiful, and exotic underwater scenery. Location advantage is the reason for the local governments establish ecotourism as development paradigm of Wakatobi regency.

This study examined the impact of ecotourism on macro level (regional economy) and micro (household economy) throught the livelihood systems and the level of household resilience after ecotourism development in wakatobi, using sustainable livelihood approach. The conculsion of this study is in the macro level, variables representing tourism activities namely hotel dan homestay and tourist numbers correlate positively and very strong against some macroeconomic variables such as the GDP, GDP per capita and the PAD, but it has negative correlation on the poor community. This means that, tourism activities have not bean able to reduace the level of poverty in Wakatobi. The overall structure of a living society does not get better with the exixtance of the development of ecotourism activities. The agricultural sectror is still the main sources of livelihood. In addition, the level of percapita income of the communities across the ining households is stil low, especially income of middle lower layer, still very far from the proverty line. However, ecotourism activities can increase household economic resilience . it seen from the top layer of household have a higher degree of resiliency than the middle and lower layers.

Ecotourism activities have not contributed in major scale to development of region due the problem of “decoupling sustainability”. The problem impeded the achievment of development objectivies based ecotourism, namely the preservation of nature nad local communities benefit. The construction of ecotourism was not inclusive leading to a mere top layer of household are able to access opportunities. Ecotourism could basically increase the economic resilience of households.

Keywords : Regional Development, Ecotourism, Livelihood, Resilience , Decoupling Sustainability


(6)

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

EKOWISATA DAN PEMBANGUNAN WILAYAH: ANALISIS

KEBERLANJUTAN NAFKAH DI WAKATOBI SULAWESI

TENGGARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(10)

(11)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala berkah pengetahuan dan kemampuan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini adalah Ekowisata dan Pembangunan Wilayah: Analisis Keberlanjutan Nafkah di Wakatobi Sulawesi Tenggara.

Karya ini terwujud berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih kepada Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc Agr dan Dr Deddy S Bratakusumah, B.E. Murp dengan sabar dan penuh dedikasi telah membimbing penulis. Dr Ir Rilus A Kinseng, MA selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan perbaikan naskah.

Terimakasih kepada Prof Bambang Juanda, MS sebagai ketua program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), seluruh staff dan pengajar di PWD yang sangat membantu proses belajar penulis selama ini. Penulis merasa sangat beruntung karena dikelilingi kawan-kawan pembelajar terutama dari PWD, khususnya angkatan 2012 yang sejak awal telah menjadi teman berbagi, diskusi dan terus memberikan dorongan semangat agar penelitian ini dapat segera diselesaikan.

Selama di lapang penulis terbantu karena kerendahan hati Kak Erwin Indonesia yang telah bersedia menemani dan pengertian dari keluarga besar Kak Nala yang telah memberikan banyak fasilitas. Akhirnya penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada seluruh bagian dari Wakatobi, masyarakat, budaya dan alamnya yang telah mengantarkan penulis sampai pada titik ini.

Keluarga baru saya di “rumah bara 3 nomor 100” terimakasih atas penerimaan dan pengertianya, peluk hangat selalu untuk seluruh penghuninya Kak Marni, Kak Lina, Ummul, Turi, Nia, Indri dan Tendri.

Akhirnya, kepada yang kusebut rumah tempat kembali “keluargaku”, terimakasih telah bersetia, penuh kasih merawat dan tidak pernah meninggalkan. Penghormatan setinggi-tingginya untuk kedua orangtuaku, Sainudding dan Darna atas segala kepercayaan, materi dan doa-doa terbaik. Kedua Saudaraku, Rusnah dan Sudirman dengan tabah terus menyemangati.

Tidak terlupakan kepada yang hadir pada masa krisis, membuat saya berani, bertaruh dan percaya bahwa hidup harus diperjuangkan.

Bogor, Juli 2016 Kasmiati


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 9

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Konsep Pariwisata Massal Hingga Ekowisata 9

Konservasi dan Pembangunan Wilayah Berkelanjutan 13

Environmental service Based dan Ekowisata 15

Konsep Livelihood 16

Konsep Resiliensi 18

Kerangka Pikir 20

Definisi Konseptual 22

Penelitian Terdahulu Topik Ekowisata dan Livelihood 22

3 METODE 25

Teknik Pengumpulan Data 27

Penentuan Responden Penelitian 28

Unit Analisis 28

Metode Analisis 28

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH 32

Sejarah Wakatobi dan Taman Nasional 32

Ekowisata dan Perkembangan Ekonomi Wilayah 34

Gambaran Ekonomi Wakatobi 37

Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Wakatobi 40

Desain Pembangunan Wakatobi Kedepan 40

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 42

Kesempatan Kerja 44

Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran 46

Wisata Bahari dan Usaha Dive Operator di Wakatobi 47

Pariwisata dan Daya Dukung Lingkungan Hidup 50

Ikhtisar 52

7 EKOWISATA DAN EKONOMI MIKRO DI WAKATOBI 53

Ekowisata dan struktur nafkah rumahtangga 53

Struktur Nafkah Berdasarkan Lapisan Rumahtangga 56

Tingkat Kemiskinan Rumahtangga 59

Strategi Nafkah Rumahtangga 60

Memanfaatkan Modal Secara Dinamis 61

Rekayasa Spasial ,Transmigrasi dan Strategi Nafkah Rumahtangga di

Kawasan TN Wakatobi 75


(14)

Diversifikasi Pangan Masyarakat Wakatobi 77

Ikhtisar 77

7 EKOWISATA DAN RESILIENSI 78

Asesment Livelihood Resiliensi 78

Pelapisan dan resiliensi rumahtangga 80

Ekowisata, resiliensi nafkah dan pengembangan wilayah 81

Ikhtisar 82

8 KONSEPTUALISASI GAGASAN 82

Pendahuluan 82

“Decoupling Sustainability” Sebagai Kritik Pembangunan 83

9 SIMPULAN DAN SARAN 84

Simpulan pada aras makro 84

Simpulan pada aras mikro 85

Saran 85

DAFTAR PUSTAKA 87

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL

1 Persentase tenaga kerja menurut lapangan usaha di Wakatobi 4

2 Rangkaian konsep resiliensi terkait dengan konteks sosial-ekologi 19

3 Data dan Alat Analisis 29

4 Hasil Analisis korelasi variabel makro di Wakatobi 43

5 Jenis dan harga paket wisata untuk diver dan non diver pada operator

wisata dive trip 48

6 Daya tampung demogrfis Kabupaten Wakatobi Tahun 2007-2013 50

7 Daya dukung ekonomi Kabupaten Wakatobi Tahun 2007-2013 51

8 Distribusi lapisan rumahtangga Pulau Kapota dan Bajo Mola 56

9 Sumber daya alam dan budaya yang berpotensi sebagai atraksi wisata di

Bajo Mola 71

DAFTAR GAMBAR

1 Data kunjungan wisatawan di Wakatobi tahun 2000 – 2012 4

2 Data Gini Ratio Indonesia Tahun 2008-2013 5

3 Paradigma ekowisata yang berhasil ada keterkaitan antara manusia, sumber daya dan aktivitas wisata serta saling berkontribusi secara positif 12

4 Kontribusi Perjalanan dan Pariwisata Terhadap Perekonomian 13

5 Kerangka Pikir 21

6 Peta Adminstrasi Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara 26

7 Peta Adminstrasi Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi

Provinsi Sulawesi Tenggara 27

8 Peta wilayah segitiga karang dunia 33

9 Jumlah Kunjungan Pesawat Ke Kabupaten Wakatobi Tahun 2009-2012 35

10 Panjang Jalan, Aspal dan Non Aspal di Kabupaten Wakatobi Tahun


(15)

11 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Wakatobi dan Sulawesi Tenggara

Tahun 2006- 2013 37

12 PDRB Kabupaten Wakatobi Berdasarkan Harga Konstan Tahun

2011-2013 38

13 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Wakatobi Tahun 2005-2009 39

14 Nilai Indeks komponen pembentuk IPM Kabupaten Wakatobi Tahun

2005-2013 40

15 Perkembangan Pekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama (Orang), di

Kabupaten Wakatobi Tahun 2011-2013 44

16 Penginapan, Hotel dan Homestay di Kabupaten Wakatobi 2008-2014 44

17 Tempat Hiburan malam, Salon dan SPA di Wakatobi Tahun 2008-2014 45

18 Presentase Tingkat Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten

Wakatobi Tahun 2005-2013 46

19 Jumlah Paket Wisata dan Wisatawan Pengguna Jasa Operator Wakatobi

Dive Trip Tahun 2014 47

20 Estimasi Aliran Uang Ke Wakatobi Melaui Operator Dive “Wakatobi

Dive Trip” Tahun 2014 48

21 Presentase Pengeluaran Wisatawan Berdasarkan Paket Akomodasi ,

Tahun 2015 49

22 Rata-rata struktur nafkah rumahtangga di Pulau Kapota dan Bajo Mola

2015 54

23 Struktur nafkah rumahtangga Masyarakat Bajo Mola dan Pulau Kapota

berdasarkan lapisan rumahtangga 2015 57

24 Posisi pendapatan perkapita pertahun berdasarkan lapisan rumahtangga Pulau Kapota dan Bajo Mola terhadap garis kemiskinan menurut bank

dunia 2015 60

25 Rata-rata nilai modal manusia, sosial, finansial, fisik dan alam

rumahtangga Pulau Kapota dan Bajo Mola 2015 62

26 Modal Sosial, Finansial, Fisik, Alam dan Manusia berdasarkan lapisan

Rumahtangga di Pulau Kapota dan Bajo Mola 2015 63

27 Presentase rumahtangga Pulau Kapota dan Bajo Mola berdasarkan

klasifikasi kepemilikan modal 2015 63

28 Tingkat Keterampilan Rumahtangga Masyarakat Bajo Mola dan Pulau

Kapota 2015 66

29 Persepsi Masyarakat Pulau Kapota dan Bajo Mola tentang kualiats

Lanskap 2015 69

30 Komponen nilai pembentuk Modal Sosial Masyarakat Bajo Mola dan

Pulau Kapota 2015 73

31 Segitiga Nilai Buffer Capacity, Self Organization dan Capacity For Learning Rumahtangga Pulau Kapota dan Bajo Mola 80

32 Tingkat Resilieni Berdasarkan lapisan Rumahtangga di Pulau Kapota dan


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuisener Penelitian 94

2 Panduan Wawancara Mendalam 106

3 Tabulasi Data Pulau Kapota 108

4 Lanjutan Tabulasi Data Pulau Kapota 109

5 Tabulasi Data Bajo Mola 110

6 Lanjutan Tabulasi Data Bajo Mola 111


(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pariwisata merupakan kegiatan ekonomi yang memungkinkan orang-orang dan tempat-tempat terhubung dalam skala dunia (Milne dan Ateljevic 2001). World Travel and Tourism Council (WTTC 2014) menyatakan bahwa travel dan tourism tumbuh lebih cepat dari sektor-sektor penting lainnya seperti jasa keuangan dan bisnis, transportasi dan manufaktur, dan menjadi salah satu sektor terbesar di dunia, mendukung lebih dari 266 juta pekerjaan dan menghasilkan 9,5 % dari GDP global pada tahun 2013. World Tourism Organization (UNWTO 2011) memperkirakan bahwa kedatangan wisatawan internasional akan mencapai 1,8 miliar pada tahun 2030. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kedatangan wisatawan mancanegara yang terus mengalami peningkatan.

Sektor pariwisata mengalami kemajuan pesat dan memiliki keterkaitan luas dengan sektor lain, sehingga mampu menggerakan aktivitas ekonomi secara umum. Liu dan Yamauchi (2014) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sering disertai dengan mobilitas sosial. Peningkatan jumlah masyarakat menengah keatas berpengaruh terhadap konsumsi dan perubahan gaya hidup. Pengeluaran masyarakat tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan, namun berbagai kebutuhan lain seperti pendidikan, tehknologi, kebutuhan bersosialisasi hingga wisata semakin penting.

Kemajuan telekomunikasi dan transportasi membentuk sebuah sistem kehidupan baru, memudahkan bepergian dari satu daerah ke daerah lain, baik di dalam negeri maupun antar negara. Kondisi ini didukung oleh perkembangan globalisasi sebagai proses penghilangan batasan yang diberlakukan oleh pemerintah untuk pergerakan antar negara dalam rangka menciptakan sebuah perekonomian dunia yang terbuka dan tanpa tapal batas (open and borderless world), (Mustafa 2010). Ruang semakin terbuka , kehidupan semakin dinamis dan kompleks terutama di wilayah perkotaan mendorong masyarakat untuk melakukan perjalanan keberbagai tempat. Kebutuhan hiburan dan liburan semakin tinggi, kondisi ini turut serta mendorong perkembangan sektor pariwisata.

Perkembangan pariwisata internasional berdampak bagi aktifits wisata dalam negri. Daya tarik pariwisata Indonesia berupa kekayaan budaya dan keindahan alam. Indonesia negara yang masuk dalam kategori megabiodiversity. Diantara 631 Cagar Biosfer Bumi (CBB) yang tersebar dibeberapa negara, sebanyak 8 CBB ada di Indonesia yaitu, Cagar Biosfer Cibodas, Tanjung Puting, Lore Lindu, Komodo, Pulau Siberut, Gunung Leuser, Giam Siak Kecil dan Taman Nasional (TN) Wakatobi merupakan cagar Biosfer terbaru Indonesia ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) melalui sidang ke-24 International Coordinating Council (ICC) of the Man and the Biosphere (MAB) program pada tahun 2012 di Paris.

Kekayaan dan keindahan alam Indonesia merupakan faktor endogen (endogenous factors) yang dapat digunakan untuk mendorong pembangunan kawasan yang berkelanjutan melalui konsep ekowisata. Memanfaatkan sumberdaya alam melalui jasa ekowisata merupakan bagian dari teori pertumbuhan regional endogen (endogenous regional growth theory) atau “new


(18)

growth theory” yang sangat mempertimbangkan pembangunan wilayah dalam jangka panjang. Stimson et al (2009) menjelaskan bahwa salah satu kunci dari teori pertumbuhan endogen adalah ukuran dari suatu kebijakan berdampak pada tingkat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Dari sinilah keterkaitan antara ekowisata, pengembangan wilayah dan pembangunan berkelanjutan dapat ditarik sebagai satu kesatuan yang saling mendukung satu-sama lain untuk menkonstruksi pembangunan wilayah berkelanjutan melalui ekowisata.

Dalam perspektif wilayah, Wakatobi sendiri memiliki dua sisi. Pertama sebagai wilayah fungsional berupa kawasan lindung, berperan sebagai TN, merujuk pada undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2011 bahwa salah satu bagian Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah TN. Kedua Wakatobi merupakan wilayah adminstarsi tingkat dua (kabupaten) dari Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Strategi pembangunan wilayah dengan dua fungsi utama seperti Wakatobi yang berperan sebagai kawasan konservasi sekaligus daerah adminstrasi merupakan tantangan tersendiri bagi pengambil kebijakan dalam menerapkan model pembangunan terbaik untuk menghindari trade off antara kemajuan ekonomi dan kelestarian alam. Karena, fungsi kawasan konservasi dan keberlanjutan hidup masyarakat setempat harus terjamin dalam waktu bersamaan. Pembangunan wilayah di Wakatobi memerlukan pendekatan khusus. Oleh sebab itu pada tanggal 23 juli 2007 Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam mengeluarkan SK No:149/IV-KK/2007 bahwa Wakatobi terdiri dari beberapa zona yaitu zona inti, zona perlindungan bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, dan zona khusus daratan.

Sistem zonasi diberlakukan untuk memberikan batasan yang jelas dalam pengelolaan kawasan mengenai siapa aktor yang berhak dalam pemanfaatan atau aktivitas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kawasan tertentu. Pariwisata menjadi salah satu aktivitas di taTN Wakatobi yang diharapkan memberikan ruang pemanfaatan bagi masyarakat lokal untuk menunjang perekonomian rumahtangga sekaligus turut serta melestarikan alam. Soemarwoto (2004) menyatakan bahwa pariwisata merupakan industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik-buruknya lingkungan. Namun pengelolaan pariwisata yang bersifat massif (mass tourism) berpotensi mendegradasi lingkungan serta merubah tatanan hidup masyarakat lokal seperti yang diungkapkaan oleh Barlett dalam acara world tourism conference pada tahun 2007 bahwa :

“However, tourism can also: damage fragile ecosystems, compete for the use of scarce resources, especially land and water, exert pressure on host communities and undermine traditional societies and contribute to

local and global pollution”.

Tumbuh dan berkembangnya sektor pariwisata mempunyai dua sisi, berkontribusi bagi perekonomian dengan membuka lapangan pekerjaan serta sumber pendapatan baru bagi masyarakat, disisi lain kegiatan pariwisata dapat menjadi jalan bagi penguasaan serta privatisasi sumber daya oleh pihak korporasi jika pengelolaanya tidak dilakukan secara partisipatif yaitu mengalienasi kehidupan masyarakat lokal, akibat adanya pemagaran sumber daya yang menghilangkan akses masyarakat. Ditengah berbagai macam kritik mengenai pariwisata, ada bentuk pengelolaan daerah wisata yang mencoba menselaraskan


(19)

antara alam tetap lestari dan kehidupan masyarakat lokal yang sejahtera yaitu ekowisata (ecotourism).

Ekowisata dianggap sebagai bentuk pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yang berbeda dengan bentuk pariwisata pada umumnya. Belsky (1999), Khan (1997) dalam Jones (2005) bahwa:

“compared with mass or ‘‘old’’ tourism, ecotourism is touted as providing better sectoral linkages, reducing leakage of benefits out of the country, creating local employment, and fostering sustainable development”

Wuleka dan Kuuder (2012) juga berpendapat bahwa ekowisata memiliki potensi untuk menjadi pendorong pengembangan pariwisata berkelanjutan dan juga memberikan kesempatan bagi pengembangan daerah tertinggal, terpinggirkan dan pedesaan menuju pengentasan kemiskinan. Ini merangsang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat dan pada saat yang sama melestarikan lingkungan alam dan warisan budaya melalui penciptaan kesadaran.

Kedua pandangan di atas didukung oleh Zhang dan Lei (2012) yang menyatakan bahwa ekowisata mendukung pelestarian lingkungan serta menghasilkan peluang ekonomi. Ekowisata merupakan pariwisata yang berbeda dengan bentuk pariwisata pada umumnya karena lebih peduli terhadap keberlanjutan ekologi, dan berkontribusi bagi perbaikan kehidupan masyarakat lokal.

Mereka yang melakukan perjalanan dan pergi ke daerah ekowisata cendrung memiliki kesadaran ekologis bahwa aktivitas yang mereka lakukan tidak hanya datang dan melakukan pembuangan (excretion) rasa penat, lelah, atau kelebihan materil di daerah tujuan wisata, atau sekedar berekreasi dan rileksasi dalam menikmati atraksi wisata, tetapi menjadi bagian dari upaya konservasi Daerah Tujuan Wisata (DTW). Oleh sebab itu kegiatan ekowisata banyak dilakukan di daerah terpencil, sulit terjangkau, wilayah konservasi seperti TN karena datang berwisata bukan hanya pergi bersenang-senang namun ada tanggung jawab untuk turut serta menjaga dan merawat kondisi alam, sejarah, budaya dan segala atraksi wisata yang tersedia saat ini, agar tetap dapat dinikmati generasi yang akan datang.

Ekowisata (ecotourist) menurut Damanik dan Weber (2006) merupakan segmen wisatawan yang mempunyai motif, minat dan ketertarikan pada hal-hal yang khusus di daerah tujuan wisata terutama pada kegiatan konservasi alam budaya yang menjadi pusat kegiatan wisatanya. Ekowisata harus diarahkan sebagai proses pembangunan yang menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama (bukan objek melainkan subjek pembangunan) melalui pendekatan self help, enterprenuership dan partispatif.

Pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Wakatobi telah menjadikan kegiatan wisata sebagai sektor unggulan. Kerjasama antara para pihak (pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan masyarakat) sedang dikembangkan. Berbagai kebijakan untuk mendukung pengembangan pariwisata Wakatobi tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Pendek (RPJMD), Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) serta rencana pengelolaan pariwisata alam taman nasional Wakatobi. Selama beberapa tahun terakhir kunjungan wisatawan yang datang ke Wakatobi mengalami peningkatan seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 berikut ini.


(20)

Gambar 1 Data kunjungan wisatawan di Wakatobi tahun 2000 – 2012 Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi berbagai terbitan (diolah)

Peningkatan aktivitas wisata memberikan ruang baru bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi dan kreatifitas dalam upaya meningkatkan tarap hidup. Pariwisata merupakan jalan diversifikasi sumber nafkah (income sources diversification). Beberapa tahun terakhir lapangan pekerjaan di Kabupaten Wakatobi mengalami pergeseran. Sektor pertanian mengalami penurunan dari waktu ke waktu, sementara pada sektor jasa terjadi sebaliknya. Hal ini diduga karena dampak dari pengembangan ekowisata.

Tabel 1 Persentase tenaga kerja menurut lapangan usaha di Wakatobi

Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi berbagai terbitan (diolah)

Pergeseran lapangan kerja salah satu bentuk bentuk perubahan struktural yang akan berdampak pada perubahan kultural masyarakat. Perubahan kondisi sosial-ekonomi menuntut masyarakat melakukan penyesuaian (adjust) dalam menetapkan strategi nafkah. Tantangan yang dihadapai masyarakat menjadi semakin kompleks. Harus siap menghadapi perubahan kondisi sosial dan lingkungan terlebih masyarakat Wakatobi mayoritas tinggal di desa pesisir sehingga menghadapi resiko kerentanan (vulnerability) yang lebih tinggi. Foster et al (2013) menuliskan bahwa di daerah tropis, masyarakat dan ekosistem pesisir akan menghadapi resiko dari fenomena alam seperti gempa bumi, tsunami, dan

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 Jumlah wisatawan Nusantara Jumlah Wisatawan Mancanegara

Total Jumlah Wisatawan

Sektor 2011 2012 2013

Perkebunan 51,78 49,26 46,25

Pertambangan 7,79 10,33 8,25


(21)

badai, dengan implikasi serius bagi keamanan dan peluangnya dalam mencari nafkah (livelihood opportunities).

Perubahan iklim akan menekan pilihan mata pencaharian yang ada, dan bahkan lebih penting lagi, membuatnya tidak dapat diprediksi karena ketidakstabilan dampak peningkatan iklim (Rosenzweig dan Parry 1994 ; Yohe dan Tol 2002). Oleh sebab itu, masyarakat harus memiliki kelentingan (resilience) menghadapi situasi yang tidak diinginkan, agar mampu mengatasinya secara positif. Nightingale dan Cote (2012) menyatakan “resilience thinking mengusulkan pendekatan sistem hubungan manusia-lingkungan yang cocok dengan upaya prediksi atau pemodelan perubahan sosial-ekologi.”

Tingkat resiliensi masyarakat yang tinggi terkait dengan pembangunan wilayah karena jika terjadi bencana atau krisis tidak akan mengalami keterpurukan yang lama, memiliki kemampuan untuk pulih dan kembali ke kondisi semula (titik keseimbangan). Maka, topik penelitan ini menjadi penting untuk memberikan gambaran awal mengenai seberapa kuat daya tahan rumahtangga di Kabupaten Wakatobi dalam menghadapi perubahan kondisi sosial-ekologis. Pengetahuan mengenai penghidupan rumahtangga suatu masyarakat serta tingkat kelentingan mereka akan memberikan suatu pengetahuan baru yang dapat digunakan sebagai cara baca dalam memahami kondisi masyarakat Wakatobi hari ini yang ruang hidup tengah berada dalam proses bekerjanya modal dari luar wilayah Wakatobi dalam bentuk perluasan aktifitas ekowisata.

Perumusan Masalah

1. Masalah Pertumbuhan

Wilayah dibangun melalui penciptaan pusat-pusat pertumbuhan (growth pole theory). Wilayah yang telah mengalami kemajuan diharapakan mampu memberi tetesan kebawah bagi daerah sekitarnya (trickle down effect), agar pembangunan yang merata dapat tercapai. Kenyataanya hingga saat ini ketimpangan masih lebar, bahkan gini rasio Indonesia cendrung mengalami peningkatan, lalu stagnan dengan nilai yang tinggi.

Gambar 2 Data Gini Ratio Indonesia Tahun 2008-2013 Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi berbagai terbitan (diolah)

0.32 0.33 0.34 0.35 0.36 0.37 0.38 0.39 0.40 0.41 0.42

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015


(22)

Perekonomian Indonesia dari segi pertumbuhan sangat menakjubkan hingga world development indicators data base menempatkan Indonesia pada peringkat ke 16 dunia dari 192 negara dengan total Gross Domestic Product (GDP) sebesar 868,346 juta US dolar1. Namun kemajuan di bidang ekonomi tidak selaras dengan kemajuan kehidupan sosial yang tercermin pada nilai indeks gini. Selain itu kondisi ekologi Indonesia yang tergambar dalam nilai Environemental Performance Indeks (EPI) 2014 masih buruk, menempati urutan ke 112 dari 178 negara. Fakta ini menunjukkan bahwa model pembangunan yang diterapkan selama ini masih bersifat konservatif, hanya berorientasi pada pertumbuhan, mengejar nilai GDP yang tinggi namun mengabaikan kondisi lingkungan, sehingga terdapat gap yang besar antara kemajuan perekonomian dan kondisi lingkungan.

2. Masalah Model Pembangunan Klasik

Model pembangunan perlu direkonstruksi, karena sejauh ini telah menunjukkan kegagalan yaitu terdapat trade off antara pertumbuhan dan lingkungan. Selain itu, konsep trickle down effect tidak kunjung terjadi2 dan tidak dapat menjadi solusi tunggal dalam membangun negara kepulauan seperti Indonesia yang secara geografis terpisah-pisah. Perlu sebuah model pembangunan yang berdaya ungkit (nudge) memajukan perekonomian namun tidak mereduksi lingkungan atau nilai-nilai sosial budaya yang telah lama ada dalam kehidupan masyarakat.

Memanfaatkan elemen endogen3 sebagai stimulus pembangunan perlu dilakukan agar setiap wilayah mengalami kemajuan dengan bergantung pada potensi lokal yang dimiliki. Salah satu elemen endogen yang dapat dimanfaatkan untuk akselerasi dan pemerataan pembangunan adalah memanfakan kondisi wilayah Indonesia yang bersifat heterogen dari segi kondisi alam dan kebudayaan (Cultural and natural). Dalam memanfaatkan potensi lokal, ekowisata merupakan salah satu pendekatan pembangunan yang melibatkan masyarakat dan memuat upaya konservasi tetapi perlu didukung kelembagaan yang baik. Daruhi dan Nugroho (2012)4 menyatakan bahwa kelembagaan ekowisata di Indonesia tidak dapat terlepas dari pengembangan kawasan konservasi (protected area), khususnya wilayah TN yang menyebar hampir diseluruh wilayah nusantara.

TN Wakatobi salah satu DTW nasional. Pengembangan ekowisata diharapkan menjadi stimulus perekonomian wilayah dan kehidupan masyarakat lokal karena permintaan akhir sektor wisata akan berdampak pada sektor lain baik secara langsung maupun tidak langsung atau dengan kata lain mempunyai dampak pengganda (multiplier effect). WTTC (2014) menyatakan bahwa perjalanan dan wisata berkontribusi sangat besar bagi perekonomian. Hal ini sejalan dengan pandangan Wardhani (2007) bahwa pengembangan ekowisata dapat

1Sumber World Bank 2014

2Lihat Orasi Ilmiah Guru Besar IPB Tahun 2013 oleh : Prof.Dr.Muhammad Firdaus,SP,Msi dengan judul “ketimpangan

Pembangunan antar wilayah di Indonesia : Fakta dan Strategi Inisiatif “

3Elemen endogen adalah elemen yang tumbuh dan berkembang di dalam wilayah sendiri, seperti sumberdaya

lokal,enterpreneurship lokal dan kemampuan pengambilan keputusan lokal, aktor sosial yang mampu mengendalikan proses pengembangan,dan mendukung proses selama fase transformasi

4Jumlah Taman nasional di Indonesia sebanyak 50, menyebar di Berbagai Provinsi dan terdiri atas beberapa jenis


(23)

menumbuhkan penyediaan kesempatan kerja, serta tumbuhnya usaha-usaha baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

3. Pariwisata sebagai penggerak pertumbuhan

Kebijakan pemerintah daerah mengembangkan ekowisata sebagai sektor unggulan di Kabupaten Wakatobi menuntut penyesuaian cara hidup dari masyarakat lokal dalam mengatur strategi nafkah, sehingga dapat mengambil manfaat dari perkembangan wilayah yang terjadi. Adaptasi tata cara yang digunakan masyarakat merupakan bentuk strategi nafkah baru dalam merespon perubahan kondisi sosial dan ekonomi, sebagai usaha memperoleh atau menambah pendapatan rumahtangga. Masyarakat Wakatobi pada dasarnya bekerja disektor pertanian dalam arti luas, terutama perikanan, hal ini didukung oleh kondisi geografis dengan luas daratan sebesar 3% dari luas wilayah keseluruhan. Wilayah yang sebagian besar adalah laut ini membentuk karasteristik masyarakat Wakatobi dekat dan tak terlepas dari aktivitas dengan laut, bekerja sebagai nelayan dan membentuk budaya masyarakat lokal menjadi pola kebudayaan pesisir (marine antropologis).

Selama tahun 2005-2010 pariwisata merupakan sektor terbesar kedua setelah perikanan dan kelautan. Tetapi manfaat dari perkembangan pariwisata bagi perekonomian lokal dan masyarakat masih perlu ditingkatkan5. Aktivitas wisata yang tidak dirancang untuk melibatkan komunitas lokal menjadi salah satu jalan masuknya modal (kapitalisasi) yang berpotensi mengalienasi masyarakat lokal dari sumber pendapatanya, seperti yang telah diungkapkan oleh Iqbal (2004) bahwa penetrasi kapitalisme, modal tinggi semakin menempatkan nelayan kecil tradisional kedalam posisi yang lemah.

Disisi lain sumber pendapatan yang sepenuhnya bergantung pada aktfitas wisata berpotensi memiliki derajat ketidakamanan sumber nafkah (degree livelihood insecurity) yang tinggi karena aktfitas wisata tidak hanya bergantung pada daerah tujuan wisata tetapi sangat sensitif atas isu, kondisi yang sulit diprediksi dan dikendalikan seperti cuaca, bencana alam, kondisi perekonomian nasional maupun global seperti nilai tukar, harga minyak, perang dan lain-lain. Dalam kondisi seperti ini sangat penting memiliki sistem adaptasi yang memperhitungkan kemungkinan terjadinya hal buruk yang menerpa pola nafkah rumahtangga.

4. Masalah Perbedaan Akses

Kegiatan wisata mempunyai dua sisi bagi kehidupan masyarakat lokal yaitu bagi mereka yang mampu mengakses atau merekayasa sumberdaya yang dimiliki untuk terlibat dalam kegiatan wisata akan memberikan peluang ekonomi. Sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu mengakses sumber daya atau memanfaatkan peluang akan tetap pada sumber-sumber nafkah lama. Kepemilikan aset serta kemampuan mengaskses sumber daya sangat menentukan strategi nafkah. Oleh sebab itu meskipun peluang berusaha terbuka karena pengembangan ekowisata namun tidak semua rumahtangga dapat melakukan penyesuaian atau proses adaptasi terlebih yang aksesnya terbatas, sehingga tetap bertahan pada

5Dikutip dari rencana pengelolaan pariwisata Wakatobi


(24)

sumber-sumber nafkah lama yang telah memberikan penghidupan secara turun temurun, seperti bertani atau melaut.

Kondisi ini kemudian menjadi menarik untuk dikaji mengenai perubahan pola nafkah masyarakat selama kegiatan ekowisata di TN Wakatobi berkembang. Memahami struktur nafkah memberikan gambaran tentang kemampuan adapatasi yang dapat menunjukkan tingkat kelentingan (resilience) masyarakat. Gagasan mengenai resiliensi menjadi semakin penting, karena krisis sesuatu yang tidak diharapakan namun selalu datang secara tak terduga dalam kehidupan individu atau rumahtangga. Kondisi seperti ini dapat menguncang posisi rumahtangga yang telah memiliki sumber-sumber nafkah mapan. Ketika krisis terjadi rumahtangga dituntut mampu melakukan penyesuaian (adjust) untuk tetap bertahan atau mengembalikan kondisi seperti pada awalnya. Keadaan seperti ini – usaha kembali pulih, mertahankan keadaan – kemudian disebut sebagai resiliensi nafkah atau kelentingan rumahtangga menghadapi krisis.

Dalam menghadapi krisis, aktivitas ekowisata menjadi faktor utama terhadap perubahan struktur dan strategi nafkah yang akan membentuk tingkat resiliensi. Pengembangan kegiatan ekowisata pada dasarnya merupakan salah satu strategi pembangunan ekonomi wilayah yang lebih partisipatif, melibatkan masyarakat lokal dan diharapkan mampu mengurangi ketidakseimbangan pembangunan inter-regional serta menciptakan keterkaitan yang kuat antara wilayah dengan terbangunya infrastruktur yang mendukung mobilitas penduduk, barang dan jasa.

Ekowisata sebagai upaya mengurangi bentuk pembangunan yang bertumpuh pada pusat pertumbuhan dan sebagai model pengembangan kawasan yang berusaha melibatkan masyarakat lokal secara aktif dengan merekayasa suasana untuk tumbuhnya kreatifitas yang dapat memicu lapangan kerja baru, diharapkan mampu mengakselerasi tercapainya tujuan pembangunan ekonomi wilayah yaitu pertumbuhan (growth), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). Penetapan kawasan Wakatobi sebagai TN dengan pengelolaan melalui sistem zonasi memberikan peluang keuntungan dan juga konsekuensi yang harus dihadapi. Dampak utamanya adalah perubahan pada sistem nafkah rumahtangga dan dalam ranah lebih luas akan berpengaruh terhadap pembangunan wilayah.

Bedasarkan uraian di atas maka secara rinci rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sejauh mana ekowisata mendorong perekonomian pada tingkatan makro (ekonomi wilayah setempat) dan mikro (ekonomi rumahtangga) di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sultra?

2. Apakah struktur nafkah masyarakat menjadi lebih baik sebagai akibat ekowisata yang berkembang ?

3. Apakah sumber nafkah dari ekowisata mampu meningkatkan resiliensi ekonomi rumahtangga masyarakat lokal ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji livelihood masyarakat setelah ekowisata dikembangkan di Kabupaten Wakatobi, lalu menganalisis tingkat resiliensi serta perananya


(25)

terhadap pembangunan ekonomi wilayah. Agar wilayah Wakatobi yang berperan sebagai area konservasi dan sebagai DTW tidak melemahkan kondisi sosial, ekonomi dan ekologi masyarakat namun menjadi stimulus bagi terwujudnya pembangunan wilayah dengan pertumbuhan meningkat, kesenjangan menurun dan berkelanjutan. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis peranan ekowisata bagi perekonomian pada tingkatan makro (ekonomi wilayah setempat) dan mikro (ekonomi rumahtangga) di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sultra.

2. Menganalisis kondisi struktur nafkah rumahtangga setelah ekowisata dikembangkan.

3. Menganalisis peranan sumber nafkah dari ekowisata dalam meningkatkan resiliensi ekonomi rumahtangga masyarakat lokal.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini di harapkan mampu memberikan gambaran mengenai pola perubahan struktur nafkah dan tingkat resiliensi masyarakat setelah kegiatan ekowisata menjadi instrument pembangunan wilayah di Kabupaten Wakatobi. Sehingga dapat menjadi salah satu referensi dalam pengambilan kebijakan pembangunan ekowisata yang berkontribusi pada tingkatan mikro (pendapatan rumahtangga) dan tingkat makro (ekonomi regional). Secara rinci manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pertimbangan kebijakan pembangunan wilayah di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sultra bagi seluruh stakeholder terkait, baik pemerintah daerah maupun pusat yang berada pada tataran eksekutif maupun legislatif, dan para perencana pembangunan untuk merumuskan pembangunan wakatobi sebagai area konservasi, daerah tujuan wisata yang memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal dengan tingkat resiliensi yang tinggi.

2. Bagi masyarakat, komunitas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pihak swasta penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi sekaligus bahan pertimbangan dalam upaya menentukan bantuan, tindakan atau keputusan dalam berbagai aktivitas pembangunan ekowisata yang menguatkan sistem nafkah dan resiliensi masyarakat sehingga berdampak bagi pembangunan ekonomi wilayah.

3. Penelitian ini diharapkan menjadi tambahan referensi ilmiah dan bermanfaat bagi kalangan akademik yang memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terkait dengan ecotourism, livelihood, resilience dan regional development.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Pariwisata Massal Hingga Ekowisata

Pariwisata sangat kompleks dan terkait dengan berbagai hal sehingga sulit menentukan posisinya apakah sebuah cabang ilmu atau bukan, oleh sebab itu selama ini pariwisata dianggap hanya sebagai pengetahuan umum (common sense) bukan pengetahuan ilmiah (science), namun melalui Rapat Koordinasi Pendidikan


(26)

Pariwisata pada tanggal 24 agustus tahun 2006 di Jakarta, pariwisata akhirnya diakui sebagai ilmu. Meskipun demikian hingga saat ini belum ada defenisi khusus yang diakuai secara umum mengenai makna pariwisata. Secara sederhana terdapat dua hal pokok yang menjadi subtansi kegiatan wisata yaitu seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan rumah dan melakukan perjalanan ketempat lain, menghabiskan waktu luang (leisure) untuk membahagiakan dirinya (pleasure). Jika merujuk pada undang-undang nomor 10 tahun 2009 Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sementara itu Yoeti (2008) menyatakan perjalanan disebut perjalanan wisata jika memenuhi beberapa kriteria berikut:

1. Perjalanan dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain (from one place to another place). Perjalanan dilakukan diluar kediaman dimana orang tersebut tinggal

2. Perjalanan dilakukan minimal 24 jam atau lebih (more than 24 hours), kecuali bagi excursionist (kurang dari 24 jam).

3. Tujuan perjalanan semata-mata untuk bersenang-senang (to pleasure), tanpa mencari nafkah di negara, kota atau DTW yang dikunjungi.

4. Uang yang di belanjakan wisatawan tersebut di bawah dari negara asalnya dimana ia biasanya tinggal atau berdiam bukan diperoleh dari karena hasil usaha selama dalam perjalanan wisata yang dilakukan.

Berdasarkan kriteria di atas kegiatan wisata dapat diartikan sebagai perjalanan untuk bersenang-senang (tourism is travel for pleasure). Gagasan berwisata untuk bersenang-senang merupakan pariwisata massal yang telah memperoleh banyak kritikan karena menciptakan ketergantungan pada investor, peningkatan dominasi akibat pengendalian sektor pariwisata oleh pihak asing. Belsky (1999), Butler dan Hinch (1996), Stonich (1998, 2000) dalam Stronza dan Gordillo (2008), mengungkapkan kritiknya dengan menyatakan pariwisata menjadi terkenal karena potensinya untuk mengacaukan, mengganggu, atau melakukan kerusakan habitat alam dan masyarakat setempat. Terutama di daerah pedesaan, pariwisata telah dikenal memicu perubahan kaskade, sosial, ekologi, budaya, dan ekonomi yang tidak mudah dikelola oleh penduduk lokal. Kondisi ini menciptakan enclave6 wisata.

Pada tahun 1993 sebuah buku yang cukup propokatip berjudul “The Golden age of tourism is Over” karya Aulina Poon berisi kritikan atas pelaksanaan pariwisata massal (mass tourism) yang tidak mempertimbangkan kondisi alam, budaya, adat-istiadat serta kehidupan masyarakat lokal. Model pariwisata massal kemudian dianggap tidak berkelanjutan karena menekankan pada pertumbuhan ekonomi, keuntungan bagi pelaku usaha serta abai terhadap masyarakat lokal. Oleh sebab itu dibutuhkan model wisata baru untuk menekan dampak negatif dari kegiatan wisata massal. Karena model turisme yang berkembang saat ini merupakan bagian dari turisme kolonial yang embrionya dimulai pada masa kolonial masih digunakan dan dikonsumsi untuk keperluan penciptaan representasi-representasi Indonesia modern7.

6Nugroho dan Dahuri (2012) dalam buku pembangunan wilayah perspektif ekonomi sosial dan lingkungan, halaman

346-347 mebahas mengenai pembukaan enclave wisata.

7Essai Iskandar P.Nugra yang berjudul “Sejarah turisme sebagai satu kategori dalam studi mengenai Indonesia”, Dimuat


(27)

Ekowisata salah satu bentuk wisata yang dianggap berkelanjutan dan berbeda dengan model pariwisata massal. Lin et al (2005) menyebutkan bahwa ekowisata telah diidentifikasi sebagai bentuk pariwisata yang berkelanjutan diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk konservasi dan pembangunan. Ekowisata (ecotourism) berasal dari dua suku kata, yaitu eco dan tourism. Eco merupakan kependekan dari kata ecology (ekologi) dan tourism diartikan sebagai orang yang melakukan perjalanan, maka ekowisata adalah orang yang melakukan perjalanan dan peduli terhadap kondisi ekologi atau lingkungan. Kawasan ekowisata terkadang dihuni penduduk lokal yang memiliki kehidupan sosial dan budaya sehingga dalam perkembanganya orang yang terlibat dalam kegiatan ekowisata dituntut peduli terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

Masyarakat Ekowisata Internasional (The International Ecotourism Society) dalam defenisinya mengenai ekowisata memberikan dua poin utama yaitu perjalanan yang bertanggung jawab dalam melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Ekowisata adalah bagian dari kegiatan minat khusus (special interest tourism) merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumber daya pariwisata (Damanik dan Weber 2006). Selain adanya konsep pelestarian lingkungan kegiatan ekowisata mendukung kemajuan perekonomian sebagaimana yang dinyatakan Lei dan Zhang (2011) bahwa ekowisata mendukung kelestarian lingkungan serta menghasilkan peluang ekonomi tambahan ini menekankan manfaat bagi masyarakat setempat dan menunjukkan bahwa keterlibatan warga penting bagi pengelolaan pariwisata yang efektif.

Menurut Alikodra (2012) konsep ekoturisme bertumpu pada empat hal penting bagi keberlanjutan pembangunan, yaitu :

1. Penyelamatan fungsi-fungsi ekosistem sehingga kehati dapat dipertahankan.

2. Meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarkat.

3. Melindungi dan melestarikan keanekaragaman budaya masyarakatnya. 4. Meningkatkan sumber-sumber devisa negara.

Pengelolalan ekowisata sejak lahir hingga mati (from cradle to the grave) harus berjalan sesuai kerangka konservasi lingkungan (enviromentally sustainable way). Gambar berikut menjelasakan mengenai keterkaitan antara masyarakta lokal, aktivitas wisata dan keanekaragaman hayati.


(28)

Gambar 3 Paradigma ekowisata yang berhasil ada keterkaitan antara manusia, sumber daya dan aktivitas wisata serta saling berkontribusi secara positif

Sumber: Diadopsi dari Wall dan Ross 1999

Ekowisata berkaitan erat dengan pembangunan wilayah, karena kondisi geografis (wilayah) merupakan determinant penting dalam kegiatan ekowisata. Tidak ada wilayah yang benar-benar sama secara fisik atau sosial hal ini berarti bahwa setiap wilayah pada dasarnya unik. Keanekaragaman hayati setempat (biodeversity regional), dimana masing-masing wilayah berdasarkan batasan geografi dari komunitas masyarakat dan sistem ekologi, akan memiliki kekayaan hayati yang spesifik, (Miller 1989, 1996 dalam Sugandhy 2009). Meskipun demikian tidak semua wilayah layak menjadi daerah tujuan wisata.

Terdapat unsur dasar yang saling terkait, dan harus terpenuhi sehingga sebuah wilayah mempunyai daya tarik bagi wisatawan. Promosi, transportasi, akomodasi, kondisi objek dan atraksi wisata secara kesuluruhan harus tersedia, dapat diakses dengan mudah dan murah. Semua infrastruktur tersebut berperan sebagai daya tarik wilayah. Daya tarik wilayah menjadi penentu wisatawan untuk datang berkunjung kesuatu wilayah. Gambar 4 menunjukkan bagaimana perjalanan dan wisata berdampak luas bagi perekonomian.

Aktivitas wisata berdampak bagi perkeonomian wilayah melalui beberapa variabel baik secara langsung maupun tidak yang kemudian menginduksi jenis usaha terkait yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat GDP dan tenaga kerja dalam suatu wilayah. Persis, disinilah kemudian ekowisata dapat digunakan sebagai pendorong kemajuan bagi suatu wilayah karena kertekaitanya dengan banyak hal seperti aktor, sektor dalam wilayah internal juga wilayah-wilayah lain yang hubunganya dapat saling menguatkan untuk tumbuh bersama mendorong sektor-sektor penting dan menekan perkembangan industri ekstraktif yang tebrukti banyak merusak sistem alamiah alam terutama untuk daerah konservasi dan ruang hidup masyarakat lokal.


(29)

Gambar 4 Kontribusi Perjalanan dan Pariwisata Terhadap Perekonomian Sumber: Diadopsi dari WTTC, 2014

Konservasi dan Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

Indonesia merupakan negara yang telah lama terlibat dalam pembahasan mengenai keterkaitan antara pembangunan berkelanjutan dan lingkungan sosial, baik sebagai pihak penyelenggara yang ikut penandatanganan maupun sebagai pendukung berbagai kesepakatan internasioanl di bidang lingkungan. Seperti kesepakatan yang lahir dari United Nation Conference on Human Environment di Stockholom pada tahun 1972, kemudian Population Conference 1974, 1984 dan 1994, serta United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio De Jenairo. Kesepakatan tingkat dunia mengenai pembangunan keberlanjutan seluruhnya menekankan pentingnya keterkaitan antara kependudukan sumber daya dan lingkungan serta perlunya memperhatikan keberlangsungan keterkaitan antara manusia, sumber daya dan pembangunan.

Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, saling mendukung dalam proses keberlanjutan kehidupan. Pandangan antroposentrik yang menganggap alam sebagai objek -keberadaanya dianggap sebagai alat untuk pemenuhan kebutuhan manusia- sudah tidak relevan lagi sebab alam dan manusia merupakan suatu kesatuan dan ada hubungan fenomenologi

DIRECT

Travel & Tourism Contribution COMODITIES *Accommodation * Transportation * Entertainment * Attraction INDUSTRIES * Accomodation Service * Food & beverage

service

* Cultural, sports & recreational service

SOURCE OF SPENDING * Residents domestic

T&T spending * Businesses domestic

travel spending * Visitor export * Individual government T&T spending INDIRECT Travel&Tourism Contribution

* T&T investment * Govermment

collective T&T spending

* Impact of purchase from suppliers

INDUCED

Contribution (spending of direct &

indirect employees)

* Food & beverages *Recration * Clothing * Housing *Household goods TOTAL Travel &Tourism contribution

* To GDP *To Employment


(30)

diantara keduanya8. Namun kehendak manusia untuk menguasai dan menaklukan menyebabkan alam dikelolah secara tidak adil, sehingga menimbulkan berbagai macam kerusakan lingkungan.

Selama ini pandangan terhadap alam sangat didominasi oleh etika antroposentrisme 9 menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan terhadap ekosistem. Maka lahirlah pandangan lain dalam melihat lingkungan yakni berdasarkan pada etika eco-centrism sebuah cara pandang yang mencoba melihat alam untuk menjamin terjadinya keberlangsungan dan keberlanjutan ekosistem. Lebih jauh Purba (2005) menjelaskan prinsip utama pembangunan adalah keadilan antar generasi (1) (intergenerational equity), prinsip keadilan dalam satu generasi, (2) (intragenrational equity), merupakan prinsip yang berbicara tentang keadilan diantara satu atau sesama (single) generasi, (3) Prinsip pencegahan dini yang mengandung suatu pengertian apabila terdapat ancaman adanya kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan (irreversibel) tidak ada alasan untuk menunda upaya-upaya mencegah kerusakan lingkungan tersebut, (4) prinsip perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity conservation) dan (5) internalisasi biaya-biaya lingkungan dan mekanisme insentif, pentingnya penekanan prinsip ini berangkat dari suatu keadaan dimana penggunaan sumber daya alam merupakan kecendrungan atau reaksi dari dorongan pasar.

Pengembangan ekowisata di wilayah konservasi salah satu upaya menggabungkan antara eco-humanism dan eco-enviromentalism agar manusia dan alam saling mendukung untuk keberlanjutan. Konservasi salah satu cara untuk melakukan pemulihan dan melindungi alam dari kerusakan. IUCN, UNEF, WWF, (1991) dalam Alikodra (2012) konservasi didefinisikan sebagai kegiatan untuk mempertahankan kapasistas bumi, dan pembangunan ditujukan agar manusia dimana saja mendapatkan kebahagiaan secara berkelanjutan, kesehatan, dan terpenuhinya kecukupan hidup. Lebih lanjut Alikodra (2012) berdasarkan pada dokumen (KMNLH 1994, IUCN, UNEF, WWF 1991) menjelaskan mengenai konservasi sebagai upaya pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang menjamin beberapa hal berikut :

1. Perlindungan terhadap keberlangsungan proses-proses ekologis dan sistem peyangga kehidupan.

2. Pengawetan SDA termkasud kehati.

3. Pemanfaatan secara lestari SDA dan lingkunganya.

Pembangunan berkelanjutan semakin penting ditengah peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas manusia yang semakin dinamis. Kondisi tersebut menuntut penggunaan ruang yang semakin tinggi. Sementara Jumlah ruang (luas bumi) tidak mengalami peningkatan sehingga diperlukan sebuah regulasi untuk menjaga keseimbangan dan memastikan terwujudnya pembangunan wilayah yang berkelanjutan. Gagasan eco-centrism kemudian coba diterapkan dalam pembangunan wilayah dengan mengadopsi prinsip biodiversity conservation. Sehingga dibuat sebuah regulasi terkait pemanfaatan ruang diantaranya penetapan kawasan konservasi. Kawasan konservasi berarti sebuah kawasan yang dilindungi (protected area).

8Mengenai ekonofenomonologi dapat dibaca lebih jauh dalam buku “ ekofenomenologi mengurai disekulibrium relasi manusia dan alam” Saras Dewi, 2015.

9

Etika antroposentrisme merupakan perspektif yang menyatakan manusia adalah pusat atau ukuran sentral dari segala-galanya dan alam hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan manusia.


(31)

Wilayah merupakan ruang hidup tempat seluruh aktivitas manusia berlangsung, segala aspek kehidupan manusia harus memperhatikan keberlanjutan pembangunan wilayah, ketika pola hidup atau aktivitas manusia mengalami perubahan maka secara langsung atau tidak ruang akan mengalami perubahan baik secara fisik ataupun perubahan fungsi, begitupula sebaliknya berubahnya sebuah kawasan atau ruang secara langsung ataupun tidak akan berdampak terhadap perubahan sosial masyarakat. Adisasmita (2010) menyatakan bahwa pengembangan kawasan harus juga dihubungkan dengan perubahan-perubahan dalam landscape ekonomi. Dalam proses pertumbuhan ekonomi akan terjadi pergeseran dalam permintaan, akan ditemukan sumberdaya baru, terjadi perbaikan sistem transportasi, penurunan biaya produksi dan sebagainya. Peristiwa ini akan mendorong para wiraswasta dan pengusaha industrinya dan mungkin mendorong untuk mengadakan relokasi. Jadi dapat dikatakan bahwa landscape ekonomi itu merupakan akibat dari pertumbuhan ekonomi. Selain pertumbuhan suatu kawasan tergantung pada alokasi sumber daya dalam tata ruang pada suatu waktu tertentu, oleh karena itu hal ini dapat dipengaruhi oleh pengambilan keputusan dalam hal lokasi individual, maka jelaslah bahwa teori pertumbuhan kawasan itu harus memperhatikan analisis lanskep ekonomi.

Pembangunan berkelanjutan tidak bisa dilepaskan dengan pemanfaatan ruang wilayah beserta potensi sumberdaya yang ada bagi tujuan pembangunan manusia atau masyarakatanya itu sendiri, (Sugandhy et al 2009). Bioregional development Plan atau model pembangunan daerah berwawasan keanekaragaman hayati setempat, salah satu cara ber’alih dari model pembangunan konservatif menuju pembangunan yang mendukung upaya konservasi. Pembangunan wilayah berdasarkan pengetahuan bioregion disebut ekoregion. UU RI No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengartikan ekoregion sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan manusia, iklim, tanah, air, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integrasi sistem alam dan lingkungan hidup.

Environmental Service Based dan Ekowisata

Layanan lingkungan (Environmental service) merupakan kemampuan alam secara alamiah menyediakan atau memberikan pelayanan untuk kehidupan dan keberlangsungan hidup yang berkualitas. Disadari atau tidak alam selama ini menjalankan peranya secara langsung untuk menghadirkan kehidupan yang berkualitas melalui penyediaan kebutuhan yang paling esensial bagi keberlangsungan seluruh makhluk hidup berupa, ketersedian air, tanah yang subur, hutan yang kaya, udara yang bersih landscape alam yang indah, secara keseluruhan semua ini karena alam bekerja (menyediakan pelayanan) sehingga mahluk hidup terutama manusia dapat menikmati kehidupan yang nyaman.

Namun dalam berbagai aktivitas ekonomi yang dilakukan seringkali peranan penting alam dan lingkungan diabaikan oleh mansuia terutama dalam perhitungan dan model-model ekonomi. Maka dalam beberapa dekade terkahir pelayanan yang dihadirkan oleh alam kemudian menjadi bagian yang diperhitungkan untuk mendorong kesadaran akan peran dan fungsi alamiah lingkungan agar manusia turut serta menjaga dan merawat alam sekitar. Meskipun harga atau angka yang diperoleh tentu tidak akan pernah setara dengan nilai dari pelayanan yang


(32)

diberikan oleh alam namun ini salah satu cara untuk mencegah degradasi yang lebih besar dengan menunjukkan nilai ekonomis dari pelayanan lingkungan.

Proses pembangunan harus menjaga agar ekoregion tidak mengalami perubahan sistem hidup lingkungan dan sosial. Enviromental service based merupakan sebuah paradigma baru membangun wilayah yang berkelanjutan melalui usaha konservasi atau ekowisata, melalui dua hal utama yaitu mendorong terjadinya aktivitas ekonomi namun alam tidak terdegradasi. Nilai sumberdaya bukan hanya dihitung berdasarkan nilai pasar tetapi juga berdasarkan pendekatan ekonomi non-pasar (non-use value), persis disinilah bagaimana ekowisata merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan melalui peranya yang mampu menciptakan nilai ekonomi berdasarkan pasar dan non pasar.

Nilai ekonomi non use value dapat digali dari stakeholder antara lain masyarakat lokal sekeliling TN, penduduk kota, atau pengunjung asing, bahkan pihak yang tidak langsung terkait dengan sumberdaya, Nugroho (2011). Melalui konsep non use value nilai dari pemanfaatan sumber daya alam tidak harus dalam bentuk produksi barang atau produk yang kemudian menghasilkan nilai ekonomi. Pengelolaan wilayah konservasi melalui penyelengaraan ekowisata dapat memberikan nilai ekonomi melalui jasa lingkungan. Ekowisata, dan diversifikasi ekonomi cara yang paling umum diterapkan di dunia ketiga sebagai sarana untuk melindungi ekosistem, melestarikan budaya lokal, dan memacu pembangunan ekonomi... (Che 2006), oleh sebab itu dianggap dapat mendorong peningkatan ekonomi (leverage effect) dan melindungi ekosistem sekitar.

Konsep Livelihood

Pengangguran dan kemiskinan persoalan utama dalam pembangunan. Kemiskinan merupakan persoalan yang terjadi secara struktural di mana kondisi masyarakat menjadi rentan (economic insecurity) ketika terjadi ketidakpastian atau krisis yang berdampak terhadap struktur nafkah rumahtangga, sehingga seringkali sulit atau lamban dalam proses memulihkan diri (to recover) akibat keterbatasan modal yang dapat direkayasa dalam rangka melakukan proses adaptasi atas perubahan yang terjadi. Konsep nafkah (livelihood) sering digunakan dalam riset-riset terkait dengan isu pembangunan dan kemiskinan terkhusus di wilayah perdesaan atau pesisir. Livelihood stratgey tidak cukup hanya dimaknai sebagai cara hidup (means of living), karena dalam konsep yang lebih luas mencakup banyak hal seperti strategi dan aksi yang dilakukan rumahtangga dalam upaya bertahan hidup, meningkatkan kualitas hidup dengan memanfaatkan infrastruktur dan struktur sosial, ekonomi dan budaya yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Ellis (2000) mengkonseptualisasikan nafkah sebagai asset, akses terhadap asset dan aktivitas yang dikembangkan oleh seseorang maupun rumahtangga, dengan mediasi dari lembaga dan hubungan sosial untuk mencapai derajat kehidupan tertentu.

Strategi nafkah pada dasarnya dilakukan oleh individu namun dalam pengukuranya dilihat dalam tataran rumahtangga. Strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga akan berbeda ketika kondisi normal dan kondisi krisis. Strategi nafkah yang dilakukan sangat ditentukan oleh sumber daya atau modal yang dimiliki. Ellis (2000) menjelaskan mengenai lima konsep modal yang dapat


(33)

direkayasa oleh rumahtangga dalam mengatur strategi nafkah yaitu sebagai berikut :

a. Modal alam (Natural Capital)

Modal yang berasal dari alam dan terkait dengan proses-proses alamiah, seperti kondisi tanah, air, udara, siklus hidrologi, seascape, landscape dan lain sebagainya.

b. Modal Ekonomi (Economic/ Financial Capital)

Modal finanasial didasarkan pada kepemilikan asset uang atau materi lainnya yang mempunyai nilai yang sama. Selain kepemilikan, modal finansial dapat dilihat dari segi akses terhadap modal tersebut berupa kemudahan memperoleh pinjaman, atau tabungan yang dapat segera dicairkan sebagai alat tukar jika dibutuhkan oleh rumahtangga.

c. Modal Sumberdaya Manusia (Human Capital)

Modal ini terkait dengan aspek manusia berupa kuantitas maupun kualitas sumber daya manusia dalam suatu rumahtangga, seperti tingkat pendidikan/pengetahuan, keterampilan, kesehatan dan lain sebagainya. d. Modal Sosial (Social Capital)

Modal ini terkait dengan sumberdaya sosial yang bermanfaat dalam proses pencarian nafkah seperti hubungan sosial, tingkat kepercayaan, norma, jaringan dan lain-lain.

e. Modal Fisik (Physical Capital)

Modal ini diukur dari asset berupa barang, tekhnologi, infrastruktur yang dapat menunjang proses strategi nafkah.

Semakin besar modal rumahtangga semakin baik. Selain itu Ellis juga membagi kedalam tiga jenis sumber pendapatan nafkah rumahtangga yang terdiri dari:

1. Pendapatan yang berasal dari on-farm

Merupakan strategi nafkah yang berasal dari hasil pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan lain sebagainya).

2. Pendapatan yang berasal dari off-farm.

Berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil, (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja, non-upah dan lain-lain.

3. Pendapatan yang berasal non-farm

Sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi lima, yaitu: upah tenaga kerja perdesaan bukan pertanian, usaha sendiri diluar kegiatan pertanian, pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota, dan kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negri.

Rumahtangga merancang dan menentukan strategi nafkah berdasarkan pilihan rasional atas kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan berdasarkan sumber daya yang tersedia. Teori pilihan rasional memberi perhatian pada konteks sosial yang mempengaruhi pilihan tindakan aktor dalam hubungan pertukaran, (Turner 1998). Sebagai contoh Iqbal (2004) menyatakan bahwa tidak hanya strategi produksi (ekonomi) yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan dalam upaya mereka menghadapai tekanan sosial-ekonomi, tetapi juga menggunakan strategi non produksi yaitu dengan memanfaatkan aspek sosial (modal sosial) yang ada dalam lingkungan mereka. Scoones (1998) mengungkap


(34)

hubungan antara proses yang kompleks dan dinamis seperti berbagai hasil kombinasi strategi yang berbeda merupakan bagian penting dari investigasi mengenai mata pencaharian berkelanjutan (sustainability livelihoods). Beberapa hal berikut merupakan strategi yang biasa digunakan untuk menciptakan keberlanjutan nafkah.

1. Intensifikasi/ekstensifikasi pertanian - antara padat modal (supported by external inputs and policy-led) dan intensifikasi padat tenaga kerja (based on own labour and social resources and a more aotonomous process). 2. Diversifikasi mata pencaharian -antara aktif dalam diversifikasi investasi

untuk akumulasi dan reinvestasi, dan diversifikasi ditujukan untuk mengatasi kesulitan sementara atau adaptasi yang lebih permanen dalam aktivitas mencari nafkah, ketika pilihan lain gagal memberikan penghidupan. Diversifikasi terkait dengan pengembangan penghasilan yang lebih luas agar dapat mengatasi, merespon berbagai macam guncangan atau ditujukan untuk mengembangkan kemampuan adaptasi dengan baik.

3. Migrasi, terdapat beberapa penyebab migrasi yang berbeda (misalnya pindah secara sukarela dan tidak sukarela), dampaknya (misalnya reinvestasi dalam pertanian, perusahaan atau konsumsi di daerah perumahan atau daerah bagian migrasi) dan pola pergerakan (misalnya ke atau dari tempat yang berbeda).

Dalam konteks Indonesia sosiologi nafkah dapat ditelusuri melalui karya Sosiolog dari Bogor yaitu Profesor Sayogyo dan murid-muridnya. Salah satu definisi yang dapat digunakan adalah apa yang diungkapkan oleh Dharmawan (2007a) bahwa sosiologi nafkah (livelihood sociology) didefinisikan secara sederhana sebagai studi tentang keseluruhan hubungan antara manusia, sistem sosial dan sistem penghidupanya (livelihood, social system and source of living). Dari definisi ini ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem nafkah di Indonesia yaitu kondisi alam serta sistem sosial dimana masyarakat setempat berada. Kedua hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pengaturan sistem nafkah masyarakat perdesaan Indonesia. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam Dharmawan (2007b) bahwa penjelasan tentang bangun budaya yang terbentuk sebagai akibat interaksi berkelanjutan antara manusia dengan alam, menampakkan betapa kentalnya persenyawaan disiplin ekologi manusia dengan antropologi (cultural and ecological anthropology).

Konsep Resiliensi

Gagasan mengenai resiliensi pada awalnya digunakan untuk menganalisis adapatsi sistem ekologi ketika terjadi perubahan, konsep ini kemudian mengalami perkembangan dan digunakan dalam dimensi yang lebih luas. Ketahanan muncul dari ilmu ekologi untuk mengatasi kegigihan dan perubahan ekosistem (Carpenter et al 2001; Gunderson 2000 dalam Turner 2010). Sebelumnya Adger (2000) telah mendefenisikan reseliensi sosial sebagai kemampuan kelompok atau masyarakat untuk mengatasi tekanan eksternal dan gangguan sebagai akibat dari perubahan sosial, politik dan lingkungan, selanjunya Walker et al (2004) mengartikan reseliensi sebagai kemampuan sistem untuk menyerap gangguan dan mengorganisasi saat menjalani perubahan sehingga masih mempertahankan fungsi


(35)

dasarnya. Jauh sebelumnya Palmer (1997) dalam Greene (2007) mengungkapkan empat tipe kelentingan yaitu sebagai berikut:

1. Anomic survival: orang atau keluarga yang dapat bertahan dari gangguan. 2. Regenerative resilience: dapat melengkapi usaha untuk mengembangkan

kompetensi dan strategi coping.

3. Adaptive Resilience: periode yang relatif berlanjut dari pelaksanaan kompetensi dan strategi coping.

4. Flourishing resilience: penerapan yang luas dari perilaku dan strategi coping.

Individu atau rumahtangga beresiliensi tinggi berarti mampu pulih atau kembali dalam posisi awal ketika terjadi guncangan atau bencana dalam tempo waktu yang singkat. Hal ini erat terkait dengan daya tahan rumahtangga menghadapai bencana dengan melakukan rekayasa dalam memanfaatkan dan mengakses sumber daya yang tersedia, seperti melakukan perubahan strategi nafkah. Kelentingan berupa fleksibilitas rumahtangga menghadapi situasi dengan melakukan penyesuain diri yang positif atas bencana yang terjadi. James et al (2006) menyatakan bahwa kelentingan termaksud dalam sistem penguatan, membangun pertahanan dan mengiplementasikan back up-system dan pengurangan kerugian.

Reseliensi dalam konteks ekonomi adalah kemampuan individu, rumahtangga atau komunitas bertahan ketika terjadi krisis keuangan (financial). Sementara resiliensi dalam konteks sosial-ekologi adalah kemampuan individu, rumahtangga atau komunitas beradaptasi, atau kembali pulih ketika terjadi perubahan kondisi lingkungan seperti bencana alam atau terjadi perubahan sosial yang merusak kondisi, suasana, dan struktur sosial yang selama ini terbangun dan telah menjadi bagian dari sistem kehidupan masyarakat. Berkes et al (2003) memberikan tiga karasteristik konsep resiliensi yaitu :

1. Jumlah perubahan sistem dapat menjalani dan masih mempertahankan kontrol yang sama pada fungsi dan struktur, atau masih berada dalam keadaan yang sama, dalam domain atraksi yang sama;

2. Sejauh mana sebuah sistem mampu mengorganisasi diri (self-organization); dan

3. Kemampuan untuk membangun dan meningkatkan kapasitas belajar dan beradaptasi.

Untuk mengatasi hal buruk atau kejadian yang tidak diinginkan individu biasanya melakukan coping berupa perilaku yang tidak terlihat untuk mengurangi stress atau ketegangan psikologi. Coping merupakan bagian daripada proses adaptasi dalam menghadapi bencana. Maryam (2007) menyatakan bahwa Strategi coping bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasa menekan, menantang, membebani dan melebihi sumberdaya (resource) yang dimiliki. Dalam kondisi krisis tingkat kelentigan (resiliensi) individu atau rumahtangga sangat penting agar tidak terus-menerus dalam kondisi terpuruk. Menurut Folke (2006) terdapat beberapa rangkaian dalam konsep resiliensi, dari interpretasi yang lebih sempit untuk konteks sosial-ekologi yang lebih luas seperti yang terlihat dalam tabel 2.

Tabel 2 Rangkaian konsep resiliensi terkait dengan konteks sosial-ekologi


(36)

Engineering resilience

Return time, efficiency Recovery, constancy

Vicinity of a stable equilibrium Ecological/ ecosystem resilience social resilience Buffer capacity, withstand shock, maintain function Persistence, robustness Multiple equilibria, stability Landscapes Social–ecological

resilience Interplay disturbance and reorganization, sustaining and developing Adaptive capacity transformability, learning, innovation Integrated system feedback,

cross-scale dynamic interactions

Sumber: Diadopsi dari Folke, 2006

Kerangka Pikir

Wakatobi wilayah yang unik, merupakan daerah tingkat dua di Provinsi Sulawesi Tenggara namun secara kesuluruhan (100% wilayahnya) merupakan TN atau masuk kategori protected area. Kondisi ini menyebabkan Wakatobi berbeda dengan wilayah pada umumnya karena posisinya ditataran regulasi sebagai daerah konservasi sekaligus daerah adminstrasi sehingga memiliki persoalan yang lebih kompleks namun demikian Wakatobi berpotensi besar menjadi wilayah maju dan berkelanjutan jika dikelolah dengan tepat.

Undang-undang otonomi daerah (Otoda) nomor 32 tahun 2004 yang telah direvisi menjadi undang-undang nomor 23 tahun 2014 memberikan wewenang yang besar kepada Pemda untuk mengelolah suatu wilayah berdasarkan potensi lokal. Oleh sebab itu Wakatobi kemudian dibangun berbasiskan pemanfaatan keunggulan wilayah yaitu, posisi Geografis Wakatobi yang berada di pusat segitiga karang dunia (The heart of coral triangle centre) sehingga dianugrahi alam yang indah penuh dengan sinar matahari, senja yang memukau, laut biru dan pasir putih (sun, sea, and sand) serta kaya akan biodiversity menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk datang berkunjung ke Wakatobi. Selain indah dan kaya biodiversity, Pemda Wakatobi telah mengidentifikiasi 64 lokasi titik selam yang tersebar di empat pulau besar merupakan kekayaan dan daya tarik wisata yang tidak dimiliki oleh daerah lain sehingga ecotourism layak menjadi salah satu alat pembangunan menuju wilayah yang berimbang dan berkelanjutan (balance and sustainable development) di Wakatobi.

Ekowisata merupakan model pembangunan yang tidak berbasiskan sumberdaya materil (material resource) tetapi menggunakan environmental service-based economy yang diharapkan mampu memicu pertumbuhan dan berkontribusi bagi kehidupan masyarakat lokal. Pendekatan ekowisata digunakan karena dianggap lebih partispatif dan ramah terhadap sistem nilai, dan lingkungan. Pengembangan Ekowisata diduga mampu mempengaruhi atau merubah tatanan struktur nafkah masyarakat lokal sehingga tingkat kerentanan dan kelentingan rumahtangga yang terlibat dan tidak terlibat dalam kegiatan ekowisata akan berbeda. Selain perbedaan dampak ditataran rumahtangga, kegiatan ekowisata juga akan berdampak terhadap pembangunan wilayah Wakatobi dalam konteks yang lebih luas.


(37)


(38)

Hipotesis Penelitian

1. Diduga peranan ekowisata berdampak bagi perekonomian pada tingkat makro dan mikro di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Diduga struktur nafkah masyarakat menjadi lebih baik akibat ekowisata yang berkembang di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

3. Diduga sumber nafkah dari ekowisata mampu meningkatkan resiliensi ekonomi rumahtangga masyarakat lokal di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

Definisi Konseptual

Beberapa definisi konseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ekowisata adalah segala bentuk aktivitas yang terkait dengan kegiatan wisata yang berlangsung di kawasan taman nasional wakatobi.

2. Strategi nafkah adalah cara yang digunakan rumahtangga dalam memanfaatkan asset atau akses terhadap sumber nafkah sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan atau bertahan hidup.

3. Struktur nafkah adalah komposisi pendapatan rumahtangga berdasarkan hasil dari aktivitas mencari nafkah yang diperoleh dari seluruh anggota rumahtangga.

4. Resiliensi adalah kelentingan, kesiapaan atau kemampuan rumahtangga bertahan, kembali pulih atau menjadi lebih baik dalam menghadapi situasi krisis.

Penelitian Terdahulu Topik Ekowisata dan Livelihood

Penelitian terdahulu yang mempunyai kesamaan dan keterkaitan dengan penelitain ini telah banyak diantaranya adalah penelitian-penelitain yang berlokasi di Wakatobi atau di wilayah lain namun menggunakan pendekatan atau metodologi yang mirip diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Suriana (2009) melakukan penelitian di Wakatobi dengan judul “ Analisis keberlanjutan pengelolaaan sumberdaya laut gugus pulau kaledupa berbasis partisipasi masyarakat”. Metodologi yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk melihat gambaran umum wilayah penelitian, lalu menggunakan analisis model ekonomi antar generasi (Overlaping Generation Model-OLG) untuk melihat keberlanjutan perikanan tangkap dan pendekatan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pesisir Coastal Livelihood System Analysis (CLSA) untuk melihat status keberlanjutan budidaya rumput laut. Pengukuran keberlanjutan wisata bahari menggunakan model minimal wisata (a minimal model), dan untuk melihat partisipasi menggunakan analisis partisipasi masyarakat dan analisis terkahir adalah penentuan model pengelolaaan Pulau Kaledupa melalui pendekatan Multi Criteria Decision Making (MCDM). Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengelolalan sumberdaya pulau-pulau kecil di Wilayah Gugus Kaledupa untuk perikanan tangkap tidak berkelanjutan, budidaya rumput laut dapat berkelanjutan dengan sayarat memperhatikan skala usaha dan kegiatan wisata bahari dapat berkelanjutan dengan memperhatikan kualitas lingkungan. Tingkat


(39)

partisipasi masyarakat tinggi untuk kegiatan perikanan tangkap dan budidaya rumput laut dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wisata bahari termaksud dalam kategori sedang.

2. Moch. Iqbal (2004) meneliti mengenai “Strategi nafkah rumahtangga nelayan (studi kasus di dua desa nelayan tangkap Kabupaten Lamongan Jawa Timur)” melalui pendekatan kualitatif berdasarkan pada studi komunitas maupun kasus. Menemukan bahwa masyarakat pesisir utara Kabupaten Lamongan tidak bisa dipisahkan dari ekologi laut, pembangunan dan masuknya teknologi tidak memberikan manfaat seperti yang diharapkan terutama untuk nelayan yang berada di lapisan bawah, bahkan hasil tangkapan cendrung berkurang. Nelayan Brondong menggunakan strategi non-produksi seperti keamanan sosial (social security) sebagai basis untuk meringankan beban ekonomi. Sementara nelayan Paciran lebih memilih migrasi keluar negri sebagai basis strategi nafkah.

3. Agustinus Multi Purnomo (2006) meneliti mengenai “Strategi nafkah rumahtangga desa sekitar hutan studi kasus desa peserta Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat “ menggunakan pendekatan kualitatif untuk melihat gambaran realitas sosial yang dibangun melalui pemahaman subyektif peneliti. Temuan menarik dari hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan rasionalitas yang mendasari strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar berbeda dengan rasionalitas yang mendasari rancangan sistem nafkah PHBM. Oleh sebab itu PHBM gagal karena ketidaksesuaian konsep antara masyarakat dan PHBM. Catatan penting dari temuan ini adalah sebuah proyek atau program yang masuk kedalam desa harus dibangun dan disesuaikan dengan rasionalitas yang digunakan masyarakat dalam membangun strategi nafkahnya.

4. Blangy dan Mehta (2006) menulis tentang “Ecotourism and Ecological Restoration” menjelaskan mengenai kedudukan penting ecological restoration (ER) dalam ekowisata. Tetapi ER jarang disebutkan dalam pedoman ekowisata yang dikembangkan oleh masyarakat, badan taman nasional, LSM konservasi atau lembaga yang sedang berkembang dan program sertifikasi jarang menambahkan kriteria ER dalam skema mereka. Oleh sebab itu, Blangy dan Mehta mendorong agar konservasi dan ER menjadi kriteria yang digunakan dalam skema sertifikasi sebagai standar wajib.

5. Bhandari (2013) meneliti tentang “

Rural livelihood change? Household

capital, community resources and livelihood transition

menggunakan pendekatan penghidupan yang berkelanjutan, untuk melihat sejauh mana sumberdaya manusia rumahtangga, modal alam dan ekonomi, latar belakang sosial-budaya dan sumber daya fisik berkontribusi perubahan penghidupan rumahtangga dari kegiatan pertanian ke kegiatan non-pertanian dalam perubahan pengaturan agraria di perdesaan Nepal. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif pada semua tahapan mengenai rumahtangga yang masih terus melakukan aktivitas pertanian dan rumahtangga yang telah meninggalkan pertanian. Perbedaan atau asosiasi bivariat dianalisis menggunakan ANOVA satu arah atau uji Chi-square. Hasil penelitian menjelaskan mengenai rumahtangga pertanian di Nepal yang mengubah strategi penghidupanya dengan menggeser pekerjaan pertanian ke kegiatan non-pertanian juga (farm exit), hal ini terjadi karena akses terhadap


(40)

berbagai aset atau bentuk modal ternyata mempengaruhi mata pencaharian pada masa transisi. Penelitian ini mengungkapkan bahwa berbagai dimensi manusia, alam, modal ekonomi dan sumber daya masyarakat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan ketika masa peralihan livelihood (livelihood transition) dalam pengaturan agrarian di wilayah perdesaan miskin di Nepal. Keberadaan tenaga kerja usia produktif, terutama laki-laki usia kerja dan kehadiran anak-anak usia kerja merupakan modal manusia yang sangat penting dan dapat memperkecil kemungkinan terjadinya peralihan mata pencaharian dari pertani ke non pertanian.

6. Hoefle (2016) melakukan penelitian dengan judul “Multi-functionality, juxtaposition and conflict in the central amazon: will tourism contribute to rural livelihoods and save the rainforest?”. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat kondisi perdesaan dan ekowisata di tengah Amazon. Melihat kemungkinan menggabungkan pariwisata dengan pertanian, atau apakah kegiatan dapat disejajarkan (side-by-side) dan apabila terdapat konflik karena persaingan penggunaan lahan mengakibatkan marjinalisasi penduduk setempat. Penelitian ini juga mempertimbangkan skala, potensi pasar, aksesibilitas dan kapasitas dan keterampilan lokal sebagai dasar untuk menentukan apakah pariwisata dapat menjadi solusi hijau yang layak mengurangi deforestasi dan mempromosikan inklusi sosial di salah satu daerah paling miskin dan lingkunganya bermasalah di Brasil. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ekowisata tidak berkontribusi signifikan untuk menyelamatkan hutan amazon, tuntutan “Greenwashing” terjadi karena adanya disturbansi antara sosial-lingkungan (the socio-environmental disturbance) meskipun dalam kadar yang terbatas hal ini tidak dibenarkan dalam wilayah pelestarian lingkungan. Dalam sebagian besar kasus yang disajikan pertanian akan menjadi lebih baik ketika mereka memiliki tanah pertanian, beberapa modal investasi, fasilitas transportasi dan pasar yang tersedia untuk menjual produk.

7. Thulstrup (2015) melakukan penelitian di Vietnam dengan judul “Livelihood

Resilience and Adaptive Capacity: Tracing Changes in Household Access to Capital in Central Vietnam”. Tujuan penelitian ini ini untuk mengkaji akses rumahtangga terhadap modal sebagai ukuran resiliensi yang mungkin dipengaruhi dari implementasi pelaksanaan program pemerintah. Penelitian ini menelusuri sejarah intervensi negara dan kapasitas rumahtangga dan masyarakat dalam beradaptasi terhadap perubahan. Hasilnya mengungkapkan bahwa beberapa rumahtangga mempunyai kapasitas yang lebih adaptif, mereka memperoleh akses yang lebih baik terhadap modal sementara yang lain tetap rentan karena terkendala dalam mengakses sumber daya dan mempunyai mata pencaharian yang tidak beragam (nondiversified livelihoods). Jika goncangan (shock) menjadi lebih sering terjadi, rumahtangga yang tidak melakukan diversifikasi mata pencaharian lebih bersiko.

8. Tao dan Wall (2009) melakukan penelitian dengan “Tourism as a sustainable livelihood strategy” penelitian ini berdasarkan “sustainable livelihood approach” temuan dalam penelitian ini adalah berbagai sumber daya dan strategi penghidupan digunakan oleh rumahtangga Shanmei: seperti migrasi, menjadi buruh (reguler dan sesekali), memanen tanaman, memelihara ternak, pemanenan pohon,tanaman dan sumber daya lainnya dari gunung,


(1)

112

Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian

“Melakukan Pertemuan dan Wawancara dengan Swiss Contact Wakatobi”


(2)


(3)

114

“Perluasan jalan darat mempersempit jalan yang di lalui lepa-lepa di Bajo Mola”

“Pelabuhan dari Pulau WanciMenuju Pulau Kapota”


(4)

”Danau Salah satu Destinasi Wisata di Pulau Kapota yang Banyak di Kunjungi”


(5)

116

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wia-wia (Sulawesi Tenggara) pada tanggal 10 Oktober 1990 dari pasangan Bapak Sainudding dan Ibu Darna. Merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 2008 lulus dari SMKN 1 Kendari. Penulis menyelesaikan S1 di Jurusana Ilmu ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Haluoleo, lulus pada tahun 2012. Melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Perencanana pembangunan Wilayah dan Perdesaan, sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis pernah bergiat di Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (LEPMIL) yang berkedudukan di Kota Kendari. Selain itu penulis pernah bekerja di Global Fund – Health strengthening system (GF-HSS ) Pusdatin Kementerian Kesehatan RI tahun 2014. Merupakan

Asisten manajer program “Project REDD+ and climate change Grassroots

stakeholders in Asia “ YKMI dan RECOFTC tahun 2015 dan Tenaga Ahli

Ekonomi Perdesaan untuk proyek penyusunan data “clustering” desa berbasis

potensi oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertingggal dan Transmigrasi di Provinsi Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara tahun 2015. Di masa akhir penyelesaian tesis penulis menjadi fasilitator


(6)