BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kondisi bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan telah mengalami konflik kepentingan antara Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah, kepentingan
penguasa dengan kepentingan rakyat. Konflik berlangsung dari masa ke masa antara Pemerintah sebagai penguasa yang melayani berbagai kepentingan dengan
masyarakat sebagai pengguna jasa yang menuntut diberikan pelayanan. Pemerintah desentralistik merupakan suatu solusi untuk menjawab kebutuhan
daerah secara lengkap mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah akan mendorong pemikiran baru bagaimana menata
kewengan yang efisien dan efektif. Artinya Pemerintahan dapat diselenggarakan secara demokratis.
Sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan dan dilaksanakan secara formal pada tahun 2001, perjalanan
reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengalami pergeseran- pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mendirikan
daerah dan pemberdayaan masyarakat. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini
juga telah mengubah paradigma sentralisasi pemerintahan ke arah desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggung jawab
kepada daerah. Perubahan paradigma tersebut juga merupakan kesempatan yang penting bagi Pemerintah Daerah untuk membuktikan kesanggupannya dalam
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan urusan-urusan pemerintah lokal sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal Widjaja, 2004:8.
Perkembangan dan kemajuan otonomi daerah akan terus digalakkan sehingga sampai terwujudnya otonomi daerah yang diharapkan yakni otonomi
daerah yang mandiri, sehingga ketergantungan pada pusat dapat berkurang serta otonomi daerah tersebut bisa menjadi wadah bagi masyarakat dengan memberikan
tanggapan dan respon secara aktif terhadap kebutuhan, kapasitas dan kehendak dari aspirasi masyarakat yang ada di daerah.
Pada tanggal 15 Oktober Tahun 2004 kemudian disahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai wujud dari
perkembangan otonomi daerah, Undang-Undang ini banyak sekali memberikan kontribusi bagi pelaksanaan otonomi daerah, daerah telah diberikan wewenang
sebesar-besarnya yang disertai pemberian hak dan kewajiban kepada daerah untuk mengelola dan mengatur sendiri daerahnya dalam sistem penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Dengan pengimplementasian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tersebut masyarakat menaruh harapan yang sangat besar terhadap implementasi otonomi daerah tersebut bisa membawa daerah ke arah yang lebih baik dari yang
sebelumnya, terutama untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam menjalankan fungsi dasarnya untuk melayani semua masyarakat dan
menjamin kesejahteraan masyarakat yang ada di daerah tersebut. Meskipun daerah telah diberi keleluasaan mengenai kewenangan dalam
menyelenggarakan pemerintahan di daerah, bukan berarti pengembangan dan pembangunan otonomi daerah yang kemudian harinya bisa dengan mudah lepas
Universitas Sumatera Utara
dari kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengembangan dan pembangunan malah diharaplkan sebaliknya dengan adanya otonomi daerah
Pemerintah Daerah diharapkan agar bisa berhubungan langsung dengan masyarakat dengan maksud untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan secara
optimal dan bisa mengembangkan partisipasi aktif masyarakat terhadap pelaksanaan pembangunan di segala bidang yang ada di daerah khususnya
maupun pembangunan nasional pada umumnya. Pelayanan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk kita telusuri
perkembangannya mengingat dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Berlakunya peraturan tersebut akan mengakibatkan interaksi antara aparat
Pemerintah Daerah dan masyarakat akan menjadi lebih intens. Hal ini ditambah dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi dan pengakuan akan hak-hak
asasi manusia akan melahirkan tuntutan terhadap manajemen pelayanan yang berkualitas.
Pelayanan publik public services oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping abdi
negara. Dengan peran sebagai penyedia pelayanan masyarakat, birokrasi wajib memberikan pelayanan yang adil dan maksimal. Konteks pelayanan yang
dibangun dalam pelaksanaan otonomi daerah dilakukan untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan pelayanan, ketepatan, efisiensi. Intinya mengubah pola
pelayanan pada masa orde baru menjadi pelayanan yang lebih profesional Napitupulu, 2006:130.
Universitas Sumatera Utara
Pelayanan masyarakat bisa dikatakan baik profesionalisme bila masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan pelayanan dan dengan prosedur
yang tidak panjang, biaya murah, waktu cepat dan hampir tidak ada keluhan yang diberikan kepadanya.
Meskipun terobosan-terobosan telah banyak dilaksanakan untuk perbaikan dari kualitas pelayanan publik, baik melalui pergantian dan perubahan Undang-
Undang serta keputusan atau kebijakan. Namun, kenyataannya hingga sekarang ini kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk
diakses, apalagi yang berkaitan dengan produk-produk yang bersifat perizinan, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perizinan, biaya yang
tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar pungli, merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia.
Kendati mungkin fenomena korupsi yang berkaitan dengan jenis-jenis perizinan tadi melibatkan biaya transaksi antara sektor publik dengan individu masyarakat
relatif kecil pretty corruption, tetapi biaya-biaya tersebut melibatkan porsi populasi yang sangat besar. Oleh karena itu korupsi dengan menggunakan
instrumen produk pelayanan perizinan tersebut bisa memiliki dampak yang sangat besar. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan
publik yang belum dirasakan oleh rakyat penyelesaiannya. Citra layanan publik di Indonesia dari zaman sebelumnya hingga kini,
lebih dominan sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya. Selain rantai birokrasi yang bertele-tele, petugas birokrasi yang tidak profesional juga ujung-ujungnya serba
fulus. Sudah tidak asing kalau layanan publik di Indonesia dicitrakan sebagai salah satu sumber korupsi. Pantas kalau World Bank, dalam World Bank
Universitas Sumatera Utara
Development Report 2004, memberikan stigma bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses oleh orang miskin dan menjadi pemicu ekonomi biaya
tinggi. Maka menjadi hal yang sangat rasional jika di awal pemerintahan
Yudhoyono dan Kalla menjadikan reformasi birokrasi dan pelayanan publik sebagai hal yang sangat perlu dibenahi serta diperbaiki, kendatipun pada tataran
empiris saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menjamin bahwa pelayanan
pengurusan izin-izin usaha tidak akan sulit. Apabila ada oknum yang mempersulit dalam pengurusan izin-izin usaha tersebut, maka masyarakat boleh mengirim
surat keluhan ke PO BOX 10000 Goenawan, 2008:4. Berdasarkan hasil studi International Finance Coorporation IFC Bank
Dunia pada tahun 2006, peringkat Indonesia menurun dari 131 pada tahun 2005 menjadi 135 pada tahun 2006, jika dibandingkan dengan negara lain di ASIA,
untuk memulai pengurusan perizinan suatu usaha di berbagai instansi pusat dan daerah membutuhkan 12 prosedur yang harus dilalui dengan waktu dibutuhkan
selama 97 hari, biaya yang diperlukan sebesar US 1.110. Perbandingan di negara lain seperti Malaysia 9 prosedur dan waktu dibutuhkan 30 hari serta biaya
yang diperlukan sebesar US 997. Vietnam dengan 11 prosedur, waktu yang dibutuhkan 50 hari dan biaya yang diperlukan US 276
http:www.perizinan.infofom_index.php .com29-12-2009 20.33 WIB. Oleh sebab itu, pemberian pelayanan prima oleh aparatur pemerintahan
kepada masyarakat merupakan suatu keharusan dan tidak bisa ditawar lagi, karena hal ini merupakan esensi bagian dari tugas pokok dan fungsi pemerintahan dalam
Universitas Sumatera Utara
menjalankan tugas-tugas pemerintahan dalam pemberian pelayanan prima kepada masyarakat harus tetap dilaksanakan.
Dalam hal penyediaan pelayanan perizinan, petugas birokrasi sering kali memberikan prosedur yang sangat rumit dan cendrung betele-tele, jika mekanisme
yang rumit terus tetap berjalan, otomatis membuat masyarakat menjadi malas dan enggan dalam mengurus perizinan. Maka pemerintah perlu mencari solusi untuk
mengatasi masalah-maslah tersebut. Beberapa Pemerintah Daerah terus bergiat memperbaiki pelayanan
perizinan di daerahnya dalam kerangka peningkatan pelayanan publik dan upaya untuk menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Hal ini juga dilatar belakangi
pengalaman pahit masyarakat dunia usaha di Indonesia saat harus berhadapan dengan birokrasi dalam hal pengurusan perizinan dan nonperizinan lainnya.
Dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 pada Juli 2006 mengenai Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu PTSP serta Panduan Nasional Permendagri tersebut yang diluncurkan bulan Mei 2007, semakin mendorong daerah untuk segera memiliki Pelayanan
Terpadu Satu Pintu PTSP, atau meningkatkan PTSP yang telah ada, apakah PTSP yang akan didirikan berbentuk badan, dinas atau kantor.
Demikian pula dengan disahkannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, sebagai pengganti PP 082003
dapat memberikan pertimbangan bagi daerah dalam memilih jenis lembaga untuk pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, serta Undang-Undang No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik menyatakan dalam Pasal 9 ayat 1 Dalam rangka mempermudah penyelenggaraan berbagai bentuk pelayanan publik, dapat
Universitas Sumatera Utara
dilakukan penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu. Dengan adanya PTSP, proses pengurusan izin di daerah diharapkan dapat menjadi lebih mudah, sehingga
daerah memiliki lingkungan yang mendukung berkembangnya usaha dan investasi.
Dengan dibentuknya Kantordinas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu ini sebagai institusi yang khusus bertugas memberikan pelayanan perizinan
kepada masyarakat, dalam hal pengurusan perizinan masyarakat hanya cukup mendatangi satu kantordinas saja. Sejak dari permohonan izin, proses pembuatan
sampai penandatangan perizinan dilakukan di satu tempat. Dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu, kepala PTSP diberi pelimpahan
kewenangan untuk menandatangani izin yang masuk. Pemberlakuan PTSP ini ternyata mampu memangkas waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk mengurus
perizinan. Hasilnya pelayanan perizinan lebih efektif, mudah dan murah. Berdasarkan uraian permasalahan-permasalahan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa kualitas pelayanan yang diberikan pemerintah terutama pelayanan perizinan, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah masih
belum efektif. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah dengan adanya intruksi untuk membentuk dan mendirikan pelayanan perizinan terpadu satu pintu
dapat memperbaiki dan menjawab persoalan-persoalan pelayanan perizinan saat ini.
Penelitian ini nantinya akan dilaksanakan di Kabupaten Gayo Lues yang merupakan salah satu kabupaten di lingkungan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Kabupaten Gayo Lues sendiri merupakan daerah hasil pemekaran pada tanggal 2 Juli 2002 dari Kabupaten Aceh Tenggara, dan telah mendirikan
Universitas Sumatera Utara
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu pada tanggal 4 Juli 2007, dengan dasar hukum pembentukannya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24
Tahun 2006 pada Juli 2006 mengenai Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP, Peraturan Bupati Nomor 03 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja KPPTSP, serta Peraturan Bupati Nomor 04 Tahun 2007 tentang Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Gayo Lues. Pembentukan KPPTSP di Kabupaten Gayo Lues, pada dasarnya dapat
dikatakan merupakan terobosan baru atau inovasi manajemen pemerintahan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat
yang ada di daerah tersebut, karena pada tanggal 22 Februari 2009 baru mulai menerima pengurusan perizinan. Saat ini KPPTSP Kabupaten Gayo Lues
menangani 49 jenis perizinan. Proses penandatanganan diantara 49 jenis perizinan tersebut 16 izin ditanda tangani oleh Bupati, 15 izin ditanda tangani oleh Kepala
SKPD, dan 18 izin ditanda tangani oleh Kepala KPPTSP. Sedangkan mengenai pendapatan yang diperoleh dari hasil penerbitan dokumen perizinan diserahkan
kepada Bendahara KPPTSP untuk kemudian dimasukkan dalam rekening Kas Pendapatan Asli Daerah PAD daerah.
Dengan menilik kepada permasalahan yang ada, maka perlu rasanya bagi penulis sebagai mahasiswa Ilmu Administrasi Negara untuk mengangkat
persoalan ini, untuk dilakukan penelitian dan membahas tentang “Efektivitas Pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dalam Memberikan
Pelayanan Kepada Masyarakat di Kabupaten Gayo lues. Apakah pembentukan kantor pelayanan ini bisa dikatakan efektif, sehingga masyarakat memperoleh
Universitas Sumatera Utara
kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan Indeks Kepuasan Masyarakat sebagai indikator bahan
pertimbangan.
1.2 Perumusan Masalah