Kecakapan dari para pihak untuk membuat perjanjian

20 Akibat hukum dari tidak adanya kesepakatan yang bebas karena terjadinya keempat hal tersebut di atas adalah bahwa perjanjian yang bersangkutan dapat dimintakan pembatalannya pada hakim. Pasal 1454 KUHPerdata mengatur tentang batas waktu untuk meminta pembatalan tersebut, yaitu dalam jangka waktu lima tahun. Jika penyebabnya adalah penipuan atau kekhilafan, maka jangka waktunya ditentukan sejak diketahui adanya penipuan atau kekhilafan.

b. Kecakapan dari para pihak untuk membuat perjanjian

Salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang dimaksud dengan dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah bahwa para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan harus dalam keadaan cakap berbuat bevoegd. Undang-undang tidak menentukan maksud dari kecakapan seseorang dan siapa saja yang cakap untuk membuat perjanjian kecuali Pasal 1330 KUHPerdata yang mengatur tentang orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Mereka itu adalah: 1 Orang-orang yang belum dewasa; 2 Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan 3 Wanita bersuami 4 Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu. Sebenarnya, Pasal 1330 KUHPerdata tersebut mengatur dua hal yaitu ketidakcakapan dan ketidakwenangan. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, ketidakcakapan atau onbekwaanheid adalah apabila seseorang pada umumnya 21 berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu untuk membuat sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat yang lengkap. 25 Orang-orang tersebut adalah anak-anak yang belum cukup umur dan orang-orang yang ditempatkan di bawah pengampuan. Pasal 1331 KUHPerdata menyebutkan bahwa akibat dari ketidakcakapan suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalannya. Akan tetapi apabila permohonan pembatalan itu tidak dilakukan, maka perjanjian tersebut dapat berjalan terus dan seolah-olah dapat dianggap sebagai suatu perjanjian yang sah. Selanjutnya, yang disebut dengan ketidakwenangan adalah suatu keadaan dari seseorang yang pada dasarnya cakap untuk membuat perjanjian, tetapi dalam hal- hal tertentu tidak dapat melakukan suatu perbuatan hukum tanpa kuasa dari pihak ketiga. Khusus mengenai ketentuan tentang wanita yang bersuami sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian tidak berlaku lagi dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 yang kemudian dipertegas dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 31 ayat 1 Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa hal dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan masyarakat. Lebih lanjut Pasal 31 ayat 2 menentukan bahwa masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.

c. Suatu hal yang tertentu