Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia yang berada di atas permukaan bumi ini pada umumnya selalu menginginkan bahagia, dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Tetapi kebahagiaan itu tidak dapat dicapai dengan mudah tanpa mematuhi peraturan- peraturan yang telah digariskan agama, diantaranya mesti induvidu-induvidu dalam masyarakat itu saling menunaikan hak dan kewajibannya masing-masing. 1 Orang-orang yang memperoleh kebahagiaan adalah mereka yang sukses meniti jalan berliku tanpa mematikan api harapannya yang selalu bisa mewujudkan kebahagiaan, meskipun harus diiringi dengan penderitaan dan keresahan, kebahagiaan yang dimaksud adalah sebuah kebahagiaan besar yang ada di dalam kesusahan, bukan kesusahan semata. Tetapi kebahagiaan terbesar dapat juga diperoleh di dalamnya. 2 Salah satu jalan untuk mencapai bahagia ialah dengan jalan perkawinan, dengan adanya perkawinan terbentuklah suatu rumah tangga. Apabila baik rumah tangga dengan sendirinya masyarakat akan baik pula, karena rumah tangga adalah merupakan masyarakat yang kecil, supaya tercapai rumah tangga yang baik hendaklah induvidu-induvidu dalam rumah tangga yang pada pokoknya terdiri 1 Firdaweri, Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989, cet. Ke-1, h. 01. 2 Ali Husain Muhammad Makki al-Amili, Perceraian Salah Siapa?: Bimbingan Islam dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga, Jakarta: Lentera, 2001, cet. Ke-4, h. 120. 2 dari suami dan isteri harus pula saling menunaikan hak dan kewajiban masing- masing. 3 Hak ialah sesuatu yang harus diterima sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dengan baik. Begitulah kehidupan antara suami istri dalam setiap rumah tangga, apabila dua hal tersebut tidak seimbang niscaya akan timbullah percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangga. Sebaliknya jika antara hak dan kewajiban itu seimbang atau sejalan, terwujudlah keserasian dan keharmonisan dalam rumah tangga, rasa kebahagiaan semakin terasa dan kasih sayang akan terjalin dengan baik. Sang anak menghormati orang tuanya, orang tua sayang kepada anaknya, suami menghargai istrinya dan istripun menghormati suaminya dan seterusnya. Oleh karena itu antara suami istri harus tahu dan melaksanakan hak serta kewajibannya masing- masing, demikian juga sang anak harus tahu diri dan menghormati orang tuanya. 4 Di antara hak suami dan istri adalah: 1. Suami dan istri dihalalkan mengadakan hubungan seksual. 2. Haram melakukan pernikahan, artinya baik suami maupun istri tidak boleh melakukan pernikahan dengan saudaranya masing-masing. 3. Dengan adanya ikatan pernikahan, kedua belah pihak saling mewarisi apabila salah seorang di antara keduanya telah meninggal meskipun belum bersetubuh. 4. Anak mempunyai nasab yang jelas. 3 Firdaweri, Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan, h. 01. 4 Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga Keluarga Yang Sakinah, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993, cet. Ke-1, h. 37. 3 5. Kedua pihak wajib bertingkah laku dengan baik sehingga dapat melahirkan kemesraan dalam kedamaian hidup. 5 Dalam Kompilasi Hukum Islam pada BAB XII Pasal 77 disebutkan mengenai kewajiban suami istri secara rinci adalah sebagai berikut: 1. Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yangsakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. 2. Suami-istri wajib saling mencintai, saling menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. 3. Suami-istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak- anakmereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya. 4. Suami-istri wajib memelihara kehormatannya. 5. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapatmengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. 6 Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk Allah lainnya. Dianugrahkan kepadanya insting untuk mempertahankan keturunan sebagai konsekuensi kemuliaan itu. Ini berarti manusia harus memperkembangkan keturunan dengan alat yang telah diperlengkapkan Tuhan kepadanya. Di antara perlengkapan ini adalah alat kelamin dan nafsu syahwat untuk 5 M.A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 154. 6 Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 77 4 saling bercinta. Dari percintaan inilah akan timbul nafsu sebagai naluri manusia sejak lahir. Berdasarkan tingkah laku manusia. Sigmund Freud seorang pendiri ilmu psikhoanalisis dari Wina yang hidup dalam tahun 1956-1939, kesimpulan bahwa manusia hidup didorong oleh dua naluri, yaitu: 1. Makan untuk mempertahankan hidup pribadi 2. Seks untuk mempertahankan keturunan. Pendapat Sigmund Freud amatlah tepat. Karena pada dasarnya manusia diciptakan Allah telah diberi bekal nafsu seks sebagai kaitan untuk mempertahankan kelangsungan keturunan. Ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran surat Ali Imran : 14. Pada surat Ali Imran ayat 14 dijelaskan bahwa manusia laki-laki sejak lahir telah dibekali cinta syahwat nafsu seks terhadap wanita. Demikian pula wanita sebagai lawan jenis laki-laki tak ubahnya seperti laki-laki juga. Dia dibekali oleh Tuhan nafsu seks untuk melayani kehendak lawan jenisnya itu. Naluri seks pada wanita ini digambarkan oleh Allah dalam Al-Quran pada surat Yusuf: 23, di dalam kisah Zulaikha yang jatuh cinta kepada Nabi Yusuf. Maka sekarang menjadi jelas bahwa seks adalah kebutuhan biologis manusia yang tidak dapat dipisah-pisahkan dalam kehidupan. Dari kenyataan ini, maka seks merupakan faktor yang amat penting untuk dipelajari agar kebutuhan seks berjalan dengan wajar. Janganlah naluri seks manusia anugerah Tuhan ini diselewengkan manurut hawa nafsu. Kalau ini terjadi, tentu insting manusia untuk mempertahankan kelangsungan keturunan tidak akan berhasil, bahkan sebaliknya akan punah. Untuk 5 menghindari hal-hal seperti itu perlu sekali diterapkan moral agama dalam seks. Moral berarti ajaran mengenai baik dan buruknya tingkah laku manusia. Kalau moral agama diterapkan dalam seks, niscaya agama akan membimbing tingkah laku hubungan seks yang baik. Seks yang berjalan sesuai dengan moral agama, pasti akan berjalan dengan baik, wajar tanpa menodai harkat dan martabat manusia. 7

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah