Biseksual Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

24 Masalah dan dampak dari prilaku penyimpangan hubungan seksual tersebut memengaruhi hubungan suami dan istri. Oleh karena itu, setiap pasangan suami istri perlu untuk melaksanakan hubungan seksual yang bertanggung jawab. Hubungan seksual yang didasari ikatan pernikahan mengandung unsur-unsur etika dan susila. Untuk membantu mengatasi masalah tersebut, diperlukan keterbukaan dari setiap anggota dalam keluarga suami, istri, dan anak. Komunikasi yang baik diharapkan dapat membantu persoalan yang melanda keluarga tersebut. Selain itu, baik suami maupun istri harus saling menghargai dan setia pada pasangannya. Hal ini membentuk keluarga yang sehat baik fisik maupun psikis. 25

C. Biseksual Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

a Biseksual Menurut Hukum Islam Hukum Islam, fiqh atau syariat Islam merupakan sebuah jalan atau ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Abu Ishaq al-Shatibi dalam al-Muwafat fi Ushul al-Ahkam, menegaskan tujuan dari hukum tersebut terwujudnya keamanan dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum tersebut pada hakikatnya mewujudkan kemalahatan dan kebaikan hidup manusia, baik induvidual maupun sosial. 26 Hukum Islam [fiqh] adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Quran maupun al-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia 25 Fatchiah E. Kertamuda, Konseling Pernikahan Untuk Keluarga Indonesia, h. 113. 26 Yayan Sopyan, Islam-Negara, Transformasi Hukum perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatulla Jakarta, 2011, cet. Ke-1, h. 13 25 yang berlaku secara universal, sejalan pada setiap waktu dan ruang manusia. Keuniversalan hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakikat Islam sebagai agama universal [Said Aqil Husein al-Munawwar: 2004]. 27 Dalam ajaran Islam, hubungan seksual hanya bisa dilakukan oleh pasangan yang diikat dalam perkawinan yang sah, baik secara agama maupun negara. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah: “Dari „Uqbah bin „Amir ra., telah bersabda Rasulullah, sesungguhnya syarat-syarat yang harus dipenuhi ialah syarat untuk menjadikan kamu halal dengan kemaluan-kemaluan perempuan ”. HR. Al-Bukhori. Hadits ini menjelaskan bahwa hubungan seksual itu dibolehkan, manakala ia dilakukan setelah melangsungkan perkawinan dengan memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan. 28 Hubungan badan atau hubungan seksual sexual intercourse merupakan anugrah dari Allah sepanjang dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah, dan dengan cara yang normal, sehat, dan bermartabat beretika. Ungkapan Al-Quran pada Surah al- Baqarah2: 222 yang berbunyi:                                27 Yayan Sopyan, Islam-Negara, Transformasi Hukum perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h. 14. 28 Asmu‟i. Oral Sex Dalam Pandangan Islam dan Medis, Jakarta: Abla Publisher, 2004, cet. Ke-1, h 44. 26 Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: Haidh itu adalah suatu kotoran. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Al-Baqarah:222 Ayat ini mengandung makna bahwa hubungan badan harus dilakukan sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah. Dalam hal ini, hubungan badan hanya dilakukan dengan pasangan suami istri yang sah, dengan cara yang sehat tidak sedang dalam keadaan haid atau nifas, dan normal atau di tempat yang telah ditentukan saluran vagina yang terhubung dengan rahim atau uterus. Di luar yang diperintahkan Allah tersebut merupakan perbuatan melampaui batas al- Mu‟minun23: 5-7. 29 Biseksual artinya orang yang memiliki respons seksual terhadap dua jenis kelamin. Banyak ahli yakin bahwa sebagian besar biseksualitas pada orang dewasa adalah heteroseksual atau homoseksual. Walaupun sebagain kecil mempertahankan hubungan seks dengan pria dan wanita secara serentak dalam cara yang sama, sebagian besar dari pelaku biseksual menghabiskan lebih banyak waktu dengan salah satu jenis kelamin dibandingkan jenis kelamin lain. 30 Homoseksualitas merupakan rasa tertarik dan mencintai sesama jenis. 31 Di sebagian negara Barat perkawinan antara sesama jenis ini dilegalkan memperoleh pengakuan dari negara akan tetapi di 29 Marzuki Umar Sa‟abah, Seks dan Kita, Jakarta: Gema Insani press, 1997, cet. Ke-1, h. 146 30 Nina Surtiretna, Seks dari A sampai Z, Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya, 2001, cet. Ke-1, h. 29. 31 Marzuki Umar Sa‟abah, Seks dan Kita, h. 147. 27 negara islam dan negara-negara lain pada umumnya hal ini di anggap penyimpangan sehingga tidak dapat diakui sebagai pasangan suami istri. Homoseksual dan lesbian mengacu pada orang dewasa sudah balig yang mengikuti atau memilih orientasi seksualnya terhadap sesama jenis kelaminnya. Dapat dipahami dengan mudah bahwa apabila homoseksualitas dan lesbianisme dibolehkan maka dapat dipastikan generasi manusia lambat laun akan punah. Al- Quran melarang keras prilaku homoseks dan lesbi karena tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, yaitu dengan pasangan suami istri laki-laki dan perempuan yang sah. Terdapat beberapa ayat yang berbicara tentang perilaku homoseks di zaman Nabi Lut seperti pada Surah al- A‟raf7: 80-22, an-Naml27: 55, al-Ankabut29: 28-29. Surah al- A‟raf7: 80-82 menjelaskan:              .             .               Dan Kami juga telah mengutus Lut, ketika dia berkata kepada kaumnya, “mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dlakukan oleh seorang pun sebelum kamu di dunia ini. Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.” Dan jawaban kaumnya tidak lain hanya berkata, “Ussirlah mereka Lut dan pengikutnya dari negerimnu ini, mereka adalah orang yang menganggap dirinya suci.” al-A’raf7: 80-82. 32 32 Kementrian Agama RI, Seksualitas Dalam Perspektif Al-Quran dan Sains, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, 2012, cet. Ke-1, h. 62. 28 b Biseksual Menurut Hukum Positif Di Indonesia biseksual sudah tidak bisa didiamkan lagi, jika didiamkan terus penyimpangan ini akan menjadi momok yang menakutkan dan menjadi hal yang biasa dan lumrah dalam masyarakat, bila sudah terjadi seperti ini akan memberikan dampak yang sangat negatif untuk kehidupan warga negara Indonesia kedepan, karena tidak lagi mengindahkan nilai-nilai agama dan moral. Oleh karena itu, pemerintah selaku pihak yang diberi kepercayaan oleh rakyat untuk mengurusi rakyat harus jeli melihat permasalahan ini dan memecahkannya, karena dalam peraturan di Indonesia tidak diatur secara tegas hal yang mengenai biseksual, yang ada hanya aturan yang berkenan dengan penyimpangan seksual, aturan tersebut terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada pasal 292, yang berbunyi: “orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Dan pasal 293 ayat 1 yang berbunyi, “barang siapa yang dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalah gunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan sengaja menggerakan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 33 33 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP edisi revisi 2008, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006 cet. Ke-13. 29

BAB III POTRET PENGADILAN AGAMA TANGERANG