Pornografi Sebagai Faktor Perceraian (Analisis Putusan Nomor: 2571/Pdt. G/2012/PA JS)

(1)

PORNOGRAFI SEBAGAI FAKTOR PERCERAIAN

(Analisis Putusan Nomor: 2571/Pdt. G/2012/PA JS)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Hoerul Amaliyah

NIM: 1110044200027

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

iv ABSTRAK

Hoerul Amaliyah, NIM 1110044200027, “PORNOGRAFI SEBAGAI FAKTOR

PERCERAIAN (Analisis Putusan Nomor 2571/Pdt.G/2012/PA JS)”, Konsentrasi

Administrasi Keperdataan Islam, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. ix + 81 halaman + halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutuskan perkara Nomor 2571/Pdt.G/2012/PA JS, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang menekankan pada kualitas dengan pemahaman deskriptif pada putusan tersebut. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan melihat objek hukum berkaitan dengan undang-undang. Adapun bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekalipun alasan perceraian yang tertuang dalam putusan perkara Nomor 2571/Pdt.G/2012/PA JS adalah pornografi dan pornografi tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam sebagai alasan perceraian, akan tetapi Majelis Hakim memutuskan perkara ini dengan mendasarkan pornografi menyebabkan perselisihan yang terus menerus sehingga hakim mengabulkan permohonan talak Pemohon sesuai dengan pasal 116 huruf (f) KHI .

Kata Kunci : Perceraian, Pornografi.

Pembimbing : Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag., M.Ag. Daftar Pustaka : Tahun 1972 s.d Tahun 2011


(6)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji, dan syukur diucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayat dan rahmatnya kepada seluruh hambanya. Shalawat serta salam semoga tercurah pada junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya serta kaum muslimin yang senantiasa mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terimakasih kepada:

1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. H. Kamarusdiana, S.Ag, MH selaku Kepala Jurusan Hukum Keluarga dan Sri Hidayati, MA Sekretaris Jurusan Hukum Keluarga

3. Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag, M.Ag sebagai Pembimbing Akademik sekaligus juga sebagai Dosen Pembimbing yang senantiasa memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan Hj. Hotnidah Nasution, MA selaku penguji yang turut membantu dan mengarahkan penulis dengan baik. Dan seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga kepada staff perpustakaan, karyawan.

4. Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menjadi objek penelitian skripsi ini yang telah membantu dalam memberikan informasi yang dibutuhkan penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Yang teristimewa untuk kedua orang tua tercinta Ibunda Mustiyah (Alm) dan Ayahanda Sardi yang menjadi motivasi kepada penulis, sujud abdiku kepada kalian atas doa, pengorbanan dan memberikan motivasi terbesar kalian selama ini, “allahummagfirlii


(7)

vi

waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani sogiro”. Kakakku tersayang Kuat Wibowo, S.Sos, yang senantiasa membantu.

6. Seluruh sahabat AKI angkatan 2010 sahabat tercare dan selalu memberikan support Abim, Novita, Dhini, Ade, Khoirun, Salmi, Weiwin, Alifah dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala canda tawa dan keluh kesah selama dikelas, maaf kalau banyak kesalahan penulis baik yang disengaja maupun tidak dan tentunya kalian adalah yang terindah selama pembelajaran di kelas.

7. Terima kasih untuk teman hidup “my divinity” yang selalu setia dan mensupport dan selalu mendampingi dan menghibur penulis tiada hentinya ketika penulis sedang kesulitan dan merasa penat dalam menyusun skripsi ini. Kaulah saksi perjuanganku. 8. Kepada keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam yang telah berbagi ilmu yang tidak

ternilai, hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Team McDonals Dwima Pondok Indah yang memberikan kesempatan untuk dapat bekerja sesuai jadwal kuliah yang dibutuhkan oleh penulis.

10.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.

Jakarta 24 Maret 2015


(8)

vii DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Batasan Dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian... 8

D. Metode Penelitian... 9

E. Kerangka Teori... 11

F. Riview Studi Terdahulu... 14

G. Sistematika Penulisan... 16

BAB II PERCERAIAN DAN PORNOGRAFI A. Perceraian... 17

1. Pengertian Perceraian... 17

2. Macam-Macam Perceraian... 20

3. Alasan Perceraian... 21

B. Dasar Hukum Perceraian... 23

1. Dasar Hukum Perceraian Dalam Hukum Islam... 23


(9)

viii

3. Hikmah Perceraian... 29

C. Pornografi... 31

1. Pengertian Pornografi... 31

2. Pornografi Sebagai Alasan Perceraian Menurut Hukum Fiqih 34 3. Pornografi Sebagai Alasan Perceraian Menurut Hukum Positif 39 4. Dampak Pornografi... 44

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Jakarta Selatan... 49

B. Letak Geografis Pengadilan Agama Jakarta Selatan... 56

C. Letak Demografi Pengadilan Agama Jakarta Selatan... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Dekripsi Putusan Nomor 2571/Pdt. G/2012/PA JS... 60

B. Pertimbangan Majelis Hakim Terhadap Putusan Pekara Akibat Pornografi... 64

C. Analisis Putusan... 68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 76

B. Saran-saran... 77

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN: 1. Surat Bimbingan Skripsi... . 81

2. Surat Permohonan Data Ke Pengadilan Agama ... 82

3. Surat Keterangan Hasil Wawancara ... 83


(10)

ix

5. Pedoman Wawancara... ... 84 6. Hasil Wawancara... ... 85 7. Dokumentasi... 88


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa makhluk lain, Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Di dalam proses ini terdapat beberapa aturan yang harus diperhatikan agar terciptanya keharmonisan dalam berkeluarga dan bermasyarakat serta keseimbangan antara satu dengan yang lain, Salah satu aturan tersebut ialah perkawinan. Perkawinan adalah ikatan dua hati, tujuannya yaitu saling membantu dalam segala aspek hidup dan kehidupan.1

Semua makhluk hidup baik manusia, binatang, maupun tumbuh-tumbuhan tidak bisa lepas dari perkawinan. Ini merupakan sunnatullah (hukum alam) untuk kelangsungan hidup umat manusia, berkembangbiaknya binatang-binatang dan untuk melestarikan lingkungan alam semesta. Hukum alam semacam ini dijelaskan dalam firman Allah Swt:2

Allah Swt berfirman didalam al-Qur’an surat Adz-Dzariyaat ayat 49 :





















1 Al-Thahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariah Dan Masyarakat, (Jakarta :Pustaka Firdaus 1993), h. 199

2 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta : Darussalam 2004), h. 18


(12)

“Dan segala sesuatu Allah ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.3

Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.4 Kita semua mengetahui bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan, ada

yang diciptakan sebagai laki-laki dan ada pula yang diciptakan sebagai perempuan. Al-Qur'an sebagai kitab suci yang diyakini bersumber dari Allah pun menyatakan demikian. Allah memberitahukan kepada kita bahwa semuanya diciptakan secara berpasangan.

Manusia menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain akan membantunya mendapatkan kekuatan dan membuatnya lebih mampu mengahadapi tantangan. Cinta yang bergejolak di dalam hati dan diliputi oleh ketidakpastian, yang mengantar kepada kecemasan akan membuahkan sakinah atau ketenangan dan ketentraman hati bila dilanjutkan dengan perkawinan. Karena alasan-alasan inilah sehingga manusia kawin, berkeluarga, bahkan bermasyarakat dan berbangsa. Tetapi harus diingat, bahwa berpasangan, manusia bukan hanya didorong

3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Jakarta : Mahkota 1989), h. 86

4 Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia 1978), Cet ke-5, h. 15


(13)

3

oleh desakan naluri seksual, tetapi lebih daripada itu, ia adalah dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih ketenangan.5

Pada dasarnya definisi perkawinan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6

Melihat dari kedudukan dan tujuan yang sangat penting dan luhur dari perkawinan tersebut, maka perlu ada suatu aturan yang dijadikan pedoman pergaulan hidup yang disebut norma atau kaidah. Untuk memenuhi kebutuhan itu, setiap orang berhak melaksanakan suatu perbuatan dengan tenteram, aman dan damai dengan tidak mendapat ganngguan dari pihak manapun juga, maka perlu ada suatu tata (orde) yaitu aturan yang menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya.

Kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin, setiap anggota masyarakat mengetahui akan hak dan kewajiban masing-masing. Tata atau aturan yang demikian itu lazim juga disebut kaidah atau norma.7

5 Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor : Ghalia Indonesia 2010), h. 177

6Undang-undang Perkawinan (Bandung: Fokusmedia), h. 1

7 Mufti Wiriadihardja, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada 1972), h. 6


(14)

Memelihara prinsip perkawinan adalah kewajiban bersama, suami istri. Dengan demikian, peran untuk membangun dan mempertahankan keluarga bahagia menjadi kewajiban kolektif, suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Dalam suatu lembaga perkawinan, setiap pasangan tidak hanya dituntut untuk melakukan serangkaian kewajiban, tetapi setiap pasangan juga memiliki sejumlah hak. Diantaranya adalah hak untuk memperoleh pegalaman keagamaan, kasih sayang dan status, pendidikan, perlindungan, serta rekreatif. Jika hak dan kewajiban suami istri dapat dilakukan secara ma’ruf, dengan menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing, niscaya hubungan antara pasangan akan tetap terjaga dengan baik sehingga kelanggengan dapat dicapai.

Di antara hak dan kewajiban suami dan istri adalah:

1. Suami wajib memberi nafkah kepada istrinya dan anak-anaknya berupa sandang, pangan dan papan.

2. Suami wajib melindungi istrinya.

3. Suami wajib membimbing terhadap istri dan rumah tangganya.

4. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna selama tidak bertentangan dengan agama.

5. Istri wajib mendidik anak dan rumah tangganya serta menggunakan harta nafkah suaminya di jalan yang benar.


(15)

5

1. Suami istri wajib menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah yang bahagia.

2. Suami istri wajib saling mencintai, saling menghormati, memberi bantuan lahir batin.

3. Suami istri wajib mengasuh, memelihara anak-anak mereka baik mengenai pertumbuuhan jasmani, rohani maupun kecerdasan pendidikan agama.

4. Suami istri wajib memelihara kehormatannya8

Semua orang menghendaki kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal sesuai dengan tujuan dari perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi, tidak semua orang dapat membentuk suatu keluarga yang dicita-citakan tersebut, hal ini dikarenakan adanya perceraian, baik cerai mati, cerai talak, maupun cerai atas putusan hakim.

Pada saat sekarang ini masalah sosial semakin kompleks terutama yang datang nya dari keluarga diantaranya yaitu terjadinya perselingkuhan dan pornografi dari salah satu pasangan. Fenomena tersebut sangatlah memprihatinkan, karena rumah tangga yang diawali dengan suatu ikatan dan ikrar yang suci, saling percaya dan menyayangi, hancur dengan hilangnya kepercayaan dan tidak ada kesetiaan.

Hal ini timbul diakibatkan tidak adanya kesadaran dan mengaplikasikan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan rumah tangganya sebagai proteksi akan hal-hal

8 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011), h. 19


(16)

yang akan menimbulkan suatu pertentangan, perselisihan, penyelewengan dan berakhir perceraian antara pasangan suami istri tersebut.

Sebagai seorang istri sudah sepatutnya menjalankan kewajibannya sebagai istri dan ibu rumah tangga dengan baik. Agar tercipta rumah tangga yang harmonis. Salah satunya adalah menjaga kehormatan. Bekerja dan kemanapun istri harus tetap seijin suami.

Misalnya, seorang istri bekerja sebagai foto model majalah dewasa (pornografi) dan melakukan perselingkuhan dengan laki-laki lain dan lain sebagainya yang tidak mencerminkan istri yang baik. Wanita yang paling mulia dan sempurna, adalah wanita yang mempunyai harta, dari keturunan yang baik, mempunya paras yang cantik, dan juga dijiwai agama yang menjadi penghayat bagi dirinya sendiri dalam hidup.9

Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan hati dan masing-masing memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal yang harus ditampung dan diselesaikan, namun semua itu bisa saja tidak dapat dihindarkan bagi mereka yang tidak bahagia bagi kehidupan rumah tangganya, meskipun itu boleh dilakukan tetapi sangat dibenci oleh Allah SWT.

9 Amit Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet ke-3, h. 40


(17)

7

Ketika keutuhan rumah tangga sudah tidak dapat lagi dipertahankan, maka jalur yang ditempuh adalah mengakhiri perkawinan dengan jalan perceraian. Sesuai dengan Undang-undang Perkawinan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.10

Dari deskripsi diatas, penulis sangat tertarik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana proses penyelesaian perkara perceraian akibat istri sebagai pekerja foto model dan majalah dewasa (pornografi). Maka karena itu penulis mengambil judul “PORNOGRAFI SEBAGAI FAKTOR PERCERAIAN (Analisis Putusan No. 2571/Pdt.G/2012/PA JS)”.

B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi lingkup permasalahan yang berkenaan dengan perceraian, pornografi, dan putusan perkara (Nomor 2571/Pdt. G/2012/PA JS).

a. Perceraian dibatasi pada pengertian perceraian dan dasar hukum perceraian, sehingga pembaca dapat mengerti macam-macam perceraian, alasan perceraian, dan hikmah dari perceraian.

b. Pornografi dibatasi pada pengertian pornografi sebagai alasan perceraian menurut hukum fiqih, pornografi sebagai alasan perceraian menurut hukum

10 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011), h. 24


(18)

positif, dan dampak pornografi, sehingga dapat menjadi tolak ukur pembaca di dalam menerapkan hidup berumah tangga dan menjauhkan dari hal-hal yang berkaitan dengan pornografi.

c. Pembatasan masalah melalui putusan perkara (Nomor 2571/Pdt. G/2012/PA JS) dibatasi dengan seorang Hakim yang memutuskan perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan memperbolehkan pornografi menjadi acuan dalam memutuskan perkara perceraian.

2. Perumusan Masalah

Menurut Al-Qur’an, Hadits, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan, tidak disebutkan bahwa pornografi sebagai syarat boleh mengajukan perceraian. Kenyataannya di lapangan pornografi menjadi pertimbangan hakim untuk diputus cerai.

Dari rumusan masalah diatas maka penulis dapat merinci dan mengambil point-point yang harus dibahas dalam bentuk pernyataan sebagai berikut:

1. Apakah pornografi dapat dijadikan alasan perceraian?

2. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memutuskan perceraian karena pornografi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memunyai tujuan antara lain:


(19)

9

b. Untuk mengetahui pornografi sebagai alasan perceraian menurut hukum fiqih dan hukum positif

c. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memutuskan perceraian karena pornografi.

2. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak, antara lain:

a. Memberikan informasi bagi institusi mengenai apa saja dasar Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara cerai akibat pornografi. b. Pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya

menyangkut bidang perkawinan.

c. Hasil pembahasan skripsi ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi peneliti selanjutnya. Dan menambah literature kepustakaan.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang ditempuh oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian a. Kualitatif


(20)

Jenis penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri. 11

b. Penelitian Kepustakaan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode ini, dengan cara mengkaji dari buku-buku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini yang dianalisa data-datanya.

2. Jenis Data

a. Data Primer yaitu data berupa hasil wawancara dengan hakim yang memutuskan perkara (Nomor 2571/Pdt. G/2012/PA JS).

b. Data Sekunder yaitu bahan-bahan yang dapat dijadikan rujukan dalam penelitian ini, dan lampiran putusan yang dikeuarkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

c. Objek Penelitian, Objek penelitian atau yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini adalah seorang istri yang melakukan pornografi sebagai pengajuan perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor putusan (Nomor 2571/Pdt. G/2012/PA JS)

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal teknik pengumpulan data penulis akan menggunakan teknik studi kepustakaan/ studi dokumen (decumentary study)12, yakni menelusuri buku-buku dan

11 Suharsimin Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Pendek, (jakarta: Bhineka Cipta 1998), h. 234


(21)

11

literatur yang terkait dengan permasalahan, selain pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan penulis juga akan menggunakan teknik wawancara dengan Hakim yang terkait dengan permasalahan.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data dalam penulisan ini yaitu dengan cara penulis menganalisi putusan hakim nomor (Nomor 2571/Pdt. G/2012/PA JS) melalui buku-buku hukum, undang-undang dan wawancara dengan hakim, teknik analisis ini akan dilakukan dengan memaparkan semua hasil data-data yang diperoleh dan yang sudah dikumpulkan dan dianalisa oleh penulis dengan bentuk deskriptif dengan menggunakan bahasa baku dan bahasa penulis sendiri.

5. Teknik Penulisan

Dari data-data yang di peroleh di atas, kemudian disusun secara teratur dan sistematis lalu dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian dalam karya ilmiah ini adalah penelitian kualitatif. Adapun teknik penulisan, menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012”.

E. Kerangka Teori

Islam mengatur keluarga dengan segala perlindungan dan pertanggungan syariatnya. Islam juga mengatur hubungan lain jenis yang didasarkan pada perasaan yang tinggi, yakni pertemuan dua tubuh, dua jiwa, dua hati dan dua ruh. Dalam

12 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2004), h. 61


(22)

bahasa yang umum, pertemuan dua insan yang diikat dengan kehidupan bersama untuk menggapai keturunan yang tinggi dan menyongsong generasi baru.

Tugas ini hanya dapat dilakukan oleh dua orangtua secara bersama yang tidak dapat dipisahkan. Yang pokok dalam hubungan keluarga itu adalah ketenangan, dan ketentraman. Islam mengatur hubungan ini dengan segala perlindungan yang menjamin ketentraman tersebut sehingga mencapai tingkatan taat yang tinggi.

Tujuan yang hakiki dalam sebuah pernikahan adalah mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah yang selalu dihiasi mawahdah dan rahmah, yang dapat melahirkan ketenangan dan ketentraman pada jiwa seseorang serta bisa saling mengayomi antara suami istri.13

Rumah tangga yang tenang dan sejahtera adalah tujuan perkawinan dan cita-cita keluarga, yang harus diisi oleh sesuatu pasangan suami istri. Karena itu, sebuah pasangan suami istri harus seiring dan sejalan dalam setiap langkah, dan masing-masingnya harus mengerti kewajibannya.

Pasangan yang berumah tangga tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, tapi harus merupakan suatu usaha bersama. Didalamnya, pasangan suami istri harus menyadari setiap kewajiban dan tanggunng jawab masing-masing pihak. Di dalam kebersamaan, suami dan istri bebas melaksanakan kewajiban dan memikul tanggung jawab rumah tangga. 14

13 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta : Darussalam, 2004), h. 19

14 Thahir al-Hadad, wanita Dalam Syariat dan Masyarakat, (Jakarta : Firdaus, 1993) Cet ke-3, h. 192


(23)

13

Peraturan dan tata tertib rumah tangga ini dapat memelihara dari segala keguncangan didasarkan pada bimbingan kasih sayang dan takwa kepada Allah. Akan tetapi, realita kehidupan menusia membuktikan banyak hal yang menjadikan rumah tangga hancur (broken home) sekalipun banyak pengarahan dan bimbingan, yakni kepada kondisi yang harus dihadapi secara praktis. Suatu kenyataan yang harus diakui dan tidak dapat diingkari ketika rumah tangga dan mempertahankannya pun suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak berdasar.

Islam tidak segera mendamaikan hubungan rumah tangga dengan cara dipisahkan pada awal bencana (pertikaian). Islam justru berusaha dengan seoptimal mungkin memperkuat hubungan ini, tidak membiarkan begitu saja tanpa ada usaha.

Jikalau permasalahan cinta dan tidak cinta sudah dipindahkan kepada pembangkangan dan lari menjauh, langkah awal yang ditunjukkan Islam bukan talak. Akan tetapi, harus ada langkah usaha yang dilakukan pihak lain dan pertolongan yang dilakukan oleh orang baik-baik.

Jika jalan penengah tidak didapatkan hasil, permasalahnnya menjadi kritis, kehidupan rumah tangga sudah tidak normal, tidak ada ketenangan dan ketentraman, dan mempertahankan rumah tangga seperti sia-sia. Pelajaran yang diterima adalah mengakhiri kehidupan rumah tangga sekalipun dibenci Islam, yakni talaq.15

Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan,

15 Abdul Aziz Muhammad Azzam., Fiqh Munakahat, Khitbah, Nikah dan Talak, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), h. 251


(24)

kedamaian, dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Pasal 115 KHI.16

Hak talaq ini dapat digunakan untuk menjadi jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapi suami dalam melangsungkan situasi rukun damai dalam kehidupan rumah tangga. Rumah tangga yang dibangun melalui aqad nikah harus dilandasi dengan rasa cinta kasih di antara dua pihak, sehingga apabila rasa cinta menjadi tidak ada di antara mereka dan sulit dipulihkan, tetapi yang ada kemudian hanya benci-membenci, terbukalah pintu yang memberi hak talaq ini kepada suami.17

Menurut Hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Ibnu ‘Umar, Muhammad SAW bersabda: “Barang halal yang paling tidak disukai oleh Allah ialah perceraian”.18 Pada skripsi ini yang berjudul “Pornografi Sebagai Faktor Perceraian

Studi Putusan (Nomor 2571/Pdt. G/2012/PA JS)”. Penulis akan membahas tentang perceraian yang terjadi karena perbuatan istri yang melakukan pornografi yang diajukan suami ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

F. Review Studi Terdahulu

Sebelum menentukan judul skripsi penulisan penulis melakukan review studi terdahulu yang ada di Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah, dalam hal ini

16 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2007), Cet ke-2, h. 80

17 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 119

18 Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 25


(25)

15

penulis meringkas skripsi yang ada kaitan dengan permasalahan judul skripsi penulis, adapun penelitian tersebut adalah:

1. Iwan Hendriawan, Perselingkuhan sebagai alasan perceraian studi kasus

di Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2005-2007). Dalam skripsi ini

memilah beberapa penyebab perceraian dan mengambil tiga sempel putusan dan ketiganya faktor perceraian karena perselingkuhan dan dalam kasus ketiga putusan ini adalah cerai gugat dari istri, dimana para suami yang melakukan perselingkuhan dengan wanita lain dan faktor kecemburuan dan ketidak percayaan dari para istri.

2. Pipih Muhafilah, Egoisme istri sebagai alasan perceraian Analisis beberapa putusan No 76/Pdt. G/2009/PA. Depok, No 914/Pdt. G/2009/PA,

Depok, No. 1301/Pdt. G/2008/PA. Depok. Dalam skripsi ini terdapat tiga

putusan yang dianalisi yaitu permohonan suami untuk menceraikan istrinya karena keegoisan istri yang tinggi terhadap suami sehingga mengabaikan nasehat suami dan keluarga, dan lebih mementingkan keluarganya sendiri dibanding kepentingan keluarga kedua belah pihak.

Dari ketiga putusan itu salah satu hakim mengabulkan dengan putusan verstek, karena pemohon tidak hadir dan tidak mengirim kuasanya sebagai wakil dari Pemohon di persidangan ketika hakim membacakan putusan, padahal telah dipanggil secara resmi dan patut.

Setelah melihat serta membandingkan antara skripsi-skripsi yang ada di atas, banyak perbedaan yang terjadi antara skripsi-sripsi yang telah ada dengan skripsi


(26)

yang akan penulis susun. Dalam skripsi ini penulis ingin menganalisis bagaimana Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara (Nomor 2571/Pdt. G/2012/PA JS) yang diakibatkan karena pornografi dan penulis merasa ini sangat menarik.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulis menyelesaikan pembahasan secara sistematis, maka perlu disusun sistematika pembahasan sedemikian rupa. Adapun sistematika yang akan disusun sebagai berikut:

Bab Pertama, berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kerangka teori, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, berisi perceraian dan pornografi yang meliputi kerangka dasar teori, yakni pembahasan tentang pengertian perceraian, dasar hukum perceraian, macam-macam perceraian, alasan perceraian, hikmah perceraian, pengertian pornografi, pornografi sebagai alasan perceraian menurut hukum fiqih, pornografi sebagai alasan perceraian menurut hukum positif, serta dampak pornografi

Bab Ketiga, berisi profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menyangkut tentang gambaran umum Pengadilan Agama Jakarta Selatan, struktur organisasi Pengadilan, letak geografis Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Bab Keempat, berisi deskripsi putusan, pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengambil keputusan, analisis penulis. Dan Bab Kelima, berisi penutup, kesimpulan, saran-saran.


(27)

17

BAB II

PERCERAIAN DAN PORNOGRAFI

A. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Kata perceraian atau thalaq dalam bahasa Arab berasal dariقاط– قاطي– قاط yang bermakna melepaskan atau menguraikan tali pengikat, baik tali pengikat itu bersifat konkret seperti tali pengikat kuda dan unta maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan.1 Dalam kamus Arab Indonesia Al-Munawir, cerai adalah

terjemahan dari bahasa Arab “thalaqa” yang secara bahasa artinya melepaskan ikatan.2

Menurut istilah, thalaq adalah melepaskan ikatan perkawinan atau

menghilangkan ikatan pernikahan pada saat itu juga (melalui thalaq ba’in) atau pada masa mendatang setelah iddah (melalui thalaq raj’i) dengan ucapan tertentu. Dalam kamus istilah agama, thalaq adalah melepaskan ikatan dengan kata-kata jelas atau sarih, atau dengan kata-kata sindiran atau kinayah.3

Mazhab Syafi’i mendefinisikan thalaq sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal Thalaq atau semakna dengan lafa itu. Sedangkan mazhab Maliki mendefinisikan

1 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama di Jakarta, Ilmu Fiqih, (Jakarta : Departemen Agama, 1985), Cet ke-2, h. 226

2 Ahmad Warsan Munawir, Al-Munawir : Kamus Arab Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), Cet ke-14, h. 207


(28)

18

thalaq sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan suami istri.4 Pada Ensiklopedi Islam di Indonesia diartikan sebagai pemutusan ikatan perkawinan yang dilakukan oleh suami istri secara sepihak dengan menggunakan kata Thalaq atau seumpamanya.

As-Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Al-Sunnah memberi definisi thalaq sebagai berikut:

ح

ل

ر

با

ط

ة

زلا

ج

ا ن

علاء ا

ل ق

ة

زلا

ج

ي ة

“Thalaq ialah melepas tali perkawinan dengan mengakhhiri hubungan suami istri.”

Menurut H.A Fuad Said mendefinisikan perceraian adalah putus hubungan perkawinan antara suami dan istri.5 Dari definisi-definisi yang telah dijabarkan, maka dapatlah dipahami bahwa thalaq adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah ikatan perkawinan istri tidak halal lagi bagi suaminya, dan hal ini terjadi

dalam hal thalaq ba’in. Sedangkan dalam arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurang hak thalaq bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah thalaq menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dan dua

menjadi satu menjadi hilang hak thalaq itu, yaitu terjadi dalam thalaq raj’i.6

4 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. “Thalaq” Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), Cet Ke-4, h.53

5 H. A Fuad Said, Perceraian Dalam Hukum Islam, (Jakarta : al-Husna), h. 1

6 Sri Mulyati, Relasi Suami Istri Dalam Islam, , (Jakarta : PSW UIN Syarif Hidayatullah 2004), h. 16


(29)

19

Putus ikatan perkawinan bisa diartikan juga salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dan wanita sudah bercerai, dan salah seorang diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga Pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu, dapat dikatakan berarti ikatan suami istri sudah putus atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat oleh tali perkawinan.7

Jadi dari beberapa pengertian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa thalaq merupakan pemutus hubungan suami dan istri serta hilanglah pula hak dan kewajiban sebagai suami istri. Meskipun dalam pengucapan thalaq menggunakan lafal-lafal tertentu, namun penekanannya dimaksudkan bertujuan yang sama yaitu untuk terpisahnya hubungan suami istri, dalam arti kata putusnya hubungan perkawinan.

Perceraian yang dilakukan secara wajar adalah perbuatan yang tidak terlarang menurut pandangan agama dan oleh karena itu pula Allah tidak menjadikannya sebagai perbuatan yang dibenci. Talak yang dilakukan secara wajar dimana perkawinan itu sudah tidak dapat lagi dipertahankan dengan baik dan meneruskannya berarti hanya menghancurkan diri sendiri dan istri. Dalam keadaan semacam itu dibenarkan untuk bercerai, karena perceraian adalah jalan yang terbaik bagi suami istri yang mengalami kemelut rumah tangga yang tak dapat dijelaskan.8

7 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h. 73 8 Al-Imam Ibnu Majah, Kitabun Nikah dan Kitabuth-Thalaq, (Terjemahan M. Thalib), (Solo : Ramadhani, 1994), Cetakan ke-2, h. 142


(30)

20

2. Macam-Macam Perceraian

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38 menyebutkan ada 3 (tiga) hal yang menjadi faktor putusnya perkawinan, yaitu:

 Karena Kematian

Putusnya perceraian karena kematian tidak menimbulkan banyak persoalan, karena dengan sendirinya ikatan perkawinan menjadi putus. Apabila pihak suami istri yang masih hidup ingin menikah lagi maka boleh saja asalkan telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Hukum Islam.9

 Karena Perceraian

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, sebagaimana ketentuan dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39

ayat (1) “perceraian hanya dapat dikabulkan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah

pihak.”

Pasal 39 di atas diterangkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, pasal ini dimaksudkan untuk mengatur thalaq pada perkawinan, dan hal ini sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan bahwa prinsip tersebut tercantum pada pasal 4 huruf (e) “Karena tujuan perkawinan

9 Lili Rasidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung : Ramaja Rosdakarya, 1991), h. 194


(31)

21

adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.10

 Karena Putusan Hakim

Perceraian yang terjadi karena putusan Pengadilan merupakan perceraian yang terjadi diluar kehendak suami istri yang apabila Majelis Hakim berpendapat atau menilai perkawinan keduanya tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Bentuk putusan ini dapat berupa fasakh (pembatalan perkawinan).11Fasakh perkawinan adalah sesuatu yang merusak akad (perkawinan) dan bukan merupakan thalaq, fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada waktu akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan kelangsungan perkawinan.

3. Alasan Perceraian

Seringkali perceraian itu disebabkan sesuatu hal yang sepele dan masalah yang ringan, tetapi dalam puncak emosi dan kebencian, maka urat-urat syaraf tertentu akan tegang, dimana urat syaraf suami tidak mampu mengendalikan emosi dan nafsunya, sedang istri tidak baik dalam memperlakukan suaminya.12

Suatu perkawinan dimaksud untuk mewujudkan kehidupan suami istri yang harmonis dalam rangka membina dan membentuk keluarga yang sejahtera dan

10 Arso Sostroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h. 55-56

11 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 95

12 Butsainah as-Sayyid al-Iraqi, Asror fii hayati al-muthallaqot, (Terjemahan: Abu Hilmi), (Jakarta : Pustaka Al-Sofwa : 2005), h. 152


(32)

22

bahagia sepanjang masa, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam membina rumah tangga selalu saja ada masalah yang timbul sehingga dapat menimbulkan keretakan dalam rumah tangga itu sendiri, segala persoalan yang dihadapi harus diselesaikan atau diputusakan dengan musyawarah.13

Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 39 ayat (2) dijelaskan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa pasangan tersebut sudah tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami istri, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 116 menjelaskan faktor-faktor yang dapat menjadi alasan terjadinya perceraian, yaitu:

1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain (suami atau istri) selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

13 Ash-Shabbagh Mahmud, Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1993), Cet ke-5, h. 140


(33)

23

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7. Suami melanggar taklik talak.

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.14

B. Dasar Hukum Perceraian

1. Dasar Hukum Perceraian Dalam Hukum Islam

Dalam hal perceraian agama Islam telah mengatur sedemikian rupa dengan menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi yang berkenaan dengan perceraian tersebut dan dapat dijadikan dasar hukum serta aturan sendiri. Dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 230, yang berbunyi :

















Artinya :

14 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI), ( Jakarta: Kencana, 2004), h. 218-219


(34)

24

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua). Maka perepuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain, kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama ddan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang mau mengetahui”.

Dan dilanjutkan pula dalam Q.S al-Baqarah (2) : 231











































Artinya:

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi


(35)

25

kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah ni'mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Seterusnya dijelaskan dalam Q.S al-Baqarah (2) : 232





























Artinya :

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya , apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah


(36)

26

dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Hukum perceraian atau thalaq pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqih disebut makruh. Adapun asal hukum perceraian adalah makruh, karena hal itu menghilangkan kemaslahatan perkawinan dan mengakibatkan keretakan keluarga.

ا ب

غ

ض

حلا

ا

ِ

ا

ىل

ّا

طلا

ا

ق

“Dari ibn Umar semoga Allah SWT meridhoi keduanya berkata: Rasulullah

SAW bersabda: perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT adalah thalaq”. (HR.

Abu Daud, Ibnu Majah, dan Hakim, serta dikuatkan oleh Hatim)”

Suami tidak boleh menceraikan istrinya dalam kondisi haid. Jika ia menceraikannya dalam kondisi haid, maka ia telah durhaka kepada Allah dan

Rasul-Nya, melakukan sesuatu yang diharamkan dan diwajibkan atasnya ruju’ (kembali

lagi) kepada istrinya dan menahannya hingga kondisi istrinya suci dan setelah itu dapat menceraikannya jika berkenan.15 Sesungguhnya, Ibnu Umar telah menthalaq

istrinya, sedang istrinya dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW, Umar lalu bertanya kepada Rasulullah SAW, Beliau bersabda:

ل ي

ر

ج

ع

ث ا

م

ي

س

ك

ح ا

ت

طت ى

ر

ث

م

ت

ح

ي

ض

تف

ط

ر

ف ،

إ

ب د

ل ا

ه

ا

ي

ط

ل ق

ف ا

ط ي

ل ق

ق ا

ب

ل

ا

ي

س

ف .ا

ت ل

ك

علا

د

ا

ه

ك

ا ا

م

ر

ّا

ت

ع

ل ا

ى

15 Butsainah as-Sayyid al-Iraqi, Asror fit hayati al-muthallaqot, (Terjemahan: Abu Hilmi), (Jakarta : Pustaka Al-Sofwa : 2005), h. 211


(37)

27

“Suruhlah agar merujuk istrinya itu. Kemudian hendaklah ia menahan istrinya

itu hingga suci, kemudian haid, kemudian suci, kemudian sesudah itu jika ia mau ia boleh memegang (tetap menggaulinya) istrinya sesudah itu dan jika ia mau, ia boleh menthalaqnya diwaktu suci dan belum dicampuri, yang demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Allat SWT untuk menthalaq istri-istri.” (HR. Ibnu Majah).

Ayat al-Qur’an dan hadist yang telah disebutkan diatas para ulama sepakat membolehkan thalaq. Ini melihat bahwa bisa saja sebuah rumah tangga mengalami masalah yang dapat menimbulkan keretakan hubungan suami istri sehingga rumah tangga tidak akan berjalan harmonis dan melenceng dari tujuan perkawinan itu sendiri, apalagi menimbulkan rasa sakit diantara suami dan istri seperti pertengkaran yang terus menerus, dilanjutkannya pun pernikahan tersebut akan menimbulkan kemadharatan yang sangat serius. Perceraian adalah satu-satunya jalan untuk dapat menghindari dan menghilangkan hal-hal yang negatif.

2. Dasar Hukum Perceraian Dalam Hukum Positif

Perkawinan ialah ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, perkawinan dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal dua (2) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat


(38)

28

(mitsaqan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.16

Akad perkawinan bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci

yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah, karena itu Syari’at Islam

menjadikan pertalian ikatan suami istri dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh. Oleh sebab itu sudah kewajiban sebagai suami istri menjaga hubungan tali perkawinan dan tidak sepantasnya pasangan suami istri berusaha merusak dan memutuskan tali perkawinan tersebut dan perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera dapat terwujud.17

Besarnya tuntutan mencegah perceraian dalam kondisi tertentu dengan unsur kesengajaan atau ada maksud lain dari perceraian tersebut, maka perceraian merupakan perbuatan terlarang dan dosa. Misalnya, apabila dengan perceraian itu dapat merusak kehidupan agama dan kehormatan wanita. Sudah seharusnya bagi siapa saja yang melakukan perceraian terlebih dahulu harus benar-benar mempertimbangkan baik dari segi cara, waktu maupun resiko yang akan ditimbulkannya sebelum berani memutuskan untuk bercerai, agar perceraian tersebut menjadi perceraian yang baik.18

16 Zainudin Ali, Hukum Perdata di Indonesia, h. 7

17 H. Amir Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 206

18 Ali Husain Muhammad Makkin Al-Amili, Ath-Thalaqu khoti’atu man? (Terjemahan :


(39)

29

Perceraian seringkali terjadi tanpa adanya alasan yang kuat, hal inilah yang menjadi alasan lahirnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, selain itu juga untuk mewujudkan suatu perkawinan yang bahagia, kekal dan sejahtera sesuai dengan salah satu prinsip yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-undang perkawinan yaitu mempersulit terjadinya perceraian.19

3. Hikmah Perceraian

Kehidupan rumah tangga harus didasari oleh mawwadah, rahmah dan cinta kasih. Yaitu bahwa suami istri harus memerankan peran masing-masing, yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Jika kedua-duanya sudah tidak lagi saling mempedulikan satu dengan yang lainnya serta sudah tidak menjalankan tugas dan kewajibannnya masing-masing, kemudian keduanya berusaha memperbaiki namun tidak kunjung berhasil pula, maka pada saat itu, talak adalah kata yang paling tepat seakan-akan ia merupakan setrika yang didalamnya terdapat obat penyembuh, namun ia merupakan obat yang paling akhir diminum.

Seandainya islam tidak memberikan jalan menuju talak bagi suami istri dan tidak membolehkan mereka untuk bercerai pada saat yang sangat kritis, niscaya hal itu akan membahayakan bagi pasangan tersebut. Dan hal itu pasti akan berakibat buruk terhadap anak-anak dan bahkan akan mempengaruhi kehidupan mereka. Karena, jika pasangan suami istri mengalami kegoncangan, maka anak-anak mereka


(40)

30

pun pasti menderita dan menjadi korban.20 Dari mereka itu akan lahir masyarakat yang dipenuhi dengan kedengkian, iri hati, kezhaliman, hidup berfoya-foya dan berbuat hal-hal yang negatif sebagai bentuk pelampiasan dan pelarian diri dari kenyataan hidup yang mereka alami. Bagi mereka, rumah itu tidak lain hanyalah seperti penjara yang menjengkelkan dan menyebalkan, yang menyebabkan seluruh penghuninya lari menjauh agar tidak terperangkap ke dalam kebencian, adu domba, kesengsaraan dan kesedihan.

Talak merupakan satu-satunya jalan yang paling selamat ketika perkawinan sudah tidak dapat lagi dipertahankan. Talak merupakan pintu rahmat yang selalu terbuka bagi setiap orang, dengan tujuan agar tiap-tiap suami istri mau berintrospeksi diri dan memperbaiki kekurangan dan kesalahan. Orang-orang yang menolak adanya talak telah menutup semua pintu bagi pasangan suami istri jika rumah tangga mereka sedang goyang dan dalam keadaan kritis.

Mereka sebenarnya telah membunuh perasaan cinta, hati nurani dan kemanusiaan dalam diri mereka. Ketika semua pintu penyelamatan yang halal bagi suami istri itu di tutup, maka masing-masing akan mencari jalan yang tidak layak dan tidak pula dibolehkan sehingga mereka terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan. Hal semacam itu yang mengakibatkan mereka lupa dengan istri dan anak-anak mereka.21

20 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 205 21 Syaikh Hasan Ayyub. Fikih Keluarga. h.206


(41)

31

C. Pornografi

1. Pengertian Pornografi

Pornografi menurut hukum Islam adalah produk grafis (tulisan, gambar, film)-baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV, situs-situs porno di internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya-yang mengumbar sekaligus menjual aurat, artinya aurat menjadi titik pusat perhatian.22

Islam menolak segala pekerjaan yang dapat merangsang gairah seksual. Misalnya lagu-lagu cinta, film-film porno, dan segala pekerjaan iseng dari jenis ini meskipun sebagian orang menamakannya sebagai seni, gaya hidup modern, atau apapun istilah yang menyesatkan.

Pornografi berasal dari kata Yunani porne (wanita jalang) dan graphein

(menulis). Johan Suban Tukan mendefinisikan pornografi sebagai bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi seks. Atau penyajian seks secara terisolir dalam tulisan, gambar, foto, film, video kaset, pertunjukan, pementasan, dan ucapan dengan maksud merangsang nafsu birahi.23

Pengertian pornografi tidak hanya menyangkut perbuatan erotis dan sensual yang membangkitkan birahi seksual semata. Tetapi pengertian pornografi juga termasuk perbuatan erotis dan sensual yang menjijikan, memuakkan, memalukan

22 Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, (Bogor: Kencana, 2003),

h. 113


(42)

32

orang yang melihatnya atau mendengarnya atau menyentuhnya. Hal itu disebabkan oleh bangkitnya birahi seksual seseorang akan berbeda dengan yang lain.24

Terdapat beberapa pengertian yang berbeda yang diberikan atas apa yang dimaksud dengan pornografi. Penulis dalam hal ini memberikan beberapa pendapat para ahli mengenai Istilah Pornografi, yaitu antara lain:

Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa pornografi berasal dari kata Pronos

yang berarti melanggar kesusilaan atau cabul dan grafi yang berarti tulisan, dan kini meliputi juga gambar atau barang pada umumnya yang berisi atau menggambarkan sesuatu yang menyinggung rasa susila dari orang yang membaca atau melihatnya.

Menurut Andi Hamzah, pornografi berasal dari dua kata, yaitu Porno dan

Grafi. Porno berasal dari bahasa Yunani, Porne artinya pelacur, sedangkan grafi

berasal dari kata graphein yang artinya ungkapan atau ekspresi. Secara harfiah pornografi berarti ungkapan tentang pelacur. Dengan demikian pornografi berarti:

a. Suatu pengungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacur atau prostitusi b. Suatu pengungkapan dalam bentuk tulisan atau lukisan tentang kehidupan erotik, dengan tujuan untuk menimbulkan rangsangan seks kepada yang membaca, atau yang yang melihatnya.25

Melalui beberapa definisi yang saya coba kumpulkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari pornografi berbeda antara pendapat yang satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan sifatnya yang relatif, artinya tergantung pada

24Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi, (Bogor : Kencana, 2003), h. 129


(43)

33

waktu, tempat, pribadi manusia serta kebudayaan suatu masyarakat yang berusaha mendefinisikan istilah pornografi itu sendiri. Namun terdapat kesamaan unsur yang termaksud dalam suatu hal yang dikategorikan pornografi. Berikut diantara dalil

Al-qur’an dan al-Hadist yang mengenai atau berkenaan dengan pornografi. (Q.S an-Nur: 33)

















































Artinya:

“(1) Dan diantara orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sehingga Allah swt memampukan mereka dengan karunia-Nya, dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian , hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka (2), Jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah swt yang


(44)

34

dikaruniakan_Nya kepadamu (3) dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi, dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah swt adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”

(Q.S al-A’raf : 26)





























Artinya:

“Hai anak Adam (umat manusia), sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.dan pakaian takwa (selalu bertaqwa kepada Allah).itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah SWT Mudah-mudahan mereka selalu ingat.”

2. Pornografi Sebagai Alasan Perceraian Menurut Hukum Fiqih

Hukum Fiqih tidak menerangkan masalah pornografi sebagai alasan perceraian, namun disisi lain, di dalam al-Qur’an mengatur batasan aurat yang wajib dipatuhi untuk para wanita. Dan memerintahkan kepada para suami untuk menasehati


(45)

35

istri untuk menutup aurat. Sebagai istri yang soleha, maka adab berpakaian menjadi sangat penting. Selain menjaga pandangan dan juga membedakan antara perempuan baik-baik dan perempuan yang tidak baik.

Namun penulis mengqiyaskan pornografi yang dijadikan sebagai alasan perceraian dengan istri yang nusyuz, yang tidak mendengarkan perintah suami dan tidak menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Selain itu, pornografi juga memicu terjadinya perselisihan yang terus menerus dalam rumah tangga.

Ada 4 Kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk bercerai:26

1. Terjadinya nusyuz dari pihak istri. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nisa:34

Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan berbuat nusyuz, maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

2. Terjadinya nusyuz dari pihak suami. Hal ini berdasarkan QS. An-Nisa: 128

Dan jika seorang perempuan khawatir akan tindakan nusyuz, atau sikap acuh tak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik


(46)

36

bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli istri kamu dengan baik dan memelihara dirimu dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

3. Terjadinya perselisihan yang terus menerus antara suami istri yang dalam fiqih disebut syiqaq. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nisa:35

“Dan jika kamu khawatir akan adanya persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki, dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

4. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau fakhisyah, yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya. Cara

menyelesaikan permasalahan ini adalah dengan cara li’an. Li’an

merupakan bagian terpanas dari proses terjadinya perceraian, karena suami atau istri menuduhkan pasangannya telah melakukan perzinahan dengan orang lain. Apabila li’an itu terjadi, maka tali perkawinan akan putus selama-lamanya. Antara pasangan suami istri tersebut diharamkan untuk melangsungkan perkawinan untuk selama-lamanya.27


(47)

37

Hukum Islam bertujuan untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, harta seperti yang dikemukakan oleh Abu Ishaq Asy-Syatibi dan Muhammad Abu Zahrah, dan kehormatan.28 Kaitan tubuh dengan seluruh aspek yang terdapat di dalamnya (ruh, jiwa, akal, dan kalbu) adalah bertujuan untuk memelihara agama. Agama Islam sebagai agama terakhir dan agama yang diridhoi Allah yang berintikan akidah,

syari’ah, dan akhlak, menuntun, membimbing, mengarahkan, dan mengatur hidup dan kehidupan manusia, baik dalam peraturan yang qat’i maupun zanni, demi

kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat kelak.

Agama Islam yang didalamnya terdapat hukum Islam, baik dalam pengertian

syari’ah maupun fiqh, mengatur hubungan kita dengan Tuhan, juga mengatur

hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, baik lokal, nasional, maupun internasional, serta mengatur hubungan manusia dengan alam sekitarnya.29

Islam pun mengatur mengenai batasan-batasan aurat perempuan dan laki-laki menurut hukum Islam. Ulama sepakat bahwasannya aurat laki-laki ialah anggota tubuh yang terdapat diantara pusar dan lutut, dan oleh karena itu dibolehkan melihat seluruh badannya kecuali antara pusar dan lutut. 30 Bila demikian itu tidak

28 Muhammad Maslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi

Perbandingan Sistem Hukum Islma, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 129

29 Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi, (Bogor : Kencana, 2003), h. 90-91


(48)

38

menimbulkan fitnah. Mengenai batas aurat wanita ada beberapa pendapat para ulama, yaitu:

a) Menurut jumhur ulama seperti al-Thabari, al-Qurthubi, dan lainnya, bahwa aurat wanita itu adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sehingga kaki merupakan aurat yang tidak boleh diperlihatkan kepada selain muhrimnya.

b) Al-Malikiyah dalam kitab “Al-Shagir”, susunan Al-Dairiri ditulis bahwa batas aurat wanita merdeka dengan laki-laki (yang bukan mahram) adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan.

c) Namun sebagian ulama al-Hanafiyah dan khususnya imam Abu Hanifah mengatakan bahwa yang termasuk bukan aurat adalah wajah, telapak tangan, dan kaki. Kaki yang dimaksud bukan dari pangkal paha tapi yang dalam bahasa arab disebut qodam. Yaitu dari tumit kebawah.

Apabila aurat itu sengaja atau tidak sengaja ditampilkan, akan mengakibatkan birahi dan memancing lawan jenis untuk berhubungan intim. Bagi wanita, nyaris seluruh tubuh dan bergeraknya mengandung muatan seks. Sementara bagi laki-laki justru hanya sebagian kecil tubuhnya dan gerakan tubuhnya yang biasa dikatagorikan aurat.

Allah SWT memerintahan kepada istri-istri kaum mukminin untuk menutupi diri mereka dengan jilbab yang longgar dan menutupinya saat mereka diluar rumah.


(49)

39

Dengan jilbab semacam itu mereka akan mudah dibedakan dari perempuan-perempuan kafir dan nakal.31

Konsiderans perintah itu sangat jelas, yaitu kekhawatiran akan gangguan terhadap kaum perempuan yang dilakukan oleh orang-orang fasik dan laki-laki yang iseng, bukan khawatir atau tidak percaya kepada mereka sendiri, sebagaimana dipahami sebagian orang.32

3. Pornografi Sebagai Alasan Perceraian Menurut Hukum Positif

Masalah pornografi di Indonesia telah melampaui ambang toleransi dan merusak akhlak bangsa. Namun penyelesaian terhadap masalah pornografi belum sesuai dengan yang diharapkan. Kesulitan dalam menghadapi tindak pidana pornografi antara lain disebabkan oleh adanya pengertian dan penafsiran yang berbeda terhadap pasal-pasal KUHP yang mengatur masalah pornografi.

Ada beberapa macam pornografi yang dilakukan oleh orang dewasa seperti, pembuatan majalah sebagai model foto bugil, foto dengan mainan seks, atau untuk meluncurkan produk tertentu yang mengharuskan seorang model harus bergaya porno. Ada empat kriteria untuk menilai porno atau tidaknya, yaitu :

1. Isolasi seks, yakni seksualitas personal diciutkan pada alat genital tertentu. 2. Perangsangan nafsu birahi.

3. Tiadanya hormat terhadap lingkungan intim.

31Yusuf Qardhawi, Al-Halal wal Haram fil Islam, (Terjemahan : Wahid Ahmadi), (Solo : Era

Intermedia, 2000), h. 232


(50)

40

4. Membangkitkan dunia khayal33

Apabila ukuran perbuatan erotis atau gerak tubuh maupun gambar, tulisan, karya seni berupa patung, alat ganti kelamin, suara dalam nyanyian-nyanyian maupun suara yang mendesah, humor, dan lain-lain yang terdapat dalam media komunikasi, baik cetak maupun elektronik, hanya diukur dengan perbuatan yang membangkitkan birahi seksual semata, maka sangat sulit memberikan batasan pornografi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

Karena itu jenis pelanggaran kesusilaan pornografi seharusnya tidak hanya diukur oleh bangkitnya birahi seseorang, tetapi juga harus diukur dengan pornografi yang menimbulkan rasa yang memuakkan, menjijikan atau memalukan bagi orang yang melihatnya, menyentuhnya, dan mendengarnya.34

Pornografi dianggap merendahkan nilai seksualitas perkawinan. ia tidak menghargai cinta penuh perasaan dalam hubungan dua insan dengan lebih ingin menekankan serta membangkitkan afirmasi hasrat seksual. Sejalan dengan menyebarnya nilai hedonis, pornografi cenderung mengedepankan kenikmatan dan pengakuan akan kebiasaan seksual dari kecenderungan yang wajar.35

Faktor yang menyebabkan seseorang yang sudah berumah tangga tetapi tetap melakukan pornografi salah satunya adalah, lemahnya tingkat keimanan seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada dasarnya, keimanan adalah landasan

33Marzuki Umar, Seks dan Kita, (Jakarta : Gema Insani Press, 1997). h. 77-78

34 Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi, (Bogor : Kencana, 2003), h.129


(1)

(2)

PEDOMAN WAWANCARA

1. Bagaimana proses perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan? 2. Menurut bapak, apakah perceraian akibat pornografi bisa diajukan?

3. Selama bapak mengikuti persidangan, pernahkah bapak menemukan kasus cerai talak akibat istri pornografi?

4. Bagaimana Kewajiban Suami dan Istri Setelah Terjadinya Perceraian? 5. Bagaimana cara menentukan biaya untuk anak setelah terjadinya perceraian?

6. Apa pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara perceraian akibat pornografi?


(3)

HASIL WAWANCARA

Informant : Saifuddin, SH (Hakim Pengadilan Jakarta Selatan)

Tempat : Ruangan Hakim

Tanggal & Waktu : 18 Desember 2014 (09.30-10.00)

Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada beliau serta jawaban dan tanggapannya :

1. Bagaimana proses perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

Proses perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan sama saja dengan Pengadilan Agama lainnya, yang berlandaskan perundang-undangan yang berlaku, untuk tahapan persidangan pertama majelis hakim mengajukan beberapa pertanyaan yang mengenai nama, umur, pekerjaan dan alamat, disidang kedua adanya mediasi (perdamaian) antara Pemohon dan Termohon, disidang selanjutnya pihak Pemohon menyerahkan replik, kemudian disidang keempat yaitu tanggapan Termohon terhadap Pemohon (duplik), sidang selanjutnya sidang pembuktian dari pihak Penggugat kemudian dilanjutkan pembuktian dari pihak Tergugat, sidang selanjutnya penyerahan kesimpulan para pihak dan pada sidang terakhir sidang keputusan hakim, dalam sidang terakhir ini hakim membacakan putusan setelah hakim mengetuk palu hakim memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan banding apabila tidak puas dengan putusan hakim. 2. Menurut bapak, apakah perceraian akibat pornografi bisa diajukan?

Di dalam undang-undang pornografi tidak termasuk pada alasan untuk bercerai, tetapi akibat dari pornografi itu hubungan keduanya menjadi tidak harmonis bahkan terjadi perselisihan yang terus menerus sehingga hubungan keduanya susah untuk dirukunkan


(4)

kembali maka kami para hakim mengambil alasan yang paling umum yaitu perselisihan yang terus menerus.

3. Selama bapak mengikuti persidangan, pernahkah bapak menemukan kasus cerai talak akibat istri pornografi?

Selama saya mengikuti persidangan, jarang sekali saya menemukan perkara cerai talak semacam ini. Untuk masalah pornografi ini tidak menjadi alasan pengajuan perceraian seperti yang terdapat dalam pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 dan KHI sebagai landasan hukum, maka yang ditekankan para hakim adalah masalah percekcokan yang terjadi antara keduanya, yang alasannya memang disebabkan karena masalah tersebut.

4. Bagaimana Kewajiban Suami dan Istri Setelah Terjadinya Perceraian?

Kewajiban suami dan istri setelah perceraian Hakim menetapkan sesuai dengan ketentuan yang ada, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat dalam pasal 149, 153, 155 dan pasal 156. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat dalam pasal 41

5. Bagaimana cara menentukan biaya untuk anak setelah terjadinya perceraian?

Menentukan besar biaya untuk anak Hakim melihat dari kemampuan penghasilan bapak, atau bagi yang Pekerja Negeri Sipil (PNS) adalah 1/3 dari gaji

6. Apa pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara perceraian akibat pornografi?

Melihat dari duduk perkara yang ada serta bukti-bukti yang telah diajukan Pemohon, menurut Hakim sudah dapat dijatuhkan cerai, karena berdasarkan bukti yang ada dan keterangan para saksi, antara Pemohon dan Termohon sudah tidak dapat hidup rukun


(5)

(6)

Foto penulis saat wawancara dengan Bapak Saifuddin, SH sebagai Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan di ruangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Foto penulis saat wawancara dengan Bapak Saifuddin, SH sebagai Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan di ruangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan