Tabel 5.5 menunjukkan rasa bersalah baik sebanyak 13 anak 44.8, rasa bersalah cukup sebanyak 16 anak 55.2 sedangkan rasa
bersalah kurang tidak ada.
BAB VI PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini akan diuraikan makna hasil penelitian tentang gambaran perkembangan psikososial anak usia 3 sampai 6 tahun di PSAA Balita
Tunas Bangsa dan membandingkan dengan kajian literatur, serta hasil dari penelitian terdahulu. Bab ini juga akan menjelaskan tentang keterbatasan
penelitian yang telah dilaksanakan.
A. Gambaran Perkembangan Psikososial
Hasil penelitian terhadap perkembangan psikososial balita di PSAA Balita Tunas Bangsa, secara keseluruhan menunjukkan hasil bahwa sebanyak 11
anak 37.9 memiliki perkembangan psikososial baik, sebanyak 18 anak 62.1 memiliki perkembangan psikososial cukup dan perkembangan
psikososial kurang tidak ada. Artinya perkembangan psikososial anak di PSAA Balita Tunas Bangsa sebagian besar cukup, namun ada beberapa anak
yang memiliki perkembangan psikososial baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya beberapa faktor perkembangan yang belum terpenuhi, karena
peran orang tua dipanti asuhan digantikan oleh pengasuh sehingga kebutuhan anak-anak tidak sepenuhnya terpenuhi. Diantara faktor yang belum terpenuhi
adalah faktor pengasuhan. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, peneliti menilai bahwa
pengasuhan yang diterapkan di panti asuhan adalah cenderung pengasuhan otoriter. Pengasuhan otoriter adalah gaya membatasi dan menghukum ketika
anak-anak tidak mengikuti aturan atau arahan yang diberikan Santrock,
2011. Sebagai contoh selama pengamatan, ada anak yang tidak mau mengikuti kegiatan
play group, dengan seketika pengasuh memberikan hukuman kepada anak tersebut dengan mengurung anak tersebut di dalam
kamar mandi atau anak akan mendapat cubitan jika anak tidak mau mandi atau makan. Hukuman merupakan sebuah karakteristik lain dari gaya otoriter,
hukuman mungkin memiliki efek yang bervariasi pada anak-anak yang terkena hukuman Santrock, 2011. Anak yang dihukum secara keras mungkin
nantinya akan bertindak agresif, meskipun pada awalnya hukuman diniatkan untuk menghentikan apa yang menurut orang tua sebagai perilaku agresif yang
disengaja Nix et al., 1999 dalam Papalia, 2009. Sebuah studi mengungkapkan bahwa anak-anak yang orang tuanya memukul atau
menampar mereka, menimbulkan lebih banyak masalah emosional dibandingkan dengan anak-anak yang tidak dipukul atau ditampar oleh orang
tua Aucoin, Frick, Bodin, 2006 dalam Santrock, 2011. Selain pengasuh yang memberikan hukuman pada anak-anak, dalam
melakukan tugas sehari-hari pengasuh di panti asuhan sering berganti-ganti, tidak terlihat satu pengasuh mengasuh satu anak saja. Jumlah pengasuh sangat
terbatas sehingga dalam mengasuh anak-anak menjadi kurang optimal. Anak- anak usia 3-6 tahun berjumlah 35 anak, di asuh oleh 3 orang pengasuh yang
seharusnya di asuh oleh 5 orang pengasuh. Selama pengamatan juga terlihat pengasuh yang kurang berkomunikasi dengan anak-anak. Pengasuh kurang
mendekatkan diri kepada anak-anak, sehingga terlihat seperti ada jarak antara anak dan pengasuh. Pengasuh cenderung membiarkan tingkah laku anak,
selama anak tidak melakukan hal-hal yang melanggar peraturan. Sebagai
contoh, selama anak-anak bermain pengasuh hanya melihat dari kejauhan saja, tidak terlihat pengasuh yang mendampingi anak-anak bermain. Hal ini
menyebabkan anak tidak memiliki kelekatan dengan pengasuh karena pengasuh berganti setiap hari, dan kekurangan tenaga pengasuh, sehingga
menyebabkan ketidaktetapan dalam pengasuhan karena berbeda pengasuh disetiap harinya, menyebabkan berbeda pula dalam memberikan kasih sayang
dan memenuhi kebutuhan anak. Seorang anak yang tidak mengalami dan memperoleh kasih sayang serta
kepuasan dari kebutuhan-kebutuhannya, akan mengalami kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan kepada orang lain dan oleh karena itu akan
mengganggu hubungan-hubungan sosial di kemudian hari Erikson, 1950 dalam Gunarsa, 2008. Maka dari itu, ketetapan dari pengasuhan sangat
penting. Penelitian terhadap anak yang dirawat di rumah-rumah khusus penitipan anak, panti asuhan menekankan pada kebutuhan terhadap
pengasuhan pengganti untuk semirip mungkin dengan pengasuhan ibu. Penelitian ini menekankan nilai kesinambungan dan konsistensi dalam
pengasuhan, sehingga anak dapat membentuk ikatan emosional dini dengan banyak pengasuh selama situasi pengasuhan Rene Spitz, 1945,1946, dalam
Papalia, 2009. Dari faktor yang belum terpenuhi, ada beberapa faktor yang sudah tercapai
untuk mencapai perkembangan psikososial di panti asuhan yaitu faktor diri, dan gender. Faktor diri merupakan pemahaman seorang anak terhadap diri
mereka sendiri, tentang cara anak menggambarkan diri mereka. Anak-anak prasekolah sering menggambarkan diri mereka dalam bentuk aktivitas seperti
permainan. Cara anak dalam menggambarkan pemahanan diri mereka sendiri biasanya positif, namun tidak realistis Papalia, 2009. Selama penelitian
berlangsung, peneliti mengamati anak-anak di panti asuhan memiliki pemahaman diri yang positif, contoh pemahaman diri anak, “Aku tidak
nangis, aku berani”, “Aku bisa, kamu tidak bisa”. Dari pemahaman diri pada anak, menyebabkan pula pemahaman harga diri yang merupakan penilaian
yang dibuat anak mengenai seberapa berharganya mereka. Penelitian Widyawati 2009 menyebutkan bahwa terdapat perbedaan antara harga diri
remaja yang tinggal dipanti asuhan dengan harga diri remaja yang tinggal bersama keluarga.
Selain anak sudah mampu memahami diri mereka, anak juga mengetahui terhadap identitas gender mereka. Identitas gender melibatkan kesadaran,
pemahaman, pengetahuan, dan penerimaan sebagai laki-laki atau perempuan Santrock, 2011. Gender membentuk aspek penting hubungan teman sebaya.
Berdasarkan pengamatan selama penelitian, anak-anak di panti asuhan sudah mengetahui identitas gender mereka. Hal ini terlihat anak saat sekelompok
anak perempuan sedang bermain bersama, kemudian datang satu orang anak laki-laki ingin bergabung, salah satu anak perempuan dari kelompok tersebut
berkata, “Kamu laki-laki, tidak boleh bergabung”. Maccoby 2002, dalam Santrock, 2011 menyatakan anak-anak sudah menunjukkan gambaran bahwa
mereka menghabiskan waktu bersama teman bermain berjenis kelamin sama sejak anak berusia sekitar 3 tahun. Dari usia 4-12 tahun, gambaran untuk
bermain bersama dalam kelompok yang berjenis kelamin sama meningkat,
dan selama tahun-tahun sekolah dasar, anak-anak menghabiskan sebagian besar waktu luang mereka bersama anak-anak yang berjenis kelamin sama.
Dampak jangka panjang dari anak-anak yang tinggal dipanti asuhan terkait dengan perkembangan psikososial, terkandung dalam penelitian Banunaek
1999 menyatakan bahwa sebagian besar anak-anak yang tinggal di panti asuhan mengalami sindrom deprivasi maternal aspek psikososial. Hilangnya
figur pengganti orang tua ini menyebabkan gangguan perkembangan tingkah laku yang akhirnya menimbulkan sindrom deprivasi maternal. Deprivasi
maternal adalah suatu kondisi yang terjadi terutama pada balita yang mengalami ketidak hadiran atau ketidak pedulian atau tidak mendapat
perhatian dari ibu atau pengasuh atau pengganti ibu, karena putusnya hubungan antara ibupengasuhpengganti ibu, sehingga anak tersebut
mengalami hambatan tumbuh kembang Humris, 1985 dalam Banunaek, 1999.
B. Perkembangan Psikososial Tahap Inisiatif
Inisiatif merupakan perkembangan yang muncul dimana anak mulai mendengarkan kata hati, ketika akan melakukan sesuatu, dan memiliki
keinginan untuk melakukan sesuatu Santrock, 2002. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa tahap inisiatif anak-
anak PSAA Balita Tunas Bangsa sebanyak 17 anak 58.6 inisiatif baik, inisiatif cukup sebanyak 12 anak 41.4, sedangkan anak dengan inisiatif
kurang tidak ada. Artinya perkembangan psikososial tahap inisiatif anak yang tinggal di panti asuhan sebagian besar baik, maksudnya anak-anak di panti
asuhan sudah mampu mendengarkan kata hati dalam melakukan sesuatu, dan